Rabu, 13 Mei 2020

Nama-nama (Diri) Pribadi, Pergantian Leksikal, dan Pergeseran Bahasa di Indonesia Timur (bag 1)


Oleh :

MARGARET JEAN FLOREY &
ROSEMARY A. BOLTON


  1. Kata Pengantar
Terminologi Pikol Nama atau Pikol Faam adalah istilah “antropologis” dan “sosiologis” sederhana dalam percakapan orang Ambon – Lease. Suatu istilah untuk menggambarkan praktek atau pola “pewarisan” nama dari generasi yang lebih tua ke generasi berikutnya. Nama kakek, nenek, kakek buyut, nenek buyut, atau dari kerabat keluarga besar diwariskan kepada keturunannya. Anak yang menyandang atau diberi nama dengan pola seperti itu, dinamakan “pikol nama”. Salah satu tujuannya, agar nama itu tidak hilang, atau bagian dari cara “mengingat” figur-figur generasi yang lebih tua.
Pola ini, menurut kami adalah “modifikasi” dan “perluasan makna” dari apa yang dikaji dalam artikel memukau sepanjang 32 halaman ini. Margaret Jean Florey, linguis asal Australia dan rekannya Rosemary A. Bolton mengurai tentang tradisi “tua” dengan melakukan penelitian di negeri Lohiasapalewa, Lohiatala dan perbandingannnya dengan suku Nualu. Menurut kedua penulis, tradisi itu disebut dalam istilah Melayu Ambon sebagai “Nama Potong Pusar/Pusa” atau “Nama Hindu”, sebuah praktik pemberian nama pra-Kristen.

Artikel berjudul asli Personal Names, Lexical Replacement and Language shift in Eastern Indonesia ini dimuat pada Jurnal Cakalele volume 8 (1997) pada halaman 27 – 58, dengan 28 catatan kaki, dan bibliografi yang digunakan dalam penulisan artikel ini.
Kami memberanikan diri mencoba menerjemahkan artikel bermutu ini, meski disadari terjemahan nantinya tidak akan sempurna sesuai dengan kekurangan dan keterbatasan. Meski begitu, diharapkan dengan bacaan-bacaan seperti ini, kita memahami tradisi, budaya, dan kekhasan masyarakat “lokal”. Selain itu, semoga kita bisa lebih bersejarah, dan memahami proses kehidupan yang selalu “indah” dengan berbagai fenomenanya. Artikel hasil terjemahan ini, dibagi dalam dua bagian agar mudah dan ringan untuk dibaca juga memasukkan beberapa ilustrasi yang pada artikel aslinya tidak ada. 
Akhirnya selamat membaca, selamat menikmati dan semoga bermanfaat.

Margaret J. Florey

Rosemary A. Bolton

  1. Terjemahan : Adryn Anakotta
  1. Pendahuluan
Di Maluku Tengah, kumpulan pelafalan telah dicatat antara pola-pola penggunaan bahasa dan afiliasi keagamaan. Di negeri-negeri Kristen, sejumlah besar bahasa asli telah punah, dan pergeseran bahasa ke arah lingua franca regional, yaitu bahasa Melayu Ambon, membahayakan sebagian besar bahasa yang masih tersisa1. Bahasa asli di negeri-negeri Muslim, juga mengalami pergeseran bahasa. Meskipun prosesnya lebih lambat dan penggunaan bahasa asli tampak jelas di antara semua generasi penutur, ada penyempitan yang jelas dari fungsi bahasa. Sangat sedikit kelompok di Maluku yang menentang konversi dari agama leluhur mereka ke agama Kristen atau Islam. Namun, negeri-negeri di mana praktik agama leluhur tetap dipertahankan yang ditandai oleh pemeliharaan bahasa dan ingatan terhadap praktik ritual tradisional (adat) yang lebih besar.
Sebagian besar suku Nualu dari Seram Tengah Selatan di Indonesia Timur, masih mempertahankan agama leluhur mereka. Sebaliknya, hanya 1 dari 26 negeri suku Alune (yang terletak di Seram Barat) yang belum menjadi negeri Kristen. Studi ini menyajikan analisis komparatif praktik-praktik penamaan  di antara kedua kelompok bahasa Austronesia ini. Analisisnya mengungkapkan suatu kontinum (rangkaian kesatuan) dari sistem yang lebih tradisional, yang masih digunakan oleh kebanyakan orang Nualu ke sistem Alune, yang telah direstrukturisasi di bawah pengaruh konversi ke agama Kristen. Diskusi kontemporer tentang sistem Nualu dilakukan berdasarkan karya awal dari Ellen (1983) di wilayah ini.
Kami pertama-tama akan menjelaskan 3 lokasi penelitian dan metode penelitian. Kami kemudian akan memeriksa pola-pola pra-Kristen dalam soal memberikan nama-nama (diri) pribadi di setiap lokasi. Struktur linguistik dari nama-nama pribadi dianalisis, dan sistem-sistem kehormatan serta sistem-sistem terkait pergantian leksikal akan dijelaskan. Analisis ini mencakup diskusi tentang sumber-sumber untuk istilah pergantian dan perluasan sistem kehormatan ke bentuk homonim Melayu. Pergeseran dalam praktik penamaan yang terkait dengan pengenalan agama Kristen dan nama-nama Kristen akan dijelaskan. Akhirnya, perbandingan akan diambil antara praktik-praktik penamaan kontemporer Nualu dan Alune.

Sumber Peta : M.J. Florey (Artikel)


  1. Situs penelitian
Studi ini mengacu pada penelitian Bolton di negeri Nualu, Rohua, dan penelitian Florey di negeri suku Alune yaitu Lohiasapalewa (LS) dan Lohiatala (LT). Negeri Nuali dan Alune tidak bersebelahan, tetapi dipisahkan oleh wilayah berbahasa Wemale, dengan jarak beberapa hari berjalan kaki. Meskipun Nuaulu dan Alune secara genetis memiliki hubungan bahasa-bahasa3, namun sangat sedikit kontak historis antar kelompok.

  2.1. Nualu

                       Rohua terletak di pantai Seram Tengah Selatan, berdekatan dengan negeri Sepa, negeri Muslim yang lebih besar, yang memiliki kewenangan administratif atasnya. Ada lebih dari 500 penutur bahasa Nualu di Rohua, bersama dengan sekitar 150 orang non- Nualu. Ini termasuk sejumlah keluarga Buton, beberapa orang dari Sepa, para guru dan pendeta bersama beberapa orang lain dari bagian laian Nualu, dan sebuah keluarga Tionghoa (China). Sekitar 85% penutur bahasa Nualu masih menganut agama tradisional mereka, sementara sekitar 12% telah masuk agama Protestan. Praktik penamaan kedua kelompok agama ini, dijelaskan di sini untuk memberikan dasar perbandingan dengan praktik penamaan dari suku Alune. Sisa 3% dari populasi Rohua telah memeluk agama Katholik atau Islam melalui pernikahan dengan orang-orang non-Nualu. Karena tidak ada keluarga Katholik atau Muslim dimana ibu dan ayahnya dari Nualu, praktik penamaan dalam kelompok ini tidak dibahas di sini.
                Penggunaan bahasa Nualu cukup kuat di kalangan mayoritas yang menganut agama tradisional, dengan beberapa orang tua dan banyak anak kecil yang tidak mengetahui banyak, - jika ada – bahasa Melayu Ambon. Beberapa keluarga kini mulai menggunakan bahasa Melayu Ambon dengan anak-anak mereka untuk mempersiapkan mereka bersekolah, meskipun kebanyakan orang tidak menyetujui hal itu. Minoritas dari Nualu Kristen, beberapa diantaranya menikah dengan orang luar, tinggal di lingkungan mereka sendiri, di negeri yang berjarak hampir 1 km dari negeri utama. Hal ini telah menciptakan lingkungan bahasa yang kurang stabil, dan memungkinkan mereka untuk menggunakan bahasa Nualu jauh lebih sedikit daripada berada di wilayah matoritas. Bahasa pertama anak-anak mereka adalah bahasa Melayu Ambon, meskipun anak-anak remaja yang memiliki 2 orang tua Nualu berbicara bahasa Nualu dengan cukup baik.

2.2.   Alune

Secara tradisional, bahasa Alune diucapkan di pedalaman pegunungan Seram bagian Barat. Selama 100 tahun terakhir, tetapi terutama sejak tahun 1950an, sejumlah negeri-negeri Alune telah berpindah ke wilayah pesisir: 6 negeri ke pantai utara dan 4 negeri ke pantai selatan Seram Barat. 16 negeri yang berbahasa Alune yang masih tersisa terletak di lokasi pegunungan tengah dalam 3 distrik (kecamatan) yaitu Kairatu, Taniwel dan Seram Barat (Florey 1990).

2.2.1.        Lohiasapalewa

                   Lohiasapalewa (LS) terletak di pegunungan tengah Seram Barat, di ketinggian sekitar 650 meter wilayah hutan jan sub montane. Lohiasapalewa berjarak sekitar 30 km (atau 1 hari berjalan) dari pantai utara Seram dan 2 hari berjalan dari pantai selatan. Tetangga terdekatnya adalah negeri-negeri Alune, di Riring, Manusa Manue dan Buria. Pada tahun 1996, Lohiasapalewa memiliki populasi sebanyak 238 orang pada 32 KK (kepala keluarga). Di berbagai waktu selama abad ini, negeri-negeri Alune telah mendapat tekanan untuk berpindah dari pegunungan ke pesisir. Tujuan utama relokasi semacam itu adalah “pengamanan” untuk membuat negeri-negeri lebih mudah diakses oleh otoritas pemerintah, terutama oleh otoritas kolonial Belan dan kemudian oleh pemerintah Indonesia. Sejumlah besar negeri-negeri Alune akhirnya “menyerah” pada tekanan itu dan dipindahkan ke pantai utara atau selatan, penduduk negeri Lohiasapalewa telah berhasil menolak semua upaya untuk memaksakan relokasi pada mereka. Mekipun terpaksa meninggalkan negeri mereka sepanjang konflik gerilya (RMS4) yang terjadi di Maluku Tengah pada 1950an dan awal 1960an, mereka tinggal di hutan di dalam wilayah negeri mereka. Demikian pula, penduduk negeri mengatasi upaya lain untuk merelokasi negeri mereka pada tahun 1970. Pengisolasian relatif dari wilayah mereka, berarti bahwa semua generasi penduduk negeri di Lohiasapalewa tetap menjadi penutur bahasa Alune. Namun, penelitian ini akan menunjukan bahwa pengetahuan dan pemahaman khusus tentang nama-nama pribadi Alune dan sistem kehormatan terkait pergantian leksikal telah berkurang secara signifikan di wilayah ini.

2.2.2.      Lohiatala

Negeri-negeri Lohiatala (LT) dan Lohiasapalewa (LS) saat ini, dulunya adalah 1 negeri/desa, yang terletak di wilayah Lohiasapalewa (LS). Pada tahun 1817, konflik dalam Lohiasapalewa menyebabkan perginya kelompok yang memisahkan diri dan membentuk negeri Lohiatala, sekitar 20 km ke arah selatan5. Tidak seperti Lohiasapalewa, penduduk negeri Lohiatala tidak dapat menahan upaya pemerintah untuk memindahkan mereka selama konflik RMS. Pada tahun 1952, mereka dipindahkan secara masal ke pantai selatan Seram, dimana mereka tinggal di negeri non  Alune, yaitu Hatusua selama 13 tahun. Negeri Lohiatala masa kini, didirikan di lokasi saat ini (sekitar 4 km ke daratan dari pantai selatan) pada tahun 1964. Tetangga terdekat mereka adalan negeri non-Alune, yaitu negeri Waihatu, yang terdiri dari populasi transmigran dari Lombok dan Jawa. Lebih jauh ke selatan ada negeri non-Alune, yaitu Waesamu dan Hatusua. Berbatasan dengan wilayahnya di utara ada negeri-negeri Alune, yaitu Rumberu dan Rumbatu. Pada tahun 1992, Lohiatala memiliki populasu sebanyak 728 jiwa pada 110 KK.
Sejarahnya yang baru ini, berarti bahwa, - berbeda dengan Lohiasapalewa -  Lohiatala telah mengalami perubahan sosiokultural dan linguistik yang dramatis sejak 1950an. Suatu periode dimana penduduk negeri Lohiatala tingga di negeri Hatusua yang tidak berbahasa Alune, dan kontak yang lebih dekar dengan orang-orang non-Alune yang telah mengikuti perpindahan ke lokasi negeri baru mereka, telah berdampak besar pada penggunaan bahasa di negeri/desa. Penduduk-penduduk negeri ditampung di rumah-rumah orang Hatusua, dan dengan cepat “dibenamkan” ke dalam lingkungan berbahasa Melayu. Bahasa Melayu Ambon adalah bahasa pertama dari semua orang yang lahir di negeri/desa baru – yaitu, yang berusia sekitar 30 tahun. Orang-orang dalam kelompok usia ini tidak lagi berbicara bahasa Alune, meskipun sebagian besar tetap memiliki beberapa ketrampilan reseptif. Mereka jarang menunjukannya (berbicara) dalam bahasa Alune, dan jika ada, mereka selalu menjawabnya dalam bahasa Melayu (Florey 1991,1993, 1997).


  1. Metodologi dan sejarah projek
Situasi sosiokultural dan linguistik divergen yang dijelaskan di atas untuk 3 lokasi penelitian, berarti bahwa para peneliti memiliki akses yang sangat berbeda ke nama-nama pribadi dan sistem pergantian leksikal. Oleh karena itu, metodologi yang berbeda telah digunakan untuk mengumpulkan data yang dianalisis dalam pekerjaan ini, dan dengan demikian akan dijelaskan secara terpisah di bawah ini, yaitu untuk bahasa Nualu dan bahasa Alune.
  
Sumber Peta : Roy. F. Ellen (Artikel)
 
3.1.    Nualu

Setelah Bolton memulai penelitian linguistik di antara orang-orang Nualu, dia terkejut setelah melakukan perjalanan ke kota dan kembali ke wilayah itu, menemukan bahwa salah satu anak yang dia kenal dan ketahui dengan nama Natusiha  sekarang bernama Nihua. Ketika Bolton mulai mempelajari nama-nama orang, dia bingung beberapa kali ketika seseorang mulai menggunakan nama yang berbeda dari yang pertama dia pelajari. Minat awalnya dalam soal praktik penamaan dipicu oleh temuannya bahwa nama orang Nualu diubah jika dia sering sakit-sakitan. Belakangan dia mengetahui bahwa orang-orang dilarang menyebutkan nama-nama afinitas tertentu, dan ketika kefasihan bahasa Nualu semakin membaik, dia mulai mendengar beberapa orang menggunakan leksem yang berbeda untuk beberapa item menggantikan istilah yang umum/biasa. Misalnya, seorang wanita ke rumah meminta “panas” daripada/alih-alih meminta “api”. Salah satu pemandu utama bahasanya Bolton tidak menggunakan  kata untuk emas, jadi menggunakan istilah lain. Ketertarikannya meningkat pesat pada Third Maluku Research Conference (1994) ketika Florey menggambarkan perjuangannya untuk mendapatkan “nama-nama Hindu6” suku Alune. Di tempat itu (Nualu) tidaklah terlalu sulit untuk mendapatkan nama-nama seperti itu, karena “nama-nama Hindu” merupakan nama yang paling banyak orang  punyai. Karena itu, kami memutuskan membuat perbandingan praktik-praktik penamaan dalam 2 kelompok bahasa yang mungkin terbukti menarik.
Sekembalinya ke Rohua, Bolton memverifikasi data penamaan yang ada, dan memperoleh jawaban atas pertanyaan yang tersisa, dan menambahkannya ke daftar syarat-syarat pergantian miliknya. Dia melakukan ini dengan menanyai beberapa informan Nualu di negeri Rohua, baik beragama Kristen maupun penganut agama tradisional. Daftar istilah pergantian juga diperoleh dari hanya sedikit informan yang memberi tahu Bolton tentang apa yang digunakan oleh banyak orang di negeri sebagai persyaratan pergantian.
Fokus utama dari diskusi bahasa Nualu di sini adalah persoalan linguistik, meskipun pengantar singkat tentang praktik penamaan diberikan untuk tujuan perbandinga. Kami tidak bermaksud membahas dasar yang telah dilaporkan secara menyeluruh oleh Ellen (1983), yang membahas praktik penamaan bahasa Nualu dengan penekanan pada arti/makna dari nama.

3.2 Alune

                    Pada masa pra-Kristen, seorang anak diberi nama pribadi dalam bahasa Alune, yang dikenal di suku Alune sebagai ” Nasusu”  (nama air susu)7. Seluruh negeri-negeri suku Alune mulai mengkonversi (berpindah agama/memeluk/menganut) dari agama leluhur ke Kristen pada permulaan abad ke-20, suatu proses yang dimulai sekitar tahun 1900 (untuk wilayah pesisir Seram Barat) dan tahun 1930 (untuk negeri-negeri pegunungan). Penduduk-penduduk negeri Lohiatala mulai berpindah agama dalam tahun 1925, sedangkan penduduk negeri Lohiasapalewa dalam tahun 1935. Sebagai bagian atau tanda dari proses konversi tersebut, suku Alune menggunakan nama-nama Kristen, dan sebagian besar berhenti menggunakan nama-nama pribadi tradisional suku Alune.
                    Dalam pengaturan seperti ini, sangat sulit untuk memastikan siapa yang memiliki nama pribadi suku Alune. Kepemilikan nama-nama suku Alune sangat terkait dengan era pra-Kristen, seperti yang ditunjukan oleh terminologi Melayu yaitu Nama Hindu “ Hindu Names”, yang digunakan oleh suku Alune untuk menggambarkan nama-nama dalam bahasa Alune. Satu dampak konversi ke agama Kristen telah menjadi “penindasan” semua hal yang terkait dengan periode yang disebut dalam bahasa melayu sebagai Masa Gelap/Galap (Dark Era), masa pra-Kristen, masa yang belum tercerahkan. Penindasan terhadap praktik-praktik pra-Kristen telah menghasilkan distribusi pengetahuan yang sangat tidak merata tentang nama pribadi suku Alune, dan sistem kehormatan (mosi), dan keengganan yang jelas untuk memberikan informasi dan pengetahuan mengenai hal semacama itu. Proses mengumpulkan nama, oleh karena itu, lambat, sulit, dan tampaknya penuh dengan kontradiksi.
                Selama 2 periode panjang kerja lapangan di Lohiatala (LT), Florey secara bertahap dapat memperoleh data yang semakin dalam, dan menjadi sadar bahwa nama suku Alune, kadang-kadang masih diberikan pada anak yang baru lahir, paling umum di samping nama Kristen atau melalui proses penggantian nama (mirip dengan yang dibahas Bolton untuk suku Nualu). Jarang ada anak yang hanya diberi nama suku Alune.
                Selama kunjungan lapangan pertamanya ke Lohiasapalewa, Florey menemukan respons yang lebih hati-hati terhadap pertanyaannya tentang nama-nama Alune, daripada yang pernah ia alami di wilayah pesisir, meskipun (atau mungkin karena) fakta bahwa bahasa Alune jauh lebih kuat di wilayah/situs ini. Florey tidak dapat memperoleh informasi tentang topik nama-nama Alune, dan dengan tegas dijawab (oleh orang-orang Lohiasapalewa) : “kami tidak mempunyai nama-nama seperti itu lagi”. Pada tahun 1994, Florey kembali ke Lohiasapalewa dan membawa pulang daftar lengkap nama-nama Alune yang sebelumnya dikumpulkan di negeri Lohiasapalewa dan Murnaten (Mrtn), serta menyadari ia bisa “ memperdagangkan” informasi-informasi tersebut. Ketika Florey mulai bekerja dengan konsultan utamanya, seorang pria berusia 63 tahun, ia awalnya tetap menegaskan kembali posisi, bahwa orang-orang di negeri itu, tidak memiliki nama Alune. Namun, dia bersedia dan tertarik untuk membaca nama-nama yang sebelumnya telah direkam untuk memverifikasi keasliannya. Pagi berikutnya, dia kembali, dan menyatakan bahwa nama-nama Alune di negerinya jauh lebih menarik daripada yang dicatat Florey di tempat lain, dan melanjutkan dengan mengatakan, Mari, kita mulai dengan nama-nama laki-laki dari ujung negeri ini”. Pekerjaan pagi itu, menghasilkan 30 nama laki-laki, dan pagi berikutnya menghasilkan 12 nama perempuan yang dicatat. Mayoritas nama-nama itu milik orang-orang yang masih hidup, dan kemudian penelitian tentang silsilah memunculkan nama-nama leluhur yang telah meninggal.
                Nama-nama yang awalnya ditimbulkan oleh Florey, adalah nama-nama orang tertua di negeri, tidak termasuk konsultan itu sendiri, karena dia terus menyatakan bahwa dia tidak diberi nama Alune, meskipun saudara kandungnya dan beberapa anaknya memiliki nama itu. Sementara konsultan Florey juga terus memberi tahu, bahwa orang yang lebih muda tidak lagi diberi nama Alune, ini bertentangan dengan bukti lain yang menunjukan bahwa nama pribadi Alune dan sistem mosi yang masih penting saat ini. Analisis nama Alune yang terkandung dalam kajian ini, diambil dari database sekitar 123 nama Alune (73 laki-laki dan 50 perempuan), terutama dari negeri Lohiasapalewa dan Lohiatala8.
               


4.     Pola pemberian nama pribadi

4.1.    Nualu

Ketika seorang anak dilahirkan oleh orang tua yang masih mempraktikkan agama tradisional Nualu, bidan yang menghadiri persalinan, mengirimkan seseorang kepada pemimpin klan dari ayah anak tersebut untuk mendapatkan nama untuk bayi tersebut sebelum tali pusarnya dipotong. Nama ini, yang disebutkan/dikatakan dengan keras ketika tali pusarnya dipotong, dikenal sebagai Nanai Mamrehi Tipuei, “nama potong pusar/pusa”9. Setiap klan suku Nualu, dengan pengecualian klan Maatoke, dibagi menjadi 2 rumah (numa), yang dikenal sebagai rumah besar (numa onate) dan rumah panglima perang (numa kapitane). Pemimpin klan yang merupakan penjaga rumah besar, biasanya adalah orang yang memberikan nama itu. Dalam hal tidak hadirnya pemimpin klan, wali rumah panglima perang dapat memberikan nama kepada bayi yang baru lahir, meskipun sering seseorang dikirim/disuruh/diperintahkan untuk memanggil pemimpin klan dari mana saja, ia bisa memperoleh/mendapatkan nama itu. Nama ini sering diperoleh dari roh para leluhur yang telah turun ke medium (perantara) saat pemanggilan arwah. Pemanggilan arwah mungkin telah dilakukan saat ibu dalam proses persalinan bayi yang disebutkan namanya itu jika dalam proses persalinan yang sulit, atau mungkin telah dilakukan beberapa hari atau minggu sebelum kelahiran. Roh leluhur tidak memberikan instruksi eksplisit bahwa seorang anak harus menerima nama tertentu; melainkan, anak itu akan diberi nama dari roh yang akan “turun/datang/masuk” pada saat itu. Ketika roh pertama kali turun/datang/masuk, ia akan memberi tahu apa/siapa namanya.
Karena nama-nama diperoleh dari roh para leluhur dalam pemanggilan arwah, perantara juga dapat memberi nama bayi. Seringkali pemimpin klan dan panglima perang adalah medium/perantara, tetapi mungkin juga ada yang lain. Semua medium dipandang sebagai petunjuk oleh roh, dan karena itu memiliki beberapa otoritas dalam menjalankan negeri/desa dan bertanggungjawab untuk melaksanakan beberapa ritual yang diperlukan oleh agama suku Nualu. Kebanyakan dari mereka adalah penjaga rumah ritual, yang dibangun/didirikan di atas tiang-tiang, tidak seperti rumah-rumah yang lain, yang dibangun/didirikan di atas tanah. Sang medium tidak menyadari apa yang terjadi dalam sebuah pemanggilan arwah, jadi tidak mengetahui nama roh atau roh yang turun/datang/masuk kepadanya. Istrinya-lah yang memberitahunya setelah itu semua, dan inilah cara bagaimana dia menentukan nama untuk bayi yang baru lahir. Namun, orang-orang Nualu tampaknya tidak melihat anak itu sebagai reinkarnasi leluhur ini. Tampaknya lebih penting untuk menjaga nama itu tetap digunakan sehingga nama itu tidak akan hilang, daripada mengingat orang-orang yang telah mati dengan menggunakan nama-nama mereka. Dikatakan bahwa yang hidup membawa nama-nama mereka yang telah mati (ohaha sio wasoni omataso nanao).
Nama-nama milik klan-klan tertentu, tetapi klan yang mengambil istri dapat memperoleh hak untuk menggunakan nama-nama milik pihak wanita, jika seluruh harta pernikahan dibayar oleh klan pengambil istri. Klan pemberi istri tidak bisa lagi menggunakan nama ini. Seluruh harta pernikahan  jarang dibayarkan di negeri Rohua. Sebaliknya, orang lebih suka menjaga aliran kewajiban-kewajiban antara pasangan dan masing-masing klan mereka, karena hal ini bisa menyediakan tenaga kerja yang siap sedia saat dibutuhkan dan sumber makanan di saat kekurangan.
Dalam kasus 12% dari populasi Nualu di negeri Rohua yang telah memeluk agama Kristen dan menjadi anggota GPM (Gereja Protestan Maluku), pendeta adalah orang yang memberikan nama pada tiap-tiap anak yang baru lahir. Dengan demikian, pemimpin agama masih memainkan peranan kunci dalam proses penamaan. Seorang anak mungkin juga dinamai oleh orang tuanya, meskipun tampaknya nama pemberian dari pendeta adalah nama yang paling disukai. Meskipun di antara orang Kristen juga, nama itu diucapkan ketika tali pusarnya dipotong, itu bukan nama tradisional Nualu, melainkan nama dari Alkitab atau nama barat. Sebagian besar anak-anak Nualu yang lahir dari orang tua Kristen, tidak menerima nama tradisional; nama itu hanya diberikan dalam keadaan yang “khusus” atau tidak biasa. Seseorang yang orang tuanya beragama Kristen, ketika dia dilahirkan diberi nama Nualu oleh bidan yang turut membantu saat ia lahir. Pada saat kelahirannya, ayahnya pergi ke negeri/desa lain dan ibunya yang sudah tua tidak sadarkan diri, hampir meninggal bersama bayinya saat melahirkan. Tidak ada pendeta pada waktu itu. Bidan yang membantu melahirkannya adalah seorang Kristen tetapi juga membantu melahirkan bayi yang lahir dari penganut agama tradisional. Dia mengikuti ritual dan doa-doa agama dari sang ibu, meskipun nampaknya dari kasus ini, bahwa jika dia harus memberi nama, nama itu adalah nama Nualu daripada nama Kristen. Anak ini kemudian diberi nama Kristen, yang sekarang dikenal dengan namanya itu.

Sumber Peta : M.C. Boulan-Smith (Thesis)

4.2.   Alune

Diskusi dengan bidan yang lebih tua di negeri Lohiasapalewa dan Lohiatala, menunjukan bahwa, di era pra-Kristen, praktik pemberian nama mirip dengan yang dijelaskan pada bagian Nualu di atas. Dalam lingkungan kontemporer, yang ditandai oleh perubahan sosiokultural dan linguistik yang luas, praktik-praktik ini telah dimodifikasi namun hanya mengindikasikan substratum kepatuhan terhadap praktik-praktik tradisional.
Wanita biasanya dirwat saat melahirkan oleh seorang biane, seorang wanita suku Alune dengan otoritas bawaan untuk mempraktikan tugas-tugas kebidanan. Saat bayi lahir, sang bidan (biane) memegang uang koin berhadapan dengan tali pusar dan meminta nama dari ayah anak itu. Nama itu diucapkan saat tali pusarnya dipotong10. Uang koin itu kemudian diberikan ke gereja, dan doa dipersembahkan untuk kesehatan anak/bayi. Plasenta dibungkus dengan kain putih panjang dan ditempatkan dalam belahan endokarp buah kelapa (ni’ wel esi alati)11. Bagian “betina” dari cangkang (bagian dimana embrio berkembang) membentuk dasar/landasan, dan bagian “jantan” menjadi penutupnya12. Bidan mengubur plasenta di samping dinding/tembok di ruang bersalin atau di dapur. Pada era kontemporer/modern, tidak ada perhatian khusus yang diberikan  oleh sanak keluarga pada pada lokasi penguburan plasenta atau dalam hal arah matahari terbit atau terbenam. Sebuah batu diletakan untuk menandai lokasi penguburan plasenta, dan dilarang selama beberapa tahun untuk membuang air ke lokasi itu, atau menyalakan api di dekat lokasi itu13.
Setelah kelahiran, sang ayah di negeri Lohiatala dan Lohiasapalewa berjalan di sepanjang negeri/desa untuk menjawab pertanyaan mitale pi marela? Yang secara harfiah berarti “udang atau kuskus [Phalanger spp]?14. Di negeri pesisir Murnaten (Mrtn), pertanyaan yang sebanding atau sama adalah “wele aiya pi pia marela”? yang bermakna air dan kayu atau sagu dan kuskus?”. Di kedua situs/wilayah itu pertanyaan menanyakan jenis kelamin bayi berfokus pada tugas-tugas yang ditentukan gender. Sementara laki-laki Alune bertanggung jawab untuk berburu dan memproses sagu, kaum perempuan mengambil air dan kayu bakar, dan dapat mencari udang atau belut di sungai.
Sumber-sumber untuk nama Alune sangat rumit atau kompleks, seperti yang mungkin diharapkan. Praktik umum saat ini adalah pendeta negeri/desa menyediakan/memberi nama Kristen untuk anak itu. Hal ini paralel atau sama dengan praktik Nualu dan pra-Kristen yang mana pemimpin agama memberi nama pada bayi. Oleh karena itu, di suku Alune, banyak nama modern yang bersifat alkitabiah, misalnya Timoti, Mateus, Yusup, Markus, Magdalena, Maria dan Ruth. Sekarang juga, secara umum untuk memilih nama-nama khas Ambon seperti Oktofina, Fransina, Juliana, Adolpentji, Kostansa, Wellem, Fredinant, Leunard, Stenly dan Alprets. Beberapa dari nama-nama ini jelas mencerminkan pengaruh era kolonial Belanda.
Pendeta dapat mengikuti praktik pra-Kristen dalam menganugerahkan nama kerabat yang masih hidup atau leluhur yang sudah meninggal dari garis keturunan ayah, biasnya dari 2 generasi sebelumnya : yaitu, laki-laki diberi nama dari pihak kakek  ayah-ibunya atau salah satu dari saudara laki-lakinya (golongan pihak kakek), dan wanita dari pihak nenek ayah ibunya atau salah satu dari saudara perempuan (golongan pihak nenek). Dalam kasus-kasus seperti ini, pendeta akan meminta nama anak yang cocok dari pihak golongan keturunan sang ayah. Misalnya, seorang anak laki-laki lahir di Lohiasapalewa (lahir tahun 1972) diberi nama Kristen dari almarhum kakek ayahnya yaitu Hanok. Nama Alune kakek, yaitu Lesau, belum dianugerahkan kepada anak itu. Demikian pula, seorang anak perempuan lahir di Lohiasapalewa (lahir tahun 1975), diberi nama Kristen almarhum nenek ayahnya, yaitu Martina. Seorang anak mungkin diberi nama yang secara kronologis merupakan kerabat dekat yang telah meninggal karena kecelakaan atau penyakit. Misalnya, pada akhir tahun 1993, seorang bayi perempuan diberi nama Kristen dari kakak perempuan ayahnya, Magdalena, yang telah meninggal karena kanker tidak lama sebelum bayi itu lahir.
Pola penamaan di atas, menunjukan bahwa penting bagi suku Alune untuk tetap menghidupkan ingatan/memori melalui “kebangkitan kembali” nama-nama itu. Suku Alune menegaskan bahwa para leluhur dapat mengirimkan “pesan” melalui anak kecil tentang ketidaksukaan mereka, bahwa sebuah nama belum dipakai atau diabadikan. Ini menjadi jelas bagi orang tua, jika seorang anak gagal tumbuh atau menangis terus menerus. Dalam keadaan seperti itu, nama anak akan diubah menjadi nama leluhur. Misalnya, satu nama anak diubah menjadi Jusuf ketika ia gagal tumbuh dan terus menangis. Nama anak lain, yang tidak sah dan tinggal bersama kakek nenek ibunya, diubah menjadi Barnabus ketika dia juga gagal berkembang/bertumbuh.
Dalam kasus lain, sebuah nama dapat diubah untuk menenangkan roh seseorang yang telah meninggal dalam keadaan tidak biasa, terutama suatu kematian yang dimaksudkan konon melibatkan penggunaan sihir. Misalnya, pada tahun 1995, seorang bayi lahir di Lohiasapalewa setelah persalinan yang lama dan sulit dan diberi nama Deviana. Beberapa jam setelah melahirkan, ibu meninggal, dan kematiannya dikaitkan dengan sihir. Nama bayi itu kemudian diubah menjadi nama ibunya – Amelia. Bayi itu kemudian meninggal juga (pada usia 6 bulan), dan pada saat penguburan, namanya dikembalikan lagi ke nama aslinya, Deviana.
Namun, pola pemberian nama Kristen ini dapat terganggu oleh keadaan/situasi tertentu, yang dapat mengarah pada pemberian nama leluhur Alune bersamaan dengan nama Kristen. Di Lohiasapalewa pada tahun 1994, seorang wanita beranak 3, mengetahui dia hamil anak ke-4nya sesaat sebelum menjalani operasi tumor perut. Ketika dia melahirkan seorang putra, anak itu diberi nama Kristen (Falens) dan juga nama Alune dari kakek buyut dari pihak ayah (Kamenia). Dalam kasus seperti ini, nama Alune biasanya disembunyikan dari pendeta.
Sumber-sumber untuk nama-nama pribadi Alune sangat beragam : Nama dapat berhubungan dengan peristiwa yang terjadi di sekitar waktu kelahiran anak, atau selama kehamilan janin. Misalnya, nama Lisai (dari Lisa, “perang”) diberikan kepada anak laki-laki yang lahir pada masa peperangan.
Nama-nama juga sering berhubungan dengan aspek fisik lingkungan. Sebagai contoh, nama anak perempuan Piai, berasal dari Pia, “sagu”, nama anak laki-laki Ni’wela berasal dari ni’wele, “kelapa”, nama anak perempuan Amuloia yang berasal dari Amu, “minuman sirih”, dan loini, “daun”, dan nama anak perempuan Buamoni, berasal dari buai, “buah” dan moni, “harum”.
Sumber nama lain adalah dewa dari leluhur Alune. Sebagai contoh, Tuale adalah (laki-laki) matahari yang di-antropomorfisasi, dewa dalam agama leluhur Alune, dan Dabike adalah bulan (perempuan) yang di-antropomorfisasi.
Nama-nama juga dapat diberikan untuk memperingati tokoh-tokoh sejarah dari luma “rumah” atau “kelompok keturunan”. Misalnya, dalam satu luma nama laki-laki Dobola harus diabadikan untuk mengenang leluhur yang diceritakan/disebutkan telah berubah menjadi seekor anjing. Luma ini juga memiliki larangan makan daging anjing.
Nama dapat juga diambil dari lagu Alune yang memperingati orang atau acara penting. Sebagai contoh, nama Akalai diabadikan dalam lagu mengenang seorang pria yang terbunuh oleh pemotong kepala.
Nama juga dapat diambil dari roh yang terlibat dalam mantra. Misalnya, roh perempuan Ima, Putia dan Putilaha yang dipanggil untuk memperbanyak panen padi.
Nama mungkin juga berasal dari mimpi. Misalnya, seorang lelaki bermimpi bahwa iring-iringan leluhur datang mengunjunginya, semua mengenakan pakaian gereja berwarna hitam. Taipela, kakenya (ayah dari ibunya) berbicara dan mengatakan kepadanya untuk memberi nama putranya itu nama Lesia. Ketika laki-laki itu terbangun, ia bertanya kepada keluarganya, apakah mereka memiliki leluhur yang bernama Lesia, karena nama itu tidak dikenal atau diketahuinya. Akhirnya orang ingat bahwa nama itu (Lesia) berasal dari nama pendiri luma mereka.
Dalam keadaan luar biasa, seorang anak hanya diberi nama Alune dan tidak ada nama Kristen. Misalnya, dalam satu keluarga di Lohiatala, 4 anak meninggal sebelum mencapai ulang tahun pertama mereka. Ketika seorang anak laki-laki lahir kemudian, orang tuanya berusaha memastikan kelangsungan hidup anak itu, dengan memberinya hanya nama Alune dari kakek buyut dari pihak sang ayah, Loline.

===== bersambung =====


Catatan Kaki
  1. Kutipan Collins (1982,1983), Florey (1990,1991,1993), Grimes (1991).
  2. Collins (komunikasi pribadi) menyatakan bahwa Kawa, terletak di pantai utara Seram, dan merupakan negeri Allune yang merupakan lokasi imigrasi orang-orang Sulawesi. Selama pekerjaan lapangan di lokasi ini tahun 1977, Collins menyatakan bahwa generasi paling tua berbicara bahasa Alune. Dewasa ini, populasi negeri itu sebagian besar adalah Muslim.
  3. Collins (1983) mengklasifikasi bahasa Nualu dan Alune sebagai “anak” bahasa dari cabang Nunusaku yang merupakan bagian dari Proto-East Maluku Tengah. Namun bahasa Alune adalah sub klasifikasi dalam cabang 3 batang air Nunusaku (termasuk juga Wemale), sementara Nualu adalah sub klasifikasi dari cabang Patakai-Manusela
  4. Republik Maluku Selatan (RMS) adalah gerakan separatis yang ingin merdeka terlepas dari Republik Indonesia yang baru saja terbentuk.
  5. Untuk uraian sejarah singkat (tidak diterbitkan) negeri Lohiatala, lihat Suilima, “Sejarah singkat asal mula lahirnya desa Lohiatala”, ditulis pada tahun 1988 oleh mantan radja Matheus Makerawe dan mantan Sekretaris Negeri Max Nikolebu
  6. Di wilayah ini “Hindu” digunakan untuk menggambarkan masyarakat yang mempraktikan agama leluhur. Namun, hal ini bukanlah menunjukan ada kebingungan dengan agama Hindu
  7. Nasusu berasal dari kata nane “nama” dan susu “ air susu, buah dada”
  8. 51 nama selanjutnya dikumpulkan di negeri Alune yaitu Murnaten (Mrtn) dan M.C. Boulan-Smit menyumbang suatu daftar sekitar 300 nama dari negeri Alune yaitu Manusa Manue. Namun kemudian ada kesulitan sendiri untuk mengecek data-data itu, yaitu nama-nama dari Manusa Manue sehingga tidak termasuk dalam analisis ini. Penggunaan terbatas dilakukan hanya untuk data dari Murnaten.
  9. Jika bayi meninggal, tali pusarnya tidak dipotong dan tidak diberikan nama. Plasenta dikuburkan bersama-sama dengan bayi.
  10. Seperti juga suku Nualu, seorang bayi Alune yang meninggal tidak diberi nama; tali pusarnya tidak dipotong dan bayi dikuburkan dengan plasenta, kaka-nya, “saudara tua kembarnya”
  11. Ketentuan ortografis di Alune umumnya menggunakan tanda/simbol untuk mewakili penghentian suara [√]
  12. Lubang dalam endokarp dimana embrio timbul/muncul menjadi tempat bagi cairan mengalir dari rusaknya plasenta
  13. Lihat bagian 8 untuk detail terperinci tentang cara-cara “menjaga” plasenta atau kakai “saudara kembar tuanya” menurut tradisi Nualu dan Kristen
  14. Meskipun metafora-metafora seperti itu tidak digunakan pada proses kelahiran di Nualu, tapi bahasa Nualu memiliki terminologi yang asalnya sama mitane “udang”  yang digunakan sebagai eufemisme untuk vagina dan marane “kuskus” digunakan sebagai eufemisme untuk penis. 
  15. Pengunjung lain yang ke negeri itu (termasuk para linguis, antropolog dan pegawai pemerintah) kadang-kadang diminta untuk memilih nama bagi bayi yang baru lahir atau anak yang akan lahir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar