Kamis, 11 Januari 2024

Forna Sagu dan sejarah pola perdagangan regional Di Indonesia Timur dan Pesisir Papua

 

[Roy F Ellen & D. Kyle Latinis]

 

  1. Kata Pengantar

Artikel yang diterjemahkan ini adalah tulisan kolaborasi Roy F Ellen dan D. Kyle Latinis dengan judul Ceramic Sago ovens and the History of regional trading patterns in eastern Indonesia and the Papuan coast, yang dipublikasikan di Jurnal Indonesia and the Malay World, volume 40, tahun 2012, halaman 20 – 38. Tulisan sepanjang 19 halaman, dengan 4 catatan kaki, 17 gambar dan referensi yang digunakan ini mengkaji tentang forna atau cetakan untuk membakar sagu dalam konteks arkeologis, sejarah, dan linguistik dan kaitannya dengan pola perdagangan regional di pesisir Indonesia Timur dan Papua. 

Ada beberapa hal menarik berupa informasi atau data arkeologi dan historis mengenai forna sagu dalam tulisan ini. Disebutkan bahwa berdasarkan penggalian dan penelitian yang dilakukan oleh D.Kyle Latinis di situs Hatusua (Hatuhurun), Seram Barat dan situs Amatomu di Hitulama, Ambon,  untuk bahan disertasinya, diketahui bahwa pecahan-pecahan keramik yang diduga adalah forna atau oven keramik, berasal dari periode Sriwijaya yaitu tahun 600 – 1400 Masehi, meski oleh penelitinya ia memberikan penanggalan yang “toleransi” yaitu tahun 1100 – 1400 Masehi. Selain itu, disebutkan juga forna bergaya Ambon-Lease terdistribusi ke Seram Barat dan Buru, gaya Seram Timur ke wilayah pesisir Papua, gaya Ternate-Tidore ke Halmahera dan pesisir utara Papua.

Kami menerjemahkan tulisan ini untuk dibaca dan bisa diketahui, bahwa sejarah kita mungkin lebih tua atau lebih “kuno” dari yang kita duga selama ini, terbukti dari penelitian arkeologi, yang dalam hal ini soal pecahan-pecahan keramik forna atau cetakan untuk membakar sagu. Akhir kata semoga bisa bermanfaat tulisan ini

  1. Terjemahan

Pengekstrakan dan pemrosesan tepung pohon sagu merupakan teknologi kuno di Asia Tenggara dan Papua, meski secara arkeologisnya cukup lemah. Kajian ini akan menguraikan bukti penyebaran forna-forna yang digunakan untuk membakar tepung sagu, mungkin seperti penilaian diagnostik dalam kerangka kerja arkeologis. Sehubungan dengan bukti-bukti arkeologis yang tersedia (termasuk penanggalan terbaru radiokarbon), kami menguji hipotesis bahwa asal usul “objek” ini ada sebelum periode kolonial. Kami juga memastikan keberadaan oven sagu (forna) dari konteks pra-Eropa dan menyarankan asal usul protohistoris endogen daripada asal usul historis eksogen. Kami menyimpulkan bahwa pertumbuhan dan penyebaran oven sagu terkait dengan perubahan pola perdagangan lokal yang menyatu dengan peningkatan produksi cengkih, pala dan komoditas lainnya untuk pasar Eropa dan Asia, serta penetrasi di sepanjang wilayah pesisir Papua oleh pedagang-pedagang Maluku.

 

Pendahuluan

Dibandingkan dengan bahan-bahan baku lainnya asal Asia Tenggara, penyiapan tepung pohon palma (sagu) termasu Metroxylon sagu, seringkali melibatkan jenis peralatan yang sangat spesifik, yang dalam beberapa kasus  dapat membantu kita untuk mengidentifikasi penggunaan sagu dari situs-situs arkeologi. Ada 2 cara dasar mempersiapkan sagu, dan sejumlah metode tambahan (lihat misalnya Ellen dan Goward 1984). Di sini, kita hanya memfokuskan diri dengan 2 metode dasar : penambahan air panas untuk membentuk jeli atau “bubur” dan memanggang (membakar) tepung sagu kering untuk menjadi briket, kue atau biskuit. Preferensi untuk satu metode dengan metode lainnya, bervariasi di seluruh rentang, dan di beberapa lokasi, proses itu secara konvensional hanya bergantung pada satu metode. 

Untuk “bubur”wadah bisa dibuat dari tangkai (pelepah) daun sagu, bambu muda atau tembikar. Wadah tembikar sering berupa mangkuk yang sangat khas, dengan leher besar dan alas yang kecil, yang memungkinkan pengocokan cepat campuran untuk mencegah terbentuknya gumpalan-gumpalan  patih yang “cair”. Mangkuk tembikar semacam itu banyak ditemukan di Maluku Tengah (gambar 1), meskipun objek itu diproduksi di sejumlah tempat yang relatif “terpencil” dan diperdagangkan secara luas (Ellen dan Glover 1974; Ellen 2003: 206). Item karakteristik lain yang menyertai proses penyiapan ini adalah pengaduk kayu atau (gata-gata) (Hofner 1977: 49, gambar 24). Membuat sagu dengan metode kering hanya dapat dilakukan dengan memanggang tepung dalam daun sagu atau bambu muda, atau dengan menggunakan oven keramik1. Oven-oven semacam itu, pertama-tama dipanaskan di dalam api dan tepung kering yang ditambahkan dan dimasak. Untuk acara-acara khusus, bahan-bahan lain seperti gula aren, daging dan sayuran dapat juga ditambahkan. Kue-kue segar umumnya lunak (lombo) namun biasanya akan dijemur sebelum disimpan (Wallace 1962: 291). Dengan cara ini, sagu dapat disimpan secara efektif untuk waktu yang lama, dan dalam bentuk inilah, sagu diperdagangkan secara luas dan digunakan sebagai makanan dalam pelayaran (Ellen 2003: 195, gambar 7.5). 

Di Asia Tenggara, pati diekstraksi dari sejumlah pohon palem, dan kami memiliki alasan untuk percaya bahwa hal itu telah digunakan sebagai makanan selama ribuan tahun. Tanda-tanda secara arkeologis memang terbatas, tetapi ada sejumlah residu pati dari endapan arkeologis dan beberapa puncak batu yang tertempa oleh alat-alat (Barton 2005; Rhoads 1977). Sebagian besar bukti yang “bukti-bukti” pra-sejarahnya adalah kesimpulan palaeobotani, botani dan etnografi serta berbagai referensi sejarah. Namun, pemrosesan pati/tepung sagu di bagian timur Indonesia dan Papua yang dikaitkan dengan oven keramik atau cetakan, mungkin memberikan bukti langsung yang lebih kuat untuk penggunaan tepung sagu di masa lalu, ketika barang-barang ini ditemukan dalam konteks arkeologi. Dalam artikel ini, kami ingin meninjau bukti penyebaran etnografis peralatan keramik-keramik yang terkait dengan pengolahan tepung Metroxylon dan jejak arkeologisnya. Kami akan, khususnya, memeriksa hipotesis penggunaan oven/cetakan (dan mungkin juga mangkuk atau berjana keramik khusus lainnya untuk pengolahan sagu) sebelum periode Eropa. Kami menyarankan, bahwa pertumbuhan dan standirdisasi dalam bentuk perubahan pola perdagangan lokal, terkait dengan peningkatan produksi pertukaran untuk memenuhi permintaan baru di pasar Eropa dan Asia khusunya cengkih dan pala, dan bahwa ada korelasi kuat antara penyebaran oven/cetakan dengan ekspansi ekonomi, politik dan budaya pengaruh tempat-tempat tertentu di Maluku, khususnya ke arah timur pulau Papua.  


Penyebaran-penyebaran etnografis dan produksi forna sagu, 1970-2002

         Pada masa kini dan sepanjang masa sejarah, penyebaran forna sagu (gambar 2a) hanya terbatas di Seram, Buru, Ambon, Haruku, Saparua, Nusalaut, Manipa, Buano, Ternate, Tidore, Bacan, Sula, dan Halmahera di Maluku Utara; Kepulauan Seram Laut, Gorom, Manowaka, Teor, sampai batas-batas tertentu di Banda dan pulau-pulau Kei serta bagian-bagian barat dari pulau Papua, sejauh ke arah timur teluk Cendrawasih. Memang ada laporan-laporan tentang forna dari Sulawesi, baik di bagian selatan dan Minahasa (RMV 37-84 (1864)2, 654-16 (1888), MPJ 16943), namun bukti-bukti menunjukan, objek ini tidak selalu khusus digunakan untuk pengolahan sagu. Pengetahuan kami tentang pusat-pusat produksi kurang lengkap, dan di sini kami hanya dapat menyediakan data terbatas untuk Maluku Tengah seperti yang ditunjukan pada gambar 2b dan 2c. Ellen dan Glover (1974) melaporkan produksi forna di Ouh/Ouw (Saparua), Mamala (Ambon) dan Morela (Ambon). Spriggs dan Miller (1979: 25) juga melaporkan oven/cetakan keramik dari Oma, Haruku, Larike, Hutumuri dan Amahusu. Penelitian lapangan oleh Ellen pada tahun 1981 dan 1986, telah menambahkan Keligah (Seram Timur) dan Samboru (Gorom), meskipun daftar ini kemungkinan tidak lengkap, bahkan untuk Maluku Tengah. Kita juga mengetahui bahwa pulau kecil Mare, memproduksi oven/cetakan untuk wilayah Ternate dan daerah sekitarnya. Beberapa dari situs-situs ini adalah pusat utama untuk memproduksi semua jenis tembikar dan juga pertukaran (Ouw), sementara yang lain hanya memproduksi forna sagu, baik untuk konsumsi rumah tangga (Amahusu), atau untuk konsumsi dan perdagangan “lokal” (Larike dan Keligah). Secara historis dan pada saat ini, forna asal Ouw memiliki distribusi terluas, dapat ditemukan di seluruh Seram bagian barat, tengah dan selatan, serta banyak terlihat di sebagian besar pasar. Forna asal Larike dapat ditemukan di Ema (Spriggs dan Miller 1979: 26) dan forna asal Keligah di sepanjang pantai tenggara Seram dan di kepulauan Seram Laut. 

         Desain forna sagu bervariasi dari tempat satu dengan tempat lainnya. Jenis lokal, itu mudah dikenali, namun semuanya terdiri dari banyak blok/kamar (gambar 3-13). Sebagian besar adalah blok persegi panjang dengan 5 hingga 20 slot/kamar. Desain sepanjang tema ini bervariasi dan sedikit banyak menunjukan tempat dimana benda itu diproduksi. Jadi gambar 3 (menampilkan 5 slot/kamar) adalah tipikal forna yang diproduksi negeri Ouw (lihat juga Spriggs dan Miller 1979: gambar 11. ii) dan didistribusikan secara luas di Ambon dan pulau-pulau lease (Haruku, Saparua, Nusalaut). Model yang lain (gambar 4 dan 5) adalah tipikal dari Seram bagian tenggara, dan yang lain dari Maluku Utara (RMV 1106-55: gambar 6), dan seterusnya. Beberapa oven/cetakan yang dilaporkan dari Papua (gambar 7) menunjukan kedekatan model yang terkait dengan model Seram Tenggara, yang mencerminkan kemungkinan hubungan historis, meskipun beberapa laporan menunjukan bentuk bulat lebih banyak dari bentuk persegi panjang (Gambar 12; juga Rider 1959: gambar 6). Fitur umum untuk proporsi cetakan/oven adalah “tumpuan/alas” (atau mungkin juga “pegangan” untuk mengurangi panas secara langsung). Beberapa yang dapat ditemui di koleksi museum untuk asal dari Kei (RMV 831-88), Maluku Utara (RMV 1106-56), Sula (RMV 1900-265: gambar 9 di sini), Seram (Hofner 1977: 50-51, gambar 29), Ambon ( didokumentasikan dalam koleksi museum Siwalima), dan sejauh ke arah barat Sulawesi (Gambar 10, RMV 37-84, 654-16, 1008-39, 1008-49, 1008-50, 1009-76). Fitur tumpuan ini tercermin pada oven-oven/cetakan dari konteks historis dan arkeologis, dan juga ditemukan pada jenis lain dari bejana-bejana keramik dari Maluku. Namun, berbagai model oven dapat ditemukan di tempat yang sama, memang dapat dibuat oleh pembuat tembikar yang sama, seperti yang dapat kita lihat pada gambar 4. 

         Sebagian besar oven/cetakan memiliki desain fungsional dasar dengan sedikit elaborasi atau hiasan. Namun, koleksi museum berisi contoh-contoh desain yang lebih mewah.  Dengan demikian, Museum Siwalima di Ambon pada tahu 1975 memiliki oven/cetakan dengan panjang 14,5 cm dari Kisar dalam bentuk manusia, dan 1 dalam bentuk lobster panjang (Siwalima, Ambon 2999 dan 20241). Penguraian lebih luas dari cetakan-cetakan, diilustrasikan dalam Hofner (1977) dari jenis-jenis yang ada di Berlin Etnologisches Museum : cetakan polos dari pulau Aru yang berasal dari tahun 1913 (ibid, lempengan 28), cetakan  yang dicat dari Seram berangka tahun 1882, cetakan dengan kamar-kamar berbagai bentuk dan ukuran dari Aru berangka tahun 1913 (ibid, lempengan 31), cetakan bermotif kepiting atau udang dari Buru berangka tahun 1889 (ibid, lempengan 32); cetakan bundar dengan kamar-kamar di kedua sisi dan berornamen botani (ibid, lempengan 33), dan dengan kamar-kamar dalam bentuk pasangan manusia sedang bergaya (Buru 1889; ibid, lempengan 34). Cetakan-cetakan serupa dapat juga ditemui dalam koleksi Leiden (misal RMV 3600-304, 831-26, 3600-307, 3600-309). Jenis-jenis yang lebih rumit ini, menjadikan para pembuat “cetakan” lebih sesuai dibandingkan para pembuat “oven”, dan menunjukan bahwa perubahan gaya/model mungkin terjadi untuk diakomodasi dalam pelaksanaan-pelaksanaan seremonial. 

         Semua cetakan yang dilaporkan berasal dari desa atau dalam koleksi museum adalah jenis keramik, kecuali beberapa jenis dalam koleksi yang berasal dari Kei (RMV 831-25, 831-26, 831-27, 831-87, 831-88, semuanya berangka tahun 1891; 1971-364, 03-984), yang terbuat dari batu koral yang digambarkan sebagai bakar leem (tanah liat) atau mungkin “kapur” dalam katalog RMV Leiden (gambar 11). Jenis yang terakhir ini belum ditemukan secara arkeologis.

         Spriggs dan Miller (1979: 30) mengamati bahwa teknik pembuatan cetakan moderen dibagi menjadi 2 jenis :

a)    Mulai dari gumpalan padat dan kemudian dibuat ruangan/kamar-kamar (dengan cara digali)

b)    Dinding-dinding atau partisi dibuat/didirikan dengan cara modular/diatur dan kemudian disatukan oleh papan yang sudah dibentuk sebelumnya (dengan cara konstruksi)

Perbedaan antara cetakan yang dipotong dari balok dan dibuat dari pelat pra-fabrikasi telah ditindaklanjuti oleh Latinis (2002), dengan mengingatkan bahwa kadang-kadang teknik dapat terjadi secara bersamaan di komunitas pembuat tembikar yang sama. Pada tahun 1986, Ellen mengumpulkan data tentang produksi cetakan dari keramik di pantai timur Seram, dimana para wanita di Keligah berpendapat membuat 2 cetakan berukuran besar (panjang 25 cm) dalam 1 hari, dengan menggunakan metode konstruksi yang ditunjukan dalam urutan foto (gambar 13). Kami mencatat bahwa metode digali adalah lebih butuh para pekerja yang intensif dan lebih teliti, namun saat dibakar atau dalam proses pembakaran, resikonya (hancur) lebih jauh berkurang dan cetakan jadi lebih tahan lama. Sebagai perbandingan, cetakan dengan metode kntruksi mengarah pada banyak potensi kelemahan dan kurang tahan lama. Penjual-penjual asal Saparua yang berbicara dengan Latinis, tampaknya menyatakan  bahwa cetakan-cetakan hasil konstruksi umumnya terlalu “biasa” dibandingkan dengan cetakan dengan metode digali, dan memang ada keuntungan secara komersial dalam hal menjual forna yang kurang kuat, karena para pembeli forna akan sering mengganti forna itu (dan akibatnya para pembuat akan terus membuatnya lagi). 

Bukti arkeologis  forna-forna keramik di Indonesia Timur dan Papua

Kita hanya tahu sedikit tahu tentang arkeologi Sahul sebelum 30.000 BP, dan memiliki sedikit bukti  tentang pengekstrakan tepung sagu dari masa pleistosen untuk wilayah tersebut (Yen 1995: 837; tapi lihat juga Summerhayes dkk tahun 2010 untuk pengekstrakan tepung sagu dari dataran tinggi di Papua dari periode 44.000 BP). Bukti-bukti langsung untuk ekstraksi tepung sagu akan selalu sulit ditemukan, karena pelestarian sisa-sisa tanaman dari endapan prasejarah di daerah tropis terkenal buruk, lokasi pengolahan biasanya agak jauh dari tempat tinggal, serta teknik penyimpanan juga umumnya melibatkan dekomposisi  bahan organik yang mudah terurai. Selain itu, seperti yang umum untuk mengekstrak empulur atau intisari dari bunga palem (Ellen 2006: 91-93), ini mengurangi kemungkinan menemukan serbuk sari atau buah-buahan yang telah memfosil, dan karenanya penanggalan paleobotanical yang andal (Rhoads 1977: 33). Kita tahu dari bukti etnografis untuk pemrosesan metroxylon bahwa di banyak tempat, kelapa itu sendiri menyediakan bahan untuk peralatan di semua tahap pemrosesan (Ellen 2004a), termasuk wadah yang digunakan untuk memasak. Oleh karena itu, tembikar tidak diperlukan dan kecil kemungkinannya untuk ditemukan secara arkeologis. Sekarang ada bukti langsung yang baik untuk ekstraksi pati kelapa sawit (meskipun tidak untuk metroxylon) dari Sunda yang berasal dari sekitar 50.000 BP. Misalnya, pati (mungkin dari Eugeisonna utilis atau Caryota spp) kini dilaporkan dari Niah di Sarawak (Barton 2005; Barker et al 2006: 255-257) dari sekitar tanggal/periode ini. selain itu, ada alasan kuat – berdasarkan geografi dan ekologi tanaman – untuk membuat hipotesis ekstraksi pati palem secara umum sebagai bagian dari strategi subsisten orang-orang paling awal di Sahul dan Sunda. 



 

Namun, bukti material langsung terbatas pada : (a) artefak batu yang terkait dengan ekstraksi sagu dan persiapan produk mentah (Ellen 2004a; 2008), dan (b) penyimpanan tembikar dan peralatan memasak. Tempat penyimpanan dan oven keramik dikenal dalam konteks arkeologis untuk Papua Nuigini, dari daerah Motu, Sepik, dan dari Kokas (Rhoads 1977: 35; Groves 1960), tetapi sampai saat ini (Latinis dan Stark 2003) hampir belum ada publikasi mengenai situs prasejarah atau sejarah di wilayah Maluku dan wilayah kepulauan Indonesia lainnya, terlepas dari laporan etnografi tentang oven keramik dari waktu kontak Eropa awal hingga saat ini. Pekerjaan awal yang dilakukan pada arkeologi daerah produksi dan konsumsi sagu di Maluku dan Papua Barat mengungkapkan tidak ada bukti kuat dari oven keramik dalam bentuk apa pun (Stark dan Latinis 1992; Spriggs 1998). Sebuah survei permukaan yang dilakukan pada tahun 1975 oleh Spriggs dan Miller (1979: 30) menemukan fragmen/potongan/pecahan oven hanya di 2 lokasi dari 30 lokasi yang disurvei, tetapi mereka mencatat variasi fragmen/pecahan yang cukup besar dalam kumpulan permukaan dibandingkan dengan apa yang mereka amati sebagai produksi modern yang lebih terstandarisasi, yang mungkin mengikuti dari peningkatan permintaan dan perubahan organisasi untuk mengakomodasi ini. Tidak ada oven keramik yang dilaporkan untuk endapan arkeologis dari Banda (lihat Lape 2000; dan Ellen tidak menemukan satupun di permukaan yang berserakan di Lonthoe pada tahun 1981); juga di Aru (Spriggs 1998) atau Morotai (Schmitt 1947). Namun, Latinis bisa melaporkan bahwa banyak situs, sebagian besar di daerah pantai Ambon, Seram, dan Gorom, memiliki banyak pecahan oven  yang tersebar di permukaan dan terstratifikasi dengan jelas, banyak diantaranya tampak pra-modern (Latinis dan Stark 2003). Sepengetahuan kami, tidak ada oven keramik yang tercatat di tempat lain di kepulauan Asia Tenggara dalam konteks arkeologis bawah permukaan dan bertingkat yang masuk akal.

Survei permukaan dan penggalian yang lebih terfokus oleh Latinis (2000) untuk 2 lokasi di Maluku Tengah telah menghasilkan beberapa data. Meskipun sedikit, ini penting karena sejauh ini, merupakan satu-satunya bukti yang ada. Kami menerbitkan di sini untuk pertama kalinya data yang dikumpulkan dan ditafsirkan oleh Latinis dan Stark (2003) yang menghubungkan oven-oven ini ke masa pra-kolonial. 

Dalam upaya untuk membedakan kumpulan protohistroric dan non-protohistoric, Latinis bekerja pada pengumpulan permukaan dari Amatomu (sekitar 500 – 100 meter ke daratan dan dataran tinggi dari Hitu lama) di Ambon, dan dari situs yang jauh lebih di Hatusua (juga dikenal dengan nama yang lebih kuno, yaitu Hatuhuran, dan dekat dengan pemukiman Buton di Serapi, dekat Waipirit) di Seram Barat (gbr 2c). Dia juga mengerjakan kumpulan yang digali dari Hatusua. Sampel semacam awal dari penggalian situs Hatusua dengan massa total 47.529 gram hanya terdiri dari 125 gram fragmen oven keramik. Jenis kedua 7 unit dari penggalian Hatusua 30.932 gram (5.597 pecahan sebenarnya) hanya menghasilkan 2 pecahan (50 gram) asal oven keramik, sementara jenis ketiga dari 7 unit sampel dari penggalian Hatusua juga hanya menghasilkan 2 pecahan oven dengan massa total 50 gram, masa rata-rata mewakili 25 gram, 0,5% dari total massa. Dalam kumpulan permukaan dari Amatomu (unit S-2) ada 2 fragmen oven dengan massa total 61 gram, dan massa gram rata-rata per pecahan 30,5 memberikan persentase 2,7 dari total 2246,5 gram. Oleh karena itu, sama sekali tidak ada kepercayaan bahwa pada periode dimana bahan dapat diberi penanggalan oven keramik selain dari item minor dalam inventaris tembikar, meskipun ada kemungkinan bahwa mereka memiliki umur yang lebih lama dibandingkan dengan wadah tembikar lain dan diproduksi dan dimiliki dalam jumlah yang lebih sedikit. Kami menduga bahwa oven menjadi lebih umum selama periode kolonial awal ketika sagu yang dapat disimpan lebih penting untuk memenuhi peningkatan permintaan untuk perdagangannya.

Hampir semua pecahan oven berbentuk kotak dan, berdasarkan paralel modern, hampir pasti berasal dari oven yang digunakan untuk memasak biskuit sagu (sagu lempeng) dan produk sagu campuran lainnya. Sebagian besar tampaknya dibuat menggunakan teknik pembuatan lempengan. Dindingnya tebal, tetapi tebalnya tidak konsisten, sisi-sisinya halus tetapi tidak “tergelincir”, dicat atau dihiasi, dengan aditif biasanya termasuk partikel pasir berbutir halus, sedang dan besar (gbr 14). Fragmen oven arkeologi ini (permukaan dan penggalian) secara visual berbeda dari potongan modern dari [negeri] Ouh/Ouw. Kumpulan permukaan dari kedua situs menunjukkan fitur komposisi dan morfologis yang sama dan dapat berasal dari area sumber tunggal. Semua fragmen dari konteks arkeologis, baik permukaan dan stratifikasi, secara umum diperkirakan berasal dari periode 1100 hingga 1500 M (Latinis 2002: 185), meskipun bukti dari situs Hatusua, dan gaya dari Amatomu dan situs lain di Ambon menyarankan penanggalan lebih awal (mungkin periode Sriwijaya : 600 – 1400 M). Latinis kini telah mendapatkan penanggalan radiokarbon (menggunakan teknik AMS pada sisa-sisa tanaman hangus) untuk 3 sampel dari situs Hatusua pada bahan yang sementara tidak sepenuhnya identik dalam hal komposisi dan gaya dengan tembikar dari beberapa situs lain di semenanjung Leihitu di pulau Ambon, menyarankan kontak dan pertukaran. Penanggalan radiokarbon paling awal (deviasi 2 sigma) adalah 1185 – 980 cal BP atau 766 – 970 cal M (Beta-181924), penanggalan tengahnya adalah 1175-970 cal BP atau 775-890 cal M (Beta-18193) dan tanggal terkini 0 – 50 BP (Beta-19125). Dengan demikian, 2 sampel pertama dapat diperlakukan pada umur yang kurang lebih setara, dan sampel ketiga sebagai modern. Dua sampel pertama terletak di tingkat bantalan artefak pertengahan dan basal untuk periode tersebut. Sampel ketiga dengan penanggalan terakhir berasal dari lapisan atas dan terverifikasi bahwa tanggal tingkat bawah tidak murni di zaman kuno atau modern. Dengan demikian tanggal awal dari Hatusua dapat diandalkan dan konteksnya valid. Banyak pecahan oven dari tingkat penanggalan ditemukan, dan bentuk pada tingkat terendah di Hatusua berbentuk persegi panjang tetapi sangat bulat di sudut-sudutnya. Pekerjaan Peter Lape (misal 2002) telah menghasilkan penanggalan radiokarbon jauh lebih awal untuk produksi tembikar di Banda pada 3000-3500 BP. Oleh karena itu, dimungkinkan bahwa oven dari zaman kuno yang lebih besar mungkin belum ditemukan, meskipun tidak ada bukti dari data Lape sendiri.

 

Menilai bukti etnografis, historis, dan linguistik.

      Atas dasar bukti etnografi komparatif, historis dan arkeologis yang tersedia untuk pemrosesan sagu, kita dapat menarik sejumlah kesimpulan. Pertama, kita dapat mengasumsikan bahwa memasak paling awal melibatkan peralatan yang terbuat dari bahan nabati. Bambu hijau secara luas digunakan sebagai wadah memasak bahkan sekarang, sehingga teknologi di sini tidak unik untuk persiapan sagu yang dapat dimakan; begitu pula memanggang makanan di daun sagu. Penggunaan wadah pelepah daun sagu jelas merupakan barang unik bagi populasi yang sudah memanfaatkan sagu dan ini akan berevolusi bersama dengan konsumsi dan pemrosesan pati. Penggunaan mangkuk keramik, toples penyimpanan dan oven, bagaimanapun adalah pengembangan sekunder dan terbatas pada area dimana ada tradisi pembuatan tembikar, sumber bahan yang cocok, atau dimana mereka tersedia melalui perdagangan. Bukti etnografi dan arkeologis yang diulas di sini membatasi penggunaan benda-benda ini untuk wilayah Maluku, bagian-bagain yang berdekatan dengan Papua, dan bagian-bagian dari Papua Nuigini. Kami menyarankan bahwa ada kemungkinan bahwa bentuk oven tembikar yang tersegmentasi mencerminkan keakraban yang sudah ada sebelumnya dengan ruas-ruas bambu yang tersegmentasi.

      Dikarenakan bukti arkeologis untuk oven sangat sedikit dan sangat terlambat, telah dihipotesiskan bahwa mereka mungkin merupakan konsekuensi dari pengaruh awal Eropa. Pandangan ini didukung oleh bukti linguistik, karena dalam bahasa Melayu Ambon dan dalam bahasa Maluku lainnya kita menemukan varian kata forna (forno, porno, porna) (Latinis 2002: 185), yang menunjukkan kemungkinan asal Portugis. Etimologi alternatif berasal dari bahasa Belanda, yaitu vorm (vorm > forma : cetakan), menunjukkan kemiripan dengan cetakan kue (dari jenis yang dilaporkan untuk Ambon selama abad ke-19 dan tidak diragukan berasal dari Belanda : Ellen dan Glover 1974: pelat 1c). Dengan kata lain, kita dapat membayangkan konvergensi leksemik dan semantik antara [kata] forna dan vorm dalam suatu bidang studi, selama akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, dengan pengaruh linguistik Portugis dan Belanda. Namun, nama-nama untuk oven keramik dalam banyak bahasa lokal lainnya jelas bukan berasal dari Eropa. Karena itu, Rumphius (Herbarium Amboinense 1741 : Liber 1, Bab XVII, hal 79) menyebutkan hatu paputi dalam bahasa Ambon, batu bapondi dalam bahasa Melayu. Di Nuaulu kontemporer, disebut hatu huie, dan watu’n untuk pesisir Seram Timur, kadang-kadang disebut batu kosong dalam bahasa Melayu Ambon modern (semua secara harfiah dipoles sebagai “batu kosong”) atau bauw atau buhat di Kei (seperti yang dilaporkan pada akhir abad ke-19, Label Museum Leiden) atau baum (Banda Lama seperti yang dituturkan di Elat, Kei Besar). Namun, lebih persuasif daripada bukti linguistik apapun, adalah deskripsi Eropa awal tentang oven. Pigafetta (1906) menggambarkan sagu yang dipanggang dalam oven di Tidore (Collins dan Novotny 1991: 124), sedangkan Galvao (1971: 135) melaporkan penggunaan oven “yang memiliki beberapa “punggung” yang membaginya menjadi potongan-potongan”. Seandainya oven itu diperkenalkan oleh Portugis, kami menyarankan bahwa oven itu tidak akan dilaporkan sebagai rasa ingin tahu yang khas oleh Galvao, atau bahwa para pengamat awal ini akan melaporkan beberapa teknik lain (Latinis 2002: 186). Ada juga kemungkinan bahwa desain modern adalah perpaduan dari desain lokal dan kolonial. 

      Distribusi geografis beberapa oven “multi ruang” sangat menyiratkan bahwa ini secara keseluruhan merupakan solusi yang lebih lokal dan luar biasa untuk masalah khusus memasak sagu3. Distribusi juga menunjukkan bahwa kemungkinan difusi dari 1 pusat, hampir pasti di Maluku. Dari Galvao (1971: 134-135) kita tahu bahwa oven keramik untuk memasak sagu secara rutin digunakan pada tahun 1544. Sejak saat itu dan seterusnya kita memiliki lebih banyak atau lebih sedikit referensi berkelanjutan untuk teknologi ini dalam berbagai bahasa Eropa. Rumphius (seperti dikutip di atas), misalnya, menyebutkan Ouw sebagai pusat produksi utama, tetapi juga mencatat bahwa oven yang sedikit berbeda diproduksi di Seram, Kei, dan Aru. Untuk yang berbahasa Inggris, Forrest (1969: pelat 27; direproduksi di sini sebagai gambar 15) melaporkan oven gaya Seram Timur dari Papua, sedangkan Wallace menggambarkan dan mengilustrasikan oven dari Seram Timur pada tahun 1862 (1962: 291), mirip dengan gambar 7 di sini. Oven yang paling awal diketahui dalam koleksi-koleksi museum Eropa berasal dari sekitar periode ini, termasuk di Leiden : bentuk bulat bergaya Papua dari sebelum tahun 1888 (929-296), satu dari Kei periode 1891, dan bahkan spesimen dari Sulawesi Selatan masing-masing dari periode 1864 dan 1888; dan museum di Berlin yaitu tipe Amahai kecil dari tahun 1882 (lc 10854) dan tipe Ambon dari tahun 1888 (lc 22209). Semua tipe yang dicatat untuk periode modern, sejak tahun 1970, sederhana; meskipun beberapa spesimen museum awal dihiasi dengan desain yang menorehkan atau menampilkan bentuk yang lebih rumit, seperti pria dan wanita.

 

Diskusi

      Tidak ada cara tertentu untuk mengetahui di mana di kepulauan Maluku penggunaan oven keramik/tembikar berasal. Namun, tidak mungkin mengingat kemiripan yang dekat dari berbagai jenis dasar mereka diciptakan secara bersamaan di tempat yang berbeda, berbeda dengan prinsip-prinsip dasar ekstraksi pati sendiri (Ellen 2004b). Namun, tampaknya ada korelasi yang masuk akal antara perbedaan bahasa dan distribusi 2 jenis oven utama : tipe pesisir Ambon dan Seram Timur. Pada zona Pesisir Seram Timur (ESL) semua jenis sangat mirip satu sama lain sampai-sampai mereka semua menujukkan kedekatan sejarah4. Selain itu, ada kecocokan yang cukup baik antara ekspansi penutur ESL melalui perdagangan di sepanjang pesisir Papua selatan, dan penutur Tidore di sepanjang pantai utara Papua, menyarankan bahwa distribusi oven keramik serupa di Papua adalah hasil ekspansi budaya dan perdagangan dari pusat-pusat di Maluku ke arah timur selama era pra-modern (Ellen 2003). Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa kita mungkin menemukan bukti awal dari oven dalam konteks arkeologis di daerah ini begitu situs perdagangan dan pemukiman asli yang terkait dengan hal itu telah digali. 

      Stark dan Latinis (1992, 1996) telah menggunakan model yang pertama kali disarankan oleh Ellen (1979) untuk membantu menafsirkan sejarah ketergantungan sagu sehubungan dengan perdagangan rempah-rempah yang terus meningkat. Jika kita menggunakan model ini – Stark dan Latinus menyarankan bahwa dalam hal pekerjaan empiris mereka sendiri untuk saat ini berlanjut – maka kita tidak akan mengharapkan oven keramik pada fase pencarian awal makanan, itu tidak ada artinya sebelum ekspansi Austronesia, tetapi mungkin sekitar fase Dongson Drum, c. 2000-2500 BP. Meskipun kami sekarang memiliki cukup banyak data tembikar dari konteks arkeologis, meskipun sering bertingkat buruk, luar biasa bahwa tidak ada oven, mengingat pentingnya sagu dalam jangka panjang untuk periode awal ini. Kami menyarankan bahwa ini mungkin merupakan masalah pengambilan sampel dan cerminan dari sedikitnya perhatian arkeologis yang diberikan pada keramik Austronesia yang tidak tipikal. Sebagian besar peneliti terdahulu telah mencari dan menyoroti tembikar gaya Austronesia atau tembikar awal untuk mendukung model berdasarkan linguistik historis (misal Bellwood 1997). Selain itu, fragmen oven mungkin telah diklasifikasikan dengan cara lain, karena banyak pecahan kecil menyerupai peralatan yang lebih normatif dan diharapkan. Juga, jika bentuk bundar (seperti gambar 1) digunakan, rusak dan dibuang, bahkan arkeolog keramik yang sangat terampil akan cenderung menganggap kebanyakan pecahan berasal dari pot atau mangkuk. Latinis baru-baru ini memeriksa kembali koleksi sampel dari situs Hatusua dan menyimpulkan bahwa banyak pecahan yang tidak tentu kemungkinannya adalah potongan-potongan oven.

      Model tersebut memprediski – antara lain – bahwa intensifikasi perdagangan lokal sagu mengikuti dari peningkatan produksi cengkih dan pala, dan mungkin juga komoditas bernilai tinggi lainnya, sebagai pusat cengkih intensif (Ambon-Lease, Ternate-Tidore) dan pala (Banda), produksi diperlukan untuk mengimbangi ketidakmampuan mereka untuk menghasilkan pati yang cukup dalam bentuk apapun untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Kami mungkin juga mengusulkan korelasi antara penyebaran oven dan kompleks pertukaran rempah-rempah. Jadi, oven bergaya Ambon-Lease menyebar ke Seram Barat dan Buru, dan oven Seram Timur ke Kei dan Papua. Tradisi lisan kontemporer di Seram Timur berbicara tentang migrasi tembikar Ouw ke pusat-pusat produksi seperti Keligah, menyarankan kemungkinan tanggal yang lebih awal untuk produksi oven di Ambon-Lease dan difusi teknik ke arah timur. Agak berbeda, karena Banda secara historis kekurangan pohon-pohon sagu karena faktor geologi, prioritas penggunaan lahan alternatif, dan tekanan populasi, dan oleh karena itu merupakan pengimpor sagu, kami berharap oven relatif sedikit di sini karena sagu sering tiba sudah diproses ketika biskuit keras diproduksi menggunakan oven di tempat lain, atau sebagai tepung olahan fermentasi yang hanya cocok untuk membuat bubur.

      Sebagai kesimpulan, data yang sekarang tersedia dari Amatomu dan Hatusua, disamping bukti yang kuat, memungkinkan kita untuk mengkonfirmasi secara tegas keberadaan oven sagu dari konteks pra-Eropa, dan untuk menyarankan asal-usul protohistoric endogen daripada asal historis endogen. Hal ini kemungkinan diikuti oleh perluasan cepat dari teknik yang terkait dengan stimulus yang disediakan untuk sistem perdagangan lokal oleh perdagangan internasional yang semakin meningkat dalam soal cengkih, pala dan komoditas bernilai tinggi lainnya, bersama dengan perluasan pengaruh budaya dan ekonomi Ambon-Lease di Buru dan Seram, Seram Timur dan Banda di pesisir selatan Papua Nuigini, dan Ternate-Tidore ke arah timur ke Halmahera, dan di sepanjang pantai utara Papua Nuigini. Inovasi dari oven keramik untuk memasak sagu mungkin tidak secara signifikan mendahului periodo protohistoris akhir, tetapi tidak mencerminkan peningkatan pentingnya sagu dalam perdagangan lokal karena tumbuhnya rempah-rempah untuk ekspor meningkat. Dan perluasan perdagangan lokal bahkan mungkin telah merangsang pengembangan metode yang lebih efisien yang lebih cocok untuk produksi skala yang lebih besar.

                   

==== selesai ====
 

Catatan Kaki :

1.         Katalog Rijksmuseum voor Volkenkunde di Leiden umumnya menggambarkan benda-benda ini sebagai vorm, bakvorm, gebakvorm atau koekvorm (yaitu cetakan), dan hal ini berlaku pada sebagian besar deskripsi Belanda. Dalam deskripsi awal dalam bahasa Portugis, benda-benda tersebut disebut forna (‘ffornos’ dalam Galvao 1971: 134–5), yang berarti ‘oven’, dan ‘oven’ juga merupakan kata yang digunakan oleh Wallace (1962: 291). Ellen dan Glover (1974: 362) menggunakan istilah cetakan, seperti halnya Hopfner (1977), Spriggs dan Miller (1979) dan Latinis (2002). Secara fungsional, alat-alat tersebut berfungsi untuk memasak pati melalui penerapan panas langsung (yang merupakan oven) dan untuk memastikan bahwa produk memperoleh bentuk tertentu (membuatnya menjadi cetakan). Lebih tepatnya, cetakan ini mungkin lebih tepat digambarkan sebagai ‘cetakan oven’, meskipun untuk menyederhanakannya di sini kami menyebutnya oven.

2.        Singkatan lokasi spesimen museum adalah sebagai berikut: RMV – Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden, Belanda; MPJ – Museum Pusat Jakarta, Indonesia.

3.        Spriggs dan Miller (1979: 31) mengemukakan bahwa pembagian antara teknik bongkahan padat dan dinding bangunan mencerminkan dikotomi agama (ibid. hal. 31) antara Kristen dan Muslim, yang menunjukkan pengenalan oven sebagai jenis tembikar yang lebih baru. , teknik-teknik tersebut telah diwariskan dalam komunitas agama yang sama setelah perpecahan terjadi. Kami tidak dapat menemukan dukungan untuk hal ini dalam kumpulan data lengkap yang tersedia bagi kami.

4.        Meskipun kita mungkin ingin mengesampingkan oven keramik sebagai produk yang diperkenalkan di Eropa, bentuk-bentuk oven yang lebih baru, seperti dijelaskan di atas pada bagian distribusi etnografi, mungkin dipengaruhi oleh gaya kuliner Eropa dan metode penyiapan makanan, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan tepung terigu dan pembuatan kue. Cetakan kue yang sangat khas dari Maluku tengah telah disebutkan.

 

 

References

  • Ave´, Jan B. 1977. Sago in insular Southeast Asia: historical aspects and contemporary use. In
    K. Tan (ed.), Sago 76: the equatorial swamp as a natural resource. Papers of the First International Sago Symposium, Kuala Lumpur: Kemajuan Kanji, pp. 21–30.
  • Barker, G, H., Barton, Bird, M. et al. 2006. The ‘human revolution’ in lowland tropical Southeast Asia: the antiquity and behavior of anatomically modern humans at Niah cave (Sarawak, Borneo). Journal of Human Evolution 52 (3): 243–61.
  • Barton, Huw. 2005. The case for rainforest foragers: the starch record at Niah Cave, Sarawak. Asian Perspectives 44 (1): 56–72.
  • Bellwood, Peter. 1997. Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. Honolulu: University of
    Hawai’i Press. Rev. edn.
  • Collins, James T. and Novotny, Rachel. 1991. Etymology, entomology and nutrition: another word from Pigafetta. Cakalele 2 (2): 125–32.
  • Crosby, E 1976. Sago in Melanesia. Archaeology and Physical Anthropology in Oceania 11:
    138–55.
  • Ellen, Roy F. 1979. Sago subsistence and the trade in spices: a provisional model of ecological succession and imbalance in Moluccan history. In P. Burnham and R.F. Ellen (eds), Social and ecological systems. London: Academic Press, pp. 43–74.
  • Ellen, Roy F. 2003. On the edge of the Banda Zone: past and present in the social organization of a
    Moluccan trading network
    . Honolulu: University of Hawai’i Press.
  • Ellen, Roy. 2004a. Processing Metroxylon sagu Rottboel (Arecaceae) as a technological complex: a case study from south central Seram, Indonesia. Economic Botany 58 (4): 50–74.
  • Ellen, Roy F. 2004b. The distribution of Metroxylon sagu and the historical diffusion of a complex traditional technology. In P. Boomgaard and D. Henley (eds), Smallholders and stockbreeders: histories of foodcrop and livestock farming in Southeast Asia. Leiden: KITLV Press, pp. 69–105.
  • Ellen, Roy F. 2006. Local knowledge and management of sago palm (Metroxylon sagu Rottboell) diversity in south central Seram, Maluku, eastern Indonesia. Journal of Ethnobiology 26 (2): 83–123.
  • Ellen, Roy F. 2008. Distribution and variation in sago extraction equipment: convergent and
    secondary technologies in island southeast Asia
    . Archaeology in Oceania 43: 62–74.
  • Ellen, Roy F. and Glover, Ian C. 1974. Pottery manufacture and trade in the central Moluccas. Indonesia: The modern situation and the historical implications. Man 9: 353–79.
  • Ellen, Roy F. and Goward, Nicola J. 1984. Papeda dingin, papeda dingin. . . Notes on the culinary uses of palm sago in the central Moluccas. Petits Propos Culinaires 16: 28–34.
  • Forrest, Thomas. 1969. A voyage to New Guinea and the Moluccas, 1774-1776. Edited with an
    introduction by D.K. Bassett. Kuala Lumpur: Oxford University Press. First published 1779.
  • Galvao, Antonio. 1971. A treatise on the Moluccas c.1544, probably the preliminary version of the
    lost Historia das Moluccas.
    Edited, annotated and translated by H. Th. Th. M. Jacobs. Rome: Jesuit Historical Institute. First published 1544.
  • Groves, Murray. 1960. Motu pottery. Journal of the Polynesian Society 69: 3–22.
  • Hopfner, Gerd K. 1977. A collection of ancient sago implements of the Indonesian archipelago in the Museum of Ethnography, Berlin. In K. Tan (ed.), Sago 76: the equatorial swamp as a natural resource. Kuala Lumpur: Kemajuan Kanji, pp. 39–52.
  • Lape, Peter V. 2000. Contact and colonialism in the Banda Islands, Maluku, Indonesia. Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association 20: 48–55.
  • Lape, Peter V. 2002. Historic maps and archaeology as a means of understanding late precolonial settlement in the Banda Islands, Indonesia. Asian Perspectives 41 (1): 43–70.
  • Latinis, D. Kyle. 2002. Protohistoric archaeology and settlement in central Maluku, eastern
    Indonesia
    . PhD thesis, National University of Singapore.
  • Latinis, D. Kyle and Stark, Ken. 2003. Roasted dirt; assessing earthenware assemblages from sites in central Maluku, Indonesia. In J. Miksic (ed.), Earthenware in Southeast Asia. Singapore: National University of Singapore Press, pp. 103–35.
  • Pigafetta, Antonio. 1906. Magellan’s voyage around the world. The original text of the Ambrosian manuscript, with English translation, notes, bibliography, and index, ed. James A. Robertson. 3 vols. Cleveland OH: Arthur H. Clark Company.
  • Rhoads, James W. 1977. For want of a chopper: research on sago prehistory in New Guinea. In K. Tan (ed.), Sago 76: the equatorial swamp as a natural resource. Kuala Lumpur: Kemajuan Kanji, pp. 31–8.
  • Roder, Josef G. 1959. Felsbilder und Vorgeschichte des MacCluer-Golfes, West Neu-guinea Ergebnisse der Frobenius Expedition 1937–8 in die Molukken un nach Holla¨ndisch neu-Guinea 4. Darmstadt: Wittich.
  • Rumphius, Georgius E. 1741–1750. Herbarium Amboinense. 6 vols. Amsterdam: J. Burmannus.
  • Schmitt, K. 1947. Notes on recent archaeological sites in the Netherlands East Indies. American Anthropologist 49: 331–4.
  • Spriggs, Matthew. 1998. Research questions in Maluku archaeology. Cakalele: Maluku Research Journal 9 (2): 51–64.
  • Spriggs, Matthew and Miller, Daniel. 1979. Ambon-Lease: a study of contemporary pottery making and its archaeological relevance. In M. Millett (ed.), Pottery and the archaeologist. London: Institute of Archaeology, University of London, pp. 25–34.
  • Stark, Ken and Latinis, D. Kyle 1992. The archaeology of sago economies in central Maluku: an initial sketch. Cakalele: Maluku Research Journal 3: 69–86.
  • Stark, Ken and Latinis, D. Kyle 1996. The response of early Ambonese foragers to the Maluku spice trade: the archaeological evidence. Cakalele: Maluku Research Journal 7: 51–67.
  • Summerhayes, G.R., Leavesley, M.A., Fairbairn, H., Mandui, J., Field, A., Ford, R. And Fullagar. 2010. Human adaptation and plant use in highland New Guinea 49,000 to 44,000 years ago. Science 330 (6000): 78–81.
  • Wallace, Alfred R. 1962. The Malay archipelago. New York: Dover Publications. First published 1869.
  • Yen, Douglas E. 1995. The development of Sahul agriculture with Australia as a bystander. Antiquity 69: 831–847.

2 komentar:

  1. Menarik. Dankje su share pengetahuan ini !

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih atas apresiasinya, semoga bisa selalu mengikuti artikel-artikel di blog kami... sekali lagi terima kasih...

      Hapus