Jumat, 17 Februari 2023

Memahami fitur-fitur geometris desain salawaku suku Nuaulu

 

(bag 2)

 

 [Roy F Ellen]

 

 

Geometri desain formal

Gambar 5 menunjukan serangkaian gambar sederhana dari 24 salawaku yang mengilustrasikan variasi pola yang terbentuk dari pelat keramik dan cangkang Nautilus, dengan tambahan garis dan blok warna. Boas-lah yang pertama kali secara sistematis memperhatikan simetri, ritme, bentuk geometris, dan khususnya simetri bilateral (antara kiri dan kanan) dalam seni tradisional, dimana ia melihat refleksi organisasi tubuh manusia. Kita tahu bahwa salawaku suku Nuauli diantropomorfisasi dan diperlakukan sebagai tubuh manusia, dengan orientasi yang benar (kepala dan kaki) dan simetri bilateral (Ellen, 1990 ; cf Boas, 1995 [1927] : 279). Boas telah mengamati (hal 33) bahwa pengaturan simetris ke kanan dan kiri sumbu vertikal jauh lebih umum daripada di atas dan di bawah sumbu horizontal, tetapi pada salawaku suku Nuaulu, simetri atas-bawah hampir sama pentingnya dengan simetri kanan-kiri. Dengan kata lain, ada struktur quadriparti dengan setengah bagian yang serasi dan ¼ bagian yang serasi (Milner, 1971; lihat gambar 6), yang mengingatkan pada “salawaku 4 bagian” dari heraldik bangsa Eropa (Neubecker, 1976). 

Pengamatan dan Boas dan pengakuannya tentang kesulitan menjelaskan simetri sepenuhnya (terutama dalam hal gerakan tubuh, atau gerakan fisik reguler dan ritme yang diinduksi atau diperlukan dalam melaksanakan teknik pembuatan tertentu) sampai batas tertentu diselesaikan dalam karya Lévi-Strauss, yaitu strukturalisme (misalnya 1963), dimana mereka hanyalah manifestasi lain dari prinsip biner dan transformasinya dalam pemikiran manusia, yang pada akhirnya tercermin dalam organisasi otak. Boas (Boas, 1995 [1927] : 63) melihat bahwa geometri seni rupa menemukan kesejajaran dalam seni lisan, musik, dan tari, yang kemudian dibenarkan oleh karya dalam linguistik struktural, sastra lisan, dan simbolisme, khususnya dalam kumpulan besar pekerjaan etnografi yang dilakukan di Indonesia bagian timur (misalnya Adams, 1973; Fox, 1988. Dan Boas (Boas, 1995 [1927] : 34) juga mencari kesejajaran dengan geometri alam, yang bergema dalam demonstrasi matematis canggih kontemporernya yaitu [kajian] ahli biologi teoritis teoretis D'Arcy Wentworth Thompson (1961[1917]), bahwa pandangan lebih baru diperoleh dari kristalografi (Wasburn dan Crowe, 1988), tetapi terbatas jika dibandingkan dengan apa yang sekarang kita pahami tentang simetri dan lateralitas sebagai kondisi dasar untuk pengaturan kehidupan dan kosmos fisik secara keseluruhan (misalnya Hargittai, 1986), termasuk bentuk seni (Wasburn, 1983).  Boas (1995 [1927] : 63) mencatat bahwa objek yang sering dilihat dari sisi yang berbeda adalah simetris dalam beberapa dimensi (ke atas ke bawah, atas bawah, belakang dan depan). Dia menggunakan contoh salawaku/perisai suku Aborigin, tapi bisa juga salawaku orang Maluku dari jenis yang dijelaskan di sini. Salawaku suku Nuauli juga memberikan contoh ritme kompleks elemen pengurutan dalam pola yang dibahas oleh Boas. Jadi, pada gambar 5, 18 salawaku menampilkan simetri kiri-kanan atas-bawah yang lengkap dalam hal pengaturan kikau, sementara 6 salawaku lainnya menampilkan kesesuaian sebagian dengan simetri kiri-kanan atas-bawah. Pada kelompok pertama, salah satu susunan yang lebih sederhana adalah 5-3, yang dapat dinyatakan secara numerik sebagai 2 [2(3) + 2(8) + 2(3)], di mana '2' awal menunjukkan bahwa pola di dalam tanda kurung siku diulang dua kali (di bagian atas dan di bagian bawah). Di dalam tanda kurung siku adalah ekspresi untuk setiap kelompok kikau yang bergerak menuruni salawaku/perisai ke titik pusat. Jadi 2(3) menunjukkan deretan 3+3 (tiga kikau di kiri dan tiga di kanan), lalu 2(8), kumpulan empat baris dengan simetri kiri-kanan, dan terakhir baris berulang 3+ 3 dengan simetri kiri-kanan. Bagian bawah mengulangi polanya, tetapi sebagai bayangan cermin. Variasi pola dapat diringkas menggunakan ekspresi yang berbeda, seperti 2[{2(3) + 1} + {2(3) + 1} + 2(7) + 2(2)] untuk salawaku/perisai 7, dan 2 [2 (2) + 2(2) + 2(2) + 2(2) + 2(2) + 2(2) + 2(2) + 2(2) + 2(2) + 2(2) + 2 (2) +2(1) + 2(1)] untuk salawaku/perisai 5(11). Dari kelompok kedua enam salawaku/perisai yang sebagian sesuai dengan simetri atas-bawah, yang paling sederhana adalah salawaku/perisai 5(1), dinyatakan sebagai [2(2) + 2 + 2(3) + 2(10) + 2(2)], dan di antara salawaku/perisai  5(24) yang paling kompleks, dinyatakan sebagai [2(2) + 2(1) + 2(1) + 2(1) + 2(1) + 2(1) + 2(1) + 2 (1) + 2(1) + 2(1) + 2(1) + 2(1) + 2(1)] + 2(1) + [2(1) + 2(1) + 2(1) + 2(1) + 2(1) + 2(1) + 2(1) + 2(1) + 2(1) + 2(1) + 2(1) + 2(1) + 2(2) ]. Notasi ini memungkinkan kita untuk mereduksi sifat-sifat geometris kikau menjadi bentuk linier, dan dengan demikian memberikan beberapa ukuran variasi, jumlah kikau yang digunakan, dan pada saat yang sama menyoroti prinsip keteraturan, simetri, dan pengelompokan (dalam arti yang dibahas, misalnya, oleh Ramachandran, 2011: 200) saat membandingkan pengaturan keseluruhan pada salawaku/perisai yang berbeda.

Sepanjang penggunaan cat “memasuki” mengikuti pola yang ditetapkan oleh kikau, ada juga simetri dalam hal garis dan warna. Kesesuian ini dapat dilihat, misalnya, pada salawaku 5 [3] dan 5 [24]. Namun, hal ini tidak selalu terjadi, seperti yang terlihat pada salawaku 5 [13] dan 5 [19]. Hal ini mungkin karena, dalam hal estetika kontemporer suku Nuaulu, kualitas penting adalah buih, kecemerlangan dan warna itu sendiri, bukan rona atau kombinasi individual, baik garis maupun warna yang berada di bawah pola kikau. Apakah pembuatan salawaku sebelumnya, yang bergantung pada rentang yang lebih terbatas dari pigmen bersumber alami, merupakan perbedaan yang sulit untuk diketahui.

Mengingat pemisahan optimal antara elemen pada semua salawaku, secara teori dimungkinkan untuk menyusun permutasi tetapi, terlepas dari tujuan pembuat dan ekspetasi sosial bahwa setiap salawaku akan “unik”, jumlah varian pada satu waktu selalu jauh lebih sedikit daripada banyaknya kemungkinan permutasi. Jika kita melihat keteraturan desain pada gambar 5, di hampir semua salawaku, pola di bagian bawah adalah bayangan cermin dari bagian atas, sedangkan bagian kanan adalah bayangan cermin dari bagian kiri. Biasanya dimana ada motif totemik yang ini dicegah, dan kemudian hanya dimensi atas-bawah, karena representasi terbelah yang digunakan untuk gambar hewan konsisten dengan lateralitas kanan-kiri (Lévi-Strauss, 1963[1944–1945]). Kesimetrian yang mendasar ini mengurangi kemungkinan variasi hingga 75%, karena ¼ dari total desain hampir identik dengan ¼ lainnya.

 

Variasi, ketepatan ritual, dan logika kombinatorial

Dalam berbagai desain salawaku suku Nuaulu kita dapat melihat variasi dalam kombinasi elemen warna, hewan totemik yang digambarkan dan, yang paling signifikan, dalam hal kombinasi potongan keramik atau cangkang. Seperti yang telah kita lihat, satu sumbu variasi adalah dalam hal jumlah punggungan vertikan yang diukir pada kayu sebelum sisa desain diterapkan : tanpa punggungan, 1 punggungan, 2 punggungan dan (paling umum) 3 punggungan. Jenis variasi kedua – dan yang paling penting dalam hal estetika suku Nuaulu – adalah jumlah dan pola kombinasi kikau yang tertanam di muka salawaku.

Jadi, meskipun sangat diformalkan, setiap salawaku memiliki desain unik yang merupakan hasil dari kreativitas yang disengaja dan bijaksana. Sementara elemen gaya pembingkaian yang terlihat jelas, dalam batasan formal ini variasi yang cukup besar dimungkinkan. Saya belum pernah melihat 2 salawaku yang identik, dan, seperti nama pribadi suku Nuaulu, duplikasi dalam klan pada satu waktu akan menimbulkan resiko kemalakangan. Dalam arti tertentu, salawaku, terutama salawaku ritual/sakral, seperti yang telah kita lihat sangat antropomorfis, seperti tubuh bertato, dimana desainnya menjadi intrinsik bagi orang yang diwujudkan dan karenanya merupakan ekspresi individualitas. Tidaklah cocok untuk semua orang, atau setiap salawaku, untuk menjadi serupa dan keindahan terletak pada perjuangan terus menerus untuk variasi dan perbedaan, diperkuat oleh tabu untuk mereproduksi desain yang identik. Kata marainie adalah istilah terbaik yang kita miliki untuk “kecantikan” saat digunakan pada objek, tetapi juga berarti “mempesona”. Perlu juga dicatat bahwa apa yang baik, benar, pantas dan indah, semuanya diekspresikan juga dalam satu kata yaitu iake, ungkapan penghargaan sejati dalam bentuk iake tunne atau iake nya – “itu yang terbaik”. 

Ada kebanggan yang ditunjukan oleh sorang seniman dalam orisinalitas desain salawaku, tetapi orisinalitas itu tidak boleh melampaui dirinya sendiri dan harus menjadi varian yang dapat dikenali dalam sistem variasi. Hotena datang menemui saya pada suatu kesempatan, menanyakan apakah saya memiliki potongan kaca tua, karena dia berpikir untuk menggunakan kaca daripada pecahan tembikar putih agar salawakunya lebih menonjol dari yang lain pada saat auwoti. Saya tidak tahu apakah dia pernah menggunakan pecahan kaca tetapi, bahkan dalam mempertimbangkannya, dia sangat dekat dengan batas dari apa yang dapat diterima secara konvensional. Adalah hal yang umum bagi ahli ritual lainnya, di klan lain dan terutama di klan dimana ada ketidaksepakatan sejarah atas praktik ritual, untuk mengkritik benda seni karena tidak cukup otentik atau hanya “salah”. Selama pembuatan salawaku (yang mungkin menghabiskan waktu selama berbulan-bulan) ada pertukaran saran, bantuan, dan kekaguman yang konstan. Ini biasanya di dalam klan atau di sepanjang tautan akhir. Tapi mungkin juga ada kritik. Pembahasan biasanya tentang dimensi, jumlah dan tata letak pecahan, skema warna, formasi pelek, kontras pola dan elemen, kesamaan dan perbedaan dari yang lain, orisinalitas dan kegagalan untuk menyesuaikan dengan pola standar yang diterima. Tampaknya ada sedikit perhatian langsung untuk aspek-aspek seperti kemahiran, hasil akhir, kualitas cat. Cat sering kali tidak rata, menggumpal – sisa-sisa kayu kosong, cat menetes di atas cat warna lain, cat tumpang tindih dengan bagian desain yang seharusnya berwarna lain, dan lain-lain. Ketepatan yang diminta oleh leluhur kurang metrik, atau geometris dalam pengertian yang mungkin diperlukan dalam rekayasa presisi atau dicontohkan dalam garis bersih dan kisi-kisi lukisan oleh Piet Mondrian, melainkan ketepatan relasional atau topologi dimana semua elemen diharapkan muncul dalam pengaturan yang benar sehubungan satu sama lain. Ini adalah pengertian yang sangat penting bagi orang Nuaulu yang hidup dan diharapkan dalam benda-benda suci oleh para pemikir leluhur. Kita bisa menyebutnya sebagai ketepatan ritual : semua elemen dalam desain sebelumnya harus ada, meskipun tidak harus dieksekusi dengan sempurna; tetapi jika ada kesalahan mungkin ada konsekuensi dalam pertunjukan ritual selanjutnya (termasuk tarian) atau dalam kehidupan individu seniman dan anggota klan mereka yang mengkonsumsi seni tersebut. Ketepatan ritual dalam pembuatan desain salawaku penting untuk apresiasi estetika suku Nuaulu. Dalam konteks pertunjukan tari atau pertunjukan statis, hal ini tidak secara langsung mempengaruhi efek estetik, maupun efek ekspresif pada mereka yang tidak menyadari kesalahan, tetapi pengetahuan bahwa beberapa aspek proses penciptaan tidak benar mempengaruhi penilaian estetik orang lain. Jika tidak dibuat dengan benar, maka tidak akan terlihat benar !!!

Ekspetasi ketepatan topologi paling jelas ditampilkan dalam kaitannya dengan jumlah dan susunan kikau. Seperti yang telah kita lihat, saya mengikuti eksperimen Boas (1955[1927]: 39–54) dengan notasi formal dalam memahami keteratutan pola dalam hal elemen dan warna, dan telah memberikan ekspresi numerik untuk kombinasi kikau dari setiap desain salawaku pada gambar 5. Tidak setiap dimensi variasi disertakan dan, meskipun ekspresi dapat disederhanakan lebih lanjut secara aritmatika, bentuk yang digunakan paling baik menunjukan variasi visual. Untuk kelompok pertama yang terdiri dari 18 desain, terdapat simetri atas-bawah yang lengkap dan, pada kelompok kedua yang terdiri dari 6 desain, simetri atas-bawah tidak lengkap. Namun, bahkan pada kelompok kedua, dan meskipun terkadang cat menyimpang dari ideal ini (misalnya salawaku 5[13], efek keseluruhannya adalah simetri atas-bawah dan selalu simteri kanan-kiri dalam susunan kikau. Kesimetrian inilah yang berkontribusi pada tampilan animasi salawaku yang hidup selama tarian, mennciptakan efek visual saat mata berusaha memahami pola kikau secara keseluruhan, bergerak di antara susunan pelat yang berbeda, selain cara cahaya dipantulkan pada mereka, menciptakan kilau dan kecemerlangan. Dalam keremangan fajar saat auwoti dilakukan, makna ikonografi apapun sebagian besar tidak relevan.

Kekhawatiran akan jumlah yang tepat ini ditemukan di seluruh ritual suku Nuaulu, dimana jumlah barang yang dibutuhkan dan waktu pertunjukan atau ucapan dilakukan harus tepat, biasanya dalam 5 atau kombinasi dari 5, yang mencerminkan afiliasi mitos sejarah Nuaulu dengan Patalima (“Lima”) suatu pengelompokkan masyarakat Seram Tengah, yang berbeda dengan pengelompokkan Patasiwa (“Sembilan”) (lihat misalnya, Valeri, 1989). Ini adalah pola yang ditemukan pada objek ritual suku Nuauli lainnya, termasik keranjang, hiasan kepala wanita pada upacara menstruasi pertama dan tarian lingkarab, serta kantong sirih yang diproduksi untuk upacara pubertas pria.

 

Diskusi

Pada kajian yang lain (Ellen, 2014) saya membandingkan variasi dalam komponen dekoratif salawaku dengan yang ditemukan pada keranjang, bisa dibilang media yang digunakan seni dekoratif suku Nuaulu paling luas, konsisten dan jelas diekspresikan (Ellen, 2009). Pada keranjang, sebagian besar variasi berasal dari materialitas dan fungsionalitas sistem, keranjang digunakan untuk berbagai tujuan duniawi dan ritual. Namun, pada salawaku, batasan material lebih ketat dan fungsinya lebih terbatas. Semua salawaku terbuat dari bahan dasar yang sama. Selain itu, salawaku menggabungkan pelat rotan, keramik, dan kerang Nautilus, dan kini pertukaran cat. Meskipun ukuran dan bentuk keseluruhan sedikit berbeda, apa yang mungkin kita gambarkan sebagai template umum, dasar penerapan desain, selalu sama.

Juga, tidak seperti pada keranjang, salawaku suku Nuaulu disajikan secara sosial dalam konteks yang terbatas. Saat ini, desain salawaku terutama dapat diakses secara sosial dalam konteks tarian (auwoti) yang dilakukan tepat pada saat fajar menyingsing (gambar 7), yang mengiringi ritual besar. Tarian auwoti di masa lalu selalu menjadi pendahulu yang diperlukan untuk aksi perburuan kepala (pengayauan/potong kepala) dan, meskipun hubungan praktis antara pertunjukan auwoti dan perburuan kepala telah berhenti, menghasilkan beberapa “rekontekstualisasi” yang tak terelakkan (O'Hanlon, 1995; Thomas, 1991), tarian tersebut harus dibawakan pada acara ritual yang sama sebagai bagian dari rangkaian ritual yang sama yang akan memuncak dengan perburuan kepala di masa lalu. Selain itu, desain juga terlihat oleh orang lain selama ritual yang terlibat dalam pembuatannya dan dipajang di dinding bagian dalam rumah-rumah suci, dimana dalam keremangan, desain salawaku hampir tidak terlihat selain gemerlap kikau yang dihasilkan oleh lampu damar. Sesekali masyarakat Nuaulu diundang untuk melalukan auwoti pada perayaan nasional, seperti Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus, dalam konteks dimana salawaku diterpa sinar matahari langsung di ruang publik non-suku Nuaulu. Selain itu, sejak tahun 1980 telah ada beberapa upaya untuk memperoduksi salawaku untuk pangsa pasar turis, tetapi tidak banyak berhasil (gambar 8). Pembuat salawaku suku Nuauli menyadari jenis objek yang sesuai untuk pangsa pasar turis yang berkunjung ke Amahai dan tempat lain yang lebih terorganisir (Ellen, 2014) – objek-objek yang berwarna cerah dan dan diakui sebagai stereotip tertentu daro penduduk asli “Alifuru” Seram yang menjadi pemburu kepala -. Tapi pasar ini selalu kecil, selalu lebih potensial daripada yang sebenarnya, dan terkena imbas oleh periode konflik komunal di Maluku antara tahun 1999 dan 2003. Pasar ini belum pulih sepenuhnya. Namun, bahkan prospek perdagangan turis, daripada arus turis yang stabil, dapat dilihat sebagai pembentukan konteks pandang baru. 

Selain itu, seperti yang telah kita lihat, salawaku tertentu memiliki eksistensi “dalam dirinya sendiri” dalam artian bahwa kewajiban leluhur dan monne mengharuskan salawaku disimpan sebagai benda suci (aniaue monne) dalam setengah kegelapan loteng rumah selama beberapa generasi, dan jarang diperlihatkan. Hal ini perlu ditiru secara periodik tepat sebelum lapuk guna menjaga keberlangsungan rumah suci serta garis keturunan penghuninya yang patrilineal.

Seperti desain keranjang, desain salawaku diwariskan di dalam klan tetapi di dalam klan, desain diharapkan serupa. Pohon-pohon yang menyediakan kayu untuk salawaku suci, juga akan menyediakan kayu untuk 6 salawaku lain yang dianggap sebagai “keturunannya”, tetapi yang bukan monne (suci/sakral). Salawaku “induk” yang tidak diperlihatkan, hanya disimpan, tetapi “salawaku keturunannya” disimpan di rumah-rumah biasa pemilik laki-laki, yang akan mewariskannya kepada putranya (biasanya putra tertua) mereka. Beberapa salawaku akan dibuat untuk laki-laki di klan berbeda yang tidak memiliki keahlian atau pengetahuan pembuatan.

Sementara aniaue monne harus merupakan salinan persis dari pendahulunya, salawaku “keturunannya” yang dipotong dari pohon yang sama pada kesempatan yang sama, atau salawaku lainnya, mungkin sangat beragam. Bahkan, masing-masing pembuat salawaku dan penari auwoti berusaha untuk memiliki salawaku yang khas dan “cemerlang”, yang mencerminkan ragam apresiasi estetis yang diwujudkan dalam konsep marainie suku Nuaulu, hiasan yang menyempurnakan salawaku sebagai “makhluk hidup”, membuat salawaku – seolah-olah – lebih “hidup” (Gell, 1998: 76). Ada sedikit keraguan bahwa kikau adalah aspek terpenting dari estetika salawaku. Kecemerlangan salawaku (bu-buane) dan kecemerlangan atau buih (kaie) salawakulah yang mempesona dan memiliki efek paling visual di antara para penari, penonton dan pengagum, dan yang paling mengandung potensi spiritual. Dalam konteks dimana auwoti dilakukan – zona kusam setelah tarian kahuae di malam hari – cat pada salawaku mungkin tidak terlihat jelas. Namun, kikau tidak hanya memantulkan sinar matahari awal yang tersedia, tetapi menghasilkan efek berkilauan dengan kualitas optik – pergerakan, semangat, dan “titilasi retina” – dari pointilisme, seni optik, dan lukisan spot Damien Hirst, yang melibatkan “pengelompokan dinamis” dari jarak yang sama seperti titik-titik saat otak terus menerus mengaturnya kembali menjadi baris dan kolom (Gregory, 1998: 6-7), pola “tidak stabil dan dinamis” menciptakan “ilusi gerakan” (Morphy, 2009: 12, mengikuti Gell). Sebagai perbandingan, motif lukisan diterapkan dalam kerangka yang dibentuk oleh distribusi potongan keramik, sebagai pengisi sekunder di antara bagian pola yang lebih penting. Gemerlap, dan keragaman elemen penghasil efek, merupakan kualitas yang penting dalam objek ritual lain yang ditampilkan dalam pertunjukan, seperti tasi matahene (kantong sirih yang digunakan dalam upacara pubertas laki-laki), senie pinamou (kain kepala yang dikenakan oleh anak perempuan pada ritual masa menstruasi puber pertama dan tarian lingkaran kahuae), dan topi kerucut (nasa) yang diberikan kepada wanita yang menikah dengan klan Soumori dan blus/gaun (papite) yang dikenakan oleh wanita pada upacara yang sama.

 

Kesimpulan

Analisis ini berkaitan denan “objek yang ditampilkan, bukan makna simbolik yang diwakili” (Gell, 1992: 43). Meskipun ikonografi dan sematik lukisan pada salawaku suku Nuauli bukan hal yang tidak penting, makna tidak selalu diartikulasikan secara sistematis atau mudah terlihat, estetika yang dominan dalam “berbagai konteks penglihatan” (Morphy 2009: 14) adalah yang diasosiakan dengan keramik atau cangkang Nautilus yang disusun secara fragmen geometris. Dengan pemikiran ini, saya telah mengembangkan gagasan (Ellen, 2017) bahwa suku Nuaulu memupuk keragaman objek budaya tertentu dan mendukungnya dengan berinvestasi dalam sensibilitas yang relevan. Hal ini telah dibuktikan untuk salawaku suku Nuaulu, dimana estetika yang mendasari didasarkan terutama pada penggunaan dan penataan potongan kerang atau keramik. Penataan potongan-potongan itu konsisen denan logika biner yang kuat dan gagasan ketepatan topologi atau relasional yang penting untuk kemanjuran ritual mereka. Cara-cara dimana elemen-elemen keramik atau kerang diatur mengingat pengamatan yang dilakukan oleh Boas pada sifat formal desain dan memberikan contoh jenis dan pola objek seni yang tidak secara jelas tercakup dalam sintesis teoritis tentang simetri (misalnya Wasburn dan Crowe, 1988). Namun, efek langsung dari salawaku dalam konteks kinerja dan tampilan adalah dalam hal kecemerlangan, kilau, dan mempesona. Meskipun ciri-ciri ini dicontohkan di sini dalam hal pembuatan salawaku, pola dan proses yang serupa dapat dilihat dalam ciri-ciri rancangan bidang budaya material lainnya. 

Seni plastik suku Nuaulu khas karena tidak memiliki tradisi figuratif atau naratif yang berkembang, meskipun cerita dapat dikaitkan dengan motif tertentu. Dalam ketidakhadirannya, kreativitas diekspresikan dalam bentuk geometris, paling luas dalam desain keranjang dan salawaku. Sementara desain salawaku suku Nuaulu menemukan kesejajaran dalam prinsip-prinsip dimana kegiatan suku Nuaulu lainnya dijelaskan, diatur dan dilakukan, saya mengikuti Adams (1973) dalam menyatakan bahwa ini tidak berarti bahwa desain “mencerminkan masyarakat”, melainkan bahwa prinsip struktural yang sama muncul dalam seni karena budaya dan psikologis mereka dimana-mana, terutama dalam ucapan dan praktik ritual. Catatan kehati-hatian yang serupa disuarakan oleh Fox (1988: 26), ketika dia mengatakan bahwa komponen diadik dari tuturan ritual tidak serta mencerminkan “kosmos dualis”, dan ini adalah argumen yang dikembangkan oleh Gell (1998: 216-220) dalam analisis ulangnya terhadap karya Küchler tentang “malangan” Irlandua Baru (misalnya Küchler, 1985). Seperti “malangan”, salawaku suci suku Nuaulu “mentransmisikan perantara antara masa lalu dan masa kini” (Gell, 1998: 226); tetapi tidak seperti “malangan”, salawaku dalam teori bertahan selamanya, berulangkali direplikasi sepanjang waktu.

Alih-alih semiosis ssitematis dari referensi spesifik dalam pola, terlepas dari beberapa makna yang dapat diterjemahkan ke dalam bahasa (terutama hewan totemik), signifikansi sebagaian besar melekat pada pola geometris. Penting bagi produsen dan konsumen seni bahwa pola semacam itu “benar” (karena mungkin ada hukuman leluhur jika tidak demikian), tetapi kombinasi kikau, warna, dan komponen lain memiliki sedikit “makna” (bila dikaitkan secara lokal, atau interpretasi ilmiah yang masuk akal). Meskipun ada rasa signifikansi bersama yang kuat, ada sedikit kompleksitas semantik, suatu hal yang mungkin disetujui oleh Boas. Namun, seperti simpul (Küchler, 2001: 59), sifat kombinasi mistik dari pola geometris dan kemampuannya untuk menghasilkan kecemerlangan pada saat-saat kritis ketika pola tersebut terdiri dari susunan fragmen material yang siap memantulkan dan membiaskan cahaya, dengan cerdik menggabungkan perspetual dan proses afektif (Gell, 1998). Dalam melihat salawaku orang Maluku lainnya – termasuk salawaku/perisai Ashmolean yang kami gunakan untuk memulai eksplorasi kami – ada kemiripan keluarga dalam bentuk keseluruhan dan dalam hal penggunaan pola geometris yang menonjol yang melibatkan sejumlah besar kerang atau potongan keramik. Ini menunjukkan interpretasi serupa untuk salawaku sejarah lainnya dalam rentang geografis yang lebih luas. Mengikuti Thompson (1961 [1917]), dan seperti yang dicatat oleh sejumlah antropolog seni (misalnya Küchler, 2001: 62), ini tampaknya lebih menggambarkan kapasitas generatif yang melekat pada sifat formal objek geometris dan bagaimana sifat ini ketika terlihat pada benda seni yang sering dipertahankan di bawah deformasi.

===== selesai =====

Referensi

  • Adams MJ (1973) Structural apects of village art. American Anthropologist 75: 265–279.
  • Boas F (1955[1927]) Primitive Art. New York: Dover Publications.
  • Ellen RF (1972) The marsupial in Nuaulu ritual behavior. Man (NS) 7: 223–238.
  • Ellen RF (1988) Fetishism (The Curl Lecture). Man (NS) 23(2): 213–235.
  • Ellen RF (1990) Nuaulu sacred shields: The reproduction of things or the reproduction of images? Etnofoor 3(1): 5–25.
  • Ellen RF (1998) The inedible and the uneatable: Totemic and other restrictions on the use of biological species among the Nuaulu. In: Pannell S, Von Benda-Beckman F (eds) Old World Places, New World Problems: Exploring Issues of Resource Management in Eastern Indonesia. Canberra: Australian National University, 243–266.
  • Ellen RF (2002) Nuaulu head-taking: Negotiating the twin dangers of presentist and essentialist reconstructions. Social Anthropology 10(3): 281–301.
  • Ellen RF (2009) A modular approach to understanding the transmission of technical knowledge: Nuaulu basket-making from Seram, Eastern Indonesia. Journal of Material Culture 14(2): 243-277.
  • Ellen RF (2012) Nuaulu Religious Practices: The Frequency and Reproduction of Rituals in a Moluccan Society. Leiden: KITLV Press.
  • Ellen RF (2014) Pragmatism, identity and the state: How the Nuaulu of Seram have re-invented their beliefs and practices as ‘religion’. Wacana 15(2): 254–285.
  • Ellen RF (2017) Is there a connection between object diversity and aesthetic sensibility? A comparison between biological domesticates and material culture. Ethnos 82(2): 308–330.
  • Forge A (1965) Art and environment in the Sepik. Proceedings of the Royal Anthropological Institute 1965: 23–31.
  • Fox JJ (1988) Introduction. In: Fox JJ (ed.) To Speak in Pairs: Essays on the Ritual Languages of Eastern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press, 1–28.
  • Gell A (1992) The technology of enchantment and the enchantment of technology. In: Coote J, Shelton A (eds) Anthropology, Art and Aesthetics. Oxford: Clarendon Press.
  • Gell A (1998) Art and Agency. Oxford: Clarendon Press.
  • Gregory RL (1998) Eye and Brain: The Psychology of Seeing. Oxford: Oxford University Press.
  • Hargittai I (ed.) (1986) Symmetry: Unifying Human Understanding. New York: Pergamon.
  • Juynboll HH (1930–1931) Catalogus van’s Rijks Ethnographisch Museum, Vols 21 and 22. Leiden: Brill.
  • Küchler S (1985) Malangan: Art and memory in a Melanesian society. Man 22(2): 238–255.
  • Küchler S (2001) Why knot? Towards a theory of art and mathematics. In: Pinney C, Thomas N (eds) Beyond Aesthetics: Art and the Technologies of Enchantment. Oxford: Berg, 57–78.
  • Lévi-Strauss C (1963[1944–1945]) Split representation in the art of Asia and America. In: Structural Anthropology. New York: Basic Books, 245–268.
  • Lévi-Strauss C (1963) Structural Anthropology. New York: Basic Books.
  • Martin K (1894) Reisen in den Molukken, in Ambon, den Uliassern, Seran (Ceram) und Buru. Leiden: EJ Brill.
  • Milner GB (1971) The quartered shield: Outline of a semantic taxonomy. In: Ardener E (ed.) Social Anthropology and Language. London: Tavistock, 243–269.
  • Morphy H (1989) From dull to brilliant: The aesthetics of spiritual power among the Yolngu. Man (NS) 24(1): 21–40.
  • Morphy H (2009) Art as a mode of action: Some problems with Gell’s ‘Art and Agency’. Journal of Material Culture 14(1): 5–27.
  • Munn ND (1966) Visual categories: An approach to the study of representational systems. American Anthropologist 68(4): 936–950.
  • Neubecker O (1976) Heraldry: Sources, Symbols and Meaning. New York: McGraw-Hill.
  • O’Hanlon M (1992) Unstable images and second skins: Artefacts, exegesis and assessments in the New Guinea highlands. Man 27(3): 587–608.
  • O’Hanlon M (1995) Modernity and the ‘graphicalization’ of meaning: New Guinea Highland shield design in historical perspective. Journal of the Royal Anthropological Institute 1(3): 469–493.
  • Ramachandran VS (2011) The Tell-tale Brain: A Neuroscientist's Quest for What Makes Us Human. New York: WW Norton.
  • Rumphius GE (2011[1743]) The Ambonese Herbal. New Haven, CT: Yale University Press and National Tropical Botanical Garden.
  • Sillitoe P (1980) The art of war: Wola shield designs. Man (NS) 15: 483–501.
  • Thomas N (1991) Entangled Objects: Exchange, Material Culture and Colonialism in the Pacific. Cambridge, MA: Harvard University Press.
  • Thompson, D’Arcy Wentworth (1961[1917]) On Growth and Form. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Valeri V (1989) Reciprocal centers: The Siwa–Lima system in the Central Moluccas. In: MayburyLewis D, Almagor U (eds) The Attraction of Opposites. Ann Arbor: University of Michigan Press, 117–141.
  • Valeri V (1994) Our ancestors spoke little: Knowledge and social forms in Huaulu. In: Visser L (ed.) Halmahera and Beyond; Social Science Research in the Moluccas. Leiden: KITLV Press, 195–212.
  • Visser HFE (1917) Over Ornamentkunst van Seram. Volenkundige Opstellen 1: 91–104. Amsterdam: Kolonial Instituut, Mededeeling 8, Afdeeling Volkenkunde 3.
  • Washburn DK (ed.) (1983) Structure and Cognition in Art. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Washburn DK and Crowe DW (eds) (1988.) Symmetries of Culture: Theory and Practice of Plane Pattern Analysis. Seattle: University of Washington Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar