Minggu, 07 Juni 2020

MATA AER PERKARA (Legenda dari Negeri Saparoea)


Pengantar

                Cerita di bawah ini, adalah salah satu legenda dari Negeri kami, negeri Saparua. Cerita ini telah diceritakan oleh nenek dan kakek kami, saat kami masih kecil. Kisah ini diceritakan karena rasa “penasaran” kami sebagai anak kecil terhadap beberapa tempat di negeri kami yang namanya “unik”. Ada 2 tempat yang kami maksud yaitu Mata Aer Perkara dan Durian Sandar Nona.
                Apa yang dikisahkan oleh nenek dan kakek kami, hanyalah cerita garis besarnya saja, bukanlah mendetail seperti kisah di bawah ini. Kisah itu terus bersarang di kepala hingga masa kini.
                Kisah itu, coba kami tulis dalam bentuk cerita pendek dan memasukan unsur imajinasi dalam hal dialog antar pelaku, nama-nama pelaku, konflik, penyelesaian, dan alur cerita yang kami gunakan. Hal itu kami lakukan karena pertimbangan teknis saja untuk memenuhi unsur “kesusastraan”.
                Tujuan dari penulisan kisah ini, agar sebagai anak-anak negeri Saparua, kita tidak melupakan sebuah legenda dari negeri kita, dan bisa mengambil “makna” dari legenda ini.
                Sekali lagi, nama-nama pelaku dalam kisah ini adalah rekaan kami, karena kisah yang kami dengar, pelaku-pelaku dalam kisah ini tidak “bernama” hanya jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Sehingga jika ada nama-nama familiar yang telah diketahui, itu hanyalah kebetulan belaka dan kami gunakan hanya dalam bentuk penceritaan ini.
                Akhirnya selamat membaca. Selamat mengambil manfaat dari kisah tragis ini.
 

MATA AER PERKARA
(Legenda dari Negeri Saparoea)

                                               I.             
Nyala api obor gemetar seperti menahan amarah di malam itu, di pekarangan tempat pertemuan Soa Latuwaelaiti (Simatauw). Soa Latuwaelaiti (Simatauw) itu sedang membicarakan hal penting. Beberapa jam lalu terjadi pembunuhan terhadap putri mereka. Aroma kebencian dan balas dendam memenuhi udara malam. Perdebatan di antara mereka saling mengalahkan yang lain. Teriakan kasar dari para lelaki dan suara bijak dari para tetua sambung menyambung. Suara tangisan dari beberapa perempuan pun terdengar didalam rumah. Ada kesedihan, duka yang bercampur dendam kesumat.
“Oh Tuhan…. Apa dosa kami, hingga putri kami dibunuh?” Sahele, ibu dari putri yang terbunuh bertanya di antara air mata. Di depannya, terbaring jenazah sang putri yang masih “basah”.
“Sudahlah bu, tak usah menyalahkan Tuhan seperti itu. Mungkin sudah nasib kita ditimpa kemalangan seperti ini.” suaminya berusaha menenangkan istrinya, meski tak bisa menyembunyikan raut duka.
“Tapi kenapa…. kenapa harus dibunuh?.... apa kau tak sedih kehilangan putri kita, putri yang kita bangga-banggakan, putri kita satu-satunya?” tanya Sahele dalam nada menuntut, tak puas dengan jawaban suaminya.
“Bu, bapak juga sedih atas kematian putri kita. Sebagai seorang ayah, bapak tak memungkiri ada rasa dendam karena kehilangan seperti ini, tapi bapak juga seorang pemimpin dalam soa ini, bu. Tolong mengertilah posisi bapak, bu!”
“Ibu, tak bisa menerima hal ini, pak! Apa kedudukan bapak lebih penting dari anak kita? Bukankah hukum kita, gigi ganti gigi, mata ganti mata?”
“Bu….”
“Apa anak kita tak berharga sama sekali, pak? Ibu, mengerti posisi bapak sebagai Kepala Soa, tapi bapak juga adalah seorang ayah, pemimpin dalam rumah ini, anak juga adalah segala-galanya bagi kita, dunia kita, Pak!”
“Bu, bapak  memahami kedukaan yang kita alami, namun sebagai Kepala Soa, bapak juga harus memikirkan orang lain, bu. Jika bapak menurutkan nafsu dan dendam, akan terjadi perang di negeri ini. Perang antar soa di Negeri Saparoea. Apa itu yang ibu inginkan?”
“Pak….”
“Bapak memahami segala dilema ini, bu. Namun jika perang atas nama balas dendam ini terjadi, apa bisa mengembalikan putri kita, bu? Yang terjadi adalah banyak yang menderita, bu”
“Tapi pak….”
“Sudahlah, bu…. Bersabarlah…. Mungkin ini rencana Sang Kuasa, bapak harus keluar untuk menemui para tetua dan anak-anak soa, jika tidak, mungkin bisa terjadi hal yang tak diinginkan”. Sambil memeluk istrinya, Majasang Simatauw, sang kepala soa Simatauw menenangkan istrinya, dan keluar sendiri. Betapa sulitnya seorang pemimpin, saat menghadapi masalah seperti ini. Apa yang harus aku lakukan dan pilih, kehormatan anakku atau kebaikan semua orang? Apa hukum perang “gigi ganti gigi, mata ganti mata” harus berlaku? Apa perang harus terjadi atas nama kehormatan putriku? Benturan emosi, kata hati dan pikiran logis terus bertempur dalam benaknya. Dengan menguatkan hati, keputusanku telah bulat dan aku akan menanggung segala resikonya, demikian keputusan yang telah diambil oleh Majasang Simatauw, sang Kepala Soa.
Perdebatan di antara mereka, anak-anak soa dan para tetua itu, terhenti saat melihat pemimpin mereka keluar. Meski dari tadi mereka berdebat keras, pada akhirnya mereka harus menunggu keputusan terakhir dari pemimpin mereka. Beberapa anak laki-laki  yang masih berusia muda, tetap ingin menjalankan hukum yang telah ada beratus-ratus tahun, demi nama baik kehormatan keluarga, yaitu perang untuk membalas dendam kematian saudara perempuan mereka, apalagi ini pembunuhan atas putri pemimpin mereka yang sangat dihormati. Di sisi yang lain, beberapa tetua mendukung anak-anak muda, sedangkan yang lainnya berpendapat sebaiknya menunggu Kepala Soa. Keputusan Kepala Soa adalah keputusan terakhir yang harus dilaksanakan. Mereka semua menunggu, apa yang akan menjadi keputusan pemimpin mereka. Keheningan masih tetap menyelimuti pekarangan rumah itu, diselingi suara tangisan yang terdengar dari dalam rumah. Udara malam kian dingin. Api obor yang terpancang di tiang bertiup lembut mengikuti arah angin yang menusuk. Malam yang penuh duka dan beraroma dendam.
Sambil mengedarkan pandangan ke semua orang, Majasang Simatauw, Kepala Soa Simatauw, memecah keheningan….
“Terima kasih atas kedatangan kalian semua. Terima kasih atas dukungan dan ucapan duka cita ini. Dukungan kalian membuat saya kuat menghadapi duka ini. Saya juga tahu, bahwa kalian hadir disini untuk membicarakan dan memutuskan apa yang harus kita lakukan selanjutnya. Sebagai seorang pemimpin, saya ingin mendengar pendapat kalian dalam masalah ini. Jika ada yang ingin memberikan pendapat, saya persilahkan”.
“Kita harus membalas dendam atas pembunuhan ini, Pak. Gigi ganti gigi, mata ganti mata.” Teriak Kirinyawa Simatauw, pemimpin pasukan perang Soa Simatauw dengan tegas namun tak sabar.
“Saya setuju pak! Kita harus perang demi kehormatan dan harga diri. Pembunuhan harus dibalas dengan pembunuhan”. teriak seorang anggota pasukan perang yang lain.
“Apapun alasannya, penghinaan ini harus kita balas. Perang adalah jawabannya, pak!” sambung yang lain dengan tekad yang tak mungkin lagi bisa ditawar.
“Kami siap perang, pak! Pasukan perang telah siap sambil menunggu perintah! Jika bapak memerintahkan, kita akan menyerang mereka lebih dulu!” Kirinyawa Simatauw meyakinkan Kepala Soa kalau mereka telah siap berperang.
“Boleh, jika saya memberi pendapat, Kepala Soa?” tanya Hirano Simatauw, seorang tetua adat yang juga adalah anggota dewan penasehat dalam soa itu.
“Silahkan Tua Hirano, saya ingin mendengar pendapat yang lain!” Majasang Simatauw, sang kepala soa berharap dalam hati, kiranya ada pendapat lain yang bisa jadi pertimbangan, sebelum dirinya mengambil keputusan terakhir, meski secara pribadi, ia telah mengambil keputusan.
“Saya berpendapat, balas dendam ini harus dilakukan. Kehormatan soa tetap harus dijaga. Kitalah yang harus memulai, karena kita berhak untuk itu. Anak mereka telah membunuh putri kita. Tak ada yang salah jika kita juga membunuh untuk membalas atas nama harga diri. Nyawa dibalas dengan nyawa. Kepala harus diganti dengan kepala. Jika harus terjadi perang antar soa, maka harus terjadi, kita punya alasan sah untuk itu!”.
“Tapi, mereka juga saudara kita, Hirano! Sudah lupakah kau, tentang sejarah negeri kita? Anak mereka memang membunuh anak kita, tapi kita tak bisa menyangkal, mereka adalah saudara kita juga, Hirano!” potong Kimilaha Simatauw, tetua yang lain, anggota dewan penasehat soa Latuwaeliti (Simatauw).
“Kimilaha, karena itulah! Jika anak mereka menganggap anak kita adalah saudara perempuannya, kenapa ia harus membunuh? Mereka telah melupakan sejarah negeri ini, sejarah persaudaraan para leluhur kita. Jika mereka telah lupa, apa kita harus tetap mengingatnya?” Hirano Simatauw, balik “menyerang” Kimilaha Simatauw.
“Saya mengerti Hirano, membunuh itu dosa, tapi ia juga punya alasan untuk membunuh putri kita. Apa dosa yang telah dilakukan anak mereka, harus dibalas dengan dosa yang akan kita lakukan, jika perang adalah satu-satunya jalan keluarnya? Lagipula, menurutku kita harus tetap memegang teguh ajaran hidup leluhur kita, meski dunia ini runtuh sekalipun. Sejarah leluhur  yang telah membentuk, dan mewariskan negeri ini buat kita, tak bisa kita lupakan begitu saja”. Kimilaha Simatauw tetap teguh dengan segala argumentasinya.
“Tapi ini pembunuhan, Kimilaha! Bagaimana jika itu terjadi pada putri kandungmu? Apa kau tak merasa dihina? Apa kau tak membalas dendam?” suara Tua Hirano makin meninggi menanggapi argumentasi Tua Kimilaha.
“Tua Hirano, Tua Kimilaha, izinkan saya berbicara !” Majasang Simatauw, Kepala Soa Simatauw melihat kesempatan untuk meredakan perdebatan di antara anggota dewan penasehat soa agar tidak berlanjut.
“Para tetua dan anak-anak soa, saya memahami semua pendapat kalian. Sebagai seorang ayah yang kehilangan putri tercintanya, saya tak bisa membohongi, kalau ada dendam yang membakar, itu hal yang manusiawi. Tapi saya juga seorang pemimpin, kepala dari kalian semua, kepala dari soa ini. Ini hal yang sangat berat buat saya. Saya tak mau keputusan kita malam ini diambil karena terpengaruh kepentingan pribadi, tapi keputusan paling terbaik bagi kita semua, orang banyak dan negeri kita ini.  Apa yang Tua Hirano sampaikan, benar tak ada yang salah dengan itu, kehormatan, harga diri tetaplah  harus diutamakan, hukum harus tetap dijunjung tinggi. Tapi di sisi lain, Tua Kimilaha juga benar. Pembunuhan meski seremeh apapun, pastilah memiliki alasan. Anak mereka memang telah membunuh putriku, tapi ia juga memiliki alasan. Saya memang telah mendengar asal mula kejadian ini dari saksi mata. Selain itu, secara prinsip, saya tetap memegang teguh ajaran leluhur dan sejarah negeri ini. Memang ini dilema tapi keputusan haruslah diambil, karena itu saya ingin kita semua, bisa mendengar kesaksian dari saksi mata, agar kita bisa memutuskan secara adil”.
“Silanita, berceritalah…. ceritakan asal mula kejadiannya…. jangan ada yang terlewatkan!” perintah Majasang Simatauw kepada salah satu anak soa yang juga adalah teman baik almarhum putrinya.
Silanita Simatauw, di antara  derai air mata pun mulai bercerita asal mula tragedi ini .....................................................................................................................

II
6 jam sebelumnya……………
Suara air yang mengalir di antara bebatuan. Burung-burung berkicau di ranting pohon. Beraneka tumbuhan tumbuh subur di tempat itu. Pohon-pohon yang besar dan berusia tua tertancap kokoh. Pohon durian, cengkih, jati, pala dan sagu serta jenis-jenis pohon lainnya. Di tempat itu mengalir sebuah kali atau sungai kecil yang dinamakan kali Saaru. Kali ini biasa dipergunakan sebagai tempat mandi dan tempat cucian oleh masyarakat setempat. Kali Saaru ini seperti seekor ular yang mengalir hingga ke laut. Di bagian hulunya, dipergunakan oleh para lelaki untuk mandi dan disebut sebagai air laki-laki, di bagian tengahnya digunakan oleh para wanita untuk mencuci pakian dan mandi, bagian ini sering disebut sebagai air perempuan. Sedangkan bagian hilir atau bagian kaki, digunakan untuk tempat mandi anak-anak.
Kali Saaru berada di dalam petuanan atau ulayat adat negeri Saparoea. Negeri Saparoea adalah salah satu dari 16 negeri yang ada di pulau Saparoea. Di masa sekarang gabungan 16 negeri itu menjadi Kecamatan Saparoea. Menurut tradisi lisan, yang diturunkan dari generasi awal ke generasi berikutnya, Negeri Saparoea pertama kali dihuni oleh 4 orang kapitan/kapitang bersama istri mereka. Dalam tradisi itu diceritakan bahwa mereka berempat adalah bersaudara  yang berasal dari negeri Souhuku/Soahuku di pantai selatan Pulau Seram. Setelah terjadi perang besar yang dikenal dengan nama perang Nunusaku, para kapitan itu berpencar dan mencari daerah-daerah baru sebagai tempat hunian. Salah satunya adalah negeri Saparoea. Setelah menempati hunian baru ini, ke-4 kapitan bersama istri mereka, kemudian menamakan daerah ini dalam bahasa tanah yaitu Pisarana Hatusiri Amalatu. Nama inilah yang dikenal sebagai nama teon/teun/teong Negeri Saparoea. Di kepulauan Ambon-Lease, di tiap negeri (desa) memiliki nama teon/teun/teong yang berbeda atau masing-masing negeri tersebut memiliki nama teong sendiri-sendiri.
Setelah beranak-pinak yang melahirkan beberapa generasi berikutnya, mereka kemudian membentuk  soa.  Ada 4 soa yang dibentuk berdasarkan keturunan dari ke-4 orang kapitan tersebut. Ke-4 soa itu adalah Soa Manupalo (Anakotta), Soa Namasina (Ririnama), Soa Latuwaelaiti (Simatauw) dan Soa Pelatu (Titaley). Keturunan mereka inilah yang dipercayai sebagai penduduk asli, atau dalam kebudayaan Maluku sering disebut anak asali atau anak negeri asli.

Siang itu, seperti biasanya beberapa perempuan di negeri Saparoea melakukan aktivitas mencuci pakaian di kali Saaru. Lenawangi Simatauw, Silanita Simatauw, Rikasena Simatauw dan beberapa teman mereka lainnya, mencuci pakaian sambil bercerita sebagaimana layaknya jika para perempuan berkumpul. Suara tawa cekikan terdengar di sela-sela pembicaraan mereka. Entah apa yang mereka bicarakan, mungkin cerita soal hidup sehari-hari atau mungkin soal asmara yang mulai tumbuh di antara para perempuan itu. Lenawangi Simatauw adalah putri satu-satunya dari Majasang Simatauw, sang Kepala Soa Simatauw. Dia juga gadis tercantik dan menjadi pujaan para lelaki di Negeri Saparoea. Banyak lelaki yang ingin mendekatinya dan berniat menjadikannya sebagai isteri, namun selalu ditolaknya. Meskipun jadi pujaan, namun karakternya keras seperti laki-laki. Tidak seperti ayahnya yang bijak, ia dikenal sebagai gadis bermulut pisau, kata-katanya selalu menyakitkan hati, jika menemui hal yang tak sesuai dengan kata hatinya, khususnya kepada lelaki yang tak disukainya. Banyak lelaki yang merasa sakit hati dan terhina karena kata-katanya, namun apa daya, dia adalah putri dari salah seorang kepala soa, yang mereka hormati. Meski sakit hati dan ingin membalas  penghinaan itu, namun mereka dengan berat hati memendamnya.
“Lenawangi, apa kau marah padaku, jika aku menyampaikan pesan dari seseorang?”. Silanita, teman karib Lenawangi, bertanya dengan hati-hati. Meski mereka berteman karib sejak kecil, namun Silanita tahu benar karakter teman baiknya. Ia tak mau ada salah paham di antara mereka.
Sambil menoleh dengan pandangan menusuk, “ dari lelaki-lelaki itu lagi?” tanya Lenawangi dengan sedikit ketus.
“Hmmmm.… ia”. Silanita menjawab pendek.
“Siapa?”
“Ia menyampaikan salam untukmu, dan ingin berkenalan!”
“Siapa?”. Ada nada menuntut dan tajam dalam suara Lenawangi.
“Hintalayu!”
“Laki-laki itu?”
“Semalam.… ia….
“Katakan padanya, aku tak ingin berkenalan!” potong Lenawangi, tanpa membiarkan Silanita menyelesaikan pembicaraannya.
“Tapi….”
“Kau tak paham, apa yang aku maksud? Aku tak sudi berkenalan dengannya. Ia tak sepadan denganku! Laki-laki berpenyakitan seperti itu, cihhh… aku jijik melihatnya, Silanita!. Aku tak mau. Katakan padanya, bercermin dahulu, sebelum berkenalan denganku!” kata-kata tajam dari Lenawangi seperti peluru berdesing di udara siang itu.
“Lenawangi, jika kau tak menyukai orang, aku paham, tapi tak usah menghina orang seperti itu!” Rikasena mencoba mengingatkan kelakuan Lenawangi dengan sabar.
“Jangan-jangan kau sendiri yang suka padanya, Rikasena. Mengaku sajalah! Hihihihi…. lihat.... ada yang merah pipinya…. hahahahahaha”. Lenawangi menggoda Rikasena, tapi nadanya masih sedikit ketus.
“Bukan seperti itu, Lenawangi. Aku hanya mengingatkan…. tidak baik....”
“Ah, sudahlah…. Mereka bukan hal penting untukku. Ayo…. kita selesaikan cucian ini, mandi dan pulang!”.
Masih terdengar suara cekikan diantara mereka sambil mencuci. Jam-jam seperti begitulah, biasanya para lelaki berjalan melewati tempat cucian mereka menuju ke hulu untuk mandi. Tapi tak tahu kenapa sampai jam begitu, tak ada laki-laki yang terlihat. Para perempuan itu terus mencuci dan berbincang-bincang. Tak lama kemudian  Rikasena dan teman-teman yang lain selesai mandi dan pulang ke rumah mereka, meninggalkan Lenawati dan Silanita yang sedang mandi. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh bunyi gemerisik dedaunan dan bunyi tapak kaki menginjak ranting-ranting kayu kering. Serentak kedua perempuan itu menoleh, dan melihat wajah seorang laki-laki muncul dari tengah rimbunan pepohonan. Sepotong wajah bercacat, penuh parutan bekas luka, dipayungi rambut awut-awutan. Seperti iblis yang muncul di tengah hari. Penyakit kulit di sekujur tubuhnya yang hampir telanjang, hanya berbalutkan cidaku8. Benar-benar mengerikan bagi orang yang baru pertama kali melihatnya. Ia adalah Hintalana kakak dari Hintalayu, karena malu akan keadaan dirinya, dia sering bersembunyi di hutan rimba dan jarang memperlihatkan dirinya. Tidak banyak yang mengetahui bagaimana rupanya karena jarang bertemu dengannya.  Ia seperti tokoh mitos yang hanya didengar namanya namun tak diketahui wajahnya. Masyarakat Negeri Saparoea mengetahui kalau Hintalayu dan Hintalana adalah bersaudara. Mereka berdua memang berwajah cacat tapi Hintalana lebih mengerikan dibanding adiknya.  Ayah mereka adalah Uripalatu Anakotta, Kepala Soa Manupalo (Anakotta), salah satu soa dari ke-empat soa yang ada di negeri Saparoea.
“Hinta….lana….” bisik Silanita hampir tak terdengar dan sedikit gagap. Ia memang pernah mendengar nama saudara Hintalayu, namun kali ini baru pertama kali melihatnya. Ia mengetahui dari cerita, jika wajah Hintalana mirip dengan wajah adiknya.
“Apa dia…….? tanya Lenawangi mulai marah.
“I….a.… dia Hintalana, kakak dari Hintalayu.” jelas Silanita dengan nada berbisik dan gemetar…. rasa dingin yang aneh mulai menjalari tulang belakangnya, saat melihat wajah Hintalana.
“Pantasan….adik dan kakak sama saja…. mereka berdua tak tahu diri. Tak sopan.
“Tapi….”
“Kenapa? Aku tak takut padanya…. ia mengintip kita mandi, Silanita. Apa itu bukan perbuatan kurang ajar? aku akan mencaci maki dirinya agar ia lebih sopan pada perempuan.”
“Tapi….”
“Sudahlah… jadi orang jangan pengecut”. kata Lenawangi sambil berjalan mendatangi Hintalana yang tetap berdiri.
“Hei kamu…. laki-laki penyakitan, laki-laki kurang ajar…. berani-beraninya kamu mengintip diriku yang sedang mandi! Apakah keluargamu tak mengajarimu sopan santun? Kamu tahu siapa aku….? Dasar manusia berotak mesum.… pantas saja kamu seperti bintang. Lihat dirimu! Pergi dari sini, aku jijik melihatmu!.. cuuuiih…. dasar manusia berhati binatang!” sambil berkacak pinggang dan menunjuk jari ke wajah Hintalana, Lenawangi memaki laki-laki itu tanpa memberi kesempatan.
“K…a…m...u”  Hintalana seolah tak percaya ada orang, apalagi seorang wanita yang berani memaki dan menghina dirinya seperti ini.
“Kenapa? kamu tak terima? kamu itu binatang…. mengintip wanita yang sedang mandi itu perbuatan hina. Kamu itu bukan manusia tapi binatang.... lihat dirimu… seperti binatang yang tak tahu sopan santun. Pantasnya kamu bergaul dengan binatang bukan dengan manusia”
“Tapi aku tak…..”
“Jangan cari alasan.… dari tadi kau mengintip. Jangan pura-pura. Mana mungkin ada wanita menyukai laki-laki penyakitan sepertimu, cacat dan tak berguna??? Kau dan adikmu itu binatang…. aku jijik…. ciiiuhh….” Lenawangi kembali memaki dan meludah.
“Cukup! hentikan makianmu!...kalau tidak….” Hintalana mulai marah, matanya memerah darah dan wajahnya kian menakutkan.
“Kalau tidak, kenapa”?  tantang Lenawangi
“Hentikanlah Lenawangi… ayo kita pulang”. Lerai Silanita sambil menarik tangan Lenawangi. Ia takut terjadi apa-apa jika Lenawangi terus menghina Hintalana seperti itu. Ia melihat dendam dan kebencian yang sangat dalam di mata Hintalana.
“Tidak....! laki-laki biadab seperti dia, pantas dimaki dan dihina!” tegas Lenawangi keras kepala dan mengibas tangan Silanita. Seperti tak puas-puasnya, Lenawangi terus menghina dan memaki Hintalana layaknya binatang.
“Kau akan mati….! Camkan itu!” dengan murka Hintalana lari memasuki hutan dan menghilang.
“Hihihihihi…. lucu juga ya.... laki-laki penyakitan seperti itu, mengancam akan membunuhku…. memangnya dia bisa???.... hihihihihii….” tanya Lenawangi sambil tertawa.
“Sudahlah…. cepat  mandi dan kita pulang! aku merasa takut Lenawangi!” perintah Silanita dengan suara sedikit gemetar.
“Dasar pengecut kamu…. Begitu saja takut!!!…. Hahahaahahah” kata Lenawangi sambil berjalan kembali ke tempat mandi.
Beberapa saat kemudian Lenawangi dan Silanita menyelesaikan acara mandinya dan pulang. Mereka menyusuri pohon-pohon besar di sepanjang jalan pulang. Hari telah beranjak sore, matahari telah condong ke barat. Meski masih sore, keadaan di areal itu agak sedikit gelap, sinar matahari terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Biasanya para wanita yang melakukan aktivitas di tempat itu, tak berani sampai sore, jikapun sampai sore, mereka selalu pulang dalam kelompok untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Hari itu hanya Lenawangi dan Silanita pulang berdua, berjalan beriringan, Silanita di depan dan Lenawangi mengikuti dari belakang. Mereka tak mengetahui bahwa kejadian tragis sedang menanti. Tiba-tiba ada sepasang tangan kasar membekap mulut Lenawangi dan menyeretnya.
“m..m…mm…hh….ong….” Lenawangi berteriak dan meronta, namun tangan yang membekapnya seperti sepasang capit kepiting mencengkram mulutnya. Silanita menoleh karena mendengar suara tak jelas di belakangnya dan terperangah. Ia hanya melihat seorang lelaki tak dikenal membekap mulut Lenawangi dan menyeretnya memasuki deretan pepohonan.
“Lenawangi….kamu kenapa? Hei.. lepaskan temanku” teriak Silanita sambil mengejar mereka. Ia terus mengejar memasuki hutan rimba. Lelaki tak dikenal itu sangat cepat, sehingga Silanita beberapa kali tak melihat mereka berdua. Namun Silanita tak menyerah, ia berusaha menolong Lenawangi teman baiknya. Di kejauhan ia melihat lelaki itu menyekap dan menyandarkan Lenawangi di sebuah pohon durian yang besar. Pohon durian yang berusia tua dan tumbuh seperti raksasa di tengah hutan itu. Ia mendekat dan mulai mengenal lelaki asing itu. Rasa ngeri tiba-tiba menjalari tulang belakangnya. Lelaki itu, Hintalana, yang beberapa saat lalu mengancam akan membunuh Lenawangi. Ia melihat ketakutan yang sangat besar di mata Lenawangi. Ketakutan bercampur ungkapan memohon ampun tampak di matanya yang mulai berair.  Tak ada lagi sifat berani yang ia tunjukan beberapa saat lalu. Itu semua telah hilang….  
“Ampuni dia.... Hintalana. Lepaskan dia, aku mohon!” Silanita berusaha menyadarkan Hintalana.
“Jangan campuri urusanku! Pergilah…. kalau tidak, aku akan membunuhmu juga ” ancam Hintalana dengan dengan murka.
“Jangan bunuh Lenawangi, Hintalana!... aku mohon…”
“Tidak!” tegas Hintalana.
Dengan kecepatan yang tak terduga, Hintalana mencabut pisau , menikam jantung beberapa kali dan menggorok leher Lenawangi kemudian berlari menerobos pepohonan, menghilang entah kemana.
“Ya Tuhan…. Lenawangi….Ya Tuhan” Silanita bersimpuh dan memangku kepala Lenawangi dengan hati-hati. Darah segar mengucur, membasahi pakaian Lenawangi. Ia melihat  maut. Rasa takut dan ngeri memompa jantungnya. Ia berusaha menutupi luka di bagian jantung dan leher Lenawangi. Darah terus mengucur karena lukanya kian menganga.
“A…a…k…k…u…uu” dengan nafas tersengal-sengal dan sekarat, Lenawangi mencoba berbicara.
“Bertahanlah….Aku akan mencari bantuan”  dengan secepat kilat, Silanita berlari meninggalkan Lenawangi, tak menghiraukan darah Lenawangi di tangan dan pakaiannya…. berlari menerobos hutan…. memasuki perkampungan….

III
Di tempat yang lain....
Suara perdebatan di dalam rumah itu kian keras.  Suara Sirimata, istri Kepala Soa Manupalo (Anakotta) yang juga ibu Hintalana makin meninggi. Ia berdebat dengan Uripalatu, suaminya. Ia bersih keras membela Hintalana, anaknya. Kabar pembunuhan yang menggemparkan itu telah tersebar begitu cepat.
“Hintalana tak bersalah pak! Dia melakukan itu karena dihina!” Sirimata tetap teguh mempertahankan pendapatnya.
“Bapak mengerti bu, tapi apapun alasannya… anak kita telah membunuh.” jelas Uripalatu mencoba bersabar menghadapi istrinya.
“Perempuan itu menghina anak kita!!  Meski keadaan Hintalana seperti itu, dia tetap anak kita. Aku yang mengandung dan membesarkannya. Aku tak terima! aku tak akan meminta maaf pada mereka! aku tak akan mengemis dan memohon agar Hintalana diampuni!”
“Tapi bu…. apa salahnya jika kita sebagai orang tua minta maaf pada mereka? anak kita telah membunuh anak mereka, bu.”
“Tidak!....Ibu tak mau!”
“Bu.… anak kita telah membunuh.… ini bisa menimbulkan perang, jika ibu tetap keras kepala seperti itu”
“Memangnya kenapa kalau terjadi perang? Apa bapak takut? Jika mereka ingin berperang, maka kita akan berperang! Ibu akan turut berperang demi kehormatan anak kita. Ibu tak takut!”
“Bukan masalah takut atau tidak….  banyak hal yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan! Terlampau banyak akibat yang akan kita terima jika berperang hanya untuk membela anak kita, bu…. Bukan hanya untuk keluarga kita atau soa kita tapi juga masyarakat dalam negeri ini, banyak yang akan dikorbankan … pikirkanlah itu, bu!”
“Apa bapak rela anak kita dibunuh tanpa melakukan apa-apa? Sebagai ayah apa bapak rela?” Sirimata terus mendesak Uripalatu.
“Bukan seperti itu, bu…. tapi Hintalana.…”
“Ia membunuh karena di hina. Ia di caci maki! Ia hanya membalas perlakuan perempuan itu. Tidak ada alasan lain!”
“Jangan menambah masalah lagi bu.… masalah ini terlampau sensitif!”
“Ibu tidak membuat masalah.... ibu hanya membela anak kita. Lagipula, jika perang yang diinginkan, bapak tinggal memerintahkan pasukan! Ibu yakin mereka akan patuh dan siap berkorban demi kehormatan soa kita!”
“Tidak semudah itu bu…”
“Jika bapak tidak bertindak…. Ibu sendiri yang akan melakukannya”. Sirimata berlalu meninggalkan Uripalatu yang tak tahu harus melakukan apa untuk mengatasi masalah yang semakin rumit.
Uripalatu terpekur dalam diam. Masalah itu terus menerus berkecamuk menekan benaknya. Apa yang harus aku lakukan?? batin Uripalatu…. Apa harus terjadi perang karena anakku?? Ataukah secara diam-diam aku harus menemui mereka untuk minta maaf dan memohon ampun??   Tidak…. aku kepala soa, bagaimana bisa aku merendahkan diri seperti itu? Kata hati yang lain menggodanya…. aku mencintai anakku, meski dia telah membunuh…. ia membunuh karena dihina, dicaci maki seperti itu!.... apa yang istriku katakan benar.… apa salahnya jika harus perang? Kehormatan anak dan soa tetap harus dijaga! Andaikan perang, pasti Soa Namasina (Ririnama) akan membantu, bukankah Kepala Soa Namasina (Ririnama) adalah kakak dari istriku??  Berarti iparku akan membantu jika perang terjadi! Otak Uripalatu menghitung segala kemungkinan  dan untung rugi.... tapi…. Apa hanya gara-gara anakku, kita semua akan jadi korban? Soa Pelatu (Titaley) pasti juga akan terlibat, bukankah istri Majasang adalah kakak perempuan dari Kepala Soa Pelatu (Titaley)??.....  Jika seperti ini, jika mereka ikut terlibat.… semua akan hancur…. akan musnah…. semua akan berperang.… pikiran yang lain mencoba menyadarkannya.… pikirkanlah secara baik-baik sebelum kamu menyesal!!!
Konflik pikiran dan kata hati berseliweran di kepala Uripalatu…. Hingga larut malam, ia belum bisa memutuskan apa yang harus ia lakukan. Udara makin dingin.… dingin yang aneh dan menyeramkan.… seolah-olah tanda bahwa Negeri Saparoea dalam keadaan genting. Keadaan yang sewaktu-waktu bisa terjadi perang antar soa. Perang yang bisa memusnahkan mereka, jika mereka keliru dalam mengambil keputusan…………………………

IV
3 hari setelah pemakaman Lenawangi....
Ke-empat Kepala Soa, dewan penasehat ke-empat soa serta para perempuan dari ke-empat soa itu berkumpul. Ada hal penting rupanya yang membuat mereka berkumpul di situ. Suasana menjelang sore itu sedikit muram. Awan tipis hitam berarak di langit seperti ikut merasakan suasana muram dan duka. Kicauan burung pun tak terdengar sebagaimana biasanya. Semilir angin bergerak lembut di sela-sela dedaunan pepohonan yang tumbuh di daerah itu. Tempat itu dipilih untuk menyelesaikan masalah di antara mereka. Ya… peristiwa pembunuhan yang terjadi beberapa hari lalu, pembunuhan Lenawangi Simatauw, putri Kepala Soa Simatauw. Tempat itu merupakan sebuah wilayah petuanan milik Soa Anakotta di dalam Negeri Saparoea. Uniknya tempat itu seperti daerah segi tiga, dimana ketiga sisinya berbatasan dengan wilayah petuanan milik dari 3 soa lainnya.
Terdengar suara bisik-bisik diantara ke-empat Kepala Soa. Uripalatu Anakotta sang Kepala Soa Anakotta, Majasang Simatauw sang Kepala Soa Simatauw, Amosara Ririnama sang Kepala Soa Ririnama dan Riangkala Titaley sang Kepala Soa Titaley duduk berdampingan di atas tanah.  Posisi duduk mereka seperti dua kubu yang terikat oleh hubungan keluarga karena perkawinan. Di kanan Uripalatu, duduk Amosara, sedangkan di kiri Majasang, ada Riangkala.  Hubungan darah yang terikat di antara mereka berempat, semakin menambah rumit masalah. Jika terjadi perang, bukan saja Soa Anakotta dan Simatauw yang terlibat, tapi juga merembet ke Soa Ririnama dan Titaley, mereka semua akan ikut berperang. Apalagi Lenawangi juga adalah keponakan Riangkala, dan Hintalana juga keponakan Amosara. Benar-benar masalah yang rumit, bukan hanya soal pembunuhan semata, tapi juga karena hubungan keluarga yang terikat di antara mereka berempat.
Di depan mereka, di sebuah batu besar bersegi empat seperti meja persembahan, diletakkan sopi9 dalam wadah, buah sirih dan pinang, serta potongan batang bambu berfungsi sebagai gelas untuk meminum sopi.  Mereka berempat di dampingi oleh dewan penasehat soa masing-masing. Di sekelilingi mereka hadir perempuan-perempuan yang berasal dari ke-empat soa itu. Sirimata, istri Uripalatu dan Sahele, istri Majasang juga turut hadir. Mereka berdua pun duduk terpisah seperti membentuk dua kubu. Tak lama kemudian, suara bisik-bisik itu terhenti. Uripalatu Anakotta dengan wajah sedikit muram namun berbesar hati mulai berbicara….
“Tua Majasang, Tua Amosara, Tua Riangkala dan para tetua lainnya…. ijinkan saya untuk berbicara lebih dulu. Sebagai kepala soa dan seorang ayah, saya sangat malu. Kita semua yang hadir disini, telah tahu peristiwa tragis beberapa hari lalu. Lenawangi putri Tua Majasang mati terbunuh di hutan kali saaru. Kita juga tahu siapa pembunuhnya. Ya…. pembunuh itu adalah Hintalana, anak saya. Sebagai seorang ayah, saya malu dan gagal. Saya gagal mendidik anak saya. Saya tak akan membela dan menolong anak saya. Saya juga mengerti jika Tua Majasang merasa dendam. Kita semua yang hadir di sini memiliki anak, dan pastilah sedih dan dendam jika kehilangan anak kita dengan cara seperti itu. Dengan berbesar hati, saya akan menerima segala keputusan yang dibuat hari ini. Namun sebelum itu, sebagai seorang ayah…. saya memohon ampun dan meminta maaf pada Tua Majasang, yang telah kehilangan putri satu-satunya yang tercinta. Sekali lagi saya memohon maaf….” Suara Uripalatu bergetar…. matanya berkaca-kaca…. ia mengedarkan pandangannya menatap yang hadir dan kemudian menunduk dalam diam.
Tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh suara tetabuhan tifa dan bunyi  tiupan kulit kerang (kuli bia). Mereka semua paham, kalau itu tanda penyerangan. Di kejauhan terlihat pasukan perang yang berlari mendekat, seolah-olah mau menyerang dan siap perang. Teriakan perang yang keluar dari mulut mereka membuat suasana mulai kacau. Uripalatu merasa terguncang  melihat semua itu, karena ternyata yang datang adalah pasukan perang Soa Anakotta. Dengan nada murka, ia melompat berdiri….
“Hentikan !!!.... saya perintahkan kalian untuk diam di tempat!” perintah Uripalatu dengan emosi kepada pasukan perangnya. Ia menoleh kearah Tua Majasang dengan pandangan bersalah….
“Tua Majasang…. saya meminta maaf atas kejadian ini…. saya….”
“Tua Uripalatu.… saya memahami posisimu. Saya mengerti bahwa hal seperti ini akan terjadi. Saya juga mengalami hal yang sama dalam soa yang saya pimpin…………. Tak dipungkiri ada rasa sedih karena kehilangan seperti ini. Saya tak menyangkal bahwa terkadang ada muncul rasa dendam. Siapa yang tak dendam jika anak satu-satunya dibunuh? Apalagi dengan cara sadis seperti itu???  Namun apakah kehilangan putriku bisa tergantikan jika harus ada balas dendam? Saya telah merasa betapa sakitnya kehilangan itu. Saya tak ingin yang lain merasa seperti itu juga. Lagipula, kita semua adalah bersaudara. Bukankah sejarah leluhur kita, sejarah negeri ini telah meriwayatkan seperti itu???  Bukankah para leluhur kita saling kawin mengawini dan akhirnya menghasilkan kita semua yang hadir di sini?? Memang sakit rasanya, betapa sulitnya…. tapi saya telah memutuskan.... tak akan ada balas dendam….! Tak akan ada perang….! Tak akan ada kematian lagi…! Saya menghormati hukum perang di negeri ini, hukum mata ganti mata, gigi ganti gigi…. namun saya juga menghargai sisi kemanusian kita. Cukup sudah…. biarlah penderitaan ini, akan saya tanggung sendiri. Tak akan ada perang atas nama kehormatan dan harga diri.
“Tua Majasang…. tapi….” Tua Riangkala Titaley mencoba berbicara.
“Benar Tua Majasang… bukankah hukum kita….” Tua Amosara juga ikut berbicara.
“Ya… saya memahaminya Tua Riangkala dan Tua Amosara. Saya juga mengerti jika kalian tak bisa menerima ini, apalagi ini juga menyangkut keponakan kalian. Saya menghargai semua itu. Tapi saya telah memutuskan lain. Memang pahit, memang sulit tapi saya telah memutuskan seperti itu!.... saya berharap kalian bisa menerima dan menghormati putusanku. Lagipula, sayalah ayah dari Lenawangi.
“Tua Majasang…. tapi k...e...n…a..p...a...? Tua Uripalatu mengangkat kepala seolah tak percaya mendengar apa yang Tua Majasang katakan.
“Ia Tua Uripalatu…. saya telah memutuskan seperti itu! Sekali lagi pahit rasanya. Namun saya memutuskan seperti itu. Percayalah…. ini keputusan sulit yang saya buat sebagai seorang ayah, tapi paling terbaik bagi kita semua. Percayalah…. Keputusan ini akan dikenang oleh anak cucu kita. Percayalah…. anak cucu kita akan belajar dari kita. Percayalah…. Apa yang kita lakukan hari ini akan membuat mereka bangga nantinya!.... saya hanya meminta Hintalana dikurung! Itu saja….tak ada yang lain!.... saya ingin kita berempat bersumpah.… berjanji…. Di tempat ini… di langit yang terbuka ini… pada Upu Langite10 sebagai saksi.… kalau kita tak akan perang!.... bahwa anak cucu kita akan saling menjaga! Anak cucu kita akan saling sayang menyayangi sebagai saudara sampai dunia ini runtuh….!!!
Sambil menuang sopi di dalam potongan bambu, mengangkatnya, mereka berempat, keempat kepala soa itu berdiri dan memegang potongan bambu itu.... Tua Majasang berkata….
“Demi nama Upu Langite10 dan empat kapitan leluhur kami...!!! minuman sopi ini sebagai pengikat!!!.... kami berjanji.... kami bersumpah….!!! mulai hari ini…. tak ada dendam.… tak ada perang…. semoga anak cucu kami akan terus mengingat janji dan sumpah ini….!!! Semoga mereka akan saling menyayangi sampai mati ….!!!” Tua Majasang kemudian meminum sopi itu seteguk, memberikannya kepada Tua Uripalatu, Tua Amosara dan Tua Riangkala. Terdengar bunyi guruh mengelegar di langit…. krrraaakkkk…. buummmm…. ya…. itu mungkin tanda alam semesta telah merestui sumpah dan janji mereka.
Tua Majasang menuang sopi lagi kedalam potongan bambu itu dan memberikannya kepada anggota dewan penasehat soa masing-masing.... keempat kepala soa itu berpelukan, menangis dalam damai. Air mata membasahi pakaian kebesaran mereka. para anggota dewan penasehat pun berpelukan dan menangis…. Sirimata berlari dan memeluk Sahele. Mereka berdua menangis.  Dalam pelukan Sahele, Sirimata berbicara....
“Tua Majasang, Tua Riangkala, Tua Amosara dan tetua lainnya…. saya…. saya mengaku bersalah…. tanpa ijin dan sepengetahuan suami saya…. sayalah yang memerintahkan pasukan perang datang kesini…. Sebagai seorang ibu, saya sangat mencintai anak saya Hintalana.… meski Hintalana telah melakukan kesalahan besar…. namun saya tak mau kehilangan dia…. Saya egois…. Tidak memikirkan kepedihan dan sakit hati Sahele yang kehilangan putrinya… hari ini saya menyadari kebesaran hati Tua Majasang dan istri… saya minta maaf!” Sirimata kembali menatapa Sahele…
“Sahele…. saudariku.... Sebagai ibu.… saya mohon ampun atas kesalahan anakku….”  Sirimata kembali memeluk Sahele dan menangis tersedu-sedu.
Sambil berpelukan suara tangisan para perempuan yang lain turut menambah suasana yang menyayat hati……………

Epilogue....
Di bebatuan besar itu, aku duduk memandang tetesan air, yang mengucur lembut keluar dari tebing-tebing batu, mengalir seperti air mata. Semak-semak belukar di sekeliling tempat itu seperti menyekapku dalam keheningan. Pikiranku mengembara jauh ke belakang, beberapa ratus tahun yang lalu. Merenung legenda ini…memahami cerita tragedi ini. Cerita pembunuhan yang dilisankan dari generasi ke generasi hingga terdengar di telingaku. Tetesan air di dinding batu itu tetap menetes abadi, mengingatkanku agar tak melupakan legenda ini. Cerita yang diwariskan dari leluhur buat anak cucu. Mataku basah seperti tetesan air itu…. Aku tahu bahwa tetesan air itu dipercayai berasal dari tangisan para leluhurku. Leluhur lelaki dan perempuanku yang menangis sambil berpelukan d iantara mereka. Aku tak tahu pasti mengapa mereka menangis. Mungkin itu tangisan duka karena kematian putri mereka semua. Atau mungkin juga mereka menangis bahagia, karena terhindar dari perang antar soa, perang yang jika saja terjadi akan menghancurkan, yang bisa memusnahkan mereka semua. Jika saja itu terjadi, mungkin aku tak ada disini, mungkin aku tak bisa menulis legenda ini. Aku juga tahu tempat ini adalah tempat yang di yakini sebagai tempat menyelesaikan masalah pembunuhan itu. Aku memahami mengapa tempat ini kemudian dikenal sebagai Dusun Mata Air Perkara!. Aku juga mengerti mengapa batang Pohon Durian, tempat pembunuhan itu dinamai Pohon Durian Sandar Nona.
Lamunanku terus berputar dalam benakku. Mengingat kebesaran dan keikhlasan para leluhurku saat menyelesaikan masalah sensitif seperti ini. Aku berusaha memahami posisi mereka, dilema mereka dan keputusan yang mereka ambil. Keputusan sulit tapi mungkin itu keputusan terbaik meski dendam dan duka terus menggoda. Akh… betapa sulitnya mereka saat itu……. Tanpa terasa air mata telah jadi tetesan  kristal dipipiku…aku tak berniat menghapusnya.... aku juga tak mengerti mengapa aku menangis. Mungkin ini airmata duka, bahagia ataukah air mata syukur. Aku hanya bisa merenung lama…mungkin mereka mau mengajari diriku, bahwa pembunuhan tak seharusnya dibalas dengan pembunuhan, ataukah ikhlas dan memberi maaf adalah jalan paling agung dalam hidup meski begitu sakit dan sulit ???  Entahlah....
Saat meninggalkan tempat itu… menapak kaki, menginjak rerumputan, kepalaku menatap semburat langit senja dan hatiku berbisik :
Lenawangi.... aku anak cucu dari Soa Anakotta.... meminta maaf atas kematianmu.... semoga kau bahagia di sana………………………

                                                                                   =====  Selesai =====

Penulis : Adrijn Anakotta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar