Selasa, 31 Maret 2020

Gubernur Jend VOC & Sultan Ternate : Suatu upaya untuk mengatur kembali pembagian Ambon dalam tahun 1638


(bag 1)

Oleh
Gerrit J Knaap



  1. Kata Pengantar

Isi artikel ini, merupakan lanjutan atau “babak kedua” dari drama di paruh pertama abad ke-17, yang berlatar di kepulauan Ambon. Babak pertama telah berlangsung setahun sebelumnya yaitu pada tahun 1637, dan diurai dengan indah oleh sang penulisnya Gerrit J Knaap dalam artikelnya “ Crisis and Fairlure : War and Revolt in Ambon Islands, 1636 – 1637. Drama “babak kedua” seperti yang dimaksud, juga ditulis oleh Knaap dengan judul The Governor-General and the Sultan: An Attempt to Restructure a divided Amboina in 1638. Artikel ini dimuat pada Journal Intenario, volume 29, issue 1, terbitan Maret 2005 pada halaman 79 – 100. Artikel sepanjang 22 halaman dengan 2 halaman berisikan 52 catatan kaki dan bibliografi inilah, yang kami terjemahkan sekarang ini.
Kami menerjemahkan artikel ini, karena ingin memberikan bacaan bermutu hasil kajian dari sejarahwan dalam versi bahasa ibu. Dalam artikel ini, sang penulis hanya menyertakan 1 buah peta, sehingga artikel hasil terjemahan ini, kami memasukan beberapa gambar/lukisan sebagai “pemanis” agar lebih “renyah” untuk dinikmati. Perlu dijelaskan, bahwa catatan kaki dari penulis, ditandai dengan angka, sedangkan catatan tambahan dari kami, ditandai dengan huruf. Kami menambahkan catatan tambahan, dengan pertimbangan hanya ingin memberikan informasi lebih jauh sebagai pengetahuan tambahan, dan membagi artikel ini menjadi 2 bagian, agar tidak terlalu padat dan bisa diikuti dengan “santai”
Akhir kata....selamat membaca... selamat menikmati fragmen sejarah 4 abad lalu, minimal kita bisa memahami pergolakan, intrik dan kepingan-kepingan sejarah kehidupan, yang tanpa kita sadari telah “membentuk” kita di masa kini....semoga kita selalu belajar, dan mencintai sejarah kehidupan itu sendiri...


  1. Terjemahan (oleh Kutu Busu)

Pada tanggal 3 Mei 1638, Anthonie van Diemena, Gubernur Jenderal Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Belanda Hindia Timur, bertemu dengan Hamzah, Sultan Ternate, di pangkalan laut di Kambelo. Kambelo adalah satu dari pemukiman utama di pantai barat Hoamoal, semenanjung barat Pulau Seram. Lokasi itu adalah bagian dari wilayah “jajahan” Kesultanan Ternate di Kepulauan Amboina, yang dewasa ini, adalah bagian Maluku Tengah. Van Diemen tiba di Ambon pada akhir Februari dengan armada besar berkekuatan 17 kapal, yang memuat sekitar 1.700 orang. Setelah diberitahu, kalau Hamzah belum tiba, pada bulan Maret, Van Diemen melanjutkan perjalanannya ke Kepulauan Banda, untuk memeriksa dan mengatur urusan VOC di daerah itu. Pada bulan April, ia kembali ke Ambon, dimana setelah berhenti sebentar di Hila, dia melanjutkan perjalanan ke Kambelo, karena mendapat laporan “intelejen” bahwa sekitar 15 “jung” dari Jawa dan Sulawesi telah tiba di sana1. Karena kapal-kapal itu dianggap sebagai penyelundup, dan diduga membawa cengkih, sehingga melanggar aturan monopoli VOC, Van Diemen berencana untuk menyerang mereka. Namun, begitu Hamzah tiba disertai armadanya, yaitu hongi yang berkekuatan 10 kora-kora, rencana penyerangan itu dibatalkan. Saat itu, diplomasi unggul atas tindakan kekerasan. Ada harapan bahwa pertemuan “2 figur hebat” itu dapat menyelesaikan konflik lama di daerah tersebut2

Antonio van Diemen

Apa yang kemudian berkembang antara Sultan dan Gubernur Jenderal adalah episode menarik dalam konteks diplomasi, yang dengan cermat akhirnya didokumentasikan dalam catatan harian3. Sebenarnya, peristiwa ini adalah “babak kedua” dari sebuah drama, dimana Gub Jend Van Diemen secara pribadi, mencoba mempengaruhi politik Amboina sedemikian rupa, sehingga monopoli atas pembelian cengkih – hal yang diinginkan VOC – akan menjadi kenyataan. Tindakan pertama dari drama ini, yang telah terjadi setahun sebelumnya (tahun 1637), telah disajikan dalam The Second International Maluku Research Conference, yang kemudian dipublikasikan dalam Jurnal Cakalele4. Pada kesempatan itu, Van Diemen telah mencoba untuk menyelesaikan situasi melalui suatu kombinasi yang bijaksana, berupa penggunaan kekuataan dan mengeksploitasi struktur dan dinamika politik lokal Ambon. Pada “babak kedua” dalam drama ini, ia memikirkan penyelesaian yang didasarkan pada pembagian kekuasaan di wilayah itu, antara VOC dan Kesultanan Ternate. Tetapi, sebelum Ternate bisa dibujuk untuk menyetujui rencana semacam itu, suatu konsesi perlu dilakukan. Salah satunya adalah perluasaan kekuasaaan Ternate di Ambon.

Perdamaian setengah hati

                Apa hasil dari tindakan Van Diemen di Ambon pada tahun 1637?. Pada tahun itu, Ia mencoba mengatasi krisis yang parah, yang juga mengancam kekuasaan Belanda (VOC), yaitu perang dengan “jajahan-jajahan” Ternate yang dipimpin oleh Kimelaha Leliato, serta kaum oposisi yang muncul dari wilayah-wilayah yang terletak antara wilayah kekuasaan Belanda (VOC) dan Ternate, yang diperparah sejak Februari 1636, oleh pemberontakan terbuka di antara kaum Kristen Ambon, pengikut VOC5. Dengan menggunakan kekerasan, diplomasi, dan ancaman kekerasan yang terang benderang, Van Diemen dapat menyelesaikan konflik itu. Pada bulan Mei 1637, ia mengumpulkan sebagian besar musuhnya pada pertemuan landdag –suatu rapat umum untuk seluruh wilayah – di markas besar VOC, di benteng Victoria. Perdamaian dipulihkan dengan pihak-pihak yang hadir. Hanya Kimelaha Leliato yang keras kepala di pihak penentangnya, terlepas dari fakta bahwa dia telah ditinggalkan oleh banyak pengikutnya. Kita dapat mengatakan bahwa Belanda (VOC) menang karena 2 faktor :
  1. Pertama, persebaran kekuatan angkatan laut dan militer yang mengesankan, dan
  2. Kedua, gagalnya berbagai kelompok di antara orang Ambon sendiri untuk bersatu dalam rangka menghadapi musuh bersama

Rupanya ancaman penguasa VOC tidak cukup untuk mengatasi persaingan lokal antar orang-orang Ambon sendiri6.
                Van Diemen sendiri menyadari bahwa ekspedisinya telah berperan penting dalam mengurangi ledakan-ledakan masalah pada “tong bubuk mesiu” di Ambon, tetapi “pemicunya” belum “dijinakkan”. Setelah dia meninggalkan Ambon, Leliato kembali lagi meningkatkan aktivitasnya dan menyebabkan “ledakan” lain dari gerakan anti VOC. Pada abad ke-17, penulis sejarah VOC, Georgius Everhardus Rumphius menyimpulkan “ api peperangan masih tetap menyala dalam tumpukan bara”, khususnya di antara para pengikut Leliato. Rumphius berpendapat bahwa pada saat keberangkatannya, Van Diemen seharusnya meninggalkan kekuatan militer yang lebih besar untuk mengambil tindakan ofensif terhadap Leliato. Apapun masalahnya, Van Diemen berencana untuk kembali ke Ambon dengan ekspedisi pada angin musim barat berikutnya, yaitu pada awal tahun 1638. Pada kesempatan itu, Sultan Ternate harus diundang untuk mengambil bagian dalam penyelesaian masalah, paling tidak karena sisa masalahnya terutama ditemukan pada wilayah kekuasaannya. Undangan untuk Sultan dikirim dari Ambon pada tanggal 29 Mei 16377. Dalam surat itu, Van Diemen menyalahkan Leliato, karena telah mengobarkan pemberontakan di antara “pengikut-pengikut” Sultan Ternate maupun VOC, terlepas dari kenyataan bahwa Belanda (VOC) telah membantu secara total dalam memerangi Spanyol, yang merupakan musuh Sultan di jantung Maluku (Ternate). Selain itu, Leliato dituduh telah terlibat dalam hubungan rahasia dengan Sultan Makasarb. Jika Hamzah datang dan membantu menyelesaikan masalah di Ambon, pada gilirannya, Gubernur Jend akan berlayar ke Maluku (Ternate) sendiri untuk mengambil tindakan ofensif terhadap orang-orang Spanyol dan Tidore8. Janji itu pastilah seperti nyanyian merdu di telinga Hamzah.
                Sultan Hamzah, atau secara resmi, menurut Valentijn, Sultan Aja Emir al Mumenim Hamzah Nasrun Min Allah Syah, mungkin lahir pada tahun 1580an. Dia adalah cucu dari Sultan Hairun Jamilu yang agung, yang terbunuh oleh Portugis pada tahun 1570. Pada tahun 1606c, Hamzah, bersama dengan Sultan yang berkuasa saat itu, Saidi Berkatd, ditawan oleh orang-orang Spanyol dan diasingkan di Manila. Orang-orang Spanyol telah menginvasi Ternate dan menduduki pulau itu. Dengan bantuan Belanda (VOC), pihak istana Ternate berhasil membangun kembali kesultanan di bagian utara Pulau Ternate dan distrik-distrik di sekitarnya. Pada tahun 1628e, Hamzah kembali ke Ternate dan naik tahta sebagai pengganti Sultan Muzaffar, putra sultan Saidi Berkat. Mesipun Hamzah telah menikah beberapa kali, istri-istrinya belum bisa memberi anak kepadanya9. Selama pengasingannya lebih dari 20 tahun di Manila, Hamzah telah menjadi “mualaf” yaitu menjadi seorang Katholik Romaf. Bisa dikatakan bahwa orang-orang Spanyol telah mengizinkannya untuk kembali ke Ternate, dengan syarat bahwa ia harus tetap menjadi seorang Katholik Roma, dan berusaha untuk mengkristenisasi masyarakatnya serta mengakui kekuasaan Spanyol. Sekali dia aman di atas takhta, ia nampaknya telah melupakan sebagian besar kondisi ini, kadang-kadang menyebut dirinya seorang Katholik atau seorang Muslim, karena hal itu cocok dengannya. Leonard Andaya menggambarkannya sebagai protagonis dari suatu kebijakan baru di kerajaan, yaitu upaya untuk memperkuat otoritas pemerintah pusat, termasuk kekuatan dirinya sendiri sehingga merugikan wilayah “pinggiran”. Andaya mengaitkan kebijakan baru ini, dengan fakta bahwa Hamzah telah tinggal di Manila selama 20 tahun, dan telah terpengaruh ide-ide bangsa Spanyol tentang otoritas dan kekuatan penguasa, dimana pemerintah melalui konsensus dan konsultasi dengan para pengikut dan para vassal-nya kurang dianggap penting10.
                Jelas, bahwa Hamzah memiliki masalah dengan kredibilitasnya, tidak hanya bagi seorang peneliti abad ke-20 seperti Andaya, tetapi juga bagi orang-orang sezamannya. Meskipun Belanda (VOC) menganggapnya sebagai sekutu, mereka cenderung tidak percaya padanya. Pada tahun 1631, Gubernur Ambon, Philip Lucasz, menyebutnya sebagai Raja “Spanyol”11. Belanda pada masa itu, tidak menyukai semua yang “berbau” Spanyol atau Katholik, karena di Eropa, Republik Belanda masih berperang dengan Spanyol. Republik Belanda sendiri adalah hasil dari pemberontakan melawan Kerajaan Spanyol sekitar 60 tahun sebelumnya. Ketidakpercayaan terhadap Sultan diperburuk kemudian, pada awal tahun 1640an, ketika VOC di Ambon “berharap banyak” pada surat dari Hamzah yang ditulis untuk “masyarakatnya” selama periode 1630an, akhirnya menunjukan bahwa Hamzah telah mendorong berkobarnya aksi anti-Belanda sejak itu (1630an) hingga sekarang (1640an) dalam perlawanan-perlawanan mereka12

Benteng di Lesidi

                Apa yang terjadi di Ambon pada paruh kedua tahun 1637, setelah Van Diemen kembali, dan meninggalkan East Indiamen, 2 kapal dan garnisun yang lebih sedikit dari 400 orang???. Pada tahun-tahun selajutnya, Rumphius percaya kekuatan seperti itu, sepenuhnya tidak cukup untuk mengatasi “intrik baru”, yang berarti intrik dari Leliato13. Begitu van Diemen pergi, Kaicili Sibori, Kapita Laut Ternate, dikirim untuk menetralisir Leliato, dan pihak-pihak yang mendukung aliansi VOC-Ternate memohon kepada Gubernur Ambon yang baru, Johan Ottens, untuk membangun benteng kecil di Luhu, di pesisir timur Hoamoal. Benteng ini dimaksudkan untuk melindungi dirinya (sang gubernur) dan orang-orang Luhu pengikutnya untuk melawan Leliato dan pengikutnya, yang telah membentengi diri mereka sendiri di dekat Kambelo, di pesisir barat Hoamol. Pembangunan benteng ini, menyebabkan satu desa/negeri penting di pantai barat, yaitu Lesidi, tetangga Kambelo, berbelot ke pihak Sibori dan VOC. Di Hitu, entitas politik independen di bagian utara pulau Ambon, perkembangannya kurang menguntungkan VOC. Di sana, Kapitan Hitu, Kakiali, terus tinggal di bentengnya di wilayah pegunungan bernama Wawani, terlepas dari fakta bahwa Van Diemen telah membebaskan Kakiali dari tahahan VOC selama proses landdag. Bertentangan dengan perjanjian tanggal 1 Juni 1637, VOC curiga kalau Kakiali telah menjual setidak setengah bagian kepada pedagang asing, yang telah mendirikan pangkalan utama mereka di Kambelo. Selain itu, alih-alih melawan musuh-musuh VOC, Kakiali memohon bantuan dari putri salah satu sekutu terdekat Leliato. Untuk tujuan ini, Kakiali sendiri bahkan berkunjung ke Kambelo14.
                Ujian penting otoritas VOC adalah apakah orang-orang Kristen di Pulau Ambon dan Lease akan mengikuti pelayaran Hongi, yang direncanakan nanti pada tahun 1637. Dalam hal ini, tampaknya tidak ada masalah, karena Ottens terlihat berlayar dengan 18 kora-kora dan beberapa kapal menjelang akhir Oktober (1637). Setelah kunjungan ke Lesidi dan Luhu di Hoamoal, Ottens tiba di Hila di Hitu, dimana diputuskan untuk memperkuat benteng VOC.  Empat perdana atau pemimpin Hitu memberi tahu Gubernur, bahwa Kakiali masih belum bisa menerima penghinaan ketika tiba-tiba ditangkap VOC 3 tahun sebelumnya, namun mereka yakin, mampu untuk mencegahnya melancarkan aksi “bencana” politik kembali. Setelah Hila, pelayaran Hongi berlayar di sekitar kepulauan Lease, dimana semuanya  nampak “tenang”, dan kembali ke Ambon menjelang akhir November. Namun, dalam bulan-bulan terakhir tahun itu, situasinya mulai memburuk kembali bagi VOC. Pertama, Kaicili Sibori kehilangan 60 anak buahnya saat melawan Kimelaha Leliato, yang mana fakta ini membuat Sibori cukup tertekan. Sekarang Kakiali dan Leliato dilaporkan telah meminta Sultan Makasar untuk mengirim bantuan berkekuatan 200 kapal. Apakah kekuatan ini pernah tiba atau tidak, pada saat yang sama Leliato telah bergerak lebih dulu dan memperkuat posisinya dengan memenangkan hati penduduk Pulau Manipa, Kelang dan Boano untuk mendukungnya. Kakiali menerima bantuan 4 kora-kora dari Pulau Buru, yang memicu saingan beratnya di Hitu, Kayoan, sang Perdana Menteri Tanahitumesing yang bergelar orang kaya tua, untuk meminta bantuan VOC, memberikan 12 prajurit yang bertugas sebagai pengawal. Akhirnya, pada awal tahun 1638, 3 desa/negero di bagian barat pulau Ambon, yaitu Wakasihu, Alang dan Liliboi, memutuskan untuk melanjutkan pemberontakan mereka sebelumnya melawan VOC15.
                Sementara itu di Batavia, Van Diemen telah mengambil langkah lanjutan. Pada Desember 1637, ia menulis surat kepada Hamzah dengan harapan mendorongnya untuk datang ke Ambon. Dalam surat itu, ia menyatakan bahwa, seperti permasalahan yang telah diselesaikan, dengan penguasaan cengkih di tangan VOC, ia bersedia menyerahkan seluruh kekuasaan VOC  di wilayah itu, yang pada tahun 1605, di masa awal kekuasaan VOC di Ambon, yang bukan wilayah kekuasaan kerajaan Portugal, akan diserahkan kepada Sultan16. Janji ini pasti meyakinkan Hamzah akan hal itu, bahwa ada sesuatu yang bisa diperoleh dan hal itu akan bermanfaat  untuk menyetujui usulan Gubernur untuk bertemu dan segera memulai perjalanan itu. Tidak diragukan lagi, ia juga tergoda oleh uang, karena dalam proses upaya mendapatkan kerjasama dengan Hamzah, VOC menjanjikan tunjangan tahunan sebesar 4000 real merupakan solusi memuaskan yang disepakati. Namun, nampaknya sebagian besar bangsawan di dewan di Ternate, masih menentang perjalanan Hamzah ke Ambon, alasan lain diantaranya adalah karena mereka bersimpati pada perjuangan Leliato17. Akibatnya, baru pada tanggal 2 April 1638, Hamzah bersama hongi mini berkekuatan 11 kora-kora dan 1 kapal VOC meninggalkan Ternate. Di tengah perjalanan, armada diharuskan berlabuh di Obi dalam rangka memperbaiki beberapa kora-kora. Di sinilah kapal VOC kehilangan kontak dengan sisa armada, dan berlayar menuju ke Hila, dimana Gub Jend telah kembali dari perjalanannya ke Banda. Di atas kapal VOC ini, berlayar juga penerjemah untuk Yang Mulia SultanTernate, bernama Alonso Cardinoso, seorang figur yang tampaknya akan berperan penting sebagai perantara antara Sultan dan Gubernur Jenderal. Pada tanggal 24 April 1638, Hamzah tiba di Manipa. 12 hari kemudian, Van Diemen berlayar dari Hila ke Kambelo18. Dari sini, kita akan mengikuti dengan cermat apa yang telah dicatat dalam jurnal/catatan harian Van Diemen.
Kambelo

Ketegangan di Kambelo

Armada VOC yang berlabuh di pangkalan laut Kambelo, terdiri dari 19 kapal. Ketika VOC mengirim sekelompok pasukan ke lepas pantai untuk mencari air dan kayu bakar, sebuah suara keras menyambut mereka dari darat, memperingatkan mereka dengan sempurna ala Belanda, jelas diucapkan oleh seorang pembelot, agar tidak mendarat dipantai, karena jika mereka melakukannya, mereka akan tewas dengan peluru di tubuh mereka. Hari berikutnya, tanggal 29 April, Van Diemen mengirim Alonso Cardinoso dan kapten Jan Silvernagel ke lepas pantai untuk menjumpai Leliato dan para pedagang asing di atas kapalnya. Setelah beberap pertimbangan, Cardinoso dan Silvernagel berhasil mengadakan pertemuan dengan Leliato, dan menyatakan bahwa ia menunda bertemu dengan Gubernur Jend, sampai setelah ia bertemu dengan atasannya sendiri, yaitu Sultan Hamzah. Berbicara dengan cara politis seperti ini dianggap prosedur yang benar. Kemudian, pada hari yang sama, Cardinoso dan Gubernur Ambon, Ottens berangkat ke Manipa untuk menjemput dan mengawal Hamzah ke Kambelo. Sementara itu, Hamzah mengirim pesan meminta Van Diemen untuk tidak mengambil tindakan terhadap pedagang asing dan Leliato, sebelum dia dapat hadir sendiri. Pada tanggal 1 Mei, Hamzah mendelegasikan Warnu, utusan resminya pergi ke Leliato dengan harapan untuk meyakinkan Leliato untuk mengijinkan VOC berlabuh di pantai. Ini terbukti tidak berhasil. 3 hari kemudian, pada tanggal 4 Mei, Hamzah akhirnya tiba di Kambelo. Meskipun sangat lelah, Yang Mulia setuju untuk segera berkunjung ke Gubernur Jend di kapal utama Frederik Hendrik. Pada saat tiba, kalung emas di pakaikan di leher Hamzah dan memberinya sebatang emas sebagai hadiah. Kemudian, Sultan berjalan melalui penjaga kehormatan ke tempat yang dihiasi dengan permadani. Pada saat itu, armada memberi penghormatan dengan 20 tembakan. Setelah Yang Mulia selesai menginspeksi kapal, ia kembali pulang dan menuju ke lepas pantai di antara Kambelo dan Lesidi. Dari sanalah kora-koranya ditarik ke pantai, dimana ia dan rombongan ditempatkan di tempat tinggal sementara. Pada saat dia tiba di sana, orang-orang Kambelo dan para pedagang asing, seluruhnya sekitar 600 orang, 200 diantaranya adalah serdadu bersenjata, melakukan parade dan melakukan tarian perang (cakalele) untuk menghormati Yang Mulia. Setelah itu, Leliato dan rombongannya diterima untuk audiensi, mempersembahkan senjata, beras, dan pakaian sebagai hadiah19.
Pada tanggal 5 Mei, negosiasi sesungguhnya dimulai. Untuk memfasilitasi hal ini, Hamzah dan rombongannya sekali lagi naik ke kapal. Gubernur Jend membuka proses itu, dengan menyalahkan para pedagang asing atas situasi tersebut dan menyatakan bahwa semuanya telah diprovokasi oleh Kerajaan Makasar, yang berkembang semakin kuat dan telah mengambil banyak wilayah dari Kesultanan Ternate. Akibatnya, Leliato dan para pedagang ini harus dihadirkan di kapal dan milik mereka harus dihancurkan. Sultan setuju dengan analisis, tetapi mengusulkan agar pertemuan dengan Leliato dan pengikutnya harus di lakukan di darat, dan bukan di kapal VOC. Hal ini bertentangan dengan keinginannya sendiri, namun Van Diemen memutuskan untuk menyetujui usul Hamzah. Keesokan harinya, 20 kora-kora dari pulau Ambon dan Lease tiba, sehingga menambah kekuatan militer VOC. Melakukan usaha terbaiknya sebagai perantara, Hamzah berbicara selama seharian dengan Leliato, yang menghasilkan efek sedemikian rupa, sehingga Belanda (VOC) bisa melihat sejak awal pembongkaran kubu-kubu pertahanan di pantai Kambelo. Pada tanggal 7 Mei, Gubernur Ottens dikawal oleh Johu Luhu di sekitaran pantai. Johu Luhu ini, adalah keponakan Leliato, yang memerintah Hoamoal hingga tahun 1634. Kini ia telah kembali dengan Hamzah ke Ambon, dimana dia seharusnya mengambil alih posisi Leliato. Setelah menginspeksi sekitaran pantai, Ottens diberitahu oleh Hamzah dan Johu Luhu, telah disepakati bahwa kubu-kubu pertahanan akan segera dibongkar sama sekali dan pedagang asing diperintahkan untuk menghentikan “penyelundupan” cengkih. Setelah menyelesaikan masalah  sejauh ini, mereka kemudian mengundang Gubernur Jend untuk turun ke pantai. Ottens, bagaimanapun  berniat untuk menunda kunjungan semacam itu, karena, setidaknya menurut pandangannya, pembongkaran baru saja dimulai. Jadi, sebagai pernyataan maaf, ia memberi tahu Sultan bahwa jika Van Diemen tiba di darat, ia akan menerima Gub Jend dengan kekuatan militer yang besar. Menurut Ottens, pada saat itu belum ada ruang yang cukup di pantai untuk menampung kekuatan ini20

 
Pada tanggal 8 Mei, Sultan mengirim delegasi ke kapal, dan menolak untuk datang sendiri, menyatakan bahwa masalah penyelundupan cengkih yang telah terjadi telah diselesaikan, dan yang tersisa hanyalah pertanyaan-pertanyaan tentang wilayah. Pertanyaan-pertanyaan ini harus didiskusikan dengan para penguasa lokal, yang banyak juga datang. Van Diemen menjawab menggunakan “kata-kata yang sangat kasar”, bahwa pembongkaran kubu-kubu pertahanan harus tuntas, para pedagang asing harus dihukum, dan 2 desertir VOC harus diserahkan ke VOC, sebelum ia tiba di pantai. Setelah mendengar ini, tampaknya Hamzah memerintahkan Leliato dengan marah-marah untuk segera melanjutkan pembongkaran dan menyerahkan para desertir. Selain itu, dia (Sultan) berjanji pada Van Diemen bahwa dia akan berkunjung ke kapal pada hari berikutnya. Namun, sebelum Hamzah muncul, kedua pembelot itu telah diserahkan ke VOC. Mereka terbukti menjadi sumber penting informasi. Ketika Hamzah sendiri tiba, dia menyetujui bahwa dalam beberapa hari para pedagang asing akan dipulangkan dengan izin VOC, dan hanya membawa cukup makanan untuk perbekalan mereka. Namun, dia masih menuntut bahwa permintaan semacam itu harus tetap diberikan kepada mereka, dan kepada Leliato tetap berada di darat daripada pergi ke kapal Frederik Hendrik. Apapun situasinya, selama beberapa hari berikutnya, para pedagang tidak menunjukan niat untuk pergi, pertama karena mereka takut pada kapal perang VOC, dan yang kedua, karena kapal mereka sendiri belum siap untuk melakukan perjalanan. Sebaliknya, kebanyakan dari mereka memilih untuk “mundur” dan bersembunyi di gunung kubu pertahanan Leliato di pedalaman. Meskipun Hamzah tampaknya cenderung memberi pedagang asing waktu tambahan, Van Diemen menuntut agar mereka harus pergi pada tanggal 12. Sementara itu, Kaicili Sibori diusulkan untuk membawa Leliato dan Johu Luhu, yang tidak percaya siapapun, ke tahanan sementara saat masalah dengan para pedagang asing diselesaikan21.  
Tanggal 12 Mei, terlihat Leliato dan Johu Luhu ditangkap atas perintah dari Sultan Hamzah. Atas permintaan Sultan, Van Diemen mengirim pasukan ke darat untuk menjaga tahanan. Namun, para pedagang asing masih bersembunyi, kecuali seorang dari Banten, yang mengambil surat jalan/izin dari VOC dan berlayar pulang. Hari berikutnya, Van Diemen mengirim satu pesan lagi untuk Sultan, mendesaknya agar para pedagang segera diusir. Sultan juga diberitahu bahwa VOC ingin mendirikan benteng di tempat-tempat strategis di wilayah kekuasaan Sultan, dan masalah-masalah lain harus dibahas baik di benteng Victoria atau di Hila. Hamzah merespon bahwa dia tidak berkeberatan untuk menentang pendirian benteng-benteng VOC di wilayah kekuasaannya, dengan ketentuan  bahwa para pemimpin lokal, yang wilayah/lokasinya digunakan untuk itu, baiknya diberikan pemberitahuan dengan tepat. Menyangkut lokasi negosiasi lanjutan, Yang Mulia tidak memiliki pilihan. Beberapa hari berikutnya, para pedagang menunjukan kecenderungan untuk pergi, tetapi pergerakan mereka masih lambat dalam pandangan orang-orang VOC. Dalam bayangan Van Diemen, ia melihat betapa luar biasanya toleransi akan hal itu yang diperlambat oleh Sultan, yang “tangannya (Sultan)”, ia (Van Diemen) mencurigai, telah “diisi (disogok)” oleh para pedagang. Alhasil, pada tanggal 16 Mei, Van Diemen meluncurkan pasukan VOC dan para pejuang orang Ambon dari armada hongi untuk membakar dan menghancurkan 200 rumah dan 50 kapal di pantai22. Menurut Hikayat Tanah Hitu, yang ditulis oleh Ridjali sekitar 10an tahun berikutnya, menyebut bahwa Belanda menyerang Kambelo setelah benteng di pantai sudah dihancurkan23.
Sultan Hamzah diberitakan cukup terganggu dengan aksi VOC ini, dan takut bahwa semua kekerasan ini akan merusak penyelesaian masalah-masalah lain yang belum dibahas. Dikarenakan kora-koranya berukuran kecil, maka ia (Sultan) mengusulkan agar pertemuan untuk membahas masalah ini diadakan di Lesidi daripada di tempat lain. Gubernur Jend menanggapi Sultan, bahwa ia tidak mau menuju ke Lesidi, karena, pertama, para musuh masih melakukan tindakan-tindakan permusuhan dari markas besar mereka (VOC) di Masalain di wilayah pegunungan di belakang Kambelo, dan, kedua, karena faktor-faktor angin di pangkalan laut Kambelo dan Lesidi, menjadi tempat berlabuh yang sulit bagi kapal-kapal VOC. Benar-benar dibutuhkan beberapa hari untuk mengangkat jangkar kapal mereka dan berlayar ke Hila atau benteng Victoria. Pesan ini, yang disampaikan pada tanggal 18 Mei, adalah kekecawaan lebih lanjut terhadap Hamzah, yang segera mengingatkan Van Diemen, bahwa dia harus “mempertimbangkan” kembali janjinya, bahwa Kesultanan Ternate akan diberikan kedaulatan atas semua wilayah yang tidak dikuasai Portugis pada tahun 1605 itu. Bagaimana caranya, Van Diemen tetap “menjaga” janjinya, agar Hamzah langsung mengikutinya ke Hila dan membawa semua orang Ternate dan orang asing lainnya bersamanya pada saat keberangkatannya kembali ke Maluku (Ternate), sekaligus dengan serentak “ kekuasaan utama pada wilayah-wilayah kekuasaan Sultan di daerah ini” akan didelegasikan kepada Gubernur VOC (Gubernur Ambon). Hal inilah yang ingin didengar oleh Gubernur Jenderal. Akibatnya, ia (Van Diemen) tiba-tiba mengirim tanggapan tegas kepada Hamzah, yang mendorong Yang Mulia untuk memutuskan berangkat ke Hila dalam beberapa hari. Keesokan harinya, tanggal 19 Mei, Hamzah memberitahukan bahwa dia lebih suka untuk tidak melihat Kimelaha Leliato yang telah ditangkap diserahkan kepada Van Diemen. Hal ini akan dianggap sebagai tindakan “tidak menghormati” Kesultanan Ternate. Gubernur Jenderal masih mendesak agar kedua kimelaha itu (Leliato dan Johu Luhu) diserahkan kepada pihak mereka, sementara Sultan mengusulkan agar Leliato tetap dijaga dalam tahanan dan membebaskan Johu Luhu untuk mempercepat pulangnya pedagang asing. Van Diemen setuju untuk membebaskan Johu Luhu, tetap saja menuntut penyerahan Leliato dengan janji tetap membiarkannya hidup. Setelah beberapa pembicaraan lebih lanjut, kedua belah pihak akhirnya mencapai kesepakatan, yaitu Leliato ditempatkan dibawah tahanan VOC, dan Hamzah diberikan 50 serdadu VOC sebagai pengawal24 pribadinya.

==== bersambung ====

Catatan Kaki
  1. VOC 1126c:382v-383r, 396v, 402v, 418r, 423v.
  2. Rumphius, 'Ambonsche Historie', 161.
  3. VOC 1126c,'Journael.
  4. Knaap, 'Crisis and Failure'.
  5. Ibid., 1, 7.
  6. Ibid., 17-24.
  7. Enkhuizen 399, 215; Rumphius, 'Ambonsche Historie', 150.
  8. VOC 860.
  9. Valentijn, Oost-lndien, 257; Fraassen,'Ternate', Vol. 2, 17-19.
  10. Andaya, World of Maluku, 158-162.
  11. Knaap, Memories van overgave, 79.
  12. Rumphius, 'Ambonsche Historie', 203-204.
  13. Ibid., 154.
  14. Heeres, 'Corpus Diplomaticum', 300-302; Rumphius, 'Ambonsche Historie',156-157; Knaap, 'Crisis and Failure', 19.
  15. Rumphius, 'Ambonsche Historie', 157-160.
  16. VOC 862, 21.
  17. VOC 1127a, 239r, 242v.
  18. VOC 1126c, 418v-419v, 42 lv, 423r.
  19. Ibid., 423v-428r.
  20. Ibid., 428r-430v; Fraassen, Ternate', Vol.2, 80, 84-85.
  21. VOC 1126c, 431 r-436v.
  22. Ibid., 437r-441v.
  23. Manusama, 'Hikayat Tanah Hitu', 136.
  24. VOC 1126c, 441 v-449r.

Catatan Tambahan :
  1. Anthonie/Anthonio van Diemen menjadi Gubernur Jend VOC sejak 1 Januari 1636 – 12 April 1645. Ia menggantikan Gubernur Jend sebelumnya, Hendrik Brouwer (1632-1636).
  2. Sultan Makasar yang dimaksud adalah Sultan Ala’ud-din, berkuasa pada 1593 – 1639. Ala’ud-din dilahirkan dengan nama I Manngarangi, dengan gelar bangsawannya I Daeng Manraqbia. Tentang kiprah sultan Makasar ini, termasuk terlibat dalam hubungan dengan Kimelaha Leliato bisa dilihat pada :
§  William. P. Cummings, A Chain of Kings : The Makassarese chronicles of Gowa and Talloq, Leiden, KITLV Press, 2007
§  D.K. Basset, English Trade In Celebes 1613-1667  (dimuat pada Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, volume 31, No 1 (181), May 1958, hal 1-39)
§  Jhon Villiers, One of the Especiallest Flowers in our Garden : The English Factory at Makassar, 1613 – 1667 (dimuat pada Journal Archipel, volume 39, 1990, halaman 159 – 178)
  1. Pada tanggal 1 April 1606, Spanyol melancarkan serangan ke Ternate dan menaklukan kota itu. Serangan ini dipimpin oleh Gubernur Spanyol di Manila, Dom Pedro Bravo da Acuna. Lihat :
§  Jhon Villiers, Manila and Maluku: Trade and Warfare in the Eastern Archipelago, 1580 – 1640 (dimuat pada Journal Philippine Studies, volume 34, No 2 (1986), halaman 146 – 161, khususnya hal 150)
§  M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 -1950, Ternate, Universitas Khairun, 2002, Hal 61
  1. Saidi Berkat atau Sultan Saidudin menjadi Sultan Ternate yang ke-5 dan berkuasa pada 1584-1610. Ia menggantikan Sultan Baabulah (1570 – 1584). Menurut sumber dari F.S.A. de Clerck, Saidudin disebut Sahid Berkat oleh Francois Valentijn dan J.K.J. de Jonge dalam tulisan-tulisan mereka.
§  de Clerk, F.S.A. Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate, B.J. Brill, Leiden, 1890. (edisi terjemahan Inggris, oleh Paul Michael Taylor : Ternate, The Residency and It,s Sultanate, Smithsonian Institution Libraries Digital Edition, Washington DC, 1999, Halaman 110, catatan kaki no 23
e.        Knaap berbeda dalam soal informasi ini dengan beberapa penulis lainnya, misalnya Valentijn, Coolhas, Jacobs dan Andaya. Knaap menyebut kalau Hamzah kembali ke Ternate pada tahun 1628, sedangkan penulis lain menyebut pada awal tahun 1627. Lihat :
§  Francois Valentijn, Oud en Nieuw Oost Indien, volume I, bag b, hal 255
§  W.Ph. Coolhas, Genarale Missiven........volume 1, halaman 309, catatan kaki no 5
§  Jacobs, Hubert. Documenta Malucensia, volume 3, halaman 470, catatan kaki no 11
§  Leonard Andaya, The World of Maluku...., Honolulu, University of Hawaai Press, 1993, hal 158-159, atau pada versi Indonesia pada hal 214
f.         Hamzah dibaptis dan nama baptisnya adalah Don Pedro da Acuna. Lihat
§  Francois Valentijn, Oud en Nieuw Oost Indien, volume I, bag b, hal 255
§  Leonard Andaya, The World of Maluku...., Honolulu, University of Hawaai Press, 1993, hal 159, atau pada versi Indonesia pada hal 214
§  Jacobs, Hubert. Documenta Malucensia, volume 3, halaman 470, catatan kaki no 11
M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 -1950, Ternate, Universitas Khairun, 2002, Hal 69, catatan kaki no 33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar