Kamis, 04 Juni 2020

Jaringan Perdagangan Lokal di Maluku Pada abad 16, 17 dan ke-18 (bag 2 - selesai)


Oleh
Leonard Yuzon Andaya


Sumber Peta : Artikel J. Solwijn Gelpke


PARA BUDAK

                Selain cengkih, salah satu item pertukaran terbesar dan paling menguntungkan adalah budak - budak. Perdagangan budak di bagian timur adalah hal yang telah kuno, yang sebagian besar terdiri dari orang-orang yang ditangkap dari desa-desa musuh, dijadikan pekerja di desa pemenang, dan sebagian dijual kepada pedagang asing. Sebagian besar penyerangan terkait dengan perseteruan, permusuhan, dan tuntutan agama, dan hal itu tidak pernah dianggap sebagai aktivitas murni ekonomi. Tetapi skala aktivitas perbudakan meningkat secara dramatis pada abad ke-17, untuk memenuhi tuntutan Belanda dan Spanyol untuk tenaga kerja di kota-kota mereka, dan di perkebunan yang didirikan Belanda di Banda, Ambon, Jawa Barat dan Tanjung Harapan (Afrika). Permintaan akan budak dari wilayah timur menjadi lebih kuat dengan keputusan VOC pada tahun 1689, yang melarang penggunaan budak dari daerah Butung, Melayu, Makasar, Bali, dan Jawa, karena catatan kekerasan terhadap tuan-tuan pemilik budak43. VOC (Belanda) sangat membutuhkan budak di Banda, karena penduduk pribumi telah dideportasi dengan paksa, dan budak dari Malabar dan kepulauan Papua didapati rentan terhadap berbagai jenis penyakit. Sementara Belanda berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan mengijinkan kaum burger dan mardijker mereka (budak-budak Kristen Asia yang dimerdekakan, yang berasal dari India) untuk perdagangan ini, dimana kelompok-kelompok mardijker bergantung pada jaringan lokal yang ada, untuk datang memasok budak yang diperlukan.
                Pedagang-pedagang utama budak di wilayah timur adalah penduduk kepulauan Seram Laut. Seperti Makasar, Seram Laut diuntungkan dari tindakan “sosial” mereka pada tahun 1624, ketika mereka mengirim kapal ke Banda untuk membantu penduduk melarikan diri dari tindakan pembasmian oleh Belanda (VOC)44. Pengalaman dan kontak orang-orang Banda di dunia perdagangan adalah faktor penting Seram Laut menjadi pusat komersial penting lainnya di timur pada abad ke-17. Pulau-pulau ini secara teratur dikunjungi oleh para pedagang Makasar, Melayu, Jawa dan Banten. Pada tahun 1632, orang-orang melaporkan melihat di salah satu pulau Seram Laut, sekitar 28 kapal, diantaranya 8 adalah milik orang Melayu, 6 milik orang Makasar, dan sisanya dari Banten, Jepara dan Bukit. Selain budak-budak, Seram Laut adalah titik distribusi ulang rempah-rempah dan massoi (kulit pohon tertentu yang digunakan untuk keperluan pengobatan), yang dibawa oleh penduduk pulau Seram Laut dari pantai-pantai pulau Papua. Rempah-rempah dibawa ke Seram Laut karena harga yang ditawarkan para pedagang ini, jauh lebih tinggi daripada yang ditawarkan oleh VOC (Belanda). Berbagai desa di Seram Laut memiliki pengaturan perdagangan khusus dengan desa-desa di Papua, yang menjamin perdagangan yang aman dan menguntungkan45. Pengaturan ini muncul karena kelompok-kelompok tertentu dari pulau Seram Laut adalah yang pertama mendarat di pulau itu, dan menganggap wilayah itu sebagai tempat perlindungan mereka46. Pada tahun-tahun tertentu, orang-orang Kiliwaru akan mengirim sekitar 10 kora-kora ke Uring dan Hotei (Hote/Hoti) untuk mendapatkan budak dan massoi, yang kemudian dijual kepada pedagang asing di Seram Timur. Para pedagang Seram Timur sendiri, berlayar ke kepulauan Raja Ampat dan pantai timur Halmahera untuk mencari budak, ambergis, burung cendrawasih dan rempah-rempah47

Penduduk Dorei, Papua (sumber buku J.L. Whitaker)
                Penghasilan dari bekerja keras diperoleh tidak hanya dari penjualan budak itu sendiri, tetapi dari praktik menebus individu-individu dengan jumlah yang cukup besar. Dalam satu kasus, orang Patani dan Gebe menyerang Hatile di Seram dan membawa mereka ke Rarakit di Seram Timur, dimana kerabat datang untuk menebus mereka48. Raja Tobunku pernah menukar 100 orang penduduknya untuk menebus saudara perempuannya yang ditangkap dalam sebuah penyerangan49. Ini adalah praktik-praktik yang dicatat oleh orang Portugis pada awal abad ke-16, dan terus menjadi praktik menguntungkan di abad ke-17 dan ke-18. Namun, pada periode terakhir, upaya Belanda untuk mengendalikan perdagangan dengan mengeluarkan izin bagi praktik perdagangan budak kepada kelompok tertentu, memaksa perdagangan dilakukan dengan cara yang lebih klandestin (bawah tanah) di daerah yang jauh dari pengawasan Belanda.
Salah satu rute pengoperasian perdagangan budak antara Onin di pesisir barat Papua dan Pulau Goram. Perahu orang-orang Ono secara teratur membawa budak ke Goram dan menjualnya seharga 25 – 30 real masing-masing dengan kain, dan untuk pisau dan pedang dari Tobunku. Meskipun Belanda ingin memanfaatkan pasokan budak ini, mereka tidak dapat pergi ke sana tanpa panduan, penerjemah dan restu dari para pemimpin pulau Goram. Pada satu kesempatan, mereka berhasil mencapai Onin dan diberi tahu bahwa para pedagang dari Goram telah mengambil semua budak yang tersedia50. Daerah utama perbudakan di Oni adalah Rumbati, dimana setiap tahun, 200 – 300 budak dapat diperoleh masing-masing dengan harga 10 pedang asal Tobunku. Para budak dijual oleh suku-suku pesisir non Muslim yang berperang, kepada para kepala suku dan orang-orang penting lainnya di sepanjang pantai Onin, yang merupakan kaum Muslim, terutama dari Seram Laut dan Tidore. Para penguasa Muslim inilah yang melakukan perdagangan budak dengan pedagang asing52. Orang-orang dari Seram Laut telah menandatangani perjanjian perdagangan dengan suku-suku Papua melalui pertukaran senjata, sehingga menciptakan sosolot, atau wilayah pengaturan perdagangan khusus53. Goram, Kiliwaru, Geser, dan Keffing adalah salah satu pemukiman paling aktif  yang terlibat dalam perdagangan intra-Asia. Yang lainnya adalah Rarakit, yang pada pertengahan abad ke-17, digambarkan oleh Belanda sebagai “sarang perompak yang melayani orang Papua dan Tidore sebagai tempat perlindungan dan pasar”54. Pedagang dari pulau Saparua juga pergi secara teratur ke Onin, untuk mendapatkan budak, tetapi koneksi Seram Timur – Papualah yang memiliki andil besar dalam pasar ini55.
Jaringan budak lain menghubungan Papua, 4 kerajaan Raja Ampat (Salawati, Waigeu, Waigama, dan Misool), Gebe, Gamrange (Maba, Patani, Weda), dan Tidore. Jauh sebelum Inggris menemukan pentingnya Gebe, wilayah itu merupakan perantara yang berguna untuk melayani pelabuhan dan penduduk Pulau Papua. Pada abad ke-17, masih dianggap sebagai pulau dengan tidak ada yang ditawarkan, kecuali pasar untuk barang-barang dan kepulauan Papua. Ketenaran Gebe sebagai penguasa Papua dengan cepat dibayanyi oleh Patani. Sebagai salah satu dari pulau-pulau Gamrange, Patani secara tradisional merupakan “anak tengah” dari 3 bersaudara yang datang untuk menemukan pemukiman ini. Dalam tradisi-tradisi rakyat, Maba dikenal karena keberaniannya, Weda karena sumber daya alamnya, dan Patani karena “pengetahuannya” (esoterik)56. Reputasi Patani sebagai pemiliki kekuatan khusus, mungkin menjadi faktor di tempat khususnya di antara pulau-pulau Gamrange dan di antara para subjek Tidore yaitu orang Papua. Pada abad ke-17, Sangadji Patani-lah yang diberi tugas oleh Sultan Tidore untuk mengunjungi pulau-pulau Papua untuk mengumpulkan upeti bagi Tidore. Kapanpun orang Papua diperlukan untuk ekspedisi apapun, Sangadji Patani yang memanggil mereka terlebih dahulu ke Patani sebelum mereka melanjutkan aktivitasnya57. Serangan ke pantai Seram, Ambon, Aru-Kei, Tanimbar, Butung, Sulawesi, dan pulau-pulau lainnya, sering merupakan gabungan Papua dan Gamrange, dibawah kepemimpinan salah satu Sangadji Gamrange, biasanya dari Patani.
Karena hubungan kepercayaan yang khusus antara Gamrange dan Raja Ampat, Gamrange sering memberikan pinjaman /kredit kepada Raja Ampat untuk produk-produk tertentu58. Sistem ini bekerja dengan sangat baik, menjadikan Gamrange sebagai sumber utama barang Papua, terutama budak. Belanda kagum pada banyak jenis kain yang ditemukan di Gamrange, yang utamanya ditujukan untuk wilayah Papua sebagai barang pertukaran59. Orang-orang Weda pergi secara teratur ke pulau-pulau Raja Ampat, dengan menawarkan pakaian, peralatan besi, dan pernak-pernik untuk kulit penyu dan budak. Mereka kemudian menjual produk-produk ini kepada para pedagang Tidore yang berbasis di Weda60. Patani diharapkan untuk menyediakan tikar-tikar sabut, pedang, dan keset sebagai penghormatan, tetapi pada awal abad ke-18, barang-barang itu mampu ditawarkan sebagai pertukaran budak, kulit penyu, kain, burung cendrawasih, dan emas karena link-link ini ke wilayah Papua. Penduduk pulau Raja Ampat memperoleh produk-produk mereka melalui relasi dengan berbagai suku pesisir di Pulau Papua. Setiap tahun, sejumlah besar kapal-kapal Papua dari Raja Ampat pergi ke Gamrange, membawa budak, massoi, pala, peralatan besi, dan pernak-pernik. Barang-barang dan budak-budak dari penduduk pulau Papua ini kemudian dijual oleh orang-orang Gamrange kepada banyak orang Tidore yang pergi ke sana untuk berdagang61.
Jaringan budak yang terpisah, beroperasi di wilayah Ternate. Di utara pemukiman kembar, Gorontalo-Limboto, dijual budak sebagai barang yang disita dari kelompok-kelompok tetangga dan dari pulau-pulau lain. Budak-budak ini dibawa ke 2 pusat utama di wilayah kekuasaan Ternate : Banggai dan Tobunku. Orang Bugis dari Malaka datang ke Tobunku dengan jaminan akan pasokan budak karena mereka dapat mengandalkan istri lokal mereka untuk mengatur kesepakatan yang menguntungkan62. Orang Bugis yang berbasis di Sulawesi Selatan sendiri menggunakan rute utara dan menjualnya baik di Tobunku, Banggai, atau pelabuhan Toli-toli di Sulawesi Utara. Belanda yakin, bahwa Toli-toli adalah pusat perdagangan yang menonjol karena kehadiran begitu banyak pernis dari Vietnam Utara, porselin dari Cina, dan barang-barang lainnya. Belanda beralasan bahwa barang-barang impor yang kaya seperti itu, tidak mungkin dibeli dari hasil produk-produk sendiri yaitu kulit penyu, sagu, dan kulit lawang (sejenis kayu manis). Diduga, perdagangan budak adalah salah satu sumber pendapatan yang menguntungkan bagi Toli-toli63.
Sebuah keputusan oleh VOC untuk mengeluarkan surat izin hanya kepada kaum burgher Belanda dan Mardijkers untuk pergi ke timur, untuk mendapatkan budak, menyebabkan ketidaknyamanan sementara untuk pedagang lokal. Pada tahun 1678, orang-orang Maluku mengeluh bahwa mereka hampir tidak bisa memenuhi kebutuhan karena mereka kehilangan hak untuk beraktivitas dalam lalu lintas perdagangan budak. Mereka berpendapat, bahwa mereka dapat menghasilkan lebih banyak dengan menjual satu budak kepada seorang kaum burgher, daripada menjual hasil 3 tahun bekerja di ladang64. Namun, seperti dalam pembatasan VOC pada penjualan rempah-rempah, para pedagang pribumi segera menemukan cara untuk “melanggar” peraturan yang diberlakukan Belanda, dan terus mengejar pertukaran yang menguntungkan pada perdagangan budak.

Kain India (Sumber gambar : Buku Giorgio Riello)


KAIN

Permintaan yang kuat untuk cengkih dan budak dari kelompok-kelompok Eropa dan Nusantara yang bersaing, membuat para penguasa Maluku mendapatkan kain India dan peralatan besau, yang merupakan barang yang sangat diinginkan di wilayah tersebut. Kontrol atas redistribusi objek-objek bernilai ini, memberikan peluang bagi Ternate dan Tidore menghubungkan banyak komunitas terpencil lebih dekat ke wilayah pusat. Pada awal abad ke-16, Tom Pires mencatat bahwa pedagang Jawa dan Melayu berhenti di Sumbawa dan Bima untuk mendapatkan pakaian lokal untuk pasar di Maluku. Kain kasar dari Cambay, beragam motif yang bagus dari Coromandel sama-sama dihargai65. Kain yang lebih halus dicadangkan untuk acara-acara khusus, sementara kain kulit loka dan kain kasar yang diimpor, hanya untuk penggunaan sehari-hari. Orang maluku membuat kain dari kulit pohon dengan merendamnya, dan kemudian memukulnya dengan palu pada sepotong kayu. Dengan cara ini, kulit kayu diregangkan dan dibuat tipis, yang secara lokal dikenal sebagai fisas yang merupakan kain kasar, dan beberpa kain halus juga terbuat dari kulit kayu. Untuk bagian atas tubuh, pakaian kulit kayu digunakan seperti ponco. Itu dibuat menjadi kain persegi empat dengan lubang ditengah untuk kepala, dengan “sayapnya” jatuh dibagian depan dan belakang. Untuk tubuh bagian bawah, pakaian kulit kayu dikenakan di pinggang dan di antara kaki. Kain juga dibuat dari tanaman kapas dan kulit semak lainnya yang dipelintir untuk membuat benang untuk menjahit dan menenun. Kain katun halus digunakan terutama untuk menghiasi pakaian dari kulit kayu itu66. Penggantian kulit kayu secara bertahap oleh kain impor India dan Bima, membebaskan para wanita dari proses pembuatan kain yang tidak pernah berakhir, dan mengalihkan energi mereka ke ativitas ekonomi lain untuk memungkinkan mereka mendapatkan kain impor. 

Kain India (Sumber : Disertasi Ruudtje Laarhoven)
Ada pasar yang bagus untuk pakaian, dan dalam satu contoh, penguasa Gresi membeli beberapa kain mahal dari Asia Barat dengan tujuan dijual kembali di Maluku67. Bagi banyak orang Maluku, kepemilikan kain memiliki tujuan lain selain yang fungsional semata. Jika mereka menerima pembayaran dalam bentuk kain dari orang Belanda (VOC), pertama-tama mereka menyerahkannya kepada Sultan “sebagai tindakan penghormatan”.  Orang Belanda menggambarkan proses dimana Sultan menahan sepotong kain untuk dirinya sendiri untuk membeli sirih-pinang (bahan untuk mengunyah sirih), dan mengembalikan sisanya kepada individu-individu. Apa yang tampak bagi orang Belanda sebagai kasus sederhana dari tindakan penghormatan itu, adalah fenomen yang lebih kompleks. Apa yang diilustrasikan oleh kejadian itu, adalah berlakunya kembali ide kuno, yaitu ide pertukaran masyarakat Austronesia yang melibatkan kain tapa yang berkualitas baik. Kain itu disajikan kepada pemimpin/penguasa, yang mana penanganan fisik pada kain itu, seperti proses “mengisi” kain itu dengan kekuatan spiritual yang dimiliki oleh pemimpin/penguasa. Kain yang telah memiliki kekuatan spiritual itu, kemudian didistribusikan kembali ke pihak pemberi dan diterima sebagai sumber manfaat dan perlindungan yang sakral.
Sebagian besar kain disimpan untuk digunakan pada pemakaman, untuk mas kawin, dan sebagai hadiah khusus untuk individu. Pada satu titik di abad ke-18, Sultan Tidore menjadi tertekan dengan keputusan Gubernur Belanda, yang mencegah rakyat Tidore membeli kain di gudang kompeni. Yang ditakuti penguasa adalah, bahwa jika ada di antara anak-anak dari kerajaan yang meninggal, tidak ada kain yang cukup untuk penguburan, dan karenanya membuatnya sangat malu68. Meskipun kain India tidak lagi memiliki kaitan langsung dengan kulit kayu kayu ke pohon suci darimana ia dibuat, signifikansi dari pretasinya masih tetap tertinggal. Jenazah-jenasah itu sekarang dibungkus dengan kain impor, bukan dalam gulungan kulit kayu69. Di antara penduduk asli Papua, hubungan kain dengan kekuatan suci, juga sangat jelas. Ketika kapal kembali dari rak, atau ekspedisi penyerangan dan penyerbuan ke luar daerah, perjalanan pulang kembali ke rumah itu berakhir dengan pemandangan para pemimpin utama ekspedisi itu duduk di tengah kapal di atas peti pakaian mereka. Orang-orang terkemuka di desa duduk di atas peti pakaian mereka ketika menerima tamu dan orang-orang mereka sendiri dalam sebuah resepsi terkenal, karena kehadiran kekuatan besar (nanek), sering disamakan dengan konsep mana70

Kain India (sumber Disertasi Ruudtje Laarhoven)
Selama wilayah pusat tersebut mendapat manfaat dari perdagangan rempah-rempah, ia dapat membeli kain untuk penggunaannya sendiri dan untuk didistribusikan kembali ke wilayah pinggiran. Ketika Belanda memperkenalkan kebijakan pemberantasan pada pertengahan abad ke-17 untuk mengendalikan produksi rempah-rempah, Belanda mengikis sumber pendapatan utama di kerajaan-kerajaan Maluku. Kompensasi Belanda sering dibayar dengan kain, tetapi jumlahnya hampir tidak pernah cukup untuk memenuhi permintaan pihak kerajaan atau untuk didistribusikan kembali ke wilayah pinggiran. Ancaman terhadap relasi pusat-pinggiran yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut, mengarah pada dorongan cara lain untuk menjual rempah-rempah di luar sistem Belanda yang terbatas. Tetapi, sementara pengaturan alternatif dapat dikembangkan di wilayah pinggiran, hal ini jauh lebih sulit diterapkan di wilayah pusat, dimana Belanda memiliki pos-pos yang permanen. Belanda mulai memperhatikan bahwa, karena orang-orang Tidore tidak bisa lagi menjual cengkih mereka, mereka sekarang mencari kerja sambilan dengan Belanda atau menjual persediaan makanan ke benteng dan pemukiman Belanda untuk dapat membeli kain dari gudang kompeni. Karena pakaian sangat diminati baik untuk penggunaan praktis maupun untuk tujuan ritual, orang-orang Maluku harus menentang Belanda dengan terlibat dalam perdagangan “ilegal” cengkih untuk mendapatkan pakaian.

Jaringan Perdagangan (sumber Artikel C.R. Boxer)

BESI

Selain kain, barang lain yang sangat dihargai yang diperdagangkan untuk ditukar dengan cengkih dan budak adalah besi. Peralatan dari besi sangat kuaat, dan sangat memudahkan tugas membersihkan hutan dan mengolah tanah, sementara panah dan tombak berujung besi, jauh lebih unggul daripada yang terbuat dari bahan lain. Tobunku dan kepulauan Karimata adalah 2 sumber utama besi untuk Maluku. Ketika Gubernur Belanda, Padtbrugge mengunjungi Tobunku sekitar tahun 1678 dan 1679, ia menggambarkan Tobunku sebagai wilayah yang memiliki jumlha besi yang luas dan mudah mengaksesk kualitas besi. Masyarakat tidak mengganggu hingga pedagang datang dan membayarnya dengan kain. Baru pada saat itulah, penduduk setempat mengambil besi dari pegunungan dan dan melelehkannya menjadi pisau, pedang dan kapak71. Orang-orang dari Butung, dengan mungkin beberapa orang Tobunku adalah mereka yang membawa alat-alat besi yang sangat berharga dari Tobunku ke Keffing di Seram Timur, dan ke daerah-daerah di sekitarnya72. Karena keuntungan besar yang didapat dari perdagangan besi, Tobunku tidak mau mentolerir pesaing. Sultan Luwu di Sulawesi Selatan menyatakan khawatir bahwa Tobunku akan menyerang Matano di perbatasan utara kerajaannya yang “kaya dengan tambang besi” dan sumber pendapatan Luwu73. Luwu sebelumnya menjadi sumber zat besi, karena zat besinya memiliki campuran khusus dengan nikel yang ditemukan sangat idela untuk pembuatan keris. Pada abad ke-17 dan ke-18, Tobunku menjadi pemasok utama besi bagi Ternate dan pulau-pulau di bagian timur lainnya. Sebagai vasal dari kesultanan Ternate, Tobunku menjadi pemasok utama besi bagi kerajaan penguasanya, memungkinkannya menciptakan dan menegaskan kembali hubungan dominan dengan wilayah-wilayah terpencilnya74

Raja Ampat (Sumber Buku Arthur Wichman)
Sumber utama besi lainnya di kepulauan ini adalah kepulauan Karimata. Banyak dari besi Karimata dibawa ke Palembang dan kemudian dibawa ke bagian timur oleh para pedagang Melayu dan Bugis, yang menukarnya dengan rempah-rempah dan budak. Pada suatu kesempatan, Belanda menyesali kenyataan bahwa kegagalan mendapatkan kapak dan pisau Karimata (parang), telah merusak perdagangan kayu cendana mereka di Timor. Mereka juga berkomentar pada kenyataan bahwa kapak dan parang asal Karimata, yang dibuat di Belitung dan kepulauan Karimata, trutama diinginkan oleh “pulau-pulau dibelakang Banda”, yang berarti adalah kepulauan Papua75. Di Onin, orang Papua bersedia memperdagangkan masing-masing budak dengan harga 20 rijksdaalders untuk pedang Tobunku dan kapak Karimata76. Semua wilayah Papua di kepulauan atau pesisir dari daratan Papua Nuigini bersemangat mencari besi untuk senjata dan peralatan kerja, dan tanpa besu sulit bagi pedagang asing untuk mendapatkan budak.
Peralatan dari besu sangat bernilai sehingga pembawa besi dianggap memiliki kekuatan khusus. Bahkan pada abad ke-20, di daerah Sawiet dan Mejprat di Papua, ada istilah khusus yang berarti “manusia kapak”, yang merujuk pada agen pesisir atau perantara yang memasok kapak dan kampak kepada orang-orang pegunungan di pedalaman. Karunia dari besi adalah gerakan yang sangat kuat sehingga kapak ini dikatakan mempertahankan hak hidup pengguna selama keberadaan kapak. Potensi spiritual ini terkait dengan besi dan benda-benda yang dibuat darinya, tercermin dalam kelompok Papuan lainnya, Von, dimana istilah untuk “manusia kapak” juga merujuk pada “ tukang obat” yang mengelola pengetahuan rahasia dari kelompok-kelompok pesisir asing. Asal mula orang asing ini ditunjukan oleh mitos dari Mejprat yang menceritakan tentang mereka menikahi wanita Mejprat, menetap, dan membawa peradaban superior ke “orang-orang liar berbulu, bodoh dan dungu” di pedalaman77.
Hubungan besi dengan wilayah-wilayah pusat dominan yaitu Ternate dan Tidore, sangat eksplisit dalam tradisi Maluku. Galela di timur laut Halmahera menghubungkan pengenalan besi ke Ternate, dan menghubungkan peristiwa yang mengesankan itu dengan awal hubungan istimewa mereka. Pembawa besi dianggap sebagai mitra superior, memberikan sebuah item nilai praktis dan bergengsi yang tinggi kepada Galela78. Tidore, tetapi lebih khusus pemukiman Toloa, dikatakan sebagai sumber ketrampilan menempa besi. Seorang pandai besi diyakini memiliki kekuatan khusus yang memungkinkannya untuk memanfaatkan sifat-sifat suci dari bijih untuk menghasilkan benda-benda yang bekerja dengan keajaiban. Oleh karena itu, Tidore dipandang sebagai “asal” dari kekuatan-kekuatan kuat yang ditransmisikan melalui peralatan besi yang dibuat. Bagi orang-orang Papua, penguasan Tidore atas besi yang bekerja secara ajaib, memperkuat tradisi mereka yang lain yang menghubungkan Tidore dengan kekuatan mitos yang terkait dengan sumber dari banjir di “dunia bawah”79.
Di daerah Papua, yang menerima ketrampilan suci menempa secara tidak langsung dari Tidore, kata “api” digunakan untuk menunjukan konsep kesucian dan marabahaya. Kesucian besi terbukti dalam namanya, romawa forja, yang berarti “anak api”, dan tukang besi melalui hubungan itu melakukannya dengan rasa hormat. Seni merka dipandang sebagai perpaduan dari unsur-unsur teknis, magis dan ritual80. Penyebaran penempaan besi dari Tidore tampaknya merupakan bagian dari perluasan Tidore ke tenggara Halmahera, Seram, pulau-pulau Papua, dan pesisir-pesisir kepala burung di Papua. Di daerah ini, ketrampilan pandai besi dikaitakn dengan Tidore melalui area seperti Patani dan Gebe. Merupakan hal penting, bahwa pandai besi di Biak, Dore, dan Numfor dilarang makan daging babi81. Ini menunjukan bahwa, mungkin besi diperkenalkan bersamaan dengan Islam dan aspek-aspek lain dari “budaya Tidore”, yang menyertai ekspansi Tidore ke wilayah pinggiran. Orang-orang akan melihat korelasi langsung antara sifat-sifat suci dari besi dan kekuatan spiritual wilayah pusat, yang menegaskan posisi khusus Ternate dan Tidore di dunia Maluku.

Perdagangan bulu Cendrawasih (sumber buku J.L. Whitaker)


PENGATURAN ULANG ORANG LOKAL
TERHADAP PEMBATASAN VOC

Pada tahap-tahap awal pengenalan kebijakan pemberantasan dan langkah-langkah untuk membatasi perdagangan budak bagi kaum burger dan Mardijker, jaringan perdagangan pribumi mengalami beberapa ketidaknyamanan dan kehilangan pendapatan sementara. Tetapi sebagai tanggapan terhadap pembatasan VOC yang tidak disukai dan sewenang-wenang ini, penguasa Ternate dan Tidore mendorong perdagangan klandestin di pelabuhan lain di luar wilayah Belanda, seperti di Seram Timur untuk Tidore dan Tobunku untuk Ternate. Di beberapa wilayah Ternate, koloni yang didirikan oleh keluarga-keluarga terkemuka di awal abad ke-16, menjadi sumber andal dari barang-barang yang diinginkan. Koloni-koloni ini di Buru, Hoamoal,, Hitu dan Sula Besi mengatur aliran barang ke Ternate. Di pinggiran Tidore, Gamrange dan penduduk pulau Papua membawa rempah-rempah, ambergris, dan kulit penyu ke pelabuhan Goram, Kiliwaru, Geser, dan Rarakit di Seram Timur. Barang-barang itu ditukar dengan bubuk mesiu, timah, peralatan besi, patola, dan jenis kain lainnya yang dibawa terutama oleh pedagang Bugis, Melayu, Jawa dan Butung. Jika pedagang dari barat Nusantara tidak muncul, mereka dari Seram Timur membawa barang-barang ke Timor dan Larantuka. Kadang-kadang para pedagang Seram Timur pergi langsung ke Gebe, yang telah menjadi pusat redistribusi aktif pada abad ke-18, untuk membeli pala dan bunga pala dengan kain, rantai emas dan budak82.
Mekanisme pertukaran di wilayah Tidore, rumit dan bergantung pada pengaturan khusus. Hubungan khusus Gamrange dengan Raja Ampat bergantung pada hubungan langsung Raja dengan berbagai pemukiman pesisir di daratan Papua. Selain itu, ada berbagai komunitas di Seram Timur yang memiliki pengaturan pribadi dengan komunitas di Papua. Pernikahan campuran menciptakan kelompok perantara campuran yang menjadi terkemuka dalam perdagangan antar pulau. Para pedagang Belanda menemukan agen perdagangan berdarah campuran, yang disebut sebagai “orang papua”, yang menerima pembayaran uang muka berupa pisau, kain, gula aren, dan beras untuk mendapatkan masoi, pala, dan budak dari suku pedalaman. “Orang Papua” ini memiliki kedudukan tinggi di masyarakat karena akses mereka terhadap benda asing yang diinginkan, pakaian, perlatan besi, dan kemudian gelar yang diberikan oleh Sultan Tidore karena penyediaan barang-barang upeti. Pada tahun 1734, Sultan menyerahkan kepada Kapita Laut Waigama kehormatan dalam bentuk kancing untuk celana panjang, 26 kancing perak, dan tongkat bergagang perak. Pedagang di Maba pada abad itu memiliki gelar Muslim/Tidore yaitu hukum, seperti gelar/pangkat militer Portugis yaitu cabo dan merinyo. Dalam periode berikutnya, gelar-gelar Tidore seperti kolano, jojau, dan sengadji atau gelar-gelar Portugis seperti mayor, kapitan juga digunakan pada kelompok ini83.
Karena kedekatan pos terdepan Belanda di Ternate, baik Ternate maupun Tidore merasa semakin sulit pada pada abad ke-18, karena pembatasan yang diberlakukan. Ketidakmampuan mereka untuk mempertankan pasokan barang-barang kain dan besi yang andal ke wilayah pinggiran, menyebabkan peningkatan pentingnya Seram Timur dan Tobunku sebagai pusat perdagangan utama untuk wilayah Ternate dan Tidore. Pada dekade kedua abad ke-18, orang Papua membawa barang-barang mereka ke Keffing, dimana ada sumber kain dan besi yang murah dan terjamin. Pada 1721, Sultan Tidore meminta dari Belanda uang muka dari kompensasi tahunannya, untuk diberikan dalam bentuk pakaian India, sehingga ia dapat mengirimnya ke daerah-daerah Papua. Permintaan semacam itu mengungkapkan hubungan ekonomi yang memburuk antara wilayah pusat dan pinggiran, yang merongrong mitos ideal persatuan dunia Maluku.
Gangguan lebih lanjut dalam hubungan antara wilayah pusat dan pinggiran Maluku adalah, desakan kompeni bahwa wilayah terluar harus tunduk pada kebijakan pemberantasan. Intrusi ini tidak hanya karena mengancam mata pencaharian mereka yang ada, tetapi juga karena tenaga kerja yang diminta dari mereka atas nama penguasa mereka, tidak dibalas dengan hadiah kain dan besi seperti di masa lalu. Tetapi tanpa hadiah kain dan besi (atau yang setara), sebagai kompensasi untuk tenaga kerja dalam kampanye pemberantasan, pertukaran sebagai tindakan sentral dan penting membangun hubungan yang mengikat wilayah pusat dan pinggiran tidak lengkap, yang mengarah ke tahap kesalahpahaman dan bahkan pemberontakan.
Ketika abad ke-18 berlalu, kompeni menjadi lebih ngotot daripada sebelumnya dalam mempertahankan “ketertiban” di wilayah Tidore dan Ternate, dan dengan demikian meminjamkan kapal, orang, dan senjata untuk “membantu” para penguasa ini dalam hal menekan wilayah-wilayah vasal kerajaan. Efek dari jaminan dukungan Belanda untuk wilayah pusat adalah untuk mengasingkan wilayah pinggiran. Wilayah pinggiran menjadi mengabaikan tuntutan dari wilayah pusat dan berusaha untuk mempertahankan sendiri, terutama dalam memperoleh barang-barang yang dilarang Belanda. Meskipun Belanda berkeliling Halmahera dan sering memberi peringatan dengan para penguasa untuk mengendalikan “aksi penyelundupan” rakyat mereka, hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk mencegah perdagangan ini. Kompeni tidak memiliki sumber daya, dan penguasa Maluku takut mengambil resiko pemberontakan lebih lanjut. Oleh karena itu, pada abad ke-18, terlihat penurunan ekonomi di pelabuhan Ternate dan Tidore, tetapi terjadi peningkatan besar dalam perdagangan di wilayah pinggiran.


KESIMPULAN

                Pada abad ke-16, 17 dan ke-18, wilayah pusat dan pinggiran Maluku telah membentuk serangkaian jaringan perdagangan rumit, yang melibatkan pedagang dari dalam dan luar Maluku. Apa yang dimulai dengan dimulai sebagai sebuah mitos, komunitas keluarga yang berdagang satu sama lain telah berkembang menjadi perdagangan intra-regional yang berkembang dengan munculnya berbagai simpul penting. Baik Ternate dan Tidore terus menarik proses perdagangan sebagai hasil dari kemampuan mereka untuk mempertahankan kendali atas pasokan utama cengkih dan budak. Dengan perdagangan ini, muncul kemampuan untuk mengimpor kain dari India dan Nusantara, peralatan besi dari Karimata dan Tobunku, dan barang-barang prestise lainnya dalam permintaan di Indonesia Timur. Tetapi dengan diperkenalkannya kebijakan pemberantasan oleh Belanda (VOC) dan pembatasan perdagangan lainnya, baik Ternate dan Tidore harus menyesuaikan kembali hubungan mereka dengan Belanda, untuk memastikan pasokan barang yang diinginkan wilayah pinggiran mereka. Tuntutan baru yang dibuat di wilayah-wilayah pinggiran, jauh melebihi manfaat yang sekarang mereka terima dari wilayah pusat. Ketidakseimbangan tersebut menghasilkan sikap kebencian di wilayah pinggiran, tetapi juga dorongan untuk mencari sumber baru untuk mendapatkan kain, besi, dan barang-barang lain yang diinginkan. Hal ini menyebabkan terciptanya jaringan perdagangan baru yang luas, yang dihubungkan oleh pelabuhan-pelabuhan sekunder yang melewati pelabuhan-pelabuhan milik Belanda, dan bekas pelabuhan-pelabuhan pusat di Ternate dan Tidore

==== selesai ====

Catatan Kaki
43.     W. Ph. Coolhaas, ed., Generale Missiven, vol. 5 (1686 -1697) 's-Gravenhage, (1975), Camphuys, 30 Dec. 1689, hal. 300.
44.     Ibid., hal. xvii.
45.     Elmberg distinguishes between a "trade friend," which requires a ceremonial exchange containing a ritual element for both and precludes intermarriage; and a "trade agent," which involves no ritual element and allows intermarriage between the partners. John-Erik Elmberg, Balance and Circulation: Aspect of Tradition and Change among the Mejprat Irian Barat (Stockbolm, 1968), p. 128.
46.     F. C. Kamma, "De verhouding tussen Tidore en de Papoese eilanden in legende en historie," Indonesie I, no. I (July 1947), part 2, p. 551.
47.     Bouwstoffen. vol. 2, pp. 244.
48.     VOC 1483, Report to Rumphius by the Orang Kaya Sargile of  Hatilen concerning the Papuan pirates, 18 July 1689, n.p.
49.     VOC 1461, Letter from Kaicili Sibori Sultan Amsterdam to Batavia, included in missive 30 June 1689, fol 275v
50.     Coolhaas, Generale Missiven, vol. 2 (1639-1655), Reniers, 24 Dec. 1652, p. 679: Maetsuycker, 7 Nov. 1654, p. 749.
51.     Ibid., voL 3 (1655-1674), Maetsuycker, 26 Dec. 1662, p. 408.
52.     A. Haga, Nederlandsch Nieuw-Guinea en de Papoese Eilanden, volume 1 (Batavia 1884) hal 80 -81
53.     Ibid, hal 120 – 121, 191
54.     Ibid, hal 61
55.     Coolhaas, Generale Missiven, vol. 4 (1675 - 1685), Van Goens, 29 April 1681, hal 431, Tiele, Bouwstoffen. vol. 2, hal. 242
56.     Interviews conducted with local historians in the Gammnge in January, 1988.
57.     VOC Ternate to Batavia, 6 August 1664, fo1. 1773.
58.     VOC 1690, Report on mission to 25 Oct. I fok 207-208.
59.     VOC 1675, Diary of Hofman in the Gamrange, under date 14 Aug. 1703, fol. 314; VOC 1690, Ternate to Batavia. 17 June 1704, fol. 40
60.     VOC 1662, Report on extirpatie expedition to Weda. 10 Sept 1702, fols. 517-518.
61.     VOC 1662, Report on extirpatie expedition to Weda, 10 Sept. 1702, fol. 539.
62.     VOC 1376, Memorie van R. Padtbrugge, 31 August 1682, fols. 320r 323r.
63.     Ibid. Folio 314r : VOC 1345, Report by Joannes Francen in Menado to Gov. Padtbrugge in Ternate, 24 Des 1678 folio 456, 463-470: VOC 1336 Register of Ft. Orange, under date 31 Jan. 1678, fol 252 – 253
64.     VOC 1345, Papers of Gov Padtbrugge on his journey through Maluku from 1 Agustus 1678 – 8 Maret 1679, fol 239
65.     Cortesao, Suma Oriental, volume 1, hal 203,206, 216
66.     Gabriel Rebelo, Informacao sobre as Malucas teks 2 (1569) in Sa, Documentacao, volume 3, hal 375-376; Jacobs, Treatise, hal 51,55,77
67.     M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence (s,Gravenhage, 1962), hal 96
68.     New VOC 2313, Letter from the sultan Tidore to the Dutch in Ternate, received 12 Juli 1734, fol 56
69.     The association of barkcloth with spiritual potency is also found in Pacific island societies. In Fiji, bodies were wrapped in mats and sheets of tapa cloth before being buried. After the ritual mourning period, bales of tapa cloth were distributed on behalf of the deceased to preserve their memory. This tapa cloth was associated with the gods since tapa was made from a sacred tree. In Tahiti a priest serving as a medium for a was wrapped in long rolls of tapa. These long rolls of tapa were also symbols of a status of chiefs, who were regarded as having divine links. See Simon Kooijman, in Indonesia, Bishop Museum Bulletin 234 (Honolulu, 1972), pp. 414, 446.
70.     F. C. Kamma, "The Incorporation of Foreign Culture Elements and Complexes Ritual Enclosure among the Biak-Numforese," in Symbolic Anthropology in the Netherlands, eds. P. E. de Jossellin de Jong and Erik Schwimmer (s-Gravenhage), I p.75
71.     VOC 1345, Papers of Padtbrugge on his through Maluku, 1 Aug. 1678 to 8 March 1679. fols. 285-286.
72.     VOC 1516, Report of Dutch mission to Tidore, 3 June 1692. fols. 453v-454r.
73.     VOC 1535, Ternate to Batavia, 25 June 1693, fols. 307v-308r.
74.     In Ternate, Tobunku weapons were so widely used that in the late seventeenth century Fram;ois Valentijn commented on a Tematen war dance being performed using Tobunku swords. Fram;ois Valentijn Oud en Nieuw Oost-Indien, vol. 3 (Amsterdam, 1724-1726), p. 95
75.     Coolhaas, Generale Missiven, vol. 4 (1675-1685), Maetsuycker, 24 Nov. 1677, p. 191
76.     Oud en Nieuw, vol. 3, p. 57
77.     Balance, p. 134.
78.     N. Ishige, "Limau Village and Its Setting," in The Galela of Halmahera A Preliminary ed. N. Ishige (Osaka, 1980), p. 7
79.     F. C. Kamma, Koreri, Messianic Movements in the Biak-Numfor Culture Area  (s-Gravenhage, 1972), p, 95.
80.     F. C Kamma and Simon Kooijrnan, Romawa Forja, Child of the Fire.' Iron and the Role of Iron in West New Guinea (West Irian) (Leiden, 1973), pp. 25,40.
81.     VOC 1662, Report on extirpatie expedition to Weda, to fol. 539.
82.     VOC 1662, Ternate to 15 Sept. 1702, fol. 359-360: VOC 1675, Secret Missive Ternate to Batavia, 20 Sept. 1703, fol 174; VOC 1690, Report by van der Laan on mission to Gebe, 25 Oct. 1703, fols. 208-211; voe 1690, Ternate to Batavia, 17 June 1704, fol. 40.
83.     New VOC 2313, Letter from Sultan 12 July 1734, fol. 54; New VOC 2313, Letter from Sowohi Tidore, 2 1734, fol. 309; Elmberg, Balance, pp. 127-128.
84.      VOC 1979, Letter from Sultan Tidore 16 Sept  1721. Fol 95.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar