Sabtu, 30 Mei 2020

MIDRAS DAN AMBONSCHE BURGER SCHOOL: DUA BENTUK SEKOLAH YANG BERTOLAK BELAKANG DI MALUKU TENGAH DALAM MASA PENJAJAHAN (bag 2 - selesai)


Oleh :
R.Z. Leirissa


Sebuah sekolah di kota Ambon (sekitar tahun 1900)


Perkembangan di Abad Ke-20.

Untuk memperlihatkan kedudukan kedua sistem pendidikan tersebut di atas, dalam perkembangan sistem pendidikan Hindia Belanda, di sini perlu dikemukakan beberapa hal mengenai sistem pendidikan di abad ke-20. Seperti disebut di atas, sudah sejak tahun 1817 pemerintah Hindia Belanda membuka sekolah-sekolah untuk kepentingan golongan penduduk Belada (Europeesche Lagers School. ELS). Sekalipun pada tahun 1818 dinyatakan bahwa beberapa sekolah ELS terbuka untuk "Inlanders", namun tidak banyak yang memanfaatkan kesempatan itu.. Baru pada tahun 1864 ada usaha untuk mendidik "Inlanders" di ELS32.
Baru pada tahun 1848 pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah untuk bumiputera. Sejak semula sekolah - sekolah ini merupakan sekolah "sekuler" dan diasuh pemerintah. Sebab itu tidak mengherankan bila Brugmans menganggapnya sebagai awal dari "Inlandsch Onderwijs". Bahasa yang digunakan di sekolah-sekolah itu adalah bahasa daerah, atau bila tidak ada maka bahasa Melayu yang digunakan.
"Inlandsch Onderwijs" yang dimulai di Jawa ini jelas bertujuan menghasilkan tenaga kerja yang baik di bidang pangreh praja). Di tahun 1864 malah dikeluarkan peraturan, bahwa sekolah-sekolah ini juga bisa mengadakan "klein ambtemaar exmamen" untuk jabatan-jabatan klerk dan lain-lain33.  Untuk
penyediaan guru-gurunya sejak tahun 1852 dibuka sebuah Kweekschool (sekolah guru) di Surakarta (inilah Kweekschool pemerintah pertama)34.
Perkembangan "Inlandsen Onderwijs" tersebut terhalang sebentar pada tahun 1884 karena krisis gula. Sejak itu dipikirkan reorganisasi sekolah-sekolah bumiputera tersebut. Baru pada tahun 1892 muncul gagasan yang tepat. Diputuskan untuk membentuk dua macam sekolah. Eerste School untuk golongan aristoraksi yang akan menduduki jabatan-jabatan administrasi pemerintah dan lain-lain. Dan Tweedeschool untuk rakyat biasa. Keduanya masih menggunakan bahasa daerah Melayu sebagai bahasa pengantar. Hanya yang pertama lima tahun dan memakai guru-guru tamatan Kweekschool dan yang kedua hanya berlangsung tiga tahun dan guru-gurunya tidak usah tamatan Kweekschool.
Dalam rangka Etische Politiek dalam tahun 1914, Eerste School (yang sejak tahun 1907 memasukkan bahasa Belanda sebagai bahasa yang diajarkan) diubah menjadi Hollandsen Inlandsche School (HIS). Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda dan sekolah ini disejajarkan dengan HIS. Sebelumnya, pada tahun 1907 pihak Departemen Dalam Negeri telah menciptakan sistem pendidikannya sendiri yaitu Desaschool (Volkschool) yang tetap menggunakan bahasa Daerah/Melayu, tiga tahun, dan dibiayai oleh penduduk. Tweedeschool tetap dipertahankan sebagai sekolah bagi orang-orang desa yang merantau ke kota. Baru pada Tahun 1929 (karena depresi) Tweedeschool pun diubah menjadi Volkschool.
Yang perlu dicatat di sini sebagai perbandingan adalah, bahwa reorganisasi ini tidak diterapkan di Maluku Tengah. Sejak 1892 sekolah-sekolah desa (bekas Zending) dinyatakan sebagai termasuk jenis Tweedeschool. Jenis Eerstenschool untuk kaum aristokrasi tidak dibuka di sana. Untuk itu ABS rupanya dianggap sudah memadai.
 Catatan kedua adalah, bahwa HIS juga tidak dibuka di kepulauan Ambon, Saparua, Haruku, Nusalaut. Rupanya ABS sudah dianggap memadai pula, apalagi setelah pada tahun 1911 jenis sekolah ini dibuka pula di Saparua (Saparoeasche School). Baru pada tahun 1919 dibuka dua buah HIS, di Piru dan satu di Ternate (bukan di kepulauan Ambon tersebut). Jenis sekolah lanjutan MULO yang mulai dibuka pada tahun 1914 dibuka pula di Ambon pada tahun 1915. Namun AMS (yaitu sekolah lanjutan untuk ke perguruan tinggi) yang mulai dibuka pada tahun 1919, tidak pernah dibuka di Ambon.
Dari data-data statistik yang diterbitkan dalam Algemeen Onderwijs Verslag, bisa kita simpulkan bahwa perkembangan pendidikan di Maluku Tengah sejak awal abad ke-20 makin mundur dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Faktor - faktor penyebabnya memang masih perlu diteliti lebih lanjut. Apabila kita ambil AOV, maka gambaran yang diperoleh adalah sebagai berikut.

Inlandsche School di Batu Gantung, Ambon


Tabel II
(Sekolah-sekolah Melayu 1915)


Ambon
Menado
Tapanuli
Sumatera Timur
Tweedeschool
Neutrale School
Volks School
Gereja/Zending

65
-
214


61
-
81
412


24
-
9
474


23
-
104
76

Jumlah
281
554
507
203





Tabel III
(sekolah-sekolah berbahasa Belanda 1915)


Ambon
Menado
Tapanuli
Sumatera Timur
ELS
ELS Swasta
HIS
HIS Swasta
4
-
-
-


3
-
2
2

1
-
1
1

4
-
3
-
Jumlah
4
7
3
7


Tabel IV
(Sekolah-sekolah dasar, AOV 1938)


Bahasa Melayu
Bahasa Belanda

Umum
Swasta
Umum
Swasta
Maluku
Menado
Tapanuli
Aceh
217
342
160
367

370
457
436
3

10
12
8
12

4
9
3
1



Jelaslah dari tabel-tabel II, III, IV, bahwa jumlah sekolah - sekolah di Ambon tidak bertambah banyak dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Menado dipilih di sini karena di sana pun perkembangan awalnya (abad ke-19) adalah sekolah - sekolah Zending. Tapanuli pun demikian, sedangkan Aceh dan Sumatera Timur merupakan pembanding lain karena daerah-daerah itu mempunyai perkembangan politik dan ekonomi yang menarik.
Apabila angka-angka jumlah sekolah di Maluku dilihat persebaran geografiknya, maka nampaklah bahwa sekolah-sekolah yang diasuh gereja Zending untuk kepentingan umum (bukan sekolah agama model abad ke-19) menyebar ke wilayah-wilayah yang secara politis dan ekonomis tersisihkan dalam abad - abad sebelumnya, dan sebab itu dalam abad-abad sebelumnya kurang/tidak diperhatikan keperluan pendidikannya (baik oleh Zending maupun oleh pemerintah).

Tabel V
(persebaran sekolah-sekolah 1915)


Pemerintah
Gereja/Zending
Ambon dan lain-lain
Seram
Kei-Aru dan lain-lain
Maluku utara
49
13
-
-

34
61 (p)
123 (banka RK)
81 (p)



p = gereja/zending
RK = gereja/misi

Sekolah MULO di Ambon (sekitar 1928)


Dari tabel-tabel II, III dan IV nampak bahwa pertumbuhan sekolah-sekolah di Ambon lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Pada hal perkembangan pendidikan di Maluku dalam abad ke-17 sampai abad ke-19 dapat dikatakan paling pesat.
Namun apabila jumlah murid-murid Indonesia yang memasuki sekolah dibandingkan dengan jumlah penduduk dari pelbagai daerah, maka keadaan di Maluku sebenarnya tidak sangat menurun Sebab utamanya adalah pertumbuhan penduduk di Maluku lebih kecil dibandingkan dengan daerah - daerah lainnya dalam bagian pertama abad ke-20. Di bawah ini diajukan perbandingan antara Maluku dan Minahasa yang dikutip dari Algemeen Onderwijs Verslag tahun 193835.


Tabel VI
(perbandingan murid Indonesia dan penduduk)


Maluku
Minahasa

Murid
Penduduk
%
Murid
Penduduk
%
1929/1930
1936/1937
1937/1938

27
38
39

876
976
986

1.32
1.25
1.25

69
64
66

1.110
1.230
1.250
1.16
1.19
1.18


(jumlah penduduk dan murid dalam ribuan, angka-angka ratusan dihilangkan di sini).

Tabel-tabel tersebut hanya bermaksud menunjukkan perkembangan dalam abad ke-20. Terutama perkembangan pendidikan dasar (inheems dan westers). Perbandingan dan angka-angka itu menunjukkan, bahwa:
  1. sekalipun pertambahan jumlah sekolah di Maluku lebih rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya, namun dalam persentasi penduduk dan jumlah murid, keadaannya masih cukup baik:
  2. sekolah-sekolah pemerintah cenderung dikonsentrasikan pada daerah-daerah yang sudah "terbuka" (oleh pendidikan zending abad ke-19). sedangkan sekolah-sekolah gereja/zending/misi cenderung dikonsentrasikan pada daerah-daerah yang sebelumnya belum/kurang mendapat fasilitas pendidikan;
  3. pendidikan menengah cenderung berkurang dibandingkan dengan jumlah murid-murid sekolah dasar, perkembangan pendidikan menengah terhenti sampai Mulo saja (satu buah).
 
HIS Saparoea (Tiouw) sekitar 1928

Kesimpulan

Setelah melihat statistik sistem pendidikan di Maluku dalam abad ke-20 kini perlu disimpulkan perkembangan dan pengaruh dari sistem pendidikan di abad ke-19 (sekolah midras dan ABS).
Seperti dikemukakan dalam bagian pendahuluan, pendekatan yang dipakai dalam makalah ini adalah melihat (1) hakekat/inti/tujuan masing-masing sistem pendidikan tersebut, (2) hubungan-hubungannya dengan sistem-sistem sosial lainnya (pemerintah, gereja, desa, kota). Tujuannya untuk memperlihatkan pengaruh timbal balik dari semua sistem sosial tersebut dengan sistem sekolah yang berbeda itu. Dalam bagian ini akan dikemukakan pengaruh sistem pendidikan abad ke-19 dalam masyarakat. Pengaruh itu sedikit banyaknya masih nampak pula sampai abad ke-20, sekalipun sistem pendidikan dalam abad ke-20 telah berubah sama sekali. Paling kurang keadaan di pulau-pulau Ambon, Haruku, Saparua, Nusalaut dalam abad ke-19, masih nampak di pulau-pulau lainnya di awal abad ke-20.


1.          Penyesuaian di pedesaan.

Sekolah-sekolah midras yang diasuh pihak Zending terutama terdapat di pedesaan. Pengaruh yang jelas nampak, dan yang masih nampak sampai awal abad ke-20, ada dua. Pertama, penyesuaian pandangan hidup masyarakat pedesaan. Kedua, adalah menyebarkan bahasa Melayu. Mengenai yang kedua dapat dikatakan, bahwa sekolah-sekolah midras cukup berhasil. Bahasa Melayu yang tadinya hanya dikenal penduduk beberapa negeri pantai yang dalam masa pra-VOC mempunyai hubungan-hubungan dagang ke luar Maluku, sejak tersebarnya sekolah-sekolah tersebut, dikenal pula oleh penduduk negeri-negeri lainnya.
Bagaimana bentuk bahasa Melayu mi belum banyak diselidiki. Salah seorang yang mencoba menyelidikinya dengan terutama melihat pengaruh bahasa Portugis ke dalamnya adalah Paramita Abdurrachman36.  Tetapi dalam abad ke-19 dikenal pula "Kerk Maleisch" (Melayu Gereja) yang sangat dipengaruhi oleh Kitab Suci versi Leydeker. Tugas dari dialek-tologi memang masih banyak di wilayah ini. Peneliti-peneliti kontemporer  terutama menaruh perhatian pada bahasa-bahasa asli di Maluku. Saya pribadi berpendapat, bahwa bahasa "Melayu Ambon" tidak perlu dikembangkan.  Lebih berguna bila bahasa Indonesia
dikembangkan, sekalipun sampai mendesak bahasa "Melayu Ambon" tersebut, sama seperti bahasa itu pernah pula mendesak sama sekali bahasa dialek-dialek asli. Namun sementara itu dapat dikatakan, bahwa pengaruh penyebaran bahasa "Melayu Ambon" banyak manfaatnya di masa lampau. Adanya lingua-franca itu menyebabkan penduduk dari pelbagai pulau yang berlainan dialek itu dapat berkomunikasi. Tulisan-tulisan (surat-surati para kepala desa, guru-guru dan lain-lain. Dalam bahasa mi yang tersimpan di Arsip Nasional (Arsip Residentie Amboina) menjadi buktmya. Selain itu bahasa ini juga pernah menjadi alat yang cukup baik untuk menyebarkan agama Kristen. Sekalipun banyak kekurangannya (seperti akan disinggung di bawah ini), dalam masa berlangsungnya sistem pendidikan midras tersebut, agama Kristen berhasil mendapat pengikut yang banyak di Maluku Tengah. Malah agama tersebut membaur menjadi satu dengan
unsur-unsur setempat sehingga menjadikannya suatu bentuk budaya yang dianggap sebagai milik sendiri oleh penduduk setempat37.
Mengenai pengaruh timbal balik nilai-nilai agama Kristen dengan nilai-nilai budaya setempat keadaannya sedikit berlainan. Agama Kristen yang dibawa oleh para Zending mempunyai perbedaan yang mencolok dengan agama yang dibawa di masa VOC. Pada masa Zending muncul teologi baru yang di Eropa daratan dinamakan Pietisme dan di Inggris dan Amerika dinamakan Revivalism. Teologi ini berbeda dengan teologi sebelumnya karena menekankan aspek perasaan, emosi, bawah sadar. Yang terutama dipentingkan bukanlah sekedar pengenalan agama yang bersifat ritualistik formal seperti dibawakan
dalam gereja-gereja yang sudah mapan. Yang diinginkan oleh gerakan Revival (pihak Zending) adalah penghayatan batin, keterlibatan emosional, dan pihak umatnya. Sebab itu para Zending abad ke-19 bukanlah pendeta resmi dari suatu gereja, sekalipun mereka juga dibekali dengan pendidikan teologia.
Kebanyakan tidak mendapat pendidikan akademis (seperti para Zending abad ke-20). Yang dipilih adalah orang-orang biasa yang bisa dengan mudah berkomunikasi dengan orang - orang biasa pula38

Guru-guru HIS Saparoea (1928)

Penekanan pada aspek-aspek emosional itu menjelaskan pula penggunaan bahasa Melayu Rendahan ("Melayu Ambon"). Sekalipun secara resmi telah ditentukan bahwa Kitab Suci versi Leydekker (bahasa Melayu Tinggi) yang harus digunakan, namun dalam berkhotbah banyak Zendeling yang tetap
menggunakan bahasa Melayu Rendah39.   Malah banyak tulisan-tulisan bersifat keagamaan diterbitkan oleh Reskott dalam bahasa ini40.  Maksudnya jelas. Bahasa itu digunakan sehari hari, dekat di hati pemakainya. Sebab itu pula lebih efektif apabila digunakan untuk menyampaikan teologi revival dan pihak zendeling (perlu ditambahkan disini bahwa Leydekker bukan Zendeling tetapi pendeta yang mendapat pendidikan
formal dan ditahbiskan dalam suatu gereja tertentu).
Sekalipun sulit ditentukan melalui dokumen-dokumen sekunder, namun dari penilaian pelbagai Zendeling dan pendeta di abad ke-19. jelas nampak bahwa ajaran-ajaran agamaProtestan diterima oleh masyarakat pedesaan. Ajaran-ajaran agama Kristen terutama menyangkut hubungan manusia dengan
Tuhan hidup di akhirat, jalan ke arah surga. Agama Kristen sama sekali tidak membawa pandangan dunia tertentu, tidak ada apa yang dinamakan Weltanschaung. Konsep mengenai masyarakat dan dunia sama sekali tidak diajarkan agama Kristen. Masalah itu dikesampingkan sama sekali. Pandangan mengenai dunia dan masyarakat justru muncul dari kebudayaan sekuler di Eropa, terutama setelah Aufklärung41.
Hal tersebut menyebabkan terjadinya suatu percampuran yang menarik antara agama Kristen di pedesaan Maluku dengan unsur-unsur "agama suku", sehingga muncul apa yang dijuluki "Agama Ambon". Unsur-unsur yang tetap bertahan dalam masyarakat pedesaan adalah pandangan dunianya (weltanshaung)42.  Pada umumnya pandangan dunia itu adalah sebagai berikut: alam semesta terbagi atas bagian atas dan bagian bawah, bagian laut dan darat, bagian pria dan wanita. Pada umumnya salah satu bagian itu diidentifikasikan dengan tenaga - tenaga supernatural (dewa, roh halus, nenek moyang), sedangkan bagian satunya lagi diidentifikasikan dengan keadaan nyata (manusia, dan lain-lain). Ini sebabnya nenek moyang dalam masyarakat, yang berdasarkan susunan kekerabatan tertentu itu, dianggap sangat penting. Malah ada cara-cara (ritus) yang berguna untuk menyatakan hubungan keluarga dengan nenek moyangnya.  Suatu kenyataan yang aneh adalah, walau unsur - unsur supernatural lainnya (seperti dewa, roh halus, dan lainlain) menghilangkan atau didegradir sebagai kekuatan-kekuatan negatif, namun nenek moyang tetap mendapat tempat dalam sistem nilai manusia Maluku di abad-abad yang lampau43.
Agama Ambon yang disebut pelbagai penulis dan sarjana44 merupakan suatu konsekuensi logis dari perkembangan tersebut diatas. Keadaan itu disebabkan sistem pendidikan keagamaan yang sama sekali tidak menganut pengertian-pengertian sekularisasi seperti yang diajarkan oleh sekolah-sekolah Zending.
Keadaannya berbeda sekali apabila kita bandingkan denganperkembangan sistem pendidikan pribumi yang dikembangkan di Jawa sejak 1848. Dalam sistem ini jelas terdapat pengertian sekularisasi, masalah agama tidak dimasukkan dalam sistem pendidikan itu (prinsip netralitas). Sistem pendidikan tersebut terakhir itu dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang telah dipengaruhi oleh rasionalisme dari Aufklarung.

Siswa - Siswa HIS Saparoea

Akibat dari akulturasi tersebut sesungguhnya tidak terjadi perubahan-perubahan nilai yang drastis dalam masyarakat pedesaan. Sistem nilai tradisional masih tetap bertahan dalam abad ke-19, dan agama Kristen dicocokkan dengannya. Dengan demikian jelas sistem pendidikan Zending tidak membawa perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat pedesaan. Sistem pendidikan itu menghasilkan petani cengkih dan nelayan yang beragama Kristen. Tidak ada perubahan-perubahan yang drastis sebab sistem nilai tidak merestui atau menganjurkannya.
Keadaan ini memang sangat baik untuk kepentingan-kepentingan kolonial. Sejak pemberontakan Pattimura di tahun 1817, tidak pernah terjadi lagi pemberontakan lainnya45. Apakah hal ini juga menyebabkan hal-hal lain seperti tidak terjadinya peningkatan pendidikan secara drastis di Maluku dibandingkan dengan di Minahasa dalam awal abad ke-20° Jawaban atas hal ini memerlukan penelitian yang lebih seksama. Sumber-sumber sekunder yang ada hanya menyangkut keadaan abad ke-1946.  Diperlukan penelitian sumber-sumber primer yang masih tersimpan dalam arsip-arsip47.


2.  Kesimpulan yang kedua menyangkut sistem pendidikan  ABS.

Sekolah ini jelas berbeda dengan midras. Letaknya di kota Ambon dan terutama untuk penduduk kota (burgers) dan anak-anak kepala desa. Tujuannya jelas berbeda pula, yaitu untuk menciptakan tenaga-tenaga klerk (administrasi rendahan) di kota-kota besar, serta memberi bekal secukupnya bagi calon-calon kepala desa. Orientasinya jelas sekuler. Masyarakat burger pun berlainan dengan masyarakat pede-saan yang erat dengan nilai-nilai tradisional. Karena tujuan (dan nilai-nilai yang dikandungnya) adalah untuk menjadikan anak-anak lebih mendekati Belanda dari pada penduduk desa, maka lulusannya banyak yang dipekerjakan dalam lingkungan pemerintahan Belanda. Jabatan-jabatan seperti klerk sampai komis sudah diduduki golongan 'Tnlandsche burgers" tersebut sejak awal abad ke-19. Kemudian malah banyak yang
keluar dari batas geografis Maluku tanpa ada perasaan-perasaan yang menghalangi Ini berbeda dengan penduduk desa yang dalam abad ke-19 masih enggan meninggalkan desanya48. Dari sekolah ini pula banyak pemuda yang berhasil memasuki sekolah dokter Jawa49. Jabatan jaksa pada pelbagai Landraad di daerah-daerah di Maluku Tengah (suatu jabatan yang dicapai secara magang) juga terbuka bagi para pemuda yang
baik Sekalipun para pejabat tersebut tetap menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan serta bahasa resmi (“gouvernments Maleisch")50,  namun penguasaan bahasa Belanda untuk berkomunikasi dengan atasan juga penting.
Makin meluasnya nilai-nilai budaya Barat dalam masyarakat pedesaan abad ke-20. makin banyak pula orang yang mendambakan sekolah-sekolah sejenis ABS tersebut. Terutama di pulau Saparua nampak jelas keinginan orang untuk mengambil oper kebiasaan-kebiasaan Barat seperti nampak pada golongan Burgers atau "Gelijkgestelden" Sebab itu pada tahun 1911 di Saparua pun dibuka sekolah jenis ABS itu
dengan nama "Saparoeasche School". Melalui sekolah yang mengajarkan bahasa Belanda itu orang bisa mencapai pelbagai pekerjaan melalui "kleinambtenaars examnen". Mereka juga bisa melanjutkan sekolah ke Mulo. dan dengan demikian terus ke sekolah tinggi51. Malah Ambonsche Studiefonds yang didirikan di Batavia pada tahun 191152 itu akhirnya berhasil pula mendirikan sekolah serupa di Nusalaut, sekalipun sekolah itu tetap dikategorikan sebagai "wildeschool" oleh pemerintah53

Guru dan Murid-murid HIS Saparoea (1932)

Sebagai rangkuman dapat dikatakan, pertama, sekolah tipe midras tidak menghasilkan perubahan-perubahan sosial diMaluku Tengah abad ke-19, kedua, sekolah tipe ABS membawa perubahan-perubahan dalam sistem nilai dan hasrat untuk memasuki lingkungan alam dan budaya Barat. Ketiga, perlu penelitian mengenai keadaan sosial budaya Maluku Tengah di paroh pertama abad ke-20 untuk menyatakan dengan
pasti sampai di mana situasi sosial-budaya abad ke-19 berbeda dengan keadaan di abad ke-20 itu. karena generalisasi-generalisasi berdasarkan sumber sekunder tidak memadai lagi54.
Berkaitan dengan tipologi sistem pendidikan menurut Weber seperti disinggung dalam bagian pendahuluan makalah ini. dapat dikatakan, bahwa sistem pendidikan midras tergolong sistem pendidikan yang bertujuan menghasilkan "the cultivated man” dengan cara "'to inculcate accepted bodies of information and set of believe". Sebaliknya sistem pendidikan ABS termasuk "modern" karena tekanan pada rasionalismenya serta tujuan praktisnya. Tetapi sistem ABS belum bisa dikategorikan sebagai sistem pendidikan modern dalam arti penyampaian "basic tools to enhance knowledge". Dengan demikian dalam
masyarakat kolonial yang tradisional seperti yang terdapat dalam abad ke-19 ada kemungkinan terdapatnya dua sistem pendidikan yang berbeda (tradisional dan modern) sekalipun sistem yang modern tersebut masih mengandung unsur-unsur tradisional juga. Kedua sistem itu sesungguhnya merupakan sistem-sistem transisi yang sesuai dengan perkembagan masyarakat kaluku Tengah di abad ke-19

===== selesai =====

Catatan Kaki

32.       ELS pertama kali dibuka tahun 1817 di Batavia kemudian di Surabaya, Semarang, Surakarta, dan Gresik. Pada tahun 1833 sudah ada 33 buah. 1845 meningkat menjadi 45 buah, dan tahun 1857 menjadi 57 buah. dan seterusnya. (Brugmans. op.cit. halaman 97).
33.       Di Maluku (Ambon) peraturan itu mulai dilaksanakan pada tahun 1867. Dari 21 calon yang mengikuti ujian itu hanya 3 yang lulus. ABS memang sudah merupakan saluran kearah jabatan-jabatan klerk di Ambon.
34.      Dalam bagian ke-2 abad ke-19 seluruhnya dibuka sembilan buah kweek-school. yaitu Surakarta (1852, kemudian pada tahun 1875 dipindahkan ke Magelang), Fort de Koek (1856), Tanah Batu (1864), Bandung (1866), Tondano (1873), Ambon (1874), Probolinggo (1875), Banjarmasin (1875), Makasar (1876), dan Padan Sidempuan (1879). Lihat Brugmans. op.cit. halaman 183
35.       Untuk wilayah Sumatera Timur dan Sumatera Barat prosentasenya masing-masing adalah:
1929/1930: 1.48; 1.24
1936/1937; 1.36;1.21
1937/1938; 1.36; 1.20
36.      Paramita Abdurachman, "Peninggalan-peninggalan yang berciri Portugis di Ambon", Bunga Rampai Sejarah Maluku (1). (Jakarta 1971) halaman 45-83.
37.       Lihat umpamanya keterangan-keterangan para zendeling seperti J.J. Verhoeff. "De gemeenten op Leitimor (eiland Amboina) in 1871". MNZG, 16 (1872), halaman 368- 378; R. Bossert, "Kerk en Christendom op Saparoea", MNZG, 19 (1875) halaman 234-266: F.G.W. Kemmen, "De Inlandsche christen gemeenten op de Ambonsche eilanden", MNZG, 26 (1882). halaman 31-54, 243-266.
38.      Dr. Th van den End. Ragi carita. Sejarah Gereja di Indonesia (1500-1860), Jakarta 1980. halaman 150-157.
39.      Lihat keterangan para zendeling tersebut dalam catatan nomor 37.
40.      Mengenai karya-karya Roskott lihat Coolsma. loc. cit. Kemman, loc. cit. van Rhijn. loc. cit.
41.       Pandangan-pandangan mengenai masyarakat dan dunia muncul dalam pelbagai ideologi yang nampak sejak abad ke-19 seperti nasionalisme, sosialisme, komunisme, dan lain-lain.
42.      H. R. Jansen, "Inheemsche groeben-systernen in de Ambonsche Molukken (1929",Adatrechtbundels, 36 (1933) halaman 444-459. FAE. van Wouden. Sociale structuurtypen in de Groote Oost, (Leiden 1935), Z.J. Manusama, Hikayat Tanah Hitu, Historie en sociale structuur van de Ambonsche eilanden in het algemeen en van UU Hitu in het b$ ander tot het midden den enertiende eeuw (Disretasi Leiden 1977)
43.       Salah satu manifestasi modernnya adalah sistem pela di Maluku Tengah. Lihat D. Bartels, Guarding the invisible mountain: intervittage alliances, religious syncritisme and ethnic identity among Ambonese Christians and Moslems in the Moluccas (Disertasi Universitas Cornell, 1977).
44.      Mengenai "Agama Ambon" lihat D. Bartles, loc. cit. Van den End, op.cit. halaman 158-168, Van den End menyatakan bahwa walau zending bekerja juga di Minahasa, disana tidak pernah muncul "Agama Minahasa". Sekalipun demikian praktek-praktek yang sama nampak juga disana
45.      Pemberontakan ini terutama disebabkan karena para masa pendudukan Inggris sebelumnya yang berlangsung sekitar 10 tahun, telah terjadi perubahan-perubahan yang besar dalam kehidupan masyarakat Maluku Tengah.
46.      Tulisan-tulisan itu pada umumnya berfokus pada kecaman atas sistem tanam paksa dan pengendalian ekonomi oleh negara pada umumnya seperti monopoli rempah-rempah di Maluku. Perubahan pandangan politik ini terjadi dalam rangka penyebaran paham liberalisme yang mulai mempengaruhi kehidupan politik di negeri Belanda sejak pertengahan abad ke-19.
47.      Sayangnya saya tidak berhasil mendapatkan disertasi Richard Chauvel (dari Australia) yang menitik beratkan perkembangan di Maluku dalam bagian pertama dari abad ke-19.
48.      Pemberontakan di Ambon pada tahun 1829 terutama disebabkan soldadu-soldadu. Saparua (bekas anggauta pasukan Pattimura) berkeberatan dipindahkan ke Jawa sebagai soldadu.
49.      Dokter jawa yang pertama di Maluku Tengah adalah PS. Soumokil, J. Anakotta, dan AT. Tanalipi (1860). Kemudian menyusul lagi beberapa orang sampai berjumlah sembilan orang sesuai dengan sembilan distrik kesehatan di Maluku Tengah.
50.      Hal-hal seperti itu dapat dilihat dalam surat-menyurat para pejabat desa, jaksa, dokter jawa, guru dan penduduk desa pada umumnya yang terdapat dalam arsip-arsip Belanda di Residentie Archief,  Arsip Nasional Jakarta. Tulisan-tulisan itu dilakukan dengan menggunakan huruf latin dan bahasa Melayu. Dari masyarakat Islam surat-surat itu berhuruf jawi.
51.        I.M. Putuhena adalah seorang anak nelayan dari Saparua yang disekolahkan orang tuanya di Saparoeasche School, dan lulus dengan gemilang dan mendapat 'Tondanobeurs" untuk belajar di Mulo Tondano. Kemudian ia mendapat beasiswa lagi untuk meneruskan ke AMS Yogya dan melalui beasiswa Ambonsche Studiefends ia berhasil menamatkan ITS di Bandung. Mr. Latuharhary menamatkan pendidikannya di Leiden juga dengan beasiswa Ambonsche Studiefonds. Masih banyak pemuda-pemuda Ambon lainnya yang berhasil maju karena AFS.
52.       AFS didirikan oleh dr. W.K. Tuehupeiory pada tahun 1909 di Batavia. Organisasi ini baru dibubarkan pada tahun 1942 dengan masuknya Jepang ke Indonesia.
53.       J.J.G. Kruseman. "Eenige opmerkingen omtrend den eeredienst het inlandsen onderwijs en het inlandsen bestuur". Kolonials Tijdschrift, 5 (1916). halaman 1425- 1449.
54.      Makalah ini tidak membicarakan Ambonsche School yang sejak awal abad ke-20 didirikan pemerintah Hindia Belanda dipelbagai tempat di Jawa dimana terdapat asrama-asrama muiter seperti di Cimahi. Magelang.E ogyakarta. Makasar, dan Kutaraja, dan lain-lain. Sekolah-sekolah ini dimasuki pula oleh anak-anak Menado dan Timor. Jenis sekolah-sekolah ini berbeda dengan Ambonsche Burger School (satuSaparoeasche School) di Maluku Tengah. Selain itu terdapat pula Delische School, Asahansche School, Langkatsche School (semuanya didirikan pada tahun 1901). Pada tahun 1912 didirikan pula Tendaansche School, Langoansche School, Armadidische School, Amurangsche School, dan sebelumnya sudah ada Menadoseche School. Selain itu ada pula Depoksche School. Dalam sistem pendidikan Hindia Belanda sekolah-sekolah ini dimasukkan sebagai "Speciale Scholen", karena khusus untuk kelompok masyarakat tertentu saja. Namun tingkatannya semua sama, yaitu sederajat dengan HIS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar