Minggu, 05 April 2020

Pemerintahan Negeri/Desa di Maluku Tengah


(bag 1)

Oleh
Alm. Rev. Frank Leonard Cooley (1920 -2010)

  1. Kata Pengantar
Artikel ini seperti yang disebutkan secara eksplisit oleh penulis sendiri, merupakan versi revisi dari naskah disertasi Phd-nya, khususnya bab III. Sang penulis, Frank Leonard Cooley, kelahiran Brooklyn 26 September 1920, yang telah almarhum di tahun 2010, terkenal di kalangan teolog agama yang mendalami kajian agama dan masyarakat. Disertasinya yang dipertahankan di Universitas Yale tahun 1962 itu berjudul Altar and Throne in Central Moluccan Societis : A Study of the Relationship between the Institutions of Religion and the Institutions of Local Government in a Traditional Society Undergoing Rapid Social Change. Disertasi ini, menurut Steve Gaspersz, salah satu intelektual muda Ambon, sebagai suatu kajian yang menelusuri dinamika kekristenan lokal, dan kedalaman kreativitas lokal mengadopsi, serta mengabsorpsi (menyerap) kemajemukan dimensional dari perjumpaan berbagai peradaban dalam konteks Maluku.
Naskah disertasi Cooley ini kemudian diterbitkan bukunya oleh Penerbit Harapan Djakarta di tahun 1987, dengan judul Mimbar dan Tahta : Hubungan lembaga-lembaga keagamaan dan pemerintahan di Maluku Tengah.

Seperti disebutkan sebelumnya, artikel ini merupakan versi revisi dari bab III naskah disertasinya itu. Versi revisi ini dipublikasi oleh Journal Indonesia no 7 (April 1969) pada halaman 138 – 163. Jika kita melihat tahun publikasi itu, adalah kajian “jadul” karena berusia 51 tahun lalu. Meski, “jadul” kami tetap merasa penting untuk dibaca isinya, karena itulah kami menerjemahkannya. Lagipula pada bab III, sesuai judulnya saja telah memberikan semacam “informasi umum” tentang struktur pemerintahan negeri/desa di Maluku Tengah, saat Cooley melakukan penelitian tahun 1957 dan 1960. Ada berbagai jabatan, yang mungkin di masa sekarang, kita mulai melupakannya, seperti marinjo, kepala kewang, tuan tanah, mauweng dan lain-lain.

Artikel versi revisi ini terdiri dari 26 halaman, yang didalamnya terdiri dari 1 buah peta dan 36 catatan kaki, yang dibuat seperti format penulisan disertasi umumnya, yaitu pada bagian bawah lembar-lembar halamannya.  Artikel terjemahan ini, kami bagi menjadi 2 bagian agar lebih ringan untuk diikuti, selain itu kami menambah beberapa ilustrasi gambar/foto sebagai “pemanis”.
Akhirnya, selamat membaca... selamat menikmati... dan selamat mempelajari pranata-pranata “adat” yang pernah ada... dan mungkin ingin dimunculkan kembali di masa kini.

Nisan Frank.L. Cooley (1920 - 2010)

  1. Terjemahan
Banyak beragam pengaruh yang telah membentuk Badan Saniri Negeri, suatu dewan negeri/desa yang merupakan lembaga utama pemerintah lokal di Maluku Tengah. Nama itu sendiri seperti menjadi saksi sejarah yang telah membentuknya – badan adalah bahasa melayu untuk suatu lembaga hukum; saniri adalah suatu istilah dalam bahasa Seram untuk suatu lembaga yang dipakai untuk memerintah wilayah 3 sungai; dan kata negeri adalah bentuk melayu untuk kata Sansekerta yaitu nagara, yang bermakna wilayah, kota, dunia1. Setiap upaya untuk menggambarkan struktur dan fungsi-fungsi kontemporer pemerintahan negeri/desa, oleh karena itu seharusnya mencakup beberapa catatan tentang pengaruh-pengaruh itu, dan bagaimana hal itu berkembang secara historis.
Pada Badan Saniri Negeri dewasa ini, kita dapat mengidentifikasi setidaknya 4 jenis “ kelompok jabatan atau kekuasaan”, dimana masing-masing dengan kekuatan politik yang semakin berkurang. Di antara kelompok pertama, adalah jabatan-jabatan tradisional yang masih berfungsi, seperti Radja (Ruler) dan Kepala Soa (chief  of collection of kin-group), dimana keduanya dapat dilacak kembali berabad-abad sebelumnya. Pada tingkat kekuasaan yang sama, ada juga anggota-anggota dari badan saniri yang non tradisional, dipilih oleh masyarakat untuk mewakiliki sub divisi atau kelompok-kelompok fungsional dalam masyarakat negeri/desa. Kelompok kedua terdiri dari figur-figur/pejabat-pejabat tradisional yang hanya mempertahankan sebagian dari fungsi sebelumnya, seperti misalnya Tuan Tanah (the lord of the land). Kelompok ketiga adalah figur-figur tradisional yang fungsi aslinya sebenarnya telah usang/tidak berfungsi lagi seperti Malessi atau Kapitan (millitary commander). Selanjutnya, kelompok keempat yaitu figur-figur khusus/tertentu, seperti Mauweng (a religious official) yang tidak lagi terisi dan hanya ada dalam ingatan masyarakat.
Ada 8 jabatan/kekuasaan yang terwakili di hampir setiap Badan Saniri Negeri di seluruh wilayah : Radja, Kepala-kepala Soa, Tuan Tanah, Kepala-kepala Adat, Kapitan, Kewang, Marinyo dan anggota-anggota biasa yang terpilih. Namun konstelasi jabatan-jabatan yang ada saat ini, berkembang hanya secara bertahap seiring waktu.
Unit politik paling awal yang diketahui, adalah komunitas yang cukup sederhana yang terdiri dari, sekelompok kecil keluarga-keluarga yang telah berpindah dan bermukim di lokasi tertentu, mungkin sebelum tahun 1450 AD (Masehi). Masing-masing pemukiman paling awal ini dipimpin oleh seorang Upu, yang bertanggung jawab atas semua hal yang berkaitan dengan hal-hal duniawi. Pada masalah-masalah militer, ia dibantu oleh seorang Malessi. Untuk urusan agama dan relasi dengan kekuatan-kekuatan yang menghuni “dunia lain” dilakukan oleh seorang Mauweng dan para pembantunya yaitu Malimu atau Maitale.
Upu, secara teoritis adalah keturunan dari pemimpin salah satu soa, kelompok-kelompok migran paling awal3. Akhirnya, 2 atau lebih kelompok keluarga tersebut bergabung untuk membentuk pemukiman kecil yang disebut Aman4. Aman adalah suatu pemukiman yang agak lebih kecil dari selanjutnya kemudian berbentuk negeri/desa, dan pada masa itu, soa juga lebih kecil dari saat ini. Kelompok itu hanya terdiri dari mata rumah asali, suatu keturunan berbasis patrilinial yang ada pada migrasi awal. Patrilinial lain (mata rumah) selanjutnya ditambahkan ke soa.
 
Anthoneta Benjamina Anakotta, Radja Saparua (1969 - 1996)

Dalam prosesnya, seorang pemimpin/penguasa tunggal, latu muncul di antara berbagai kepala (upu) dari kelompok-kelompok kecil (soa). Pemimpin-pemimpin lainnya adalah pembantunya, namun masih bertanggung jawab atas kelompok asal mereka sendiri. Patrilinial awal tetaplah dibedakan secara khusus dan pemimpinnya dikenal dengan gelar tuan tanah, bahkan jika hal itu digantikan oleh patrilinial lain di posisi tertinggi. 3 jabatan dapat ditemui pada masa kini dari perkembangan ini, yaitu latu, kepala soa dan tuan tanah.
Perkembangan lain yang disebabkan oleh pertumbuhan ukuran dan kekuatan pemukiman, adalah pembedaan-pembedaan fungsi. Sepertinya, dalam soa asli, semua fungsi dipegang oleh upu, yang menjabat sebagai Raja, iman dan komandan perang, dan yang mungkin menjadi pemimpin, justru karena dia diyakini memiliki kemampuan dan kekuatan khusus dalam bidang penting ini. Legenda tentang waktu awal berhubungan dengan banyak peristiwa dimana kualitas ini dimanifestasikan, sehingga memberi manfaat besar pada komunitas. Namun, saat populasi berkembang, kelompok-kelompok menjadi lebih kompleks dan kontrol teritorial diperluas. Menjadi penting bagi upu (sekarang disebut latu) untuk mendelegasikan beberapa “kekuatannya” kepada orang lain, yang mungkin bertindak sebagai pembantunya, tetapi tidak diakui/dianggap menjabat jabatan terpisah. Jabatan-jabatan ini berkembang dalam fungsionalisasi bidang-bidang administrasi (latu, kepala soa, marinjo, alamanan), agama (tuan tanah, mauweng, ma’atoke0, perang (malessi), urusan tanah (kepala dati dan kewang)5. Ada beberapa bukti, bahwa sejak saat negeri didirikan hingga sekitar akhir abad ke-19, ada jabatan-jabatan serupa yang melekat pada masing-masing soa – kepala soa, mauweng, malessi, alaman dan marinjo – tetapi hanya kepala soa dan marinjo yang tetap ada dewasa ini.
Seiring dengan pertumbuhan populasi dan negeri-negeri berkembang, aman mulai bergabung menjadi federasi yang disebut uli. Aman ini terletak di perbukitan, 2 atau 3 kilometer dari garis pantai. Aman asli di masing-masing uli biasanya disebut bahkan hingga dewasa ini sebagai negeri lama atau “old village”. Negeri lama adalah negeri dimana mata rumah radja dan mata rumah tuan tanah berada. Uli biasanya terdiri dari 5 atau 9 aman dengan penguasa/pemimpin yang kuat dan aman yang kuat menyediakan pemimpin federasi itu, yaitu Radja. Penduduk desa/negeri dipimpin oleh penguasa yang lebih “rendah” yang disebut pati atau orang kaja. Uli telah ada sebelum kedatangan Belanda pada tahun 1605, dan mungkin sebelum kedatangan Portugis tahun 1512. Kemungkinan besar, proses federasi terjadi sebagai akibat dari perpindahan kelompok-kelompok pendatang yang kuat dari Jawa, Sulawesi atau bahkan Maluku Utara. Kelompok-kelompok ini mampu menaklukan populasi/penduduk Maluku Tengah, karena mereka memiliki senjata dan ketrampilan yang lebih maju. Keluarga-keluarga penguasa di beberapa negeri penting seperti Hitu, Nusaniwe, Soya, Aboru, Tulehu, mengklaim hubungan dengan hal itu, jika bukan keturunan langsung, mungkin leluhur mereka yang berasal dari Jawa bagian timur atau selatan Sulawesi. 


Jadi, pada saat bangsa Eropa muncul, sistim dasar pemerintah yang ada pada saat ini, sudah berkembang. Bentuk-bentuk itu terutama ada di Seram, tetapi tambahan-tambahan penting lainnya diperkenalkan dari wilayah lain. Kedatangan orang Eropa dan pembentukan pemerintahan kolonial, membawa kekuatan baru kedalam sistim ini. Belanda menghancurkan sistim uli dan menggantinya dengan negeri-negeri otonom, yang secara langsung tunduk pada penguasa VOC. Mereka memecah federasi menjadi unit-unit yang lebih kecil dan dengan demikian melemahkan potensi pusat-pusat perlawanan. Tambah lagi, unit-unit kecil seperti itu lebih mudah dimanipulasi untuk Belanda memperoleh tujuan ekonominya, terutama monopoli pada perdagangan rempah-rempah, dan untuk mengawasi subjek-subjek populasi yang tertib dan patuh. Realisasi dari tujuan ini, diperlukan setidaknya selama 50 tahun, mendekati paruh terakhir abad ke-17.
Selama perpindahan-perpindahan (dislokasi) umum dan ketidakstabilan yang menandai periode pembentukan negeri/desa (sekitar 1480 – 1660), aman mulai menghilang. Dewasa ini hanya soa dan mata rumah masih tetap ada dalam struktur pemerintahan negeri. Beberapa perang sengit di berbagai bagian Maluku Tengah antar kelompok-kelompok dalam wilayah itu, dimana kekuatan luar, termasuk negara-negara Eropa terlibat secara berkala. Pergolakan umum yang menyebabkan perpindahan dari perbukitan ke garis pantai. Beberapa mata rumah, dan bahkan soa  di dalam aman pun dilikuidasi atau dibuang ke tempat lain sebagai bentuk hukuman6. Gubernur Belanda/VOC di Ambon memimpin ekspedisi hongitochten (ekspedisi penghukuman) terhadap pemukiman yang tidak patuh. Ekspedisi itu dijalankan oleh cora-cora (perahu perang) yang didatangkan dari negeri/negeri dan diawaki oleh penduduk negeri. Level dan partisipasi penduduk negeri dalam ekspedisi ini menentukan penghargaan atau hukuman, yang pada gilirannya mempengaruhi dalam soal kepemilikan tanah atau pengelolaan tanah, keluarga yang berkuasa dan tingkatan penguasa dari negeri itu. Selain perang, kedatangan Islam dan Kristen pasti menyebabkan jumlah kelompok-kelompok tertentu untuk berpindah secara sukarela, seperti misalnya ketika perbedaan agama memisahkan suatu negeri tertentu menjadi 2 atau lebih kelompok7.


Jabatan-jabatan pada Pemerintahan Negeri

                Belanda mempertahankan pola sebelumnya dengan membagi penguasa menjadi 3 tingkat, dengan Radja sebagai yang tertinggi. Negeri-negeri yang menjadi pemukiman utama uli, gelar radja diteruskan meskipun penguasa tidak menjalankan yuridiksi atas negeri-negeri lain. Meskipun dewasa ini, kepala desa biasanya merujuk pada gelar umum bagi pemerintah negeri, penduduk negeri hampir selalu menyebutnya sebagai Bapak Raja. Istilah Radja sebenarnya berasal dari bahasa Sansekerta dan mungkin diperkenalkan sebelum kedatangan Belanda. Terminologi adatnya adalah latu, yang nama itu masih dipertahankan dan sering digunakan dalam upacara. 2 gelar lain dari penguasa/pemimpin negeri adalah Patih dan tingkat yang lebih rendah, Orang Kaja, yang berarti “ man of high position”8.
 
Raja Negeri Saparua, Inalatu Soahuku dan Raja Hukuanakotta

Pemerintah kolonial Belanda menganugerahkan Radja, Patih, dan Orang Kaja, masing-masing dengan kepala rotan perak (silver-headed baton) sebagai simbol pelantikan dan otoritas politik mereka. Setelah beberapa tahun bertugas, seorang radja akan meningkat statusnya, yang dilambangkan dengan tongkat mas (gold-headed baton or staff). Patih atau Orang Kaja juga bisa naik statusnya melalui cara melakukan kerja-kerja luar biasa untuk pemerintah kolonial.
Perbedaan status ini, bagaimanapun pentingnya bagi individu yang terlibat atau terhadap protokol kolonial, tidak signifikan di dalam desa/negeri. Orang Kaja dan Raja, tampaknya memiliki status yang relatif sama terhadap masing-masing rakyatnya. Mereka adalah figur tertinggi di negeri/desa tertentu – yang paling dihormati, yang paling ditakuti dan paling berkuasa/kuat. Tampaknya tidak ada bukti-bukti kuat, bahwa ada perbedaan tingkatan/level di antara pemimpin/penguasa desa/negeri pada masyarakat Seram Asli. Hal ini memberi kesan bahwa sistim uli diperkenalkan ke Ambon, dan mungkin juga Lease, oleh kaum imigran dari bagian-bagian lain Nusantara. Munculnya istilah Patih memperkuat hipotesis ini.
Penguasa/pemimpin negeri/desa biasanya berasal dari tingkatan tertinggi aristokrasi negeri/desa. Posisi ini cenderung bersifat turun temurun/pewarisan. Pada masa-masa sebelumnya, putra tertua radja, biasanya menggantikan ayahnya, kecuali jika dia jelas tidak  mampu. Seorang ayah akan membuat pilihan dan menyiapkan “putra mahkota” untuk menggantikan perannya di masa depan. Dewan desa/negeri menyetujui pilihan itu dan melantiknya setelah kematian ayahnya. Pada masa-masa yang lebih baru ini, secara umum dipahami bahwa radja harus berasal dari satu di antar sekelompok keluarga tertentu9, yang dianggap memiliki hak turun temurun dan tanggung jawab adat untuk memerintah. Di sebagian besar negeri/desa, setidaknya ada 2 klan dengan hak prerogatif ini, klan yang berkuasa sebelum pemerintahan kolonial dan klan yang diangkat untuk berkuasa oleh Belanda10. Di sejumlah negeri/desa, hanya ada satu klan (mata rumah) yang memerintah sepanjang yang bisa diingat. Negeri-negeri/desa lain pernah mengalami periode ketika pemerintahan dirampas oleh orang-orang yang tidak punya hak turun temurun untuk itu. Dalam kasus-kasus seperti itu, kita sering mendengar cerita-cerita kemalangan yang menimpa keluarga perampas dan desa/negeri itu. Kepercayaan/keyakinan umum bahwa kelompok keturunan tertentu memiliki hak prerogatif sesuai adat, dan apapun yang menyimpang dari adat, akan tertimpa malapetaka/bahaya.
Awalnya, radja benar-benar penguasa mutlak, lebih dari itu, sangat ditakuti daripada dihormati. Dia mewakili semua kekuatan leluhur,  pada garis dia berdiri dan atas nama siapa dia memerintah, dia juga memiliki kekuasaan sementara yang besar karena didukung oleh rezim kolonial. Dibawah pengawasan VOC, penguasa/pemimpin desa/negeri sebenarnya hukum itu sendiri, selama dia memenuhi tuntutan para pejabat VOC/kompeni. Sistim kolonial bergantung pada amannya kerjasama para penguasa lokal, bahwa barang dan jasa yang diinginkan akan sampai untuk pemerintah Belanda dengan biaya yang lebih murah. Di Maluku Tengah, seperti di tempat lain, berbagai imbalan diiberikan kepada pemerintah negeri. Penduduk negeri/desa biasanya diminta untuk memberikan layanan kerja pribadi yang disebut heerendienst (layanan pada penguasa), untuk radja dan istrinya11. Belanda juga memberikan radja dengan pembayaran tahunan (disebut nohosi) dalam bentuk komoditas. Hal itu dianggap sebagai kompensasi atas hilangnya hak pribadi yang dipertahankan dengan syarat agar semua rempah-rempah dijual langsung ke pemerintah. Sebelumnya, warga telah membayar sebagian dari hasil panen tahunan mereka untuk radja12. Penguasa/pemimpin negeri juga menerima bonus untuk setiap pemuda dari negeri/desanya yang masuk dinas ketentaraan kolonial13.
Tak satu pun dari keuntungan-keuntungan ini, masih ada sampai dewasa ini, tetapi hal itu masih diingat, kadang-kadang sebagai kenangan, mengingat remunerasi yang sangat sedikit sedang diberikan kepada penguasa/pemimpin negeri/desa. Pada tahun 1960, misalnya, remunerasi adalah “ uang saku” tunai  sebesar Rp 200 per bulan –tidak termasuk “gaji”, yang lebih diutamakan, karena radja bukanlah pelayan masyarakat tetapi pimpinan komunitas adat. Nilai tukarnya ini, berjumlah sedikit lebih kurang dari $ 5,00 dan hanya sekitar $ 1,00 pada nilai rata-rata “pasar terbuka”. Namun, kebiasaan untuk memberikan raja dengan hadiah-hadiah dalam bentuk barang dari laut, atau dari kebun dan ladang, saat panen bagus, masih umumnya diikuti dan merupakan manifestasi dari statusnya sebagai pemimpin komunitas adat.
Peran pemerintah negeri saat ini lebih seperti presiden daripada pemerintahan kerajaan/monarki. Dia adalah kepala pemerintah, kepala eksekutif dengan asisten adminitrasi; yang umumnya gagasan-gagasan tentang kekuatan khusus yang melakat pada figur raja tersebut telah menghilang. Dia pilih untuk menjabat oleh penduduk negeri/desa, dan hak-hak serta tugasnya lebih jelas dan terbatas dibandingkan pada masa sebelum masa kemerdekaan.  Sejak tahun 1950, wewenang pemerintah negeri/desa sendiri telah dikurangi jauh, dan jabatan penguasa/pemimpin telah “menderita” akibat pembatasan dalam hal kekuasaan dan prestise.
Kepala Soa14 berfungsi sebagai pembantu penting bagi pemimpin desa/negeri. Jumlah soa di negeri-negeri tertentu dapat bervariasi, tetapi secara umum, setidaknya minimal ada dua15 : Aboru dengan populasi hampir 2.300 orang mempunyai 5 soa; Allang dengan kira-kira 2.800 penduduk mempunyai 8 soa; Erie dengan 600 orang mempunyai 4 soa; Naku dengan 700 orang mempunyai 3 soa; dan Soya dengan 715 orang mempunyai 2 soa, di saat ini.
Informasi yang ada itu, menunjukan bahwa soa, kurang lebih bentuknya sekarang ini, berasal/bermula dari pengaturan masing-masing negeri di lokasi saat ini.
Mungkin saja pada waktu yang sangat awal, soa mungkin pernah menjadi kelompok keluarga (a kin-group)16. Kadang-kadang rumah tau “tumpang tindih” dengan soa, dan rumah tau (atau luma tau) adalah terminologi adat untuk kelompok keturunan unilineal, yaitu mata rumah. Jika identifikasi historis rumah tau dengan soa dapat “disamakan”, yang mana menurut kami (penulis) sangat tidak mungkin, maka soa pasti menjadi kelompok keluarga mirip klan. Intepretasi-intepretasi yang membingungkan dari istilah soa, mungkin muncul dari kesalahan identifikasi soa dengan rumah tau sebagai pusatnya, kelompok patrilineal yang terbentuk di sekitarnya itu, dan memiliki hak istimewa turun temurun untuk berkuasa.
Laporan-laporan pada suatu waktu, menyebut bahwa tanah dikuasai oleh soa (semua dusun-dati dipegang dan dikelola secara komunal oleh soa), mungkin juga menyiratkan bahwa soa  pada awalnya adalah kelompok keluarga/kerabat. Salah satu dari fungsi-fungsi utama kelompok keturunan unilineal adalah kontrol dan administrasi dalam soal tanah. Namun, hal yang dapat dipikirkan adalah bahwa tanah itu mungkin telah dipegang secara komunal oleh soa, tanpa perlu soa menjadi kelompok keluarga, sebelum gangguan-gangguan yang disebabkan oleh Belanda antara tahun 1620 dan 1680. Yang pasti, kebijakan keras Belanda itu untuk mengendalikan perdagangan rempah-rempah, tidak hanya menggeser lokus produksi cengkih, tetapi juga secara radikal mengubah pola penguasaan dan kepemilikan tanah di Maluku Tengah17. Hak pengelolaan tanah secara pribadi atau oleh kelompok patrilineal dikembangkan dibawah sistim intensig produksi rempah-rempah yang dilembagakan setelah Belanda menggantikan Portugis pada tahun 1605.
Apapun masalahnya, tampak jelas bahwa sejak saat negeri/desa didirikan di lokasi mereka sekarang, soa belum menjadi kelompok keluarga/kerabat melainkan kumpulan kelompok keluarga, bahwa struktur sosial soa dan negeri kurang lebih tetap. Satu-satunya perubahan adalah penambahan atau penghapusan soa tertentu, sebagai akibat dari kebijakan kolonial atau perubahan populasi. Negeri Aboru dan Eri, misalnya, telah menambahkan jumlah soa-nya, di Soya, beberapa soa telah lenyap (hilang).
Kadang-kadang disebutkan bahwa soa adalah sub-sub divisi geografis dari negeri/desa18. Di Allang, misalnya, istilah soa memang digunakan secara ambigu, dan akan mudah untuk menyimpulkan bahwa 8 soa adalah distrik atau wilayah dalam negeri yang besar. Namun, penelitian yang cermat terhadap data yang tersedia, memperjelas bahwa makna dari istilah ini adalah kata bentukan (derivatif) dan hanya berlaku untuk negeri itu. Bahkan di Allang, makna dasar dari soa tetap menjadi kelompok patrilineal yang dipimpin oleh seorang kepala, yang membantu pemimpin negeri. Sementara itu, soa mungkin memiliki konotasi geografis di beberapa tempat, pada dasarnya bukan merujuk pada lokasi geografis, tetapi pada garis keturunan. Soa adalah kumpulan kelompok keturunan unilateral, mata rumah, yang menjadi mapan pada waktu tertentu. Mereka, di beberapa kasus, diperluas dengan penambahan kelompok patrilineal imigran baru; sementara dalam kasus lain, mereka berkurang, ketika mata rumah tertentu lenyap (mati). Beberapa soa mungkin telah sepenuhnya hilang/lenyap untuk alasan yang sama. 


Kepala Soa merupakan aristokrasi desa/negeri yang lebih rendah, dan sekarang dipilih dari antara calon yang memenuhi syarat, khususnya klan. Seperti halnya jabatan radja, kepala soa, pada awalnya, adalah putra tertua dari kepala soa sebelumnya (petahana). Namun, dewasa ini, jabatan tersebut diisi melalui pemilihan. Anggota-anggota dewasa dari soa (anak-anak soa), mencalonkan kandidat, dimana nama-nama tersebut diperkenalkan kepada seluruh pemilih. Pemilihan dilakukan oleh negeri/desa daripada oleh soa telah dilembagakan, karena nantinya, kepala soa bertugas sebagai petugas bulan ini (kepala soa djaga bulan), dimana yuridiksinya meluas atas seluruh desa/negeri.
Secara umum, ada 2 kategori kepala soa. Kepala Soa Akte adalah kepala soa yang telah disetujui dan dilantik oleh pemerintah distrik, yang menerima remunerasi dalam jumlah kecil untuk bulan-bulan, dimana mereka bertugas sebagai kepla soa djaga bulan. Mereka memiliki status resmi, dan karenanya, agak lebih dihormati oleh penduduk negeri. Kepala Soa Tanah atau Kepala Soa Masing, adalah kepala soa yang dipilih sesuai tradisi negeri tetapi tidak diakui atau dilantik oleh pemerintah distrik. Mereka memiliki fungsi tertentu dalam masalah tanah atau adat, yang memberi mereka gelar kepala soa, tetapi mereka tidak berkuasa atas soa dengan cara yang sama seperti kepala soa akte, juga tidak bertugas sebagai petugas bulan ini. Mereka tidak menerima remunerasi dari administrasi sipil. Kepala soa berfungsi sebagai anggota Badan Saniri Negeri, dan berstatus relatif tinggi dalam masyarakat negeri, meskipun lebih rendah dari radja. Karena fungsi kepala soa pada dasarnya administratif dan tidak terlibat banyak kontak dengan otoritas supra desa/negeri, jabatan itu mungkin berpengaruh bagi pihak luar, dibandingkan jabatan radja, atau jabatan-jabatan lain yang berkaitan dengan agama atau adat, misalnya mauweng dan tuan tanah.
Tuan Tanah merupakan terjemahan dari “lord of the land”19. Kadang-kadang gelar tuan negeri atau tuan adat juga digunakan, tetapi tuan tanah adalah yang paling tepat dan banyak dipakai. Jabatan ini diisi oleh keturunan turun temurun dari leluhur/nenek moyang pertama yang menetap di daerah itu, yang mungkin dalam banyak kasus merupakan upu pertama. Sering terjadi bahwa garis keturunan upu ini, kemudian secara politis digantikan oleh garis keturunan yang lebih baru, yang kemudian dianggap dengan gelar latu atau radja. Perubahan ini, bagaimanapun, tidak mempengaruhi sama sekali garis keturunan sebelumnya, yang memiliki  yuridiksi khusus atas tanah negeri dan hak serta tanggung jawab mereka dalam penutupan dan membuka sasi20, menyembuhkan hal-hal yang diyakini disebabkan oleh terjadinya kontak dengan tempat-tempat sakral dan benda-benda yang dilarang di desa/negeri atau mengakibatkan kutukan/sumpah. Dengan memudarnya kepercayaan tradisional, fungsi sebenarnya dari tuan tanah mulai menurun/menghilang. Namun, di sebagian besar negeri dewasa ini, jabatan ini masih difungsikan, dan tuan tanah tampil di berbagai acara seremonial yang melibatkan seluruh negeri.
Tuan Tanah, yang seperti juga Radja, memiliki tingkatan tertinggi sebagai aristokrat di negeri/desa; keduanya terhubung oleh keturunan dari pendiri asli negeri/desa. Tuan tanah tidak menikmati status setinggi radja, karena dia (jabatan itu) telah kehilangan banyak fungsionalnya yang signifikan. Posisi jabatan ini masih terisi melalui cara tradisional, tuan tanah petahana melatih putra sulungnya dalam pengetahuan adat yang diperlukan, ilmu dan ketrampilan. Jika putra tertua tidak tertarik,tidak menetap di negeri, atau tidak mampu, yang lain bisa dipilih dan dipersiapkan untuk memangku jabatan ini, ketika jabatan itu kosong. Di beberapa negeri/desa, ada lebih dari satu tuan tanah, karena ada lebih dari 1 kelompok patrilineal pada kelompok imigran pertama,dan hal demikian tetap diyakini bahwa situasi aslinya masih tetap dipertahankan/terjaga.
Kepala Adat, adalah pewaris dari beberapa fungsi mauweng dewasa ini, suatu jabatan (mauweng) yang tidak lagi ditemukan di negeri-negeri Maluku. Mauweng (mauwen atau maueng) adalah figur utama dalam agama asli, terutama bertugas sebagai imam dari masyarakat rahasia religius (Kakehan), dimana semua anggota laki-laki patasiwa hitam diinisiasi ketika mereka dewasa21. Rumah kakehan, tempat mauweng bertugas, terletak di hutan, agak jauh dari desa/negeri. Rupanya, masing-masing soa memiliki mauweng, yang bertanggung jawab atas semua hal yang berhubungan dengan “dunia lain”, termasuk agama dan adat, yang sebelum datangnya kekristenan, tampaknya tidak dibedakan secara signifikan. Inilah sebabnya mengapa kepala adat telah menggantikan dan menjadi bagian dari fungsi dan posisi mauweng22. Mauweng juga mempraktikan seni meramal, menentukan peristiwa yang telah terjadi di beberapa tempat yang jauh, atau yang akan terjadi di masa depan, untuk melindungi dan memajukan negeri/desa. Metode umum meramal adalah memeriksa isi perut unggas atau hewan lainnya, memotong akar jahe atau kelapa, atau menggunakan beras dan gunting.
Kepala adat dalam masyarakat Ambon dewasa ini, adalah figur (terkadang ada 2) yang ahli dalam masalah-masalah dan upacara adat. Dia ditunjuk oleh radja dan disetujui oleh saniri. Namun, seperti biasanya, mauweng sebelumnya, mauweng adalah putra dari mauweng sebelumnya, yang telah mempelajari semua pengetahuan adat dan pengetahuan rahasia lainnya yang penting dari ayahnya, untuk posisi tersebut. Ia berada dalam level yang lebih rendah dalam aristokrasi negeri/desa, dan banyak dihormati dan ditakuti, terutama oleh anak-anak muda, karena dia diyakini memiliki hubungan “mistis” dengan dunia “lain”. 


Kapitan23, dalam bahasa adat diistilah sebagai malessi, juga disebut sebagai kepala pasukan (leader of the forces) atau panglima perang (commander in warfare). Pada awalnya, ketika ada banyak peperangan internal antar negeri, dan saat ada penangkapan oleh orang-orang luar untuk mencari budak atau barang-barang berharga lainnya, yang masih sering terjadi, jabatan malessi atau kapitan sangat penting untuk keamanan negeri/desa24. Jabatan ini, tampaknya berasal dari diferensiasi fungsi aslinya yang disinggung di atas, dimana jabatan-jabatan khusus dibentuk untuk memenuhi kebutuhan khusus. Pada awalnya, nampak bahwa kapitan diangkat oleh upu latu karena kehebatannya dalam peperangan dan sihir. Jabatan itu kemudian menjadi turun temurun, dimana kapitan lama mengajarkan salah satu putranya, strategi dan ketrampilan peperangan, serta ilmu rahasia sihir dan ritual.  
Kapitan bertanggung jawab atas perencanaan dan memimpin operasi-operasi militer, baik penyerangan maupun pertahanan. Dia dipercaya memiliki kekuatan magis, yang membuat dirinya kebal terhadap senjata tajam, yang menjamin suatu kesuksesan dalam penggerebakan, melalui upacara-upacara yang diperlukan dan dilakukan dengan benar. Ritual ini termasuk pembunuhan unggas, menggerak-gerakan senjata di atas api dan asap dari pembakaran kayu tertentu, tarian perang (cakalele), dan membaca dalam bahasa asli (tanah) sebagai formula untuk memanggil para leluhur dan mengancam para musuh25. Pengetahuan tentang ritual-ritual seperti itu, pada dewasa ini hanya ditemui di beberapa negeri/desa saja.
Di beberapa negeri/desa, ada 2 kapitan. Yang pertama, bertanggung jawab utama terhadap pertahanan wilayah pesisir dari serangan dari arah laut, jabatan ini bergelar Kapitan Laut (Captain of the sea). Yang kedua, kadang-kadang disebut Kapitan Darat (Captain of the land), bertugas untuk menghadapi serangan dari “belakang” atau sisi darat. Negeri-negeri di perbukitan, mungkin hanya memiliki 1 kapitan saja. Melalui konsolidasi kekuatan Belanda, wilayah – wilayah itu relatif tenang, dan mengurangi tugas-tugas jabatan ini dalam konflik internal dan serangan dari pihak luar. Akibatnya, semakin sedikit kesempatan untuk mempraktikkan seni berperang di tingkat negeri/desa. Kapitan dan Malessi, akibatnya tugas-tugas mereka tak banyak yang dilakukan, dan lambat laun jabatan ini mulai menghilang, kecuali untuk proses-proses seremonial saja. Malesi akhirnya menghilang sama sekali. Hanya kapitan masih tetap ada, dan hanya “memelihara/mempertahankan bayang-bayang” dari tugasnya. Jabatan ini, ada di sebagian besar negeri/desa, tetapi fungsinya yang tersisa hanya berupa seremonial saja, seperti dalam memperbarui ikatan pela26, dan memimpin tarian perang (tjakalele) pada acara-acara khusus. Kapitan tidak dianggap sebagai anggota biasa Badan Saniri Negeri, tetapi kadang-kadang, ia dapat diundang untuk ikut dalam pertemuan/rapat. Ia sangat dihormati dan ditakuti oleh anggota komunitas, karena posisi keturunannya terhubung dengan nenek moyang/leluhur negeri/desa, dan terutama karena dia diyakini mewarisi kekuatan magis mereka.
Kewang, bertindak sebagai “polisi” negeri/desa atau pasukan keamanan. Ada 2 kategori kewang, kewang biasa yang berjumlah 20 atau 30 di negeri-negeri besar, dan kepala kewang, yang dipilih oleh penguasa/pemimpin negeri dengan persetujuan saniri, serta bertanggung jawab atau pasukan kewang. Seorang informan menyatakan bahwa, kewang dipilih dari kepala dati, sejak kelompok ini dianggap paling “dekat” dengan masalah-masalah batas tanah. Fungsi utama kewang adalah penjagaan kebun dan hutan untuk melindungi dari perambahan. Tanggung jawab lainnya adalah pengawasan sasi. Kewang diangkat/dipilih dari kalangan orang biasa (rakyat jelata), dan tidak memiliki status khusus tertentu dalam masyarakat. Kepala Kewang, walaupun bukan anggota biasa Saniri Negeri, bisa diminta untuk hadir dalam pertemuaan ketika ada pertanyaan atau permasalahan dalam yuridiksinya dibahas. Jabatan ini masih memiliki fungsi nyata, meskipun telah hilang beberapa fungsi pentingnya, seiring dengan menghilangnya adat sasi.
Marinjo, tampaknya memiliki sejarah panjang, berasal dari masa ketika pemerintah mulai menunjukan tanda-tanda diferensiasi. Awalnya, marinjo adalah salah satu pembantu kapitan, seorang juru bicara, yang menyampaikan instruksi dan pengumuman dari radja kepada masyarakat, bertindak sebagai mulut radja27. Mungkin karena berhubungan dekat dengan radja, marinjo cukup menikmati prestise dalam masyarakat negeri, meskipun mereka bukanlah kaum aristokrat negeri/desa dan tidak memiliki posisi turun temurun. Selanjutnya, dia menjadi pembantu Kepala Soa dan bertugas sebagai ajudan atau pesuruh umum kepala soa selama waktu, ketika figur itu bertugas sebagai “perdana menterinya” radja. Dewasa ini, marinjo ditunjuk oleh saniri. Ia menerima pembebasan pajak (tak bayar pajak) sebagai imbalan atas jasanya/tugasnya, dan menikmati status yang agak lebih daripada masyarakat biasa. Selain tugas resminya untuk pemerintah negeri/desa, ia juga bertugas memberikan layanan pribadi untuk radja dan kepala soa dalam tugas bulanan.
Jabatan terakhir dalam pemerintahan negeri/desa adalah anggota-anggota yang dipilih. Selama tahun 1920an, Belanda, dalam menanggapi tekanan nasionalisme, melembagakan tugas-tugas ini ke anggota-anggota yang dipilih ke dalam struktur pemerintahan. Anggota yang dipilih ini, memiliki status lebih rendah daripada anggota yang ditentukan secara adat. Di Maluku, 1 wakil dipilih dari antara rakyat biasa untuk masing-masing soa. Dalam beberapa kasus, mereka yang terpilih memegang posisi khusu dalam soa mereka sendiri. Mereka mungkin saja bisa menjadi kepala dati atau kepala rumah tau, tetapi pada saniri, mereka duduk sebagai anggota terpilih yang merepresentasikan pendapat masyarakat. Anggota terpilih menikmati status lebih tinggi dari marinjo, tidak sama dengan kaum aristokrat yang statusnya lebih rendah. Dalam saniri, mereka mungkin memiliki tanggung jawab khusus untuk beberapa segmen kehidupan desa/negeri, seperti jalan dan transportasi atau kegiatan pemuda.
Dua jabatan yang sebelumnya ada dalam struktur pemerintah negeri (marinjo dan anggota yang dipilih) tidak ada lagi, kecuali dalam ingatan segelintir penduduk berusia lanjut. Figur-figur pada jabatan ini, kemungkinan besar, pada suatu waktu dianggap sebagai anggota saniri, tetapi mereka tampaknya tidak memiliki status tinggi di negeri/desa28. Yang pertama adalah alamanan atau alamanane, yang didefinisikan oleh Kennedy sebagai “juru bicara di dewan saniri”. Rupanya, masing-masing soa memiliki 1 alamanan di saniri. Mungkin jabatan ini adalah cikal bakal anggota saniri terpilih modern yang konon dianggap mewakili anggota soa. Namun, kemungkinan besar, dia adalah seorang petugas dengan hak dan tanggungjawab khusus dalam hal-hal yang melibatkan adat, khususnya ketika saniri, atau bagian dari itu, hadir di pengadilan. Alamanan mungkin menjadi juru bicara di pengadilan, dengan tanggung jawab khusus untuk kasus-kasus yang melibatkan soanya sendiri. Penarikan/pencabutan fungsi-fungsi yudisial dari saniri, mungkin menjadi alasan hilangnya jabatan ini.
Jabatan lain yang juga sudah lama di sebagian besar negeri, adalah ma’atoke, yang digambarkan Kennedy sebagai penjaga baileo29, yang dituntut dengan tanggung jawab untuk menjaga baileo agar tetap bersih dan teratur, memberitahu radja tentang perbaikan yang harus dilakukan. Kennnedy melaporkan bahwa ada 1 ma’atoke untuk setiap soa30. Radja Elpaputih, salah satu informan penting Kennedy pada tahun 1949, menggambarkan kepada penulis (Cooley) pada tahun 1960, bahwa ma’atoke sebagai “penguasa baileo, orang yang bertanggung jawab memimpin upacara yang diadakan di sana”. Deskripsi ini tidak sesuai dengan informasi lain bahwa tuan tanah dan kepala adat yang berfungsi pada ritual seperti itu. Deskripsi Kennedy tentang fungsi ma’atoke tampaknya lebih dapat diterima, karena informan lain menyebut bahwa, pada awalnya, saat keluarga-keluarga pertama tiba di negeri, radja memberi tugas tertentu dengan imbalan, ia memberi mereka tanah. Termasuk di antara tugas-tugas ini adalah perawatan dan perbaikan baileo, yang dilembagakan jabatannya sebagai ma’atoke. Jabatan ini tidak ada lagi dewasa ini, mungkin karena baileo, sebagai sebuah institusi, mulai menghilang fungsinya.

==== bersambung ====
 
Catatan Kaki
1.         Terminologi Seram untuk Negeri adalah Hena atau Yama. Kata Negeri, mungkin menggantikan istilah-istilah itu akibat pengaruh dari barat Nusantara, namun kapan tepatnya tidaklah diketahui dengan pasti. Seorang informan menyatakan bahwa kata negeri berkembang dari kata negorij, terminilogi yang digunakan oleh VOC untuk menyebut negeri-negeri/desa di Maluku, seperti di Afrika Selatan untuk negeri-negeri Negro di sana. Radjawane “ The Structure of Village Government”, hal 1. Suatu Kamus Belanda mengidentifikasi kata negorij sebagai terminilogi melayu untuk nagaree, tetapi juga menjelaskan kata negerij berarti “negeri/desa negro” dan berasal/berakar dari kata, negeri, negro. Engels Woordenboek (Groningen: Wolters, 1959), hal. 550.
2.        Kata Adat yang digunakan dalam kajian ini, merujuk pada struktur norma-norma yang mendasari kelakuan, sifat konvensional pribadi dan aturan umum yang mengatur tindakan pribadi dan kelompok.
3.        Pada awalnya, soa nampaknya, bukan kelompok keturunan tetapi lebih kepada istilah untuk kelompok migran yang saling berhubungan. Etimologi untuk terminologi soa tidak diketahui. Istilah adat di Alang adalah urur, di Eri adalah antoun, di Waraka, Seram Selatan adalah nurua. Informan-informan di Alang menyebut jika kata soa merupakan dialek Hoamoal, Seram Barat. Yang lain menyebut itu adalah dialek Maluku Utara.
  1. Aman (dengan varian-varian amang dan amano), berasal dari terminologi adat yaitu ama, yang bermakna “ayah/bapa” atau “tuan”. Suatu aman merupakan hunian yang dipimpin atau milik dari seorang ama. Negeri Soya menyebut, negerinya memiliki 9 aman, yang lokasi-lokasi masih diingat. Negeri Aboru mengklaim ada 99 aman, namun saat ditanya, anggota-anggota saniri hanya bisa mengingat 23 nama, dan ada ketidaksepakatan soal jumlah aman.
  2. Lihat juga : Kennedy “Field Notes, 1955”, hal 79. Kepala dati dipilih dari dalam kelompok patrilineal untuk memutuskan distribusi kelompok patrilineal pengelola tanah dan produksinya.
  3. Hal ini terjadi di negeri Allang pada akhir abad ke-17, dan pastinya nyaris di negeri-negeri lain juga
  4. Tetua-tetua negeri Allang menyebut bahwa, sebelum negeri mereka menerima kekristenan pada tahun 1622, masyarakat mereka sebagian Muslim dan sisanya Alifuru. Beberapa dari masing-masing kelompok mungkin memilih keluar dari negeri itu daripda menerima  konversi.
  5. Istilah-istilah Patih dan Bupati, menyiratkan pada pejabat-pejabat administrasi, umumnya di Jawa. Patih, di Maluku, jelas adalah kata pinjaman dari bahasa Jawa dan berakar pada salah satu bahasa-bahasa India. Pada bagian glosari milik Kennedy di bukunya, (tidak disusun sendiri oleh Kennedy), patih diidentifikasi sebagai kata dari bahasa Ambon, namun hal ini semuanya tidak meyakinkan. Pada glosari itu, Kennedy menyatakan bahwa Orang Kaja lebih tinggi tingkatannya dari Patih, yang terakhir ini (patih) didefinisikan sebagai “bangsawan tingkat 3”. Saya (Cooley) dapat berasumsi soal hal ini, bahwa penyusun glosari itu tidaklah familiar dengan rincian-rincian masyarakat Maluku.  Informanku menyebut patih berada di tingkat kedua dan orang kaja di tingkat ketiga. Gelar orang kaja dikenal dalam dunia melayu dan bertugas di wilayah sekitar Malaksa saat Portugis menaklukan kota itu tahun 1511. Secara umum digunakan untuk pemimpin negeri di Maluku Tengah dalam laporan-laporan awal Portugis dan Hikajat Tanah Hitu milik Ridjali. Karya terakhir ini disusun sekitar tahun 1650 dalam bahasa melayu tapi menggunakan teks Arab, mungkin oleh penduduk asli kepulauan Ambon. Karya itu merupakan sumber tertulis paling awal tentang wilayah itu oleh penulis asli yang bisa diketahui.
  6. Ini merupakan bentuk singkat dari terminologi teknis kinship yang lebih disukai oleh Koentjaraningrat, “Villages in Indonesia” (Ithaca, N.Y.: Cornell University, 1967), p. 141. Pada publikasi-publikasi lain, penulis biasanga menggunakan istilah klan atau patriat mengikuti MurdockSocial Structure” (New York: Macmillan, 1949), pp. 63-69.
  7. Di beberapa negeri, legenda selanjutnya berhubungan dengan situasi itu. Penguasa di negeri lama di perbukitan diminta untuk bertemu dengan komandan Belanda atau Portugis. Ia takut atau juga terlalu angkuh untuk pergi sendiri, dan pembantunya, yang dalam beberapa kasus adalah marinjo akan turun sendiri, yang kemudian hasilnya kemudian diakui sebagai penguasa oleh orang luar.
  8. Masing-masing minggu atau bulan, sejumlah orang muda/pemuda, biasanya antara 5 hingga 8 tergantung besarnya negeri, diwajibkan bekerja untuk radja, utamanya mengelola tanahnya. Para pria pekerja itu disebut kwarto, mungkin dari terminologi Portugis yang menyiratkan tentang pembagian asli para pelaut dalam menjaga kapal-kapal. Wanita muda pekerja itu, disebut hakakil, yang bertugas di rumah membantu istri radja. Sistim ini dihapus pada tahun 1920, karena hak asasi kwarto dan hakakil sering diselewengkan. Hal ini digantikan oleh pembayaran gaji bulanan ke pemimpin negeri. Gaji itu pada kenyataannya, cukup untuk membiayai gaya hidup mahal pemimpin negeri hanya untuk 2 minggu saja.
  9. Menurut salah satu pemimpin negeri, nahosi termasuk : beberapa kotak bedak merah yang digunakan dalam tarian cakalele, cermin dan manik-manik, 77 yard kain putih, 60 yard katun, 7 gulungan kayu masing-masing 30 yard kain dril dan 12 gulungan kayu 12 yard kain merah (kain berang), yang digunakan pada busana saat upacara.  
  10. Keluarga dari anak memperoleh 250 guilder. Kemudian jumlah ini dikurangi menjadi 50 guilder untuk penguasa dan 60 untuk keluarga.
  11. Terminologi adatnya adalah mutuaella, menurut Kennedy, “Fieldnotes, 1955," p. 117.
  12. Secara pribadi, penulis tahun bahwa tidak ada kasus yang lebih dari 8, walaupun hal itu masih ada, khususnya di antara pemukiman-pemukiman muslim yang lebih besar
  13. Kennerdy mengidentifikasi hal itu ada di 2 tempat , yaitu di Sulawesi Selatan (hal 256), dan Ambon (hal 345).
  14. Cooley, Ambonese Adat, A General Description (New Haven: Yale University, 1962), p. 58.
  15. Sebagai contoh, Kennedy, “ Field notes, 1955” hal 256. Ada 2 kemungkinan penafsiran yang satunya menjelaskan soa sebagai unit geografis. Yang kami pertimbangkan dan simpulkan sangat tidak mungkin, yaitu gagasan bahwa soa adalah kelompok keluarga dan karenanya merupakan unit pengelola tanah. Dalam hal ini, tanah sangat mungkin  telah dilokalisir ke dalam satu distrik/wilayah. Kemungkinan lain adalah mengidentifikasi soa dengan aman, yang tampaknya dilakukan Kennedy dalam "Fieldnotes, 1955," p. 333. Karena aman adalah uni geografis, maka soa secara alami juga demikian. Penulis tidak melihat bukti untuk asumsi ini
  16. Ada beragam terminologi adat, yang semuanya memiliki arti yang sama : amanopunjo, amanapui, amanupui, latunusa
  17. Sasi adalah pengumuman penutupan musim produk laut dan darat, jika dianggap dibutuhkan untuk kepentingan konservasi. Cooley, Ambonese Adat, pp. 77-80.
  18. Ini adalah lembaga khusus dalam sistem keagamaan pribumi yang tampaknya telah menjadi ciri masyarakat Seram. Perpindahan penduduk dari Seram ke Ambon-Lease mungkin mendahului kedatangan Islam dan Kristen hanya dalam waktu singkat. Karenanya institusi utama agama pribumi belum ditanamkan secara mendalam. Karena alasan ini, baik Islam maupun Kristen jauh lebih cepat dan mudah diterima di Ambon-Lease daripada di pedalaman Seram, di Buru atau di Maluku Tenggara, di mana mereka jauh lebih tahan terhadap semua upaya misionaris.
  19. Bagian lain dari fungsi dan posisi religius diambil alih oleh tuagama, yang di masa sebelum banyak negeri kongregasi Protestan di layani oleh pendeta atau guru djemaat “teacher preachers”, yang merupakan figur religius penting pada negeri-negeri Kristen
  20. Nama dari jabatan ini dirubah dari terminologi adat ke kata Portugis beberapa waktu setelah tahun 1512.
  21. Kennedy meyakini bahwa hal itu pasti ada seandainya setiap negeri minimal memiliki 1 musuh tradisional, lihat  "Fieldnotes, 1955," pp. 307-308.
  22. Untuk pendeskripsian kegiatan ini, lihat Kennedy, “Fieldnotes, 1955”
  23. Cooley, Ambonese Adat, pp. 71-77. Pela adalah ritual ikatan persahabatan atau kewajiban menguntungkan antara negeri-negeri
  24. Ia menyebut maitale dalam 1 dialek, varian-varian istilah itu adalah malimu dan marimu. Gelar Marinjo diperkenalkan setelah tahun 512, dan berasal dari merinho, terminologi Portugis yang berhubungan dengan jabatan
  25. Salah satu jabatan  ini disebutkan hanya 1 kali oleh penulis, pada saat kunjungan kedua di wilayah itu, tapi di laporkan oleh Kennedy, khususnya dalam penelitiannya di kawasan Elpaputih Seram Selatan. Kennedy, "Fieldnotes, 1955," pp. 140, 179, 184ff.
  26. The village adat-house; see Cooley, Ambonese Adat, pp. 8-13. 
  27. Kennedy, "Fieldnotes, 1955," pp. 179, 184.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar