Minggu, 03 Desember 2023

Laporan Singkat tentang Gempa Bumi dan Tsunami di Seram, Tanggal 30 September 1899

[Dr. R.D.M. Verbeek]


  1. Kata Pengantar

“Bahaya Seram” adalah konsepsi masyarakat pulau Seram, Maluku, terhadap peristiwa diakhir abad ke-19 yang tidak terlupakan oleh mereka. Pada tanggal 30 September 1899 atau 124 tahun lalu, terjadi gempa bumi besar disertai gelombang air laut atau tsunami di Teluk Elpaputih, pesisir selatan pulau Seram yang menelan ribuan korban meninggal dan luka-luka. Peristiwa yang mengerikan itu menjadi kenangan yang tidak terlupakan hingga kini, dan istilah bahaya seram adalah untuk mengenang peristiwa menyedihkan tersebut. 

Artikel yang diterjemahkan ini berjudul Kort verslag over de aard-en zeebeving op Ceram, den 30sten 1899 merupakan “laporan resmi” dari Dr. R.D.M. Verbeeka, seorang kepala insinyur (hoofdingineur) pertambangan Hindia Belanda, yang juga kepala Eksplorasi Geologi dan Pertambangan Ambon dan Kepulauan bagian Timur. Ia menulis laporan resmi ini dalam bentuk brosur atau cetakan pendek dan dipublikasikan oleh Batavia Landsdrukkerij pada tahun 1900. Brosur atau cetakan pendek ini hanya berjumlah 11 halaman yang dilampiri oleh 1 buah peta. Laporan ini dibuat di Buitenzorg atau Bogor di masa kini, pada tanggal 6 Februari 1900. Versi ini juga dimuat atau diterbitkan di jurnal Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlansch-Indie, volume 60, halaman 200 – 228, tahun 1901.

Pada laporan ini, Verbeek menyampaikan data dengan lumayan rinci, terkhusus kondisi wilayah-wilayah yang merupakan pusat gempa dan yang mengalami dampak dari gempa bumi tersebut. Ia menjelaskan kondisi di wilayah Wahai, Taniwel, Kawa, Teluk Piru, Pulau Boano, Teluk Elpaputih, Amahai, Teluk Telutih, pantai timur dan timur laut Seram, jazirah Hatawano di pulau Saparua, Banda, Ambon serta beberapa tempat lain, misalnya wilayah Maluku Utara dan Utara Sulawesi. Laporan ini juga menampilkan tabel jumlah korban di masing-masing negeri/desa akibat gempa bumi dan tsunami itu.

Seperti yang disebutkan sebelumnya cetakan pendek ini terdiri dari 11 halaman, dengan 2 catatan kaki, 1 buah peta serta 1 buah tabel. Kami hanya menambahkan beberapa catatan tambahan dan foto/gambar saja. Akhir kata, semoga ini bisa bermanfaat buat kita, bahwa penderitaan dan kebahagian selalu sering beriringan dalam proses pembentukan sejarah hidup manusia.


  1. Terjemahan

Dini hari tanggal 30 September tahun lalu (1899), warga [pulau] Seram dikejutkan oleh gempa bumi yang terutama terjadi di Teluk Elpapoetih. Guncangan ini terjadi sekitar jam 01.40 pagi dini hari; waktunya sedikit berbeda di titik-titik pengamatan, bukan hanya karena titik-titik terpencil menerima guncangan lebih lambat dibandingkan titik-titik dekat pusat guncangan, namun terutama karena beberapa penunjuk waktu yang ada di Maluku seringkali mengalami guncangan berbeda secara signifikan dalam waktu. Berdasarkan laporan Observatorium Magnetik dan Meteorologi Batavia (Magnetisch en Meteorologisch Observatorium)b, dampaknya terjadi pada jam 01.42,2 menit waktu setempat/lokal (waktu di Amahei)c.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa bumi itu sendiri tidak akan terlalu besar dan hanya sedikit korban jiwa, jika guncangan tersebut tidak diikuti oleh pergerakan air laut (atau tsunami) yang membanjiri pesisir pantai di beberapa titik dan menghancurkan kampung-kampung yang berada di dataran rendah. 

Gambar 1

Saya dapat melakukan penyelidikan singkat terhadap pergerakan tanah dan air laut ini, dan selama itulah saya menemukan hal-hal berikut.

Perlu disebutkan sebelumnya bahwa hanya sedikit titik di [pulau] Seram yang dihuni oleh orang Eropa, sehingga jumlah data yang dapat diandalkan mengenai gempa ini sangat sedikit. Hal ini langsung terlihat ketika menentukan di mana pusat gempa berada/terjadi, dimana hanya 2 pengamatan yang dapat digunakan dan ini juga masih jauh dari akurat. Di Ambon, gaya dorongnya dari Utara ke Barat Daya; di Wahai (pantai utara pulau Seram) gaya dorongnya ±  2420 (± W.Z.W hingga O.N.O, atau Barat Daya hingga ke Timur Laut, namun indikasi di sini bervariasi dari 2500 hingga 2600. Jika arah ini diplot pada peta laut (lihat gambar 1), kedua garis ini berpotongan di pegunungan sebelah barat Teluk Elpapoetih; dan faktanya, pegunungan di sini menunjukkan banyak titik-titik putih dan kuning, endapan bongkahan batu yang baru dan segar; selain itu menurut penduduk pribumi, kampung Mani di pedalaman (ada kampung Mani kedua di pesisir) pasti mengalami kerusakan parah, dan kerusakan paling parah terjadi di pesisir Teluk Elpapoetih. Jadi di suatu tempat di sini terletak titiknya, atau lebih tepatnya adalah wilayahnya, darimana guncangan itu terjadi; namun karena kurangnya data yang lebih banyak, maka titik ini tidak dapat ditentukan dengan lebih akurat, terutama karena daerah pedalaman Seram Barat tidak dapat diselidiki labih lanjut karena sikap penduduknya yang kurang baik.

Dari wilayah tersebut, guncangan telah bergerak ke segala arah, paling kuat ke arah barat dan timur, kemungkinan besar di sepanjang retakan atau retakan lama pada kerak bumi, yang sudah dapat diketahui/dikenali dengan jelas dari topografi pulau Seram; untuk bagian A dan khususnya B (gambar 1) seolah-olah membentuk 2 pulau pegunungan yang terpisah, dihubungkan oleh dataran yang jauh lebih rendah ke kumpulan utama [pulau] Seram. Bagian A dan B memisahkan teluk Piroe (Piru), teluk Elpapoetih dan teluk Toeloeti (Telutih); di daerah rendah tersebut terdapat anak-anak sungai Rioepa dekat Kairatoe (Kairatu) dan Tala dekat Sanahoe (Sanahu), selanjutnya sungai Makariki, Ruwata sendiri, sungai Hatoe dan lain-lain. Di sebelah timur teluk Telutih, celah atau garis penolakan tersebut bertepatan dengan pantai selatan Seram.

Tempat-tempat yang paling terkena dampak – Hatoesoea di teluk Piroe, Paulohi dan Makariki di teluk Elpapoetih, Tehoro (Tehoru), Woloe (Wolu) dan Laimoe (Laimu) di teluk Toeloeti – semuanya berada di atau dekat retakan tersebut.

Akibat tumbukan tersebut, di beberapa titik sebagian pantai yang terdiri dari material lepas – sebagian besar tanah liat, pasir dan bongkahan batu, aluvium dan endapan kuarter dari sungai – tenggelam ke laut sehingga menimbulkan gelombang akibat perpindahan air secara tiba-tiba (tsunami), yang menghantam pantai yang tingginya mencapai 2 hingga 6 bahkan 9 meter, menyebabkan banyak kampung terendam banjir.  

Seperti yang akan kita lihat selanjutnya, gelombang muncul secara lokal dan hanya sebagian pantai yang hilang. Pada wilayah lain, yang dampaknya terasa tetapi tidak ada bagian pantai yang tenggelam, tidak ada gelombang yang terbentuk, dan titik-titik tersebut hanya terendam banjir jika posisinya dalam kaitannya dengan gelombang yang datang dari tempat lain memungkinkan hal tersebut. 

Tabel Korban Gempa Bumi dan Tsunami

Berikut pengamatan saya mengenai pengaruh guncangan dan gelombang laut.

Wahai.

Dampak terasa pada ± jam 01.45 menit arah sekitar 2420, meskipun indikasi berkisar antara 2300 hingga 2600. Tidak ada ombak, hanya sedikit pergerakan air laut yang terlihat. Tidak ada kerusakan.

 

Taniwil (Taniwel) dan sekitarnya.

Di pantai utara Seram, tidak jauh dari titik barat laut, namun sedikit lebih jauh ke timur dari yang ditunjukkan peta laut, terdapat 8 kampung/negeri yang bersebelahan/berdekatan, membentuk dari barat ke timur; [yaitu] Lisabata, Boeriah (Buria), Lakaila, Taniwil (Taniwel), Roemah élé (atau Rumahelu atau Rumahelend), Hatoeang, Lasahata dan Latoerake (negeri/kampung yang barue) semuanya sedikit banyak menderita akibat gempa, sehingga beberapa rumah penduduk pribumi di Lisabata menjadi roboh. Di Taniwil, sebagian pantai aluvial selebar ± 50 m tenggelam ke laut akibat guncangan sehingga menimbulkan gelombang [tsunami] setinggi 4,6 m hingga 78 m1 dari bibir pantai, menyeret perahu besar yang berada di tepi pantai menuju ke tengah laut, dan 2 gelombang lainnya memecahkan/menghancurkan perahu lainnya hingga berkeping-keping. Rumah-rumah di Taniwil tidak terkena dampak gelombang ini, karena semuanya berada di ketinggian lebih dari 4,5 m di atas permukaan laut. Saat tanah tenggelam, 2 orang (1 laki-laki dan 1 perempuan) warga kampung Lisabata yang bekerja di sini kehilangan nyawa. Di 7 kampung/desa lainnya dan di wilayah pesisir antara di sini dan Wahai, tidak ada korban jiwa.

Gambar 2

Kawa.

Di pegunungan antara Lisabata dan titik barat laut [pulau] Seram, kita dapat melihat titik-titik putih dan kuning-putih di mana-mana, endapan baru di pegunungan kapur, yang terbentuk selama guncangan pada tanggal 30 September itu. Namun, desa-desa di pesisir pantai ini tidak mengalami kerusakan. Sedikit lebih jauh lagi, di sisi barat Seram, terdapat kampung/desa Kawa. Di sini, sebagian tanah aluvial tenggelam 0,50 m, sedangkkan sebagian lagi tenggelam ke laut seluruhnya. Gelombang kecil pun terbentuk, menghantam daratan hingga sejauh 46 m dari pantai dan mencapai ketinggian hanya 1,70 m sehingga tidak menimbulkan kerusakan. Namun ketika bagian yang lebarnya kurang lebih 60 m dan panjang lebih dari 100 m itu runtuh, 8  warga pulau Boano yang sempat menetap sementara di sini pun tenggelam, dan orang ke-9 dikembalikan ke Boano dan meninggal di sana karena luka yang dialaminya. Tidak seorang pun warga Kawa yang meninggal. Guncangan tersebut menyebabkan 6 rumah warga roboh, dan beberapa diantaranya roboh antara lain akibat amblasnya tanah beberapa meter seperti tersebut di atas. Pada gambar 2, perubahan tersebut ditampilkan. Meskipun arah gaya dorong di sini, menurut laporan dari para pemimpin warga, adalah “dari dalam tanah”, rumah-rumah tersebut miring kira-kira sejajar dengan pantai, yang tampaknya menunjukkan gaya dorong dari arah 2300; namun, hal ini mungkin juga disebabkan oleh amblasnya tanah di sebelah barat daya dari kampung ini.

 

Pulau Boano.

Di sisi timur pulau pulau ini terdapat negeri besar, yaitu Boano yang terdiri dari Boano Kristen dan Boano Islam. Bahwa guncangan yang masih cukup kuat di sini sudah terlihat dari keruntuhan baru, jauh di pegunungan kapur di belakang Boano. Di negeri Boano Kristen terdapat 6 rumah roboh, dan sebagian besar lainnya hancur. Monumen batu di pekuburan tidak rusak, jadi guncangannya tidak terlalu keras. Gereja sama sekali tidak dapat digunakan, begitu pula yang disebut rumah kompani, tiang-tiang rumah tersebut terlempar ke luar dari tembok dengan arah 1330. Karena semua lampu dan dinding gereja rusak, arah tumbukan tidak dapat ditentukan secara akurat dimanapun dengan benda yang digantung bebas. Di negeri Boano Islam, hanya fondasi batu mesjid yang tersisa, bangunan bagian atasnya hancur total; 2 rumah batu roboh, temboknya menghadap ke arah 1330 atau 3130, dan seorang gadis (anak-anak) meninggal dunia. Guncangan itu datang “dari laut”; pengamatan terhadap rumah-rumah batu (1550) tentu saja mungkin relatif tidak tepat, karena biasanya jatuh tegak lurus terhadap arahnya dan tidak tegak lurus terhadap benturan; pusat yang ditunjukkan pada peta menunjukkan kemungkinan arah 1120

Teluk Piroe. Hatoesoea

Sisi barat Teluk Piroe tidak terkena dampaknya, dan di sisi timur teluk itu,yang menakjubkan, hanya negeri Hatoesoea, markas pos Kairatoef, yang hancur. Negeri ini hancur total akibat gelombang yang tingginya hanya mencapai 1 m di atas air pasang (± 2,40 m di atas air surut) dan menyapu ke daratan sejauh 203 m. Karena semua rumah di sini terletak di dataran rendah, tidak ada satu rumahpun yang tersisa. Gelombang yang terjadi di sini tentunya juga disebabkan oleh cekungan pantai, namun tidak terlihat jelas pada pantai yang landai; saya juga tidak dapat memperoleh informasi apapun, karena saya mendapati negeri tersebut benar-benar tidak ada orang. Pemimpin Pos Kairatu (Posthouder) yang bernama Mooresg dan istrinya telah melakukan perjalanan pada malam tanggal 29 September dan bersyukur mereka bisa selamat. Gelombang kecil, yang pasti terbentuk di dekat negeri Hatoesoea, tidak menyebabkan kerusakan apapun di  utara negeri Waisamoe dan selatan di negeri Kairatoe, karena tempat-tempat tersebut terlindung dari gelombang yang datang dari Hatoesoea dengan tanjungnya yang kecil.

 

Teluk Elpapoetih. Paulohi dan Samasoeroe. Amahei, dan sebagainya.

Gempa bumi cukup kuat di sini dan segera diikuti di Paulohi (di pantai barat teluk) dan di Amahei antara 3 sampai 10 menit setelah guncangan, gelombang yang membanjiri seluruh pantai Teluk Elpapoetih; hanya beberapa bagian, yang terlindung oleh tanjung yang menonjol, tidak terlalu menerima dampaknya.

Gambar 3

Gelombang terjadi lagi di sini dengan meluncur secara tiba ke laut di sebagian pantai Paulohi, yang di tengahnya lebarnya ± 100 m dan panjangnya 260 m (lihat gambar 3). Di bagian yang hilang itu terdapat gereja  dan bagian dari 2 kampung yaitu Paulohi dan Samasoeroe, yang bersama-sama membentuk Elpapoetih lama.  Gelombang susulan membanjiri seluruh negeri, sehingga tinggi gelombang diperkirakan lebih dari 9 m. Gelombang menyapu sejauh 169 m dari pantai dan menyeret semuanya; hanya tersisa 2 rumah dan lebih dari berjumlah 1.700 jiwa di kedua negeri tersebut, hanya 60 laki-laki dan sekitar 40 perempuan dan anak-anak yang masih hidup.

Banyaknya keruntuhan baru yang ditunjukkan oleh gunung-gunung di kawasan tersebut menunjukkan bahwa pusat guncangan terletak di sekitarnya, hal ini juga dibuktikan dengan arah gempa di Ambon dan Wahai. Pesisir di Paulohi, yang dulunya landai ke arah laut, kini berakhir di sana dengan tembok terjal setinggi 8,8 m. Penampang melintang yang baru terbentuk ini menunjukkan bahwa dataran yang tenggelam seluruhnya terdiri dari material lepas, pasir dan kerikil mika, dengan beberapa potongan lingkaran gabbro, aluvium atau kuarter dari sungai besar yang mengalir di selatan negeri itu.

Dari Paulohi gelombang menyebar ke segala arah, membanjiri pesisir teluk Elpapoetih. Hampir di seluruh negeri terdapat banyak orang yang tenggelam, di Amahei saja terdapat 348 orang yang tenggelam. Pemimpin pos di Amahei yang bernama Van Genth terbawa gelombang dan terseret ke dalam rumah penduduk pribumi, yang runtuh menimpanya, untungnya dia selamat tanpa luka-luka. Gelombang yang memasuki teluk Amahei dari utara, membanjiri negeri hingga ketinggian 6,4 m (lihat gambar 4), rumah-rumah yang letaknya lebih tinggi tetap berdiri. Yang lebih rendah semuanya telah runtuh dan hancur, kecuali gereja batu, yang dalam hal ini tetap berdiri disebabkan oleh konstruksinya yang lebih kokoh. Namun selain itu, gelombang yang datang dari Paulohi juga menyapu pantai sisi selatan tanjung di Amahei (gambar 4) dan sempat menggenangi punggung bukit di titik Gi yang berada 8,3 m di atas permukaan laut, meninggalkan sejumlah potongan batu kapur koral dan batang pohon. Karena daerah ini tidak berpenghuni, gelombang selatan dan tidak menimbulkan kerusakan; namun, jika tinggi laut hanya 2 m, gelombang selatan dan utara akan menyatu dan dipastikan tidak ada yang selamat di Amahei. 

Gambar 4

Bentengj tersebut terendam banjir dan sebagian roboh, namun para laki-laki dan komandan benteng berhasil menyelematkan diri dengan naik ke atas meja makan; air tetap berada 0,70 m di bawah lantai itu.

Mengingat letak Amahei yang sangat tidak menguntungkan dan terekspos gelombang gempa, seperti yang telah saya jelaskan di halaman 35 dari “Laporan Singkat tentang Gempa Ambon tanggal 6 Januari 1898”k maka patut mendapat pertimbangan serius agar pos Amahei secara menyeluruh ditarik (ditutup).

Jumlah korban meninggal di pesisir Teluk Elpapoetih tercatat 2.460 jiwa, sedangkan korban luka-luka sekitar 560 jiwa dari Hatoesoea dan Teluk Elpapoetih dilarikan ke Saparua dan Ambon untuk mendapatkan perawatan.

Gelombang Paulohi tidak hanya mencapai titik barat daya teluk, - menyebabkan kerusakan pada negeri Oewalohil dan Toemalehoe, dan pada tingkat lebih rendah di Latoe - , namun juga telah menyebar melampaui teluk itu, sehingga ke negeri berdataran rendah seperti Itawaka, Nolloth dan Ihamahoe di pesisir utara pulau Saparua sebagian terendam banjir, namun tidak terlalu berat dampaknya. Tidak ada orang yang meninggal di wilayah ini; namun sekitar 200 penduduk pulau Saparua tenggelam di pantai selatan Seram, saat mereka menebang kayu dan pohon sagu (memukul sagu atau pukol sagu). Bahkan di Banda Neira, yang 187 km jauhnya, permukaan air laut naik hingga ketinggian 1 m, kemungkinan besar disebabkan oleh Teluk Paulohi.

 

Teluk Toeloeti (juga disebut Teluk Haya)

Di sini negeri Haya tidak mengalami apa-apa, sedangkan negeri Tehoro (Tehoru) terendam banjir seluruhnya, Woloe dan Laimoe sebagian, yang jelas menunjukkan adanya gelombang di suatu tempat tercipta di dalam teluk, bukan di luar, karena kalau tidak, Haya juga akan kebanjiran. Hoenoesi (Hunisi) dan khususnya Laha tidak terlalu menderita dampaknya karena tempat-tempat ini terlindung oleh tanjung Laimoe yang menjorok.

Jumlah korban meninggal di negeri Teluk Teluti menurut laporan resmi kurang lebih 1.500 orang. 

Gambar 5

Di Laimoe, gempanya sendiri tidak parah, disusul “setelah sekitar 10 menit” gelombang laut yang terjadi di bagian barat dari kampung hingga 9 m dan di bagian timur menjulang setinggi 7 m dan menyapu hingga 269 m dari bibir pantai. Sekitar 260 orang meninggal dunia. Arah gelombang menunjukkan datangnya dari barat. Karena saya harus berbicara dengan Resident Ambonm yang sementara berada di Amahei mengenai urusan resmi, maka kunjungan saya ke Teluk Telutih terpaksa di persingkat dan, sayangnya, saya tidak dapat mengunjungi sendiri untuk menyelediki negeri-negeri yang terletak di sebelah barat Laimoe, ke tempat-tempat yang sebagian pantainya telah hilang; saya sudah berasumsi bahwa ini pasti dekat Tehoru atau sekitarnya2. Residen kemudian berbaik hati untuk menyelidiki hal ini atas permintaan saya. Saya kemudian menerima gambar sketsa (gambar 5) yang terlampir dari kepala pejabat tersebutn, yang menunjukkan bahwa sebagian pantai dekat Tehoru, beserta negerinya, sebenarnya telah tenggelam; saya juga mendapat informasi bahwa ini adalah satu-satunya titik di Teluk Telutih yang pantainya mengalami perubahan.

 

Pantai selatan Seram

Negeri-negeri di sebelah timur Teluk Telutih hampir tidak mengalami kerusakan. Hanya Afang, di Kilmoeri, yang sedikit banyak mendapat dampaknya.

 

Pantai Timur dan Timur Laut  Seram

Gempa yang dirasakan di Waroe (Waru) dan seluruh pesisir timur dan timur laut tidak terkena dampak gelombang.

 

Banda.

Guncangan jelas terasa di sini. Sekitar setengah jam setelah guncangan, air mulai naik dan mencapai ketinggian tertinggi pada ketinggian 2.45 m, ± 1 meter di atas air pasang.

 

Ambon.

Guncangan terjadi pada jam 01.45 arah north east – south west. Air laut di teluk bergerak sedikit, tanpa membanjiri daratan.

 

Tempat lain.

Guncangan dirasakan di Kepulauan Kei, Kepulauan Soela, Banggai, Batjan, Ternate, Halmahera (lemah), Gorontalo dan Menado. Data pulau-pulau selatan (Wetar, Leti, dll) belum saya ketahui. Patut dicatat bahwa daya dorong di Ternate dan Halmahera sangat lemah, namun di Gorontalo yang jauh lebih jauh daya dorongnya cukup kuat, sehingga di wilayah Gorontalo, daya dorongnya cukup kuat. Dinding ruang bangunan Asisten Resident mengalami retak.

 Ditambah lagi 12 orang meninggal di pantai barat dan utara Seram, maka total sebanyak 3.864 orang.

Hasil.

  1. Gempa bumi Seram tanggal 30 September 1899 tidak ada hubungannya dengan gempa Ambon tanggal 6 Januari 1898. Gempa bumi pertama terjadi di sepanjang salah satu celah konsentris yang mengelilingi Laut Banda, sedangkan gempa Ambon terjadi di sepanjang retakan radial. Gempa Seram juga termasuk gempa tektonik.
  2. Akibat gempa, sebagian pantai menjadi lepas dan tenggelam ke laut. Pergerakan air yang tiba-tiba tersebut menimbulkan gelombang yang membanjiri wilayah pantai dengan ketinggian yang bervariasi (1,7 hingga 9 meter). Ada kemungkinan dan bahkan mungkin saja guncangan dasar laut memperparah gempa bumi; namun, penyebab utama terjadinya gelombang di sini tidak diragukan lagi adalah tenggelamnya material dalam jumlah besar secara tiba-tiba ke laut. Hanya ini yang dapat menjelaskan terjadinya gelombang lokal.
  3. Guncangan tergolong cukup berat. Tanpa kerusakan lebih lanjut akibat gelombang laut, jumlah korban tidak akan banyak. Guncangan tersebut kemungkinan besar dirasakan di seluruh wilayah Maluku, bahkan sampai ke Pulau Sulawesi (Banggai, Gorontalo, Menado).
  4. Jumlah korban tidak diketahui secara pasti, karena sensus terhadap kota-kota pesisir yang hancur belum dilakukan; Oleh karena itu, pernyataan para pemimpin negeri/desa tidak sepenuhnya benar. Jumlah terakhir yaitu  3.864 orang yang meninggal mungkin terlalu besar dan bukannya terlalu kecil, namun jumlah yang lebih akurat tidak dapat menggantikan jumlah tersebut. Keterangan jumlah korban tewas dan luka-luka berikut ini diambil dari Javasche Courant tanggal 17 November 1899 No. 92, hal.1084.

 

Buitenzorg (Bogor), 6 Februari 1900

===== selesai =====

 

Catatan kaki

  1. Pernyataan ini dan semua pernyataan lainnya tentang jarak dan ketinggian gelombang laut telah ditentukan dengan pengukuran yang akurat
  2. Lihat Javasche Courant (Koran Jawa) tertanggal 24 November 1899 no 94 halaman 1107

Catatan Tambahan

  1. R.D.M. Verbeek memiliki nama lengkap Rogier Diederik Marius Verbeek, lahir pada 7 April 1845 di Doorn, dan meninggal dunia di s’Gravenhage pada 9 April 1926. Ia putra dari Reinier Paulus Verbeek dan Maria Jacoba Johanna van Slijpe. Ia menikah dengan Helene Fritsche di Freiburg pada 3 September 1867. R.D.M. Verbeek adalah seorang geolog dan menjadi pimpinan/kepala Geologische en mijnbouwkundige verkening van Ambon en het Oostelijk gedeelte van den Archipel (semacam BMKG di masa kini) tahun 1899 – 1900

§  Easton, Wing, N., Ter Gedactenis van Dr. R.D.M. Verbeek (1845-1926), Druk De Bussy

§  Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1899, Tweede Gedeelte : Kalender en Personalia, Landsdrukkerij, Batavia, 1899, hal 432

§  Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1900, Tweede Gedeelte : Kalender en Personalia, Landsdrukkerij, Batavia, 1900, hal 436

§  Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1901, Tweede Gedeelte : Kalender en Personalia, Landsdrukkerij, Batavia, 1901, hal 441

  1. Direktur atau Pimpinan lembaga Observatorium Magnetik dan Meteorologi Batavia pada masa ini adalah Dr J.P. van der Stok

§  Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1899, Tweede Gedeelte : Kalender en Personalia, Landsdrukkerij, Batavia, 1899, hal 622

§  Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1900, Tweede Gedeelte : Kalender en Personalia, Landsdrukkerij, Batavia, 1900, hal 630

§  Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1901, Tweede Gedeelte : Kalender en Personalia, Landsdrukkerij, Batavia, 1901, hal 773

  1. Disebut waktu lokal/setempat atau waktu Amahei setempat, adalah merujuk pada Amahei sebagai ibukota adfeeling Amahei yang wilayah administratifnya meliputi Teluk Elpaputih yang merupakan lokasi episentrum gempa
  2. Roema ele atau Rumahelu/Rumahelen adalah negeri di pantai utara Seram Barat diantara negeri Taniwel dan Lasahata
  3. Latoerake atau Laturake adalah negeri di pantai utara Seram Barat diantara negeri Buria dan Latusaline
  4. Markas Pos Kairatu maksudnya adalah wilayah administratif afdeeling Kairatu yang ibukotanya di Hatusua atau Hatoesoea
  5. Posthouder atau pemimpin pos afdeeling Kairatu pada masa ini bernama Louis Charles Alexander Moores, lahir di Ambon pada 25 November 1866 dan meninggal dunia di Ambon pada 24 Januari 1926. Ia putra dari Dirk Frederik Moores dan Charlotta Anneta Winter. Ia menikah dengan Sophia Anna Catharina Berkman di Ambon pada 30 Desember 1886. Moores bertugas sejak 23 September 1896 – 15 Mei 1902. Ia kemudian digantikan oleh M. Sulilatu sejak 15 Mei 1902 – 2 Juni 1906.
  6. Posthouder afdeeling Amahei adalah Librecht Antonie van Gent, lahir di Saparua pada 12 Mei 1846 dan meninggal sekitar tahun 1912. Ia adalah putra dari Johanes Lucas van Gent dan Anna Regina Pietersz. Ia menikah dengan Farsis Pical. Ia bertugas di Amahei sejak 6 Maret 1882 – 17 Desember 1902.
  7. Punggung bukit titik G yang dimaksud mungkin adalah bukit Kerai atau Karai di negeri Amahei
  8. Kami belum memahami dengan jelas maksud dari kata benteng pada kalimat ini, namun mungkin kata benteng merujuk pada pos militer afdeeling Amahei yang berlokasi di tanjung Kuako. Pada masa VOC di wilayah ini dibangun sebuah benteng bernama Hardewijk.
  9. Kort Verslag over de Aardbevinge te Ambon of 6 Januari 1898, Landsdrukkerij, Batavia, 1898
  10. Negeri Hualoi/Hualoy
  11. Resident van Ambon pada masa ini adalah Johanes van Oldenborgh yang menjabat pada 1896 – 1900.
  12.  Pejabat yang dimaksud mungkin adalah Waterstaatambstenaar di Ambon yaitu Rudolph Azing Boer yang menjabat pada 1898 - 1903

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar