Minggu, 29 Maret 2020

“Perdebatan” intelektual Chris.F van Fraasen dan Leonard.Y. Andaya (bag 2 - selesai)


Tanggapan Anthony 

                   Dalam volume 150, 2e Aflevering, 1994, BKIa menerbitkan ulasan buku ini (The World of Maluku) oleh Chris van Fraasen, yang juga menginformasikan bahwa sang pengulas (van Fraasen) dengan thesis antropologinya tahun 1987 tentang Ternate1, memenuhi syarat untuk menulis ulasan dengan otoritas.
Sayangnya, Jurnal ilmiah besar lainnya yang mengkhususkan diri dalam hal-hal tentang Indonesia, Indonesia dari Universitas Cornell, pada no 58 (Oktober 1994), menerbitkan juga secara efektif ulasan yang sama oleh pengulas yang sama – satu-satunya perbedaan besar adalah serangkain keluhan khusus yang berbeda di bagian tengah review (alinea keempat yang panjang pada BKI 150 : 424 – 425) -.
                   Dalam “bidang” yang “kecil” dengan pengulas ahli yang relatif sedikit, ulasan tunggal dapat memiliki efek yang tidak proporsional pada cara buku itu “diterima”. Sangat disayangkan, untuk persepsi yang sama tentang buku itu, menjadi satu-satunya yang tersedia untuk pembaca melalui 2 jurnal yang spesialis itu. Tinjauan yang dipermasalahkan itu luar biasa bermusuhan, tidak mengatakan apapun yang positif tentang buku itu, tetapi berkonsentrasi pada daftar divergensi dari fakta-fakta seperti yang dilihat van Fraasen, semuanya terhitung untuk mendiskreditkan The World of Maluku sebagai analisis serius sejarah Maluku. Leonard Andaya sendiri diberi ruang untuk menanggapi di jurnal Indonesia. Mungkin bermanfaat untuk memiliki pandangan ketiga tentang situasi itu di sini.
                   Aspek yang paling disesalkan dari ulasan van Fraasen adalah, bahwa ia berfokus pada dugaan kesalahan yang mendetail sedemikian rupa, sehingga menunjukan bahwa ini merupakan jantung analisis dari Andaya, sedangkan argumen penting dari buku ini tidak terlihat dari ulasan tersebut. Contoh kasus adalah “contoh” pertama dari van Fraasen :
         Asosiasi Andaya tentang 4 dunia seperti 4 titik kompas (hal 52-53) tidaklah didasarkan pada fakta-fakta empiris, tetapi tidak diragukan lagi itu berasal dari beberapa kerangka teori. Observasi hal itu di Maluku, bahwa angka 4 menandakan totalitas dan kesempurnaan dan tampaknya menjadi ciri orang-orang berbahasa Austronesia (hal 54) adalah tidak benar bagi banyak orang yang berbicara bahasa bukan bahasa Austronesia, sementara di manapun dalam bukunya, Andaya tidak menyebutkan arti penting angka 9 yang sama pentingnya juga bagi orang Maluku (BKI 150: 424).

Anthony Reid

         Terlepas dari apa yang akan diasumsikan oleh sebagian besar pembaca dalam membaca ini, van Fraasen tidak setuju dengan penekanan utama dalam buku Andaya, bahwa persatuan dunia Maluku dipertahankan oleh kompleksitasnya pluralisme dari 2 dunia dan terlebih khusus 4 dunia. Sebaliknya, pembagian 4 bagian/dunia (vierdeling) adalah tema yang bahkan lebih kuat dalam karya van Fraasen daripada Andaya. Apa yang saya yakini dari maksud van Fraasen (setelah berkonsultasi/membaca tesisnya) adalah bahwa masyarakat Maluku sangat kompleks, dengan dualisme/dualitas dimana-mana, 4 divisi terutama di Maluku Utara, seperti bagian lain Indonesia 9 divisi dan 5 divisi di seluruh Maluku Tengah (Ulisiwa dan Ulilima yang terkenal), 4 divisi dan 7 divisi di tempat-tempat lain. Kritik pada Andaya, tampaknya adalah bahwa dalam menekankan pembagian yang paling mencolok di Maluku Utara, dia (Andaya) belum memberikan konteks yang memadai.
         Tesis van Fraasen adalah pencapaian luar biasa dari pekerjaan selama 12 tahun, termasuk 2 tahun di arsip Belanda dan 1 tahun di Ternate. Tesis ini mendokumentasi 1260 halaman tentang kompleksitas masa lalu dan sekarang dari wilayah Indonesia yang paling kompleks ini, dengan ketrampilan dan perhatian terhadap detail yang diperlukan. Karya yang melelahkan ini telah memudahkan para sejarahwan dan cendekiawan lain untuk memahami konteks peristiwa Maluku di Indonesia Timur. Tetapi, audiensi yang ditulis oleh van Fraasen terbatas pada para spesialis dengan kesabaran dan keahlian etnografi (dan Belanda) untuk menyerap detail tersebut. Andaya menulis untuk audiens/pembaca yang lebih luas dari sejarahwan dalam ilmuwan sosial yang tertarik sifat-sifat alami suatu bangsa di Asia Tenggara dan cara mereka berinteraksi dengan orang Eropa dan lainnya. Bagi sebagian besar dari ini, Maluku adalah teka-teki yang rumit, rasa penasaran aneh yang buruk : bahwa berbagai pulau-pulau kecil dan kelompok etnis yang tidak dipahami, masuk dalam sejarah dunia melalui cara memonopoli pasokan cengkih dan pala. Andaya telah melakukan pekerjaan luar biasa dengan menjelaskan mengapa pemahaman orang Eropa tentang suatu negara/bangsa harus diperluas untuk memahami dunia Maluku pra-modern, dan mungkin untuk memahami negara Indonesia secara umum.
         Leonard Andaya tidak tunduk pada tantangan yang sulit, tetapi ini (penyusunan buku ini) adalah yang paling ambisius dari buku-bukunya yang lain. Buku ini lebih informatif dari karya-karya sebelumnya, dengan cara para ahli teori seperti Heyden White, James Clifford dan Marshall Sahlins yang telah “mengobok-obok” hak istimewa para sejarahwan namun masih terikat budaya. Andaya mengadopsi suatu strategi untuk “merekonstruksi 2 realitas budaya yang terpisah dari masa lalu dengan asumsi-asumsi dan sikap mereka yang berbeda, dan untuk menyampaikan pentingnya interaksi mereka dengan Eropa yang modern dan masyarakat Eropa yang berpendidikan (hal 6). Dia mengakui masalah bahwa sumber-sumber Portugis, Spanyol dan Belanda memang berlimpah tetapi sumber dari Maluku sendiri hampir tidak ada untuk periode ini. Namun demikian, ia percaya akan lebih baik untuk merekonstruksi kepercayaan/keyakinan orang Maluku dari abad ke-16 hingga 18 terutama dari sumber-sumber utama orang Eropa pada periode itu, daripada mngandalkan etnografi dan rekonstruksi sejarag abad ke-19 dan 20 – bahkan sumber Maluku sendiri seperti Hikayat Ternate dan Kronik Naidah - . Dalam hal ini strateginya tentu cukup berbeda, cukup sah  dari van Fraasen, tetapi juga cukup salah untuk menempatkan hal ini sebagai kecerobohan, seperti yang diimplikasikan oleh van Fraasen (BKI 150: 424-426).
         Seperti yang ditunjukan dalam awal bab The World of the European, Andaya lebih berhati-hati dalam mengambil sumber-sumber Eropa yang terlihat. Dia meneliti dengan cermat sistem nilai darimana sumber-sumber Portugis, Spanyol dan Belanda itu ditulis, dan secara umum mengambil posisi konseptual dari sumber-sumbernya. Seperti yang dia tegaskan sendiri (hal 249) : Materi Eropa itu sendiri terstruktur dan selektif, dan itu memerlukan pemeriksaan kritis yang sama yang diterapkan juga pada naskah-naskah asal Asia Tenggara.  Mungkin benar, bahwa relativisasi sumber yang sekarang lebih moderen ini, dapat dibaca sebagai pemaksaan terhadap jenis hak prerogatif tipe baru, tetapi dalam kasus Andaya ini, dilakukan secara sadar dan metode yang ditetapkan dengan jelas. Tidak seperti semua sejarahwan sebelumnya yang mengkaji daerah ini, ia mencurahkan banyak ruang untuk mengklarifikasi nilai-nilai, asumsi-asumsi dan mitos-mitos dari bagian-bagian orang Eropa dan Maluku sebagai narasi pertemuan mereka. 

Buku karya Anthony Reid (versi Indonesia)

         Penjelasan Andaya tentang “The World of Maluku” (bab 2 dan 3) merupakan kontribusi yang sangat penting bagi tumbuhnya pemahaman tentang sifat kekuasaan di Asia Tenggara periode pra-kolonial. Usulan Woltersb  tentang model “mandala”, Geertzc  tentang “negara teater”, dan baru-baru ini  “kerajaan kata-kata” dari Jane Drakardd  (dalam kaitannya dengan kerajaan Minangkabau), masing-masing berusaha menunjukan bahwa negara-negara “di bawah angin”, mungkin tidak memiliki “persatuan” dengan cara yang sama seperti dalam model pencerahan negara-negara Eropa. Dua kontribusi utama Andaya dalam debat yang sedang berlangsung ini, adalah gagasan tentang komplementaris pluralitas dan persatuan dalam tata bangsa Maluku dan kekuatan mitos pemersatu. Sepertia yang ia jelaskan, orang-orang Eropa merasa heran bahwa pulau-pulau kecil yang berdekatan, Ternate dan Tidore terus menerus berperang, tetapi tetap terus menerus saling  berelasi dalam konflik dan hal-hal penting satu sama lain. Kemajemukan yang serupa tertanam dalam kepercayaan/keyakinan orang Maluku di setiap tingkatan. Peperangan, pernikahan dan aliansi tidak dapat dipahami tanpa hal itu. Apa yang tampak seperti kelemahan bagi orang Eropa, seringkali adalah kekuataan dari formasi politik tertentu, dan apa yang tampak seperti kekuaatan adalah kelemahan. Apa yang mengikat sistim itu bersama-sama, dalam pandangan Andaya, adalah mitologi umum.  “Unsur paksaan tidak pernah efektif dalam mempertahankan hubungan/relasi antara pusat – pinggiran seperti kepercayaan/keyakinan pada mitos tentang asal bersama (hal 112).
         Pertemuan orang Eropa dan orang Maluku sejak tahun 1512 dan seterusnya, yang menempati bagian kedua dari buku Andaya, telah berkali-kali berhubungan sebelumnya. Akan tetapi, yang mengejutkan, buku ini adalah pertama kalinya kita memiliki catatan ilmiah modern tentang hal demikian dalam Bahasa Inggris yang dapat dengan percaya diri diberikan kepada para mahasiswa yang tidak puas dengan kajian sepintas milik Hall dan Vlekkee. Catatan Andaya jauh lebih dari sekadar narasi yang andal. Konflik Maluku yang begitu membingungkan para penulis sejarah Eropa menjadi dapat dipahami dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang digambarkan pada bagian I. Misalnya, orang-orang Iberia (Portugis dan Spanyol) kerap menawan para pewaris tahta sebagai tahanan virtual/bayangan dan berharap orang-orang Ternate akan setia pada mereka, sedangkan pola hak anak sulung laki-laki jauh lebih kurang penting bagi orang-orang Maluku pada periode ini daripada pola aliansi dan kecakapan, dengan kaum wanita memainkan peran besar dalam kedua bagian pola itu. Konflik yang berlangsung lama antara Ternate dan Tidore adalah aspek yang perlu dalam kehidupan orang Maluku dan tidak dapat berakhir dengan kemenangan satu pihak, seperti yang diinginkan Spanyol dan Belanda dalam konflik mereka. Andaya menceritakan kembali kisah memikat pemberonatakan Nuku di Maluku pada akhir abad ke-18, sebagai tindakan terakhir dari drama pluralis ini, dengan Nuku merasa bahwa Belanda telah begitu merusak “4 pilar Maluku”, yang pada gilirannya, ia bercita-cita harus menyatukan wilayah melawan mereka, meskipun dalam kekalahan, ia kembali berusaha untuk membangun kembali 4 kerajaan lama.
         Maluku adalah bagian paling terkenal dari Kepulauan Nusantara pada abad ke-16, tetapi secara bertahap mundur ke status “pinggiran” sehingga sebagian besar sejarahwan modern tidak memiliki kesabaran dengan kompleksitasnya. Andaya telah membawa kawasan itu kembali ke “pusat” panggung Asia Tenggara dengan prioritas, daripada mengabaikan kompleksitas itu. The World of Maluku seharusnya dibaca oleh semua orang yang ingin memahami tidak hanya soal interaksi Eropa paling awal dengan Asia bagian timur, tetapi sifat-sifat alami dari tata negara di wilayah tersebut.

Catatan Kaki
  1. Ch.F. van Fraassen, Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipel. Van soaorganisatie en vierdeling; Een studie van traditionele samenleving en cultuur in Indonesië, 1987, 2 vols. [Doctoral dissertation, Leiden University.]



Tanggapan balik Chris. F. Van Fraasen (terhadap Anthony Reid)

Dalam reaksinya terhadap ulasan saya tentang buku Leonard Andaya, The Wold of Maluku : Eastern Indonesia in the Early Modern Period, Anthony Reid menulis antara lain :
Tinjauan yang dipermasalahkan itu luar biasa bermusuhan, [.....] berkonsentrasi pada daftar divergensi dari fakta-fakta seperti yang dilihat oleh van Fraasen, semuanya terhitung untuk mendiskreditkan buku The World of Maluku sebagai analisis serius sejarah Maluku [.....] Aspek yang paling disesalkan dari ulasan van Fraasen adalah bahwa ia hanya berfokus pada dugaan detail kesalahan sedemikian rupa, sehingga menunjukan bahwa ini merupakan jantung analisis Andaya, sedangkan argumen-argumen penting dari buku ini tidak terlihat dari ulasan itu (BKI 151 – I:132). Keterangan-keterangan ini dapat disebut sebagai balasan jawaban.

            Jika hal di atas memang inti utama dari komentar-komentar Reid, saya akan mengulangi lagi pernyataan saya, bahwa bagi saya hampir tidak ada titik-titik baru yang “berharga/penting” yang dideteksi dalam buku yang sedang ditinjau ini. Meskipun ditulis dengan sangat baik, dalam pandangan saya tentu tidak berkontribusi pada analisis serius tentang sejarah Maluku. Bertentangan dengan apa yang dituduhkan oleh Reid, keberatan utama saya bukanlah “detail kesalahan”, tetapi lebih pada kenyataan – dan saya ulangi lagi apa yang saya tulis dalam ulasan awal saya – bahwa dalam usahanya untuk mereduksi situasi kompleks menjadi gambaran sederhana, Andaya terlalu selektif dalam menggunakan dan “menghilangkan” sumber-sumber yang tersedia untuk memeriksa titik awal dan hipotesisnya terhadap fakta.
                    “Contoh” pertama saya yang dikutip oleh Reid dapat menggambarkan bahwa keberatan saya tidak hanya berkaitan dengan detail kesalahan, tetapi pertama-tama dan terutama pada metode Andaya dalam melakukan penelitiannya. Reid mengasumsikan bahwa kritik saya tentang hal ini, bermuara pada tuduhan bahwa Andaya, dalam menekankan pembagian paling mencolok di Maluku Utara, telah gagal memberikan konteks yang cukup. Saya tidak melihat alasan untuk menyangkal bahwa Andaya memang memberikan konteks yang tidak memadai tentang pembagian 4 dunia di Maluku. Tetapi ini bukan poin yang coba saya buat. Tujuan utama saya adalah untuk menunjukan bahwa pembagian Maluku menjadi 4 dunia/wilayah tidak benar-benar dapat benar-benar dihubungkan seperti 4 titik kompas, juga tidak dapat dikaitkan dengan 4 titik kompas oleh orang-orang Maluku sendiri dalam sistim klasifikasi mereka, alasan antara lainnya karena tidak ada istilah yang sesuai dengan 4 titik kompas dalam bahasa lokal non austronesia. Dalam sistim klasifikasi lokal, pembagian yang penting itu adalah “ atas” , “bawah”, “laut”, “darat”. Asosiasi Andaya tentang pembagian 4 dunia dengan 4 titik kompas itu, tidak bisa dipertahankan dalam segala hal. Dia (Andaya) memaksakan pada pembagian 4 dunia Maluku dengan model pembagian 4 sisi ala antropologis klasik, dimana titik-titik kompas itu menonjol, tanpa secara hati-hati memeriksa apakah model ini benar-benar cocok dengan situasi Maluku. Saya berkeberatan serius terhadap kurangnya persyaratan-persyaratan itu, yang dengannya Andaya menyajikan asumsi dan anggapannya sebagai fakta dalam buku ini, sehingga terus menerus melanggar kenyataan.
                    Banyak sarjana yang melakukan penelitian yang bertujuan untuk diperhatikan dan dapat diandalkan, akan terus menguji ide-ide mereka selama penelitian dengan memeriksa apakah mungkin untuk memalsukan ide-ide ini, dan akan menghilangkan ide-ide ini dari publikasi apapun yang dihasilkan dari penelitian, jika hal itu terbukti tidak dapat dipertahankan. Namun tidak demikian halnya dengan Andaya. Pengamatan terhadap bukunya, menunjukan bahwa ia tampaknya lebih tertarik pada narasi yang menyenangkan daripada dalam analisis ilmiah yang serius. Meskipun The World of Maluku mengungkap banyak gagasan dan metode penelitian Andaya, buku itu tidak memberikan kontribusi orisinal yang serius bagi pengetahuan dan pemahaman kita tentang sejarah Maluku. 

Buku yang dieditori Chris F van Fraasen

                    Selain itu, saya tetap pada keberatan saya terhadap pilihan Andaya atas sumber-sumber dari Maluku. Memang, jika Andaya secara konsisten menahan diri menggunakan sumber-sumber dari Maluku dalam merekonstruksi masa lalu dan kepercayaan/keyakinan orang Maluku, serta membatasi dirinya pada sumber-sumber primer Eropa kontemporer (abad 16 hingga 18), ini akan menjadi pilihan yang sah. Namun, ia jauh dari konsisten dalam hal ini. Pertama, ia menyampaikan fakta bahwa Valentijn, ketika menulis deskripsinya tentang sejarah Maluku periode abad ke-17, menggunakan naskah-naskah Ternate, sehingga sumber yang penting ini, tentu saja tidak dapat dianggap sebagai sumber primer Eropa yang sepenuhnya “tidak terkontaminasi”. Kedua, Andaya sama sekali tidak segan-segan menggunakan naskah tentang sejarah Maluku, yang ditulis di Ternate pada tahun 1979 oleh A.H. Hasan. Hasan sejak tahun 1975 dan seterusnya, bertindak sebagai informan dan asisten peneliti untuk berbagai peneliti Eropa dan Amerika, dan memiliki pengetahuan tentang naskah kuno Ternate melalui mereka. Wawasannya sebagian dibentuk dalam banyak diskusi yang ia lakukan dengan para sarjana barat dan pengunjung lainnya. Jika seseorang memutuskan, untuk alasan apapun, untuk tidak menggunakan sumber-sumber dari Maluku abad ke-20, ia akan konsisten juga untuk menggunakan naskah abad ke-20 yang ditulis khusus untuk para peneliti barat. Dengan tidak mengikuti garis yang konsisten dalam hal ini, Andaya menciptakan kesan bahwa ia memilih dan memungut secara sembarangan hanya sesuai dengan tujuan dan kenyamanannya, untuk membuat hal itu menjadi terang benderang.
                    Reid dengan tegas merekomendasikan buku Andaya untuk gagasan tentang komplementaris pluralitas dan persatuan di negara Kepulauan Maluku serta kekuatan mitos pemersatu. Dalam kaitan ini, saya akan menunjukan bahwa Andaya sama sekali bukan sarjana pertama yang menekankan fenomena persatuan dalam keragaman di dunia Maluku. Selain itu, ia lalai untuk menunjukan cara rumit dimana orang Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda) saling berhubungan dengan pembagian-pembagian dan perlawanan-perlawanan orang Maluku yang berlaku dalam sistim dualisme/dualistik politik dan budaya, dan pada abad ke-16 berkonstribusi pada kacaunya keseimbangan politik di Maluku. Sebagai contoh, pada tahun 1551 orang-orang Ternate tanpa ragu-ragu, meminta bantuan Portugis untuk menghancurkan Jailolo dan menghancurkan kekuasaannya sebagai entitas politik, dengan demikian menghancurkan persatuan 4 wilayah/dunia. Jika orang Ternate juga dapat memobilisasi kekuatan yang diperlukan, dengan atau tanpa bantuan kaum Eropa, untuk menghancurkan Tidore dan menghancurkan kekuataannya sebagai entitas politik, tidak ada alasan untuk menganggap bahwa mereka tidak akan memanfaatkan kesempatan itu. Sumber arsip menunjukan bahwa pada abad ke-17 dan 18, di pihak lain, Belanda melakukan segala daya mereka untuk menjaga sistim persaingan yang seimbang tetap utuh. Dengan kata lain, sementara pada abad ke-16, orang Maluku menggunakan orang Eropa untuk mengganggu keseimbangan, di lain waktu, orang Eropa melakukan segalanya untuk menjaga keseimbangan itu. Terlalu sederhana untuk mengasumsikan, seperti yang tampaknya dilakukan Andaya, bahwa sejauh menyangkut orang-orang Maluku, itu bukanlah isu soal penghilangan pihak lain, tetapi hanya kebutuhan untuk berjuang  atau berkonflik itu sendiri, sementara aliansi orang Maluku dengan orang-orang Eropa dibentuk dengan pandangan terhadap kebutuhan menjaga keseimbangan dalam sistim dualistik (halaman 152, 174).
                    Singkatnya, saya tetap berpegang pada pandangan yang saya ungkapkan sebelumnya, bahwa Andaya telah luar biasa selektifnya dalam penggunaan sumber-sumber tersedia, dan telah gagal untuk menguji hipotesisnya dengan serius. Apa yang diterbitkan adalah naskah yang penuh dengan gagasan-gagasan yang – menurut pendapat saya – masih jauh dari siap untuk diterbitkan. Saya siap mengakui bahwa norma saya tentu saja bukanlah norma yang universal/ “umum”.

=== selesai ===

Catatan Tambahan :
  1. Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie.... Jurnal ini sering disingkat BKI
  2. Konsep Oliver Wolters tentang “mandala” dijelaskan dalam bukunya yang berjudul History, Culture and Region in Southeast Asian Perspectives. Institute of Southeast Asian Studies, 1982
  3. Konsep Clifford Geertz tentang “negara teater” dijelaskan dalam bukunya yang berjudul Negara : The theatre state in 19th century in Bali, Princenton University Press, USA, 1980
  4. Konsep Jane Drakard tentang “kerajaan kata-kata” dijelaskan dalam naskah disertasi untuk gelar PhD di Australian National University tahun 1993 dengan judul A Kingdom of Words: Minangkabau sovereignity in Sumatran History. Naskah ini kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh Oxford University Press tahun 1999 dengan judul A kingdom of Words : Language and Power in Sumatra 
  5. Yang dimaksud oleh Anthony Reid tentang kajian sepintas dari Hall dan Vlekke adalah buku karya Kenneth R Hall berjudul Explorations in Early Southeast Asian History : The Origins of Southeast Asian Statecraft (1976), sedangkan buku B.H.M Vlekke berjudul Nusantara : A History of the East Indian Archipelago, Cambridge, 1944

Tidak ada komentar:

Posting Komentar