Minggu, 26 April 2020

Penyelesaian yang Tak Adil, Bengis dan Biadab : Tentara Bayaran Jepang dan Pembantaian Ambon, 1623


(bag 2 - selesai)
Oleh
Adam Clulow

Adam Clulow

Para Konspirator

                Meskipun menjadi salah satu fakta paling mendasar dari kasus ini, jumlah orang Jepang yang terlibat dalam plot untuk merebut kastil/benteng, tidaklah jelas. Para sarjana yang menulis tentang Insiden Amboyna, merujuk pada angka antara 9 dan 12 dengan tidak konsisten. Bagi orang Inggris, situasinya jauh lebih jelas. Secara total, 10 pedagang Inggris dieksekusi dan 8 pedagang lainnya selamat. Gabriel Towerson, Samuel Colson, Emanuel Thompson, Timothy Johnson, John Wetherall, John Clarke, William Griggs, John Fardo, Able Price dan Robert Brown, semuanya dieksekusi. Sedangkan John Beaumont, George Sherroke, Edward Collins, William Weber, John Powle, Ephraim Ramsey, Thomas Ladbrooke dan John Sadler, terhindar dari maut, baik karena pengampunan dari VOC atau karena mereka terbukti tidak berperan dalam konspirasi. 
                Dalam Authentick Copy, 11 konspirator Jepang disebutkan :
  1. Hytieso, usia 24 tahun, lahir di Hirado37
  2. Sidney Migiell, usia 23 tahun, lahir di Nagasaki
  3. Peter Congi, usia 31 tahun, lahir di Nagasaki
  4. Soysimo, usia 26 tahun, lahir di Hirado
  5. Thomas Corea, usia 50 tahun, lahir di Nagasaki38
  6. Tsiosa, usia 32 tahun, lahir di Hirado
  7. Quiendayo, usia 32 tahun, lahir di Karatsu
  8. Sinsa, usia 32 tahun, lahir di Hirado
  9. Tsauinda, usia 32 tahun, lahir di Chikugo
  10. Zanchoo, usia 22 tahun, lahir di Hizen
  11. Sacoube, usia 40 tahun, lahir di Hirado

Menurut Authentick Copy, kesebelas orang itu mengaku. Namun, dalam salah satu dokumen yang beragam ketidaksesuaian itu, hanya ada 9 orang Jepang yang tercatat dieksekusi. 2 orang yang tidak ada adalah Soysimo dan Sacoube. Hilangnya (nama) Sacoube dapat dijelaskan melalui pengakuannya : “Sacoube dari Japoneze, usia 40 tahun, lahir di Ferando, tentara : mengakui, bahwa ia mengetahui tentang pertemuan orang Jepang, tetapi karena sudah tua dan sakit, ia tidak ikut”39. Pengakuan Soysimo, di sisi lain, hampir identik dengan 9 konspirator yang dieksekusi :”Soysimo, dari Japoneze, usia 26 tahun, lahir di Ferando: mengakui, bahwa dia juga tahu tentang pertemuan orang Inggris, dan bahwa dia siap bekerja kepada orang Inggris untuk merebut kastil40. Para pembuat pamflet Inggris melakukan kesalahan yang jelas ini :

Selain itu, ada 2 orang Jepang lainnya, yang bernama Soysimo, lahir di Firando, dan Sacoube lahir di tempat yang sama : lebih dulu disiksa, keduanya mengaku telah berpura-pura melakukan pengkhianatan dan telah menawarkan diri kepada Inggris untuk membantu mereka merebut benteng : dan yang terakhir mengaku tahu tentang pertemuan orang Jepang lainnya untuk tujuan ini. tapi tidak ada dari mereka yang dieksekusi atau disalahkan. Alasan tentang itu tidaklah diketahui daripada orang-orang Inggris yang selamat41.

Coolhas menduga bahwa nama Soysimo dihilangkan secara keliru dari dokumen hukum yang dipersiapkan dengan buruk, dan karena mungkin benar pengakuan tidak jauh berbeda dari para konspirator lain42. 10 orang bukan 9 orang yang dijatuhi hukuman mati lebih lanjut didukung oleh surat dari De Carpienter pada 3 Januari 1624, dimana ia menyatakan bahwa 10 orang Jepang dieksekusi akibat terlibat konspirasi43.
                Dengan asumsi bahwa Soysimo dieksekusi  dan Sacoube selamat, ini menjadi jumlah orang Jepang yang dieksekusi menjadi 11, jumlah yang sama seperti yang ditulis dalam Authentick Copy. Namun, jika kita memeriksa desposisi tahun 1628 dari para hakim Amboyna yang lain, masalah dalam jumlah ini muncul. Menurut Laurence Marschalck, bekas kepala pedagang Amboyna dan anggota hakim terpenting, ada 12 orang prajurit di kastil/benteng44. Peter van Santen, salah satu hakim lainnya, membenarkan hal ini. Karena desposisi ini dibuat 5 tahun setelah kejadian, tentu saja Marschalck dan Van Santen bisa keliru, tetapi kesaksian hakim lain, John van Leeuwen menambah kebingungan lebih jauh. Berdasarkan kesaksiannya “ ada 12 orang Jepang, dimana 9 dieksekusi, 2 dibebaskan dan 1 dari mereka adalah kapten mereka yang tidak dituduh oleh yang lain, dan karena itu tidak ditangkap45.
                Jika tentara bayaran yang “hilang” itu memang kapten kelompok Jepang, ini merupakan kelalaian yang sangat penting. Van Leeuwen adalah satu-satunya hakim, yang bersaksi tentang keberadaan kapten Jepang itu, tetapi versinya didukung oleh sumber lain yang oleh perusahaan Inggris, untuk bagian mereka, menempatkannya sebagai hal yang berharga. George Forbesse adalah seorang pegawai VOC berkebangsaan Skotlandia, yang hadir di benteng selama proses interogasi dan penyiksaan orang Inggris. Dia terus bertugas di VOC setelah insiden itu, dan ditemukan berada di kapal Belanda yang ditolak oleh otoritas Inggris di Portsmouth pada tahun 1627. Saat menyajikan kesaksiannya, orang Inggris menggambarkan Forbesse sebagai “jujur, saksi mata dan telinga yang benar, tidak memihak, yang bekerja di perusahaan Belanda di benteng pada saat itu”46. Sebagian dari kesaksiannya berbunyi sebagai berikut :
Setelah itu, sekitar jam 9, saya memang melihat dia yang dipanggil Kapten Japons, dengan 8 atau 9 Japons lainnya yang bersamanya, yang dikirim oleh Gubernur, tetapi sang kapten sendiri, tumit kakinya terpasang oleh kunci besi besar di masing-masing kaki, dan setelah itu dibawa ke ruangan saya untuk “santai” dengan Gubernur dan Fiscal, saya bertanya apa maksudnya ini semua, dan jawabannya adalah dengan sumpah yang sungguh-sungguh , dia sama sekali tidak tahu apa masalahnya, jadi dalam 1 jam, dia dilepaskan dan tidak terjadi apapun dengannya47.

                Tidak jelas tekanan apa yang dimungkin diberikan EIC kepada Forbesse, tetapi juga tidak ada alasan yang pasti, yang memaksanya harus memasukan jumlah 12 orang Jepang dalam desposisinya. Mengesampingkan kesaksian dari 2 saksi mata ini, adalah merupakan hal yang umum bagi kelompok tentara Jepang yang dipekerjakan oleh VOC, untuk dipimpin oleh seorang kapten Jepang, yang diyakini dapat lebih efektif mengawasi dan mengendalikan orang-orang yang direkrut daripada dipimpin oleh seorang perwira Belanda. Kapten orang Jepang yang terdokumentasi adalah Kusnoky Itsiemon, pemimpin 68 orang Jepang yang dikirim menggunakan junk Fortuijne. Kusnoky dieksekusi karena pembunuhan, tak lama setelah kedatangannya di Asia Tenggara. Catatan yudisial melaporkan bahwa “ menurut pernyataannya sendiri, pagi-pagi ditanggal 2 Januari 1616, Kusnoky Itsiemon, pemimpin Jepang yang datang kesini bersama junk Fortuijne, mati terbunuh dari belakang dengan pedang, di salah satu rumah orang Jepang di markas Ceyemon, yang mengepalai orang-orang Jepang yang datang kesini dengan kapal Enkhuyzen48

                Dalam tindakan menyerang kasus VOC, para penulis Inggris berpendapat bahwa semua tentara bayaran Jepang, yang dipekerjakan oleh perusahaan disiksa sampai mereka mengaku terlibat dalam konspirasi hayalan, tetapi fakta bahwa seorang tentara bayaran yang hanya seorang  diri dibebaskan oleh Gubernur dan para interogatornya, tampaknya membantah argumen ini. Jika orang Belanda menggunakan penyiksaan untuk memperoleh pengakuan yang mereka inginkan, tidaklah masuk akal bahwa mereka akan meloloskan pelayan Jepang paling penting dari proses itu. Keberadaan kapten Jepang menimbulkan sejumlah pertanyaan penting, yang sayangnya tidak dijawab dengan bukti yang ada : Mengapa konspirator Jepang tidak memasukan kapten mereka dalam rencana mereka? Apa yang terjadi dengan kapten setelah semua, kecuali satu dari pasukan tentaranya dieksekusi karena terlibat komplotan untuk merebut benteng/kastil?     Apakah dia terus bekerja di Amboyba setelah insiden itu?.
                Di pihak orang Jepang, konspirator paling penting tampaknya adalah Sidney Migiell. Pengakuan Migiell menyatakan bahwa, ia telah didekati Able Price 2 atau 3 bulan sebelum konspirasi terungkap, dan ditanya apakah “ia mengetahui cara memperoleh dan membujuk Japoneze (orang Jepang) untuk merebut benteng/kastil untuk Inggris”. Setelah negosiasi awal ini, Migiell “bertemu dengan orang Jepang tentang urusan tersebut, dan (......) mereka semua sepakat tentang hal itu49. Sebagai imbalan atas partisipasi mereka, orang Jepang dijanjikan 1000 real bagi mereka dan bagian-bagian barang apapun yang diambil dari benteng/kastil50.
                Menurut Authentick Copy, Migiell pernah bekerja untuk perusahaan Inggris. Sebagai mantan pekerja, ia pasti memiliki kontak-kontak – dan mungkin simpati – untuk bertugas sebagai penghubung antara orang Inggris di Amboyna dan pasukan tentara bayaran Jepang. Hubungan semacam itu, akan membuat konspirasi itu menjadi jauh lebih layak, sehingga tidak mengherankan jika para hakim Amboyna memfokuskan pada poin ini dalam Authentick Copy. Tidak terlalu jelas di mana dan dalam kapasitas apa, Migiell bekerja untuk orang Inggris. Marschalck bersaksi bahwa dari 12 orang Jepang, “2 orang menjadi pelayan/budak untuk Kapten Towerson yaitu Sidney Migiell dan Peter Conge”, tetapi karena desposisi ini tidak didukung oleh para hakum lain, mungkin apa yang disebut Marschalck adalah keliru51. Derek Masarella menunjukan, otoritas tertinggi Inggris di Hirado mengatakan bahwa Migiell mungkin telah bekerja di markas Inggris di Jepang, dan ini tampaknya yang paling mungkin52. Pelacakan melalui buku harian Richard Cocks, menunjukan bahwa setidaknya ada 1 Miguel yang dipekerjakan di Hirado sebagai penerjemah, tetapi nama itu cukup umum untuk orang Kristen Jepang, dan ini bukan bukti konklusif bahwa itu adalah orang yang sama.

Rekrutmen Perusahaan               

Meskipun jumlah dan catatan pertempuran tentara bayaran yang dipekerjakan oleh Belanda didokumentasikan dengan cermat, hanya sedikit soal perincian pribadi dari beberapa ratus orang ini yang masih ada. Dokumentasi yang dihasilkan oleh insiden Ambon memberikan kemungkinan yang kaya untuk mempelajari lebih lanjut tentang tentara bayaran Jepang. Secara khusus, 11 terdakwa menyediakan sampel untuk menyimpulkan secara umum tentang tentara bayaran Jepang lainnya dalam layanan VOC. Dari catatan yudisial, kita mengkaji lebih dulu tentang usia tentara bayaran. Usia rata-rata para konspirator adalah 31 tahun, dengan usia individu mulai dari 23 tahun (Sidney Migiell) hingga 50 tahun (Thomas Corea). Meskipun para sarjana berspekulasi bahwa tentara bayaran Jepang di Asia Tenggara, memperoleh kesuksesan berkat pengalaman milter, usia para tentara bayaran dalam peristiwa Amboyna, tidak selalu mendukung asumsi ini53. Konflik-konflik besar yang melibatkan pasukan Jepang adalah invasi Korea Hideyoshi yang berakhir tahun 1598, pertempuran Sekigahara pada tahun 1600, dan pengepungan Osaha dari tahun 1614-161554. Dengan pengecualian Thomas Corea, dan mungkin Sacoube, tidak tentara bayaran di Amboyna, yang bisa bertempur pada 2 konflik pertama itu. Terlihat dengan jelas pada usia itu, mungkin beberapa konspirator – mungkin bukan Migiell dan Hytieso yang telah berusia 15 dan 16 tahun – yang mungkin bertempur di pengepungan Osaka, tetapi sangat tidak mungkin bahwa kesebelas orang itu turut berpartisipasi.
Authentick Copy juga mencantumkan kota asal dari ke-11 terdakwa : 5 lahir di Hirado, 3 di Nagasaki, dan 3 dari bagian lain Kyushu – Hizen, Karatsu dan Chikugo. Dari sampel ini, nampaknya tentara bayaran Jepang yang direkrut Belanda hampir seluruhnya berasal dari Kyusuhu, yang sebagian besar rekrutan berasal dari Hirado, pangkalan perusahaan di Jepang.
Para pembuat selebaran Inggris menyerang kasus VOC dengan berargumen bahwa kedua kelompok terdakwa tidak memiliki “bahasa” yang sama soal konspirasi. Para hakim Amboyna mengakui bahwa orang Jepang dapat berbicara dan mengerti bahasa Melayu dan Portugis. Pilihan terhadap kedua bahasa itu, mudah dijelaskan : Bahasa Melayu adalah linguafranca di Asia Tenggara dan akan sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, sementara bahasa Portugis telah ditetapkan sebagai bahasa komersial yang penting di Jepang sejak tahun 1543, lebih dari 5 dekade bahkan sebelum kedatangan Belanda. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kedua bahasa ini, ­- bukan bahasa Jepang atau Belanda – digunakan sebagai media dasar untuk berkomunikasi antara perusahaan dan tentara Jepangnya. 

Dejima, markas VOC di Jepang sejak 1639
Insiden Amboyna membuka kesempatan untuk mempertimbangkan hubungan yang mendasari antara tentang tentara bayaran Jepang dan Belanda sebagai tuan mereka. Meskipun begitu, Coen mungkin mengatakan atau percaya tentang pasukan, para pejabat yang harus berurusan dengan mereka secara langsung, jarang menyamai antusiasme Coen. Seorang pejabat VOC mencatat bahwa orang Jepang “ adalah orang yang sensitif dan sulit”, sementara yang lain mengeluh bahwa “ tentara dari Jepang tidak membantu kami, karena mereka sangat berbahaya dan sulit untuk diperintah”55. Penilaian yang paling memberatkan dari Specx yang memperingatkan perusahaan bahwa orang Jepang :
Sangat berbahaya untuk diperintah di luar tanah/kampung mereka. Jika tidak sesuai dengan keinginan mereka atau ketika diperlakukan dengan buruk, mereka segera bersikap nekat, yang di asal mereka sikap ini akan dicegah dengan keadilan yang ketat, atau lebih tepatnya melalui tirani. Melalui cara ini, mereka adalah domba [di Jepang] dan di luar mereka hampir seperti iblis. Ini seringkali terbukti di Patani, Siam dan tempat-tempat berbeda56.

                Bahkan sebelum insiden Amboyna, tentara bayaran Jepang sudah memiliki sejarah dalam masalah-masalah kedisiplinan. Insiden paling serius terjadi pada tahun 1616 di atas junk Forwijne, yang membawa rombongan tentara bayaran kedua yang dikirim dari Jepang. Dalam surat kepada Specx, Coen menyebut rombongan orang Jepang sebagai “ pengacau yang memberontak”, dan menginstrusikan agennya di Hirado untuk lebih berhati-hati dalam memilih rekrutan57. Dalam tanggapannya, Specx menyesalkan bahwa pengacau seperti itu sering kali masih diam saat di darat dan seringkali sulit untuk diketahui58. Dia juga menambahkan bahwa akan menjadi lebih baik, untuk mengirim tentara bayaran di kapal-kapal Belanda, daripada dengan jung-jung Asia Timur yang jauh lebih kecil. Komentar Specx menunjukan bahwa kondisi-kondisi sulit di atas fortuijne, mungkin telah memprovokasi perilaku memberontak.
                Para hakim Amboyna konsisten dalam kekaguman mereka terhadap kualitas militer tentara bayaran Jepang yang melayani mereka. Dalam kata-kata seorang pengamat, mereka semuanya “gagah dan dipersenjatai dengan baik dan selalu dipilih oleh Gubernur dengan alasan keberanian mereka untuk terus melakukan eksploitasi yang berbahaya”59. Di luar medan perang, hubungan antara tentara bayaran Jepang dan kompeni di Ambon, tampaknya telah bermasalah. Orang-orang Inggris yang selamat melaporkan bahwa orang Jepang memang “melayani Belanda sebagai serdadu, namun bukanlah kaki tangan yang setia”60. Akibatnya, Jepang tidak diizinkan untuk tinggal di kastil/benteng dan tidak dipercaya memegang senjata api, terkecuali untuk tugas khusus. Selain itu, dilarang untuk menjual senjata api, bubuk atau peluru kepada orang Jepang, meskipun mereka diizinkan membawa catanne (pedang Jepang) setiap saat61. Tentu saja bukti terbaik dari hubungan bermasalah itu adalah insiden Amboyna sendiri. Tergantung pada interpretasi seseorang, insiden itu mungkin menunjukan bahwa hubungan telah memburuk ke titik dimana orang-orang Jepang berkonspirasi dengan orang Inggris, atau sebagai alternatif, bahwa ketidakpercayaan mendasar antara VOC dan pasukan Jepangnya mengakibatkan kematian 20 orang tak bersalah. Salah satu yang paling jelas adalah bahwa tentara bayaran Jepang, paling banter, adalah senjata yang mudah “menguap” untuk perusahaan (VOC). Mereka harus digunakan sebisa mungkin, tetapi tidak untuk dipercayai di luar arena pertempuran.  

Tokugawa Hidetada (1605 - 1623)
               
Bakufu Tokugawa dan Tentara Bayaran Jepang

                Dalam perang selebaran, propagandis Belanda mengklaim bahwa insiden Ambon mengakhiri kepercayaan mereka pada tentara bayaran Jepang :
Orang-orang Japonia pernah berada dalam keadaan yang baik bersama kami, dan selalu dipercaya, dan tidak memiliki kesempatan melakukan kejahatan, atau dendam atau menakuti mereka atau melawan mereka, yang mana sekarang terbalik akibat pelanggaran ini, mengharuskan bangsa kita untuk selalu menjadi orang tidak percaya kepada orang Japonia, dan tidak begitu percaya diri untuk menggunakan atau dilayani mereka sebelumnya62.

Faktanya, ada 3 faktor terpisah yang menyatu untuk mengakhiri penggunaan tentara bayaran Jepang oleh perusahaan yaitu : dekrit yang dikeluarkan oleh pemerintah Tokugawa (bakufu) pada tahun 1621, kepulangan Coen ke Eropa (Belanda) pada tahun 1623 dan insiden Amboyna pada tahun yang sama.
                Bakufu pertama kali bergerak untuk membatasi rekrutman tentara bayaran Jepang pada Februari 1621. Pada bulan itu, dewan VOC di Hirado mencatat bahwa “ perintah yang diberikan kepada tuan di sini adalah tidak ada orang Jepang yang akan diizinkan pergu dengan jung atau kapal tanpa izin yang mulia [shogun]63. Pada bulan Juli 1621, bakufu mengeluarkan dekrit resmi 5 bagian yang mengatur kegiatan Belanda di Hirado. 3 bagian dari dekrit tersebut ditujukan pada ekspor tentara bayaran Jepang: “pengambilan pria dan wanita yang dibeli untuk ke luar negeri sangat dilarang. Pihak penjual akan diselidiki”. Secara harfiah, ini tampaknya merupakan dekrit anti-perbudakan tanpa hubungan langsung dengan para pekerja kontrak yang dipekerjakan oleh VOC.  Karena itu hampir identik dengan larangan pertama yang dikeluarkan oleh Hideyoshi pada tahun 1587, yang melarang pembelian atau penjualan siapa pun di Jepang64. Namun, versinya yang dikomunikasi kepada Belanda jauh lebih luas: “kita tak bisa membawa orang yang dikontrak atau dibeli, dengan kapal atau jung kita atau dengan [kapal] Inggris tanpa izin dari Yang Mulia”65.
                Mengapa bakufu  turun tangan untuk menghentikan perdagangan tentara bayaran pada tahun 1621, hanya 8 tahun setelah hal itu pertama kali diizinkan pada Belanda untuk mengambil tentara Jepang dari wilayahnya?. Specx memberikan penjelasan yang paling masuk akal untuk kebijakan baru itu, dan menulis seperti ini : “ saya diperintahkan bahwa dekrit tersebut bukan karena mereka [para Tokugawa] mendukung Portugis, tetapi karena mereka tidak ingin timbul bahaya besar, karena rakyat mereka terlibat dalam perang di luar negeri”66. Oleh karena itu, dekrit tahun 1621 tampaknya menunjukan kesadaran mendasar akan bahaya yang mungkin dihadapi bakufu  Tokugawa sendiri, jika rakyatnya memasuki dinas militer di luar negeri67. Kekhawatiran ini tidaklah slaah tempat. Meskipun beroperasi dalam sektor ekonomi daripada sebagai aktor politik, tentara bayaran Jepang memiliki kemampuan melibatkan negara asal mereka kedalam konflik. Pada tahun 1624, sebuah kapal Spanyol berlabuh di sungai Menam Thailand, diserang dan dijarah oleh banyak orang Siam yang dipelopori oleh tentara bayaran Jepang yang dipekerjakan oleh raja sebagai pasukan elit. 4  tahun kemudian, armada Spanyol membalas dendam pada Jepang atas keterlibatan tentara bayaran dalam serangan itu, dengan menangkap sebuah kapal Jepang yang berlayar dibawah perlindungan izin dagang resmi Tokugawa. Bakufu menanggapi serangan ini dengan melakukan embargo perdagangan pada Portugis dan Spanyol, yang membuat mereka berdebat saat bersatu dibawah 1 mahkota kerajaan.
                Meskipun ada dekrit 1621, penggunaan tentara bayaran Jepang oleh perusahaan sama sekali tidak berarti telah berakhir. Selama Coen masih ada, perekrutan tambahan tentara bayaran Jepang tetap menjadi prioritas tinggi bagi perusahaan. Marah dengan larangan itu, Coen memerintahkan bawahannya di Hirado untuk dengan penuh semangat melobi shogun untuk membatalkan dekrit : “Anda harus bekerja dengan tekun untuk sekali lagi mendapatkan lisensi dari Kaiser [shogun] untuk tetap mengirim orang Jepang dan senjata”68. Dalam surat lain, Coen juga bersikeras : “jika tepat untuk melakukan sesuatu soal larangan Kaiser, kami berharap anda tidak menghilangkan apa pun dan tidak mengeluarkan biaya atau kesulitan untuk memahami kebebasan kami sebelumnya”69. Bagian dari frustrasi Coen berasal dari fakta bahwa dekrit 1621 muncul pada saat yang tepat, ketika rencana Coen untuk menaklukan Makau dan Manila – rencana yang ia sampaikan kepada para direktur di tahun 1614 – akhirnya mulai membuahkan hasil. Dalam surat-suratnya kepada para komandan yang memimpin serangan ke Makau, Coen terus menekankan pada kontribusi militer tentara bayaran Jepang yang bisa dilakukan, berdebat dalam satu surat bahwa perusahaan bisa mendapatkan keuntungan dari reputasi orang Jepang yang menakutkan di Cina70.
                Oleh karena itu, sejak 1621, situasinya menjadi berubah. Keputusan bakufu tetap berjalan, tetapi dalam menanggapi rentetan arahan dari Batavia, para anggota markas di Hirado terus mencari cara untuk merubah keputusan itu. Pada tahun 1623, 2 peristiwa yang hampir bersamaan akhirnya mengakhiri minat VOC pada tentara bayaran Jepang. Yang pertama adalah kepergian Coen dari Batavia pada Februari 1623a. Kepercayaan Coen pada nilai penting pasukan Jepang tidak pernah goyah, dan begitu dia tak ada, tentara bayaran Jepang kehilangan pendukung terbesar mereka. Beberapa minggu setelah Coen meninggalkan penggantinya, Pieter de Carpentier, dihadapkan dengan insiden Amboyna. De Carpentier dulunya adalah orang dekat Coen. Dia telah bekerja secara intim dengan Coen dalam masa pemerintahan Coenb, dan di hampir setiap masalah penting, Carpentier mengikuti strategi yang dilakukan pendahulunya, suatu keputusan bijak mengingat Coen akan kembali menduduki posisi itu pada tahun 1627. Satu pengecualian penting menyangkut tentara bayaran Jepang, yang tidak disebutkan dalam korespondensi de Carpentier setelah tahun 1623. Hal itu menghilang sebagai suatu prioritas dan bahkan sebagai topik diskusi. Alasannya tidak sulit untuk dipahami. Yang pertama dan masalah paling konsisten yang dihadapi oleh De Carpentier dalam insiden Ambon, adalah berkaitan di sekitar kesetiaan tentara bayaran Jepang. Peristiwa itu mendominasi surat-surat yang dikirim antara Belanda dan Batavia, dan itu pasti berakhir secara efektif dengan antusiasme Gub Jend yang baru terhadap pasukan Jepang. Bahkan jika dia berharap untuk melanjutkan kebijakan Coen, tidak mungkin direktur di Belanda akan membiayai rombongan besar tentara bayaran Jepang, saat mereka sedang berjuang memperbaiki hubungan dengan Inggris setelah kerusakan yang disebabkan oleh peristiwa di Amboyna. Dengan demikian, pada tahun 1623, perdagangan tentara bayaran dari Hirado berakhir. Orang Jepang yang telah berada di Asia Tenggara tetap bekerja secara sporadis untuk perusahaan, khususnya karena pembatasan maritim bakufu yang mencegah mereka kembali ke Jepang, tetapi tidak ada hal lebih lanjut tentang perekrutan masal tentara Jepang. 
Tanda tangan beberapa tentara bayaran Jepang pada insiden Ambon (sumber : https://amboyna.org/ )

Eksperimen yang Gagal

Pada akhirnya, eksperimen dengan tentara bayaran Jepang tidak terbukti sukses besar untuk VOC. Pada tahun 1614, ketika Coen menyerahkan Discoers ke direksi, dia membayangkan pasukan tentara bayaran Jepang akan menjadi pasukan garnisun di kekuasaan VOC di Asia Tenggara dan berbaris ke Makau dan Manila dipimpin oleh perwira Belanda. Faktanya, sekitar 300 pasukan yang dikirim dari Hirado, sebelum kombinasi dari faktor-faktor campur tangan telah menghentikan pasokan. Pasukan Jepang memang berpartisipasi paling banyak dalam kampanye-kampanye utama VOC pada masa itu, tetapi potensi yang dilihat Coen – dan penuh semangat dikomunikasikan kepada direksi – tidak pernah disadari. Bahkan jika Coen berhasil mengangkut ribuan tentara bayaran Jepang ke Asia Tenggara, tidak ada jaminan bahwa perusahaan akan dilayani dengan baik oleh mereka. Tentara Jepang terbukti sulit untuk diperintah, bahkan ketika dikelompokkan dalam rombongan kecil, dan dalam jumlah yang lebih besar, masalah ini mungkin hanya akan lebih buruk.
Kesebelas tentara yang ditempatkan di Ambon adalah pasukan khusus tentara bayaran Jepang, dan mereka memberi kita kesempatan terbaik untuk mengkaji secara lebih umum tentang pasukan Jepang lainnya yang dipekerjakan oleh VOC. Orang Jepang di Amboyna relatif masih muda, berasal dari Kyushu dan mungkin tidak semua adalah veteran perang. Mereka adalah prajurit yang pemberani dan efektif tetapi tidak dipercayai sepenuhnya oleh tuan mereka. Poin terakhir ini, mungkin telah menamatkan takdir mereka.
Tidaklah mungkin untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada tahun 1623 di Amboyna. Apakah orang Jepang berkonspirasi dengan orang Inggris untuk merebut benteng/kastil atau apakah hanya karena pertanyaan “bodoh” dari tentara bayaran yang masih muda, memicu rantai peristiwa yang menyebabkan pembantaian 20 orang yang tidak bersalah???? Kajian-kajian berbahasa Inggris telah menolak soal konspirasi  sebagai hal yang dibuat-buat, selama hampir 4 abad, dan tentu saja ada sejumlah besar masalah dengan kasus VOC. Dalam kasus beberapa nama, dokumen-dokumen hukum yang disusun dengan buruk, penyiksaan yang digunakan untuk memperoleh pengakuan dan tampaknya tidak rasional bahwa 20 orang akan merencanakan untuk merebut kubu pertahanan VOC yang dijaga oleh ratusan orang. Di sisi lain, tentara bayaran Jepang tentu saja memiliki kemampuan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang Inggris, dan Sidney Migiell pernah menjadi bekas karyawan perusahaan Inggris dan bisa menjadi penghubung antara kedua kelompok. Akhirnya, tentara bayaran Jepang memiliki sejaran masalah kedisiplinan dan banyak alasan untuk membenci majikan yang terus menerus membuat mereka terancam bahaya. Artikel ini tidak bisa memberikan jawaban pasti, apakah konspirasi itu ada, tetapi berusaha untuk menyajikan catatan yang lebih lengkap tentang sejarah tentara bayaran Jepang yang bekerja di perusahaan (VOC).
Tentara bayaran Jepang adalah pasukan Asia pertama yang dipekerjakan oleh VOC. Sayangnya, untuk pengganti mereka, pola yang ditetapkan pada periode paling awal ini, terutama ketegangan mendasar antara perusahaan dan para pelayan Asia mereka, terus berlanjut bahkan ketika VOC menjadi semakin bergantung pada tenaga kerja dan pasukan Asia. Pada akhirnya, bagi tentara bayaran Jepang di Amboyna, akan lebih baik jika kompeni, kata seorang pejabat VOC yang tidak puas, meninggalkan “orang-orang ini di negara mereka sendiri”71.
===== selesai =====


Catatan Kaki

37.       Karakter Jepang dalam tanda kurung adalah dugaan berdasarkan catatan Belanda oleh Iwao Seiichi. Mereka belum tentu akurat ejaan nama-nama yang dipermasalahkan bervariasi sangat tergantung pada dokumen.
38.       Iwao Seiichi berspekulasi bahwa Thome Corea mungkin berasal dari Korea karena nama belakangnya.
39.      Authentic Copy, 13.
40.      Ibid., 8.
41.        Skinner, A True Relation, 29.
42.       Coolhaas, 'Aanteekeningen en Opmerkingen', 49-93.
43.       Colenbrander, Jan Pietersz. Coen, 7.2: 1086-1093.
44.       'Deposisi' (Marschalck).
45.       'Deposisi' (Van LeeuwenJ.
46.      Untuk perincian tentang Forbesse, lihat Sainsbury, ed., Calender of State Papers
47.       Sainsbury, ed., Calendar of State Papers, 686.
48.       Colenbrander, Jan Pietersz. Coen, 4: 125.
49.      Authentic Copy, 30.
50.      Menimbang bahwa seorang kapten Jepang seperti Kusnoky Itsiemon hanya dibayar 10 real per bulan, 1.000 real mewakili jumlah besar.
51.        'Deposisi' (Marschalck).
52.       Massarella, A World Elsewhere,  188.
53.       Sebagai contoh, lihat Ribeiro, “The Japanasse Diaspora”,  53-58. Ribeiro berpendapat bahwa Orang Jepang di Asia Tenggara sangat berharga karena 'keterampilan dan pengalaman militer mereka'.
54.       Setelah membawa kepulauan Jepang di bawah kendalinya, Hideyoshi menginvasi Korea dengan pasukan besar Pada 1592. Kampanye berlangsung sampai kematiannya pada 1598 ketika semua Pasukan Jepang ditarik. Pada 1600, Tokugawa Ieyasu mengalahkan para pesaingnya di pertempuran Sekigahara. Pada 1614, ketegangan
antara Tokugawa dan Hideyori, Pewaris Hideyoshi, memimpin pengepungan benteng Osaka oleh pasukan Tokugawa. Pengepungan berakhir dengan kematian Hideyori.
55.       Laurens Reael ke Kamar Amsterdam, 18 Juli 1616, VOC 1061; Steven van der Haghen ke Kamar Amsterdam, 18 Juli
1616, VOC 1063.
56.      Colenbrander, ed., Jan Pietersz. Coen, 1: 1- 48. Untuk mengatasi masalah seperti itu, tentara bayaran Jepang dibatasi dengan kontrak yang ketat, satu yang masih ada. yang melarang rekrutmen dari perkelahian, judi, minum, menyerang wanita atau gadis lajang, ketidaktaatan terhadap otoritas Belanda dan pemberontakan. Rekrutan diperingatkan bahwa "orang tua, istri, anak - anak mereka, dan mereka yang menjaga keamanan akan" dituntut 'jika mereka melanggar peraturan ini.
57.       Ibid., 2: 104.
58.       Ibid., 7-1: 185-204.
59.       'Deposisi' (Penguji).
60.      Skinner, A True Relation, 5.
61.       Desposisi para hakim Amboyna membenarkan bahwa pasukan Jepang tidak diizinkan menggunakan senjata api dan bubuk, kecuali saat khusus tugas.
62.      A Remonstrance of Directors, 10.
63.      Hirado Resolution, Februari 1621, VOC 1061.
64.      Untuk perincian dekrit ini, lihat Berry, Hideyoshi.
65.      Surat dari Jacques Specx, 20 September 1621, VOC 1075.
66.      Dikutip dalam Valentijn, Oud en Nieuw OostIndien, 5.2: 28-30.
67.      Pada saat yang sama, bakufu berpendirian untuk memperoleh sedikit manfaat dari perekrutan tentara bayaran Jepang. Seperti negara bagian lain yang menggunakan ekspor tentara bayaran sebagai mekanisme untuk menghasilkan pendapatan atau sebagai katup pengaman untuk menghilangkan pembuat onar potensial, bakufu tidak mendapat imbalan langsung dari perdagangan tentara bayaran.
68.      Colenbrander, Jan Pietersz. Coen, 3: 193- 195.
69.       Ibid., 3: 165-166.
70.       Ibid., 3: 151-163.
71.        Steven van der Haghen ke Kamar Amsterdam, 18 Juli 1616, VOC 1063


Bibliography of Works Cited

Primary Sources and Contemporary Publications

An Authentick copy of the Acts of the Processe against the English at Amboyna (London, 1632).
Colenbrander, H.T., ed., Jan Pietersz. Coen. Bescheiden omtrent zijn bedrijf in Indie (The Hague: M.
Nijhoff, 1919-52).
'Depositions of the Amboyna judges'. The Factory Records of the East India Company: Java, 1595-1827,
G/21/2, Oriental and India Office, British Library, London.
A remonstrance of the directors of the Netherlands East India Company presented to the Lords States
Generall of the united Provinces, in defence of the said Companie, touching the bloudy proceedings against the English merchants, executed at Amboyna
(London, 1632).
Farrington, Anthony, The English Factory in Japan, 1613-1623 (London: The British Library, 1991).
Skinner, John, A true Relation of the Uniust, Cruell, and Barbarous Proceedings against the English at
Amboyna in the East-Indies, by the Neatherlandish Gouemour and Councel There
(London, 1624).
Tiele, PA, and J.E. Heeres, eds, Bouwstoffen voor de geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen Archipel (The Hague, Nijhoff, 1886-95).
Valentijn, Francois, Oud enNieuw Oost-Indien (Amsterdam, 1724).
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), 1056, 1061, 1063, 1072, 1080, Nationaal Archief, The
Hague.

Secondary Literature

Bassett, D.K., 'Amboyna Massacre". Journal of Southeast Asia 1:2 (Sept. 1960), 1-19.
Berry, Mary Elizabeth, Hideyoshi (Cambridge: Harvard University Press, 1982).
Blair, E.H., and J.A. Robertson, eds, The Philippine Islands, 1493-1898 (Cleveland: A.H. Clark Company, 1903-1909).
Chancey, Karen, The Amboyna Massacre in English Politics, 1624-1632'. Albion 30:4 (1998), 583-598.
Cocks, Richard, The Diary of Richard Cocks, 1615-1622, edited by the Historiographical Institute, University of Tokyo (Tokyo: Yoshida Printing Company, 1979-80).
Coolhaas, W.Ph., 'Aanteekeningen en Opmerkjngen over den zoogenaamdem Ambonschen Moord', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde uan Nederlandsch-lndie 101 (1942), 49-93.
Hunter, William Wilson, A History of British India (New York: AMS press, 1966).
Iwao, Seiichi, Zoku nanyo Nihon machi no kenkyu (Tokyo: Iwanami shoten, 1987).
Kato, Eiichi, Rengo Oranda Higashi-lndo Kaisha no senryaku kyoten toshite no Hirado shokan'. In
Lucassen, Jan, A Multinational and its Labor Force: The Dutch East India Company, 1595-1795', International Labor and Working-Class History 66 (2004), 12-35.
Massarella, Derek, A World Elsewhere: Europe's Encounter with Japan in the Sixteenth and Seventeenth Centuries (New Haven: Yale University Press, 1990).
Raben, Remco, 'Het Aziatisch Legioen: Huurlingen, bondgenoten en reservisten in het geweer voor de Verenigde Oost-Indische Compagnie'. In De Verenigde Oost-lndische Compagnie tussen oorlog and diplomatic, edited by Gerrit Knaap and Ger Teitler (Leiden: KITLV, 2002).
Ribeiro, Madalena, The Japanese Diaspora in the Seventeenth Century', Bulletin of Portuguese Japanese Studies 3 (2001), 53-58.
Sainsbury, W.N., ed., Calendar of State Papers, Colonial, East Indies, China and Persia, 1625-1629 London: HMSO, 1884).
Schouwenburg, K.L. van, 'Het personeel op de schepen van de Kamer Delft van de VOC in de eerste helft van de achttiende eeuw', Tijdschrift voor zeegeschiedenis 7 (1988), 76-93.
—, 'Het personeel op de schepen van de Kamer Delft van de VOC in de tweede helft van de achttiende eeuw', Tijdschrift voor zeegeschiedenis 8 (1989), 179-186.
Stapel, FW, "De Ambonsche 'Moord' (9 Maart 1623)', Tijdschrift voor Indische Taal- Land- en Volkenkunde 62 (1923), 209-226

Catatan Tambahan :
  1. Jan Pieterszoon Coen kembali ke Belanda pada tanggal 2 Februari 1623 dan tiba pada 19 September 1623. 
  2. Pada masa pemerintahan J.P. Coen sebagai Gub Jend VOC, Pieter de Carpentier sebagai Direktur Jenderal atau orang no 2 (1618 – 1622)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar