Jumat, 06 Maret 2020

Demografi Ambon pada abad ke-17 : Fakta-fakta menurut Proto-Sensus Kolonial (bag 1)


Oleh
GERRIT KNAAP


Gerrit. J. Knaap


  1. Kata Pengantar

Sensus penduduk pada suatu negera merupakan upaya negara atau pemerintah yang secara umum untuk mengetahui jumlah penduduk yang menjadi bagian integral dari negara itu. Pada masa lalu, khususnya pada abad ke-17, VOC juga mulai melakukan sensus penduduk itu, yang mereka sebut sebagai zielsbeschrijving atau cacah jiwa. Tujuan VOC melakukan hal itu, untuk mengetahui jumlah penduduk atau masyarakat yang dijajahnya. Dengan mengetahui jumlah penduduk, maka VOC juga bisa “memetakan” potensi yang bisa diraup dari penduduk yang dijajahnya, entah itu potensi positif maupun negatif.
Gerrit J Knaap dalam artikel sepanjang 15 halaman ini, mengulas dan menganalisis tentang sensus penduduk pada Gubernemen Ambon pada abad ke-17. Artikel ini berjudul The Demography of Ambon in Seventeenth Century: Evidence from Colonial Proto-Censuses, yang dimuat pada Journal of Southeast Asian Studies, volume 26, no 2 (September 1995) pada halaman 227-241. Artikel ini terdiri dari 1 peta dan 4 tabel, yang merupakan “intisari” dari sensus penduduk pada Gubernemen Ambon pada paruh terakhir abad ke-17. Tabel-tabel itu berupa jumlah penduduk per wilayah, pertumbuhan rata-rata penduduk pertahun di masing-masing wilayah, pertumbuhan demografis masyarakat Ambon serta kepadatan penduduk per-kilometer persegi (km2) di masing-masing wilayah. Knaap menganalisis hasil sensus yang dilakukan setelah berakhirnya perang besar Ambon pada tahun 1656-1658, dimana terjadi kenaikan dan penurunan jumlah penduduk di beberapa wilayah. Selain itu, Knaap juga memberikan informasi penting tentang relasi antara jumlah dati pada sebuah negeri memiliki signifikansi pada kepemilikan kora-kora suatu negeri pada skuadron pelayaran hongi di Gubernemen Ambon, yang juga berimplikasi pada prestisenya sebuah negeri untuk mendapatkan “kursi” dalam suatu peradilan hukum adat di ibukota Gubernemen, yaitu kota Ambon.
Mengetahui informasi-informasi penting inilah, maka kami memberanikan menerjemahkan artikel ini, agar bisa dinikmati dan menjadi pengetahuan bersama. Artikel terjemahan ini, kami bagi menjadi 2 bagian agar tidak terlalu panjang, dan bisa dinikmati dengan “renyah”. Selain itu, kami juga memberikan beberapa lukisan/foto sebagai “pemanis” dalam artikel terjemahan ini. Pada artikel aslinya, Knaap memberikan catatan kaki sebanyak 41 catatan kaki, yang kami tandai dengan angka, sedangkan catatan tambahan dari kami, ditandai dengan abjad, akhir kata, selamat membaca, dan selamat bersejarah melalui literasi yang berkualitas.....semoga.....



  1. Terjemahan : oleh Kutu Busu

Pada era Indonesia moderen, kajian demografi kependudukan menjadi bidang utama yang menarik perhatian kaum akademis. Alasannya sangat jelas : suatu usaha untuk mengembangkan perekonomian suatu negara, untuk memberikan setiap warga negara suatu standar hidup yang layak, dan untuk menjamin hal ini di masa depan, memiliki hubungan yang kuat dengan ukuran populasi dan keinginan untuk membendung gelombang pertumbuhan populasi. Studi atau kajian demografis merupakan hal baru dan hal yang sama berlaku juga untuk bahan-bahan statistik dimana kajian ini bekerja: sensus di tingkat nasional dan registrasi kelahiran secara reguler, pernikahan dan kematian pada level dasar yaitu di tingkat lokal. Di Indonesia, sensus pertama masih belum sempurna dan berasal dari dekade terakhir abad ke-19, sementara registrasi rutin kelahiran, kematian dan pernikahan untuk penduduk pribumi, baru terjadi pada tahun 1930an dan seterusnya1.
Meskipun pengumpulan data statistik relatif masih baru, sepanjang abad ke-19 pemerintahan kolonial di Asia Tenggara, termasuk Belanda di Indonesia, telah berusaha untuk memberikan gambaran umum dari penduduk yang mereka kuasai (jajah). Sejarah informasi semacam ini untuk pulau Jawa telah diberikan oleh Peter Boomgaard2. Berlawanan dengan apa yang kadang-kadang diasumsikan, ada beberapa daerah  di Asia Tenggara yang informasinya bersifat demografis berdasarkan pada estimasi (perkiraan) dan atau  proto sensus, tersedia untuk periode yang lebih awal3. Kepulauan Ambon atau “Provinsi Ambon” sebagaimana penguasa kolonial menyebut sebagian besar wilayah Maluku Tengah masa kini, adalah contoh paling menonjol dalam hal ini. Informasi khusus ini berasal dari abad ke-17, dimana tidak menghitung beberapa perkiraan yang belum sempurna tentang jumlah orang Kristen yang dilaporkan dalam sumber-sumber Portugis pada abad ke-164. Daerah lain di Asia Tenggara, yang terdapat cukup banyak informasi, adalah Luzon dan Visayan di Filipina. Namun, dalam hal ini, materinya menyangkut pencacahan/sensus berkala mengenai wajib pajak5. Akibatnya, untuk saat ini kepulauan Ambon mungkin dianggap sebagai satu-satunya wilayah di Asia Tenggara, yang memiliki peluang untuk melakukan rekonstruksi sejarah demografi secara umum untuk penduduk pribumi sebelum tahun 1800. Meskipun tidak ada jaminan yang jelas yang dapat ditemui untuk keandalan proto-sensus, keunikannya memberikan setidaknya nilai instrinsik untuk memahami sejarah demografi Maluku. Kasus Maluku, dapat menginformasikan pada para peneliti lebih banyak tentang situasi demografis Asia Tenggara periode awal moderen, yang tidaklah statis seperti yang sering dipikirkan. Namun, haruslah ditekankan bahwa statistik bersifat sedemikian rupa sehingga tidak mungkin untuk mendapatkan pengetahuan tentang masalah-masalah seperti usia saat menikah, proporsi perkawinan, ukuran keluarga, tingkat kelahiran dan tingkat kematian.
Orang-orang Belanda menyebut proto-sensus untuk Kepulauan Ambon adalah zielsbeschrijving, atau “cacah jiwa”. Mereka mulai menyusun dan mentabulasi daftar-daftar ini setiap tahun sekitar tahun 1670 dan mungkin terus melakukannya hingga akhir abad ke-19. Sayangnya, hanya kumpulan kecil yang masih “bertahan” dalam kearsipan, tetapi diantara yang masih tersimpan itu, ada seri lengkap untuk tahun-tahun antara tahun 1671 dan 1695. Artikel ini akan mencoba menganalisis bukti dari proto-sensus periode itu6. Hal ini akan dibagi menjadi 3 bagian. Pada bagian pertama, sumber-sumber itu dan metode analisis akan dibahas. Kemudian, pada bagian kedua, perhatian akan ditujukan pada hasil umum penelitian, khususnya sejauh mana tingkat pertumbuhan dan kepadatan penduduk. Akhirnya, pada bagian ketiga, beberapa komentar akan dibuat tentang demografi Ambon atas perspektif yang jauh lebih luas dan perbandingan akan diambil dengan perkembangan umum di tempat lain di Asia Tenggara, khususnya dengan pulau Jawa.


Sumber: Deskripsi, Keterbatasan dan Kemungkinan


                    Antara tanggal 23 Mei dan 7 Juni 1667, Cornelis Speelmana, Inspektur dan Laksamana “ Verenigde Oost-Indische Compagnie “ (VOC), melakukan kunjungan ke Provinsi Amboina. Speelman adalah panglima tertinggi ekspedisi Belanda untuk melawan Makassar, dimana penguasanya Sultan Hasanudin menantang kontrol Belanda atas kepulauan timur, tempat wilayah-wilayah penghasil rempah-rempah yang kaya. Daerah-daerah ini, Banda untuk Pala dan bunga pala serta beberapa tempat di Maluku Utara dan Tengah untuk cengkih, telah takluk ke tangan Belanda setelah pertempuran sengit di awal abad, memberikan VOC  monopoli sebenarnya atas pasokan pala, bunga pala dan cengkih dunia. Setelah berkuasa, VOC akhirnya telah membatasi produksi untuk pulau Ambon dan Lease. Ketika Speelman ditugaskan sebagai pemimpin ekspedisi ke Makassar, ia juga diperintahkan untuk melakukan tur inspeksi ke daerah penghasil rempah-rempah. Dalam masalah Ambon, ia seharusnya mengeluarkan beberapa pedoman umum untuk  pekerjaan administrasi. Di Batavia, terdapat kesan yang telah mengakar bahwa organisasi di sana (Ambon) telah menderita selama beberapa tahun terakhir, karena serangkaian perubahan personil di staf pemerintah provinsi. Terlebih lagi, Gubernur terakhir, Pieter de Marvilleb, termasuk seluruh keluarganya, telah meninggal dunia setelah penyakit berkepanjangan7.
               Pada tanggal 4 Juni 1667, Speelman secara resmi memerintahkan penghitungan penduduk di Provinsi Ambon. Motif-motif yang ia kemukakan untuk keputusan semacam itu, tidak cukup spesifik : “dalam pandangan pemerintah saat ini”, termasuk adminstrasi peradilan. Pemerintah daerah provinsi sepakat untuk membuat perhitungan seperti itu, mengingat akan berguna untuk mengetahui berapa banyak subjek yang ada, dan agama apa yang mereka anut8. Motif-motif pemerintah daerah jelas terkait dengan tujuan dan kecemasan yang ditimbulkan oleh aturan VOC di Ambon. Dikarenakan sebagian besar penduduk seharusnya mempertahankan kuota pohon-pohon cengkih tertentu, yang produksinya harus dikirim dengan harga yang ditentukan oleh VOC, maka penting untuk memiliki gagasan/ide yang lebih tepat tentang banyaknya jumlah subjek. Kontrol terhadap pasokan cengkih adalah alasan utama hadirnya VOC. Selain itu, seluruh penduduk dianggap bertanggung jawab untuk melakukan wajib kerja untuk VOC. Ini adalah semacam perpajakan dalam ketenagakerjaan, yang digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas Hongi, pengendalian VOC atas armada kapal-kapal perang kaum pribumi, dan untuk membantu VOC dalam membangun dan memelihara benteng-benteng militernya. Pertanyaan soal agama yang dianut oleh para penduduk itu penting, karena hubungan yang “tidak harmoni” antara para penguasa Belanda yang Protestan dengan sebagian rakyat yang beragama Muslim. Selama perang untuk menaklukan daerah itu, yang telah dilakukan pada interval tertentu antara tahun 1628 hingga 1658, umat Islamlah yang paling banyak memberikan perlawanan9.
               Komisinya Speelman juga harus dikaitkan dengan fakta, bahwa VOC mencoba untuk menerapkan perhitungan jumlah penduduk secara bersamaan di tempat lain di wilayah kekuasaannya sekitar tahun 1670. Rupanya, kepemimpinan VOC menyadari bahwa pengetahuan seperti itu berkaitan dengan kebutuhan pemerintahan kolonial. Elemen-elemen keamanan, politik dan militer, serta perkiraan potensi ekonomi dan fiskal masyarakat berada pada jantung dari keputusan ini. Keinginan untuk mengetahui angka populasi karena alasan fiskal dan militer bukan semata-mata hanya keinginan pihak kaum kolonial atau bangsa Eropa. Itu adalah keinginan yang ada di banyak bagian dunia dan dapat dilihat sebagai ekspresi dari proses pembentukan negara. Misalnya, pada abad ke-17, kerajaan Mataram Jawa juga berusaha secara tidak teratur untuk menghitung penduduknya. Namun, dalam hal ini registrasi asli perhitungan itu telah lama hilang, dan yang tersisa adalah beberapa data tentang hasil yang umum, yang sulit ditafsirkan10.
               Setelah kepergian Speelman dari Ambon, pemerintah lokal membuktikan bahwa apa yang mereka lakukan lebih dari sekedar hanya janji-janji manis saja kepada Speelman. Untuk tahun 1667 dan 1668, ada bukti upaya melakukan registrasi, yang tersedia dalam bentuk ringkasan singkat zielsbeschrijving untuk tahun-tahun ini. Namun, sangat jelas bahwa sebagian besar dari wilayah provinsi belum dihitung, terutama bagi daerah-daerah di luar pulau Ambon dan Lease. Tahun 1668, zielsbeschrijving mungkin didasarkan pada registrasi tentang dati, unit-unit kecil genealogis, yang masing-masingnya diharapkan memberi kekuasaan untuk seorang penduduk dalam rangka wajib kerja11. Pada Januari 1668, Pemerintah Tertinggi di Batavia memerintahkan untuk melanjutkan zielsbeschrijving12. Namun demikian, untuk tahun 1669 dan 1670 tidak ada tanda-tanda bahwa perintah ini dijalankan. Pada tahun 1671 dan 1672, pemerintah di Ambon melanjutkan pembuatan informasi yang diperlukan dan mengirimkan 2 zielsbeschrijving yang terperinci. Registrasi tersebut kemudian ditingkatkan pada tahun 1673. Zielsbeschrijving sebenarnya dibagi menjadi 3 kategori : personil VOC, komunitas migran non pribumi, dan penduduk asli/pribumi Ambon. Para migran biasanya tinggal di kota, yaitu kota Ambon, sementara penduduk asli dapat ditemukan di pemukiman di pedesaan di bawah kepemimpinan mereka sendiri. Orang Belanda menyebut penduduk negeri/desa adalah negorijlieden,yaitu orang negeri atau penduduk negeri/desa, sedangkan mereka memberi label imigran, bukan pekerja VOC, yaitu kaum burger. Personil VOC dan kaum burger tidak diwajibkan melakukan wajib kerja, dan dilarang terlibat dalam budidaya cengkih. Hal-hal penting ini dilakukan oleh negorijlieden.
               Dalam zielsbeschrijving, personil VOC dan kaum burger didaftar berdasarkan rumah tangga masing-masing. Dalam masalah negorijlieden, tingkat deskriptifnya berada pada wilayah negeri/desa. Semua kategori dibagi antara kolom untuk laki-laki, perempuan dan anak-anak. Perbedaan antara orang dewasa dan anak-anak tidak terlalu jelas, tampaknya sudah berusia sekitar 15 tahun. Di kolom untuk anak-anak, tidak ada spesifikasi menurut jenis kelamin. Kolom-kolom untuk penduduk bebas dalam kategori personil VOC dan kaum burger, dikelompokkan berdasarkan etnis, yaitu : Eropa, Mestizo, Cina dan sebagainya. Para budak adalah sub kelompok yang berbeda, baik di antara personil VOC dan kaum burger serta di antara negorijlieden. Pendaftaran penduduk bebas di negeri-negeri mengungkapkan pembagian menurut agama : Kristen, Islam atau “kafir”, yaitu penganut agama suku di Maluku Tengah. Ada juga kolom untuk jumlah dati di setiap negeri/desa. Informasi yang diperlukan untuk masing-masing negeri diberikan oleh para pemimpin negeri/desa, yang diingatkan oleh pihak pemerintah untuk tidak menggunakan perkiraan semata. Selain itu, para kepala sekolah (schoolmeester) dan beberapa pejabat lokal VOC diperintahkan untuk mengawasi registrasi dengan benar. Sangat mungkin, bahwa para pemimpin negeri/desa memperoleh angka-angka itu dari laporan tahunan para pemimpin dati (kepala dati), sama seperti para pemimpin bagian-bagian tertentu dari personil VOC dan kaum burger mendapatkannya dari kepala rumah tangga13.
               Semuanya diatur dengan sangat baik di atas kertas, dan para pemimpin negeri/desa dengan setia menyerahkan perhitungan mereka dari tahun ke tahun. Namun, dalam kenyataannya tampaknya hampir tidak ada kontrol di pihak VOC. Dalam beberapa kasus, ada tanda-tanda bahwa pemimpin negeri/desa tertentu hanya mengulangi perhitungan tahun-tahun sebelumnya. Meskipun demikian, dalam sebagian besar kasus, angka-angka tersebut menunjukan semacam pembaruan setiap tahun, yang dapat dilihat sebagai indikasi bahwa peringatan VOC dianggap kurang atau lebih serius. Satu pertanyaan yang tak bisa terhindarkan adalah, apakah ada motif bagi pemimpin negeri/desa untuk memberikan perhitungan jumlah penduduk negeri/desa mereka secara akurat atau tidak akurat. Mungkin salah satu pendapat bahwa, hanya karena dati adalah titik fokus dalam registrasi, para pemimpin negeri/desa mungkin memiliki minat yang kurang serius dalam pelaporan, karena pasti semakin banyak ada wajib kerja yang harus disediakan oleh negeri/desa. Pada sisi yang lain, seorang kepala negeri/desa mungkin juga berminat secara serius untuk menghitung sebanyak mungkin dati, karena jumlah pekerja wajib kerja saat itu, menentukan apakah negeri/desa akan memiliki “kapal perang” atau kora-kora sendiri di pelayaran hongi. (Kepemilikan sendiri) kapal-kapal seperti itu (kora-kora) secara otomatis menjamin  satu “kursi” di salah satu peradilan hukum adat Ambon untuk para pemimpin negeri/desa. Hal-hal seperti itu sangat berarti bagi elit lokal dari sudut pandang status dan prestise. 


               Daerah yang dicakup dalam zielsbeschrijving adalah daerah yang dengan kuat berada di bawah pendudukan VOC setelah tahun 1656/1658, yaitu pada akhir “perang besar Ambon atau perang Hoamoal”. Untuk keperluan analisis, wilayah tersebut telah dibagi menjadi 4 daerah “besar” yaitu : Ambon, Lease, Kepulauan Barat Ambon dan Seram Barat Daya (lihat peta). Berdasarkan kombinasi faktor geografis dan pembagian administrasi saat itu, wilayah supra “besar” Ambon dibagi menjadi wilayah Hitu, Larike, Hitu Tenggara dan Leitimor. Kawasan Lease dibagi menjadi 3 wilayah yaitu Pulau Haruku, Saparua dan Nusalaut. Kepulauan Barat Ambon terdiri dari wilayah pulau Ambelau/Ambalau, Buru, Buano dan Manipa. Untuk periode dalam kajian ini, pulau Kelang (dianggap) tidak berpenghuni. Untuk kasus pulau Buru, haruslah diingat bahwa VOC hanya menaklukan negeri-negeri pesisir, yang semuanya kemudian terpaksa menetap di sekitar teluk Kayeli. Akibatnya, ketika kita berbicara tentang Buru, hanya daratan pantai yang berdekatan dengan teluk Kayeli yang dimaksud. Wilayah Seram Barat Daya mencakup jalur neger-negeri pesisir antara Hoamoal dan Amahai. Dengan mempertimbangkan pembagian administrasi saat itu, Seram Barat Daya dibagi menjadi 3 wilayah. Daerah-daerah ini dinamai Seram Hitu, Seram Haruku dan Seram Saparua, karena wilayah-wilayah tersebut diperintah atau berada dalam kekuasaan  masing-masing wilayah yang bermarkas dari benteng VOC di Hitu, Haruku dan Saparua14.
               Atas dasar pertimbangan sebelumnya, haruslah diakui bahwa kami (penulis) tidak dapat mencapai kesimpulan yang memuaskan tentang keandalan sumber-sumber. Satu-satunya pengujian yang dapat dilakukan oleh peneliti saat ini, adalah untuk melihat apakah data dari unit-unit tunggal registrasi menunjukan tingkat koherensi yang wajar dari tahun ke tahun, serta dalam hal apa yang mereka lakukan secara mendalam. Kecacatan/kelemahan yang jelas dalam statistik asli ada 3 yaitu :
1.       Data mengenai 12 negeri/desa di Seram Selatan sebelah timur Amahai, memiliki kualitas yang sangat buruk, sehingga data mereka haruslah dianggap tidak bisa diandalkan. Wilayah-wilayah ini merupakan area di mana kekuasaan Belanda hanya bersifat “nama saja/dianggap saja” atau tidak berkuasa dalam pengertian sebenarnya. Negeri-negeri ini tidak dipertimbangkan dalam analisis ini.
2.      Data tentang negeri-negeri pesisir pulau Buru, yang terkonsentrasi di sekitar teluk Kayeli, pasti rentan terhadap registrasi struktural yang kurang lebih antara tahun 1672 dan 1680. Bagaimana masalah ini ditangain dalam analisis ini, akan dijelaskan dibawah ini.
3.      Kekurangan yang bersifat sesekali/sporadis untuk unit-unit tunggal registrasi tertentu, seperti pengulangan angka-angka dari tahun-tahun sebelumnya, tampilan total jumlah yang tidak koheren, dan dalam beberapa kasus, tidak adanya data. Kategori cacat/kelemahan ketiga ini diterapkan pada sekitar 4 hingga 5% dari total jumlah data. Hal demikian biasanya diganti dengan interpolasi, atau dalam beberapa kasus dengan ekstrapolasi15.
   
 Sayangnya, tetap ada 3 faktor atau wilayah-wilayah yang tidak dapat dicapai dalam cakupan statistik penuh untuk seluruh periode dari tahun 1671 hingga tahun 1695, yaitu :
1.     Data tahun 1671 dan 1672 untuk kategori personil VOC dan kaum burger, tidak ada
2.    Semua angka untuk kasus pulau Buru dari tahun 1693 dan seterusnya adalah pengulangan data dari tahun 1692
3.    Sebagian besar negeri/desa di wilayah yang bernama Seram Hitu, yang terletak di teluk Piru bagian dalam, tidak ada dalam statistik sebelum tahun 1679.

Atas dasar kredibilitas, ekstrapolasi tidak dianggap sebagai solusi bagi kesulitan-kesulitan ini. Oleh karena itu, analisis statistik ini akan berkonsentrasi pada perbandingan 3 tahun utama, yaitu tahun 1673, 1683 dan 1692. Yang pertama, yaitu tahun 1673, masih agak bermasalah, karena data tentang penduduk pribumi untuk wilayah Seram Hitu masih kurang. Diasumsikan bahwa total jumlah penduduk sekitar 750. Selain itu, ada masalah yang telah disebutkan sebelumnya, tentang registrasi di pulau Buru yang kurang dari sekitar tahun 1673 hingga awal tahun 1680an. Masalah ini diselesaikan dengan mengambil data penduduk pribumi tahun 1672 daripada data tahun 1673 dalam wilayah supra kepulauan Barat Ambon16.

Pertumbuhan demografis : suatu rekonstruksi dari zielsbeschrijving


            Pertumbuhan umum penduduk di bagian akhir abad ke-17 ditunjukan pada tabel 1. Statistik asli membedakan antara orang Ambon dan “orang lain”, yang terdiri dari para personil VOC dan kaum burger. Seluruh populasi provinsi tampaknya tumbuh sedikit, dari 52.500 pada tahun 1673 menjadi hampir 64.00 pada tahun 1692. Pada kedua tahun tersebut,  penduduk asli termasuk budak mereka berjumlah sekitar 90% dari total jumlah penduduk. Pertumbuhan lebih dari 11.ooo jiwa dengan demikian terutama diwujudkan dalam unsur-unsur pribumi. Wilayah Saparua memiliki jumlah penduduk pribumi terbesar, sementara unsur non pribumi terutama terkonsentrasi di Leitimor, khususnya di Kota Ambon. Penduduk bukan pribumi di wilayah lain terutama terdiri dari garnisun-garnisun orang Eropa di benteng-benteng VOC. Kota Ambon adalah satu-satunya kota di daerah tersebut, oleh karena itu, urbanisasi adalah faktor yang hampir tidak ada. Selain itu, hal ini hanya diterapkan pada bagian masyarakat non pribumi, orang Ambon sendiri masih tinggal hampir seluruhnya di pedesaan. Populasi budak dalam populasi non-pribumi adalah lebih dari 50%, sedangkan pada masyarakat pribumi sekitar 11 – 13%17.
            Pertumbuhan rata-rata tahunan ditunjukan pada tabel 2. Tampaknya unsur-unsur pribumi maupun non-pribumi menunjukan tingkat pertumbuhan 1,0%. Angka-angka untuk penduduk pribumi di provinsi secara keseluruhan hampir tidak dipengaruhi oleh terjadinya migrasi masuk dan/atau keluar. Konsekuensinya, alasan utama kenaikan itu pastilah karena pertumbuhan alami. Hal ini sangat bertentangan dengan pertumbuhan di antara populasi non-pribumi yang sangat bergantung pada migrasi dari tempat lain. Kontras ini juga diilustrasikan oleh jumlah orang yang terdaftar sebagai “anak-anak”. Dalam kasus penduduk pribumi, jumlah orang dewasa sekitar 39%, di Kota Ambon sekitar 20%. Selain itu, Kota Ambon menunjukan antara lain, karena itu adalah kota garnisun, rasio jenis kelamin sangat tidak seimbang di antara populasi orang dewasa, dengan sekitar 150 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Untuk penduduk pribumi, rasio jenis kelamin di antara orang dewasa adalah sekitar 105 laki-laki per 100 perempuan18. Dalam kasus penduduk pribumi, kawasan “supra” Lease dan Seram Barat Daya tumbuh pada tingkat yang lebih cepat daripada kawasan Ambon dan Kepulauan Barat Ambon. Hasil ini tampaknya agak aneh, terutama dari sudut pandang ekonomi, mengingat fakta bahwa hal itu menunjukan bahwa tidak ada korelasi antara pertumbuhan penduduk yang besar dengan keberadaan tanaman yang kaya uang seperti cengkih. Pulau Ambon adalah penghasil cengkih yang luar biasa, tetapi menunjukan tingkat pertumbuhan penduduk yang sedikit lambat, sementara pada periode yang sama, Lease memiliki budidaya cengkih dan pertumbuhan penduduk yang substansial. Pada sisi lain, populasi Seram Barat Daya meningkat pesat, tetapi tidak ada cengkih. Kepulauan Barat Ambon juga tidak menghasilkan tanaman komersial, namun tidak juga menunjukan peningkatan yang substansial. Nantinya, hubungan antara budidaya cengkih dan populasi akan dibahas lagi. 


            Di tingkat regional, peningkatan terbesar dicatat oleh Buano, Seram Haruku dan Saparua. Angka-angka untuk Buano dan Seram Haruku sangat dipengaruhi oleh migrasi masuk. Tidak seperti situasi di provinsi secara keseluruhan, migrasi antar daerah tertentu tampaknya menjadi faktor yang signifikan. Pada tahun 1656, VOC telah mendeportasi penduduk Buano, dengan pengecualiaan satu negeri/desa, yang selanjutnya disebut Buano Islam, ke daerah lain. Namun, dalam beberapa dekade berikutnya, orang-orang yang masih bersembunyi di suatu tempat di hutan-hutan Buano, diizinkan bergabung dengan penduduk negeri/desa. Selain itu, ada juga beberapa perpindahan dari komunitas-komunitas Buano yang dideportasi ke Manipa dan Leitimor. Beberapa dari penduduk ini memeluk agama Kristen dan bermukim di sebuah negeri/desa terpisah yang disebut Buano Serani/Kristen19. Dalam kasus Seram Haruku, pertambahan itu diperhitungkan oleh pemindahan kembali negeri Kaibobo, yang untuk sementara waktu dari tahun 1654 hingga 1676 di pulau Haruku20. Angka-angka yang meningkat di Saparua, sebagian merupakan hasil dari peningkatan alami dan sebagian dari remigrasi, khususnya bagian yang dikristenkan dari penduduk negeri Ihamahu, yang “dibentuk” kembali sebagai negeri terpisah di pulau Saparua pada tahun 168221.
            Populasi penduduk pribumi langsung menunjukan penurunan di wilayah Hitu dan Buru, sementara tingkat pertumbuhan yang rendah juga merupakan penyimpangan yang nyata dari tren umum. Pada kasus Hitu, penurunan tersebut dijelaskan oleh akibat gempa bumi dan selanjutnya banjir pada tanggal 17 Februari 1674, yang menelan korban sekitar sepertiga populasi22. Buru telah menjadi tempat pemberontakan dan selanjutnya penindasan oleh VOC pada tahun 1680 hingga 168123. Pertumbuhan yang lambat di antara penduduk pribumi di Leitimor, mungkin disebabkan oleh fakta bahwa Kota Ambon, satu-satunya pusat kota di Provinsi Ambon, terletak di sini. Kota Ambon, dengan para migran dan pedagang berskala besar yang datang dan pergi, seperti kota-kota pra-industri lainnya di seluruh dunia, memiliki angka kematian yang cukup tinggi. Angka yang tinggi ini seharusnya mempengaruhi pedesaan di sekitarnya. Sejauh menyangkut populasi non-pribumi, Kota Ambon menunjukan peningkatan yang stabil sepanjang periode. Peningkatan ini merupakan hasil dari migrasi24. Peningkatan atau penurunan populasi non-pribumi di daerah di luar Leitimor, sebagian besar ditentukan oleh kekuatan garnisun-garnisun VOC. Karena jumlahnya yang kecil, angka-angka ini tidak memiliki signifikansi demografis.
            Sebagaimana ditunjukan pada tabel 3, kepadatan populasi per km2 (kilometer persegi) di provinsi Amboina, cenderung tumbuh dari sekitar 20% pada tahun 1673 menjadi 25% pada tahun 1692. Wilayah supra penghasil cengkih dari Lease adalah yang paling padat penduduknya, diikuti oleh daerah penghasil cengkih lainnya, yaitu Pulau Ambon. 2 daerah supra yang tidak menghasilkan cengkih, yaitu Kepulauan Barat Ambon dan Seram Barat Daya, memiliki populasi yang kurang padat. Dari semua daerah supra itu, daerah yang terakhir (Seram Barat Daya) adalah daerha yang jelas paling tidak berkembang secara ekonomi. Karena itu, pada tingkat daerah-daerah, Seram Haruku, Seram Hitu dan Seram Saparua menunjukan skor terendah. Kepadatan yang rendah ini, mungkin dianggap sebagai paradoks. Wilayah-wilayah ini serta Buru yang berpenduduk jarang, adalah daerah-daerah di mana sumber daya terbesar untuk ekonomi nafkah hidup, yaitu pohon sagu banyak ditemukan. Di sisi lain, hanya keberadaan lahan rawa yang luas sehingga penuh dengan sagu, dan lahan rawa ini, yang relatif tidak ada di pulau-pulau kecil, mungkin merupakan penyebab utama kematian oleh penyakit, yaitu epidemi malaria yang sering melanda daerah tersebut. Malaria adalah musuh nomor satu di antara penyakit, yang kedua adalah variola atau cacar. Selama periode yang dibahas ini, epidemi seperti ini biasanya tampak mulai muncul di Seram Barat Daya yang kaya rawa dan Kepulauan Barat Ambon25.


            Nusalaut, Saparua dan Leitimor memiliki kepadatan populasi tertinggi. Alasan Nusalaut dan Saparua memiliki kepadatan jauh lebih tinggi daripada Haruku dan Pulau Ambon, masih belumlah jelas. Tampaknya tampilan fisik permukaan tanah dari 2 wilayah pertama (Nusalaut dan Saparua) menunjukan lebih sedikit variasi ketinggian daripada 2 wilayah terakhir (Haruku dan Pulau Ambon). Akibatnya, ada lebih sedikit curam, gunung-gunung tinggi dan bukit-bukit di Saparua dan Nusalaut. Ini bisa berarti bahwa relatif ada lebih banyak lahan yang tersedia untuk keperluan pertanian. Alasan lainnya, mungkin karena perbedaan kesuburan tanah26. Leitimor tidak hanya menunjukan kepadatan yang tinggi sepanjang populasi pribumi, tetapi juga merupakan sebagian besar populasi non-pribumi, khususnya di Kota Ambon. karena itu, kebutuhan terhadap tanah terbukti menjadi faktor konstan di Leitimor. Kekurangan tanah ini tidak hanya disebabkan oleh keberadaan populasi perkotaan tetapi juga oleh kenyataan bahwa VOC telah memaksa beberapa kelompok orang Ambon dari daerah lain untuk menetap di Leitimor, misalnya Hatiwe, Tawiri dan Batumerah27. Solusi utama untuk kebutuhan tanah ini, tentu saja, adalah wilayah Hitu Tenggara yang jauh lebih jarang penduduknya, di seberang Teluk Ambon. Daerah ini dulu jarang dihuni, karena antara pertengahan abad ke-16 dan ke-17, setidaknya sebagian besar telah menjadi tanah tak bertuan antara militer kolonial dan sekutunya di Leitimor dan lawan abadi mereka, yaitu Muslim Ambon dari Hitu.
           
====== bersambung ======


Catatan Kaki
  1. P.Boomgaard and AJ. Gooszen, Population Trends 1795-1942 (Amsterdam: Royal Tropical Institute,
    1991), pp. 25-26, 32-33.
  2. Boomgaard and Gooszen, Population Trends, pp. 14-25.
  3. For instance, Widjojo Nitisastro, Population Trends in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press,
    1970), pp. 1-3 suggests that before the twentieth century data on the population of other islands than Java were primarily limited to guesses.
  4. H. Jacobs S.J., Documenta Malucensia, Vol. I (Rome: Jesuit Historical Institute, 1974), p. 213; Vol. II
    (Rome: Jesuit Historical Institute, 1980), pp. 50, 211.
  5. A.J.S. Reid, "The Seventeenth Century Crisis in Southeast Asia", Modern Asian Studies 24 (1990): 649-50.
  6. A list of the censuses in the Archive of the Verenigde Oost-Indische Compagnie, deposited in the
    Algemeen Rijksarchief in The Hague, is found in Knaap, Kruidnagelent p. 304 (Appendix I, note 1). In case of a reference in this article to another source from this archive the abbreviation starts with VOC.
  7. FW. Stapel, "Cornelis Janszoon Speelman", Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 94 (1936):
    34-36; VOC 1263: 628r, 646r, 650v
  8. VOC 1263: 603r-v, 614r.
  9. Knaap, Kruidnagelen, pp. 68, 77-79, 138-44, 234-38.
  10. Boomgaard and Gooszen, Population Trends, pp. 13-14.
  11. H. Bokemeyer, Die Molukken; Geschichte und quellenmassige Darstellung der Eroberung und Ver
    waltung der Ostindischen Gewurzinseln durch die Niederlander (Leipzig: Brockhaus, 1888), p. 300; VOC 1267: 33r-34v; VOC 1275: 219r.
  12. VOC 892: 874r.
  13. Knaap, Kruidnagelen, pp. 279-80.
  14. Ibid., pp. 271-76.
  15. Ibid., pp. 280-82.
  16. Ibid.
  17. Ibid pp. 127-30; Knaap, "A City", pp. 119-20.
  18. Knaap, Kruidnagelen, pp. 111-13; Knaap, "A City", pp. 119-21, 124.
  19. G.J. Knaap (ed.), Memories van Overgave van Gouverneurs van Ambon in de Zeventiende en Acht
    tiende eeuw ('s-Gravenhage: Nijhoff, 1987), pp. 202, 233, 247; VOC 1275: 272v; VOC 1334 Resolutions: 22v.
  20. G.E. Rumphius, "De Ambonsche Historie behelsende een Kort Verhaal ... ", Bijdragen tot de Taal-,
    Land- en Volkenkunde 64 (1910), part II, p. 72; VOC 1317 Resolutions: 28-30.
  21. Knaap, Memories, p. 245; VOC 1376: 5r.
  22. VOC 1300: 37r, 38v, 315v-319v.
  23. VOC 1368: 46r, 50v-52v, 109v-110v.
  24. Knaap, "A City", p. 125
  25. Knaap, Kruidnagelen, pp. 115, 117, 120-21
  26. A. Wichman, "Het Aandeel van Rumphius in het Mineralogisch en Geologisch Onderzoek van den Indischen Archipel", inM. Greshoff (ed.), Rumphius Gedenkboek 1702-1902 (Haarlem: Koloniaal Museum, 1902), p. 154.
  27. Knaap, Kruidnagelen, pp. 120, 166


Catatan Tambahan
  1. Cornelis Speelman lahir di Roterdam pada tanggal 3 Maret 1628 dan meninggal di Batavia pada 11 Januari 1684. Speelman adalah putra dari Jan Corneliszoon Speelman dan Hadewij Harmansdr Wittert. Ia pertama kali tiba di Batavia pada tahun 1645, dan memulai karir dari tingkat terbawah hingga mencapai posisi puncak sebagai Gubernur Jend VOC pada periode 1681 -1684. Ia pernah menjadi Gubernur Coromandel (1663-1665), juga menjadi Komisaris 3 Gubernemen yaitu Ternate, Ambon dan Banda pada Maret 1667. Speelman menikah di Batavia pada tahun 1658 dengan Petronella Maria Wonderaer, putri dari Sebastian Wonderaer dengan istri keduanya yang bernama Petronela Maesdijk.

                  b.   Pieter de Marville menjadi Gubernur Ambon sejak Januari 1666 hingga kematiannya         pada 10 April 1667.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar