Rabu, 25 Maret 2020

Demografi Ambon pada abad ke-17 : Fakta-fakta menurut Proto-Sensus Kolonial (bag 2 - selesai)


Oleh
GERRIT KNAAP



Demografi Ambon dalam Perspektif Geografis Temporal yang lebih luas

            Proto-sensus VOC menunjukan peningkatan populasi rata-rata 1,0% dan kepadatan 20 – 25 orang per km2. Untuk masyarakat pra-industri, tanpa sarana modern untuk perawatan kesehatan, hasil seperti itu terlihat sangat menguntungkan. Untuk Asia Tenggara secara keseluruhan, Anthony Reid memperkirakan pertumbuhan selama abad ke-17 dan ke-18, sekitar 0,2% per tahun dan kepadatannya 5,7 per kilometer. Di banyak bagian Asia Tenggara, stagnasi atau paling-paling beberapa pertumbuhan yang tidak signifikan, tampaknya merupakan situasi normal. Pertumbuhan yang lebih cepat baru terwujud setelah pemerintahan kolonial menciptakan perdamaian internal. Sebagai contoh, pertumbuhan sekitar 1,0% atau lebih di Jawa baru dimulai setelah perdamaian abadi sekitar tahun 1755/175728. Bagi Jawa pada abad ke-19, Boomgaard menempatkan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 1,4%. Tampilan yang lebih baik di Jawa pada abad ke-19, diilustrasikan oleh perbandingan yang lebih tinggi, dari orang-orang yang belum mencapai pubertas yaitu 44% berbanding 33% di Ambon pada abad ke-17. Tentu saja, peningkatan kesehatan, misalnya vaksinasi terhadap cacar dan transportasi yang lebih baik, dapat menjelaskan perbedaan tersebut. Rasio jenis kelamin di Jawa adalah sekitar 95 laki-laki per 100 perempuan, sementara di Ambon adalah 105 per 10029.
            Namun, satu pertanyaan penting masih harus ditanyakan, yaitu tingkat pertumbuhan penduduk provinsi Amboina terbatas pada beberapa dekade berdasarkan pertimbangan atau apakah itu juga berlaku untuk periode lain di awal zaman modern di daerah tersebut? Untuk tujuan ini, kita harus melihat angka-angka di “sepanjang abad ke-17”, seperti yang ditunjukan pada tabel 4. Tahun-tahun yang dipilih dalam tabel 4 adalah tahun 1634, 1673, 1692 dan 1708. Data tahun kedua dan ketiga (1673 dan 1692) diambil dari tabel 1, sedangkan tahun keempat (1708) berasal dari Valentijn, yang pastinya memiliki ringkasan tentang zielsbeschrijving dari data zielsbeschrijving tahun 1708 yang hilang (arsipnya tidak ada)30. Data tahun 1634 adalah hasil analisis yang cermat dari beberapa perkiraan “pria berbadan sehat” dari sekitar periode itu. Rasio antara “pria berbadan sehat” dan sluruh populasi tampaknya sekitar 1 – 3,531. Tabel 4 hanya tentang penduduk pribumi Ambon. 


            Pertumbuhan demografis selama “abad ke-17 yang panjang” menunjukan penurunan diikuti oleh peningkatan pada kuartal terakhir abad ini. Menjelang pergantian dari abad ke-17 ke-18, stabilisasi tampaknya telah terjadi. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan? Penurunan luar biasa selama pertengahan abad ini, sekitar 1/3 dari seluruh populasi, terutama terjadi di daerah supra kepulauan Barat Ambon dan Seram Barat Daya. Pada tingkat regional, tampaknya ada beberapa daerah dimana penurunan melebihi tingkat 1/3 – nya : Hitu, Ambalau, Buru dan Buano. Terlebih lagi, dua lokasi misalnya Pulau Kelang dan Semenanjung Hoamoal di Seram bagian barat, benar-benar terisi penduduk. Pada tahun 1630an, populasi Pulau Kelang hampir 2000 jiwa yang kuat, sedangkan Hoamoal lebih dari 11.ooo. Daerah-daerah yang baru saja disebutkan adalah daerah-daerah dimana terdapat oposisi besar terhadap upaya VOC yang bertujuan untuk menciptakan hegemoni dalam rangka untuk mengontrol tingkat budidaya dan perdagangan cengkih. Perang yang terjadi, terutama Perang Hitu dari tahun 1641 – 1646 serta Perang Hoamoal dari tahun 1651 hingga 1656/1658, terbukti sangat kejam. Terlepada dari banyaknya korban akibat peperangan, angka populasi semakin berkurang karena dislokasi (perpindahan) yang biasanya seiring dengan konflik bersenjata, seperti kelaparan dan penyakit perpindahan ke wilayah yang lebih aman. Selain itu, setelah perang, VOC memaksa banyak negeri/desa untuk bermukim kembali di wilayah/daerah lain. Misalnya, penduduk Kelang harus pindah ke Manipa dan Leitimor, sementara yang selamat di perang Hoamoal, berpindah ke Manipa, Hitu, Leitimor dan


Demografi Ambon di abad ke-17.

            Untuk Asia Tenggara secara umum, Reid baru-baru ini menyatakan bahwa penurunan populasi pada pertengahan abad ke-17, tidak hanya disebabkan oleh efek perang, tetapi juga oleh proses pendinginan secara global. Di Asia Tenggara, perubahan iklim dunia ini, pertama-tama menimbulkan penurunan di masa penghujan dan kemudian di tahun-tahun kekeringan yang parah. Kondisi ini sangat parah dalam tahun 1664-1665, dimana sebagian besar wilayah Indonesia dilanda kekeringan dan epidemi33. Namun, wilayah Maluku Tengah nampaknya lolos dari krisis ini. Periode kekeringan ekstrim tercatat pada awal dekade, terutama pada tahun 1660 dan 1661, sedangkan epidemi malaria yang paling parah, telah melanda wilayah tersebut antara November 1656 dan pertengahan tahun 1658. Namun demikian, penulis sejarah Ambon, Georgius Everhardus Rumphius, mengungkapkan bahwa ia menyadari epidemi ini dengan perkembangan pada wilayah-wilayan lain di dunia, menunjukan bahwa krisis global benar-benar terjadi34. Pada sisi lain, haruslah ditekankan bahwa tahun 1656 telah menjadi periode dalam hal pemukiman kembali skala besar sebagian besar penduduk. Meninggalkan habitas asli mereka, mungkin membuat mereka yang terlibat dalam proses ini, sangat rentan terhadap penyakit35. Akibatnya, tampaknya sulit untuk menjelaskan hubungan langsung yang jelas antara pengaruh iklim dan perubahan populasi di Maluku Tengah.
            Mempertimbangkan penurunan dramatis pada pertengahan abad ke-17 serta peningkatan sekitar tahun 1670 dan seterusnya, harus dijelaskan sebagai fenomena “pertumbuhan pemulihan”. Setelah perang penaklukan, daerah itu mengalami masa damai yang panjang dibawah kontrol Belanda/VOC. Tingkat pertumbuhan dan stabilisasi populasi, terlihat pada sekitar tahun 1700, nampaknya terus berlanjut hingga abad ke-1936. Sekitar 30 tahun yang lalu, Frank Cooley mengatakan bahwa stabilitas ini ada hubungannya dengan apa yang disebut oleh “Bapak Ilmu Ekonomi” abad ke-18 yaitu Adam Smith sebagai “keseimbangan demografis alami”37. Rupanya, dengan mempertimbangkan “daya dukung” lingkungannya, penduduk Ambon cenderung stabil di sekitar standar tertentu, yang dalam konteks provinsi, secara keseluruhannya pasti sekitar 25 orang per km2. Namun ukuran total populasi pada abad ke-17 nampaknya jauh lebih rendah daripada tahun 1634, yaitu sekitar 60.000 berbanding sekitar 80.000.  Ada kemungkinan, bahwa alasan untuk perbedaan ini dapat ditemukan pada kebijakan VOC dalam soal pemukiman kembali. Untuk memfasilitasi kontrol politik dan militer, yang tetap selamat dari perang, khususnya mereka yang berada di Kepuluan Ambon bagian barat dan di Seram Barat Daya diperintahkan untuk memusatkan pemukiman mereka ke daerah yang jauh lebih kecil. Ini berarti pembatasan yang keras terhadap wilayah perekonomian dari negeri-negeri yang terlibat dan kemudian selanjutnya mengawasi potensi mereka dalam hal ekspansi demografis38.
Masih pada subjek hubungan antara kepadatan populasi dan sumber daya ekonomi, kita harus menyinggung peran budidaya cengkih dalam masyarat pribumi. Selama akhir abad ke-17, wilayah-wilayah supra dengan populasi penduduk terbesar, yaitu Ambon dan Lease, juga merupakan wilayah yang “dipaksakan” dalam hal produksi cengkih secara eksklusif. Ini menunjukan korelasi yang kuat antara demografi dan penanaman cengkih. Namun, pada tingkat regional muncul variasi yang membuat jadi kurang memungkinkan bahwa budidaya cengkih adalah faktor utama perkembangan demografis. Pulau Nusalaut, pada tahun 1692-1693 merupakan wilayah dengan kepadatan populasi terbesar, juga memiliki jumlah pohon cengkih per kapita terbesar yaitu 35. Di sisi lain, wilayah terpadat kedua dan ketiga, yaitu Pulau Saparua dan Jazirah Leitimor, hanya memiliki sedikit jumlah pohon per kapita, masing-masing 4 dan 6, jauh dibawah rata-rata umum yaitu 12, serta Hitu, daerah yang jauh lebih padat penduduknya, menduduki peringkat kedua dengan jumlah pohon cengkih per kapita yaitu 18.39
Perhitungan di atas menunjukan bahwa hubungan antara penanaman tanaman utama, yaitu cengkih dan demografi sangat rumit. Hal ini bahkan lebih jelas, jika kita melihat situasi di awal abad ke-17.  Pulau Nusalaut dan Saparua, dan sebagian kecil Leitimor, sudah memiliki kepadatan populasi yang tinggi sebelum budidaya cengkih di sana mengalami kenaikan secara substansial40. Tampaknya, cengkih bukan penyebab atas kepadatan populasi yang tinggi. Perekonomian “purba” pra-cengkih di Maluku Tengah digerakan oleh sekelompok entitas yang relatif otonom, yang dihubungkan bersama oleh jaringan perdagangan antar pulau, sudah mampu mendukung terciptanya konsentrasi populasi yang besar. Pulau-pulau yang lebih kecil dapat mengimpor sagu dari tetangga mereka yang lebih besar, dengan imbalan kerajinan tangan atau hal lainnya41. Tentu saja, pendapatan yang diperoleh dari cengkih, berwujud impor tekstil dan peralatan besi, sangat menyederhanakan pertukaran hubungan untuk daerah pengimpor sagu, tapi pentingnya demografis dalam budidaya cengkih tidak terlampau tinggi.



Penutup.

            Zielsbeschrijvinge yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial abad ke-17 di provinsi Ambon, khususnya di wilayah yang dikenal kini sebagai Maluku Tengah, merupakan sumber penting untuk studi populasi asli di Asia Tenggara selama periode awal moderen. Pentingnya provinsi Ambon pada kekaisaran VOC dan jaringan perdagangan memberikan otoritas insentif tambahan untuk melakukan upaya statistik ini.  Namun, baik wilayah maupun masyarakat itu sendiri juga memiliki ciri khas dan unik sendiri. Basis sumber daya ekonomi Maluku Tengah – sagu daripada beras, dengan rempah-rempah sebagai tanaman komersial – sangat berbeda dari daerah lain di Asia Tenggara. Hal yang sama berlaku juga untuk perkembangan politik Maluku Tengah, yang secara kritis terkait dengan proses intrusi Eropa yang intens. Kita bisa menyimpulkan bahwa wilayah tersebut memiliki dinamikanya sendiri, yang membuat sulit untuk membandingkan hasil akhir analasis ini dengan perkembangan di tempat lain.    
            Analisis untuk periode 1671 – 1695 telah menunjukan variasi regional yang signifikan didalamnya di provinsi Amboina. Pertumbuhan populasi berjumlah sekitar 1,0% per tahun, terutama diwujudkan melalui reproduksi alami. Laju pertumbuhan di tingkat regional sering dipengaruhi oleh fenomena sesekali seperti migrasi, bencana alam, penyakit epidemi dan kekacauan politik. Rata-rata umum sebesar 1,0%, bagaimanapun, tidak mewakili untuk wilayah tersebut, jika kita melihatnya dari perspektif periode waktu yang lebih lama. Peningkatan pesat pada periode 1671-1695 harus ditandai sebagai “pertumbuhan pemulihan”, yang terjadi setelah periode perang penaklukan oleh kolonial. Dengan demikian, provinsi Ambon cocok dengan pola umum untuk Asia Tenggara awal moderen, yang menunjukan stagnasi atau paling tidak tingkat pertumbuhan yang kecil. Masa damai yang panjang setelah penaklukan tidak membawa pemulihan seluruh ukuran populasi melebihi tingkat pada periode pra-kolonial. Salah satu penyebabnya mungkin karena kebijakan pemukiman kembali oleh kolonial yang memusatkan kelompok populasi tertentu di daerah yang lebih kecil. Konsentrasi seperti itu membatasi wilayah ekonomi kelompok yang bersangkutan.
            Seperti yang diperkirakan oleh peneliti manapun, pada pandangan pertama tampaknya ada hubungan yang jelas antara kepadatan populasi, yaitu 20 hingga 25 km2, dan penanaman cengkih. Daerah-daerah yang menanam cengkih menunjukan kepadatan yang jauh lebih tinggi daripada yang tidak. Namun, jika dilakukan observasi lebih mendalam, nampaknya hal-hal seperti itu tidak sesederhana itu. Sebenarnya, sudah jelas bahwa kepadatan populasi yang tinggi telah terjadi sebelum pengenalan budidaya cengkih. Ekonomi “purba” dari “unit-unit pencari nafkah” yang disatukan oleh mata rantai perdagangan antar pulau, dimana sagu dipertukarkan dengan barang-barang perdagangan lainnya, yang seringkali diproduksi secara lokal, tampaknya telah menjadi dasar yang cukup untuk kemunculan sejumlah besar populasi. Namun secara paradoks, pada tingkat regional konsentasi besar pohon sagu dan kepadatan populasi yang tinggi bukanlah salah satu kebetulan. Situasi ini mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa lahan berawa dimana sagu tumbuh adaah sumber utama penyakit. Akibatnya, kondisi terbaik untuk kepadatan populasi yang besar dapat ditemui di pulau-pulau kecil yang kekurangan sagu di lepas pantai pulau Buru dan Seram yang kelebihan sagu.

===== selesai =====
        
Catatan kaki

28.      A.J.S Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce. Vol. I: The Lands below the Winds (New Haven: Yale University Press, 1988), pp. 12-15.
29.      P. Boomgaard, Children of the Colonial State; Population Growth and Economic Development in Java, 1795 – 1880 (Amsterdam: Free University Press, 1989), pp. 171-72.
30.      Fr. Valentijn, Oud en Nieuw Oost-Indien, Vol. IIa: Beschrijving van Ambon (Dordrecht/Amsterdam: Van Braam & Onder de Linden, 1724), pp. 1-125.
31.        Knaap, Kruidnagelen, pp. 277-78.
32.       Ibid., pp. 22-27, 100-104.
33.       Reid, "Seventeenth Century Crisis", pp. 654-56.
34.      Rumphius, "Ambonsche Historie", part II, pp. 110, 135.
35.       Knaap, Kruidnagelen, pp. 101-102.
36.      Ibid., p. 295.
37.       F.L. Cooley, "Altar and Throne in Central Moluccan Societies; A Study of the Relationship between the
Institutions of Religion and the Institutions of Local Government in a Traditional Society undergoing Rapid Social Change" (Ph.D. thesis, Yale University, 1962), pp. 15-16.
38.      Knaap, Kruidnagelen, pp. 121-22.
39.      Ibid., p. 240.
40.      G.J. Knaap, "Some Observations on a Thriving Dancing Party: The Cultivation of and the Competition for Cloves in Sixteenth and Seventeenth Century Ambon", in Papers of the Fourth Indonesian-Dutch History Conference. Yogyakarta 24-29 July 1983. Vol. I: Agrarian History, ed. Sartono Kartodirdjo (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1986), pp. 78, 89; Knaap, Kruidnagelen, p. 257.
41.       R.F. Ellen, "Sago Subsistence and the Trade in Spices; A Provisional Model of Ecological Succession
and Imbalance inMoluccan History", in Social and Ecological Systems, ed. P.C. Burnham and R.F. Ellen
(London: Academic Press, 1979), pp. 52-53; Knaap, Kruidnagelen, pp. 212-13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar