Senin, 11 Mei 2020

Bahasa Belanda di Maluku Pada Masa VOC


Oleh
C.R. (Kees) Groeneboer






  1. Kata Pengantar

Pada masa kini, dalam perbincangan sosial orang-orang Ambon, sering terselip kata-kata yang aslinya merupakan bahasa Belanda, namun telah menjadi khasanah bahasa Ambon Melayu. Kata-kata seperti voris (dari voorhuiz), nyong/jong (jonkheer), muder (dari kata moeder), pader (dari kata vader), dan banyak kata lain yang sering terdengar dan diucapkan oleh orang-orang Ambon. Tidaklah mungkin orang-orang Ambon bisa mengetahui kata-kata itu, jika tidak ada penyebabnya.
Melalui artikel ini, C.R Groeneboer atau Kees Groeneboer mengisahkan fluktuasi pengajaran bahasa Belanda di Maluku (khususnya di Ambon dan sekitarnya) pada masa VOC. Artikel ini aslinya berjudul : The Dutch Language in Maluku under the VOC, dimuat pada Jurnal Cakalele, volume 5 (tahun 1994) halaman 1 – 10. Sang penulis secara eksplisit menyebut bahwa kajian ini, berdasar pada isi bukunya, yang berjudul Weg tot het Westen; Het Nederlands voor Indie 1600 – 1950, Een taalpolitieke geschidenis, pada pasal II.2.1. Buku ini diterbitkan di Leiden pada tahun 1993, dan edisi terjemahan Inggrisnya diterjemahkan oleh Myra Scholz dengan judul Gateway to the West : the Dutch Language in Colonial Indonesia, 1600 – 1950 : a History of language policy terbitan tahun 1998 oleh penerbit Amsterdam University Press.
Pada artikel ini, Groenboer mengisahkan sejak awal, orang-orang VOC berusaha untuk mempromosikan bahasa Belanda untuk diajarkan di sekolah-sekolah yang mereka dirikan, dengan tujuan utama menyingkirkan bahasa Portugis – bahasa musuh- di kalangan orang-orang Ambon. selain itu, mereka juga beranggapan bahwa bahasa Belanda adalah bahasa yang paling baik untuk memberitakan Injil Kristus dibandingkan bahasa lingua franca yang telah familiar, yaitu bahasa Melayu. Namun, pada akhirnya bahasa Belanda gagal total menjadi bahasa “resmi” di Maluku, karena berbagai alasan.
Artikel sepanjang 10 halaman ini, “diperkuat” oleh 25 catatan kaki, yang ditempatkan pada bagian kaki dari halaman-halamannya. Kami menerjemahkan artikel ini, dengan tujuan menghadirkan bacaan-bacaan yang baik, untuk menambah pengetahuan, wawasan dan pola bersejarah kita.
 
Kees Groeneboer
Artikel hasil terjemahan ini, kami tambahi dengan catatan tambahan dari kami, ilustrasi gambar untuk mempermanis isi artikel, dimana pada artikel aslinya tidak ada. Akhirnya selamat membaca, selamat menikmati...semoga pengetahuan kesejarahan kita semakin bertambah dan lebih matang dalam bersejarah.


  1. Terjemahan : Kutu Busu

Sejarah bahasa Belanda sebagai bahasa asing di Indonesia, dimulai pada saat pertama kali orang Belanda memasuki Kepulauan Indonesia pada akhir abad ke-16.Pelabuhan utama VOC pada awalnya di Pulau Ambon, tetapi setelah pendirian Batavia pada tahun 1619, Maluku bahkan tetap menjadi salah satu pusat VOC paling penting di Hindia Timur1.
Pada tahun 1607, hanya 2 tahun setelah penaklukan Ambon oleh Belanda dan kemenangan atas Portugis, sebuah sekolah dibuka oleh Laksamana VOC Cornelis Matelieff de Jonge (1606-1608), yang bertujuan untuk koloni Belanda yang nyata di Maluku, dengan bahasa Belanda sebagai bahasa komunikasi yang resmi. Dengan Johannes Wogmaa sebagai kepala sekolah Hindia –Belanda pertama, sekolah ini terutama ditujukan untuk anak-anak Ambon yang telah dikonversi menjadi Katholik oleh Portugis. Karena anak-anak ini telah diajarkan dalam Bahasa Portugis, sekarang anak-anak ini harus diajari prinsip-prinsi utama Gereja Protestan melalui Bahasa Belanda. 15 anak-anak sekolah harus belajar Doa Bapa Kami, 10 Hukum Taurat,Tulisan-tulisan keagamaan dalam 2 bahasa asing yang berbeda, Bahasa Belanda dan Bahasa Melayu2. Pada mulanya, hasil dari sekolah ini tidak terlalu memuaskan, dan tingkat kehadiran anak sekolah buruk. Namun demikian, untuk mempromosikan Bahasa Belanda sebagai bahasa resmi di Maluku, pedagang VOC bernama Steven Coteels mengusulkan untuk mengambil sejumlah besar anak berusia 10 tahun dan memberi mereka pendidikan Belanda yang sesuai di dalam tembok-tembok benteng VOC di Ambon. dengan cara ini, mungkin akan mencegah penggunaan dialek-dialek bahasa Ambon sendiri dan bahasa lingua franca yaitu Melayu – serta Portugis (banyak digunakan di Asia Tenggara sebagai lingua franca – sebagai alat komunikasi diantara mereka sendiri3





Untuk sekolah-sekolah pertama di Maluku, buku sekolah kecil AB Boeck disusun pada tahun 1611, dan dicetak oleh VOC di Amsterdam. Buku ini adalah buklet 14 halaman dengan judul Sourat. ABC. Akan meng ayd’jer anack boudack/seperti deayd’jern’ja capada segala manusia Nassarany: daen berbagy sombahayang Christaan [ Buku untuk mengajarkan alfabet kepada anak laki-laki, seperti yang diajarkan kepada semua orang Kristen, dengan beberapa doa Kristen ]. Buku ini ditulis oleh pedagang VOC Albert Corneliszn Ruyll terutama untuk situasi Hindia “dalam bahasa Melayu....untuk memperkenalkan alfabet Belanda kepada anak-anak muda Hindia”. Sekuel dari buku sekolah ini, yang juga ditulis oleh Ruyll, muncul pada tahun 1612 dengan judul Spieghel vande Maleysche tale [Cermin Bahasa Melayu], diterbitkan oleh VOC dan dicetak dalam “ Amsterdam, by Dirrick Pietersz op’t Water in de witte persse”. Meskipun judulnya agak keliru, buku ini dapat dianggap sebagai teks tertua yang masih ada untuk mengajar Bahasa Belanda sebagai bahasa asing. Namun, teks nyata untuk tujuan ini belum dikembangkan, dan buku sekolah ini dimaksudkan tidak hanya untuk mengajarkan Bahasa Belanda tetapi juga sebagai pedoman bagi agama Kristen, karena judul lengkapnya sangat jelas :

Spieghel vande Maleysche tale, inde welcke sich die Indiaensche ieugt Christlijck ende vermaeckelijck kunnen oeffenen; Voleerlijcke t’samenspraecken ende onderwijsinghen in de ware Godt-saligheyt tot voorstandt vande Christelijcke religie; Met een vocabularium van de Duytsche ende Maleysche tale dienstich voor alle lief-hebbers der selver.
[Cermin bahasa Melayu, yang bisa dipraktikkan anak-anak muda Hindia dengan cara Kristen dan penuh sukacita; Dialog dan ajaran yang tulus dalam kebenaran keselamatan Allah untuk memperkuat agama Kristen; Dengan kosakata bahasa Belanda dan Melayu untuk siapa saja yang suka memanfaatkannya].

60 halaman pertama merupakan adaptasi dari vraeghboecxken van Sa: Aldegonde” [buklet pertanyaan St Aldegonde]4 dan terdiri dari kumpulan dialog-dialoh yang meneguhkan dan bermoral, puisi kecil, dan cerita, dengan teks Belanda di sebelah kiri dan teks Melayu di sebelah kanan sisi halaman. 80 halaman tambahan kosakata Belanda-Melayu, yang merupakan adaptasi dari kamus Belanda-Melayu Spraeck ende woord-boek dari Frederick de Houtman5, yang diterbitkan pada tahun 1603, yang semula digunakan di Ambon sebagai bahan untuk mengajar bahasa Belanda sebagai bahasa asing. Belakangan, terbitan-terbitan dwi bahasa lainnya, seperti edisi Injil Matius Ruyll Belanda-Melayu yang diterbitkan pada tahun 16296, juga digunakan sebagai bahan pengajaran.
                Ketika pendeta pertama, Casper Wiltens (1615 – 1619) tiba di Ambon pada tahun 1615, ia juga mencoba merangsang penggunaan bahasa Belanda di sekolah-sekolah Ambon, tetapi kecewa dengan ketidakberhasilannya, karena – seperti yang ia laporkan – orang Ambon tidak cukup pandai dan malas7. Seperti yang dilihat Wiltens, salah satu alasan buruknya hasil sekolah pendidikan Belanda adalah keengganan orang Ambon untuk menggunakan bahasa Belanda sebagai media pengajaran, karena terbukti semakin sulit dipelajari daripada bahasa Latin. Selain itu, mereka juga memperhatikan bahwa serdadu Belanda atau pegawai VOC, selalu lebih suka berbicara bahasa Melayu pada beberapa kesempatan ketika mereka berkomunikasi dengan orang Ambon8. Karena alasan ini, Wiltens segera memutuskan untuk mengganti media pengajaran. Bahasa Belanda tidak lagi digunakan sebagai bahasa sekolah dan bergerja, tetapi  - karena bahasa Ambon kurang banyak digunakan – sepenuhnya digantikan oleh bahasa Melayu.
                Pada tahun 1617, dilaporkan bahwa sekolah telah ditutup untuk beberapa waktu. Karena alasan inilah, Gubernur Ambon yang akan dimutasi, Adriaen Block Martens (1614 – 1617), mengusulkan agar penggantinya, Steven van der Haghen (1617 – 1618), “mengimpor” (mendatangkan) kepala sekolah Jan van den Brouck di Jakarta (Batavia), dimana Blok Martensz kagum melihat anak-anak lelaki pribumi berbicara dan menulis dalam bahasa Belanda dengan cara begitu sempurna, seolah-olah mereka berasal dari Belanda. selanjutnya Blok Martensz mengusulkan untuk “mengimpor” dari Belanda, 30 hingga 50 anak laki-laki Belanda per tahun untuk mencampurkan mereka dengan anak-anak lelaki Ambon di sekolah. Dengan cara ini, akan memungkinkan untuk memperkenalkan bahasa Belanda sebagai alat komunikasi umum  di Ambon, sehingga menjadi koloni Belanda yang nyata dan untuk mengubah seluruh koloni menjadi masyarakat Kristen9.
                Sebastian Danckaerts, yang bekerja sebagai pendeta kedua di Ambon pada tahun 1618 – 1622, menyesali keputusan rekannya, Wiltens, untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Karena itu, ia memperbarui upaya untuk menjadikan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di sekolah dan gereja, dan tampaknya berhasil, menurut laporannya tentang pelajaran yang diberikan oleh kepala sekolah Thieleman Teunisz :

Setelah periode 3 bulan belajara yang mendalam dan rajin, para siswa menunjukan perubahan dan kemajuan yang luar biasa, khususnya dalam kemampuan menulis, seperti tidak seorangpun yang berharap demikian, meskipun mereka masih membuat beberapa kesalahan dan pelafalan mereka masih harus ditingkatkan10.

Gubernur Ambon, Herman van Speult (1618 – 1624), sangat puas dengan hasil pendidikan bahasa Belanda ini, dalam hal pendapatnya bahwa bahasa Melayu yang digunakan di Ambon, terlalu buruk untuk memberitkan injil Kristen. Hanya bahasa Belanda yang dapat memenuhi tujuan ini, dan oleh karena itu, bahasa Belanda harus diajarkan di sekolah. Van Speult berusaha keras untuk menyebarkan bahasa Belanda di kalangan anak-anak muda Ambon, dan dengan demikian untuk memperkuat ikatan antara orang Ambon dan Belanda. Melalui hal ini, saling pengertian, kepercayaan dan loyalitas dapat diciptakan melalui penggunaan bahasa Belanda. Selain itu, penghapusan bahasa Melayu juga dapat membantu mengurangi pengaruh “Mohammedans” (Kaum Muslim) di wilayah tersebut, karena agama Islam disebarkan menggunakan bahasa Melayu di seluruh kepulauan tersebut11


                Masih belumlah jelas apakah tujuan Van Speult dijalankan atau tidak, karena visi Danckaerts tentang pendidikan bahasa Belanda agak berbeda. Tujuannya, adalah mengajar bahasa Belanda agar memungkinkan kaum muda membaca semua jenis tulisan-tulisan keagamaan dalam bahasa Belanda, tanpa ada tulisan-tulisan keagamaan dalam bahasa Melayu. Begitu para murid diberi pengetahuan menyeluruh tentang agama Protestan melalui bahasa Belanda, mereka akan dapat mengajarkan prinsip-prinsip agama ini kepada seluruh penduduk pribumi, baik menggunakan bahasa ibu mereka atau bahasa Melayu yang dikenal luas. Untuk tujuan ini, Danckaerts mendorong siswa untuk mempraktikkan baik bahasa Belanda maupun bahasa Melayu sebanyak mungkin, karena Kristenisasi Maluku yang sesungguhnya harus dilakukan melalui bahasa Belanda12. Kita mungkin menyimpulkan bahwa, sejak awal, bahasa pengantar utama  pengajaran dalam praktik pastilah bahasa Melayu, dan bahwa pengajaran bahasa Belanda sebagai bahasa asing hanya terjadi, karena bahasa Belanda adalah bahasa resmi untuk Alkitab. Bagi masyarakat pribumi, pengetahuan tentang bahasa Belanda utamanya untuk menerima pengajaran mereka dalam hal iman Kristen yang sejati, dan dengan melakukan itu “mengikat” mereka selamanya dengan Belanda. Karena itu, bahasa Belanda hanyalah alat. Pengikat aslinya adalah agama, bukan bahasa.
                Namun, hasil pengajaran dalam bahasa Belanda tetap bermasalah. Memang, dilaporkan pada tahun 1627, bahwa sekolah di benteng-benteng kota Ambon dihadiri oleh 60 siswa, yang semuanya menunjukan pengetahuan yang wajar tentang bahasa Belanda, meskipun pengucapan mereka tetap agak buruk. Pada saat yang sama, dilaporkan bahwa di sebagian besar sekolah lain di Maluku -  16 di Ambon dan 18 di pulau-pulau sekitarnya, dengan total 1.300 murid ­– bahasa pengantar sama seklai bukan bahasa Belanda, dan sebagian besar pelajaran diberikan dalam bahasa Melayu. Setelah proses inspeksi sekolah Maluku pada tahun 1631 itu, Danckaerts melaporkan bahwa murid-murid dapat membaca dan mengucapkan doa mereka dalam bahasa Belanda di beberapa sekolah saja.

                                Hanya di benteng-benteng saja, anak laki-laki diajarkan beberapa bahasa Belanda, tetapi disebagian besar sekolah lain, bahasa pengantarnya terutama bahasa Melayu, meskipun beberapa diantara murid-muridnya juga menunjukan ketrampilan dalam membaca bahasa Belanda.

                Namun, kebutuhan akan lebih banyak orang Belanda di sekolah-sekolah secara luas diungkapkan oleh para kepala sekolah, seperti juga keinginan kuat mereka untuk “membelandakan” anak-anak muda13. Dari total 590 anak sekolah di Ambon pada tahun 1613, hanya 110 pada 2 sekolah yang terletak dekat benteng itu diajari beberapa bahasa Belanda – artinya, anak-anak mengingat doa-doa Kristen dan artikel-artikel keyakinan dan kepercayaan, pertama dalam bahasa Melayu, kemudian dalam bahasa Belanda. Anak-anak lain hanya dididik dalam bahasa Melayu14. Pendeta Helmichius Helmichez (1630 – 1634) melaporkan pada tahun 1633, bahwa jumlah sekolah meningkat dan lebih dari 1.200 sekolah diajarkan dalam bahasa Melayu. Pada masa ini, belajar bahasa Belanda tidak lagi dianggap berguna; pada saat yang sama, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar juga dipertanyakan. Karena bahasa Melayu bukan bahasa asli di Maluku, pendeta Helmichius dan rekannya dari Ambon, Justus Heurnius (1633 – 1638), keduanya memohon penggunaan bahasa asli sebagai media pengajaran. Karena pemahaman bahasa Melayu sebagai lingua franca agak tersebar luas di Maluku, akhirnya diputuskan pada tahun 1634 untuk menggunakan bahasa Melayu dan salah satu bahasa asli Maluku sebagai media pengajaran15


                Setelah periode pertama ini, pendidikan bahasa Belanda tidak ada lagi di Ambon dan pulau-pulau lain di Maluku. Pada tahun 1635, jumlah anggota “jemaat Belanda” di Ambon hanya berjumlah 34 dan jumlah itu tidak lagi sangat mungkin meningkat. Pada tahun 1660, penggunaan bahasa Melayu dilaporkan meningkat di sekolah-sekolah, dan bahwa anak-anak tidak lagi memiliki pengetahuan bahasa Belanda. setelah itu, satu-satunya penyebutan pengajaran bahasa Belanda berasal dari tahun 1662, ketika seorang Tuan Arnold Bertrand membuka sebuah “sekolah Belanda” di Ambon16. Namun pada tahun 1665, pemerintah VOC di Batavia secara resmi memutuskan untuk tidak lagi mendorong penggunaan bahasa Belanda di Maluku17. Bahasa Belanda bukan saja dianggap terlalu sulit untuk menjadi bahasa yang meluas dalam komunikasi, tetapi juga akan terlalu mahal untuk menyediakan sekolah Belanda dalam skala besar. Di kepulauan Banda di Maluku Selatan, sekolah pertama dibuka pada tahun 1622 di pulau kecil, yaitu pulau Ai. Hal itu termasuk, rumah kos untuk murid yang datang dari kepulauan Banda lainnya. Pada tahun 1623, sebuah sekolah dibuka di pulau Lontor (Banda Besar) dan pada tahun 1624 di pulau kecil lainnya, di pulau Roen (Run). Pada Agustus 1624, ada 3 sekolah yang telah ada, dengan total pendaftaran hampir 300 anak-anak – 40% diantaranya disebut “anak-anak kompeni (yang ayahnya orang Eropa) dan 60% anak-anak “Mardijkers” (budak-budak beragam Kristen yang memperoleh “kemerdekaan” mereka. Sekolah di pulau Ai memiliki 100 murid internal dan 40 siswa eksternal, sekolah di Lontor ada 100 murid dan di pulau Run ada 45 siswa. Bahasa resmi pengajaran di sekolah adalah bahasa Belanda, dan diharapkan dengan menyebarkan pengetahuan bahasa Belanda di Banda, “ bahasa Melayu, yang dianggap terlalu buruk untuk memberitakan Injil, tentu saja seiring waktu akan terhapus sepenuhnya” 18.
                Tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan-harapan ini, adalah peraturan sekolah yang diterima 1 tahun kemudian (tahun 1625), dimana ditetapkan bahwa anak-anak Melayu harus mendapatkan pendidikan sekolah mereka dalam bahasa Belanda, tetapi bahwa mereka juga harus belajar artikel-artikel tentang iman Kristen dalam bahasa Melayu. Ini memberi kesan bahwa bahasa Belanda bukan satu-satunya bahasa pengantar, dan bahasa Melayu berfungsi setidak sebagai bahasa pengantar kedua. Kesan ini didukung oleh fakta bahwa Dewan Gereja Banda pada tahun 1625, mengeluh tentang kurangnya jumlah buku-buku sekolah : hanya 1 sampel/contoh terjemahan bahasa Melayunya Danckaerts atas buku vraechboecksken van Aldegonde (buklet pertanyaan St Aldegonde), dan kamus bahasa Melayu karangan Danckaerts19 yang telah diterima, walaupun banyak salinan diperlukan untuk sekolah-sekolah20. Karena itu, administrasi VOC di Belanda memutuskan pada akhir tahun 1626 untuk mengirim sejumlah besar materi pengajaran ke sekolah-sekolah di Banda dan tempat lain di Hindia Belanda, termasuk pensil, kertas, tinta, buku mazmur dengan catatam musik, dan Abboekxkens21. Tetapi pada tahun 1635, jumlah anak sekolah di Banda kelihatannya menurun drastis, dan total hanya 157 anak dilaporkan, 103 anak laki-laki dan 54 anak perempuan22.
                Dalam perjalanan waktu – seperti yang terjadi di Ambon dan kepulauan Maluku sekitarnya – bahasa Melayu mulai menggantikan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah Banda, terlebih lagi karena buku-buku sekolah berbahasa Melayu semakin tersedia. Pada saat yang sama, keengganan awal orang-orang Eropa terhadap bahasa Melayu menguap sesuai pengetahuan mereka terhadap bahasa semakin meningkat. Hanya di Banda, bahasa Belanda masih memainkan peran tertentu, karena jumlah orang Eropa yang relatif besar di sana, yang disebut perkenier (pengusaha perkebunan cengkih). Pendeta F. Valentijn, yang bertugas di Ambon pada tahun 1685 – 1695 dan sekali lagi pada tahun 1707 – 1713, melaporkan bahwa “pengaruh terbaik kehadiran orang Eropa di Banda adalah bahwa hampir semuanya, bahkan orang kulit hitam atau mestizo (Eurasia), dapat berbicara bahasa Belanda dengan cukup baik untuk menyanyikan Mazmur pada hari minggu23.
                Pilihan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah Maluku hanyalah pilihan praktis, dan tidak ada hubungannya dengan prinsip pemberitaan injil dalam bahasa ibu masyarakat. Mengenai prinsip ini, Valentijn menulis, “ dan sejauh menyangkut bahasa yang digunakan, hal itu bisa dipelajari dari Alkitab itu sendiri, yaitu di dalam I Korintus 14:2,4,9,14, dan khususnya ayat 19, bahwa seseorang tidak boleh berkhotbah dalam bahasa asing, tetapi dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh jemaat”24. Di antara berbagai bahasa dan dialek asli yang ada di Maluku – dan situasinya menjadi semakin rumit dengan gerakan-gerakan etnis berskala besar pada awal abad ke-17 – bahasa Melayu dipilih sebagai bahasa pengantar di sekolah dan gereja, karena alasan praktis, yaitu bahasa itu sudah berfungsi sebagai lingua franca di Maluku sebelum kehadiran Belanda di sana. Sebagai bahasa Kristen, sekolah, dan sebagian juga administrasi VOC di Maluku, bahasa Melayu tersebar luas – terutama pada awalnya di antara orang-orang Kristen pribumi – akhirnya mengarah pada kepunahan beberapa bahasa asli Ambon. Karena itu, dialek Melayu Ambon yang digunakan setidak di Ambon dapat dianggap sebagai salah satu hasil dari kebijakan bahasa VOC : “sekolah-sekolah, khotbah-khotbah, dan arahan kompeni mempekuat perkembangan bahasa Melayu, bisa dikatakan sebagai ekspansi bahasa Melayu, lingua franca ke bahasa ibu orang Ambon Kristen”25.
                Dalam retrospeksi, kebijakan bahasa VOC, yang bertujuan untuk memperkuat posisi Belanda di Maluku, terbukti gagal total. Pada awalnya, bahasa Belanda dipromosikan terutama untuk menghilangkan penggunaan bahasa Portugis – bahasa musuh dan agama Katholik – karena bahasa Belanda dipandang sebagai jalan menuju keyakinan sejati. Terlebih lagi, bahasa Belanda dipandang sebagai jalan menuju pilihan politik : melalui bahasa Belanda, saling pengertian dan kepercayaan dapat tercipta. Setidaknya ini berlaku untuk bagian masyarakat Kristen; pengetahuan bahasa Belanda di antara pribumi “kafir” atau “Mohammedans” dipandang sebagai bahaya bagi koloni. Sebagai akibat dari kebijakan bahasa VOC, lingua franca yaitu bahasa Melayu memunculkan bahasa Melayu Ambon yang banyak digunakan, sementara bahasa Belanda sudah tidak digunakan lagi di gereja atau sekolah pada pertengahan abad ke-17. Namun, bahasa Belanda masih digunakan sebagai bahasa resmi pemerintah, terutama sebagai media tulisan oleh para pejaba VOC di kantor-kantor VOC, dan sebagian sebagai media lisan/pembicaraan oleh para pegawai, tentara, dan pelaut VOC yang menguasai bahasa tersebut, yang kurang dari setengahnya berasal dari Belanda. Bahasa Belanda menjadi sebagian besar bahasa yang digunakan oleh orang-orang keturunan Eropa dan oleh segelintir orang Kristen pribumi yang terkait erat dengan aktivitas VOC.
                Setelah upaya awal untuk mempromosikan bahasa Belanda sebagai lingua franca sebagai pengganti bahasa Melayu, bahasa Belanda hampir mati di Maluku. 2 abad berlalu sebelum upaya baru dilakukan selama paruh kedua abad ke-19, untuk mempromosikan penggunaannya lagi di Maluku, dengan keberhasilan yang agak lebih banyak daripada di zaman VOC.  Namun, kebijakan bahasa Belanda telah “bangkrut” : secara tidak disengaja dan tidak hati-hati, bahasa Melayu muncul sebagai pemenangnya. Ini tentu saja tidak sepenuhnya hal yang mengejutkan, mengingat kelompok orang Eropa yang relatif kecil dan heterogen di antara penduduk asli serta dari karakter utama perdagangan VOC.

===== selesai ====


Catatan Kaki :

1.           This article is based on K. Groeneboer, Weg tot het Westen; Het Nederlands voor Indie 1600–1950; Een taalpolitieke geschiendenis (Leiden: KITLV Uitgeverij, 1993), chapter II.2.1.
2.          Letter, J. Wogma to Heren XVII, 14-8-1608, in J. A. Grothe, Archief voor de geschiedenis der oude Hollandsche zending, vol. 5, De Molukken, 1603–1624 (Utrecht: Van Bentum, 1890), p. 7.
3.          Letter, S. Coteels to Ileren XVII, 24-7-1614, in Grothe, Archief 5: 41.
4.         Ph. Marnix van St. Aldegonde, Cort begrijp der voornaemste hooftstucken der Christelijcker Religie ghestelt: Vraghe ende antwoordischer wijse tot nut ende voordeel der teere aencomende jonckheyt ende stichtinghe aller Christenen in ’t gemeyn (Amsterdam: Ottho Barentsz Smient, 1599).
5.          F. de Houtman, Spraeck ende woord-boeck: Inde Maleysche ende Madagaskarsche talen met vele Arabische ende Turcsche woorden: Inhoudende twaalf tsamensprekinghen inde Maleysche ende drie inde Madagaskarsche
spraken met alderhande woorden ende namen ghestelt naer ordre vanden A.B.C. alles in Nederduytsch verduytst
(Amsterdam: Jan Evertsz. Cloppenburch, 1603).
6.         A. C. Ruyll, Het Nieuwe Testament, dat is het nieuwe verbondt onzes Heren Jesus Christus, in Nederduitsch ende Maleisch naar der Grieksche waarheit overgeset: Jang Testamentum Baharu, artin’ja: jang d’jand’ji baharu dari
Tuhanku Jesu Christi, bersalim kapada bassa Ilulanda daan bassa Malaju, seperti jang adillan bassa Gregu
(Enkhuizen: Jan Jacobsz. Palenstein, 1629).
7.          C. Wiltens quoted in F. Valentijn, Oud en nieuw Oost-Indien: Vervattende een naauwkeurige en uitvoerige verhandelinghe van Nederlands mogentheyd in die gewesten (Amsterdam: Van Braam, Onder de Linden, 1724–26), 5 vols., vol. IV-2, p. 36.
8.         Letter, C. Wiltens to Church Council Amsterdam, 1616, in Grothe, Archief 5: 73.
9.         Letter, A. Block Martensz to S. van der Haghen, 6-11-1617, in Grothe, Archief 5: 92.
10.       S. Danckaerts, Historisch ende grondich verhael, van den standt des Christendoms int quarteir van Amboina, mitsgaders van de hoope ende apparentie eenigher reformatie ende beternisse van dien (Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 6 [1859]:105–136 [first printed in 1621]), p. 131.
11.         J. Mooy, Geschiedenis der Protestantsche kerk in Nederlandsch-Indie (Weltevreden: Landsdrukkerij, 1923), pp. 300–301.
12.        Danckaerts, pp. 132–133.
13.        Valentijn, vol. III-1, p. 46.
14.       J. A. Grothe, Archief voor de geschiedenis der oude Hollandsche zending, vol. 6, De Molukken, 1625–1638. (Utrecht: Van Bentum, 1891), pp. 144–145.
15.        Grothe, Archief 6: 240, 253, 265, 291–293, 316.
16.       Valentijn, vol. III-1, pp. 60, 62.
17.        Realia: Register op de generale resolutien van het Kasteel Batavia 1632– 1805, pt. 1 (Leiden: Kolff, 1882), p. 25.
18.       Report, Church Council of Banda 20-8-1624, in Grothe, Archief 5: 212.
19.       C. Wiltens and S. Danckaerts, Vocabularium, ofte Woort-boeck, naer ordre vanden Alphabet in ’t Duytsch–Maleysch, ende Maleysch–Duytsch (’s-Gravenhage: Hillegrand Jacobsz. van Wouw, 1623), 135 pp.
20.      Grothe, Archief 6: 23, 32.
21.        Heren XVII, 28-10-1626, quoted in A. Algra, Bataviase scholen en schoolmeesters in de 17e eeuw (De Christelijke Onderwijzer 21 [1938]: 283– 287, 297–300), p. 283.
22.       Grothe, Archief 6: 309.
23.       F. Valentijn, quoted in J. C. Neurdenburg, Van welke taal moeten de zendelingen in de Molukken en inde Menahasa zich bij de verkondiging des Evangelies bedienen? (Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap 2 [1858]: 172–194, 279–308), pp. 288–289.
24.      Valentijn, vol. III-1, p. 37.
25.       J. T. Collins, Ambonese Malay and creolization theory (Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Palajaran Malaysia, 1980), p. 13.


Catatan Tambahan :
  1. Johannes Wogma adalah kelahiran Leeuwarden sekitar tahun 1580, dan meninggal di Amsterdam pada tahun 1630. Menurut sumber dari Jean Gelman Taylor, ia digaji 18 gulden per bulan. Dieter Bartels yang mengutip sumber dari J. Mooy menyebut bahwa Johannes Wogma menikah dengan seorang wanita Ambon.
§  Lihat Jean Gelman Taylor, The Social World of Batavia, 2nd edition, The University of Wisconsin Press, Wisconsin, 2009, hal 24 atau edisi terjemahan Indonesia Kehidupan Sosial di Batavia, PT Masup, Jakarta, 2009, hal 38
§  J. Mooy, Geschiedenis der Protestantsche Kerk in Nederlandsch Indie, deel 1 : van de stichting.........., Weltevreden Landsdrukkerij, 1923)
§  Dieter Bartels, Di bawah Naungan Gunung Nunusaku, jilid II, KPG, Jakarta, 2017, hal 595.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar