Minggu, 17 Mei 2020

Santo Fransiscus Xavierius dan Kaum Jesuit di Ambon (1546 – 1580)


Oleh
R.Z. Leirissa




  1. Kata Pengantar
Artikel ini adalah artikel yang ditulis oleh sejarahwan Maluku, Richard Zacharias Leirissa dengan judul St Francis Xavier and The Jesuits in Ambon (1546 – 1580), yang dipresentasikan pada suatu Konfrensi Internasional bertajuk “ Portuguese and Dutch travel and travellers in Southeast Asia”, yang diselenggarakan di Portugal tahun 2001.
Artikel ini kemudian dimuat kembali dalam jurnal Revista de Cultura [Review of Culture], edisi nomor 19, terbitan Juli 2006, pada halaman 53 - 63. Artikel milik Leirissa ini merupakan salah satu artikel bersama artikel-artikel sejarahwan Portugis lainnya, seperti Ivo Carneiro de Sousa, Jose Madeira, Rui Manuel Loureiro, Pedro Lagge Coreia dan lain-lain dalam edisi tema besarnya De Xavier a Valignano a Conquista Espiritual Da Asia [The Spritual Conquest of The Far East From Xavier to Valignano]. Jurnal Revista de Cultura [Review of Culture],adalah Jurnal tentang Sejarah Portugis di Asia Timur Jauh, yang meliputi berbagai aspek yaitu agama, militer, ekonomi, budaya dan sebagainya, yang diterbitkan 4 kali setahun.
                Pada artikel ini, alm R.Z. Leirissa mengkaji tentang aktivitas kaum Jesuit yang melakukan penyebaran agama Katholik di kepulauan Ambon-Lease yang dirintis oleh Santo Fransiscus Xaverius dan diikuti oleh rekan-rekan misionaris lainnya. Leirissa mengungkapkan tentang aktivitas mereka di sela-sela masa damai dan perang sepanjang paruh terakhir abad ke-16 itu. Selain mengungkapkan tentang aktivitas keagamaan, Leirissa juga menyorot aspek sosial masyarakat Ambon – Lease, yang ia sebut sebagai “Simbiosis Dikotomi” yaitu sistim “dualisme” dalam masyarakat Ambon - Lease yang kita kenal dengan nama Ulisiwa – Ulilima atau Patasiwa – Patalima. Pada akhir kajian, Leirissa menyimpulkan bahwa aktivitas misionaris itu turut berperan penting dalam pemulihan identitas Ulisiwa dan Ulilima tersebut.
                Kami memberanikan menerjemahkan artikel itu, agar kita memperoleh berbagai bahan bacaan yang baik untuk menambah wawasan kesejarahan kita. Perlu juga disampaikan bahwa artikel aslinya sepanjang 11 halaman, dengan 46 catatan kaki dan 4 gambar/lukisan.
                Akhir kata selamat membaca... selamat bersejarah... semoga kita akan selalu mencintai sejarah...karena sejarah adalah kehidupan yang dinarasikan dalam bentuk teks itu sendiri.



  1. Terjemahan : Kutu Busu
Nama-nama negeri-negeri Kristen di pulau Ambon, Haruku, Saparua dan Nusalaut1 di masa kini, sangat mirip dengan nama-nama negeri-negeri Kristen di pulau yang sama yang disebutkan pada surat-surat dan laporan dari kunjungan kaum Jesuit Portugis sepanjang paruh pertama abad ke-16. Hal yang sama berlaku juga untuk negeri-negeri Muslim pada kepulauan itu.  Seolah-olah selama 3 abad atau lebih tahun-tahun campur tangan kehadiran Belanda di pulau-pulau itu, tidak ada perubahan mendasar yang terjadi dalam pembagian negeri-negeri Kristen dan Muslim. Seolah-olah waktu berdiri diam dan terpaku sejak abad ke-16, dalam soal konfigurasi negeri-negeri di kepulauan Ambon-Lease2.
Ini semua semakin menarik, karena terjadi ketika kaum Muslim dari negeri tetangga, yaitu Hitu terus menerus menyerang negeri-negeri Kristen sepanjang paruh pertama abad ke-16, dan selama paruh kedua abad itu, armada perang dari Ternate juga terus menerus menyerang negeri-negeri yang sama dan kubu pertahanan Portugis. Selama periode itu, hampir tidak ada tahun-tahun yang dilalui tanpa perampasan, pengepungan atau penyerangan. Namun demikian, di antara konflik-konflik itu, para kaum Jesuit Portugis menghasil “mengukir” wilayah sosial-geografis di kepulauan Ambon-Lease, yang penduduknya juga adalah orang Kristen, sementara kaum Muslim pada umumnya juga berhasil menjaga negeri mereka tetap utuh. Konfigurasi sosial-geografis yang serupa tidak pernah terjadi di Maluku Utara, dimana Portugis memusatkan perdagangan, armada dan perpolitikan mereka. Mengapa hal itu terjadi di kepulauan Ambon – Lease adalah topik dari tulisan ini3.

Pulau Ambon (1608)


KAUM JESUIT4

Kaum Jesuit dibentuk oleh Inácio de Loyola pada tahun 1540. Jesuit pertama yang mengunjungi kepulauan Ambon adalah Francis Xavier (Fransiscus Xaverius), yang dianggap sebagai bapak pendiri misi Jesuit ke Asia. Dia meninggalkan Portugis dengan restu Raja João III, yang berhasil menghidupkan kembali Padrado Real ( tanggung jawab kerajaan untuk misi di tanah-tanah yang ditaklukan) yang diterima dari Paus oleh para Raja Portugis di abad ke-15. Perjalanan perintis Xaverius ke kepulauan Ambon, dilakukan dari Februari hingga Mei 1546, dan sekali lagi pada bulan April dan Mei 1547 selama perjalanan pulang dari Maluku ke Malaka5.
Fransiscus Xaverius mampu meyakinkan otoritas Estado da Índia Portugis di Goa dan para pemimpin Yesuit di Roma, bahwa Maluku dan Kepulauan Ambon-Lease adalah ladang misi yang sangat menjanjikan, tetapi tampaknya Xaverius terlalu optimis. Ketika Portugis tiba di Maluku dan Ambon pada awal 1520an, banyak penduduk negeri yang telah menganut agama Islam sekitar akhir abad ke-15. Selain itu, Maluku, dengan produksi cengkih yang kaya, merupakan daya tarik utama bagi kepentingan perdagangan Portugis, bukanlah kepulauan Ambon-Lease, dimana komoditas ini tidak diproduksi sampai tahun 1570an. Tidak lama setelah benteng Portugis di Ternate dibangun (tahun 1522), permusuhan mulai muncul antara kapten benteng/kastil dan para Sultan Ternate. Pada saat Xaverius mengunjungi Ambon dan Maluku pada tahun 1546-1547, permusuhan telah berubah menjadi konflik fisik yang terbuka. 

Fransiscus Xaverius (7 April 1506 - 2 Desember 1552)
Meskipun kepulauan Ambon-Lease tidak menghasilkan cengkih selama paruh pertama abad ke-16, pada tahun 1518 kapal-kapal Portugis mulai menggunakan Hitu, suatu semenanjung sebelah barat Pulau Ambon (semenanjung sebelah timur disebut Leitimor), untuk menunggu angin musim timur  yang dimulai pada bulan Mei, untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Malaka (Perjalanan dari Ternate ke Ambon memakan waktu 8-10 hari, dan dari Ambon ke Malaka selama 6 minggu). Mereka diizinkan membangun rumah kayu di dekat negeri Hitu, tetapi, karena perbedaan keyakinan, mereka harus meninggalkan daerah itu pada tahun 1530an. Setelah itu, sepanjang paruh pertama abad ke-16, mereka berturut-turut membangun benteng kayu berukuran kecil di berbagai tempat di pantai selatan Hitu di teluk Ambon, yang memisahkan semenanjung Hitu dan semenanjung Leitimor. Sepertinya tak lama setelah itu, para imam kaum Fransiskan mulai mengunjungi negeri-negeri itu. Negeri pertama yang menjadi Kristen di daerah ini adalah Hatiwe, yang pemimpin/penguasa negerinya menggunakan nama Manuel. Pada saat Xaverius tiba pada tahun 1546, telah ada 3 negeri Kristen.
Optimisme Xaverius tentang masa depan misi di Ambon, didasarkan pada keyakinan bahwa pulau itu akan segera menjadi milik Kapten selanjutnya di Ternate, Jordão de Freitas. Cerita dimulai dengan aksi penangkapan Sultan Ternate, Sultan Tabarija (1523 – 1535) oleh Kapten Tristão de Ataíde, yang memerintahkan Sultan pergi ke Goa untuk diadili. Hairun, saudara tirinya, diangkat oleh Kapten sebagai Sultan pada tahun 1535. Di Goa, Tabarija berteman dengan Jordão de Freitas, yang membujuknya untuk menjadi seorang Kristen (Dom Manuel adalah nama Kristen-nya Sultan Tabarija). Sebagai rasa terima kasihnya, Tabarija menawarkan pulau Ambon kepada Freitas, tetapi dalam perjalanan kembali, Tabrija meninggal di Malaka, dan Freitas yang menjadi Kapten benteng Ternate (1544 – 1547), tidak pernah pergi ke Ambon untuk mengklaim haknya itu6.
Roma dan Goa setuju dengan Xaverius dan menjadikan kepulauan Ambon sebagai salah satu prioritasnya. Menurut Wessels, dari zaman Fransiscus Xaverius hingga tahun 1606, tak kurang dari 52 misionaris dikirim ke Maluku. 2 dari mereka terbunuh bersama kru kapal ketika kapal mereka melewati pelabuhan-pelabuhan Utara Jawa, dan tidak pernah sampai di tujuan7. Hanya 5 imam yang dilatih di Coimbra Jesuit College. Sebagian besar Jesuit memasuki kelompok ini di Goa. Di antara mereka, ada beberapa yang tidak pernah menjadi pendeta. Waktu rata-rata yang dihabiskan oleh para misionaris di kepulauan Ambon, bervariasi dari beberapa bulan hingga 2 atau 3 tahun. Hanya 1 imam Portugis, Pedro Mascarenhas, yang tinggal selama 10 tahun (1570 – 1580).
Kaum Jesuit asal Italia, Spanyol, dan bahkan Belgia mulai mengunjungi Maluku dan Ambon setelah Philip IId menjadi Raja Spanyol dan Portugal pada tahun 1580. Para Jesuit ini dikirim dari Manila, bukan Goa. Di antara yang paling penting dari mereka adalah Bernardino Ferrari, seorang Italia, yang mencapai Tidore dari Manila pada tahun 1580 untuk menjadi pengawas pertama di Maluku dan Ambon, serta meninggal di Ambon pada tahun 1584. Yang kedua adalah Antonio Marta, juga seorang Italia,yang menggantikan Ferrari sebagai pengawas pertama wilayah misi ini pada tahun 1587, dan meninggal di Tidore pada tahun 1598. Kegiatan para Jesuit sebagian besar terdiri dari pengajaran Injil, membaptis, membangun gereja dan salib-salib besar di setiap negeri Kristen, dan memberikan komuni kepada mereka yang siap untuk itu. Mereka harus menetapkan jadwal untuk memungkinkan mereka mengunjungi semua negeri itu. Hambatan bahasa pasti menjadi hambatan besar bagi imam. Menurut Xaverius :

Setiap pulau dengan dialek bicaranya sendiri, dan bahkan ada sebuah pulau dimana hampir semua negeri/desa memiliki gaya bicaranya sendiri-sendiri. Meskipun demikian, bahasa Melayu, yang juga digunakan di Malaka, sangat umum di sini8
               
Sepanjang abad ke-16, para jesuit menggunakan terjemahan bahasa Melayu milik Xaverius tentang bahan-bahan gereja, seperti credo dan penjelasan singkatnya, Confessione Generalis (Pengakuan Umum), Paster Noster, Ave Maria, Salve Regina dan Sepuluh Perintah (10 Hukum Taurat)9. Kehidupan para Jesuit, pada dasarnya jauh dari kemudahan. Fransiscus Xaverius menggambarkan situasi di kepulauan Ambon-Lease dengan kata-kata berikut :

Iklim kepulauan ini sejuk dengan banyak curah hujan. Sebagian besar tertutup oleh hutan lebat, pegunungannya tinggi dan sulit didaki, menjadikannya tempat yang aman bagi penduduk, yang berlindung di sana selama perang. Tidak ada kuda, dan orang tidak bisa menunggang kuda di sini. Gempa bumi dan “gempa laut” terjadi sangat sering di sini. Perasaan selama “gempa laut” seperti seolah-olah sebuah kapal terlempar di atas batu. Gempa bumi sangat menakutkan. Banyak pulau menyemburkan api disertai dengan suara gemuruh, yang tidak ada bandingannya dengan suara senjata yang paling besar. Api itu sangat kuat sehingga bisa membawa batu besar dari kawah10.

Masa tinggal para Jesuit relatif singkat di Ambon, bukan hanya karena kondisi-kondisi fisik. Permusuhan kaum Muslim di Ambon-Lease adalah penyebab lain. Nuno Ribeiro (dilatih di Coimbra dan memasuki Serikat Jesuit pada tahun 1543), Jesuit Portugis kedua yang mengunjungi Ambon setelah Xaverius, 2 kali lolos dari kematian ketika gubuknya dibakar pada malam hari. Tetapi pada 16 Agustus 1548, salah seorang pembantunya memasukan racun kedalam makanannya, dan setelah menderita selama beberapa hari, ia meninggal pada 23 Agustus 1548. Selama bertahun-tahun setelah kematiannya, tidak ada kaum jesuit yang berkunjung ke pulau. António Fernandes (bukan pendeta), yang tiba di Ambon pada 22 Februari 1554, tenggelam sebulan kemudian (12 Maret) selama perjalanan laut ke pulau Buru, ketika perahunya diterjang badai. Afonso de Castro (lahir di Lisbon dan memasuki Serikat Jesuit di Goa pada tahun 1547) memulai pekerjaannya di Ternate pada tahun 1549, dan pada tahun 1555 menghabiskan beberapa bulan di Ambon sebelum pergi ke Halmahera. Dia disalibkan pada tanggal 1 Januari 1558 di pulau kecil Hiri, utara Ternate, pada tahun 1556. Pedro Mascarenhas (1570 – 1581) meninggal karena keracunan11

Lukisan Fransiscus Xaverius
Terlepas dari kondisi fisik dan permusuhan umat Islam, makanan juga tampaknya menjadi masalah besar bagi para kaum Jesuit. Antonio Marta melaporkan bahwa makanan harian para misionaris tidak jauh berbeda dengan makanan orang lain. Sagu (tepung yang dihasilkan dari pohon palem) dan ikan adalah hidangan utama. Daging babi jarang terlihat di atas meja, tetapi sayuran berlimpah, juga buah-buahan, terutama durian.  Alih-alih anggur, para imam yang baik minum tuak, zat alkohol yang dihasilkan dari pohon palem (bukan pohon sagu). Karena kurangnya obat-obatan Eropa, kesehatan para imam menjadi masalah serius. Tuak dicampur dengan jus lemon adalah obat standar terhadap banyak penyakit, seperti halnya kulit pohon manga bara12.
Banyak pendeta meninggal karena sesuatu yang pada waktu itu dianggap sebagai penyakit misterius, yang disebut dalam bahasa Melayu yaitu beri-beri. Tentang hal ini, Bernardino Ferrari melaporkan :
Saya melihat 3 imam menderita penyakit ini. Karena kehilangan kekuatan, Pastor Rodrigues terkontaminasi oleh penyakit yang disebut beri-beri. Itu di mulai dari kaki, membatasi kebebasan bergerak, dan kemudian ke kedua lengan, dan berakhir di jantung, diikuti oleh kematian. Pada tahap awal, penyakitnya masih bisa disembuhkan, tetapi jika sebagian besar tubuh telah terkontaminasi, itu menjadi fatal13.

Jumlah korban tewas memang sangat tinggi. Dari 50 misionaris yang mengunjungi Maluku dan Ambon selama abad ke-16, 17 orang tewas di sekitar wilayah itu, sementara 21 lainnya meninggal di Asia bagian lain14.
                Salah satu dari 17 misionari Portugis, yang menghabiskan 10 tahun hidupnya di Ambon-Lease, adalah Pastor Pedro Mascarenhas (1570 – 1581) yang disebutkan sebelumnya. Ia dilahirkan di Arzila, dan memasuki Serikat di Goa pada tahun 1558. Setelah ditempatkan di daerah misionaris lainnya, pada tahun 1568 ia mengunjungi Siau (kepulauan Sangir di Sulawesi Utara), dan tiba di Ambon pada tahun 1569.
                Selama tahun-tahun pertama tinggal di Ambon-Lease, pulau-pulau itu dalam kondisi yang relatif damai, dan dengan demikian kondusif untuk pekerjaan misionaris. Dalam sepucuk surat kepada atasannya di Goa dan Roma, dia mengemukakan rencana untuk mempertobatkan (konversi), bahkan hingga ke pulau yang lebih besar seperti Seram dan Buru, jika misionaris yang diperlukan dikirim untuk membantunya. Dalam suratnya tertanggal 25 Mei 1570, ia mengatakan bahwa agama Kristen bertumbuh luar biasa di pulau Ambon :
Karena pulau ini, meski panjangnya tidak lebih dari 20 mil, memiliki 66 pemukiman – yang terkecil tidak termasuk. Yang terkecil dihuni lebih dari 140 penduduk, dan yang besar sekitar 4.000 hingga 5.000 penduduk. Saya akan dapat mengunjungi pulau-pulau di sekitarnya, yang jauh lebih besar, dimana sudah ada sejumlah orang Kristen, dan banyak lagi yang meminta pembaptisan (dibaptiskan).  (dengan ini, yang ia maksud adalah pulau Seram dan Buru)15

Namun, Mascarenhas terlalu optimis. Beberapa bulan kemudian, pada tahun 1570, pecah perang di Maluku dan Ambon-Lease yang dipimpin oleh Sultan Baabulah dari Ternate. Selama ketiadaan pasukan Portugis, banyak negeri di Ambon-Lease berpaling dari para Jesuit untuk melindungi diri mereka dari serangan armada-armada (Ternate). Mascarenhas mengambil inisiatif sendiri pergi ke Malaka untuk meminta bantuan. Selama perjalanan pulang kembali ke Ambon, ia dipenjara di Jawa, di tebus dengan gratis, dan tiba di Ambon pada akhir tahun 1572, dimana dia tinggal sampai tahun 1580. Setahun kemudian, dia pindah ke Tidore dan meninggal di sana pada 6 Desember 158116.

Lukisan Fransiscus Xaverius


JUMLAH SEBAGAI (UKURAN) KEMAJUAN

                Adalah fakta yang terkenal, bahwa surat-surat dan laporan-laporan kaum Jesuit yang diterbitkan dan diedarkan di antara para misionaris, selain memberikan informasi tentang kegiatan para Jesuit di berbagai wilayah misionaris di Asia, Brasil dan Afrika, juga dimaksudkan untuk memperkuat moral misionaris lain yang membaca surat-surat yang diterbitkan itu17. Aspek pembinaan dari surat-surat yang diterbitkan itu, khususnya secara jelas penyebutan dari jumlah orang yang dipertobatkan. Semakin besar angkanya, semakin mendorng orang lain untuk bekerja lebih keras. Jumlah persis orang yang bertobat diberikan dalam surat-surat itu, tetapi selalu dalam jumlah ribuan, sepuluh ribuan, atau ratusan ribu, yang menekankan pada aspek kuantitas, bukan aspek kualitas.
                Mungkin karena tujuan yang disebutkan di atas menopang sebagian besar surat-surat Jesuit, tidaklah mudah untuk menentukan sikap penduduk setempat dari teks tersebut18. Meskipun laporan-laporan ini memberikan informasi menarik tentang kondisi geografis tempat-tempat yang mereka kunjungi, sosial dan deskripsi budaya penduduk setempat sebagaian besar disajikan. Salah satu informasi paling menarik tentang penduduk setempat, adalah menyangkut jumlah orang yang dipertobatkan19. Jumlah orang Kristen di Ambon dan kepulauan Lease berfluktuasi mengikuti naik turunnya perang antara Portugis dan penduduk setempat serta orang-orang Ternate selama periode abad ke-16. Sebelum kedatangan Xaverius pada bulan Februari 1546, hanya ada 3 komunitas (kampung/desa/negeri) Kristen. Perdamaian relatif yang terjadi ketika Xaverius berada di Ambon, memungkinkan untuk meningkatkan jumlah negeri-negeri itu menjadi 720.
                Situasi yang relatif damai yang berlangsung hingga pertengahan abad ke-16, memang sangat kondusif bagi pekerjaan para Jesuit di Ambon-Lease. Hasilnya dilaporkan oleh Afonso de Castro (1555-1557) dalam surat tertanggal 13 Mei 1555. Ia menyebutkan bahwa jumlah negeri Kristen di pulau Ambon telah meningkat menjadi 30. Laporan lain, selain mengkonfirmasi jumlah negeri Kristen di Ambon yang dilaporkan oleh Castro, menambahkan 13 negeri di kepulauan Lease, dan menyampaikan 10.000 sebagai jumlah total orang Kristen di pulau-pulau itu21.
                Pada pertengahan abad ke-16, situasinya berubah secara drastis. Ini dimulai pada tahun 1557 dengan konflik antara Duarte d'Eça, Kapten benteng Ternate, dan Hairun Sultan Ternate (1546 – 1570). Duarte d'Eça menahan Hairun dan ibunya yang sudah lanjut usia di benteng, menyebabkan pemberontakan yang tak terduga oleh orang Ternate. Pejabat Portugis lainnya di Ternate melepaskan Hairun dan ibunya, serta mengirimkan Duarte d'Eça ke Goa untuk diadili, tetapi kerusakan telah terjadi. Setelah dibebaskan, Hairun memulai serangkaian serangan di kepulauan Ambon22. Pada tahun 1558, ia mengirim armada yang tangguh yang dipimpin oleh Kaicili Leilato, untuk menyerang negeri-negeri Kristen di Ambon-Lease. Untuk melawan armada Ternate, Henrique de Sá, Kapten benteng Ternate yang baru, memimpin armada kecil ke Ambon.  Sejak saat itu, kepulauan Ambon-Lease terus menerus diserang, baik dari Ternate maupun Hitu.
                Surat-surat dari para Jesuit di pulau-pulau itu berulang kali dikirim ke atasan mereka di Goa dan Roma, mengeluh tentang kurangnya perhatian yang dilakukan oleh otoritas Portugis terhadap situasi yang memburuk di pulau-pulau itu. Pada akhirnya, keluhan dari para Jesuit membuahkan hasil. Pada tahun 1562, Goa mengirim António Pais dengan armada untuk menjadi Kapten pertama di Ambon23. Dia diperintahkan untuk membangun benteng yang lebih kuat di daerah-daerah yang bersahabat, tetapi musuh terlalu kuat. Pais gagal membangun benteng dan kehilangan nyawanya dalam pertempuran.
                Suara-suara yang lebih kuat mulai terdengar dari Generale Society di Roma. Bahkan di Lisbon, Raja Sebastião muda menuntut Raja Muda di Goa untuk mengurus situasi di kepulauan Ambon-Lease. Pada tahun 1576, Goa merespon dengan mengirimkan armada yang jauh lebih yang dipimpin oleh Gonçalo Pereira Marramaque, yang tinggal di daerah itu sampai tahun 1571. Selama periode itu, surat-surat dari para Jesuit kembali optimis. Dalam surat tertanggal 31 Januari 1566, Luís de Góis melaporkan bahwa pada waktu itu, ada sekitar 70.000 orang Kristen di Maluku dan Ambon-Lease24.
                Selama tahun-tahun berikutnya, perang mulai meningkat kembali. Pada tahun 1570, Sultan Hairun dibunuh oleh Kapten Portugis di Ternate, dan putranya sekaligus penggantinya, Baabullah (1570 – 1583) menyatakan perang melawan Portugis hingga kematiannya. Dalam sebuah surat dari Goa yang ditujukan kepada General di Roma, Pero Nunez, yang bekerja selama beberapa tahun di Ambon, menulis :
Saat ini hanya ada sejumlah kecil orang Kristen di Ambon dan Lease, hanya sekitar 4.000 hingga 5.000 orang25.

Sementara Baabullah memusatkan serangannya di Ternate dan Halmahera Utara, di Ambon – Lease keadaannya tidak begitu buruk. Laporan tahun 1578 dari Goa ke Roma, menyatakan bahwa di pulau-pulau itu, ada sekitar 10.000 hingga 11.000 orang Kristen26. Meskipun begitu, Baabullah tak pernah benar-benar meninggalkan Ambon – Lease selalu dalam keadaan tenang. Pada tahun 1580, atasan kedua, Pastor Bernardino Ferrari, melaporkan dari Ambon bahwa di pulai itu hanya ada 6 atau 7 negeri Kristen yang tersisa27. Situasi ini berlanjut sampai kedatangan armada Portugis yang dipim oleh Furtado de Mendonça pada tahun 1601.

Lukisan Fransiscus Xaverius


PERSEKUTUAN DI ANTARA NEGERI-NEGERI

                Meskipun tidak ada satu pun surat atau laporan dari para Jesuit yang memberikan deskripsi atau pemetaan lengkap dari semua negeri Kristen di Ambon – Lease, penyebutan yang berulang tentang nama-nama negeri tersebut dalam bentuk surat dan laporan sepanjang abad ke-16, memungkinkan untuk kita mengenali pola yang stabil pemukiman tertentu, khususnya di Pulau Ambon. Polanya menjadi jauh lebih jelas ketika kita membandingkan nama-nama dalam surat-surat Jesuit dengan deskripsi yang diberikan oleh Rumphius dalam karyannya Ambonsche Landbeschrijving [Deskripsi Kepulauan Ambon] yang ditulis pada tahun 167928.
                George Everhardus Rumphius adalah seorang pegawai dari Perusahaan Belanda Hindia Timur (VOC) keturunan Jerman (nama Jermannya adalah Georg Rumph). Dia memulai berkarir sebagai seorang prajurit di VOC pada tahun 1653, dan 4 tahun kemudian menjadi karyawan sipil dengan pangkat koopman (pedagang) yang ditempatkan di Larike dan kemudian di Hila (pusat perdagangan cengkih Belanda), kedua tempat itu di semenanjung Hitu. Selain karyanya, Rumphius memiliki kebiasaan mengumpulkan sampe fauna dan flora Ambon – Lease. Meskipun di tahun-tahun berikutnya, ia menjadi buta, dengan bantuan seorang pegawai yang disediakan oleh perusahaan (VOC), ia mampu menulis 2 manuskrip tentang fauna dan flora pulau-pulau itu dengan ilustrasi yang indah dan artistik. Kaum Naturalis pada saat itu terkesan dengan karyanya, dan pada tahun 1681, Academia Naturae Curiosorum di Wina menganggapnya sebagai Plinus Indicum. Naskah-naskah ini tidak diterbitkan hingga abad ke- 18. Dua manuskrip lain yang lahir dari tangannya adalah Ambonsche Landbeschrijving, yang belum pernah diterbitkan, dan Ambonsche Historie [Sejarah Ambon], diterbitkan pada tahun 191029.
Ambonsche Landbeschrijving sebenarnya adalah deskripsi umum tentang negeri-negeri di pulau Ambon-Lease, lengkap dengan silsilah keluarga kepala-kepala/pemimpin negeri-negeri yang terpenting. Untuk deskripsi negeri-negeri di Hitu, Rumphius bergantung pada naskah lain – Hikayat Tanah Hitu.  Naskah yang ditulis oleh Imam Rijali, Imam paling terkenal di masjid Hitu, saat dalam pengasingan di Makasaar pada tahun 1680an, dan tampaknya telah segera beredar di Hitu30. Selain pengetahuan pribadinya sendiri itu, untuk informasi tentang Leitimor, Rumphius menyebutkan sebuah buku berjudul Oost-Indische Schetsboek [East India Scrapbook] yang ditulis oleh seorang Jaricus31.
Berdasarkan naskah Rijali, Rumphius menggambarkan 30 negeri Muslim di semenanjung Hitu, yang dikelompokkan menjadi 7 federasi negeri-negeri atau uli [Hitu memang berarti 7]. Federasi negeri-negeri tersebut adalah :
1.         Uli Helawan                : Negeri Hunut, Tomu dan Mosapal
2.        Uli Sailesi                    : Negeri Mamala, Polut, Hausihol, Loyen dan Liang
3.        Uli Sawani                   : Negeri Wakal, Pelisa, Eli, Sanelo, Hukunalo
4.       Uli Hutunuku              : Negeri Kaitetu, Nukuhai, Tealaa, Wawani, Esen
5.        Uli Ala                          : Negeri Seith, Hautuna, Lebelau, Wausela, Laing
6.       Uli Nau-Binau             : Negeri Nau, Binau, Henelehu, Henelale, Henelatu
7.        Uli Solemata               : Negeri Tulehu, Tial dan 2 lainnya

Deskripsi oleh Rumphius tentang aliansi/persekutuan negeri-negeri di Leitimor, mengikuti pola yang sangat berbeda dari Rijali. Pada dasarnya ia mengelompokkan negeri-negeri menjadi unit-unit prau, elemen utama organisasi VOC yang terdiri dari sejumlah prau atau kora-kora32 dari Ambon – Lease, untuk membantu Gubernur dalam berpatroli di kepulauan setiap tahun. Rumphius menyebut 12 kora-kora di pulau Ambon, masing-masing diawaki oleh penduduk negeri dari sekelompok negeri yang dipimpin oleh 1 negeri sebagai pemimpinnya. Dari uraian Rumphius, jelas bahwa satuan prau pasti didasarkan pada aliansi uli atau negeri yang masih berfungsi pada abad ke-16, meskipun tidak setiap unit prau yang disebutkan oleh Rumphius sebagai Uli.
Satuan-satuan prau itu adalah :
1.         Nusaniwe      : Negeri Seilale, Latuhalat, Amahusu, Hatu
2.        Kilang           : Negeri Kilang, Naku, Hatala / Hatalai
3.        Soya               : Negeri Soya, Amantelo, Ahusen, Uritetu
4.       Halong          : Negeri Halong, Hatiwe Kecil, Lateri
5.        Hatiwe          : Negeri Hatiwe,Tawiri, Hukunalo, Rumatiga
6.       Ema                : Negeri Ema, Hukurila, Rutong, Lateri
7.        Maridika
8.       Alang             : Negeri Alang, Lilibooi
9.       Urimesing    : Negeri Urimesing, Kappa, Seri
10.     Hutumuri
11.       Baguala        : Negeri Baguala dan Suli
12.      Waai

 Deskripsi aliansi/persekutuan negeri-negeri di Hitu harus sesuai dengan kenyataan karena didasarkan pada pengetahuan pribadi Rijali, ketika ia berada di Hitu dan dikenal sebagai imam masjid di Hitu dan anggota penting dari klan Nusatapi33. Rijali juga menyebutkan sebuah lembaga koordinasi yang terdiri dari 4 pejabat/fungsionaria atau Empat Perdana (bahasa Melayu), yang dipilih masing-masing  dari 4 klan yang membentuk Uli Helawan : Tanahitumesing, Nusatapi, Totohatu dan Pati Tuban. Salah satu dari 4 pejabat/fungsionaris dari klan Tanahitumesing, juga dianggap sebagai juru bicara untuk uli-uli lainnya (Portugis secara keliru menamakan pejabat ini sebagai Raja Hitu). Setelah Portugis menjadikan Hitu, sebagai stasiun transit mereka ke dan dari Malaka, mereka menunjuka Kapitan Hitu yang dipilih dari klan Nusatapi, yang bertanggung jawab dalam soal hubungan antara Hitu dan Portugis.
Federasi negeri-negeri di semenanjung Leitimor yang digambarkan oleh Rumphius, sama seklai berbeda dari yang ada di Hitu. Tidak ada lembaga koordinasi di Letimor karena fungsi ini, tentu saja, ada di tangan Portugis. Satu Uli yang disebut Rumphius sebagai satuan prau, yaitu Nusaniwe tidak ada lagi, yaitu uli terbesar, terkuat dan terkaya di Leitimor di paruh terakhir abad ke-16. Urimesing, uli besar lainnya pada periode yang sama, kemudian menjadi bagian dari kota Ambon. saat ini tidak ada nama negeri dengan nama Baguala, dan Mardika jelas bukan uli karena itu adalah tempat bagi para mardijkers34

Peta Ambon - Lease (1623)


SIMBIOSIS DIKOTOMIS

Menurut Rijali dan Rumphius, sistem federasi negeri-negeri di Hitu adalah bagian yang termasuk dari Ulilima, dan sistim di Leitimor adalah bagian yang termasuk dari Ulisiwa. Ini adalah prinsip organisasi sosial yang sangat familiar/umum di Maluku dan Ambon – Lease. Sejumlah pejabat Belanda pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, juga menyadari sistem tersebut, tetapi baru pada tahun 1930an, para akademisi, terutama para antropolog mulai mempelajari organisasi-organisasi sosial ini.
Van Wouden membuka diskusi soal ini pada tahun 193535, diikuti oleh Manusama pada tahun 1977 yang disebutkan sebelumnya36, kemudian oleh Van Fraasen pada tahun 198737, dan oleh Andaya pada tahun 199338. Van Wouden menyebutkan suatu “dualisme” di antara orang Seram, orang-orang yang termasuk Patasiwa di Seram Barat, dan Patalima di Seram Timur, hena [negeri dengan karakteristik feminim] dan aman [negeri dengan karakteristik laki-laki]39. Kedua belah pihak saling bergantung satu sama lain. Manusama menganalisis sistem di Hitu. Van Fraasen menganalisis soa sebagai divisi/pembagian teritorial di pulau Ternate berdasarkan prinsip yang sama. Dan Andaya menunjukan fakta bahwa ada “dualisme” antara Ternate dan Tidore sejak abad ke-16 hingga abad ke-18. Ternate termasuk sistem Ulilima, dan Tidore bagian dari sistem Ulisiwa. Keduanya bergantung satu sama lain, suatu ketergantungan yang dilembagakan oleh, antara lain, Tidore sebagai pihak pemberi istri kepada Sultan Ternate, dan Sultan Ternate sebagai penerima istri dari Tidore.
Saya (penulis) ingin menyarankan di sini, bahwa organisasi sosial ini, harus dilihat sebagai simbiosis dikotomis. Dalam hal ini Ulilima Hitu tidak mungkin ada tanpa Ulisiwa Leitimor, maupun Ulilima di barat laut pulau Haruku dengan Ulisiwa di barat daya pulau Haruku, atau Ulilima di Saparua dan Ulisiwa di pulau yang sama (pulau Saparua). Kedua bagian, berbeda dari yang lain, tetapi yang satu hanya bisa mengidentifikasi dirinya sendiri, jika yang lain ada di sana.
                Dengan demikian, serangan terus menerus, perang dan Kristenisasi selama kehadiran Portugis di abad ke-16 juga merupakan perjuangan di antara orang-orang Ambon – Lease untuk melestarikan simbiosis – dikotomik itu. Hitu, yang pada awalnya berteman dengan Portugis, kemudian mulai melihat Portugis sebagai ancaman terhadap identitas mereka sebagai bagian ulilima dari Ambon dan Maluku, dan sebagai Muslim di dunia kepulauan Indonesia yang lebih luas. Ulisiwa mungkin melihat Portugis sebagai kesempatan untuk mempertahankan identitas mereka sebagai bagian ulisiwa. Penerimaan agama Kristen juga menempatkan para ulisiwa di dunia yang jauh lebih luas.
Ulilima Hitu melawan para fidalgo dan memaksa mereka meninggalkan Hitu Utara dan pindah ke pantai selatan, tempat negeri-negeri bagian dari ulisiwa, sementara ulisiwa mengambil kesempatan menggunakan Portugis sebagai perlindungan terhadap serangan Hitu dan tuntutan pajak oleh Ternate.
Sejarah penyebaran agama Kristen dimulai pada aliansi/persekutuan negeri Hatiwe di pantai selatan Hitu, seperti yang diceritakan oleh Rumphius dalam Ambonsche Landbeschrijving- nya. Menurut sumbernya, sebelum Portugis bergerak dari sisi utara Hitu ke selatan, konflik terjadi di Hatiwe di antara 2 pemimpin klan untuk masalah kepemimpinan uli. Salah satu dari mereka, Alaputila, demikian ceritanya, berhasil mendapatkan bantuan dari Portugis. Ketika Hitu menyerang dan menghancurkan Hatiwe, Alaputila, istrinya, saudara lelakinya dan sejumlah penduduk pergi ke Malaka untuk meminta bantuan. Alaputila meninggal di Malaka, tetapi keluarganya menjadi Kristen. Isterinya kemudian bernama Dona Jubal, sementara saudaranya menjadi Dom Manuel, dan kembali ke Hatiwe untuk menjadi pemimpin federasi. Sebagian besar orang Hatiwe kemudian harus menganut agama Kristen oleh para Fransiskan. Dengan demikian Dom Manuel berhasil mempertahankan identitas ulisiwa Hatiwe. Hal ini pasti terjadi pada tahun 1538, ketika Laksamana António Azevedo tiba di pulau-pulau itu untuk menyerang Hitu dan mengusir mereka dari pantai selatan. Namun, setelah Azevedo meninggalkan wilayah itu, dan tanpa kekuatan yang kuat, Portugis diusir keluar dari Hatiwe oleh Hitu, dan Dom Manuel serta penduduk negeri dipaksa untuk mengikuti Portugis. Pertama, Portugis menetap di Poka (federasi ulisiwa di pantai selatan Hitu), dimana mereka membangun benteng kayu yang baru40. Pada saat ini, negeri Rumatiga (juga di pantai selatan Hitu) juga meminta perlindungan Portugis dan menjadi Kristen41. Federasi lain di Leitimor pasti mengikuti, ketika Portugis pindah ke Halong di pantai utara Leitimor. Setiap kali sebuah negeri meletakan nasibnya di tangan para fidalgo, para Jesuit mengikuti untuk melakukan pekerjaan mereka sendiri. Ketika Xaverius meninggalkan pulau-pulau itu, sudah ada 7 negeri Kristen (dia tidak menyebutkan nama negeri-negeri itu)42. Pada pertengahan abad ke-16, Pastor Castro melaporkan bahwa jumlah negeri Kristen telah meningkat menjadi sekitar 30, dan laporan menyebutkan ada 13 di pulau-pulau lain43.
Meskipun Castro tidak menyebutkan nama-nama negeri Kristen, jumlah yang dia berikan tidak berbeda jauh dari jumlah (dan nama) negeri-negeri Kristen yang disebutkan oleh Rumphius dalam Ambonsche Landbeschrijving- nya. Ini berarti bahwa dari pertengahan abad ke-16 hingga kedatangan armada terakhir di Ambon – Lease yang dipimpin oleh oleh André Furtado de Mendonça pada tahun 1601, tidak ada perubahan nyata yang terjadi pada jumlah negeri-negeri Kristen.
Seperti disebutkan sebelumnya, para Jesuit yang ditinggal sendirian, mulai menulis ke Goa dan Roma mengeluh tentang situasi mereka. Akhirnya, Roma dan Lisbon merespon pada tahun 1560an.  António Pais dikirim dengan armada pada tahun 1562, dengan instruksi untuk membangun benteng yang lebih kuat, tetapi Pais gagal membangun benteng itu, dan mati dalam pertempuran44. Laksamana Gonçalo Marramaque juga datang pada tahun 1567, tetapi ia juga meninggal pada tahun 1571. Penggantinya sebagai kapten Ambon, Sancho Vasconcelos, berhasil membangun benteng di Honipopu antara tahun 1575 dan 1576 serta menamainya Nossa Senhora da Anunciada45. Tetapi itu tidak banyak membantu sampai kedatangan  Furtado de Mendonça pada tahun 1601.
Ini tidak berarti bahwa selama paruh terakhir dari abad ke-16, para Jesuit tidak melakukan pekerjaan mereka, tetapi sebagian besar penduduk negeri “menutup diri” dan berkomunikasi dengan para Jesuit sesedikit mungkin. Hanya beberapa dari mereka yang berhasil memerangi kesultanan Ternate, seperti negeri Oma di Haruku, Ullath di Saparua, dan Kilang di Leitimor. Di Leitimor, pasukan pertahanan dipimpin oleh Dom Manuel, pemimpin Hatiwe, yang penduduknya tinggal di dekat benteng baru46.

Surat Fransiscus Xaverius ke Goa


KESIMPULAN

Karya para Yesuit di Ambon-Lease mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-16. Pada waktu itu sekitar 30 negeri/desa di pulau-pulau itu telah menjadi Kristen (sekitar jumlah yang sama juga adalah negeri Muslim). Ini adalah pencapaian luar biasa oleh para Jesuit. Keadaan ini terus berlanjut hingga saat ini. Secara tidak sengaja, para Jesuit juga merupakan faktor paling penting di pulau-pulau itu. Karena kehadiran mereka di Ambon – Lease, simbiosis dikotomis dipulihkan antara Muslim Ulilima dan Kristen Ulisiwa.


Catatan Kaki

1.      Suatu terminologi umum bagi 4 pulau di Maluku Tengah adalah “ Ambon – Lease”, yang juga digunakan dalam kajian ini
2.     Pemakaian nama-nama topografis, personal dan nama lainnya sebagai indikator-indikator fakta-fakta historis diilhami oleh microhistori, suatu metodologi yang dirintis oleh Carlo Ginzburg. Lihat Edward Muir dan Guido Ruggiero, Microhistory and the Lost People of Europe. Jhon Hopkins University Press, 1991
3.     Diskusi dalam kajian ini berfokus pada tahun-tahun mulai 1546, ketika Jesuit pertama tiba di Ambon hingga tahun 1580, ketika Portugal dibawah kekuasaan Spanyol dan kaum Jesuit dari negara-negara lain memasuki wilayah ini dari Manila.
4.     Informasi mengenai misionaris-misionaris Portugis diambil dari karya klasik C. Wessels, S.J., De Geschiedenis der RK Missie in Amboina, 1546-1606 [The Roman Catholic Mission in Amboina, 1546-1606], Nijmegen-Utrecht: N. V. Dekker, van de Vegt, J. W. van Leeuwen, 1926.
5.     Terminologi “ Maluku” yang dipergunakan di sini merujuk pada Maluku Utara (dewasa ini merupakan Provinsi Maluku Utara) dan “Ambon – Lease” digunakan untuk merujuk pada bagian dari Maluku Tengah atau bagian dari Propinsi Maluku di masa kini.
6.     Ia mengirim keponakannya, Vasco de Freitas ke Ambon untuk membangun sebuah benteng kecil dekat Hatiwe. Saya (penulis) tak bisa menemukan informasi lanjutan tentang orang ini atau tentang klaim dari keluarga ini.
7.     Wessels, op. cit., hal. 175-193.
8.     Wessels, op. cit., hal. 18.
9.     Dokumen-dokumen telah disalin beberapa kali dan digunakan di Maluku dan Ambon, dan Wessels tidak bisa menemukan beberapa contoh dari dokumen-dokumen itu selama peneletian untuk bukunya. Lihat Wessels, op.cit., hal 20. Catatan kaki
10.   Dalam sebuah hijuela, diterbitkan dalam Monumenta Xaveriana I, hal 404 – 406, disalin dari Wessels, op. cit., hal.18.
11.    Wessels, op. cit., hal. 22, 23, 26, 27, 29, 77, 78.
12.   Wessels, op. cit., hal. 94, 95.
13.   Wessels, op. cit., hal. 74.
14.   Fransiscus Xaverius meninggal dalam perjalanannya menuju China di pulau Sanchoan dekat muara West River pada 27 November 1552.
15.   Wessels, op. cit., hal. 48, 49.
16.   Wessels, op. cit., hal. 182.
17.   Leonard Y. Andaya, The World of Maluku. Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Honolulu: University of Hawaii Press, 1993, hal. 17.
18.   Andaya menyimpulkan bahwa kaum pribumi/orang lokal menerima ritual-ritual Katholik, tetapi bukan doktrin-doktrin Kristen. Andaya, op.cit. hal 128.
19.   Surat-surat dan laporan-laporan yang dipublikasikan antara lain, oleh Acosta (1571), dan Avisi-Diversi (1558), Avisi-Nuovi (1559), Avisi-Nuovi (1571), suatu compendium oleh Polanco (1894-1898), dan Monumenta Xaveriana (1912). Kajian ini berdasarkan pada dokumen-dokumen yang digunakan oleh Wessels.
20.  Wessels, op. cit., hal 12, 20.
21.   Wessels, op. cit., hal. 29.
22.  Wessels, op. cit., hal. 31, 32.
23.  Wessels, op. cit., hal. 40.
24.  Wessels, op. cit., hal. 40-44.
25.  Wessels, op. cit., hal. 62, 63
26.  Wessels, op. cit., hal. 68.
27.  Wessels, op. cit., hal. 73.
28.  Manuskrip itu ada tersimpan di Algemeen Rijksarchief (Arsip-arsip umum Kerajaan) di Haque, dan yang lainnya di Arsip Nasional RI di Jakarta. Arsip yang di Jakarta di transkripsi oleh Dr.Z.J. Manusama untuk arsip nasional dalam tahun 1983.
29.  Di muat pada  Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch - Indie 64. The Hague: Martinus Nijhoff (1910).
30.  Transkripsi, terjemahan, diberi catatan dan dianalisis oleh Z.J. Manusama dalam naskah thesis Ph.D miliknya di Universitas Leiden pada tahun 1977.
31.   Saya tak bisa menemukan manuskrip ini di Perpustakaan Nasional di Jakarta.
32.  Kora-kora pada masa tertentu dikhususkan untuk berperang dan penyergapan. Itu merupakan prau yang besar dengan 2 “semang” tempat para pendayung dapat duduk, dan di dalam situ umumnya ada kelompok para pendayung. Armada kora-kora dipersenjatai dengan meriam kecil (lila) dan dioperasi oleh para serdadu
33.  Setelah VOC menghancurkan sistem Empat Perdana, Rijali berhasil melarikan diri ke Makasar, dimana Pattilangoan, Perdana Menteri Pertama Kerajaan Goa Tallo yang terkenal dan cerdas menjadi mentornya. Ia (Rijali) menulis Hikayat Tanah Hitu saat di Makasar.
34.  Mereka juga dapat ditemui di kota-kota kompeni lainnya seperti Batavia atau Makasar. Mereka aslinya berasal dari budak-budak Portugis dari pemukiman-pemukiman orang Portugis di India, dan setelah dibebaskan dan dikristenkan, mereka disebut atau dikategorisasikan sebagai Mardijker, sehingga negeri/lokasi tempat tinggal mereka menggunakan nama Mardika.
35.  F. A. E. van Wouden, Sociale structuurtypen in de Groote Oost, Ph.D. thesis, Leiden University, 1935 (Terjemahan oleh  R. Needham. Types of Social Culture in Eastern Indonesia, The Hague: Martinus Nijhoff, 1968).
36.  Z. J. Manusama, “Hikayat Tanah Hitu,” Ph.D. thesis, Leiden University, 1977.
37.  Ch. F. van Fraassen, ”Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipel,” 2 vols. Ph.D. thesis, Leiden University, 1987.
38.   Leonard Y. Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period, Honolulu: University of Hawaii Press, 1993.
39.  Hena, dari ina or ibu, aman dari ama yang bermakna ayah/bapak.
40. Benteng-benteng Portugis yang dibangun di Ambon diuraikan oleh Hubert Jacobs, S.J.  “Wanneer werd de stad Ambon gesticht. Bij een vierde eeuwfeest,” [When was the city of Ambon built? On the occasion of the fourth centenary commemoration], in Bijdragen tot de Taal- Land- en Volkenkunde, vol. 131, no. 4 (1975), hal. 427- 460.
41.   Hatiwe, Poka dan Rumatiga mungkin adalah 3 negeri Kristen yang telah dikonversi kaum Fransiskan sebelum kedatangan Xaverius. Wessels, op. cit., hal. 6.
42.  Wessels, op. cit., hal. 12.
43.  Wessels, op. cit., hal. 29.
44. Wessels, op. cit., hal. 40.
45.  Wessels, op. cit., hal. 32, 34, 38, 40.
46. Hubert Jacobs, S. J., op. cit., hal. 459.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar