Minggu, 12 April 2020

Pemerintahan Negeri/Desa di Maluku Tengah


(bag 2 - selesai)

Oleh
Alm. Rev. Frank Leonard Cooley (1920 -2010)



Struktur Dewan/Badan Negeri

                    Pemerintahan Negeri/Desa dikelola oleh 3 lembaga konsentris yang semuanya itu, menyandang gelar Saniri. Ke-3 lembagai itu adalah Saniri Radjapatih (Lembaga Radja dan para pembantunya), Saniri Negeri Lengkap (Dewan Negeri Lengkap) dan Saniri Negeri Besar (Dewan Negeri Besar). Ada variasi-variasi kecil dalam terminologi di negeri-negeri yang berbeda, tetapi secara umum pola demikian berlaku untuk semua negeri. Diyakini secara luas, bahwa struktur pemerintahan di Maluku Tengah, polanya bisa ditelusuri ke sumbernya yaitu di Nunusaku, gunung mistis di Seram Barat, asal 3 batang air, Eti, Tala dan Sapalewa, yang secara tradisi dianggap sebagai yang awal dan yang akhir, sumber dan nasib hidup. Oleh karena itu, akan berguna untuk menunjukan apa yang dianggap telah menjadi struktur pemerintahan dalam masyarakat pribumi Seram (Alifuru). Wilayah 3 batang air dibagi menjadi 3 wilayah adat, 1 untuk setiap sungai/batang air. Di semua wilayah, setiap negeri/desa memiliki dewan sendiri-sendiri yang disebut saniri. Anggota-anggota utama saniri adalah kepala saniri, yang mengurusi soal administrasi sipil, mauweng untuk urusan agama, dan kapitan untuk urusan perang/militer. Tampaknya, juga ada lembaga/dewan yang lebih besar, yang bertemu untuk menyelesaikan hal-hal yang mempengaruhi kesejahteraan penduduk dari setiap sungai/batang air. Lembaga/dewan itu terdiri dari semua kepala saniri, mauweng, dan kapitan dari negeri-negeri di daerah itu, dan memilih 3 pemimpin utama, yang disebut latu inama. Pada kesempatan tertentu, 3 pemimpin utama dari masing-masing sungai/batang air bertemu pada tingkatan saniri yang paling tinggi; dimana 9 orang/anggota itu mencerminkan fakta bahwa ini merupakan wilayah Patasiwa di Seram, dimana bilangan 9 memiliki makna khusus31


                    Seperti yang telah kita lihat, mauweng dan kapitan dalam semua tujuan fungsional, praktis mulai menghilang. Oleh karena itu, inti utama dari Badan Saniri Negeri di tingkat negeri adalah Saniri Radjapatih, yang terdiri penguasa negeri (radja) dan para pembantunya. Lembaga ini merupakan kelompok kecil, biasanya sekitar 6 orang, dan itu merupakan lembaga administratif dari dewan desa.  Lembaga ini bisa juga disebut seperti cabang eksekutif pemerintah negeri, mengingat bahwa masih ada juga unit eksekutif yang lebih kecil lagi, yang terdiri dari radja, kepala soa djaga bulan dan marinjo. Masalah-masalah internal menyangkut kepentingan dan semua urusan yang terkait dengan dunia luar merujuk pada radja untuk membuat keputusan dan tindakan. Ketika dia menganggap hal itu dibutuhkan, dia akan memanggil kepala soa lain untuk berkonsultasi dan membuat keputusan melalui cara memukul/membunyikan gong/tifa besar di terasnya. Saniri Radjapatih, untuk semua tujuan praktis, merupakan bagian yang paling penting dari pemerintah negeri. Semua anggota badan ini dipilih menurut garis keturunan, dan mereka adalah pemimpin-pemimpin adat di negeri.
                    Saniri Negeri Lengkap, terdiri dari Saniri Radjapatih ditambah  anggota yang ditunjuk dan terpilih yang disebutkan di bagian sebelumnya. Ini merupakan dewan legislatif dari pemerintah negeri/desa. Lembaga/dewan ini membahas hal-hal yang lebih penting, membuat keputusan-keputusan kebijakan dan mengeluarkan peraturan. Sebagai tambahannya, para anggota Saniri Radjapatih, termasuk masing-masing pemimpin adat, seperti kepala adat, tuan tanah dan kapitan, serta anggota-anggota yang dipilih sebagai wakil masyarakat biasa. Bagaimanapun, telah jelas, bahwa Saniri Radjapatih berpengaruh besar di dalam lembaga ini. Meskipun bukanlah mayoritas dari segi jumlah, namun memiliki bobot status dan tradisi pada sisinya. Meskipun secara teori, penilaian/pertimbangan dari radja dan kepala soa, dapat “dilangkahi”, tetapi dalam praktiknya, hal ini jarang terjadi. Meski begitu, perbedaan pendapat yang tajam sering terjadi dan dinyatakan dengan penuh antusias.
                    Di beberapa negeri/desa, ada “komite-komite” fungsional di dalam Badan Saniri Negeri, yang bertanggungjawab terhadap bidang-bidang yang mendapat perhatian khusus. Misalnya, di Soya, ada “departemen-departemen” untuk masalah kesehatan, jalan dan transportasi, hutan, pemuda, yang mengawasi bidang-bidang ini, dan bertanggungjawab membawa ke pertemuan saniri setiap masalah atau proyek, yang membutuhkan keputusan kebijakan atau tindakan kolektif. Pengaturan-pengaturan model ini, tampaknya merupakan hal baru. Mungkin hal ini, dikembangkan secara logis dari faktor-faktor memudarnya jabatan tradisional kewang, mauweng dan tuan tanah. 

Johan Titaley, Radja Neg Saparua (2016 - sekarang)

                    Saniri Negeri Besar melakukan pertemuan-pertemuan pada kesempatan, ketika seluruh pemilih dikonsultasikan. “Saniri Agung” ini terdiri dari Saniri Negeri Lengkap ditambah semua laki-laki diatas usia 18 tahun. (Dalam praktiknya, ini berarti Kepala Rumah Tangga). Lembaga ini memutuskan hal-hal yang mempengaruhi kesejahteraan seluruh negeri/desa dan membutuhkan tindakan oleh setiap keluarga. Pada pertemuan seperti itu, penugasan dapat dibuat untuk mengimplementasikan keputusan yang sudah diambil oleh Saniri Negeri Lengkap atau oleh Saniri Negeri Besar itu sendiri. Pertemuan “saniri agung” lebih banyak dilakukan di baileu. Saniri juga dapat melakukan pertemuan di situ, ketika mendengar kasus dugaan pelanggaran adat atau hukum perdata.
                    Kami telah menyebutkan tentang tindakan Belanda untuk memperluas basis Badan Saniri Negeri, dengan menyediakan pemilihan anggota untuk mewakili masing-masing soa. Sebelum itu, hanya ada Saniri Radjapatih dan Saniri Negeri Besar. Dapat diduga, bahwa pada masa itu, Saniri Negeri Besar lebih sering melakukan pertemuan, daripada setelah kebijakan Belanda diterapkan dalam praktiknya.
                    Kita mungkin mengamati bahwa struktur pemerintah lokal cukup mirip dengan Demokrasi Terpimpin, yang perannya secara dominan  digerakkan oleh radja dan beberapa kepala soa, tidak hanya pada bagian eksekutif, tetapi juga di bagian legislatif dan yudikatif32. “Untuk semua tujuan praktis, Saniri Radjapatih-lah yang mengatur”, demikian menurut salah seorang pemimpin negeri/desa. Dengan demikian, karakterisasi situasi demikian, bukanlah untuk mengatakan bahwa tingkat-tingkat pemerintahan lainnya hanyalah “berbentuk kosong” atau tidak berfungsi atau bahwa tidak ada demokrasi di Maluku Tengah; ini hanya untuk menekankan pada kecenderungan yang ada/nampak.

Dasar dan Cara Pembentukan Pemerintah Negeri/Desa

                    Terlepas dari semua perubahan yang telah terjadi, faktor garis keturunan masih merupakan kualifikasi utama untuk menyeleksi secara maksimal jabatan-jabatan penting di pemerintahan negeri. Di masa lalu, mengikuti aturan hak anak sulung, putra tertua dari pemimpin petahana (sebelumnya) biasanya menggantikan posisi ayahnya. Prinsip ini sekarang telah dimodifikasi menjadi hanya berasal dari keturunan kaum patrilineal saja, artinya, orang yang akan terpilih menjadi radja atau kepala soa harus berasal dari mata rumah itu saja. Namun, dalam kelompok patrilineal, ada berbagai pilihan diantara kandidat/calon yang memungkinkan. Dua posisi/jabatan yang masih memberlakukan aturan hak anak sulung adalah Tuan Tanah dan Kapitan. Namun, figur-figur jabatan ini telah terbukti hanya mempertahankan fungsi-fungsi seremonial saja. Selain itu, persiapan dan pelatihan khusus diperlukan untuk memungkinkan seseorang mempraktikkan fungsi-fungsi yang masih ada ini. Ini berarti, bahwa penerus harus dilatih oleh petahana sebelum menjabat. Prinsip dari aturan hak anak sulung, diterapkan secara fleksibel, sangatlah sesuai dengan kondisi ini.

Stuktur pemerintahan adat neg. Mamala

                    2 faktor telah menyatu untuk mempromosikan perubahan ini, dari aturan hak anak sulung ke aturan keturunan patrilineal.  Jika ada kekurangan dari kandidat pada keluarga figur petahana, maka untuk tetap menjaga jabatan itu tetap dalam mata rumah yang telah ditentukan, perlu untuk memilih salah stau kerabat laki-laki lainnya. Kedua, kadang-kadang figur kedua dari keluarga lain itu lebih mampu, daripada dari keluarga petahana. Sejak itu, adalah penting untuk memiliki penguasa dan pemimpin yang kompeten, merupakan hal terbaik bahwa mereka dipilih dari antara kandidat yang lebih mampu. Kemampuan telah menjadi kriteria dominan lainnya untuk memegang jabatan itu.
                    Cara-cara masa kini dalam hal pemilihan figur-figur ini, diilustrasikan pada pemilihan Radja Aboru pada tahun 1955. Dari mulut ke mulut, tetapi bersifat rahasia, nominasi itu diterima oleh kepala soa dari anggota soanya. Nominasi ini diteruskan ke dewan desa, yang mengirimkan daftar lengkap ke kantor lokal (kepala pemerintah lokal/setempat). Setelah dipertimbangkan oleh pemerintah lokal, daftar kandidat diumumkan pada negeri dan hari pemilihan ditetapkan. Pejabat-pejabat pemerintah lokal mengawasi pemilihan dengan sangat cermat. Suara diberikan secara lisan, tetapi secara lisan, dimana setiap pemilih datang ke pejabat pemerintah lokal dan menunjukan pilihannya. Baileo sering digunakan sebagai tempat pemungutan suara jika hal itu memungkinkan. Di Negeri lain, gereja juga sering digunakan sebagai tempat pemungutan suara. Pejabat pemerintah lokal kemudian menyampaikan hasilnya ke Badan Saniri Negeri, yang kemudian mengumumkan hasilnya kepada masyarakat, dan kemudian menentukan tanggal untuk pelantikan pejabat baru.
                    Perubahan dalam prosedur pemilihan pejabat yang diilustrasikan di sini, sangat mencolok. Merupakan satu hal untuk mengisi jabatan secara otomatis dengan aturan hak anak sulung, atau bahkan figur petahana memilih penggantinya dari antara putra-putranya atau kerabat dekatnya. Merupakan masalah lain untuk mendukung pencalonan atau pemilihan pejabat baru dalam masyarakat luas, meskipun terdiri dari laki-laki dewasa33.  Ini pertunjukan penting dari kecenderungan menjauh dari sistim otokrasi masa lalu dan menuju pada fase yang dipahami sebagai metode demokrasi lembaga, suatu kecenderungan yang terus berkembang sejak kemerdekaan.



Tugas-tugas Jabatan Utama dan Dewan Negeri

                    Pemerintah negeri, pemimpin negeri/desa, memiliki 2 tugas atau 2 titik referensi tanggung jawabnya. Pertama-tama, ia bertanggung jawab kepada masyarakat negeri/desa, yaitu semua yang telah tinggal di negeri, dan juga mereka yang pada suatu waktu tinggal di situ.             Dalam hal ini, tugas dan tanggung jawabnya berorientasi domestik. Tapi ia juga diakui oleh otoritas yang lebih tinggi, dan karena itu bertanggung jawab kepada pemerintah lokal, atas semua hal yang ada dibawah yuridiksinya.
                    Sebagai pemimpin/penguasa negeri/desa, radja bertanggung jawab pada ketaatan terhadap adat34. Karena itu, ia harus turut serta di dalam, dan berada di titik pusat semua upacara negeri, seperti dalam kasus upacara pembersihan tahunan, pembaharuan ritual pela dan penerimaan “kain berkat”. Detail-detail panduan upacara-upacara ini ada pada kepala adat, atau, dalam beberapa kasus, pada tuan tanah, tetapi radja bersifat ex officio, pengawas adat negeri secara keseluruhan.
                    Radja juga adalah kepala saniri, yang berarti ia memimpin semua pertemuan Badan Saniri Negeri pada semua tingkatan yang dilakukan. Sebagai kepala eksekutif pemerintahan negeri, ia mempunyai kekuasaan terakhir untuk membuat keputusan dan mengimplementasikan keputusan, meskipun ia dapat mendelegasikan banyak dari fungsinya itu, kepada petugas jaga bulan.
                    Radja, secara tradisional, bertindak sebagai hakim kepala di pengadilan desa/negeri. Sementara fungsi ini, setidaknya secara formal, telah “dicabut” dari pemerintah negeri di Maluku, radja dan kepala soa djaga bulan, masih mengadili perselisihan, memberikan penilaian pada soal-soal kedisiplinan, terutama di kalangan pemuda, dan umumnya bertindak sebagai pihak pendamai. Radja juga memimpin upacara pernikahan masyarakat, suatu fungsi semi-yudisial. 


Radja Ameth, A. Picaulij dan Saniri Negeri di tahun 1940

                    Radja bertugas menjalankan semua fungsi yang didelegasikan kepada pemerintahan negeri/desa, oleh otoritas yang lebih tinggi. Hal ini, termasuk penilaian dan pengumpulan pajak, memberikan surat ijin perjalanan untuk kapal, pengawasan keamanan publik, hadir di pengadilan dalam kasus-kasus dimana informasi dari desa/negeri diperlukan, mengadakan pemilihan dan menjamu tamu resmi, baik sipil atau militer. Di masa sebelum perang, radja dari negeri-negeri terkemuka/menonjol, diberi hak istimewa untuk duduk di pengadilan tingkat distrik dan dewan penasehat, dimana mereka mengambil bagian dalam melakukan penilaian tentang kasus-kasus sulit dalam masalah adat , dan dalam membuat keputusan kebijakan yang mempengaruhi negeri/desa. Dengan dihapusnya pengadilan desa/negeri dan perubahan tempat semua kasus perdata dan pidana di pemerintah distrik, penguasa/pemimpin negeri telah dipaksa untuk meninggalkan negeri/desa lebih sering untuk menghadiri proses pengadilan. Ini merupakan tren umum menuju pada perluasan tugas pemimpin negeri/desa di luar desanya, dan berdampak atau berakibat pada meningkatnya sentralisasi kekuasaan dan wewenang dalam unit-unit administrasi pemerintahan sipil yang lebih besar. Menjaga ketertiban dan tugas-tugas pengadilan telah sepenuhnya “ditarik” dari wewenang negeri/desa. Saat ini,fungsi legislatif jarang dipraktikkan di negeri/desa, karena perluasan ruang lingkup legislatif  dari pemerintah distrik dan regional. Tren ini tidak diragukan lagi menyebabkan perubahan yang jelas dalam tugas dan tanggung jawab aparat desa/negeri secara individu dan Badan Saniri Negeri secara keseluruhan.
                    Kepala soa sejauh ini, dicirikan sebagai asisten administrasi untuk pemimpin negeri/desa, tetapi deskripsi ini berfokus terutama pada hubungannya dengan radja. Dia pada dasarnya adalah kepala soa, yang bertanggung jawab untuk mengetahui apa yang terjadi di dalamnya, untuk memimpin soa-nya dalam menyelesaikan tugasnya pada proyek bersama, untuk menyusun statistik vital setiap tahun, dan untuk mengumpulkan pajak35. Akibatnya, ia memimpin soa dengan cara yang hampir sama seperti radja memerintah/memimpin negerinya. Dia merupakan “saluran” yang melaluinya seorang anggota soa dapat membawa keprihatinan kepada dewan negeri/desa. Anggota-anggota terpilih yang mewakili masing-masing soa, juga dapat berfungsi sebagai saluran untuk kontak antara dewan negeri/desa dengan keanggotaan soa. Radja menganggap kepala soa bertanggung jawab atas kondisi dalam soanya, dengan cara yang sama seperti halnya radja sendiri yang bertanggung jawab oleh otoritas yang lebih tinggi atas kondisi di negeri/desa.
                    Persis seperti wilayah tanggung jawab radja yang berkembang, jadi tugas kepala soa melampaui soa sendiri. Dia adalah anggota Badan Saniri Negeri, tempat dia berpartisipasi dalam semua diskusi dan keputusan, tentang urusan negeri/desa untuk semua hal. Dan dia mengambil giliran reguler sebagai petugas bulan ini. Dalam fungsi ini, ia memikul tanggung jawab sehari-hari mengatur negeri/desa, dengan referensi utama untuk urusan dalam desa/negeri, dan penguasa/pemimpin dengan demikian dibebaskan untuk memenuhi tanggung jawabnya yang lebih luas dan mengawasi situasi umum. Petugas bulan ini disebut sebagai Bapak Djou, Bapak berarti Ayah dan Djou adalah gelar untuk penguasa/pemimpin36. Gelar kehormatan ini digunakan untuk kepala soa, hanya ketika dia bertugas bulanan sebagai komandan kedua dibawah radja. Tunjangan nominal diberikan oleh petugas distrik untuk bulan-bulan ketika kepala soa tertentu berfungsi sebagai asisten khusus untuk radja37. Deskripsi ini berlaku semata-mata untuk kepala soa akte, yang diakui oleh otoritas yang lebih tinggi, dan dengan demikian memiliki tugas yang mempengaruhi seluruh desa/negeri. Kepala Soa Masing, berfungsi sebagai asisten kepala soa akte dan saniri secara keseluruhan, terutama dalam hal peradilan dan kebijakan umum. Mereka tidak memiliki tanggung jawab khusus tetapi bertindak sebagai bangsawan yang lebih tua, memberikan layanan seperti yang diminta oleh radja atau kepala soa.
                    Marinjo adalah pembawa pesan soa, pesuruh dan petugas polisi minor. Dia menemani kepala soa pada tugas bulanannya sebagai asisten penguasa. Dia membawa penawaran dari atasannya, membawa pesan atau memanggil orang untuk menghadap pemerintah negeri/desa, mempublikasikan keputusan baru, memberikan instruksi, dan mengumumkan pertemuan. Dia bukan anggota Badan Saniri Negeri, tetapi, dalam kapasitas resminya, ia biasanya hadir pada pertemuan saniri dan tahu apa yang terjadi. Ia tidak menerima remunerasi, tetapi pajaknya, yang pada tahun 1960 berjumlah sekitar 25 rupiah per tahun, ditanggung oleh Saniri Radjapatih.
                    Kepala Adat, agak berbeda dari pejabat-pejabat yang disebutkan di atas, karena tanggung jawabnya terbatas pada satu aspek kehidupan negeri/desa, yaitu adat. Ia ahli dalam semua hal tentang hukum dan upacara adat. Biasanya dia adalah anggota Saniri Negeri Lengkap, meskipun di beberapa desa/negeri, ia hadir bersama saniri jika diundang secara khusus. Dia memberikan informasi, saran dan instruksi tentang masalah adat, kepada individu, keluarga inti, patrilineal, soa atau kepada dewan negeri/desa. Di beberapa desa/negeri, ia juga memegang gelar tuan tanah, di lain tempat juga, memegang gelar mauweng. Dia adalah petugas adat negeri/desa, ditunjuk oleh penguasa/pemimpin negeri dan disetujui oleh Saniri Radjapatih, dan biasanya memegang jabatan seumur hidup, atau sampai ia tidak mampu memenuhi tuntutan jabatannya. Dia tidak menerima remunerasi, meskipun hadiah-hadiah mungkin diberikan atas jasanya. Kepala adat umumnya memimpin upacara negeri/desa, meskipun dalam beberapa kasus, ia mungkin berperan “dibelakang layar” mengarahkan petugas-petugas yang lainnya, seperti radja atau tuan tanah untuk melakukan upacara tertentu itu. 

Radja Neg. Kilang

                    Dalam istilah yang paling umum, saniri bertugas menjaga dan memajukan keamanan dan kemakmuran masyarakat negeri/desa. Ini berarti, pertama dan terutama, mengawasi dan menjamin pelaksanaan adat, yang hanya untuk hal ini, cara ini, diyakini dapat menyenangkan dan membantu jiwa-jiwa para leluhur untuk mensejahterakan masyarakat desa/negeri. Saniri dianggap sebagai perwakilin para leluhur yang masih “hidup”, karena itu, ia harus mengawasi terpenuhinya tuntutan adat.
                    Tanggung jawab lain dari pemerintah negeru/desa adalah sistim pertahanan masyarakat desa/negeri terhadap bahaya dari dalam dan luar. Hal itu biasanya berbentuk perambahan di wilayah desa, pekerjaan-pekerjaan yang ilegal dan eksploitasi desa atau tanah pribadi. Bahaya dari dalam dan paling sering, berupa gesekan dan perselisihan antar patrilineal atau kelompok lain dalam soal tanah, perkawinan, atau berbagai hak prerogatif, yang dirasakan ditolak atau diremehkan. Jika konflik terbuka terjadi, dewan negeri/desa harus bertindak cepat dan bijaksana, untuk mengembalikan keharmonisan dan kedamaian. Namun, biasanya hal-hal itu diusahakan tidak sampai pada tahap demikian. Saniri akan mengambil langkah-langkah untuk mencegah konflik dengan mengintervensi dan memediasi perbedaan-perbedaan yang muncul. Adat sering menyediakan prosedur khusus untuk menyelesaikan perselisihan.
                    Pemerintah negeri/desa juga harus memperhatikan situasi umum, untuk memenuhi tuntutan dan harapan desa, serta memprioritaskan kemajuan dan kesejahteraan di semua segi. Ini termasuk, seperti contoh di Soya, ketentuan untuk kesejahteraan umum dalam hal kesehatan, sanitasi, pekerjaan publik, pendidikan, persediaan air, disiplin dan rekreasi yang sehat bagai kaum muda.
                    Akhirnya, saniri harus mengimplementasikan instruksi dan peraturan yang dikeluarkan oleh otoritas sipil dan militer yang lebih tinggi. Pemerintah negeri bertanggung jawab pada pejabat distrik atau regional dalam hal perpajakan, keamanan dan pemilihan umum. Fingsi pemerintahan negeri/desa yang berada dalam skop umum ini, menjadi lebih banyak dan berbobot pada dewasa ini, ketika kekuasaan dan otoritas sebenarnya Badan Saniri Negeri terus melemah.


Bagaimana fungsi-fungsi itu dijalankan


                    Pola kepemimpinan yang jelas otoriter berlaku dalam masyarakat Maluku. Terutama di ranah pemerintahan negeri/desa, urusan ini dilakukan melalui perintah yang dikeluarkan. Radja memanggil kepala soa djaga bulan, marinjo, kepala adat atau seluruh saniri, dengan memukul/membunyikan gong/tifa. Dia mengeluarkan perintah untuk kepala soa, yang kemudian memanggil marinjo dan memerintahkannya untuk menyampaikan hal itu ke khalayak umum. Marinjo menyampaikan/mengumumkan isi perintah dan melaporkan tanggapan yang diterima. Ini merupakan struktur hierarkis, dimana perintah diturunkan dari level atas, dengan setiap level melanjutkan/meneruskan ke level selanjutnya yang lebih rendah dan kemudian kembali menyampaikan respon/tanggapan ke level di atasnya. Dalam kelompok yang diwawancarai dengan saniri, sangat sulit untuk memperoleh pertukaran bebas di antara anggota kelompok. Pertanyaan hampir selalu dijawab oleh pejabat pada tingkat yang ditemui. Terkadang, yang lain akan melakukan pengamatan, biasanya dalam bentuk elaborasi, ilustrasi atau, sangat jarang, dikoreksi. Tetapi, untuk membuat mereka membahas masalah di antara mereka sendiri, praktis tidak mungkin, terutama karena kesadaran tetap akan perbedaan status di antara anggota.
                    Saniri menggunakan metode ketat memperkuat otoritasnya dan menjamin disiplin di kalangan penduduk negeri/desa. Untuk yang tidak melakukan hal itu, terutama di kalangan pemuda, cambukan rotan digunakan. Radja atau petugas bulan itu memerintahkan mereka (pemuda) dipukul sejumlah beberapa kali dan marinjolah yang mengatur hal itu. Denda tunai dikenakan karena pelanggaran peraturan. Kerja paksa, di jalanan, di kebun negeri/desa, di lingkungan sekolah dilakukan sebagai bentuk hukuman. Di beberapa desa, pernah atau ada bangunan atau ruang tahanan, di mana pelanggar peraturan itu ditahan secara terpisah untuk beberapa waktu. Sumpah secara adat kadang-kadang dilakukan oleh radja dan kepala adat, untuk menyelesaikan perselisihan, atau untuk menyelidiki dugaan kesalahan, seperti perzinahan atau perselisihan batas tanah. Karena banyak orang Ambon yang menganggap bahwa, ketika melanggar sumpah atau melakukan sumpah palsu sebagai pelanggaran serius yang luar biasa, maka metode ini sangat efektif dalam mengungkapkan keadaan sebenarnya. Dewasa ini, sebagian besar kasus harus diserahkan kepada anggota polisi, yang jarang tinggal menetap di negeri/desa, tetapi harus dipanggil datang. Sebelumnya, hampir semua kasus ditangani oleh Badan Saniri Negeri, tetapi dewasa ini, kerja mereka hanya berurusan dengan urusan-urusan “kecil”.
                    Secara umum, pemerintah negeri/desa terus beroperasi sebagian besar dalam pola-pola tradisional. Sedikit modifikasi digunakan untuk menyesuaikan kondisi baru dengan teknik kepemimpinan baru, dan hanya ada sedikit bukti berbentuk kejelian atau inisiatif yang digunakan dalam menyelesaikan masalah dan kebutuhan. Masalah umumnya diizinkan untuk dilanjutkan sampai keadaan dimana tindakan memaksa diambil. Kesan umum bagi para pengamat adalah bahwa orang-orang, para pemimpin, semuanya memiliki sikap/tindakan yang pada dasarnya pasif. Negeri/desa cenderung menunggu instruksi dari tingkat distrik. Penduduk negeri/desa menunggu dari dewan negeri/desa, dan jika tidak dilakukan, mereka juga tidak melakukan apa-apa. Setelah mereka memilih memilih pejabat baru, mereka duduk santai untuk melihat hasil pilihan mereka. Suasana kolonial sangat memperkuat kecenderungan seperti ini, yang telah lama mempengaruhi dalam pola-pola tradisional organisasi sosial dan tindakan. Generasi yang lebih muda menunjukan ketidaksabaran dengan situasi seperti ini, dan sering memilih untuk meninggalkan negeri/desa ke suasana kota yang lebih dinamis, atau untuk memperkenalkan perubahan-perubahan ke negeri/desa, yang cenderung memperburuk ketegangan yang sudah ada.
                    
Radja Neg. Porto bersama keluarga di tahun 1891


                   
Perubahan dalam Institusi Pemerintah Negeri

                    Perkembangan administrasi sipil oleh kekuasaan kolonial, terutama selama abad ke-19, memperngaruhi pola pemerintahan negeri/desa dalam beberapa cara. Para penguasa tingkat lokal dengan tekun dirayu oleh pemerintah kolonial, sebagai bagian dari kebijakan untuk membatasi dan mendefinisikan kekuasaan dan fungsi pemerintah negeri/desa. Negeri-negeri bisa otonom sejauh menyangkut hubungan mereka satu sama lain, tetapi tidaka bisa dikatakan independen.
                    Pada periode 1920an, sebuah peraturan dikeluarkan bahwa perwakilan harus dipilih dari masing-masing soa untuk duduk di dewan negeri/desa. Hal itu sebagian besar merupakan langkah formal menuju demokrasi, dimana perwakilan-perwakilan terpilih tidak memiliki banyak pengaruh di dewan negeri/desa, namun itu hanyalah signifikan secara simbolis saja.
                    Selain itu, kontak dengan barat yang membawa agama Kristen, sistim pendidikan baru, dan sebagian akulturasi dengan gaya hidup kaum Eropa. Efek gabungan dari pengaruh-pengaruh ini telah semakin melemahkan dan menggantikan kepercayaan-kepercayaan asli. Banyak sisa-sisa kepercayaan ini masih ada, tetapi jabatan-jabatan dan lembaganya sebagian besar telah digantikan oleh lembaga-lembaga Kristen dan Islam. Tuan Tanah, masih tetap ada, tetapi ia hanya mempertahankan sebagian kecil dari posisi dan kekuasaan sebelumnya. Kepala Adat bukanlah jabatan adat, itu lebih kepada gabungan jabatan yang dikembangkan saat jabatan-jabatan adat mulai menghilang.
                    Secara umum, telah terjadi pelemahan adat dalam masyarakat Maluku. Sistim pemerintahan negeri/desa adalah berdasarkan pada adat, dan salah satu fungsi utamanya adalah pengawasan adat. Jika adat melemah, maka institusi pemerintah negeri/desa terkena dampak langsung. Perubahan yang sudah terjadi ini telah disangkal sebagian besar, meskipun fenomena itu mulai diperhatikan atau diakui oleh orang Ambon sendiri.
                    Beberapa jabatan dalam pemerintahan negeri/desa telah menghilang sama sekali, sementara yang lain telah melemah secara substansial dan signifikansi fungsionalnya sangat terbatas. Kekuasaan, wewenang dan prestise masing-masing jabatan secara umum telah hilang. Sebuah pukulan besar bagi pemerintah lokal terjadi, ketika Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1950, menarik pemerintah negeri/desa dari fungsi peradilan yang telah dilakukan selama berabad-abad. Para informan hampir semua setuju, bahwa ini adalah alasan penting tentang impotensinya pemerintah negeri/desa dalam menghadapi kondisi yang berubah dengan cepat, dan penyebab menurunnya respek terhadap pemerintah. Mereka merasa bahwa keadaan ini disimbolkan dengan sangat sedikitnya pejabat negeri/desa memberikan pelayanan administrasi sipil. Tidak ada yang ingin menjadi radja atau kepala soa dalam kondisi seperti itu, kata mereka;  dimana semua pekerjaan dan masalah, tanpa sukacita, pengormatan atau pembayaran. Banyak pemimpin berusia muda yang paling cakap tertarik ke kota-kota besar, mencari pendidikan tinggi dan pekerjaan di bidang ekonomi, pemerintahan atau lainnya, dimana status substansial, remunerasi dan kepuasaan pribadi ada dalam jangkauan. Sementara itu, pemerintah negeri tetap di tangan orang-orang yang berpegang teguh pada ide-ide tradisional, yang hingga baru-baru ini, telah menunjukan sedikit kecenderungan atau energi untuk mengatasi situasi baru.

Radja Neg. Saparua bersama salah satu anak adat

                    Adalah beresiko untuk memprediksi dengan detail apapun yang berkembang di masa depan, tetapi tren utama tertentu tampak jelas. Tidak ada alasan apapun untuk mengharapkan kembalinya keadaan yang sebelumnya, suatu kelompok penguasa/pemimpin negeri akan diterima , tetapi untuk diakui lagi sangat tidak mungkin. Sangat diragukan bahwa pergeseran dari pola-pola pemerintah negeri tradisional/adat, berdasarkan pada hak isitimewa turun temurun dan adat, akan berhenti. Sebaliknya, akan diperkuat sebagai pengaruh ide-ide modern, sampai sekarang sebagian besarnya, masih terbatas pada tingkat nasional dan regional, dan terus masuk ke dalam desa. Tampaknya, sangat mungkin bahwa desa/negeri sebagai unit otonom, dengan hak dan kekuasaan untuk mengatur dirinya sendiri dalam istilah tradisional, berada di ambang dihilangkan melalui konsolidasi dan menjadi unit yang lebih besar, yang akan memiliki fungsi pembuatan kebijakan dan yudikatif. Ini sebenarnya sudah terjadi pada tingkat yang jelas. Pemerintah negeri/desa dapat mempertahankan, paling banyak, fungsi administrasi, melaksanakan hukum dan istruksri dari pemerintah distrik (kabupaten), dimana negeri-negeri/desa berada samai terwakilli pada taraf tertentu. Dalam kondisi seperti itu, adat akan semakin terpisah dari pemerintah. Hal itu (adat) akan tetap ada, tetapi lebih dalam bentuk kebiasaan yang dapat diteima, daripada hukum adat yang ditegakan oleh pemerintah negeri/desa

=== selesai ===


Catatan Kaki
31.        Kennedy, "Fieldnotes, 1955," p. 184.
32.       Dalam hal ini, ada beberapa substansi untuk opini terhadap Sukarno, bahwa ia telah menemukan pola untuk “Demokrasi Terpimpin” di lembaga-lembaga politik pribumi dari berbagai daerah di Indonesia
33.       Total populasi negeri Aboru, sekitar 2.000 dimana 530 laki-laki dewasa; 361 suara diberikan pada pemilihan raja yang digelar pada Juni 1955.
34.      Cooley, Ambonese Adat, p. 81.
35.       Menurut para informan di suatu desa, pada periode puncak kolonial, kepala soa memperoleh 8% dari pajak yang ia kumpulkan dari anggota-anggota soa-nya. 
36.    E. Katoppo, Nuku (Bandung: Kilatmadju, 1957), hal 259, mengidentifikasi kata ini berasal dari daftar kata-kata di kawasan timur Indonesia, yang bermakna “ suatu gelar yang digunakan ketika menyebut dalam percakapan yang merujuk pada figur sultan”. Lebih tepatnya, kata ini di gunakan di Ternate, Maluku Utara dan menyiratkan pengaruh china.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar