Minggu, 28 Januari 2024

Situs Ujir: Sejarah Awal Pemukiman Maritim di Barat Laut Aru


Oleh

[Peter Veth dkk]

 

  1. Kata Pengantar

Tulisan sepanjang 9 halaman ini ditulis oleh beberapa arkeolog seperti Peter Veth, Sue O’Connor, Matthew Spriggs, Widya Nayati, Ako Jatmiko dan Husni Mohammad dengan judul The Ujir Site : An Early Historic Maritime Settlement in Northwestern Aru, dan dipublikasikan dalam buku The Archeology of the Aru Island, Eastern Indonesia, yang diterbitkan oleh ANU Press, tahun 2006. Tulisan ini ditempatkan di bab V, halaman 85 – 93, dari XIV bab (tulisan) yang ada dalam buku tersebut. Buku ini dieditori oleh Sue O,Connor, Matthew Spriggs dan Peter Veth. 

Tulisan ini membahas tentang “misteri” reruntuhan yang disebut situs Ujir, dimana mereka menyimpulkan bahwa struktur atau reruntuhan ini mungkin adalah perbentengan Belanda awal, atau setidaknya terinspirasi oleh arsitektur Belanda, yang kemudian “dimodifikasi” oleh penduduk desa menjadi Mesjid. Kajian ini didukung oleh 10 foto reruntuhan yang diselidiki, 1 buah peta dan referensi yang digunakan. Kami menerjemahkan tulisan ini dan menambahkan beberapa catatan tambahan yang diperlukan. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat dalam memahami proses kesejarahan kita.

 

  1. Terjemahan

Pendahuluan

Kajian ini merupakan perluasan/pendalaman dari analisis Veth et al (2000)a dan mencakup informasi tambahan. Selama penyelidikan arkeologi di pantai barat kepulauan Aru pada tahun 1995, sebuah kompleks reruntuhan batu besar yang menakjubkan terletak di dekat desa Ujir (gbr 5.1). Pemeriksaan awal terhadap pemukiman tersebut mengungkapkan sejumlah besar struktur batu yang menutupi beberapa fase arsitektural. Strukturnya banyak ditumbuhi hutan hujan sekunder dan terletak berbatasan langsung dengan sungai atau saluran pasang surut, sehingga membentuk pelabuhan alami yang dalam. 

Meskipun pendudus desa setempat mengklaim bahwa pemukiman itu adalah benteng Portuguese atau benteng Portugis, sebagian besar bangunan itu tampaknya bukan berasal dari [arsitektur] Eropa. Namun, 2 meriam beton yang tebal dan sebuah jangkar asal Eropa telah ditemukan di dekat pemukiman. Asal usulnya dan hubungannya dengan struktur yang dibangun, tidak jelas.

Sebuah misteri muncul dengan sendirinya. Satu-satunya bangunan batu bersejarah besar lainnya di Kepulauan Aru yang terdokumentasi dengan baik, dan terdiri dari 3 bangunan benteng VOC pertengahan abad ke-17 di Wangil, Wokam dan Dosi (lihat misalnya Merton 1910; Valentijn 1862 [1722], namun di sini terdapat pemukiman besar dengan luas areal yang jauh lebih besar daripada benteng-benteng Belanda yang terdokumentasi. Kami awalnya mengira itu sebelumnya tidak tercatat, tetapi setelah kami kembali dari lapangan, kami menemukan bahwa orang lain juga telah merenungkan struktur misteri ini dan asal-usulnya.

 

Ringkasan Deskripsi Struktur

Kunjungan lebih lanjut ke situs pada tahun 1996 dan 1997 mengungkapkan bahwa pemukiman Ujir (diberi label Situs 5 dalam survei penyelidikan kami) mencakup banyak hektar. Untuk merencanakan struktur secara akurat, diperlukan penebangan vegetasi lebat dan hutan sekunder. Karena banyaknya akar “pencekik” yang tumbuh menembus dinding, hal ini menimbulkan masalah konservasi yang besar, karena hilangnya vegetasi akan mengganggu kestabilan struktur. Bahkan survei terhadap strukturnya pun merupakan pekerjaan besar. Di sini kami hanya bertujuan untuk memberikan gambaran awal tentang luas situs dan kesamaan arsitektur Ujir. 

Semua strukturnya terbuat dari balok-balok karang, beberapa diantaranya memiliki dinding yang terawat hingga ketinggian 3 m dan kemudian diplester. Plester memiliki desain non-figuratif pada relief (gbr 5.2 – 5.4). Beberapa struktur terdiri dari dinding panjang bersambung dengan panjang lebih dari 20 m (dimana masih ada), sedangkan yang lain berbentuk persegi sampai persegi panjang dan lebarnya kira-kira 4 m. Beberapa memiliki jendela kecil berbentuk setengah lingkaran, dengan desain relief plester yang menghiasi bagian dalam maupun luar (gbr 5.5, 5.6). Sejumlah ruangan, atau bilik ini, diapit oleh kolom persegi yang diatapi oleh tepian berpotongan, dan apa yang tampak seperti menara terpotong. Dalam kajian sebelumnya (Spriggs et al, 1998) kami menyatakan bahwa bilik tidak memiliki pintu masuk dan harus dimasuki melalui atap. Penyelidikan kami pada tahun 1997 mengungkapkan bahwa beberapa bilik/kamar memiliki pintuk masuk yang sempit.


 

Di dekat pemukiman, sejumlah kuburan besar berdinding baru dengan nisan-nisan yang dicatat. Ini juga  dibangun dari balok-balok karang yang dipotong dan diplester (gbr 5.7). Kuburan ini adalah tipikal dari apa yang disebut kuburan-kuburan panjang sejarah yang diasosiasikan dengan orang-orang Islam berstatus tinggi (komunikasi pribadi dengan James Fox). Namun, hubungan kuburan dengan pemukiman itu tidak pasti.

Struktur yang paling menonjol dan paling terpelihara terletak di tepi sungai di tepi pedalaman (timur) situs. Ini adalah bangunan batu persegi panjang besar dengan jendela penopang dan melengkung, duduk di atas dinding batu penahan (revetment). Jendela melengkung dari struktur aslinya kemudian diisi dengan batu-batu karang (gbr 5.8). Ambang besi terlihat di jendela yang melengkung dan cetakan pelat terlihat di puncak jendela, mungkin menunjukkan di mana lempengan-lempengan porselin menjadi bagian dari ornamen di sekitar jendela pada suatu waktu. Penduduk setempat menyebut bangunan ini sebagai mesjid atau masjid, dan menyarankan bahwa bangunan tersebut dibangun belakangan dari bangunan lain di daerah tersebut. Tampaknya penggunaannya sebagai masjid adalah penggunaan kembali struktur yang mungkin semula berposisi sebagai benteng. Kami diberitahu di Ujir bahwa masjid dihancurkan oleh pemboman Sekutu dalam Perang Dunia II. 

Di sebelah barat bangunan ini terdapat sungai pasang surut, memisahkannya dari sisa-sisa pemukiman (gbr 5.9). Sungai tampaknya telah diperpanjang secara artifisial ke darat untuk membuat saluran air dalam atau parit air laut saat air pasang. Ini disebut oleh penduduk desa setempat sebagai Fuabil. Tepi atas saluran ini ditutupi dengan timbunan kerang dengan ketebalan kira-kira 10 – 15 cm, yang sebagian besar terdiri dari spesies mangrove seperti Terebralia sp dan Anadara sp. Serpihan-serpihan tembikar tampaknya terkikis setidaknya dari bagian atas “lensa” cangkang. Baik porselin Cina maupun Eropa tidak tercatat di dalam timbunan sampah cangkang, dan mungkin saja timbunan itu mendahului kemunculan keramik semacam itu. Di zona pasang surut di mulut/muara sungai dan meluas ke sekitar mesjid di tepi sungai terdapat sejumlah besar barang dagangan Cina, Belanda, dan Timur Tengah yang memperdagangkan keramik, tembikar, serta botol kaca berbentuk persegi. Selain itu, sesekali pecahan logam dan batu api ditemukan di dekat masjid. 

Meriam-meriam tersebut ditemukan oleh penduduk desa di dekat masjid. Satu meriam yang sudah terkorosi masih tergelatak di pasir di tepi sungai, sementara meriam lainnya telah dipindahkan ke luar mesjid modern di desa Ujir (gbr 5.10, 5.11). Lambang/lencana tidak terlihat/nampak pada meriam yang terbuat dari beton tebal tapi itu konsisten dengan persenjataan asal Eropa pada abad ke-16 atau ke-17. Sebuah lesung batu besar terletak di zona pasang surut di sebelah masjid.

Sebagian besar tanggul tanah yang curam di sepanjang tepi sungai, di sebelah barat saluran masuk, diperkuat dengan balok-balok karang besar yang dipotong. Penduduk desa menyebut ini sebagai yan vallender,  yang mereka anggap sebagai langkah-langkah Belanda, dari Belanda, merujuk kepada orang Eropa seperti Belanda sebagai “Hollander”.


Sumber-sumber Sejarah yang berhubungan dengan Ujir

Ada kemungkinan bahwa struktur benteng tersebut mewakili benteng-benteng Portugis atau Belanda yang sebelumnya tidak diketahui. Tapi masalah dengan penafsiran ini adalah bahwa hanya ada sedikit bukti untuk aktivitas Portugis di Kepulauan Aru, dan periode pengaruh Belanda tampaknya terdokumentasi dengan baik. Portugis tidak pernah berhasil membangun benteng atau pergudangan di gugusan Banda (Villiers 1981 : 740) dan mungkin bisa dikesampingkan sebagai kandidat.

Sebelum dan selama periode kehadiran Portugis di wilayah tersebut, orang-orang Banda menguasai sebagian besar perdagangan dengan Aru dan kelompok pulau-pulau terdekat lainnya (Villiers 1981, 1990), membeli sagu, burung cendrawasih, dan burung beo dengan imbalan kain. Sumber tembikar bergaris merah yang ditemukan di timbunan sampah Wangil ke Banda (lihat bab 6, volume inib) menunjukkan bahwa mata rantai perdagangan ini berasal dari zaman pra kolonial, dan tembikar serta kain dikirim dari Banda ke Aru. Beberapa emas juga dikatakan berasal dari Aru (Markham 1911: 85), tetapi asal akhirnya pasti dari West New Guinea, mungkin melalui jalur perdagangan lain melalui pulau Gorom dan Seram-Laut di ujung timur Seram sampai ke Aru (Goodman 1998; Villiers 1981: 742). 

Pelayaran Portugis pertama ke wilayah Maluku terjadi pada tahun 1512, tetapi tidak ada bukti bahwa mereka mengunjungi Aru secara langsung. Klaim yang bertentangan (diulang oleh Spyer 1991: 58) diakibatkan oleh kesalahan penerjemahan deskripsi pelayaran itu (Courtesao 1944: lxxxiii, catatan kaki nomor 1). Catatan Galvao tentang pelayaran (dikutip oleh Wood 1922: 69) menyebutkan bahwa produk-produk “Arus” terdiri dari “...........burung halus yang sangat berharga karena bulunya”. Seperti yang ditunjukan Cortesao (ibid) bagian ini tidak menggambarkan pelayaran Abreu, tetapi pelayaran perdagangan orang Jawa. Spyer (2000: 82,87) melaporkan tradisi sejarah lisan tentang “Portugis” sebagai “pendatang pertama” ke Aru. Namun ia mengakui bahwa di Indonesia, istilah “Portugis” digunakan sebagai bahasa/label generik untuk menggambarkan semua “pendatang pertama” sebelum Belanda terlepas dari kebangsaan mereka (Spyer 2000 : 303).

Suma Oriental dari Tomes Pires, yang ditulis pada tahun 1512-1515 dari informasi yang diperoleh dari Melaka, mengatakan tentang Aru :

Burung beo [utara] berasal dari Pulau Papua. Yang lebih berharga dari yang lain berasal dari pulau yang disebut Aru (Ilhas Daru), burung-burung yang mereka bawa itu telah mati, disebut burung cendrawasih (passaros de Deus), dan burung-burung itu dikatakan berasal dari surga, dan mereka tidak tahu bagaimana burung itu dibiakkan; dan orang Turki dan Persia menggunakannya untuk membuat panache [bulu untuk topi] – sangat cocok untuk tujuan ini. Orang Bengal membelinya. Barang-barang tersebut merupakan barang dagangan yang bagus, dan hanya sedikit yang datang (Cortesao 1944 : 209)

Villiers melaporkan (1981: 741) bahwa orang Portugis sering menyebut burung-burung itu sebagai passaros de Banda, karena percaya bahwa burung itu mati di Kepulauan Banda. Pengetahuan Portugis tentang Aru sebagian besar tidak langsung seperti yang disiratkan oleh pengakuan burung cendrawasih di Banda, tetapi keberadaan Aru di peta pada posisi yang kira-kira tepat pada tahun 1530 – 1536 menunjukkan bahwa Portugis mungkin setidaknya telah berlayar mengelilingi Aru pada saat itu. Aru diberi label “Arrum” pada apa yang disebut Peta Dauphin pada periode itu (Collingtidge 1906: 32-33; Wood 1922: 115), sebagai “Arru” pada peta Desceliers tahun 1550 (Collingridge 1906 : 68-69), dan sebagai “Aruu” pada peta Mercator tahun 1569 (Wood 1911: 91).

Sebelumnya pada abad ke-14, kerajaan Majapahit di Jawa memperluas pengaruhnya ke Maluku untuk mendapatkan rempah-rempah secara reguler. Lingkup pengaruh dan dominasi perdagangan yang diklaim oleh kerajaan Majapahit di Indonesia pada tahun 1365 tergambar dalam “sajak” Negarakertagama yang ditulis dalam bahasa Jawa kuno oleh penyair Prapanca. Baik [kata] Ambwan (Ambon] dan Moloko (Maluku Utara) disebutkan. Kontak dengan Jawa mendorong berkembangnya sejumlah kesultanan, seperti Ternate di utara Maluku (Reid 1995: 315; Swadling 1996 1996: 23). Walaupun pengaruh kerajaan Majapahit di tenggara Maluku tidak diketahui, pengaruh luar berupa Islam telah menyebar ke wilayah tersebut pada kuartal ketiga abad ke-15, melalui kontak perdagangan antara pedagang Banda, Jawa, dan Melayu (Ellen 1990; Lape 2000a; Villiers 1981: 731).

Bangunan Ujir yang dipengaruhi Islam tampaknya menjadi saksi dari hubungan perdagangan ini – pemukiman mungkin didasarkan pada produksi sagu dan pasokan burung cendrawasih. Jelas, pencatatan dan penggalian sistematis sekarang diperlukan untuk menguji proposisi ini.

Pada tahun 1623, Gubernur Ambonc mengirim 2 kapald dibawah pimpinan Jan Cartensz untuk menandatangani perjanjian persahabatane dengan orang kaya atau pedagang-bangsawan dari desa-desa terkemuka di pantai barat Aruf (Spyer 1992: 58,60,63). Yang terpenting adalah Ujir, Wamar, Wokam dan Maikoor. Sejak saat itu, desa-desa ini memainkan peran penting sebagai mediator dalam perselisihan lokal di Nusantara, dan sebagai perwakilan dari penguasa Belanda selama periode pemerintahan tidak langsung ketika tidak ada kehadiran resmi kolonial di Aru. Pada awal abad ke-19, Nusantara telah dibagi menjadi 4 distrik dibawah pemerintahan desa-desa ini. Spyer (1992: 63) mencatat bahwa :

Tujuan utama dari perjanjian tahun 1623 adalah upaya untuk menghidupkan kembali perdagangan kuno antara Banda dan Aru yang sempat terhenti selama pemusnahan di Banda pada triwulan pertama abad ke-16 [yang benar seharusnya abad ke-17]...........Pembaruan perdagangan ini dibawah monopoli VOC akan memungkinkan Belanda untuk mengurangi biaya tinggi pengangkutan bahan makanan dari Jawa melalui impor sagu dan hasil kebun lainnya dari Kepulauan Aru.

Dia (Spyer) juga melaporkan perjanjian berikutnya pada tahun 1645g untuk desa-desa yang sama ini untuk berdagang secara eksklusif dengan Banda yang dikuasai Belanda (Spyer 1992: 62; lihat juga Loth 1998 : 67 tentang perdagangan Banda). Mungkin bangunan-bangunan benteng itu terinspirasi oleh Belanda, bukan dibangun oleh Belanda.

Kunjungan Kolffh tahun 1826 ke Ujir, yang disebut olehnya sebagai Wadia, memberikan referensi langsung pertama ke reruntuhan yang dapat kami temukan. Desa itu mungkin lebih besar dari sekarang, karena ia melaporkan bangunan juga di tepi kiri sungai :

Setelah memasuki anak sungai kami melewati sebuah kuil dan sejumlah makam, dan segera tiba di desa, yang terletak di sekitar saluran sepanjang satu setengah dari mulut sungai. Rumah-rumah, yang berdiri terpisah satu sama lain, didirikan di kedua sisi sungai, tetapi jauh lebih banyak dapat ditemukan di sisi kanan, tempat tinggal Orang Kaya membentuk objek yang mencolok diantara hal itu (Kolff 1840 : 206)i

Kolff melaporkan tentang perdagangan burung cendrawasih dari desa tersebut, mencatat sagu dan ubi jalar sebagai produksi pulau tersebut, dan bahwa penduduk memperoleh beras dari Macassans (orang Makassar), dan dari pedagang Kei dan Goram yang mengambilnya dari Banda. Ia melanjutkan :

Selama kami tinggal di sini, saya memeriksa lingkungan desa, dan bertemu dengan beberapa bekas benteng pertahanan, yang sisa-sisanya membuktikan bahwa benteng itu pasti sangat luas. Kami juga menemukan jejak-jejak jalan panjang, dikelilingi tembok, membentang dari timur dan barat melewati desa, bersama dengan reruntuhan banyak rumah batu. Penduduk pribumi tidak dapat memberi kami informasi yang jelas tentang bangunan tersebut (Kolff 1840 : 216)

Kolff juga menawarkan beberapa dukungan untuk interpretasi kami tentang struktur yang kemudian digunakan sebagai masjid yang terinspirasi oleh Belanda dan bukan berasal dari Belanda. Dia melaporkan perselisihan antara Ujir dan sebuah desa bernama “Fannabel” di sisi timur laut pulau Wokam. Orang tua (atau tetua) Fannabel dikatakan “memiliki bangunan dari batu, yang didukung dengan meriam” (Kolff 1840: 213), yang mungkin memiliki jenis yang serupa.

Petunjuk lebih lanjut tentang kekunoan dan pentingnya Ujir berasal dari risalah/tulisan tentang Kepulauan Aru oleh van Hoevellj (1890) dan dari ahli zoologi Jerman, yaitu Merton (1910). Dalam perjalanannya ke Kepulauan Aru tahun 1888k, Baron van Hoevell (1890 : 8) mencatat bahwa masjid batu Ujir dapat terlihat dari muara (sungai). Yang menarik adalah pengamatannya bahwa Ujir memiliki tembok-tembok benteng paling substansial dari komunitas “asli” dimana pun dan bahwa tampaknya ada tembok/bangunan yang luas dari periode waktu sebelumnya.

Pengamatan serupa dilakukan oleh Merton (1910: 166) pada kunjungan ke pemukiman itu pada tahun 1908, ketika dia mencatat (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh A. dan A. Veth) :

Ketika kami memasuki sungai Ujir, di hadapan kami terdapat pemandangan yang sangat indah, lebih indah dari yang pernah kami lihat di sini. Sebuah sungai yang luas, dibingkai oleh hutan bakau dan pohon kelapa, dan di latar depan terdapat beberapa pohon cemara yang menjorok, sebenarnya bukanlah hal baru bagi kami, namun pemandangannya memiliki sesuatu yang aneh. Di tepian satu batu yang menonjol berdiri sebuah bangunan persegi panjang yang terbuat dari batu; atap daun palemnya dibuat seperti tangga. Itu adalah masjid Ujir.....saat kami sampai di darat, semuanya juga memberikan kesan yang tidak biasa. Di dermaga kecil kami keluar; dari sini ada jalan yang terawat baik menuju ke desa, melewati kuburan umat Islam, yang sebagian terbuat dari batu dan sebagian lagi dari kayu. Desa itu sendiri dikelilingi oleh tembok batu; seringkali petak-petak tanah milik sebuah rumah juga dibatasi oleh tembok dari tetangganya......Ujir terdiri dari banyak rumah, dan merupakan salah satu tempat terluas di Kepulauan Aru....di desa itu sendiri di berbagai tempat terdapat sisa-sisa pondasi batu.....di tepi sungai ada dermaga kedua dengan pagar batu. Semua itu tampaknya menunjukkan adanya budaya yang lebih tinggi, yang pastinya sudah tertanam kuat di sini selama beberapa waktu. Sayangnya saya tidak dapat menemukan apapun dari populasi yang kurang ramah ini.

Hubungan dengan VOC tentu saja hanyalah spekulasi dari Merton dan kami telah melihat tidak ada dokumen yang mendukung hal ini. Menarik bahwa laporannya miri dengan laporan Kolff yang menyatakan bahwa penduduk desa tidak tahu atau tidak mau menunjukkan asal muasal bangunan tersebut. Pengalaman kami agak mirip.

Dalam hal usia dan asal muasal reruntuhan yang luas di Ujir dengan arsitektur yang diilhami Islam, perlu dipertimbangkan kemungkinan peran Kepulauan Aru dalam sistem perdagangan yang lebih luas, terkait dengan komoditas seperti burung cendrawasih dan rempah-rempah, yang sumber sejarahnya berasal dari setidaknya 2000 tahun yang lalu (Swadling 1996). Peran sentral Banda sebagai tempat perdagangan untuk komoditas berharga ini didokumentasikan dengan baik (Meilink-Roelofsz 1962; Villiers 1981). Lape (2000b, 2002) juga mendokumentasikan sebuah situs di Banda (BN1), yang konstruksinya berasal dari abad ke-16 tetapi tampaknya bukan buatan Eropa, atau bahkan terinspirasi, dan yang mungkin merupakan bagian umum dari orientasi pertahanan, karena konflik lebih menjadi bagian dari perdagangan, karena ada lebih banyak orientasi pedagang ke Islam.

 

Kesimpulan

Berdasarkan konstruksi arsitektural, sifat pekerjaan plesteran dekoratif dan keberadaan “kuburan panjang”, reruntuhan Ujir jelas bukan milik Eropa, sedangkan bangunan persegi panjang yang besar kemungkinan adalah benteng awal Belanda, atau setidaknya terinspirasi oleh Belanda, yang kemudian diubah oleh penduduk desa Ujir menjadi masjid, struktur yang dicatat oleh Merton yang masih beroperasi pada tahun 1908 dan hampir pasti disebut sebagai “kuil” oleh Kolff pada kunjungannya pada tahun 1826 (1840: 206).

Sejauh mana pemukiman non-Eropa yang jelas tumpang tindih dalam waktu dengan benteng yang seharusnya tidak pasti. Sumber sejarah perdagangan di bagian lain Maluku, bagaimanapun, menunjukkan bahwa pemukiman asli/pribumi bisa saja didirikan pada akhir abad ke-15. Siapa pun yang membuat struktur, jelas bahwa pemukiman yang bersifat permanen dan luas ini menyiratkan keterlibatan dalam sistem perdagangan regional, atau bahkan global. Tingkat keterlibatan Aru dalam sistem perdagangan awal ini mungkin secara historis telah terabaikan, sebagian karena dominasi kebijakan perdagangan di utara Maluku dan Banda pada abad ke-15 dan ke-16.

Penemuan di Ujir memberi petunjuk bahwa gambaran yang lebih kompleks tentang hubungan perdagangan yang lebih luas di Maluku, sebelum kehadiran orang Eropa, masih menunggu untuk diungkapkan.

===== selesai ====

 

Referensi

  • Collingridge, G. 1906. The First Discovery of Australia and New Guinea. Sydney: William Brooks.
  • Courtesao, A. (trans. and ed.). 1944. The Suma Oriental of Tomo Pires. London: Hakluyt Society. Second Series LXXXIX, volume 1.
  • Ellen, R.F. 1990. Trade, environment, and the reproduction of local systems in the Moluccas. In E. Moran (ed.), The Ecosystems Approach in Anthropology, pp. 191–228. Ann Arbor: University of Michigan Press.
  • Goodman, T. 1998. The sosolot exchange network of eastern Indonesia during the seventeenth and eighteenth centuries. In J. Miedema, C. Odé, and R.A.C. Dam (eds), Perspectives on the Bird’s Head of Irian Jaya, Indonesia: Proceedings of the Conference, Leiden, 1317 October 1997, pp. 421–54. Amsterdam: Rodopi.
  • von Hoevell, G.W.W.C., Baron. 1890. De Aroe-eilanden, geographisch, ethnographisch en commercieel. Tijdschrift van het Koninglijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, Leiden 33:57–102.
  • Kolff, D.H. 1840. Voyages of the Dutch Brig of War ‘Dourga’ through the Southern and Little Known Parts of the Moluccan Archipelago… during the Years 1825 and 1826. London: James Madden.
  • Lape, P. V. 2000a. Political dynamics and religious change in the late pre-colonial Banda Islands, eastern Indonesia. World Archaeology 32(1):138–55.
  • Lape, P.V. 2000b. Contact and Conflict in the Banda Islands, Eastern Indonesia, 11th to 17th Centuries. Unpublished PhD thesis, Brown University, Rhode Island.
  • Lape, P.V. 2002. Historic maps and archaeology as a means of understanding late pre-colonial settlement in the Banda Islands, Indonesia. Asian Perspectives 41:43–70.
  • Loth, V. 1998. Fragrant gold and food provision: resource management and agriculture in seventeenth century Banda. In S. Pannell and F. Von Benda-Beckmann (eds), Old World Places, New World Problems: Exploring Issues of Resource Management in Eastern Indonesia, pp. 66–93. Canberra: Australian National University.
  • Markham, Sir C. (trans. and ed.). 1911. Narrative of the Voyage to Malucos or Spice Islands by the Fleet under the Orders of the Commander Garcia Jofre de Loaysa, in Early Spanish Voyages to the Straits of Magellan. London: Hakluyt Society, Second Series XXVII.
  • Meilink-Roelofsz, M.A.P. 1962. Asian Trade and European Influence Between 1500 and 1630. The Hague: Martinus Nijhoff.
  • Merton, H. 1910. Forschungsreise in den Sudostlichen Molukken (Aru-und Kei Inslen). Frankfurt, A.M.: Senckenbergischen Naturforschenden Gesellschaft. English translation by A. and A. Veth (1998), James Cook University, Townsville.
  • Reid, A. 1995. Continuity and change in the Austronesian transition to Islam and Christianity. In P. Bellwood, J.J. Fox, and D. Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, pp. 314–31. Canberra: Department of Anthropology.
  • Spriggs, M., P. Veth, and S. O’Connor. 1998. In the footsteps of Wallace: the first two seasons of archaeological research in the Aru Islands, Maluku. Cakalele: Maluku Studies Research Journal 9(2):63–80.
  • Spyer, P. 1992. The Memory of Trade: Circulation, Autochthony, and the Past in the Aru Islands (Eastern Indonesia). Unpublished PhD thesis, Department of Anthropology, The University of Chicago, Chicago.
  • Spyer, P. 2000. The Memory of Trade: Modernity’s Entanglements on an Eastern Indonesian Island. Durham & London: Duke University Press.
  • Swadling, P. 1996. Plumes From Paradise: Trade Cycles in Outer Southeast Asia and Their Impact on New Guinea and Nearby Islands Until 1920. Port Moresby: Papua New Guniea National Museum in association with Robert Brown and Associates (Queensland).
  • Valentijn, F. 1862[1722]. Oud en Nieuw Ost-Indien: met Aanteekeningen, Volledige Inhoudsregisters, Chronologische Lijsten, enz. Volume III. ‘s-Gravenhage: H.C. Susan.
  • Veth, P., S. O’Connor, M. Spriggs, W. Nayati, A. Jatmiko, and H. Mohammad. 2000. The mystery of the Ujir site: insights into early historic settlement in the Aru Islands, Maluku. The Bulletin of the Australian Institute for Maritime Archaeology 24:125–32.
  • Villiers, J. 1981. Trade and society in the Banda Islands in the sixteenth century. Modern Asian Studies 15 (4):723–50.
  • Villiers, J. 1990. The cash-crop economy and state formation in the Spice Islands in the fifteenth and sixteenth centuries. In J. Kathirithamby-Wells and J. Villiers (eds), The Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise, pp. 83–105. Singapore: Singapore University Press.
  • Wood, G.A. 1922. The Discovery of Australia. London: Macmillan.

 

Catatan Tambahan

a.        Kajian yang dimaksud berjudul The mystery of the Ujir site: insights into early historic settlement in the Aru Islands, Maluku, dipublikasikan di The Bulletin of the Australian Institute for Maritime Archaeology 24:125–32. [lihat Referensi di atas]

b.       Kajian yang dimaksud berjudul Wangil Midden: a late Prehistoric Site, with remarks on Ethnographic Pottery Making, ditulis oleh Peter Veth, Matthew Spriggs, Sue O’ Connor dan Aliza Diniasti Saleh, dimuat pada halaman 95 – 124

c.        Gubernur Amboina pada periode ini (1623) adalah Herman van de Speult (1618 – 1625)

d.       2 kapal yang dikomandani oleh Jan Cartensz atau Cartenszoon bernama Pera dan Arnhem.

§  J.E. Heeres., Corpus Diplomaticum Neerlando – Indicum, eerste deel (1596 – 1650), s,Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1907, hal 179 - 182

e.        Perjanjian atau kontrak bertanggal 26 Mei 1623

§  J.E. Heeres., Corpus Diplomaticum Neerlando – Indicum, eerste deel (1596 – 1650), s,Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1907, hal 179 - 182

f.         Berdasarkan akta perjanjian/kontrak antara VOC dan beberapa pemimpin (orang kaya) secara eksplisit tertulis 9 desa yaitu : Wodgier [Ujir], Tutewanangh, Salguadingh, Bocan [Wokam], Guamar [pulau Wamar], Bagambel, Maijcoor [Maikor], Rato, dan Tarangan [Trangan]. Dari sisi VOC, perjanjian ditandatangani oleh Jan Cartenszoon, Jan van Sluijs, Pedro Lintges, dan Arent Martsen de Leeuw, sedangkan para orangkaya yang menandatangani adalah Aco, Levarga, Bur Belle, Sulacke, Queijlabo, Luberouw, Terra Terra, Baran, Vavoreij, Ruma Lissy, Mau Suweij, dan Vaij Lieuw

§  J.E. Heeres., Corpus Diplomaticum Neerlando – Indicum, eerste deel (1596 – 1650), s,Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1907, hal 179 – 182

g.        Mungkin yang sebenarnya/seharusnya pada tahun 1646, yaitu pada tanggal 2 Februari 1646 dan 28 Mei 1646. Pemimpin ekspedisi ini dipimpin oleh Fiscal Adriaan Dortsman yang berlayar dan tiba pada Januari – Mei 1645.

§  J.E. Heeres., Corpus Diplomaticum Neerlando – Indicum, eerste deel (1596 – 1650), s,Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1907, hal 463 - 469 dan hal 475 – 481

h.       D.H. Kolff bernama lengkap Dirk Hendrik Kolff, lahir pada  14 Februari 1800 di Amersfoot Belanda, dan meninggal pada 15 Desember 1843 di Den Haag. Putra dari Dirk Hendrik Kolff [senior] dan Margaretha Maria van Braam.

i.         Kunjungan D.H. Kolff ke tenggara Maluku dibukukan dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Gorge Windsor Earl

§  [lihat Referensi atas nama Kolff, D.H. di atas]

j.         Van Hoevell bernama lengkap Gerrit Willem Wolter Carel baron van den Hoevell

k.        Pada saat kunjungan ke Aru tahun 1888, G.W.W.C. baron van den Hoevell menjadi Assisten Resident van Gorontalo (1886 – 1891) dan kemudian menjadi Resident van Ambon (1891 – 1896).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar