Senin, 15 Juni 2020

PERAN EKONOMI KOMUNITAS ARAB DI MALUKU 1816 – 1940 (bagian 2 -selesai)


Oleh
W.G. Clarence – Smith

 
Mutiara dan Mutiara berkualitas baik

                Mutiara adalah satu sektor dimana orang Arab jelas memainkan peran yang lebih penting daripada orang Cina sebelum Perang Dunia I. Lautan di sepanjang perbatasan timur Indonesia tidak kaya akan mutiara, tetapi mengandung banyak mutiara berkualitas baik. Bagian pinggir Maluku yang paling menguntungkan terletak di sebelah timur pulau Aru74. Yang penting juga adalah wilayah pinggiran di Halmahera Utara75. Mutiara berkualitas baik adalah ekspor utama Maluku Tenggara pada pertengahan abad ke-19, dan orang Arab mungkin telah terlibat dalam pengangkutan barang itu76.
                Kegila-gilaan pada kancing mutiara dan barang-barang sejenis melanda barat pada akhir abad ke-19, menyebabkan melonjaknya harga mutiara77. Suatu “ledakan” besar terjadi di Maluku. Dengan sekunar, armada lugger, kapal motor kecil, dan peralatan pernafasan untuk penyelam profesional, adalah mungkin untuk menangkap ikan dengan lebih efisien dan pada tingkat kedalaman yang jauh lebih dalam daripada yang bisa dilakukan oleh masyarakat pribumi. Sebuah “klondike baru” dengan demikian dikembangkan, terutama di Dobo, pusat perdagangan dan administrasi di kepulauan Aru. Orang-orang Filipina dan Jepang adalah imigran penyelam yang paling banyak, tetapi ada juga dari penduduk laut selatan, serta orang-orang dari kepulauan itu sendiri78

Syech Said bin Abdullah Baadilla, Kapten kaum Arab di Banda (1889 - 1912?)
                Syech Sa’id bin Abdullah Ba Adillaa dan saudara-saudaranya memperoleh kekayaan besar dari “ledakan” perdagangan mutiara. Pada tahun 1897, ketika ia adalah Letnan komunitas kaum Arab di Bandab, Ba Adilla diberi izin resmi untuk mendirikan bisnis mutiara di teritorial perairan kepulauan Aru. Situasi awal adalah bahwa ia harus membayar kompensasi kepada penduduk pulau, kemudian pembayarannya bertambah pada tahun 1902 kepada pemerintah Belanda dan untuk reservasi air dangkal untuk penduduk pulau. Sementara Ba Adilla adalah operator utama di teritorial perairan, ia bergabung seorang seorang Australia, seorang Jepang dan 2 orang Cina79. Ba Adilla mulai melakukan perjalanan keliling dunia, sehubungan dengan penjualan mutiara, dan mungkin pada saat itulah, ia secara pribadi menyerahkan salah satu mutiara yang terbesar dan terbaik kepada Ratu Emma, Ratu kerajaan Belanda80.
                Situasi berubah pada tahun 1905, ketika pemerintah menyewakan tumpukan-tumpukan mutiara pulau Aru ke Celebes Trading Company, sebuah perusahaan saham gabungan yang terdaftar di Batavia (Jakarta) tetapi dikendalikan oleh orang Australia. Posisi Ba Adilla bersaudara pada tahap ini tidak terlalu jelas. Broersma berpendapat bahwa mereka secara tidak terduga menjual hak mereka kepada perusahaan Australia sebesar 132.000 gulden81. Namun, penjelajah Jerman bernama Merton, melaporkan bahwa orang-orang Australia dan Arab telah bergabung untuk melakukan peminjaman bank, yang dijamin oleh pemerintah kepada “perusahaan bersama dengan beberapa pihak swasta”. Pada tahun 1908, Ba Adilla bersaudara memiliki tempat tinggal, gudang, dan barak untuk penyelam mereka di Dobo, dan salah satu saudara Ba Adilla secara pribadi membantu Merton selama kunjungannya82. Formulasi-formulasi yang agak kabur dari penulis lain juga menyiratkan bahwa Ba Adilla bersaudara tetap memiliki saham di tumpukan-tumpukan (mutiara) pulau Aru setelah tahun 190583. Ada kemungkinan, bahwa orang-orang Arab bertindak sebagai sub-kontraktor untuk Celebes Trading Company.
                Aru terus menguntungkan hingga perang dunia pertama. Pada tahun 1906 – 1908, rata-rata 900 ton cangkang mutiara diekspor dari pulau-pulau itu, diantaranya sekitar 800 ton berasal dari Celebes Trading Company. Sisanya diproduksi oleh orang-orang Aru dan dijual ke perusahaan dagang Makasar dan Banda. Setiap mutiara yang ditemukan didalam cangkang adalah bonus tambahan bagi perusahaan, karena penyelam hanya dibayar per berat cangkang yang dikirim ke sekunar84. Para penyelam mencuri mutiara kapan pun mereka  bisa, dan menjualnya secara sembunyi-sembunyi85.
                Orang-orang Arab terlibat bisnis mutiara di luar pulau Aru. Ba Adilla bersaudara memegang konsesi mutiara di Irian Jaya dan Sulawesi86. Orang Arab bergabung dengan perusahaan Cina dan Eropa dalam menyewa tumpukan-tumpukan mutiara di sekitar Halmahera dan Irian Jaya dari Sultan Ternate, Tidore dan Bacan87.

Des Alwi Abubakar (1927 - 2010), salah satu cucu Said bin Abdullah Baadilla


Pengiriman

                Pengiriman adalah sesuatu yang berhubungan dan serupa dengan  aktivitas tradisional orang-orang Hadhrami. Selama “dekade-dekade keemasan” dari pertengahan 1830an hingga pertengahan 1850an, kapal-kapal layar bergaya Eropa milik orang-orang Arab mengambil alih sebagian besar pesisir nusantara dengan melakukan perdagangan88. Ini tampaknya menjadi cara utama dimana orang-orang Arab awalnya tertarik ke Banda dan Maluku Selatan89. Namun, Ternate mungkin merupakan pusat utama kapal-kapal pelayaran miliki kaum Hadhrami pada awal tahun 1870an90.
                Kepentingan-kepentingan kaum Arab dirugikan oleh undang-undang Belanda yang melarang masuk ke pelabuhan-pelabuhan kecil yang “asli” dari “kapal-kapal Eropa” pada tahun 184891. Residen Ternate berpendapat pada tahun 1856, bahwa undang-undang ini harus dibatalkan untuk pelabuhan-pelabuhan Sulawesi di bawah yurisdiksinya, dan keluhan tentang masalah ini diulangi beberapa tahun kemudian92.  

KPM Steiger di pelabuhan Ambon (1930)
                Upaya orang Arab untuk masuk ke pelayaran kapal uap secara mengejutkan dari yang diperkirakan. Van der Crab merujuk pada kapal uap yang dimiliki atau dikelola oleh orang Arab di Maluku pada awal 1860an93. Pada pertengahan tahun 1880an, Van den Berg mengetahui hanya ada 4 orang di Nusantara yang memiliki kapal uap, salah satunya tinggal di Ambon94. Kapal ini mungkin merujuk pada SS Menado, yang pada tahun 1870an, sebagian besar berasal dari sebuah kelompok orang Arab Ambon, meskipun terdaftar atas nama Tuan Hoedt dari Ambon. Kapten kapalnya orang Eropa, untuk memenuhi persyaratan asuransi, tetapi ia selalu ditemani oleh seorang agen orang Arab. Kapal mengurangi biaya pengiriman oleh kapal-kapal yang disubsidi secara resmi95. Tuan Hoedt mungkin adalah orang berdarah Ambon yang kaya, yang menjadi Sekretaris Gubernemen Ambon pada pertengahan 1850an dan memiliki minat yang besar pada sains dan kemajuan96/c.
                Kapal-kapal pelayaran milik orang Arab terus memainkan peran penting di Maluku sejak lama setelah kemunculan kapal uap. Termasuk sekunar milik orang Arab, “Fathool Hair” yang digunakan sekelompok pekebun orang Banda berangkat pada tahun 1864 untuk mencari pasar yang lebih baik untuk pala dan bunga pala di Singapura, setelah langkah-langkah awal diambil untuk menyingkirkan monopoli resmi. Sekunar-sekunar orang Arab pada waktu itu, merupakan satu-satunya bentuk alat transportasi jarak jauh di Banda, terlepas dari kapal uap yang sesekali singgah dari Jawa97. Sekunar-sekunar milik Ba Adilla tetap menjadi penghubung penting dengan dunia luar untuk pulau Kisar di Maluku Tenggara, disekitar pergantian abad ini98. Residen Ternate lebih lanjut mencatat bahwa orang-orang Arab terkaya di Ternate, semuanya memiliki perahu sendiri untuk perdagangan pesisir di Halmahera pada tahun 187699.

Kapal Camphuys di Ternate


Aktivitas-aktivitas “Cinderella” : Keuangan, Pertanian dan Keahlian

                Hampir tidak disebutkan tentang orang-orang Arab yang meminjamkan uang di Indonesia Timur, meskipun kaum Hadhramis terkenal sebagai rentenir yang hebat di Jawa100. Peminjaman uang dalam hal ini untuk mempercepat barang-barang dagang untuk membeli komoditas, yang tentu saja dipraktikan secara luas oleh orang Arab di Maluku101. Seorang anggota parlemen Sosialis Belanda, melaporkan bahwa sekitar tahun 1900, penduduk lokal di Minahasa meminjam uang dari orang Arab dan Cina, mengagunkan tanah, pohon kelapa atau buah-buah dari pepohonan sebagai jaminan. Uang itu sering digunakan untuk membeli barang-barang konsumsi di pasar pelelangan. Seorang Minahasa dikatakan telah kehilangan perkebunan pala oleh kreditor dengan cara ini, dan kebun kelapa di Gorontalo juga dijanjikan kepada orang Cina dan Arab102.
Langkanya praktek peminjaman uang di Maluku mencerminkan tingkat monetisasi (perputaran uang) yang umumnya rendah, dimana Minahasa merupakan sebagian pengecualian. Perdagangan dilakukan dengan cara barter di pesisir Halmahera Utara pada akhir 1840an, di kepulauan Kei pada 1850an, dan di Irian Jaya hingga tahun 1920103. Memang aktivitas barter mendominasi hingga hari-hari ini di bagian-bagian Maluku104. Selain itu, orang Arab di Indonesia Timur tidak memiliki modal yang cukup untuk terlibat atau masuk dalam bisnis peminjaman uang. Tidak ada kota-kota yang dilaporkan oleh Van Den Berg, dimana orang-orang Arab dengan pendapatan tahunan di atas 3.600 gulden pada pertengahan tahun 1880an, bertempat tinggal di sebelah timur dari pulau Bali105.
Orang-orang Arab juga kurang tertarik mengembangkan pertanian, perkebunan dibandingkan dengan sesama mereka di Indonesia barat dan Malaysia. Ketika harga pala di pasar dunia anjlok menjadi 1/3 dari harga tertinggi tahun 1872, banyak pekebun orang Banda yang berhutang menjadi bangkrut, dan orang-orang Arab, mungkin diantara “orang-orang timur asing” yang memperoleh perkebunan melalui penyitaan pada tahun 1890106. Keli dan Noorwegen, properti milik keluarga Ba Adilla mungkin termasuk dalam kategori ini107. Dua orang Arab digambarkan sebagai petani pada tahun 1876 di Menado, tetapi ini sangat tidak lazim dan perkebunan mereka tidak begitu penting108. Pertanian orang-orang Arab pada tanah sewaan di pulau Ternate pada tahun 1910 digambarkan sebagai “kecil”109.
Orang-orang Arab tidak terlalu memiliki nama besar dalam bidang “keahlian”. Tidak ada bukti bahwa orang Arab pernah menjadi pemungut pajak atau pejabat kolonial tingkat rendah110. Said Muhammad, yang berperang di sisi Belanda di Halmahera pada tahun 1870an, mungkin adalah seorang prajurit profesional, tetapi buktinya tidak terlalu jelas111. Beberapa orang Arab bertugas sebagai Imam  masjid di Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara) dari sekitar tahun 1830an, tetapi ini nampaknya pengecualiaan, dan mereka mungkin bukan kaum Hadhramis112

Pelabuhan Ambon (1950)


Kemunduran orang Arab sejak 188oan ?

Posisi ekonomis kaum Arab di Maluku tampaknya mulai terkikis sejak tahun 1880an, sebagian oleh pertumbuhan perusahaan-perusahaan orang Barat dalam konteks booming kopra dan kembali bangkitnya imperialisme Belanda. Sebuah perusahaan kapal uap setengah – resmi dan sangat monopolistik, Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), didirikan pada tahun 1888, dan memperluas layanannya di Indonesia bagian timur sejak tahun 1891113. The Batjan Maatschappij didirikan sebagai perusahaan saham gabungan di Den Haag pada tahun 1881, dengan modal 2,8 juta gulden, untuk mengeksploitasi hampir seluruh pulau, yang telah diterimanya sebagai konsesi dari Sultan Batjan. Perusahaan ini mengembangkan perkebunan pohon tembakau, kopi, kakao, pala, dan damar, dan untuk mendirikan pos perdagangan dan jasa pengiriman114. Meskipun pada akhirnya gagal, praktik monopolistik perusahaan merugikan pedagang lain bertahun-tahun115. Yang lebih sukses adalah Moluksche Handelsvennootschap dari Amsterdam, yang mengembangkan kepentingan perkebunan dan perdagangan yang berpusat pada kopra di Minahasa dari tahun 1870an, dan kemudian menyebar kegiatannya di Ternate dan Ambon116. Crediet – en Handelsvereenging Banda (CHVB) didirikan di Amsterdam pada tahun 1885, dengan modal 1 juta gulden, dan memainkan peran yang tumbuh dalam pertanian, perkebunan, dan perdagangan Banda dan sekitarnya117. Pada pertengahan 1920an, perusahaan Belanda dan Jerman memegang posisi dominan dalam bisnis ekspor-impor yang berkaitan dengan Eropa118.
Persaingan Cina juga menjadi lebih kuat. Singapura dan orang-orang Cina Makasar menunjukan minat baru di Maluku dengan munculnya booming kopra, dan mereka terbukti lebih efektif daripada warga negara mereka yang berbasis di Manila dari tahun 1880an119. Pedagang-pedagang Cina segera mendapatkan kendali atas sebagian besar pembelian kopra Minahasa dari pembudidaya lokal, meninggalkan orang-orang Arab dengan “ladang-ladang” mereka120. Bahkan pulau Seram terbagi secara formal. Perdagangan kopra di bagian barat pulau itu ada di tangan orang-orang Cina, sementara di bagian timur, dengan lebih sedikit pohon kelapa, dan ekspor sagu yang mulai menurun, dipegang oleh orang-orang Arab. Pedagang-pedagang Cina adalah penerima manfaat utama dari perpanjangan jalur kapal uap reguler di sepanjang pesisir Irian Jaya dari tahun 1900121. Pembeli-pembeli mutiara dari Cina menempatkan mereka sebagai pesaing orang-orang Arab di kepulauan Aru122

M.S. Pelikaan di pelabuhan Ambon (1926)
Pesaing lain juga muncul. Perusahaan-perusahaan pelayaran dan perdagangan orang Jepang, yang hadir sekitar pergantian abad, datang untuk mengendalikan perdagangan kopra dengan pihak Jepang dari tahun 1914123. Pengusaha mutiara Jepang bergabung dengan orang-orang Australia di sepanjang pinggiran Indonesia bagian timur124. Pedagang-pedagang India juga tercatat menghasilkan keuntungan besar di Ambon sejak pergantian abad ini, sementara orang-orang Armenia aktif di Batjan125. Di tingkat lokal, orang-orang Sonder menjadi pedagang kecil pribumi yang semakin aktif di Minahasa126.
Ada tanda-tanda yang tidak diragukan menyangkut kemunduran orang-orang Hadhrami. Perdagangan lokal orang-orang Arab dilaporkan sebagai pihak yang paling terkena imbas oleh jatuhnya harga cengkih di Ambon pada tahun 1880127. Bisnis kapal-kapal sekunar milik orang Arab mengalami kemunduran sekitar pergantian abad ini. Bisnis Syekh Sa’id Ba Adilla mengalami penurunan tajam di beberapa titik sebelum tahun 1914, dan mungkin karena alasan ini, para putra dan keturunannya menghabiskan sebagian besar warisannya128. Pada tahun 1925, laporan Vleming melukiskan gambaran pesimistis tentang orang-orang Arab yang direduksi menjadi situasi ekonomi yang tak bernilai di wilayah tersebut129.
Penggambaran yang suram ini mungkin dilebih-lebihkan. Jumlah keseluruhan penduduk Arab terus tumbuh secara substansial, seperti yang ditunjukan pada tabel di atas. Di beberapa tempat, orang Arab masih lebih banyak daripada orang-orang Cina. Angka-angka yang dikutip oleh Kol sekitar tahun 1900, menunjukan bahwa ada sekitar 1.350 orang Arab di karesidenan Ambon, dibandingkan dengan hanya sekitar 1.000 orang Cina, dan di beberapa bagian kecil lainnya seperti Palu atau Donggala, di Sulawesi barat laut, orang Arab kalah jumlah dengan orang Cina yaitu 127 orang berbanding 9 orang130.
Orang-orang Arab tetap menonjol dalam impor dan perdagangan umum hingga tahun 1940. Posisi komersial mereka di Ambon, Ternate, dan Gorontalo, tampaknya telah bertahan lebih baik daripada di Menado hingga Perang Dunia Pertama131. Orang Arab tetap bercokol dalam menjual tekstil impor di Ternate dan Ambon, pada tahun-tahun antara masa perang132. Pemilik-pemilik toko di kota Ambon pada awal tahun 1930an, terbagi antara 80 milik orang Cina, 15 milik orang Arab, 2 milik orang Jepang dan 2 milik orang “India Bombay”. Sekitar 10 orang Arab secara eksklusif  menempati posisi sebagai importir di karesidenan Ambon dan Ternate pada saat ini133.
Hal yang sama dapat dikatakan tentang sektor pembelian produk. Sekitar tahun 1900, orang-orang Arab mungkin memiliki andil yang lebih besar daripada orang Cina dalam perdagangan kopra di Sulawesi barat laut134. Bahkan pada awal 1930an, orang-orang Arab mengendalikan sebagian besar ekspor dari pulau-pulau Kei, terutama kopra, daripada orang-orang Cina135. Pada tahun 1920-an, orang-orang Arab dan Cina bersama-sama menyingkirkan halangan dari Moluksche Handelsvennootchap, ketika ia mencoba untuk mengambil alih bisnis minyak kayu putih dari pulau Buru. Pedagang Arab ikut terlibat dalam perburuan terakhir bulu-bulu burung Cendrawasih di Merauke, sudut tenggara Irian Jaya, hingga mode pakaian mengalami perubahan di Eropa dan pasarannya jatuh di pasar pada pertengahan 1920an136.
Kehadiran orang-orang Arab dalam kegiatan maritim terus bertahan. Seorang anggota keluarga Ba Adilla memperoleh hak sewa mutiara baru di kepulauan Sula, di lepas pantai Sulawesi Utara, pada tahun 1926 – 1928137. Pada awal tahun 1920-an, komunitas perdagangan Arab di Tula, ibu kota kepulauan Kei, terlibat dalam bisnis cangkang-cangkang trochus, suatu objek yang mirip, darimana mutiara berkualitas baik diperoleh138. Orang-orang Arab masih memiliki beberapa kapal uap kecil di teluk Tomini pada tahun 1920, yang memberi persaingan kepada KPM yang monopolistik139. Kapal motor kayu berukuran kecil milik orang Arab, dengan mesin berbahan bakar bensin, tetap bertahan untuk mempertahankan perdagangan pesisir Sulawesi Utara dari tangan KPM. Sementara beberapa orang Arab “menyerah” pada tahun 1935 dan bergabung dengan anak perusahaan KPM, yaitu CEKUMIJd, sementara yang laine bekerjasama dengan Jepang untuk membentuk MOKUMIJf yang turut bersaing. Orang-orang Arab terakhir, “menyerah” pada tahun 1929, setelah Belanda menolak sertifikat kelayakan laut untuk beberapa kapal mereka140.
Bahkan kehutanan dan pertanian menarik perhatian beberapa orang Arab. Di awal 1920-an, mereka dilaporkan mempekerjakan tenaga kerja lokal dan luar untuk memotong kayu hitam di Halmahera, untuk pasar Jepang, bersama dengan operator orang Cina dan Eropa141. Di awal 1930, seorang Arab Tual di kepulauan Kei memperoleh konsesi hutan di kepulauan Aru142. Pada tahun 1928, seorang Arab membeli perkebunan kelapa di pulau Kilwik, di kepulauan Kei, dengan harga 23.000 gulden dari CHVB Banda143.
Kekayaan dan keunggulan sosial orang-orang Arab tentu saja tetap besar. Yang paling mencolok adalah kasus Muhammad bin Abdallah al-Amudi, seorang Arab Ambon terkemuka, yang melakukan usaha berharga sejak tahun 1929 untuk merekonsiliasi faksi-faksi Alawi dan Irshadi dalam komunitas Hadhrami di Indonesia. Al-Amudi digambarkan sebagai anggota dari Raad van Ambong dan juru bicara untuk “koloni Arab yang banyak dan aktif” di pulau itu144.

Syekh Said bin Abdullah Baadila


Kesimpulan

Periode besar kontribusi orang-orang Arab terhadap ekonomi di Maluku, terjadi pada kuartal ketiga abad ke-19, pada saat ketika pesaing mereka, orang Cina dan Eropa tidak menunjukan minat pertarungan panjang kekaisaran Belanda ini. Konsentrasi orang-orang Arab yang hampir eksklusif pada aktivitas perdagangan dan maritim, mungkin menjadi kekuatan. Sebagai pendatang baru, meski sedikit jumlahnya, mereka bertahan pada pekerjaan yang mereka kenal baik, dan yang disesuaikan dengan daerah terpencil dan berpenduduk sedikit. Pada abad ke-20, komunitas-komunitas lain mulai muncul di permukaan, tetapi orang-orang Arab masih tetap ada. Penelitian Roy Ellen di pulau Geser dan Gorom, menunjukan bahwa mereka masih merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan di Maluku saat ini145.


===== selesai =====


Catatan Kaki
74.     Crawfurd, 1971: 23-24, 330; Spyer, 1997.
75.     Kol, 1903: 223-25; Reiner, 1956: 104.
76.    Broersma, 1934: 143, 145.
77.     Kunz and Stevenson, 1908.
78.     Beversluis and Gieben, 1929: 194-95; Kol, 1903: 223-25; Sluys, 1916; Merton, 1910: 143-48; Broersma, 1935-36: 65.
79.    Beversluis and Gieben, 1929: 192-95; Broersma, 1934: 325-26; Broersma, 1935-36: 67; Merton, 1910: 18.
80.    Broersma, 1934: 325; Hanna, 1978: 125. Emma was Queen Regent 1890-98.
81.      Broersma, 1934: 325-26, 335; Broersma, 1935-36: 67.
82.     Merton, 1910: 13, 18-19, 144, 168.
83.     Sluys, 1916: 299; Beversluis and Gieben, 1929: 192.
84.     Beversluis and Gieben, 1929: 192-95.
85.     Sluys, 1916: 300.
86.    Merton, 1910: 13.
87.     Kol, 1903: 204, 223-25.
88.     Berg, 1886: 148; Campo, 1992: 367, 386.
89.    Broersma, 1934: 144-45, 325.
90.    Personal communication from Jeroen Peeters, citing the Regeringsalmanak up to 1873.
91.     Ufford, 1856: 25.
92.    ANRI, 30, 161a, AV Ternate 1856; ANRI, 29, 1551, P. van der Crab, 'Beknopte memorie' October 1862.
93.    Crab, 1862: 53.
94.    Berg, 1886:148-49.
95.    ANRI, 30, 162a, AV Ternate 1875; ANRI, 31, 53, AV Menado 1877.
96.    Ufford, 1856: 111-12.
97.     Broersma, 1934: 144-45.
98.    Broersma, 1935-36: 425.
99.    ANRI, 30, 162a, AV Ternate 1876.
100.  Berg, 1886: 136-38; Fernando and Bulbeck, 1992:51.
101.   ANRI, 52, 1659, KV Buiten Bezittingen 1876; Campo, 1992: 167.
102.  Kol, 1903: 323, 335.
103.  ANRI, 30, 158, J. Wilier, 'Aantekeningen omtrent het noorder schiereiland van het eiland Halmahera' October 1847; Wallace, 1986: 426-27; Broersma, 1934: 137; Beversluis and Gieben, 1929: 221.
104.  Personal communication from Roy Ellen.
105.  Berg, 1886: 156-58.
106.  Kol, 1903: 173-74.
107.  Broersma, 1934: 325.
108.  ANRI, 31, 53, AV Menado 1876.
109.  Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië. Tweede druk: 4 , 314.
110.   Fernando and Bulbeck, 1992: 59, citing Fokkens Report 1897.
111.     Clercq, 1890: 94; Koloniaal Verslag, 1878: 30.
112.    Schouten, 1981: 239-40.
113.    Campo, 1992.
114.    Broersma, 1934: 321; Bokemeyer, 1888: 351-52; Kol, 1903: 204-06.
115.    ANRI, 30, 162a, AV Ternate 1884-85.
116.   Bokemeyer, 1888: 359; Broersma, 1934: 328.
117.    Broersma, 1934: 146-47, 324-25.
118.    Fernando and Bulbeck, 1992: 245.
119.   ANRI, 31, 52, AV Menado 1881, 1884-85; ANRI, 30, 162a, AV Ternate 1881.
120.  Jansen, unpublished: 18-19.
121.    Broersma, 1934: 321-23, 338-41; Ellen, 1996, for eastern Seram.
122.   Spyer, 1997: 530.
123.   Campo, 1992: 310-11; Dick, 1989: 248.
124.   Reiner, 1956: 104.
125.   Kol, 1903: 163, 198.
126.  Schouten, 1993: 173-80.
127.   ANRI, 29, 583, AV Amboina 1889. For prices, Kol, 1903: 161.
128.   Broersma, 1934: 325-26; Hanna, 1978: 125.
129.  Vleming and others, 1926: 272-77.
130.  Kol, 1903: 148, 151, 369 (n.l).
131.    Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie. Tweede druck: 1, 35, 806, 2, 701-03, and 4, 315.
132.   Habiboe, 1989: 270.
133.   Broersma, 1934: 343.
134.   Kol, 1903: 362 and passim.
135.   Broersma, 1935-36: 60-61.
136.  Broersma, 1934: 332-33, 337-38.
137.   Beversluis and Gieben, 1929: 194.
138.   Geurtjens, 1921: 241-42.
139.   Jansen, unpublished: 19.
140.  Dick, 1987: 10-11.
141.    Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie. Tweede druk: 4, 314-15; Vleming and others, 1926: 276.
142.   Broersma, 1935-36: 71.
143.   Broersma, 1934: 327.
144.   Plas, 1931: 177-78.
145.   Ellen, 1996.

Catatan Tambahan
a.        Syech Said bin Abdullah Baadilla adalah kakek (dari pihak ibu) dari Des Alwi Abubakar, atau yang lebih dikenal dengan nama Des Alwi
b.       Syech Said bin Abdullah Baadilla menjadi pemimpin kaum Arab (dengan pangkat Letnan) di Banda sejak 28 Juni 1889
c.        Heer Hoedt yang mungkin dimaksud oleh sang penulis adalah Dirk Samuel Hoedt, kelahiran Ambon, 6 Juli 1815 dan meninggal di Ambon pada 3 Januaria 1893. Ia adalah putra tertua dari Johanes Hoedt dan Petronella Magdalena Rabe. Ia menikah dengan Sara Wilhelmina Rijkschroef di Ambon pada 23 Juli 1840.
d.       CEKUMIJ kepanjangan dari Celebes Kuustvaart Maatschappij, didirikan pada tahun 1935
e.        Yang dimaksud adalah Sayyid Abd Al-Rahman Syaikh al-Hasni
f.         MOKUMIJ kepanjangan dari Motor Kuustvaart Maatschappij
g.        Syech Muhammad bin Abdullah Alamudi menjadi anggota gementeeraad Ambon (1927 – 1929), juga anggota Comitee Keperloean Ambon (1927 – 1929)


References

Algadri, Hamid. 1994. Dutch policy against Islam and Indonesians of Arab descent in Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Alsagoff, Syed Mohsen. [1963]. The Alsagoff family in Malaysia, A.H. 1240 (A.D. 1824) to A.H. 1382 (A.D. 1962), with biographical and contemporary sketches of some members of the Alsagoff family. Singapore: privately printed.
Andaya, L.Y. 1993. The world of Maluku: eastern Indonesia in the early modern period Honolulu: University of Hawaii Press.
Bastiaanse, J.H. de Boudyck. 1845. Voyagefait dans les Moluques, a la Nouvelle Guinée et a Célèbes, Paris: A. Bertrand.
Berg, L.W.C. van den. 1886. Le Hadhramout et les colonies arabes dans I'archipel indien. Batavia: Imprimerie du Gouvernement.
Beversluis, A.J., and Gieben, A.H.C. 1929. Het gouvernement der Molukken. Weltevreden: Landsdrukkerij.
Bokemeyer, H. 1888. Die Molukken: Geschichte und quellenmässige Darstellung der Eroberung und Verwaltung der ostindischen Gewürzinseln durch die Niederldnder. Leipzig: F.A. Brockhaus.
Broersma, R. 1934. Koopvaardij in de Molukken. Koloniaal Tijdschrift, 23 (2), 129-47; 23 (4); 320-50.
Broersma, R. 1935-36. Land en volk in Molukken-Zuid. Koloniaal Tijdschrift, 24 (6),416-34; 25 (1), 42-71.
Brown, R. A. 1994. Capital and entrepreneurship in South-East Asia. London: Macmillan.
Campo, J.N.F.M. à. 1992. Koninklijke Paketvaart Maatschappij, stoomvaart en staatsvorming in de Indonesische archipel, 1888-1914. Hilversum: Verloren.
Clarence-Smith, W. G. 1997. Hadhrami entrepreneurs in the Malay world, c. 1750 to c. 1940. (In Freitag, U., and Clarence-Smith, W.G. (ed.). Hadhrami traders, scholars and statesmen in the Indian Ocean, 1750s-1960s. Leiden: E. J. Brill, 297-314.)
Clarence-Smith, W. G. Unpublished. Horse trading: the economic role of Arabs in southeastern Indonesia, c. 1800 to c. 1940. [Paper presented at conference 'The Arabs in South-East Asia, 1870-C.1990', Leiden, KITLV, 8-12 December 1997.]
Clercq, F.S.A. 1890. Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate. Leiden: E.J. Brill.
Crab, P. van der. 1862. De Moluksche eilanden: reis van Z.E. den Gouverneur-Generaal C.F. Pahud door den Molukschen archipel. Batavia: Lange en Co.
Crawfurd, J. 1971.A descriptive dictionary of the Indian islands and adjacent countries. Kuala Lumpur: Oxford University Press. (Oxford in Asia Historical Reprints.) [First published 1856.]
Dick, H. 1987. The Indonesian interisland shipping industry. Singapore: ISEAS.
Dick, H. 1989. Japan's economic expansion in the Netherlands Indies between the first and second World Wars. Journal of Southeast Asian Studies, 20 (2), 244-72.
Dijk, K. van. 1995. From colony to independent state: the changing fate in Minahasa of a tiny Muslim minority amidst Christians. (In Schefold, R. (ed.). Minahasa past and present. Amsterdam: CNWS, 72-91).
Djinguiz, Mohammed. 1909. L'islam dans les possessions hollandaises, portugaises, et américaines de l' archipel indien. Revue du Monde Musulman, 1 (1-2), 104-20.
Dobbin, C. 1991. The importance of minority characteristics in the formation of business elites on Java: the Baweanese example, c.1870-c.1940. Archipel, 41, 117-27.
Dobbin, C. 1994. Accounting for the failure of the Muslim Javanese business class: examples from Ponorogo and Tulungagung, C.1880S-1940. Archipel, 48, 87-101.
Dobbin, C. 1996. Asian entrepreneurial minorities: conjoint communities in the making of the world economy, 1570-1940. Richmond: Curzon Press.
Ellen, R. F. 1996. Arab traders and land settlers in the Geser-Gorom archipelago. Indonesia Circle. 70, 237-52.
Fernando, M.R., and Bulbeck, D. 1992. Chinese economic activity in Netherlands India: selected translationsfrom the Dutch. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Forbes, H. 0. 1885. A naturalist's wanderings in the eastern archipelago. London: Sampson, Low, Marston, Searle and Rivington.
Geurtjens, H. 1921. Uit een vreemde wereld, of het leven en streven der inlanders op de Kei-eilanden. 's Hertogenbosch: Teulings.
Habiboe, R.R.F. 1989. De economische ontwikkeling van de Molukken 1900-1938. (In Clemens, A.H.P., and Lindblad, J.T. (ed.). Het belang van de buitengewesten, economische expansie en koloniale staatsvorming in de Buitengewesten van Nederlands-lndië, 1870-1942. Amsterdam: NEHA, 243-76.)
Hanna, W. A. 1978. Indonesian Banda: colonialism and its aftermath in the nutmeg islands. Philadelphia: Institute for the Study of Human Issues.
Heuken, A. 1996. Arab landowners in Batavia/Jakarta. Indonesia Circle, 68, 65-74.
Jacobsen, A. 1896. Reise in die Inselwelt des Banda-Meeres. Berlin: Mitscher und Röstell.
Jansen, W.H.M. Unpublished. De economische ontwikkeling van de Residentie Menado, 1900-1940. [Doctoral dissertation, University of Leiden, 1990.]
Jonge, H. de. 1993. Discord and solidarity among the Arabs in the Netherlands East Indies, 1900-1942. Indonesia, 55, 73-90.
Jonge, H. de. 1997. Dutch colonial policy pertaining to Hadhrami immigrants. (In Freitag, U. and Clarence-Smith, W. G. (ed.). Hadhrami traders, scholars and statesmen in the Indian Ocean, 1750s-1960s. Leiden: E.J. Brill, 94-111.)
Kol, H. van. 1903. Uit onze koloniën; uitvoerig reisverhaal. Leiden: A. W. Sijthoff.
Kolff, D. H. 1840. Voyage of the Dutch brig of war Dourga through the southern and little known parts of the Moluccan archipelago and along the previously unknown southern coast of New Guinea, performed in the years 1825 and 1826. London: Madden and Co.
Kunz, G. F., and Stevenson, C. H. 1908. The book of the pearl: the history, art, science, and industry of the queen of gems. London: Macmillan.
Lombard, D., and Aubin, J. (ed.). 1988. Marchands et hommes d'affaire asiatiques dans I'Océan Indien et la Mer de Chine, XIIIe-XXe siècles. Paris: EHESS.
Mansvelt, W.M.F. [1924-26]. Geschiedenis van de Nederlandsche Handel-Maatschappij. Haarlem: J. Enschedé en Zonen. 2 vols.
Martin, K. 1894. Reisen in den Molukken, in Ambon, den Uliassern, Seran (Ceram) und Buru. Leiden: E.J. Brill.
Merton, H. 1910. Forschungsreise in den Südöstlichen Molukken (Aru- und Kei-Inseln). Frankfurt-am-Main: Senckenbergischen Naturforschenden Gesellschaft.
Neurdenburg, J. C. 1880. De Islam in Nederlandsch-Indië. Mededeelingen van Wege het Nederlandsche Zendinggenootschap, 24, 294-305.
Peeters, J. Unpublished. Kaum Tuo—Kaum Mudo; sociaal-religieuze verandering in Palembang, 1821-1942. [Doctoral dissertation, University of Leiden, 1994.]
Plas, C. O. van der. 1931. De Arabische gemeente ontwaakt. Koloniaal Tijdschrift, 20 (2), 176-85.
Reiner, E. 1956. Die Molukken. Gotha: Hermann Haack.
Schouten, M. 1981. Minahasa and Bolaangmongondow: an annotated bibliography, 1800-1942. The Hague: Martinus Nijhoff.
Schouten, M. 1993. Minahasan metamorphoses: leadership and social mobility in a Southeast Asian society, c. 1680-1983. Covilhã: Universidade da Beira Interior.
[Sluys, A.G.H. van]. 1916. Dobo-ervaringen. Koloniaal Tijdschrift. 5 (2), 299-317. [Attribution of authorship by G. Telkamp.]
Spyer, P. 1997. The eroticism of debt: pearl divers, traders and sea wives in the Aru islands, eastern Indonesia. American Ethnologist, 24 (3), 515-38.
[Ufford, H. Quarles van]. 1856. Aantekeningen betreffende eene reis door de Molukken van Z.E. den Gouverneur-Generaal Mr. A.J. Duymaer van Twist. The Hague: Martinus Nijhoff. [Attribution of authorship in Schouten, 1981.]
Vleming, J.L., and others. 1926. Het Chineessche zakenleven in Nederlandsch-Indië. Weltevreden: Volkslectuur.
Vuldy, C. 1985. La communauté arabe de Pekalongan. Archipel, 30, 95-119.
Wall, V.I. van de. 1928. Nederlandsche oudheden in de Molukken. The Hague: Martinus Nijhoff.
Wallace, A. R. 1986. The Malay archipelago, the land of the orang-utan and the bird of paradise. Singapore: Oxford University Press. (Oxford in Asia Historical Reprints.) [First published 1869.]
Warren, J. F. 1981. The Sulu zone, 1768-1898: the dynamics of external trade, slavery, and ethnicity in the transformation of a Southeast Asian maritime state. Singapore: Singapore University Press.
Wright, A. and Cartwright, H.A. 1908, Twentieth century impressions of British Malaya, London: Lloyds Greater Britain [unabridged edition].
Wright, H.R.C. 1958. The Moluccan spice monopoly, 1770-1824. Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. 31 (4), 1-127.

2 komentar:

  1. Selamat siang
    Saya Tuti, dari Jogja. Saat ini saya sedang meneliti komunitas jepang di Kepulauan Aru pada akhir abad ke 19 sampai 1942. Salam kenal.

    BalasHapus
    Balasan
    1. salam kenal juga.... terima kasih sudah berkunjung ke blog kami... maaf sebelumnya.... artikel-artikel yang kami muat di sini lebih "berfokus" pada wilayah Ambon-Lease atau yang punya fungsi membentuk "histori" Ambon-Lease, sehingga kurang mengetahui dan memiliki sumber-sumber tentang wilayah yang menjadi fokus penelitian mbak... salam

      Hapus