Sabtu, 06 Juni 2020

PERAN EKONOMI KOMUNITAS ARAB DI MALUKU 1816 – 1940 (bagian 1)


Oleh
W.G. Clarence – Smith


William Gervase Clarence-Smith

  1. Kata Pengantar

Artikel yang kami terjemahkan ini aslinya berjudul The Economic Role of The Arab Community In Maluku : 1816 – 1940, karya William Gervase Clarance-Smith, profesor sejarah ekonomi spesifikasi untuk Asia dan Afrika, asal Universitas London. Artikel ini dimuat dalam Jurnal Indonesia and the Malay World, volume 26, nomor 74 tahun 1998, hal 32 – 49. Artikel sepanjang 18 halaman ini berisikan 12 halaman kajian, 2 peta, 146 catatan kaki (3 halaman) dan referensi (3 halaman).
Memang artikel milik Clarence-Smith ini bukanlah kajian terbaru karena telah 22 tahun lalu, namun sepengetahuan kami, tidak banyak kajian yang menyoroti tema ini, yaitu peranan ekonomi kaum Arab di Maluku. Kajian yang sedikit lebih “tua” dari ini, adalah kajian dari Roy Frank Ellen yang mengkaji tentang aktivitas ekonomi para pedagang Arab dan komunitas Arab di kepulauan Geser-Gorom, Seram Timur, pada tahun 1996a.
Jika karya Ellen lebih berfokus pada konteks wilayah yang lebih “lokal” maka kajian Clarence-Smith ini lebih luas, yaitu di Gubernemen Maluku.
Memang, menurut Istiqomah dalam thesis PhD-nya yang berjudul The Hadhrami Arabs of Ambon : An Ethnographic Study of Diasporic Identity Construction in Everyday Life Practise, yang dipertahankan pada Januari 2020 di Universitas Groningen, bahwa kajian Clarence-Smith ini.....but his sketch remains rather brief and fragmented (namun sayangnya, kajiannya lebih dari sekedar uraian singkat dan sepotong-sepotong)b.
Meski bagitu, menurut kami, karya Clarence-Smith ini tetaplah berharga untuk dibaca, ya minimal sebagai dasar pemahaman kita untuk memahami bahwa selain orang-orang China, ada juga orang-orang Arab di Maluku. Dari sketsa “umum” ini, kita bisa mengetahui aktivitas mereka, dan mengerti dalam skop yang lebih “lokal” mengapa mereka ada di Pulau Saparua.

Berdasarkan pemahaman itulah, kami menerjemahkan artikel itu, dan membaginya menjadi 2 bagian. Seperti disebutkan bahwa artikel aslinya, ada sebanyak 146 catatan kaki dari penulis, namun pada artikel terjemahan ini, hanya 145 catatan kaki yang kami muat, karena 1 catatan kaki yaitu catatan kaki nomor 1 (pada artikel asli), tidak kami masukan, karena hanyalah berisikan ucapan terima kasih dari penulis kepada beberapa pihak, yang membantu penulis.
Kami juga menambahkan beberapa gambar ilustrasi dan menambahkan catatan tambahkan, jika kami anggap perlu untuk ditambahkan.
Akhir kata... selamat membaca... semoga pengetahuan dan wawasan kesejarahan kita semakin bertambah.


  1. Terjemahan : Kutu Busu


Pendahuluan

                “Orang Cina dan Arab” adalah frase standar yang sering muncul dalam tulisan-tulisan kolonial tentang Indonesia, dan beberapa penulis Belanda sangat menyadari bahwa orang Arab dari Hadhramaut (Arab Selatan) berkontribusi besar terhadap koloni mereka. Namun, studi-studi terbaru berkonsentrasi hampir secara eksklusif hanya pada orang-orang Cina. Survei umum Rajeswary Brown tentang kaum usahawan memberikan analisis yang merangsang tentang kontribusi orang Cina, tetapi menghilangkan kontribusi orang-orang Arab dalam konteks yang sama1. Sebaliknya, kumpulan dokumen terjemahan yang berfokus pada orang-orang Cina di Indonesia, ternyata menjadi sumber informasi berguna yang tak terduga tentang aktivitas ekonomi orang-orang Arab2. Sebuah kajian tentang orang Arab di Indonesia menekankan kontribusinya pada perjuangan nasionalis, tetapi tidak menyoroti peran ekonomi mereka3. Mengkampanyekan historiografi yang tidak adil ini adalah mitos terhadap “keperkasaan” ekonomi Tiongkok, yang menginformasikan banyak prasangka anti-Cina di Indonesia saat ini.
Untungnya, minat yang tumbuh pada peran ekonomi orang Arab, belum lagi tentang perdagangan komunitas pribumi Indonesia, bertindak sebagai koreksi bermanfaat terhadap pandangan tentang “monopoli Cina” ini4. Tidak hanya orang Arab hampir selalu hadir bersama orang Cina, tetapi kadang-kadang posisi ekonomi orang Hadhramis lebih unggul dari pesaing Cina mereka, yang bertindak sebagai klien mereka. Dua kasus pada abad ke-19 yang terkenal dari jenis ini adalah Palembang di Sumatera bagian tenggara, dan Pekalongan di Jawa Tengah bagian utara5. Wilayah tengah Nusa Tenggara adalah daerah dengan jenis yang serupa6


Keunggulan ekonomi orang-orang Arab atas orang-orang Cina, mungkin juga dicapai di Maluku pada abad ke-19, meskipun berlaku singkat dan tidak lengkap7. Orang-orang Hadhramis mengeksploitasi “jendela peluang” pada dekade awal abad ini (abad ke-19), yang memberi mereka keuntungan sementara atas perdagangan komunitas lainnya. Akan tetapi, lebih mudah untuk melacak kebangkitan aktivitas usaha orang Hadhrami, daripada memberikan catatan pada kemunduran parsialnya sejak tahun 1880an. Masalahnya, adalah bahwa dokumen-dokumen pada “Arsip Karesidenan” dari Arsip Nasional Republik Indonesia tidak lengkap dan kurang memadai setelah sekitar tahun 1880, dan “berhenti” sama seklai sekitar tahun 1914.
Jumlah pasti penduduk Arab di Maluku tidak dapat ditentukan dengan tepat. Banyak yang datang pada awalnya untuk musim perdagangan8. Bahkan ketika mereka menjadi penduduk, hanya beberapa yang tinggal selama beberapa tahun, sebelum kembali dengan “harta” mereka, dan kemudian digantikan oleh pendatang baru9. Selain itu, orang-orang Arab dari Ternate dan Buru tidak menetap di tempat khusus, dimana terma “timur asing” yang dimaksudkan dapat diterapkan sesuai hukum10. Di Menado dan wilayah tetangganya yaitu Kema, orang-orang Arab hanyalah bagian dari populasi “slam/salam”, wilayah Muslim di kota-kota Kristen11. Hanya di Dobo, ibu kota kepulauan Aru, dan di Banda, ada referensi tentang tempat tinggal orang Arab yang jelas batasannya12. Semua ini menciptakan kesulitan untuk yakin pada statistik dari tahun-tahun yang tersebar, tetapi angka-angka yang tersedia dicatat pada tabel di bawah ini.

Jumlah Orang Arab di Karesidenan-karesidenan Maluku


1859
1870
1885
1905
1915
Ambon
Ternate         
Manado
53
23
11
170
66
17
444
111
147
875
368
819
na
na
1600

Note: In 1905, Banda, Seram, and Aru: 518; New Guinea: 52; non-Minahasa Manado: 453.
Sources: Berg, 1886: 108-09 (1859-85); Koloniaal Verslag, 1907 (1905); Encyclopaedic van Nederlandsch Indie. Tweede druk, 2, 701 (1915 Manado).


Mengenai asal-usul mereka, orang-orang Arab dari Menado dan Gorontalo pada tahun 1870an dikatakan termasuk beberapa pendatang baru dari Arab, tetapi terutama para Hadhramis yang sebelumnya menetap di wilayah-wilayah lain kekuasan Belanda13. Di Karesidenan Ternate tercatat bahwa 30 dari 69 orang Arab di karesidenan itu adalah wanita pada tahun 1875-1876, mungkin berasal dari campuran Arab-Indonesia, karena wanita hampir tidak pernah keluar dari Hadhramaut14. Van der Crab berpendapat, bahwa sebagian besar orang Arab di Maluku, berasal dari Batavia dan Surabaya di Jawa, dengan beberapa yang berasal dari Palembang di Sumatera15.


Perdagangan

Kehadiran perdagangan Arab kuno di Indonesia Timur, dimana peran kaum Hadhrami masih harus ditentukan, karena dibatasi oleh kedatangan bangsa Eropa pada abad ke-1616. Portugis dan Belanda mengelola cengkih, pala, bunga pala, dan cendana untuk mereka sendiri, dan Belanda memonopoli barang-barang dagang utama lainnya, terutama beras, garam dan tekstil. Sedikit perdagangan swasta yang diizinkan Belanda secara istimewa disalurkan ke tangan orang-orang Kristen setempat17.
Namun, komunitas Arab mungkin sepenuhnya tidak terusir, bahkan di pusat-pusat utama Belanda seperti pulau-pulau Banda, sumber dari pala dan bunga pala18. Selain itu, para penyelundup berkembang lebih berani, karena hegemoni angkatan laut Belanda (VOC) melemah pada abad ke-18. Di garis terdepan gelombang penyelundupan ini adalah pelaut Muslim dari Sulawesi barat daya, Bugis, Makasar dan Mandar19. Pedagang Arab membeli rempah-rempah yang diselundupkan keluar daerah itu pada akhir abad ke-18, dan mungkin telah menjelajah ke Indonesia bagian timur sendiri20.
Pembatasan ekonomi diberlakukan kembali pada akhir tahun 1810an, saat Inggris mengembalikan Maluku ke Belanda, ketika Inggris bergantung pada ilusi bahwa kemakmuran, mungkin berasal dari sistem monopolistik lama. Namun, sistem neo-merkantilis ini dirusak oleh sejumlah besar barang selundupan yang luar biasa21. Tujuan akhir dari banyak produk Indonesia Timur adalah Cina Selatan, dan perdagangan legal ke Cina melalui pelabuhan-pelabuhan Jawa telah menghilang pada akhir tahun 1830an22. Hal ini disebabkan karena para pejabat Belanda menutup mata terhadap pedagang Cina dari Manila yang memasuki Maluku23.
Yang jauh lebih tidak disukai oleh Belanda adalah “Bugis licik”, yang berhubungan dekat dengan pedagang Arab di Singapura setelah tahun 181924. Hubungan intim orang Arab dengan orang-orang dari Sulawesi barat daya terbukti dengan diperkuat oleh keyakinan Muslim yang kuat dari kedua belah pihak dan pernikahan campuran antar mereka25. Orang Arab memasuki timur Indonesia secara ilegal pada periode ini, ketika sebuah kapal penyelundupan ditangkap di dekat Gorontalo pada tahun 1830, dengan kapten seorang Arab dan kru kapal orang Bugis26. Tidak seperti orang Cina, para pedagang ini membawa barang-barang terlarang dan menghindari pelabuhan-pelabuhan Belanda27. Orang-orang Arab selanjutnya dituduh terlibat dalam pembajakan, terutama di “sarang bajak laut” yaitu Tontoli (Toli-toli) di Sulawesi barat laut28.
Sebagian besar kaum usahawan Arab bukan dari jenis ini, tetapi terlibat dalam perdagangan swasta “legal” yang tersedia di pelabuhan-pelabuhan milik Belanda. Biasanya, mereka datang dari Jawa, dan menjadikan Banda atau Ambon sebagai markas utama mereka. Sayid Hasan al Hibshi, seorang pedagang kaya dari Jawa yang dekat dengan pemerintah Belanda, memperkerjakan seorang Letnan kaum Cina Ambon sebagai agennya pada tahun 182029. Orang-orang Arab menjadi pedagang di Ambon, tempat utama para pesaing mereka, yaitu orang Cina dari Makasar30. Ternate menjadi pusat imigrasi lainnya dari orang-orang Arab, ketika Belanda membuang Sultan Palembang yang kalah di sana pada tahun 1821c, bersama-sama dengan sekelompok besar pengikutnya. Di antara mereka ada Umar al – Saqqaf (Alsagoff), anggota keluarga terkemuka sayyid dari Hijaz dan Hadhramaut, pedagang utama di Singapura31

Sultan Mahmud Badarudin II, yang diasingkan ke Ternate (1821 - 1852)

Liberalisasi ekonomi secara bertahap sejak akhir tahun 1840an, ditambah dengan munculnya navigasi uap (kapal uap) pada tahun 1850an, membuat orang-orang Arab berimigrasi dalam jumlah yang semakin banyak ke pulau-pulau bagian timur32. Layanan kapal uap bersubsidi pertama dari Jawa ke Ambon, Ternate dan Menado dimulai pada tahun 1852, dan diperluas hingga mencakup Banda pada tahun 185433. Dari berbagai pedagang yang memasuki wilayah itu melalui kapal uap dari Jawa, orang-orang Arab diuntungkan secara tidak proporsional34. Orang-orang Arab “mengalahkan” orang-orang Cina, yang masih berlayar dari Manila dengan kapal layar “Eropa kuno”35.
Gelombang kedua imigrasi Arab mengikuti kapal uap dari Arab Saudi, akibat pembukaan terusan Zues pada tahun 1869. Orang-orang dari Hadhramaut sekarang datang dalam jumlah yang semakin meningkat dengan kapal uap ke Singapura dan Indonesia36. Secara kelembagaan, proses ini tercermin dalam pengangkatan Kapten kaum Arab di Maluku oleh Belanda : di Banda dan Ambon pada tahun 1878d, di Ternate tahun 1881e, dan tahun 1894 di Manado dan Gorontalo37/f.
Ambon menjadi pusat utama perdagangan orang Arab, sementara Banda cenderung menurun. Pada tahun 1850, dilaporan bahwa orang Arab tiba di Ambon dalam jumlah yang lebih besar setiap tahun. Mereka bersaing ketat dan berhasil “mengalahkan” para pedagang Cina yang telah mapan, yang status dan kekayaannya terus menurun. Adapun mengenai kaum burger Kristen Ambon, mereka pada saat itu telah diturunkan ke sebagian kecil dari perdagangan, terutama barang-barang bernilai rendah/kecil38.
Menado merupakan pusat kaum Hadhramis yang dinamis. Sebuah laporan dari Menado tahun 1856, mengeluhkan bahwa “orang Arab yang licik” mengambil alih perdagangan, dengan mengorbankan orang Cina dan Eropa39. Orang-orang Arab di Menado sering menjadi wakil atau agen dari kelompok penduduk yang di Jawa, meskipun seorang Arab membeli produk untuk orang-orang Arab Surabaya dan perusahaan milik orang Eropa, Reiss & Co40.
Komunitas Arab Ternate mengalami kemunduran hingga diambil alih oleh perdagangan di Maluku Tenggara dan Irian Jaya sejak tahun 1870an41. Tual, di kepulauan Kei, sebelah tenggara kepulauan Banda, menjadi benteng kaum Arab sejak tahun 1880an. Ini adalah salah satu pusat perdagangan di Maluku, dimana orang Arab tampaknya “kalah” jumlah dengan orang Cina selama periode yang dibicarakan42.
Spesialisasi pendatang baru kaum Arab dalam perdagangan sangatlah terkenal. Di Karesidenan Ternate pada tahun 1853, orang-orang Cina bertindak sebagai pemungut pajak, karyawan, dan pengrajin, juga sebagai pedagang. Sebaliknya, komunitas kecil dari 22 warga Arab digambarkan sebagai pedagang, dengan 7 pedagang “berskala besar” di pulau Ternate dan 2 pedagang di pulau tetangganya, Tidore43. Pada tahun 1876, Residen sekali lagi mengklasifikasikan bahwa semua laki-laki Arab di Ternate adalah pedagang, suatu posisi yang digaungkan oleh rekan-rekan mereka di Ambon pada tahun 188044. Dari 28 penduduk Arab di karesidenan Menado pada tahun 1874, 10 orang termasuk dalam perdagangan berskala besar, dan sisanya, kecuali 1 orang, termasuk dalam perdagangan berskala kecil45.


Komoditas-komoditas lokal yang diperdagangkan orang Arab

Tekstil melampaui semua komoditas lain yang dijual oleh orang Arab di Maluku. Memang, tekstil Eropa bernilai lebih dari gabungan setiap barang lainnya dalam penjualan orang-orang Arab di dunia Melayu-Indonesia secara keseluruhan pada tahun 1880an46. Di Pulau Saparua, yang dekat dengan Ambon, orang-orang Arab terutama mengimpor jenis kain hitam tertentu pada tahun 186948. Di Ternate, kain dan barang tenunan digambarkan sebagai andalan perdagangan orang Arab dengan penduduk setempat pada tahun 187548. Posisi kuat dalam penjualan kain ini, mungkin dikaitkan dengan posisi orang Arab dalam pembuatan kain batik di Jawa49.
Kualitas dan harga tekstil sangat penting untuk keberhasilan orang Arab khususnya di Indonesia, dibandingkan dengan kain yang diperoleh dari orang Cina dari Manila50. Van der Crabg, yang berniat membatasi penetrasi perdagangan orang Arab, menghubungkan keberhasilan mereka dengan kenyataan bahwa mereka membawa barang dagangan mereka dengan kapal uap sebagai bagasi pribadi, dan dengan demikian maka tidak membayar biaya pengiriman. Dia lebih lanjut menuduh bahwa, orang Arab “merusak” penjualan tekstil dengan cara membeli dalam jumlah besar dengan harga murah dalam proses lelang di Jawa, dan kemudian menjualnya dengan harga tinggi kepada orang-orang yang tidak menaruh curiga di Indonesia Timur51.
Candu dan alkohol sering disebutkan oleh para pejabat Belanda, tetapi peran orang Arab dalam menjual produk-produk ini tidak jelas, karena orang Hadhramis yang saleh, menganggap penjualan obat-obat itu, adalah terlarang dalam Al-quran. Ada kemungkinan bahwa orang Bugis dan orang-orang lain di Sulawesi barat daya, agak kurang keras dari kaum Hadhramis, yang biasanya bertanggung jawab untuk menjual barang-barang seperti itu. Orang-orang Arab tentu saja meninggalkan perdagangan alkohol yang terlarang itu, dan “memberikan” kepada orang Eropa dan pedagang Kristen berdarah campuran di Menado pada awal tahun 1880an52. Namun, pada tahun 1870an, orang Arab dilaporkan mengimpor opium dari Teluk Tomini, yang datang melalui Kalimantan Timur dan melewati pelabuhan yang dikuasai oleh Belanda53. Orang Arab juga dituduh membawa opium dan alkohol ke Irian Jaya sejak tahun 1880an54.
Penjualan senjata api menyebabkan konflik dengan pihak berwenang yaitu Belanda, dan menimbulkan masalah bagi masyarakat Hadhramis. Belanda menuduh bahwa penjualan senjata api oleh orang Arab merangsang perang antar suku, yang membuat perdagangan di Irian Jaya begitu berbahaya pada tahun 1880an. Namun, kondisi tanpa hukum di Irian Jaya mengancam keselamatan pribadi pedagang Arab, yang terus menerus bersiaga, dan siap berlayar pada saat itu juga. Memang, orang-orang Arab Ternate bergabung dengan komunitas-komunitas lain mengeluh tentang situasi ini pada tahun 188855.
Keterlibatan orang Arab dalam perdagangan budak adalah pertikaian lebih lanjut dengan pejabat, terutama di daerah-daerah pinggiran di luar kendali Belanda yang efektif, seperti di Teluk Tomini di luar Gorontalo56. Hingga tahun 1902, orang Arab dan Bugis dituduh berkolaborasi erat dalam perdagangan klandestin (bawah tanah) para budak di wilayah Palu, Sulawesi barat laut57.
Pada abad ke-19, orang Arab berdagang beras di kepulauan timur. Sayyid Hasan al-Hibshi membeli beras dari Jawa dan Bali untuk angkatan bersenjata Belanda, dan juga menjualnya kepada pedagang Bugis untuk didistribusikan kembali di Maluku Tengah dan Selatan58. Pada akhir tahun 1870an, beras adalah salah satu dari 3 produk utama yang dijual oleh orang Arab di Teluk Tomini59. Namun, perdagangan ini tidak lagi disebutkan dalam beberapa dekade kemudian, meskipun mungkin tetap bertahan dalam skala kecil. 

Makam Sultan Palembang di Ternate

Komoditas-komoditas yang diekspor orang Arab

Komoditas-komoditas untuk eskpor hanya mendapat penekanan pada sumber dari dekade terakhir abad ke-19, tetapi orang Arab lebih awal terlibat dalam eskpor minyak kayu putih, yang diekstraksi dari sejenis daun kayu putih yang tumbuh di pulau Buru. Sejak awal, yaitu pada tahun 1854, kelompok terbesar kedua di karesidenan Ambon, yaitu “kaum Arab dan timur asing” ada di Buru. Mereka berjumlah 172 orang, berbanding dengan hanya 2 orang Cina. Pada waktu itu, minyak kayu putih adalah barang ekspor “bebas” yang paling berharga di karesidenan Ambon, yang tidal termasuk monopoli pemerintah60. Dalam tahun 1880an, daun kayu putih dikumpulkan oleh penduduk lokal dan dijual kepada orang Arab dan Cina, yang menyediakan barang dagangan. Didistilasi secara “kasar” dengan api terbuka di hutan, minyak itu dieskpor ke Sulawesi Selatan, Jawa, Cina dan Thailand. Minyak itu digunakan sebagai balsem serbaguna, terutama untuk mata61. Seorang Arab, Sa’id (atau Sayyid?) Muhammad, sangat menonjol dalam perdagangan ini pada tahun 188062.
Banyak produk “legal” lainnya, yang dibeli oleh orang Arab dikumpulkan atau diburu oleh orang-orang lokal di hutan. Di Sulawesi Utara pada tahun 1880an, pedagang Arab membeli damar (getah pohon copal), yang banyak dikonsumsi pada industri pernis, serta rotan, yang banyak digunakan untuk furnitur63. Pada dekade yang sama, orang Arab di Irian Jaya terutama membeli kulit bulu-bulu burung cendrawasih untuk pasar mode di Paris, pala liar, dan getah pohon copal64. Di kepulauan Kei, pedagang Arab membeli kayu besi, yang digunakan untuk pembangunan kapal di Makasar, dan kelapa, yang darinya minyak diekstraksi dan dikirim ke Banda65. Sementara itu, orang-orang Cina juga berurusan dengan komoditas-komoditas ini, orang-orang Arab tidak disebut dalam urusan membeli barang-barang yang berkaitan dengan makanan lezat bagi pasar Cina, seperti teripang, sirip hiu dan sarang burung.
Pembelian produk budidaya oleh orang Arab untuk ekspor disebutkan dari pertengahan tahun 1860an. Setelah pemerintah Belanda melepaskan monopoli cengkihnya di Ambon pada tahun 1864, orang-orang Arab masuk dan mengambil bagian besar dari pasar dengan membuat kemajuan bagi para pembudidaya lokal66. Meskipun pekebun orang Eropa mendapatkan kendali atas sebagian besar pemasaran pala dan bunga pala di Banda, setelah penghapusan monopli pemerintah pada tahun 1873, keluarga terkemuka yaitu al – Saqqaf di Singapura mengimpor rempah-rempah dari Banda pada tahun 1900an, dan tampaknya telah terlibat dalam perdagangan rempah-rempah Maluku sejak periode yang jauh lebih awal67. Di Minahasa, orang Arab terutama membeli pala, kakao, dan kopra, sedangkan kopi tetap merupakan monopoli pemerintah hingga tahun 189968.
Kopi mungkin merupakan sesuatu yang istimewa bagi orang Arab. Orang Bugis-Gorontalo, mungkin menjadi klien pedagang Arab, yang memasarkan kopi dari Teluk Tomini pada tahun 1870an, dan produksi kopi di sekitar Gorontalo sendiri, tumbuh sederhana setelah penghapusan monopoli pemerintah pada tahun 187069. Kopi milik petani yang tumbuh bebas tampaknya telah dijual secara istimewa kepada orang-orang Arab di Seram Timur, setidaknya pada tahun 1920an70. Kopi sebagian kecil ditanam oleh petani plasma gratis di tempat lain di Maluku, di Seram Barat, Buru, Kepulauan Kei, Wetar, dan Pantar, tetapi tidak ada catatan bagaimana barang ini dipasarkan71. Kopi Minahasa tetap menjadi sumber pasokan terbesar, dan ada peningkatan barang-barang ilegal dari tahun 1870an. Seorang pemimpin Minahasa, ditahan pada tahun 1877, karena dicurigai telah menjual kopi secara ilegal ke orang Arab72. Meskipun monopoli pemerintah akhirnya dihapuskan pada tahun 1899, penanaman kopi di Minahasa kemudian terhenti dengan kecepatan yang mengejutkan73.


===== bersambung =====


Catatan Kaki
  1. Brown, 1994:20.
  2. Fernando and Bulbeck:1992.
  3. Algadri, 1994.
  4. For Arabs, Clarence-Smith, 1997; Heuken, 1996; Ellen, 1996; Peeters, unpublished; Jonge, 1993; Vuldy, 1985. For indigenous communities, Dobbin, 1996, 1994, and 1991; Lombard and Aubin, 1988 (chapters by Guillot and Bonneff).
  5. Berg, 1886: 134; Peeters, unpublished; Vuldy, 1985: 106-09.
  6. Clarence-Smith, unpublished.
  7. Maluku is defined here in the Dutch nineteenth-century sense as the Residencies of Menado,
    Ternate, and Amboina, thus including North Sulawesi and Irian Jaya.
  8. Broersma, 1935-36: 54.
  9. Crab, 1862: 53; ANRI, 30, 156, F Schenck MO 10 July 1873.
  10. ANRI, 30, 156, F Schenck, MO 10 July 1873 (Ternate); Martin, 1894: 254-55 (Buru).
  11. Dijk, 1995: 75, 82.
  12. Merton, 1910: 19; Wall, 1928: 60.
  13. ANRI, 31, 53, AV Menado 1875.
  14. ANRI, 30,162a, AV Temate 1875-76.
  15. Crab, 1862: 53.
  16. Broersma, 1934: 129.
  17. Andaya, 1993.
  18. Hanna, 1978: 82; Ellen, 1996: 239.
  19. Andaya, 1993: 205-06; Wright, 1958.
  20. Wright, 1958: 6-7; Broersma, 1934: 129.
  21. Mansvelt, 1924-26: 2, 74-76.
  22. ANRI, 29, 580, AV Amboina 1836-39 and 1840.
  23. ANRI, 31, 50-II, 'Verslag van de Kommissaris voor Menado' 1846.
  24. Broersma, 1934: 132, 138; Broersma, 1935-36: 417; Crab 1862: 71-72.
  25. ANRI, 33, 3, AV Gorontalo 1865.
  26. Bastiaanse, 1845: 149-50.
  27. Mansvelt, 1924-26: 2, 75-78, 81;Warren, 1981: 10-13.
  28. Kol, 1903: 363-64.
  29. Broersma, 1934: 132-35, 139; Hanna, 1978: 98. A sayyid was a direct descendant of the Prophet Muhammad.
  30. ANRI, 29, 580, AV Amboina 1836-39; Kolff, 1840: x-xi.
  31. Peeters, unpublished: 40; Alsagoff, 1963.
  32. Broersma, 1934:139.
  33. Campo, 1992: 43-45.
  34. ANRI, 29, 1551, P. van der Crab, 'Beknopte memorie' October 1862.
  35. ANRI, 31, 53, AV Menado 1873 and 1876; ANRI, 30, 156, F. Schenck MO 10 July 1873.
  36. Berg, 1886: 111-13.
  37. Berg, 1886: 112-22; Jonge, 1997: 99.
  38. ANRI, 29, 580, AV Amboina 1841-50.
  39. Schouten, 1993: 53 (n.12).
  40. ANRI, 31, 53, AV Menado 1876 and 1877.
  41. Campo, 1992: 194; Jacobsen, 1896: 191-92.
  42. Jacobsen, 1896: 172; Broersma, 1935-36: 60-61; Geurtjens, 1921: 241.
  43. ANRI, 30, 160b, AV Ternate 1853.
  44. ANRI, 30, 162a, AV Temate 1876; ANRI, 29, 581, AV Amboina 1880.
  45. ANRI, 31, 53, AV Menado 1874.
  46. Berg, 1886: 144-45.
  47. ANRI, 29, 1596, AV Saparoea 1869.
  48. ANRI, 30, 162a, AV Temate 1875.
  49. Vuldy, 1985.
  50. ANRI, 29, 580, AV Amboina 1841-50; ANRI, 31, 53, AV Menado 1876-77.
  51. Crab, 1862: 53.
  52. ANRI, 31, 52, AV Menado 1881-82.
  53. Koloniaal Verslag, 1879: 26.
  54. Jacobsen, 1896: 191-92; Campo, 1992: 194; Djinguiz, 1909: 110.
  55. Campo, 1992: 194; Jacobsen, 1896: 191-92.
  56. ANRI, 33, 3, AV Gorontalo 1865.
  57. Kol, 1903: 367-69.
  58. Broersma, 1934: 132-35, 139.
  59. Koloniaal Verslag, 1879: 26.
  60. Ufford, 1856: 91, 96, 100.
  61. Forbes, 1885: 392; Kol, 1903: 190, 194-95; Broersma, 1934: 337-38; Reiner, 1956: 103.
  62. Neurdenburg, 1880: 304.
  63. ANRI, 31, 52, AV Menado 1881; Clercq, 1890: 137.
  64. Campo, 1992: 194; Forbes, 1885: 286.
  65. Broersma, 1935-36: 54, 57, 60-61.
  66. ANRI, 52, 1659, KV Buiten Bezittingen 1876; ANRI, 29, 583, AV Amboina 1889.
  67. Wright and Cartwright, 1908: 707; Alsagoff, 1963: 9.
  68. ANRI, 31, 52, AV Menado 1881.
  69. ANRI, 31, 53, AV Menado 1876; ANRI, 52, 1659, KV Buiten-Bezittingen 1876.
  70. Broersma, 1934: 341 and passim.
  71. ANRI, 29, 581, KV Amboina 1863; ANRI, 29, 583, AV Amboina 1885 and 1887; Jacobsen, 1896: 83.
  72. Mieke Schouten, personal communication.
  73. Schouten, 1993, ch. 9

Catatan Tambahan :
  1. Roy F Ellen, Arab Traders and land settlers in Geser-Gorom archipelago (dimuat pada Jurnal Indonesia Circle. School of Oriental and African Studies, volume 70, 1996, hal 237 – 252)
  2. Istiqomah, The Hadhrami Arabs of Ambon : An Ethnographic Study of Diasporic Identity Construction in Everyday Life Practise, chapter 1, section 2, hal 8
  3. Sultan Palembang yang diasingkan ke Ternate adalah Sultan Mahmud Badarudin II. Nama aslinya adalah Raden Hasan Pangeran Ratu. Ia menjadi Sultan pada periode 1803 – 1813 dan 1818 – 1821. Ia beserta sebagian keluarganya diasingkan ke Batavia dan kemudian ke Ternate pada tanggal 13 Juli 1821 . Sultan Mahmud Badarudin II kelahiran Palembang tahun 1767, meninggal di Ternate pada tanggal 26 September 1852
  4. Kapten kaum Arab pertama di Ambon adalah Syech Abdoel Gawie bin Imani Atamimi sejak 30 November 1878. Sedangkan di Banda (pangkatnya Letnan) bernama Syech Mohammad bin Omar bin Salim bin Tahoe Bachmid  sejak 30 November 1878
  5. Kapten Kaum Arab pertama di Ternate adalah Said Oemar bin Mohammad bin Saleh bin Syech Boebakar sejak 8 Mei 1881
  6. Kapten Kaum Arab pertama di Gorontalo (bergelar Wijkmeester) bernama Syech Hadi bin Omar Badjeber sejak 30 Maret 1894.  Sedangkan di Menado (bergelar Letnan) bernama Said Mansoer bin Abdullah Alhasni sejak 28 Februari 1895 
  7. Van der Craab yang dimaksud dalam informasi ini adalah Petrus van der Craab. Ia menjadi Penjabat Gubernur Maluku (1861 – 1862), kemudian menjadi Resident van Ternate (1863 – 1866), Resident van Ambon (1866 – 1869) dan Resident van Menado (1872 – 1875).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar