Selasa, 02 Juni 2020

Jaringan Perdagangan Lokal di Maluku Pada abad 16, 17 dan ke-18 (bag 1)


Oleh
Leonard Yuzon Andaya


Leonard Yuzon Andaya

A.    Kata Pengantar

Leonard Yuzon Andaya, profesor sejarah Asia Tenggara dari Universitas Manoa Hawaai yang berdarah Filipina ini, menguraikan tentang jaring perdagangan lokal di Maluku pada awal abad modern dalam artikel sepanjang 26 halaman ini. Artikel aslinya berjudul Local Trade Networks in Maluku in the 16th, 17th, and 18th Centuries, yang dimuat di Jurnal Cakalele volume 2, nomor 2 (1991) pada halaman 71 – 96. Dalam artikel ini, Andaya mengkaji jaringan perdagangan lokal di kepulauan Maluku, dengan menjelaskan tentang pihak-pihak penting yang terlibat seperti orang-orang Bugis dan Cina. Bahkan disebutkan bahwa orang Cina telah berlayar jauh hingga ke timur sejak dahulu kala. Pemahaman ini memungkinkan kita untuk paling tidak mengerti dan menerima, bahwa “orang-orang Cina” bisa dianggap sebagai “orang pribumi” dan kehadiran mereka yang tersebar di Maluku dalam konteks masa sekarang, bukanlah fenomena kemarin sore. Begitu juga dengan kehadiran orang “Bugis” yang salah satunya adalah orang Buton di kepulauan Maluku.
Selain mengurai tentang pihak-pihak yang terlibat, Andaya juga mengurai beberapa item utama yang menjadi item viral perdagangan di masa itu, seperti cengkih, budak, kain dan besi. Ada fenomena pertukaran barang-barang itu dalam dinamika sosial dan perdagangan orang-orang Maluku.
Ada juga informasi menarik, dalam skop yang lebih kecil, yaitu dalam konteks pulau Saparua. Andaya dengan mengutip sumber-sumber dari Tiele dan Laporan Umum Gub Jend VOC, menyebutkan bahwa minimal dalam periode tahun 1633, para pedagang pulau Saparua telah berlayar hingga ke Onin, di pesisir Papua untuk membeli budak. Informasi penting ini menjadi dasar untuk kita dapat memahami, mengapa di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 (1817), beberapa penduduk negeri Saparua memiliki para budak dalam kehidupan sosial mereka.

Dengan memahami pentingnya kajian ini, maka kami memberanikan diri untuk menerjemahkan artikel ini. seperti disebutkan sebelumnya, artikel ini sepanjang 26 halaman, dengan 84 catatan kaki, namun sayangnya tidak ada gambar ilustrasi. Maka pada artikel terjemahan ini, kami masukan beberapa gambar, untuk mempermanis saja isi artikel. Kami juga membagi artikel ini menjadi 2 bagian, sehingga mudah diikuti dan ringan untuk dibaca.
Akhir kata... selamat membaca kajian-kajian bermutu... dan selamat bersejarah.....

Sumber Peta : artikel Luis Felipe. F.R. Thomaz


B.    Terjemahan : Kutu Busu

                Dari sudut pandang orang luar, keanekaragaman bahasa dan kelompok etnis yang tersebar di banyak pulau dan sering tidak dapat diakses di Maluku, mungkin tampaknyya menjadi pencegah utama kontak ekonomi antara masyarakat. Tetapi, justru karena kelompok-kelompok ini hidup di pulau-pulau kecil atau di pulau-pulau besar yang berhutan dengan lahan subur yang terbatas, perdagangan dengan tetangga mereka merupakan kebutuhan ekonomi. Ketidakpercayaan terhadap orang asing seringkali diatasi melalui pernikahan atau mitra dagang. Namun, pembenaran paling efektif untuk kerjasama antara kelompok-kelompok di Maluku adalah kepatuhan terhadap mitos asal usul yang membentuk hubungan keluarga dengan masyarakat sampai jauh ke arah barat yaitu Butung dan sampai jauh ke timur, yaitu kepulauan Papua1.
                Catatan-catatan Perusahaan Belanda Hindia Timur (VOC) yang tersimpan di Kearsipan Negara di Den Haag, menawarkan pandangan sekilas yang berguna tentang operasi jaringan perdagangan lokal di Maluku. Meskipun pada dasarnya terkait dengan kegiatan ekonomi mereka sendiri di daerah tersebut, VOC (Belanda) merasa perlu untuk memahami sesuatu tentang sifat hubungan-hubungan pertukaran penduduk pribumi. Namun, informasi tersebut tidak pernah membentuk dasar untuk suatu laporan sistematis, tetapi tersebar dalam berbagai dokumen, dalam bentuk pengamatan atau pengalaman pribadi para pejabat VOC (Belanda). Dari potongan-potongan informasi ini, dimungkinkan untuk merekonstruksi beberapa kompleksitas pertukaran di Maluku dalam 3 abad ini, dan untuk mengamati dinamika kelompok lokal dalam beradaptasi dengan perkembangan ekonomi baru di wilayah tersebut.
                Selain orang-orang Maluku, ada 2 kelompok orang asing yang paling penting bagi keberhasilan integrasi jaringan perdagangan lokal, yaitu : Orang Bugis dan Orang Cina. Beberapa pengetahuan tentang peran yang mereka mainkan diperlukan untuk memahami fungsi ekonomi wilayah tersebut. Tidak seperti orang Eropa, orang Bugis dan Cina mengunjungi dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan terpencil yang tersebar di seluruh Maluku. Mereka berhasil memantapkan diri mereka sebagai perantara yang melayani jaringan pertukaran yang lebih lokal, serta pedagang langsung dengan produsen atau pengumpul di daerah tertentu yang biasanya dijauhi oleh kelompok-kelompok lain.
                Produk-produk yang dipilih untuk dikaji – cengkih, budak, kain dan besi – adalah item-item utama pertukaran sepanjang periode ini. Mereka berfungsi “menggembleng” kelompok-kelompok lokal untuk memperdagangkan barang-barang khusus dalam jaringan perekonomian tertentu, untuk mendapatkan produk-produk yang diinginkan ini. Sintesa terhadap berbagai materi data sepanjang abad-abad ini, memberikan gambaran dinamis dari satu zona ekonomi yang terus menerus menyesuaikan diri dengan perubahan situasi-situasi, meskipun ada upaya oleh orang Eropa untuk mengendalikan dan mengembalikan (arah) perdagangan. 




Peta pulau Nova Guinea (Papua) dan Maluku (sekitar tahun 1600)


ORANG-ORANG “BUGIS”

                Pada akhir abad ke-16 dan paruh pertama abad ke-17, orang-orang Makasar dari kerajaan kembar, Gowa dan Tallo di Sulawesi Selatan, telah menjadi salah satu kekuatan politik dan ekonomi paling kuat di kepulauan ini. Mengambil manfaat dari pengalaman dan link-link ekonomi yang dibawa oleh para “pelarian” dari Johor, Pahang, Lingga, Gresik, Bukit (dekat Surabaya), Jararatan, Sidayu dan Banda, orang-orang Makasar menjadi kekuatan dagang utama di seluruh nusantara. Di antara para pelarian yang paling berpengaruh adalah orang-orang Banda, dimana sekitar 1000 orang di antaranya telah diberi perlindungan oleh Sultan Makasar pada tahun 1624, setelah mereka diusir secara brutal dari pulau-pulau mereka oleh VOC (Belanda)2. Mereka telah menjadi pedagang utama rempah-rempah pada abad ke-15 dan awal abad ke-16, pergi dengan kapal-kapal mereka ke berbagai bagian timur untuk membeli cengkih, pala, bunga pala, dan kemudian membawa rempah-rempah itu langsung ke Malaka3. Kontak-kontak dan pengetahuan mereka tentang perdagangan, memungkinkan (wilayah) Makasar untuk berkembang menjadi pasar utama rempah-rempah di wilayah timur.
                Untuk mendapatkan cengkih, kapal-kapal orang Makasar biasanya mengikuti rute yang menuju utara Halmahera dan menyusuri pantai timur ke Maba. Dari sini, mereka “dipandu” oleh kora-kora Tidore di sekitar ujung selatan Halmahera, masuk melalui selat Patinti, dan akhirnya ke utara menuju Tidore. Dalam pencarian rempah-rempah, kapal-kapal orang Makasar juga sering mengunjungi Weda, Obi, Akelamo, Makian, Mayu, dan berbagai tempat di timur laut Halmahera dan Kepulauan Sula. Orang-orang Maluku lebih suka membawa rempah-rempah mereka ke sejumlah tempat untuk dijual kepada para pedagang Makasar, yang menawarkan harga yang lebih baik daripada orang-orang Eropa4. Di Luhu, di semenanjung Hoamoal di Seram, orang-orang Ternate menolak menjual cengkih mereka ke VOC, dan alih-alih mengangkutnya melewati pegunungan ke Lesidi dan Erang, dimana barang itu dijual kepada orang Makasar yang ditukarkan dengan beras dan para budak5.
                Setelah kekalahan kerajaan Gowa – Tallo oleh VOC pada tahun 1669, Makasar tetap menjadi pusat perdagangan yang penting, namun sekarang dikuasai oleh para pedagang Bugis. Orang Bugis dari Bones, Soppeng, dan Wajo sangat menonjol di Makasar dan menjalin hubungan dengan rekan-rekan mereka yang telah melarikan diri atau bermigrasi setelah perang Makasar tahun 1666 – 1669. Banyak dari orang-orang pelarian asal Sulawesi Selatan ini dipimpin oleh pangeran-pangeran mereka sendiri, dan kemudian menikah dengan keluarga kerajaan di Jawa, Sumatera, Semenanjung Melayu, Sumbawa dan Kalimantan. Belakangan, permusuhan lama di wilayah mereka dilupakan di tempat yang baru, karena kesamaan budaya dan bahasa sering mengalahkan perbedaan politik, terutama dalam urusan konflik dengan kelompok lain. Di luar Sulawesi, perbedaan antara kelompok Bugis, Makasar, dan Mandar diabaikan oleh orang lain, sehingga siapapun dari Sulawesi Selatan disebut “ Bugis”. Pemukiman “Bugis” yang tersebar di seluruh kepulauan menjadi titik-titik jaringan perdagangan dengan ujung timur di Makasar dan ujung barat di Johor – Riau6

Replika Padewakang, kapal Makasar (sumber gambar : Buku Adriaan Horidge )
                Pada abad ke-18, aktivitas orang-orang Bugis meningkat tajam. Dari pangkalan utama mereka di Johor – Riau di barat dan Makasar di timur, mereka mengikuti 2 rute ke pulau-pulau bagian timur. Mereka pergi lewat rute utara ke Palu dan melalui darat ke Parigi di teluk Tomini; atau lewat rute timur melalui Teluk Bone atau melalui darat ke Tobunku di Sulawesi Tenggara. Dengan berbekal kain India yang dibeli dari kompeni dan kain Makasar, mereka pergi dengan perahu ke Butung, Tobunku, Banggai, Sula, Seram Laut, dan sampai jauh ke timur, yaitu Onin di pesisir Papua7. Di Keffing dan pelabuhan-pelabuhan lain di Seram Timur, mereka dapat menukar pakaian mereka dengan rempah-rempah dan budak, yang kemudian mereka bawa ke Banggai untuk dijual8. Yang sangat sukses adalah para pedagang Bugis, yang pada tahun 1766, Sultan Ternate menyatakan dengan marah bahwa wilayah-wilayah Ternate yaitu Sula dan Banggai “penuh dengan orang Bugis”9. Mereka adalah pedagang utama rempah-rempah, pergi dengan perahu ringan mereka, yang dikenal sebagai padewakang, dari Sulawesi ke Seram Timur dan Papua, suatu tempat dimana mereka mendapatkan rempah-rempah dan membawanya ke Pasir, Sulu, dan bahkan Manila, dimana mereka mendapatkan harga yang jauh lebih tinggi daripada di tempat lain10.
                Orang-orang Bugis sama-sama menonjol dalam perdagangan melalui rute utara ke Teluk Tomini. Di Gorontalo dan Limboto, mereka menukar kain India dengan cangkang kura-kura, yang diam-diam dibawa oleh penduduk setempat, satu atau 2 kali pada malam hari11. Para budak adalah barang (item) lain yang diperoleh orang Bugis di Teluk Tomini. Dalam perjalanan pulang, mereka pergi ke Parigi, melalui darat ke Palu, dan kemudian ke Berau, sebuah pusat baru yang berkembang pada abad ke-18, yang berlokasi ideal di timur laut Kalimantan, antara perdagangan Bugis yang berpusat di Sulawesi dan tempat penyaluran barang untuk kepulauan Sulu. Berau muncul sebagai tempat penyaluran barang untuk melayani kebutuhan kepulauan Sulu dan Bugis, dan populasinya yang sangat beragam mencerminkan keberhasilannya. Pada pertengahan abad ke-18, Berau memiliki pedagang dari Jawa, Magindanao, Sulu, Sulawesi Selatan, Kaili, Bantam (Banten), dan daerah-daerah lainnya. Produk-produk dari timur yang dikumpulkan di pelabuhan ditujukan untuk Jawa, Batavia, dan daerah-daerah lain di bagian barat, serta termasuk barang-barang seperti serbuk emas, sarang burung, rotan, kulit penyu, lilin, lapis bezoar dan batu bezoar monyet12. Banyak pedagang Bugis lebih suka membawa barang-barang mereka ke Berau dan ke Pasir di pantai timur Kalimantan, daripada mengambil resiko barangnya disita oleh VOC (Belanda) di Makasar.
                Keberhasilan pedagang-pedagang Bugis pada paruh kedua abad ke-18, terutama karena kemampuan mereka untuk mengintegrasikan diri secara efektif dengan kekuatan baru di wilayah tersebut, yaitu Inggris dan Sulu. Bumbu, budak, kulit penyu, dan teripang sekarang bisa dibawa ke Sulu atau ke pedagang Inggris, yang muncul di kepulaua itu dalam jumlah yang semakin meningkat. Orang Inggris dapat membawa cengkih ke Kanton, terutama karena pasokan yang dapat diandalkan, yang mereka terima dari orang Bugis. Mereka juga membawa kain ke Pair, tempat orang Bugis membelinya dengan imbalan rempah-rempah. Beberapa kain dibawa oleh orang Bugis ke daerah Papua dan ke daerah lain di Maluku untuk membeli rempah-rempah, sementara sisanya dibawa lewat Palu, melalui darat ke Parigi, kemudian ke Teluk Tomini untuk membeli kulit penyu dengan harga lebih tinggi, daripada yang ditawarkan oleh orang-orang Belanda13. Selain pakaian, Inggris dan kemudian juga Perancis menggunakan senjata sebagai barang pertukaran untuk produk dari Indonesia Timur. Inggris menemukan Gebe menjadi lokasi yang ideal untuk perdagangan ini, karena terletak dengan aman di wilayah yang disebut “Rute Pitt”  yang melewati pulau-pulau Papua ke Cina14. Pada akhir abad ke-18, orang-orang dari Gebe dan Patani menggunakan senjata yang diperoleh dari Inggris dan Perancis untuk mendapatkan pakaian di seluruh wilayah. Pemberontakan telah mengakibatkan sejumlah besar kematian, dan orang-orang sangat membutuhkan pakaian untuk digunakan dalam proses pemakaman yang layak bagi orang mati15.  Meskipun orang-orang Eropa memainkan peran penting dalam pertukaran ini, orang Bugislah yang sangat diperlukan dalam menyediakan pasar untuk perdagangan barang-barang ini.


ORANG-ORANG CINA

                Orang-orang Cina adalah kelompok lain yang memberikan kontribusi besar bagi perdagangan di Maluku. Sejak abad-abad awal era kekristenan, para pedagang Cina datang ke Asia Tenggara, membeli hasil laut dan hutan Asia Tenggara yang langka, dengan sutra, porselin dan barang-barang Cina lainnya. Setelah pelayaran-pelayaran yang dilakukan dinasti Ming yang spektakuler pada abad ke-15, perdagangan luar negeri Tiongkok dilarang sampai tahun 1567, meskipun masing-masing pedagang dari provinsi-provinsi bagian tenggara terus mengirim kapal dagang ke Asia Tenggara. Periode yang dimulai sejak tahun 1567, menjadi saksi terhadap peningkatan perdagangan antara kedua wilayah ini yang disertai dengan kedatangan imigran Cina yang siap menetap di wilayah tersebut. Kecuali untuk periode singkat antara tahun 1717 dan 1727, dinasti baru, yaitu Qing yang berkuasa di Cina sejak tahun 1644, mendorong perdagangan ini dalam usaha untuk menjaga keloyalan provinsi-provinsi bagian selatan yang selalu bermusuhan. Antara tahun 1600 dan 1830, sekitar 1000 jung yang bermuatan 20.000 ton berlayar setiap tahun dari Cina ke berbagai belahan dunia. Mereka membawa migran Cina ke Asia Tenggara, yang sebagian besar menetap di Batavia, Manila dan Ayudhya/Bangkok, dimana mereka memainkan berbagai peran, tidak hanya sebagai pedagang, tetapi juga sebagai petani, pengecer, dan pengrajin terampil. Sebagai subjek kompeni, orang-orang Tionghoa ini diizinkan berlayar ke berbagai daerah di kepulauan ini dengan surat izin masuk dari kompeni. Orang Cina, seperti banyak pedagang lainnya, cepat mengenali potensi-potensi ekonomi dari pulau-pulau bagian timur, dengan rempah-rempah, budak, dan sekarang teripang, yang telah menjadi makanan lezat di Tiongkok16

Sumber Peta : Artikel dari Guanming Xu
                Pada tahun 1710, Belanda mengeluhkan meningkatknya perdagangan Cina di daerah itu, yang merugikan perdagangan kompeni, tetapi jelas mengungtungkan para penguasa Ternate dan Tidore17.  Meskipun Sultan Ternate enggan memusuhi kompeni yang kuat, ia bahkan lebih memperhatikan manfaat yang dibawa oleh orang Cina. Karena itu, ia dengan cepat memperluas perlindungannya terhadap 30 orang Cina yang tinggal di pemukiman kerajaan, dengan menempatkan mereka di luar jangkauan VOC (Belanda)18.  Sultan Tidore juga memprotes keputusan kompeni (VOC) yang melarang perdagangan Cina di pantai Papua, karena ia menyadari bahwa Cina sangat penting dalam melanjutkan keuntungan dari perdagangan ini19. Belanda berusaha membatasi kehadiran orang-orang Cina di timur, karena apa yang mereka anggap sebagai “hubungan yang merusak” yang dibangun antara orang Cina dan penguasa-penguasa Maluku20. Yang sebenarnya ditakuti Belanda adalah penguasa-penguasa Maluku menggunakan jaringan perdagangan Cina untuk menjual rempah-rempah, budak, dan barang-barang lainnya yang sepenuhnya bertentangan dengan pelarangan/pembatasan oleh kompeni.
Orang-orang Cina telah membangun ceruk yang berkembang di jaringan perdagangan timur, menukar besi dan porselin di Ternate dan Tidore untuk produk-produk Maluku. Orang Cina juga menonjol dalam perdagangan kulit penyu. Mereka mendapatkannya dari Teluk Tomini atau dari Gorontalo-Limboto, membawanya ke Bacan yang berpenduduk sedikit atau pulau-pulau Obi yang tidak berpenghuni, dimana barang-barang itu dipindahkan ke kapal-kapal jung Cina lainnya yang berasal dari Ambon, Banda dan Ternate21. Untuk menghindari pembatasan/pelarangan Belanda (VOC), orang-orang Cina pergi ke Bacan, menjadi penganut Muslim, dan hidup di bawah perlindungan Sultan. Pulau Bacan dan Obi terus menjadi tempat yang ideal untuk berdagang, jauh dari pantauan Belanda, dan wilayah-wilayah itu secara ideal ditempatkan di pusat perdagangan yang bergerak ke timur dan barat22. Orang-orang Cina termasuk yang paling menonjol dalam perdagangan ke Numfor dan daerah-daerah lain di pesisir Papua, dimana mereka mendapatkan budak, massoi, dan kulit penyu dengan imbalan kain, koral, pisau dan pedang23.
Di antara pedagang yang paling efektif adalah peranakan Cina yang berlatar belakang campuran, menjadikan mereka sebagai “hak masuk” khusus ke dalam masyarakat Cina dan masyarakat pribumi. Pedagang dari zaman kuno selalu melihat keuntungan menikahi wanita lokal sebagai cara membangun basis yang aman dan kepercayaan dengan penduduk lokal, yang meningkatkan kegiatan perdagangan. Istri-istri pedagang asing ini, sering terbukti sangat penting dalam pembelian barang-barang yang dibutuhkan24. Misalnya, pedagang Cina di Menado memiliki beberapa istri di antara kelompok-kelompok “lingkaran dalam” untuk memastikan pemeliharaan perdagangan beras25.
Kompeni akhirnya mengeluarkan dekrit pada tahun 1712, yang melarang pelayaran orang-orang Cina di sebelah timur Makasar. Setiap orang Tionghoa yang ditemukan di timur, yang bukan penduduk di daerah itu segera dideportasi ke Batavia26. Para direktur kompeni merekomendasikan agar orang Tionghoa didorong untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi lainnya, seperti pemrosesan nila seperti yang mereka lakukan di Ambon, untuk mengalihkan mereka agar tidak berpartisipasi dalam perdagangan nusantara. Meskipun pada tahun 1729, Belanda menarik perhatian pada fakta bahwa orang Cina dan yang lainnya masih mengekspor rempah-rempah dari Maluku dan menjualnya di Banjarmasin27, langkah-langkah itu memiliki beberapa dampak. Pada tahun 1731, komunitas Cina di Ternate menyusut menjadi 2/3, dan mereka telah beralih ke bentuk toko-toko dan perdagangan berskala kecil untuk mata pencaharian mereka28. Pembatasan pelayaran Cina di timur, memaksa beberapa orang Cina untuk mencari jalan lain untuk mengejar perdagangan mereka. Beberapa masuk Islam dan menjadi subyek penguasa Muslim lokal, sementara yang lain terus menerima barang secara diam-diam dari pedagang pribumi karena harga yang mereka tawarkan lebih tinggi29.
Tetapi, pada waktunya, orang-orang Cina belajar untuk menghindari pembatasan-pembatasan dengan keterlibatan para penguasa Maluku. Belanda mulai khawatir dengan meningkatnya jumlah pedagang Cina yang terlihat berdagang dengan desa-desa pesisir Tidore, dan memerintahkan agar mereka dihentikan. Dalam pembelaannya, penguasa Tidore berpendapat bahwa perdagangan seperti itu terus menggantikan pendapatan yang hilang, karena tindakan Belanda yang membuat pedagang asing enggan datang ke pulau itu. Di Ternate, pedagang Cina dari Ambon, Banda, dan Makasar datang dibekali dengan surat izin, untuk menjual pakaian kepada penduduk dengan harga yang lebih baik daripada yang dibayar oleh kompeni30. Sepertinya Belanda menjadi kurang mampu mengawasi daerah yang luas di Indonesia Timur. Penguasa Maluku melanggar arahan kompeni dan secara terbuka mendekati pedagang Cina dan asing lainnya.
Menjelang kuartal terakhir abad ke-18, ada peningkatan yang nyata dalam aktivitas perdagangan Tiongkok sebagai akibat dari kebangkitan Sulu sebagai terminal penting dalam perdagangan Cina – Inggris. Sulu dikunjungi setiap tahun oleh 1 hingga 3 jung Cina yang kaya muatan, yang menjual barang-barang mereka untuk mutiara, kulit penyu, teripang, dan lilin31. Keberadaan entrepot baru ini diluar kendali Belanda, mendorong pedagang Cina untuk memasok jung-jung Cina itu dengan barang-barang yang mereka cari dan memberikan dorongan lebih lanjut untuk kegiatan Cina di pulau-pulau sebelah timur.


CENGKIH

Produk-produk yang berfungsi sebagai rangsangan bagi pedagang Bugis dan Cina di Maluku adalah cengkih dan budak, dimana cengkih jauh lebih penting. Permintaan terhadap cengkih merupakan hasil dari sifat yang lebih besar yang dikaitkan dengan rempah-rempah dan obat-obatan yang sederhana itu. Salah satu referensi paling awal untuk penggunaannya adalah dari abad pertama SM,  sepanjang permulaan dinasti Han, dimana pejabat Cina diminta untuk mengunyah cengkih di mulut mereka saat berbicara dengan kaisar32. Sifat aromatik cengkuh adalah alasan dibalik praktik serupa di antara perempuan mestizo India dan Portugis di India dan Asia Tenggara. Di Maluku sendiri, cengkih memiliki beragam kegunaan. Ketika buahnya berwarna hijau, ia diberi gula dan diawetkan atau diasinkan dan diasamkan dalam cuka. Dalam bentuk bubuk, cengkih digunakan untuk tujuan pengobatan. Tetapi cengkih di Eropa-lah, ada beberapa klaim luar biasa tentang hal-hal yang dibuat dari “obat ajaib” ini. Esensi berbau harum yang disuling dari cengkih dikatakan menguatkan penglihatan seseorang jika digunakan di mata. Bubuk cengkih dioleskan di dahi untuk meredakan demam/sakit kepala, sementara yang lainnya cengkih dikatakan untuk merangsang nafsu makan dan membantu membersihkan kandung kemih dan usus. Ketika diminum dengan susu, diketahui meningkatkan kenikmatan saat berhubungan badan. Menurut orang Belanda, kegunaan cengkih itu “terlalu banyak untuk diceritakan”33.
Sampai kedatangan bangsa Eropa, pengaturan orang-orang lokal Maluku untuk pengiriman cengkih itu sederhana tapi memuaskan. Setiap desa memiliki wilayah-wilayah pohon cengkih sendiri, dan setiap rumah tangga menganggap pohon-pohon sebagai miliknya. Dengan demikian, setiap individu akan memanen dan menyiapkan cengkih mereka sendiri dan membawanya sampai ke kapal yang menunggu untuk ditukar dengan barang-barang dari luar. Seiring meningkatnya permintaan akan pasokan cengkih yang lebih besar dan lebih andal yang disiapkan dengan cara tertentu/khusus, pendekatan individu terhadap perdagangan ditinggalkan. Pemukiman kerajaan menjadi fokus perdagangan cengkih karena kecenderungan orang asing untuk mencari pengaturan dengan penguasa. Oleh karena itu, masyarakat yang terpencil harus menjalin hubungan dengan pusat untuk menjual cengkih mereka, dan untuk mendapatkan bagian dari barang-barang luar. 

Sumber gambar : Artikel Guanming Xu
Perkembangan signifikan dalam perdagangan Maluku terjadi bersamaan dengan upaya Portugis untuk mengendalikan penjualan cengkih. Mereka berusaha memastikan sistem yang seragam dengan mengharuskan alat pengukuran (timbangan) cengkih dihancurkan, dan hanya 2 yang pertahankan : satu disimpan di pemukiman orang Portugis, dan yang lain di rumah Ratu kesultanan Ternate, yang saat itu merupakan figur dengan otoritas terkuat di Ternate. Di bawah kapten Goncalo Pereira (1530 – 1531), langkah-langkah ekonomi baru diperkenalkan, yang mengenakan pajak 1/3 dari semua cengkih dikirim ke monopoli Portugis34. Semua cengkih harus dijual terlebih dahulu kepada raja Portugis melalui “factorijnya” dengan harga tetap, sampau kapal kerajaan memiliki semua yang bisa diangkutnya. Sisa persediaan itu kemudian dijual kepada pejabat berikut untuk keuntungan mereka sendiri dengan urutan prioritas : Kapten Portugis, gudang, para pejabat dan tentara. Hanya ketika kebutuhan mereka terpenuhi, sisanya dapat dijual kepada pedagang. Orang-orang Maluku dengan cepat mengetahui bahwa Portugis mendapat untung besar dari penjualan kembali cengkih, sehingga mereka mulai menuntut dengan harga yang lebih tinggi35.
Tidak yakin bahwa semua cengkih telah dikirim ke factorij Portugal untuk kerajaan, Pereira memerintahkan agar rumah-rumah para casado (mereka yang menikah dengan wanita lokal atau wanita Asia lainnya) dicari cengkih. Pereira memaksa orang-orang Ternate untuk menjual rempah-rempah mereka kepada orang-orang Portugal dengan harga murah, harga yang ditentukan oleh pihak kerajaan Portugal36. Tidore juga tunduk pada langkah-langkah Portugis ini, karena dipaksa untuk menandatangani perjanjian untuk mengirimkan sejumlah cengkih setiap tahun kepada Portugis37. Penegakan oleh Pereira atas kebijakan kerajaan menimbulkan kebencian di antara penduduk setempat, dan akhirnya menyebabkan perang dengan orang-orang Maluku.
Ketika Kapten Antonio Galvao (1536 – 1539) tiba di Ternate, perang telah mendorong harga cengkih naik dari 2 cruzados yang ditetapkan oleh factorij kerajaan Portugis menjadi 50 hingga 60 cruzados. Setelah Galvao berhasil mengalahkan kekuatan gabungan orang-orang Maluku di Tidore, ia berusaha memulihkan situasi ekonomi dengan mendekritkan, bahwa semua cengkih diserahkan kepadanya. Seluruh wilayah itu kemudian digeledah dan semua cengkih yang ditemukan, disita atas nama Raja Portugal. Takut kehilangan sumber pendapatan penting melalui perdagangan dengan individu Portugis, Sultan Hairun dari Ternate (1535 – 1570) melakukan campur tangan dengan mengklaim bahwa cengkih itu miliknya dan harus tetap tidak tersentuh. Kebijakan Galvao mengalami kemunduran lebih lanjut, ketika Gubernur Portugis India, Nuno da Cunha, sekali lagi mengizinkan Portugis membeli cengkih, selama 1/3 dari apa yang beli dan dijual di India, dijual kembali ke pihak kerajaan dengan harga 3 cruzados per bahar38.
Terlepas dari arahan baru ini, Galvao menolak untuk patuh, dengan alasan bahwa perdagangan cengkih telah “menelan biaya ribuan cruzados dan kematian begitu banyak orang”39. Keputusannya untuk menegakan kebijakan yang sekarang sudah tidak berlaku lagi, menjadikannya banyak musuh komunitas Portugis di negara itu. 

Peta Seram Laut dari Artus Gijsels (sekitar 1630an)
Setelah masa jabatan Galvao berakhir, para kapten Portugis selanjutnya kurang berkomitmen pada perdagangan milik kerajaan, dan ada perdagangan yang lebih besar antara orang Maluku dan para pejabat Portugis, serdadu dan para casados. Selama panen cengkih yang dimulai pada akhir Agustus dan berlanjut hingga November, orang Portugis dan Ternate akan mengunjungi hutan Ternate dan pulau-pulau tetangga untuk mencari cengkih. Kerjasama seperti itu terus berlanjut sampai pembunuhan Sultan Hairun pada tahun 1570 mengganggu hubungan kedua negara Portugis dan Maluku, akhirnya mengarah pada takluknya benteng Portugis kepada Sultan Baabullah (1570 – 1583) pada tahun 1575, dan pengusiran semua kehadiran Portugis di pulau itu. Tapi, orang Portugis terus mengejar perdagangan cengkih dari Tidore dan mampu mempertahankan pasokan ke Eropa. Pasar Eropa untuk rempah-rempah Maluku pada tahun 1490an adalah sekitar 250.000 pon, tetapi sekitar tahun 1620an, pasar untuk itu sekitar 1,4 hingga 1,4 juta pon. Untuk sebagian besar abad ke-16, Portugis menyumbang sekitar 75% atau lebih rempah-rempah yang dibawa ke Eropa. Pengusiran dari Ternate pada tahun 1575, tidak banyak berdampak pada perdagangan rempah-rempah, dan tahun 1570an serta 1580an menandai kebangkitan perdagangan setelah satu dekade terjadi penurunan penjualan40.
Dengan pengusiran Portugis dari Ternate, banyak kelompok asing yang telah dilarang oleh Portugis untuk berdagang di sana, kembali dan memberikan kontribusi pada kebangkitan Ternate sebagai entrepot. Sebuah dokumen Spanyol bertarikh 1584, melaporkan vitalitas Ternate, dimana biasanya sekitar 1.000 orang Jawa, Sangley (Cina dari Filipina), dan orang Aceh datang untuk berdagang. Orang-orang Sangley yang sebelumnya telah menjadi pihak penting yang telah hadir, telah kembali untuk melanjutkan hubungan ekonomi menguntungkan mereka setelah Portugis diusir41. Menanggapi meningkatnya permintaan dari pedagang asing, orang-orang Ternate sekali lagi melanjutkan perjalanan mereka ke “Seram Timur” (sebuah istilah yang digunakan untuk merujuk pada ujung timur kepulauan Seram, Seram Laut dan Goram) untuk menjual cengkih mereka. Di antara produk yang mereka beli dari pedagang Jawa, Melayu, dan Turki adalah senjata dan amunisi sebagai perlindungan terhadap kembalinya Portugis42.
Belanda mengejar kebijakan serupa dengan Portugis dalam upaya memonopoli penjualan cengkih dari Ternate. Tetapi, seperti orang Portugis, mereka mulai menyadari kesia-siaan menegakan monopoli tanpa kerjasama orang lokal. Pada tahun 1652 – 1653, Belanda memutuskan bahwa terlalu banyak rempah-rempah mencapai Eropa dan menekan harga jual, sehingga kompeni memperkenalkan kebijakan yang membatasi pertumbuhan pohon Pala di Banda dan pohon cengkih di Ambon. Semua daerah lain, termasuk “mabes” cengkih di Maluku Utara semua pohon rempah-rempah akan dihancurkan dan mencegah pertumbuhannnya di masa depan. Extirpasi atau “pemberantasan” ini akan diawasi oleh Belanda dan akan dilaksanakan oleh penduduk setempat. Sebagai kompensasi atas hilangnya pendapatan bagi para penguasa dan para bobato, mereka akan diberikan subsidi tahunan. Pulau-pulau asal cengkih di Maluku Utara diperintahkan untuk memulai upaya raksasa menghancurkan pohon cengkih liar dan pemeliharaannya. Langkah drastis semacam ini, hanya mendorong produsen dan pedagang untuk mencari cara alternatif untuk memperoleh cengkih, dan menyebabkan munculnya pusat-pusat perdagangan sekunder baru di Maluku.


====== bersambung ======


Catatan Kaki
  1. See my forthcoming book, The World of Maluku: A History of Eastern Indonesia in the Early Modern Period (Honolulu: University of Hawaii Press)
  2. P.A. Tiele, Bouwstoffen voor de geschiedenis Nederlanders in den Malaischen Archipel ('s,Gravenhage, 1886)  vol. 2, p. xvii.
  3. "Descricao sumeria das Molucas e da Banda," Dec. 1529 in A. B. de Sa Documentacao para a historia das Missoes do padrado portugues do Oriente. Insulinda 1955, vol 4, (Lisboa, 1956), hal 17; Armando Cortesao, ed and trans., The Suma Oriental of Tome Pires (London, 1944), vol 2, hal 265
  4. Tiele, Bouwstoffen..........volume 2, hal 260 – 261
  5. Tiele, Bouwstoffen..........volume 2, hal 15
  6. For a discussion of the circumstances which led to the exodus of "Bugis" from South Sulawesi and their fortunes in various lands in the archipelago, see L.Y. Andaya, The Kingdom of Johor, 1641-1728 (Kuala Lumpur, 1975), L.Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka (The Hague, 1981)
  7. VOC 3150, Ternate to Batavia, 31 July 1765, fols. 55-56, 75-77. (From the Dutch East India Company archives of the General State Archives in The Hague.)
  8. VOC 1675, Secret Missive Ternate to Batavia, 20 Sept. 1 fol. 174.
  9. VOC 3186, Secret Missive Ternate to Batavia, 3 1766, fol. 29.
  10. VOC 3628, Secret Missive Ternate to Batavia, 28 Sept 1782  fol. 71.
  11. VOC Ternatc to Batavia, 17 June 1704, fol. 37.
  12. VOC 2606, Ternate to Batavia, 13 Sept. 1743, fols. 42-45
  13. VOC 3209, Butung to Batavia, 15 August 1767, fol. 7; VOC 3331, Ternate to Batavia, 12 August 1771, fol. 17.
  14. VOC 3186, Ternate to Batavia, 31 July 1766, fol. 7.
  15. 15. VOC 3357, Diary of Hemmekans in the Papuan islands from a report dated 15 Oct. 1771. appendix 19, n.p
  16. Leonard B1usse, Strange Company C'hinese Settlers, Mestizo Women and the Dutch in VOC Batavia (Dordrecht, 1986), p. 99. For a general discussion of Chinese participation in Southeast Asian economic and social life between the late sixteenth and eighteenth centuries, see L. Y. Andaya, "Interactions with the Outside World and Adaptation in Southeast Asian Society, 1500 - 1800," in Cambridge History of Southeast Asia, vol 1, ed. N. Tarling (Cambridge, 1992).
  17. VOC 1794, Ternateto 25 Sept. 1710, fol. 352.
  18. VOC 1794, Ternate to Batavia, 11 Sept 1710 fols. 283-284.
  19. VOC Letter from Sultan Tidore to Batavia, 21 July 1700, fol. 80
  20. VOC 1794, Ternate to Batavia. 25 Sept. 1710, fol. 352.
  21. VOC 1690, Ternate to Batavia, l7 June 1704, fols. 37, 66; VOC Report from Hofman in Gamrange, 25 Aug. 1703, fol. 218.
  22. VOC 3470, Secret miSSIve Tematc to 20 Aug. 1776. fo1s. 196-198.
  23. VOC 2465, Report by Aardewyn on mission to Salawati, 30 April 1738, fol.489.
  24. Alexander Hamilton, A New Account of the East vol. 2 (London, 1930), hal 28; Jesus Merino, O. P. "The Chinese Mestizo: General Considerations," in The Chinese in tile Philippines, voL 2, ed. Alfonso Felix Jr. (Manila, 1968), pp. 64-66.
  25. VOC 3622, Ternate to Batavia, 28 Sept. 1782, fol. 245.
  26. VOC 1882, Ternate to Batavia, 30 June 1716, fols. 29-30.
  27. VOC 2191, Ternate to Batavia, 9 June 1731, foL 1358.
  28. VOC 2191, Memorie van Overgave, Pielat, 7 June 1731, fol. 1104; Voe 2191, Ternate to Batavia, 9 June 1731 fols. 22, 24.
  29. VOC 1840, Ternate to Batavia, 13 Sept. 1713, fol. VOC 2012, Ternate to Batavia, 13 Sept. 1724, fol. 456.
  30. VOC 2907, Ternate to Batavia, 31 Aug. I fols.251252.
  31. VOC 3418. Resolution from Ternate, dated 12 1773, foL 176.
  32. T. H. Burkill, A Dictionary or the Economic Product of the Malay Peninsula, vol 1 (London, 1935), hal 961
  33. I. Commelin, Begin ende voortgangh van de Vereenighde Nederlantsche Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie, vol 1. First Voyage. Neck. (Amsterdam, 1646) hal 30
  34. Hubert Jacobs, ed. and trans., A Treatise on the Molucas ......, of Antonio Galvao {Rome, 1970), p. 221.
  35. Fernao Lopes de Castanheda, Historia do descobrimento e conquista da India pelos Portugueses, vol. 2 (Porto, 1979), pp. 601-603
  36. Da Asia de Joao de Barros e de Diogo de Couto,  nova edicao (Lisboa 1778) [limited edition reprint], Couto, vol. II pp. 216-217
  37. Sa, Documentacao  vol. 3, pp. 196 - 197
  38. Joao de Barros, Da  Asia vol. 7, p, 239; Couto, Da Asia vol. 11, p. 155.
  39. Jacobs, Treatise, pp. 319 - 321
  40. C. H. H. Wake, "The Changing Patterns of Europe's Pepper and Spice Imports, ca. 1400·-1700," Journal  of European Economic History  no. 2 {Fall 1979), pp. 393 - 395
  41. Francisco Colin and Pablo Pastells, Labor Evangelical. Ministerios apostolicos de los obreros de la Compania de Jesus, vol 3. New ed (Barcelona, 1900 – 1902), hal 41 
  42. Colin – Pastells , Labor......vol 3, hal 41 – 42; Commelin, voortgangh.....vol 3. First voyage Neck, hal 39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar