Kamis, 28 Mei 2020

MIDRAS DAN AMBONSCHE BURGER SCHOOL: DUA BENTUK SEKOLAH YANG BERTOLAK BELAKANG DI MALUKU TENGAH DALAM MASA PENJAJAHAN (bag 1)


Oleh :
R.Z. Leirissa




Kata Pengantar

                Artikel ini adalah artikel yang telah berusia “tua”, sudah berusia 31 tahun, ditulis oleh alm. Richard Zakarias Leirissa. Artikel ini bersama artikel-artikel lain misalnya dari Edward.L. Polinggomang, Mestika Zed, P.M. Napitupulu, Rusdi Sufi dan lain-lain, dikompilasi dan dibukukan dengan judul besar Pendidikan Sebagai Faktor Dinamisasi dan Integrasi Sosial, yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan : Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Jakarta, tahun 1989.
                Sesuai judulnya, Leirissa menyoroti tentang bentuk pendidikan terkhususnya di wilayah Maluku Tengah pada masa kolonial (penjajahan), pada periode abad ke-19 dan ke-20.  Leirissa menulis bahwa pada periode itu, ada 2 bentuk pendidikan dalam hal ini bentuk sekolah secara umum, yaitu Midras dan Ambonsche Burger School (ABS). Midras dikelola oleh pihak Gereja atau Zending, sedangkan ABS oleh pihak pemerintah atau Gouvernment.
                Artikel sepanjang 37 halaman ini (hal 53 – 89) berisi 54 catatan kaki, dan 6 tabel, dan disajikan dalam bahasa Indonesia. Kami hanya menampilkan ulang saja, dengan pertimbangan, mungkin saja ada yang belum sempat membacanya. Selain itu, agar kita minimal bisa mengetahui sejarah pendidikan di Maluku Tengah pada masa kolonial itu.
                Pada artikel ini, kami hanya menambahkan beberapa foto untuk mempermanis isi kajian, dan beberapa catatan tambahan yang kami anggap perlu untuk diperjelas, dan membagi dalam beberapa bagian agar tidak terlalu panjang.  Akhir kata, selamat membaca dan selamat menambah wawasan kesejarahan kita.
               

Pendahuluan

Maluku Tengah merupakan salah satu wilayah yang sangat penting di awal masa penjajahan. Eksploitasi rempah-rempah yang berpusat di sana, menyebabkan daerah itu menjadi perhatian utama dalam abad ke-17. Sebab itu perubahan-perubahan ekonomi yang berhubungan dengan perdagangan rempah-rempah, merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam perkembangannya1. Cash-crop melibatkan desa-desa di sana dalam perekonomian dunia, jauh sebelum wilayah-wilayah lainnya di Nusantara.
 Namun dalam abad ke-19 peranan ekonomis wilayah itu mundur. Perhatian kolonialisme beralih ke tempat-tempat lain. Pada saat yang sama dibangun pula suatu sistem administrasi pemerintahan yang lebih terpusat. Sistem pendidikan pun mendapat perhatian pemerintah2.
Pada saat-saat kemunduran ekonomik itu, nampak suatu gejala yang menarik di Maluku Tengah. Sistem pendidikan mengalami perkembangan yang mencolok, lebih dari sebelumnya. Timbul dan perkembangan sistem pendidikan yang dinyatakan dengan bentuk sekolahnya (bentuk midras dan Ambonsche Burger School) terlepas dari inisiatif  Batavia yang sejak pertengahan abad ke-19 mulai membangun sistem pendidikan bumiputera (Inlandsch Onderwijs) sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan di Jawa. Baru dalam awal abad ke-20 sistem pendidikan di Maluku Tengah berhasil disinkronisasikan dengan bibit yang bertumbuh di Jawa itu. Namun demikian pengaruh sistem pendidikan abad ke-19 itu sangat mendalam, melampaui struktur formalnya. Sistem pendidikan termaksud dibina oleh pihak Zending (sekolah midras) dan pemerintah daerah (ABS).
Pengaruh kalangan gereja Protestan dalam sistem pendidikan di Maluku Tengah berasal dari masa VOC. Dengan sendirinya ada perbedaan antara sistem pendidikan pada masa VOC dan pada masa Zending (abad ke-19). Namun pada dasarnya wujud pendidikan pada kedua jaman itu sama saja, yaitu pengajaran
agama. Nuansa-nuansanya akan dikemukakan juga dalam makalah ini sekedar untuk memperlihatkan perbedaan itu. Suatu sistem pendidikan yang lain sama sekali dari sekolah - sekolah midras3  itu adalah Ambonsche Burger School yang didirikan pemerintah daerah itu pada tahun 1858. Aspek agama sama sekali tidak nampak di sini. Sebab itu pengaruhnya dalam masyarakat juga sangat berbeda dengan pengaruh sekolah-sekolah tipe midras tersebut.
Makalah ini mencoba membandingkan kedua lembaga pendidikan tersebut (Midras dan ABS). Penelitian ini dilakukan berdasarkan sumber-sumber sejarah sekunder (buku-buku dan artikel). Sangat disayangkan, bahwa beberapa buku dan artikel penting tidak bisa ditemukan untuk makalah ini. Artikel Kroeskamp4  yang membahas sistem pendidikan Zending juga tidak sempat dipakai, sehingga kesimpulan-kesimpulannya tidak bisa dibandingkan.

ABS di Ambon (1925)
 
Penggunaan sumber-sumber sekunder tersebut (yang sudah sering kali digunakan oleh pihak-pihak lain dengan tujuan lain pula), bisa dibenarkan bila maksud dan tujuan pembeberan-nya lain pula. Karena kalau tidak demikian maka yang dihasilkan hanyalah pengulangan-pengulangan saja dari apa yang sudah pernah ditulis.
Penggunaan sumber-sumber sekunder dengan demikian bila dilakukan dengan hasil yang baik, apabila kerangka penelitian dibuat sedemikian rupa sehingga memperlihatkan maksud dan tujuan tertentu. Dalam hal itu ada kebiasaan dalam ilmu sejarah untuk mengadoptasi (saya kurang senang menggunakan istilah ("meminjam") konsep-konsep ilmiah dari ilmu - ilmu sosial, dalam hal ini sosiologi pendidikan.
 Salah seorang sosiolog besar yang membuka jalan bagi sosiologi pendidikan adalah Max Weber. Apabila tujuan sistem pendidikan adalah "to transmit knowledge and believe", maka Weber mengajukan suatu kerangka yang memperlihatkan "pengalihan pengetahuan dan kepercayaan" kepada masyarakat dengan maksud menghasilkan suatu elite kekuasaan. Contoh yang ditemukannya adalah sistem pendidikan mandarin di Cina4a
Sekalipun Weber menentukan bahwa sistem pendidikan mandarin itu dapat digolongkan sebagai sistem pendidikan keagamaan, jelas modelnya itu tidak bisa digunakan dalam kesempatan ini. Sistem pendidikan Zending jelas lain sekali karena ajaran-ajaran agama Protestan dengan Konfusianisme jauh berbeda. ( Tidak mengherankan bila ada yang berpendapat bahwa Konfusianisme bukan agama tetapi suatu etika). Tetapi pembedaan Weber atas sistem pendidikan dari masa ke masa menarik perhatian. Pembagian itu didasarkan atas pembagian Weber tentang kekuasaan. Sistem pendidikan pertama yang bersifat kharismatik ditemukan dalam masyarakat tradisional untuk menghasilkan pemimpin perang, pemimpin agama suku dan lain-lain. Yang kedua adalah sistem pendidikan untuk menghasilkan "the cultivated man" seperti kaum mandarin tersebut, dan yang ketiga adalah sistem pendidikan untuk menghasilkan birokrat yang rasional5
Apabila kita perhatikan sistem pendidikan Zending dalam abad ke-19 dapat dikatakan bahwa sistem itu termasuk tipe kedua tersebut, dan sistem pendidikan ABS bisa dimasukkan dalam sistem ketiga. Namun di sini diperlukan catatan tambahan. Pertama, sistem pendidikan Zending tersebut tidak bertujuan menghasilkan suatu elite, apalagi elite kekuasaan. Sistem pendidikan ABS sekalipun menghasilkan pejabat-pejabat birokrasi rendahan (klerk) dalam masyarakat kolonial, tetapi juga tidak bisa dikatakan bertujuan membina elite kekuasaan. Kedua sistem pendidikan itu masih tergolong "tradisional" dalam arti "a training ground for imitative adjustment to an established society"6.   Kedua sistem pendidikan itu tidak bisa disamakan dengan sistem pendidikan yang dihasilkan sejak zaman Etische Politiek yang mempunyai ciri-ciri yang sama dengan sistem pendidikan modern yang bertujuan sebagai "an introduction into an already dynamic society"7. Sebab itu jelaslah nampak bahwa tipologi Weber tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi masyarakat kolonial. Dalam makalah ini dua aspek dari kedua sistem pendidikan itu akan disoroti. Pertama adalah tujuan dari sistem pendidikan itu (nilai-nilai apa yang diteruskan). Kedua adalah hubungan-hubungan kedua sistem pendidikan itu dengan sistem - sistem sosial lainnya, seperti pemerintah, gereja, desa, kota dan lain-lain8.   Di sini 'aspek-aspek organisasi formal dari kedua sistem pendidikan itu hanya disinggung sepintas lalu saja. Organisasi informalnya sama sekali tidak dikemukakan. Ini disebabkan data jenis itu terdapat dalam sumber-sumber sekunder.  Untuk taraf itu penelitian harus didasarkan sumber sumber primer (bahan archivologia).

Christelijke School di Ambon (1919)


Sistem Pendidikan Midras

Istilah "midras" digunakan dalam dokumen-dokumen dan tulisan-tulisan resmi maupun tidak resmi di abad ke-19 untuk menamakan sistem pendidikan yang dikelola oleh pihak Zending. Tetapi ini tidak berarti bahwa sistem pendidikan di Maluku Tengah baru muncul dalam abad ke-19. Sudah sejak 1609 pihak VOC berusaha untuk membuka sekolah di kota Ambon. Sistem pendidikan itu baru berkembang dengan datangnya para pendeta Belanda sejak tahun 1615. Usaha-usaha para pendeta itu membawa hasil seperti terlihat dalam angka-angka di bawah ini. Angka-angka itu menunjukkan, bahwa sampai pertengahan abad ke-17 hampir setiap desa di kepulauan cengkih di Maluku Tengah (Ambon, Saparua, Haruku, dan Nusalaut) sudah mempunyai sekolah. Hanya daerah-daerah yang tidak menghasilkan cengkih di Maluku Tengah yang tidak ada sekolahnya (Seram, Buru, dan lain-lain)9

Tabel I

Tahun
Jumlah sekolah
Keterangan
1627
1645
1660

30
33
31
26

di keempat pulau
di keempat pulau
di pulau Ambon
di ketiga pulau lain


Sebab itu usaha-usaha pihak Zending dalam abad ke-19 sebenarnya merupakan penerusan dari sistem pendidikan yang sudah ada di masa VOC tersebut. Pihak Zending sebenarnya diundang oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengelola sekolah-sekolah tersebut. Sekembalinya Belanda ke Maluku
pada tahun 1817, pemerintah hanya mendirikan satu sekolah Belanda di kota Ambon, yaitu Europeesch Lagereschool (ELS) yang diperuntukkan bagi anak-anak Belanda, seperti juga sekolah sejenis yang didirikan di Batavia dan lain-lain. Sekolah - sekolah desa yang didirikan di masa VOC tetap terbengkalai. Sebab itu Gubernur Maluku P. Merkusa mengajak pihak Nederlandsche Zendings Genootschap (Perkumpulan Zending Belanda) untuk menanganinya. Pendeta Belanda di Ambon (Gerickeb) juga mendesak. Maka pada tahun 1834 NZG mengirim seorang "zendingsleeraar" (guru zending) ke Ambon. Sejak itu sampai tahun 1864 sekolah-sekolah dari masa VOC itu dikelola oleh pihak Zending.
Seperti halnya dalam masa VOC sekolah-sekolah tipe Midras tersebut, bertujuan untuk mengajarkan agama Kristen. Dalam masa VOC kurikulum sekolah desa terdiri atas pelajaran - pelajaran sembahyang, menghapalkan ayat-ayat kitab suci, sedikit membaca dan menulis, berhitung tidak penting. Menyanyi dengan sendirinya penting karena upacara-upacara keagamaan tidak terlepas dari seni suara. Namun karena kurangnya alat-alat sekolah, maka dalam periode-periode tertentu di masa VOC, kurikulum itu pun tidak dapat dijalankan secara sempurna Sering alat-alat tulis tidak ada sehingga pelajaran menulis
sama sekali ditiadakan. Hanya sekolah di benteng Victoria (kota Ambon) saja yang selalu lengkap10. Jadi penambahan jumlah sekolah belum tentu berarti perbaikan mutunya.
Dalam abad ke-19 kurikulum dari masa VOC'tersebut diperbaiki. Tekanan masih tetap pada pendidikan agama. Pihak Zending di Belanda (NZG) menekankan, bahwa pendidikan yang mereka kelola di Maluku itu terutama bertujuan "mendidik anak-anak menjadi anggauta gereja Kristen11.  Dengan demikian penghapalan ayat-ayat Kitab Suci masih merupakan bagian yang paling penting. Tetapi di samping itu terdapat pula pelajaran-pelajaran lainnya yang menunjang pelajaran pertama itu, seperti Ilmu bumi Palestina, Sejarah Palestina (yang berkaitan dengan isi Kitab Suci). Pelajaran menyanyi ditingkatkan.
Malah sejak ini orkes suling digalakkan sehingga hampir setiap desa memiliki orkes sulingnya untuk melayani gereja. Tetapi pelajaran-pelajaran "duniawi" tidak kurang penting. Membaca, dan menulis ditingkatkan, sekalipun kebanyakan hanya Kitab Suci dijadikan "text-book", walau buku-buku lainnya
ada. Pelajaran berhitung juga menjadi penting dan dicantumkan dalam kurikulum. Tetapi apabila ditimbang, maka tekanan utama adalah pada pengetahuan agama, pengetahuan lainnya diajarkan untuk menunjangnya.
Di masa VOC masalah yang dihadapi sistem pendidikan ini, selain kekurangan alat-alat, adalah keinginan orang tua untuk membiarkan anak-anaknya ke sekolah. Dengan kata lain, ujuan pendidikan belum dipahami masyarakat. Sejak sekolah pertama dibuka di kota Ambon pada tahun 1609c, para orang
tua keberatan anak-anaknya dimasukkan ke sekolah. Alasan mereka adalah: anak-anak mempunyai kewajiban membantu orang tua di kebun dan di laut. Pernah pada tahun 1619, Pendeta Dackaertsd mendesak Gubernur Jenderal J.P. Coen agar memberi imbalan beras bagi setiap anak setiap kali mereka memasuki sekolah (1 pond setiap hari). Tetapi kemudian dikeluarkan peraturan-peraturan yang lebih kejam, sejak pertengahan abad ke-17, Setiap anak berusia 10-12 tahun diharuskan masuk sekolah. Hukuman bagi orang tua yang tidak menaati peraturan ini adalah hukuman denda dalam bentuk uang. Karena paksaan-paksaan ini, sistem pendidikan dalam abad ke-17 dianggap sebagai suatu hukuman, atau penderitaan12.
Masalah ini rupanya berangsur-angsur dapat diatasi sehingga sekolah mulai diterima oleh masyarakat sebagai suatu hal yang penting. Namun timbul masalah lain. yaitu masalah mutu dari guru dan alat/bahasa pengantar di sekolah. Hal-hal tersebut menyangkut keberhasilan sistem pendidikan itu, yakni
menjadikan anak didik orang Kristen (anggauta gereja) yang baik. Ternyata dalam hal ini sistem pendidikan di masa VOC sangat lemah.
Pertama, adalah bahasa perantara. Ketika sekolah-sekolah pertama didirikan di kota Ambon pada tahun 1609, diusahakan untuk menggunakan bahasa Belanda. Usaha ini dihapuskan sama sekali pada tahun 1620-an. Ternyata murid-murid sekolah itu tidak dapat menggunakan bahasa itu. Beberapa orang bisa menggunakannya sedikit-sedikit. Tetapi setelah mereka meninggalkan sekolah pada usia 12 tahun atau 13 tahun, bahasa itu mereka lupa sama sekali. Dan dengan demikian apa yang diajarkan pun tidak bisa bertahan lama, kalaupun dimengerti.
Sebab itu para pendeta sejak tahun 1615 sudah mencoba menggunakan bahasa Melayu. Bahasa ini memang dikenal di beberapa desa pesisir di pulau Ambon yang dalam masa sebelum VOC mempunyai hubungan-hubungan dagang dengan pelbagai daerah di Nusantara. Bahasa pengantar dalam dunia dagang itu seperti juga di tempat-tempat lainnya di Nusantara) adalah bahasa Melayu. Maka pelbagai ayat dan lagu rohani mulai diterjemahan ke dalam bahasa Melayu. Terjemahan yang paling terkenal dari pelbagai kotbah adalah dari Pendeta Carone yang berasal di Ambon antara tahun 1671 dan 1674. Sampai abad ke-19 terjemahan itu terus diulang cetak dan dipakai. Usaha membuat kamus pun dilakukan, antara lain oleh pendeta Dackaerts( 1622-1626).
Sekalipun bahasa ini tidak dikenal di semua desa di Maluku Tengah, namun pihak pendidik beranggapan bahwa bila bahasa itu diajarkan di sekolah-sekolah, maka lambat laun penduduk bisa mengertinya, dan dengan demikian kotbah-kotbah yang diterjemahkan dalam bahasa itu juga bisa dipahami oleh anggauta-anggauta gereja. Sekolah mendapat tugas tambahan, yaitu mengajarkan bahasa Melayu pada anak-anak, terutama di desa desa terpencil.
Terjemahan-terjemahan dan kotbah-kotbah tersebut dilakukan dalam bahasa "Melayu-Rendah" atau bahasa Melayu yang digunakan oleh kaum pedagang. Dalam akhir abad ke-17 timbul pihak-pihak yang mengajukan pendapat bahwa bahasa "Melayu Rendahan" tidak cocok, atau tidak sanggup mengungkapkan isi ajaran-ajaran agama Kristen. Perbendaharaan kata (kosa kata) dari bahasa itu hanya menyangkut masalah perdagangan. Pihak-pihak ini mengakui bahwa bahasa itu mudah diajarkan. Tetapi kemudahan itu justru disebabkan tidak adanya sistem (peraturan) tertentu yang berlaku umum. Setiap orang membuat peraturannya sendiri. Sebab itu seringkali muncul untaian kata-kata tanpa suatu sistem tertentu, sehingga artinya pun tidak jelas. Bahasa seperti ini tidak bisa dipakai untuk menyampaikan ajaran agama.
Pihak pengritik ini menganjurkan untuk menggunakan bahasa daerah saja. Namun keberatannya adalah demikian banyaknya dialek di Maluku Tengah. Malah pada waktu itu di satu pulau saja bisa terdapat beberapa dialek. Cara ini sangat sulit untuk usaha menterjemahkan teks-teks kotbah ataupun ayat-ayat Kitab Suci. Bahasa Belanda jelas tidak bisa, seperti disebut di atas. 

Sebuah sekolah di Siri Sori Islam (1928)
Sebab itu ada yang datang dengan usul untuk menggunakan bahasa "Melayu Tinggi" (yaitu bahasa Melayu kesusasteraan). Usul ini terutama datang dari para pejabat di Batavia yang kurang memperhatikan keadaan di daerah-daerah. Para pendeta di Ambon mengajukan keberatan karena penduduk tidak mengerti bahasa itu sama sekali. Namun usul itu diterima baik oleh para Direktur VOC di negeri Belanda. Seorang pendeta di Batavia, Leydekker, yang sudah memahami bahasa kesusasteraan tersebut, lalu ditugaskan menterjemahkannya Kitab Suci. Versinya kemudian diperbaiki lagi (oleh pendeta Werndley) dan diterbitkan dalam tahun 1730-an. Kitab Suci terjemahan Leydekker inilah yang dipakai di Maluku sampai akhir abad ke-19. malah di beberapa tempat sampai awal abad ke-20.
Sejak itu sekolah-sekolah diharuskan mengajarkan bahasa "Melayu Tinggi" itu. Berangsur-angsur bahasa Melayu yang bersumber pada Kitab Suci versi Leydekker tersebut menjadi baku dalam masyarakat. Bila diingat, bahwa Kitab Suci tersebut praktis menjadi satu-satunya "text book" yang umum dipelbagai sekolah sejak pertengahan abad ke-18, maka dapatlah dimengerti betapa pengaruhnya dalam hal kosa kata dan struktur kalimat bahasa yang digunakan penduduk. Menurut pelbagai pengamat, bahasa tersebut tidak dapat dikatakan bahasa "Melayu Tinggi (bila dibandingkan dengan kesusasteraan Melayu), dan juga bukan "bahasa Melayu Rendahan". Bahasa itu di pelbagai kalangan dikenal dengan nama "bahasa Melayu Gereja" (Kerk Maleisch). Banyak sekali terdapat kata-kata asing yang berasal dari bahasa Arab. Persia dan lain-lain. Susunan kalimatnya pun khas13.  Sampai di mana bahasa ini berhasil menyampaikan makna Kitab Suci Kristen belum pernah diteliti.
Masalah yang kedua yang menghambat sistem pendidikan di masa VOC sehingga mutunya diragukan, adalah masalah pengadaan guru. Sudah tentu beberapa orang pendeta yang dikirim pelbagai gereja di Belanda tidak bisa menangani sekian banyak sekolah di Maluku Tengah. Dalam masa VOC tidak penah ada suatu sekolah guru. Sekolah tipe ini memang masih asing di dunia, termasuk di Belanda14.  Sebab itu pengadaan guru juga dilakukan secara tradisional. Setiap orang pendeta mengambil beberapa anak muda sebagai "murid" di rumahnya, biasanya tidak lebih dari empat orang. Mereka diajarkan membaca, menulis, menghapal ayat-ayat, berhitung, menyanyi lagu-lagu rohani. Juga para guru kepala ("Opperschoolmeester") mempunyai kewajiban ini Sering pula para pejabat pemerintahan mendapat tugas seperti itu. Dalam abad ke-18 para pendidik tersebut mendapat bayaran dari VOC. Setelah melampaui
status "murid" selama tiga empat tahun, para pemuda tersebut dianggap sudah bisa menjadi guru. Pengusulannya dilakukan oleh "pendidik"nya bila terdengar ada lowongan guru di suatu desa tertentu.
Namun ini pun tidak bisa menjamin mutu guru. Jelas mutu mereka berbeda dengan para pendeta yang mendapat pendidikan formal dalam bidang teologia di Belanda. Memang diusahakan untuk mengumpulkan para guru ini sebulan sekali di Ambon untuk mendapat semacam "refreshing" dari pendeta
Belanda. Tetapi keadaan perhubungan tidak memungkinkan pekerjaan ini berjalan lancar. Selain itu ada pula pejabat agama dari kalangan orang Belanda, yang dinamakan "krankerbezoekers" (bukan pendeta) yang mengawasi sistem pendidikan ini (mereka harus menginspeksi setiap sekolah dalam rayon
masing-masing sebulan sekali). Juga pendeta yang mengadakan kunjungan gereja bisa mengadakan pengawasan. Pengawasan terutama dilakukan atas perangai para guru yang sering menggunakan para muridnya untuk kepentingannya sendiri (berkebun, ke laut, dan lain-lain ).
 Sistem pendidikan guru yang formal baru dibuka pada tahun 1835 oleh pihak Zending. Sebagai realisasi dari permintaan Gubernur Merkus dan desakan pendeta Gericke tersebut diatas. maka pada tahun 1834 Nederlandsche Zendings Genootschap mengirim B.N.J. Roskott ke Ambon dengan tugas khusus
mendirikan sekolah guru. Pada mulanya NZG ingin mendirikan sebuah sekolah khusus untuk mendidik pekerja Zending di kalangan orang Ambon. Tetapi pemerintah Hindia Belanda berkeberatan. Campur tangan mereka dalam kurikulum sekolah itu akhirnya melahirkan sebuah sekolah untuk mendidik guru,
sekalipun tugasnya juga mencakup pelayanan agama. Sekolah yang dibangun di desa Batumerah (dekat kota Ambon  itu terbagi dua bagian. Kelas awal yang mengajarkan membaca, menulis pengetahuan agama, dan berhitung, juga mengajarkan bahasa Melayu rendahan. Kelas awal ini dipegang oleh seorang
guru yang dididik Roskot, yaitu Picauly15. Kelas lanjutan diajar oleh Roskot dengan mata pelajaran yang sama selain metode penggunaan Kitab Suci. cara menafsirkan ayat-ayat, bahasa Melayu Tinggi (untuk itu dibuatkan kamus istilah-istilah penting dalam Kitab Suci versi Leydekker). Pelajaran meniup suling menjadi kewajiban pula. Dalam tahun-tahun terakhir, kelas lanjutan juga diberi pelajaran bahasa Belanda16.
Antara 1835 sampai 1864 sekolah guru Roskoot ini menghasilkan lebih dari seratus orang "guru midras". Berangsur-angsur setiap sekolah desa di kepulauan Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut. mendapat guru-guru yang terdidik. Seorang petugas NZG yang mengadakan kunjungan ke sekolah-sekolah
NZG di Nusantara ini mendapat kesan yang sangat baik mengenai sekolah bumiputera itu. Sampai-sampai "sekolah model" yang terdapat di lingkungan sekolah guru itu mendapat pujiannya. Di sinilah ia menyaksikan metode pengajar yang juga dipakai di sekolah-sekolah desa. Pelajaran utama disampaikan
dengan cara tanya jawab (suatu cara mengajar agama Protestan yang klasik). "Tanya jawab berlangsung sedemikian bergairahnya, sehingga nampak sebagai sesuatu yang berlainan dengan kebiasaan pribumi"17.



Sekolah yang dikelola Zending di abad ke-19 ini mempunyai beberapa kelainan dengan sekolah-sekolah yang dikelola para pendeta di masa sebelumnya. Pertama-tama kadar pelajaran "sekuler" sudah lebih bertambah dari pada sebelumnya. Apabila dalam masa VOC berhitung, umpamanya, tidak dimasukkan dalam kurikulum sekalipun diajarkan (hal mana menunjukkan bahwa mata pelajaran itu dianggap tidak penting), makadi masa Zending berhitung termasuk salah satu pelajaran wajib. Juga Ilmu Bumi diperluas menjadi Ilmu Bumi Maluku dan tidak saja Ilmu Bumi Palestina. Tetapi pelajaran Sejarah belum dimasukkan, hanya sejarah Kitab Suci (berkaitan dengan isinya). Peralatan juga sudah lebih baik. Sekolah guru tersebut mempunyai suatu percetakan sehingga alat-alat bacaan dapat disediakan dengan cukup baik. Selain itu pelbagai kitab bacaan disediakan selain Kitab Suci versi Leydekker tersebut18.
Mutu guru juga bisa diawasi sebab kebiasaan berkumpul setiap bulan sekali (Rabu pertama setiap bulan) diteruskan oleh Roskott. Roskott yang menjadi "Schoolopziener voor Inlandsche schoolen*' (penilik sekolah bumiputera) mengepalai sekolah-sekolah itu. Sebagai anggauta dari Sub-Commisie van het Onderwijs ia berkesempatan mengadakan perjalanan keliling untuk mengunjungi sekolah-sekolah. Para guru juga digaji oleh pemerintah walau tidak banyak (f 6 sampai f 15 setiap bulan). Organisasi guru juga sudah cukup baik. Setiap guru mempunyai kepangkatan sendiri, mulai dari Guru Kelas Satu sampai Kelas Empat dan Calon Guru19.  Pengangkatan mereka dilakukan beslit oleh Gubernur, yang dikuatkan
oleh Gubernur Jenderal. Kenaikan pangkat menurut umur dan prestasi.
Hambatan satu-satunya yang dihadapi para guru midras ini adalah dari para penguasa desa. Para kepala desa sering menganggap guru sebagai saingannya. Dalam hal percekcokkan antara guru dan kepala desa sering penduduk setempat terpaksa memihak pada kepala desa. Sebab itu dalam keadaan seperti itu sering guru yang bersangkutan dipindahkan, tidak peduli apakah dia benar atau salah20.
Sekalipun demikian masyarakat mulai menerima adanya suatu kelompok yang dinamakan guru midras. Peranan mereka cukup besar dalam membawa masyarakat Maluku Tengah ke suatu tingkat yang lebih baik, yaitu dari tingkat/keadaan masyarakat yang illiterate menjadi masyarakat yang literate. Selain itu, tanpa para guru midras ini tidak bisa dibayangkanbetapa keadaan agama Kristen di Maluku Tengah. Perluasan agama ini di wilayah itu pada dasarnya adalah jasa para guru midras. Perkembangan pengawasan Zending atas sistem pendidikan di Maluku Tengah dalam pertengahan abad ke-19 mulai dipertanyakan oleh pemerintah. Terutama campur tangan para guru midras dan para Zending (Belanda) dalam masalah-masalah pemerintahan desa menimbulkan kritik dari pihak pemerintah. Sebab itu usul Roskott pada Weddikf agar para guru dan Zending diberi kekuasaan yang lebih luas dengan sendirinya ditolak21. Pertentangan ini meningkat pada tahun 1854 ketika pemerintah melarang pihak Zending mengawasi pendidikan. Sekalipun demikian hubungan Roskott dengan bekas muridnya tetap berlangsung melalui jabatan-jabatannya tersebut di atas. Martabatnya tetap tinggi dalam masyarakat Maluku, antara lain karena ia juga menjadi anggauta istimewa Raad van Justitie. Tetapi akhirnya Roskott sendiri bertentangan dengan pimpinan NZG di Nederland22.  Sebelum sekolah-sekolah Zending itu diambilahh sepenuhnya oleh pemerintah pada tahun 1864. Roskott sudah dipecat oleh NZG23.
Sikap pemerintah Hindia Belanda yang mulai menentang pengawasan pendidikan oleh Zending sejak pertengahan 1850-an itu bisa dimengerti apabila diketahui bahwa sejak 1848 pemerintah sudah mulai membuka sekolah-sekolahnya sendiri di Jawa. Inilah yang oleh sementara sejarawan dianggap sebagai
awal dari Inlandsch Onderwijs di Indonesia. Penghapusan peranan Zending pada tahun 1864 itu disebabkan karena sejak itu sistem pendidikan bumi putera dikoordinir oleh seorang pejabat (J.A. van der Chijs) yang diberi tugas sebagai "Inpectuer van het Inlandsch Onderwijs". Sejak itu diusahakan suatu sistem pendidikan yang menyeluruh di Nusantara. Namun perkembangan yang khas di Maluku (juga di Minahasa dan Timor) menyebabkan sistem pendidikan di sana sulit disinkronkan dengan sistem pendidikan yang muncul di Jawa dan Sumatera. Penghapusan peranan Zending dinyatakan secara formal dalam Peraturan Pemerintah tahun 1871 (nautaliteits beginsel). Pada dasarnya politik pendidikan sejak itu mengeluarkan pengajaran agama dari pendidikan umum. Pemerintah harus netral dalam soal agama. Ini merupakan salah satu dari prinsip - prinsip Aufklarung yang muncul di Eropa abad ke-18 tetapi baru bisa dipakai di nusantara dalam abad ke-1924 . Sejak itu sekolah-sekolah Zending tidak terdapat lagi di Maluku sampai awal abad ke-20. Tetapi sekolah-sekolah yang ada selama abad ke-19 tidak dapat begitu saja menghilangkan warna yang diperoleh selama maa pembinaan Zending itu. Ini dapat kita lihat dalam laporan-laporan para pejabat dan bagian kedua abad ke-1925



Ambonsche Burger School

Sekolah berbahasa Belanda sebenarnya sudah ada di pelbagai tempat seperti di Batavia. Sejak tahun 1817 pemerintah Hindia Belanda mendirikan beberapa sekolah berbahasa Belanda di kota-kota penting demi kebutuhan masyarakat Belandanya. Di kota Ambon sejak itu pun ada sebuah Europeesch Lagere School (ELS). Sekalipun sudah sejak tahun 1818 ELS bisa juga dimasuki orang-orang bumi putera (dari kalangan berkuasa), namun sangat sedikit yang memanfaatkan kesempatan im Peraturan yang menyatakan ELS terbuka untuk bumiputera dinyatakan pula pada tahun 186426.
Dapat dikatakan, bahwa baru dalam bagian terakhir dari abad ke-19, sekolah Belanda itu populer di kalangan orang Indonesia. ELS dianggap sebagai sistem pendidikan Barat dan tidak digolongkan dalam sistem pendidikan bumiputera yang mulai dibuka di Jawa pada tahun 1848 atau sistem pendidikan
Zending di Maluku dan Minahasa, Sangir, Timor). Sistem pendidikan terakhir itu digolongkan sebagai Inlandsch Onderwijs, dan ciri khasnya adalah bahasa Melayu.
Terlepas dari perkembangan ELS, di kota Ambon pada tahun 1858 dibuka suatu sekolah dengan nama AmbonscheBurger School. Sekolah ini terutama untuk anak-anak golongan burger, serta anak-anak kepala desa. Ciri khasnya adalah bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda. Jadi sekalipun digolongkan Inlandsch Onderwijs karena sekolah itu bukan untuk orang Belanda, namun bahasa pengantarnya sama dengan di ELS. Sekolah semacam ini untuk wilayah-wilayah lainnya di Nusantara baru dibuka secara umum pada tahun 1914 (HIS. Hollandsch Inlandsche School). Jadi seperti halnya dengan sekolah-sekolah Zending, ABS pun mempunyai akar-akar yang berbeda sama sekali dengan sistem pendidikan modern yang dimulai di Jawa pada pertengahan abad ke- 19. Sampai tahun 1911 (ketika Saparoeascheschool, dan lain lain dibentuk). ABS merupakan satu-satunya sekolah jenis itu.
Berbeda dengan sistem pendidikan pedesaan (midras). ABS adalah sekolah “sekuler". Pelajaran agama sejak semula tidak ada. Tujuan pendidikan juga berlainan. Banyak lulusan ABS yang dipekerjakan sebagai klerk di kantor-kantor pemerintah, tidak saja di Ambon tetapi di pelbagai tempat di luar Maluku. Perbedaan lainnya dengan midras adalah usul usul murid-muridnya. Apabila midras diperuntukkan bagi segenap lapisan masyarakat pedesaan. ABS hanya untuk golongan "burgers" dan putra-putra kepala desa. Selain menggunakan bahasa Belanda, guru gurunya juga bukan lulusan Kweekschool Roskott. tetapi orang Belanda. Buku-buku yang digunakan juga berasal dari ELS. Pendeknya ABS adalah versi "Inlandsch" dari ELS, suatu tipe sekolah yang baru muncul secara umum di Indonesia pada tahun 191427.
Golongan burgers dalam sejarah Maluku menduduki tempat tersendiri. Mereka muncul sejak awal abad ke-17 ketika bekas pegawai VOC mulai menjadi bagian dari penduduk kota Ambon. Selain itu ada pula bekas pengikut Portugis yang dibebaskan VOC pada tahun 1605 (ketika Ambon direbut dari Portugis) dan yang mendapat tempat pemukiman sendiri (sampai sekarang masih ada Kampung Mardika). Dalam tahun 1646 komposisi "burgerij" tersebut di Kota Ambon adalah sebagai berikut:
§  Belanda, 15 orang (pria)
§  Mestizien. 16 orang (pria)
§  Pampangers 10 orang (pria)
§  Mardijkers 74 orang (pria)



Hollandsche Inlandsche School (HIS) di Ambon 1919

Golongan burgers mempunyai status tersendiri dalam masyarakat. Pada umumnya mereka beragama Kristen. Karena bukan penduduk desa mereka tidak diwajibkan mengerjakan heerendiensten dan lain-lain. Kebanyakan mereka menjadi pedagang atau tukang. Sejak masa pendudukan Inggris jumlah
burgers bertambah pesat. Status burger mulai diberikan pula pada penduduk setempat yang pernah menjadi tentara Inggris. Sesudah itu pemerintah Belanda juga membenarkan orang orang yang mempunyai pekerjaan di kota (tukang, pedagang) mendapatkan status itu. Maka timbullah kategori 'Inlandsche
burgers". Dalam abad ke-19 jumlah mereka makin banyak, di setiap kota benteng ada golongan ini. Selain itu orang-orang Asia yang tidak berasal dari wilayah ini dimasukkan juga sebagai burgers (Moorsche burgers). Mereka berkewajiban ikut mempertahankan kota sehingga diharuskan mengadakan latihan-latihan militer. Terbentuklah suatu pasukan yang dinamakan Schutterij, di mana anggauta-anggautanya terbagi atas "Europeesche Burgers", 'Inlandsche burgers", dan "Moorsche burgers".
Di antara pelbagai kelompok burgers itu 'Inlandsche burgers"-lah yang paling banyak jumlahnya. Termasuk di dalamnya adalah 'Inlandsche kinderen", yaitu anak-anak yang ayahnya adalah orang Belanda. Kelompok ini mempunyai ciri-ciri yang sangat berlainan dengan penduduk desa. Kebanyakan mereka mengambil gaya hidup orang Belanda. Mereka berpakaian pantalon, bersepatu dan bertopi, atribut-atribut
mana tidak pernah terdapat pada penduduk desa. Banyak di antaranya yang pandai berbahasa Belanda, tetapi umumnyahanya berbahasa Melayu. Keadaan ekonomi mereka sangat parah karena golongan burgers tidak diizinkan mengerjakan tanah, suatu prerogatip dari penduduk pedesaaan. Tidak jarang golongan ini menjadi beban pemerintah karena cara hidup mereka yang liar serta bertendens kriminal. Golongan penduduk Belanda meremehkan mereka karena asal-usul mereka dianggap tidak murni, sebaliknya burgers beranggapan bahwa status burger memberikan hak yang lebih tinggi dari penduduk pedesaan. Orang desa dianggap sebagai golongan yang lebih rendah28. Masyarakat yang mengandalkan keturunan Eropa
ini memang memiliki potensi-potensi tertentu sehingga dibentuklah ABS tersebut.
Status burger di Maluku mulai memudar ketika sistem monopoli dihapuskan di tahun 1864. Ini disebabkan kewajiban-kewajiban penduduk desa yang menyebabkan mereka dipandang rendah, yaitu heerendiensten (kerja wajib untuk pemerintah) dihapuskan. Dengan demikian penduduk desa tidak lagi dibedakan dengan penduduk kota. keduanya diwajibkan membayar semacam pajak (f 1 setiap orang per
tahun). Selain itu kemunduran ekonomi menyebabkan kehidupan di kota-kota juga mulai mundur, hal mana sangat mempengaruhi kelompok 'Inlandsche Burgers" tersebut. Banyak di antara mereka yang terpaksa lari ke desa untuk mencari nafkah. Namun di desa mereka diharuskan ikut dalam "kwartodiensten" (kerjawajib untuk kepala desa), pada hal mereka tidak diizinkan mengerjakan tanah-tanah desa. 


Europeesch Lagere School (ELS) di Ambon
Salah satu cara untuk mempertahankan status golongan burgers ini adalah pengesahan ABS tersebut oleh Batavia (besluit 6 Januari 1869. No. 13)29.     
Namun kemunduran golongan burgers ini tidak bisa dihalangi sejalan dengan mundurnya keadaan ekonomi di Maluku. Sebab itu makin lama mereka makin membaur dan batasanbatasan antara burgers dan negrie-volk makin memudar. Pada tahun-tahun 1920 an Ambon Raad mengeluarkan peraturan - peraturan yang membenarkan kelompok burgers mengusahakan tanah-tanah desa. Dengan demikian perbedaan formal terakhir dihapuskan dan kelompok burgers pun hilang di Maluku30.  Malah pada tahun 1922 pemerintah menentukan bahwa ABS mendapat status yang sama dengan HIS sekalipun namanya yang historis itu boleh dipertahankan31.  Sementara itu pada tahun 1911 di Saparua telah didirikan pula sekolah serupa dengan nama "Saparoeasche School" yang statusnya juga sama dengan HIS.

====== bersambung ======


Catatan Kaki
1.         Roy Ellen, "Sago subsistence and the trade in spices: A provisional model of ecological succession and imbalance in Moluccan history"', dalam PC Burnham dan E.F Ellen. Social and ecological systems (London-New York-San Fransisco. 1979). halaman 43-74. Lihat juga usaha menyanggah teori ini berdasarkan materi archivologis abad ke- 17 dari GJ. Knaap. "'Some observations on a thriving dancing party: The cultivation of and the compitition for cloves in sixteenth and seventeenth century Ambon". The Fourth Indonesian Dutch History Confrence, Yogyakarta 24-29 tahun June 1983.
2.        Analisa yang memperlihatkan pengarus aspek-aspek materi seperti perdagangan, industri, dan lain-lain. Dalam perubahan-perubhan sistem pendidikan dalam masa kolonial adalah I.J. Brugmans. Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch indie (Goningen-Batavia, 1938).
3.        Pengertian kata "midras" tidak dapat ditelusuri. Kemungkinan ada kaitannya dengan kata "Madrasah" mengingat dalam abad ke-19 banyak kata-kata dari masyarakat Islam masuk dalam perbendaharaan kata masyarakat Kristen.
4.        H. Kroeskamp. "The Amboinese islands: society and education from 1816 to 1864". dalam Kroeskamp (ed). Early schoolmasters in a developing country: a history of experiments in school education in 19 tahun centuryIndonesia (Assean. 1974).
  4.a. H.H. Gerth dan C. Wright Mills. From Max Weber: Essays in Sociology (London 1961, repr). halaman 416-444.
5.        Ibid, halaman 240-244, 245-252.
6.       A.H. Halsey. "'Educational organizations*", dalam International Encyclopaedia of Social Sciences, Jld. 3-4.
7.        Ibid.
8.        Bandingkan dengan kerangka penelitian yang diajukan oleh Halsey. loc. cit.
9.       S. E. Harthoorn. De toestant en de behoeften van het onderwijs bij de volken van Nederlandsch Oost-indie
(Haarlem. 1865). halaman 44-45." Van welke taal moetn de zendelingen in de Molukken en de Menahasase zieh bij de verkondiging der evangelie bedienen?'VVfA*ZG, 2 (1858). halaman P2-194. 279-308.
10.     "'Het invoeren der Hollandsche taal in de Molukken". MNZG, 8(1864). 337-366.
11.       Ibid Harthoorn. op. cit. halaman 54-57.
12.      Valentijn. seperti yang dikutip Harthoorn. op. cit. Halaman 327.
13.      Harthoorn. op. cit. halaman 331-332.
14.      Baru dalam awal abad ke-19 muncul sekolah guru pertama di negeri Belanda sendiri.
15.      Tentang J.L. Picauly. lihat keterangan dalam Maandbericht Zendings Genootscliap, 1881. halaman 46-47.
16.     Mengenai kweekschool dari Roskott ini lihat, L.J. van Rhijn, Reis door den Indischen archipel in het belang der
evangelische i ending
(1851) halaman 280, S. CoolsmaDe zendingseeuw van Nederlandsch Oostindie (1901),
F.G.W. Kemman. "De inlandsche christen gementen op de Ambonsche eilanden"*. MNZG. 26 (1882), 31-54;
243-266. "Van welke taal moeten de zendelingen in de Molukken en in de Menahasase xich bij de verkondigen
des evangelie bedienen"" MNZG 2 (1858) 172-194.
17.      van Rhijn,op. cit. halaman 282.
18.      Buku-buku berbahasa Melayu yang digunakan dalam midras, umpamanya "Kitab pembatja-an guna sekalian anak anak midras di pulauw-pulauw Malukko beserta dengan sewatu pengadjaran akan ilmu dunya" (oleh B.N.J. Roskott): "Kitab midras" (oleh H. Wester); "Kitab hadja. eerste en tweede stukje van wege het genootschap uitgegeven" (1862): "Pengadjar-an akan ilmu hitungan" (Roskott). Lihat Inlandsch Onderwijs Verslag. 1866. Ada beberapa yang tercatat dalam katalogus Museum Pusat Jakarta tetapi tidak dapat ditemukan kembali, seperti "Kitab pembacaan goena sekalian anak-anak di segala midras Malayu" (oleh P.D. Siahaya).
19.     Kepangkatan para guruw midras adalah sebagai berikut:
Schoolmeester 1 ste kias
Schoolmeester 2 de klas
Schoolmester 3 de klas
Schoolmeester 4 de klas
Omloopende schoolmester (calon guru).
20.    Kasus-kasus seperti ini banyak terdapat dalam arsip-arsip Residen-tie Amboina (Arsip Nasional R.l. Jakarta).
21.      Harthoorn, loc. cit.
22.      S. Loolsma. De zendingseeuw van Nederlandsch Oostindie, (1901).
23.     Rencana pembentukan Kweekschool pemerintah sebagai penggantinya ternyata tertunda sampai tahun 1874, yaitu setelah dikeluarkan peraturan berlakunya prinsip netralitas dalam pendidikan.
24.     Brugmans. op. cit. halaman 160. 161.
25.     Lihat umpamanyaInîandsch Onderwijs Vershgl&66.
26.    Brugmans, op. cit. halaman 126-156.
27.     Op. cit. halaman 176-177.
28.     Mengenai burgers lihat. G.F. Bruyn Kops, Eenige grepen uit de geschiedenis der Ambonsche schutterij (burgerij)
(1895). "Inlandsen burgers". Adatrechtbundels. 2 r (1925), 209-231. ChR. Bakhuizen van den Brink, "De
inlandsche burgers in de Molukken*", BKI. 70 (1915). halaman 595-649. EWA. Ludeking. Schets van de Residentie Amboina (S Gravenhage, 1868), halaman 39-52.
29.    Brugmans. loc. cit.
30.    beversluis dan Gieben. Het Gouvernement der Molukken (Batavia 1929).
31.      Brugmans. loc. cit.


Catatan Tambahan :
a.        P. Merkus bernama lengkap Pieter Merkus, menjadi Gubernur Maluku pada periode Agustus 1822 hingga Oktober 1828.
b.       Gericke yang dimaksud bernama lengkap Georg Friedrich August Gericke lahir pada tahun 1803 di Neusted Pruisen.  Ia mulai bertugas di Ambon pada tahun 1832 hingga meninggal pada 1 Juli 1834.
c.        Leirissa berbeda informasi dalam soal ini. Kees Groenebaer menyebut bahwa sekolah pertama di Indonesia dibuka di Ambon pada tahun 1607 oleh Cornelis de Matelief
d.       Ini mungkin kekeliruan teknis semata. Leirissa menulis Dackaerts, beberapa sumber lain menulis namanya Danckaerts. Nama lengkapnya Sebastian Danckaerts, yang bertugas di Ambon sejak Januari 1618 – Mei 1622
e.        Caron yang dimaksud bernama lengkap Francois Caron yang bertugas di Ambon sejak Maret/April 1661 hingga Juni 1674
f.         Weddik yang dimaksud bernama lengkap Arnoldus Laurens Weddik. Kelahiran Amsterdam, 7 Maret 1807 dan meninggal di Arnhem 5 September 1867.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar