Selasa, 21 Februari 2023

Sultan, Raja, Sangaji dan Khimalaha : Budaya dan Kekuasaan di Kepulauan Maluku Menurut Sumber-sumber Awal Portugis dan Spanyol

 

(bag 1)

[Oleh Manuel Lobato]

 

  1. Pengantar

Kajian bermutu yang dipenuhi dengan banyak catatan kaki dan referensi ini berjudul Sultans, Rajas, Sangaji and Khimalaha : Culture and Power in the Maluku Island According to the Early Portuguese and Spanish Sources, oleh Manuel Lobato. Artikel 18 halaman ini dimuat dalam Jurnal Revista de Cultura, volume 42, tahun 2013, halaman 42 – 59, dengan 83 catatan kaki, 11 gambar/lukisan.

Seperti judulnya, Manuel Lobato membahas tentang beberapa gelar yang digunakan di Kepulauan Maluku, terkhususnya pada awal abad ke-16. Sultan, Raja, Sangaji dan Kimilaha/Kimalaha adalah beberapa gelar atau jabatan elit yang disandang oleh kaum elit Maluku pada masa tersebut. Membaca kajian ini, minimal kita bisa memahami lebih jauh tentang penggunaan dan perbedaan dari gelar-gelar yang disematkan kepada tiap figur. Yang paling penting adalah bahwa Manuel Lobato mendasari itu dengan basis data yang berasal dari sumber-sumber tulisan awal bangsa Portugis dan Spanyol yang melakukan kontak langsung dengan masyarakat Maluku pada awal-awal abad itu.

Tentunya sangat penting dan berharga buat kita untuk membaca dan mendalami lebih jauh tulisan ini. Hal itulah yang mendasari kami untuk menerjemahkan kajian ini. Kami membaginya menjadi 2 bagian sehingga bisa teroganisir secara baik, menambahkan beberapa gambar pendukung dan catatan tambahan jika diperlukan. Akhir kata semoga bisa bermanfaat.

 

  1. Terjemahan

Pendahuluan

Terbukanya Kepuluan Maluku bagi dunia luar dimulai dari tempat yang sangat jauh. Pengaruh Jawa, Tionghoa, dan Melayu mendahului orang Eropa, yaitu Portugis dan Spanyol, yang masing-masing terjadi pada tahun 1512 dan 1521. Merupakan suatu kesepakatan bahwa kaum Iberia menciptakan perpecahan politik dan membawa transformasi yang intens dan mendalam ke berbagai bidang kehidupan penduduk pribumi yang telah meninggalkan jejak dalam sumber-sumber sejarah. 

Sultan Ternate mengunjungi Masjid (1598/1599)

Sungguh mengejutkan banyaknya narasi dan sumber-sumber primer yang berkaitan dengan Maluku, meskipun lokasinya berada di pinggiran. Ini dapat dijelaskan kombinasi alasan yang berbeda. Yang utama menyangkut lokasi pulau-pulau di zona perbatasan antara imperium Spanyol dan Portugis yang terus diperdebatkan oleh kedua kerajaan Iberia itu hingga akhir 1560-an. Pemerintah kedua kerajaan merasa perlu untuk mempublikasikan kegiatan dan prestasi mereka di wilayah, sebagai sarana untuk menegaskan hak kepemilikan mereka, dalam apa yang disebut “Persoalan Maluku”, yang bertentangan dengan apa yang biasanya diasumsikan, yang tidak sepenuhnya diselesaikan melalui Perjanjian Zaragoza tahun 1529. Dari Spanyol Baru, Spanyol terus mengirimkan ekspedisi ke Kepulauan rempah-rempah selama beberapa dekade, hingga akhirnya menetap di Filipina. “Persoalan Maluku”, yang dipicu oleh pelayaran armada keliling dunia dari Magellan-Delcano, terus menerus menjadi motif sengketa saat Perjanjian Tordesilas tahun 1494 menghilangkan garis perbatasan di daerah-daerah yang berlawanan, yang sesuai dengan partisi atau pembagian atlantik. Mengingat ketidakmampuan untuk secara akurat menentukan lokasi anti-meredian yang memisahkan wilayah pengaruh Portugis dan Spanyol di seberang laut, perselisihan ini akhirnya menjadikan “Kepulauan Rempah-rempah”1 suatu ketenaran tertentu di beberapa kalangan terpelajar Eropa.

Paradoksnya, keterpencilan pulau-pulau ini tampaknya turut membuat Maluku menjadi terkenal. Pulau-pulau itu dikunjungi oleh sejumlah besar pedagang, misionaris, dan agen-agen kekaisaran Portugis dan Spanyol. Tergerak oleh alasan perjalanan atau keliling dunia, beberapa pengunjung Portugis memutuskan untuk menulis tentang Maluku, sebagai daerah yang membutuhkan waktu lebih lama untuk ditempuh dengan berlayar dari Goa, daripada waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan rute biasa dari Goa ke Lisbon melalui rute Tanjung Harapan2. Dengan demikian, ada insentif tambahan untuk menulis tentang daerah-daerah yang hanya bisa dikunjungi oleh sedikit orang. Namun, literatur perjalanan Portugis tidak dapat disamakan secara kuantitatif dan kualitatif dan kualitatif dengan produksi buku perjalanan yang ditulis oleh Inggris, Belanda, Prancis, Italia, dan bahkan Spanyol. Berbeda dengan orang Portugis, orang Spanyol biasa melaporkan ekspedisi perusahaan maritim mereka secara ekstensif dan menyeluruh : setiap perwira diharuskan membuat laporan terperinci tentang setiap fakta yang relevan, baik di atas kapal maupun di darat, yang menghasilkan sejumlah jurnal atau catatan pelayaran untuk setiap ekspedisi dan bahkan untuk satu pelayaran. Contoh paling signifikan untuk tujuan kita adalah perbedaan yang mencolok antara satu-satunya catatan yang diketahui dari pelayaran pertama Vasco da Gama “melawan” atau berbanding dengan 36 narasi atau catatan berbeda dari perjalanan mengelilingi dunia oleh Magellan-Delcano, sebuah ekspedisi yang terutama menuju ke Kepulauan Maluku. Yang paling komphrensif dari catatan-catatan semacam itu, ditulis oleh Antonio Pigafetta dari Italia, yang bergabung dengan armada ekspedisi, hanya sebagai criado atau sobresaliante berusia 17 tahun yang tidak berpengalaman3

 
Portugis, Spanyol dan Sumber-sumber Misionaris

Beberapa dari sejarah terbaik, bagaimanapun, berasal dari tulisan penulis seperti João de Barros yang pastinya tidak mengunjungi Asia4. Beberapa penulis sejarah besar lainnya, seperti Gaspar Correia atau Diogo do Couto5, hanya berlayar hingga ke India atau Malaka. Historia karya Fernão Lopes de Castanheda, tidak diragukan lagi merupakan buku sumber terbaik yang membahas tentang Maluku di antara kronik-kronik umum tentang Portugis di Asia6. Ia juga penulis Portugis paling terkenal yang pernah mengunjungi Kepulauan Maluku. Sayangnya, kita tidak mengetahui banyak tentang karirnya di Asia7 dan kunjungannya di Maluku, dimana ia mungkin menjabat posisi administratif di benteng atau di pos-pos perdagangan lokal (feitoria)8. João Baptista Lavanha, yang menerbitkan Decada volume 4 yang belum diselesaikan oleh Barros, meminjam beberapa bab termasuk tentang Maluku di dalam buku II dan buku VII dari Castanheda dan Couto9.

Selain para misionaris yang bekerja di Maluku, seperti Franscis Xavier, pendiri misi kaum Jesuit di pulau-pulau tersebut, ada beberapa penulis lain yang berkunjung dan singgah di sana selama beberapa tahun atau bahkan hampir sepanjang hidup mereka. Namun, teks-teks tentang Maluku yang ditulis oleh pedagang abad ke-16, hingga kini belum ditemukan. Semua penulis lainnya adalah pejabat militer atau administratif : kapten benteng dan kapal, juru tulis, akuntan, dan lain-lain, kebanyakan dari mereka adalah keturunan bangsawan dan memiliki pendidikan yang cukup baik, meskipun semuanya juga berdagang rempah-rempah. 

Selain bab-bab tentang Maluku yang ada dalam kronik-kronik umum, ada beberapa sejarah lain yang secara khusus berfokus pada kepulauan ini. Yang paling terkenal dan sering dikutip, ditulis oleh António Galvão (c.1490-1557), kapten benteng Portugis di Ternate dari tahun 1536-1539, seorang penulis yang mendapat pengakuan luas di Portugis dan luar negeri. Putra dari Duarte Galvão, seorang ideolog kekaisaran paling signifikan yang mengabdi pada Raja Manuel (1495-1521), António Galvão adalah penulis Tratados dos Descobrimentos yang terkenal10, sumber utama bagi bukunya Diogo do Couto, Decada Quarta11. Tulisan penting lain dari Galvão adalah A Treatise on the Moluccas Islands. Teks ini konon telah hilang, hingga seorang Jesuit, Hubert Jacobs, menganggap teks itu berasal dari Galvão dan menerbitkannya pada awal 1970-an bersama dengan anotasi terjemahan Bahasa Inggris yang mendalam, dari salinan tanpa nama (anonim) yang ada atau tersimpan di Archivo General de Indias. Teks tersebut adalah manuskrip belum rampung dengan judul dalam bahasa Spanyol Descripción de las Islas del Maluco y de las Costumbres de sus Indios12, dengan pendahuluan dalam bahasa yang sama. Menurut editor13, teks Portugis dapat menjadi draft yang diperoleh oleh kosmografer Spanyol, Alonso de Santa Cruz, selama kunjungan singkatnya ke Lisbon pada tahun 1545, dengan tidak mengabaikan kemungkinan bahwa Santa Cruz memperolehnya dari Galvão sendiri14. Penulis menawarkan contoh unik, sebelum kekaisaran Iberia bersatu pada tahun 1581, dari seorang penulis sejarah yang menulis secara ekstensif tentang kedua pelayaran Portugis dan Spanyol di Atlantik dan laut Asia “sebagai bagian dari gerakan yang sama”15.

Penulis kronik lain yang secara eksklusif berfokus pada Kepulauan Maluku, meskipun kurang dikenal dari penulis-penulis sebelumnya, adalah Gabriel Rebelo, yang merupakan seorang casado di Ternate, dimana ia memegang beberapa posisi publik, sebagai penjaga sementara benteng lokal (alcaide), factor (feitor, yang memiliki fungsi serupa dengan kata Spanyol, contador atau akuntan), dan juru tulis dari pengadilan yudisial dan Gedung umum. Dia menulis Informaçam das Cousas de Maluco yang dikenal dalam 2 versi bertanda tangan berbeda, yang ditulis pada tahun 1561 dan 1569, dimana keduanya didedikasikan untuk wakil raja (viceroy) Constantino de Bragança (1558-1561)16. Rebelo adalah pribadi yang ingin tahu, yang mendaki Gunung Gamalama (1715 m), gunung berapi di Ternate, melakukan observasi dan pengukuran di kawahnya dengan menggunakan tali pancing17. Dalam buku sejarah karangannya, dia juga memberikan informasi etnografi dan politik yang luas tentang kerajaan-kerajaan besar di Maluku. Dalam Década Quarta, Diogo do Couto menggunakan [sumber] Rebelo – yang ia anggap sebagai orang yang luar biasa dan filsuf alamiah- untuk menyusun sebagian besar deskripsinya tentang persaingan Luso-Castilia di Maluku, mereproduksi secara harfiah milik Rebelo dalam versi singkat dari Perjanjian Saragoça (1529)18. Ditulis pada tahun 1569, Informação oleh Gabriel Rebelo menceritakan siklus lengkap dalam sejarah Maluku, seperti Sultan Hairun yang akan dibunuh pada tahun berikutnya (1570) oleh kapten benteng Ternate, Diogo Lopez de Mesquita, membuka periode panjang dari kesulitan besar Portugis yang tidak akan pernah mereka bisa atasi tanpa bantuan Spanyol setelah tahun 1582.

Penulis terkemuka lainnya, yang tinggal selama beberapa tahun di Maluku, adalah humanis Duarte de Resende, seorang terpelajar bahasa Latin dan “siswa geografi dan hal-hal yang berhubungan dengan laut”, yang menurut João de Barros, de Resende adalah seorang sepupunya dan orang yang Barros dedikasikan bukunya dengan judul Ropica Pnefma19. Ia adalah kapten dari beberapa kapal di jalur laut yang menghubungkan Malaka ke Maluku dan juga seorang akuntan di Ternate, sebuah posisi saat ia bertugas di bawah komando António de Brito, Gubernur Portugis pertama dan pendiri benteng lokal20. Berdasarkan dokumen yang disita di Tidore di atas kapal Trinidad, Resende menulis sebuah Tratado pada perjalanan Magellan seperti yang dirujuk oleh Barros, sebuah teks yang sayangnya telah hilang21. Beberapa orang dan sarjana terpandang lainnya telah melewati Kepulauan Maluku, seperti António Pereira Marramaque, kapten jenderal Laut Maluku dan pendiri benteng Portugis pertama di Hitu, pulau Ambon. Bagaimanapun, sebagai seorang putra penyeir terkenal dari gaya Italia baru, dia lebih suka menggunakan bakat sastranya basa-basi yang sopan, daripada menulis tentang hal-hal Asia.

Beberapa penulis sejarah asal Portugis abad ke-16 dan ke-17, meskipun telah menyaksikan peristiwa-peristiwa yang mereka gambarkan, tetap berada dalam bayang-bayang anonimitas, seperti penulis kronik yang dikenal sebagai Capitania de Amboino22, yang kadang-kadang secara keliru dianggap berasal dari penulis sejarah resmi dan penjaga arsip kerajaan di Goa, , António Bocarro23. Sampai batas-batas tertentu, karya-karya besar Galvão dan Rebelo dan Capitania de Amboino yang tidak disebutkan nama penulisnya, membentuk urutan yang cukup sempurna : Galvão menggambarkan campur tangan kaum Iberia di Maluku hingga akhir masa pemerintahannya pada tahun 1539; Rebelo hanya membahas ke catatan rinci setelah tanggal yang tepat ini, kemungkinan besar karena dia mengetahui catatan Spanyol dan Portugis sebelumnya; akhirnya teks Capitania de Amboino membawa narasi ke tahun 1579, di masa-masa awal pemerintahan Sancho de Vasconcelos di Ambon. Sebuah teks yang juga patut disebut adalah kronik António Pinto Pereira tentang pemerintahan wakil raja pertama, D. Luís de Ataíde (1568-1571), yang memuat sejumlah bab tentang Maluku hingga tahun 1575. Pertama kali dicetak di Lisbon tahun 1586, tetapi baru diterbitkan pada tahun 1617, meskipun beberapa bagian telah diedarkan sebelumnya24.

Penulis Spanyol yang tinggal atau menulis tentang Maluku sangat penting. Relevan secara inheren, tulisan dan dokumen Spanyol menawarkan informasi yang sering dihilangkan dalam sumber-sumber Portugis dan sebaliknya. Referensi antar teks biasanya ditampilkan dalam beberapa teks ini, beberapa di antaranya masuk dalam dialog dengan penulis sebelumnya, terkadang menimbulkan polemik terhadap teks itu. G. Freire, dalam tesis masternya yang tidak diterbitkan, yang didedikasikan untuk teks-teks Gabriel Robelo, menyatakan bahwa di antara alasan-alasan lain, teks dari versi kedua miliknya “tampaknya telah dirancang untuk membantah pengungkapan peristiwa yang sama oleh para penulis Spanyol”25. Terlepas dari dedikasi teksnya kepada wakil raja dan catatan ekstensif tentang persaingan antara Portugis dan Spanyol, Rebelo tidak dapat dimasukkan dalam rangkaian penulis sejarah resmi. Dia berkomitmen untuk menawarkan perspektif yang agak lokal tentang Maluku, sebagai orang yang memiliki otoritas dan pengalaman hebat, yang telah menyaksikan beberapa peristiwa yang dia gambarkan, dan secara pribadi bertemu dengan beberapa protaganis yang digambarkan dalam catatannya. 

Meskipun beberapa ahli berpendapat bahwa terdapat lebih banyak informasi abad ke-16 yang tersedia tentang Kesultanan Ternate daripada Tidore26, ini hanyalah kesimpulan yang akurat mengenai tulisan-tulisan orang Portugis dan kaum Jesuit. Mempertimbangkan materi-materi yang tersimpan dalam arsip-arsip Spanyol, sebagian besar dari arsip tersebut belum diterbitkan sejauh ini27, penilaian yang agak berbeda muncul. Sampai batas tertentu, orang Spanyol mungkin meninggalkan lebih banyak informasi tentang Tidore daripada yang dilakukan Portugis di Kepulauan Maluku secara keseluruhan. Kita perlu ingat, di tengah-tengah laporan ekspedisi yang dikirim dari berbagai pelabuhan di Spanyol, Mexico, dan Peru, dan beberapa kronik pribadi dan religius, Conquista de las Islas Malucas yang agak resmi oleh Bartolomé Leonardo de Argensola, diterbitkan pada tahun 1609 dan didedikasikan untuk Raja Philip III28. Korespondensi lima tahunan yang saling bertukar antara Gubernur Maluku, Gerónimo de Silva, yang merupakan komandan utama pasukan Spanyol di Tidore dari tahun 1612 hingga 1617, dan beberapa tokoh penting, termasuk Sultan Tidore, Mole Majimu (1599-1627)29, juga harus diperhatikan. Berfokus pada informasi militer yang dikumpulkan melalui intelijen Spanyol di Maluku, sebagian besar dari surat-surat ini mencerminkan intrik politik di istana Tidore yang menawarkan beberapa wawasan tentang kehidupan internalnya, sosok Sultan, putra mahkota dan calon sultan, kaicil Naro (1627-1635), dan beberapa tokoh Tidore lainnya di Soasio, istana kesultanan.

Ada juga kelompok ketiga dari tulisan, yang dibentuk oleh surat dan laporan misionaris Jesuit, kebanyakan ditulis dalam bahasa Portugis dan Spanyol. Di antara surat-surat ini, laporan berjudul Informação da cristandade de Maluco no anno 1588, oleh misionaris yang berkunjung, Antonio Marta dari Italia, patut disebutkan secara khusus. Risalah singkat namun sangat bernilai ini, menawarkan informasi rinci yang berkualitas tinggi dan pendekatan sistematis pada berbagai aspek kehidupan politik dan budaya dari berbagai kelompok Maluku utara dan tengah, bahkan pada beberapa yang jauh dari daerah sekitar pemukiman dan benteng Portugis30. Sebagian besar surat-surat misionaris Jesuit, menggambarkan kegiatan misi mereka di Maluku, dikumpulkan dan diterbitkan secara luas oleh Hubert Jacobs dalam Documenta Malucensia yang disebutkan di atas31. Sebenarnya, surat-surat itu terutama ditulis untuk melayani misi kaum Jesuit, setelah disisipkan secara penuh atau dalam versi yang diringkas, diperpendek, dibatasi atau diparafrasekan, baik dalam buku atau pamflet, dalam bahasa Latin atau bahasa lain, semuanya diedarkan secara luas di kalangan terpelajar di Eropa.

 

Representasi Dunia Pribumi dalam sumber-sumber Iberia : Nilai dan batasan-batasan

Dengan cara yang sama, dan terlepas dari fakta bahwa orang Iberia termasuk di antara orang Eropa pertama yang menggambarkan kepulauan Maluku, deskripsi mereka tentang realitas pribumi, umumnya agak dangkal, mengedepankan prinsip politik, ekonomi atau agama. Jelas, ada beberapa deskripsi tentang penggunaan dan adat istiadat masyarakat pribumi, yang menawarkan pandangan yang agak tidak bias dan tidak terikat. Akan tetapi, pada umumnya, Portugis dan Spanyol, yang terlalu fokus pada masalah yang paling langsung mempengaruhi mereka, hanya sedikit mampu memupuk minat yang tulus untuk menggambarkan penduduk pribumi seperti itu. Memang, sifat informasi yang disampaikan oleh sumber-sumber Eropa hanya terpisah-pisah, dengan fokus pada sejumlah kecil pulau dan komunitas pulau-pulau. Cukuplah memperjelas untuk melihat kajian tentang evolusi pengetahuan geografi dan kartografi Eropa di Kepulauan Melayu selama abad ke-16 dan ke-17, untuk menyadari betapa sempitnya perspektif Eropa32. Untungnya, orang Maluku tidak gagal untuk menantang secara politik dan ekonomi para pemukim dan pengunjung Portugis, jika tidak, mereka (orang Maluku) akan nyaris hilang dari tulisan-tulisan yang tersedia untuk kita. 

Karena sifat dari sebagian besar sumber sejarah ini, kita mendapat banyak informasi tentang peristiwa militer, tetapi kita mengetahui lebih sedikit tentang kehidupan politik dan sosial. Meskipun kita dapat merekonstruksi ciri-ciri penting kehidupan sosial dan budaya Maluku, dari materi-materi yang baru-baru ini dikumpulkan oleh para antropolog, kita terus mengabaikan sebagian besar dari institusi politik yang telah lama hilang, karena kita masih belum mengetahui banyak tentang praktik sosial yang terkait dengan segmen-segmen khusus sosial dari elit dan masyarakat biasa.

Setelah beberapa pekerjaan yang sangat terdokumentasi diselesaikan sebelum Perang Dunia II oleh C. Wessels, pelopor yang menulis History of the Mission of Ambon33, dan kontribusi dari sarjana Jesuit, Georg Schurhammer34, artikel awal “sejarah komphrensif” tentang periode Portugis di Maluku dan di Sunda Kecil dari perspektif orang Asia, hanya muncul pada akhir tahun 1970-an karena karya almarhum Paramita A.Abdurachman yang belum tergantikan35. Dia menyoroti baik sikap kooperatif penguasa lokal maupun strategi mereka vis -à-vis penguasa Eropa, serta perubahan yang dialami oleh organisasi politik masing-masing negara akibat hal itu. Kelompok manusia dan konflik leluhur yang memisahkan mereka juga dibahas oleh Abdurachman, berdasarkan sumber-sumber Iberia. Dengan alat antropologi masyarakat Melayu-Polinesia, dia adalah sarjana pertama yang menjelaskan keberhasilan Islam dan kemunduran agama Kristen dengan memetakan kelompok-kelompok yang berlawanan di seluruh Nusantara bagian timur. Ruang lingkup antropologi politik sejati dari perubahan sosial menurut keadaan sejarah yang sangat khusus dapat diuraikan. Penulis juga memperhatikan kondisi ekologi masing-masing pulau yang mengartikulasikan sengketa kepemilikan kawasan ekspor pangan dan pola perilaku kekerasan yang ditunjukan oleh kelompok-kelompok dari desa-desa yang terletak di kawasan panen yang buruk. Mendefinisikan isu-isu yang relevan, Abdurachman dan sejarahwan Indonesia lainnya, misalnya Adriaan Lapian dan Richard Z. Leirissa, yang mengkaji periode kolonial Belanda, mengembangkan bidang historiografinya sendiri untuk zaman modern dan awal modern, sebagian besar berdasarkan sumber-sumber Eropa36.

Periode Portugis di Maluku juga menarik perhatian peneliti non-Indonesia, dengan kemampuan bahasa yang memadai untuk bekerja langsung dari sumbernya. Kasus Chandra de Silva asal Singhala, yang melanjutkan kajian dalam bahasa Inggris dari pekerjaan V.M. Godinho dan L.F. Tomaz tentang perdagangan cengkih antar Asia dan Asia-Eropa37. Upaya yang dikembangkan oleh John Villiers dalam mencapai sintesis parsial juga terbukti berhasil dengan baik. Dalam serangkaian artikel yang terdokumentasi dengan baik, ia memberikan gambaran umum tentang kehadiran Portugis di Maluku, Banda, dan Kepulauan Sunda Kecil, dalam ranah politik, agama dan ekonomi, juga menggambarkan gambaran yang cukup lengkap tentang kerangka historis regional dan evolusinya sepanjang abad ke-1638.

Terakhir, Leonard Y. Andaya, yang kadang-kadang dianggap sebagai “sejarahwan” Maluku, mengikuti metode pembongkaran asumsi budaya dimana orang Eropa memahami realitas Indonesia Timur dan menghasilkan catatan-catatan mereka. Dalam kasus negara-negara Iberia, dan Portugal pada khususnya, ia mempertimbangkan sampel dari sebagian besar item yang terkumpul dalam literatur khusus tentang budaya abad pertengahan Portugis dan pengaruh Mediterania dan Arab yang diakomodasi oleh Portugis. Hasil dari metode yang tidak meyakinkan ini tidak pernah muncul dan usahanya tidak membuahkan hasil. Namun demikian, hal yang sama tidak dapat dikatakan pada cara Andaya mengkonstruksi (kembali) realitas budaya Asia, yang menurut “budaya” dan “tesis” inovatif, menentukan seluruh sejarah dan pengalaman kolektif masyarakat Maluku sejak awal dengan berbagi kepercayaan pada mitos Bikusigara. Kredo ini memberikan “ideologi” yang seharusnya, tentang kesatuan primordial wilayah itu, yang akarnya diyakini ditemukan dalam tatanan kosmik. Andaya mendekati mitos yang berbasis pada teori Mircea Eliade, menetapkan lokasi geografis yang sesuai dengan dunia atas dan dunia bawah. Jadi Loloda, di Halmahera tengah barat laut, akan menjadi pintu menuju dunia atas, sedangkan Bacan mengacu pada batas dunia bawah; Jailolo, Ternate, dan Tidore akan mewakili berbagai aspek duniawi. Topografi wilayah ini akan dirancang untuk menegaskan kembali kesatuan wilayah dan dominasi pusatnya – Ternate – atas seluruh wilayah itu39

Disebutkan dalam catatan-catatan awal, versi mitos ini mungkin telah dikumpulkan secara langsung oleh anggota armada António de Brito tahun 1522, tetapi tidak ada referensi tentang hal itu yang disimpan dalam catatan mengenai ekspedisi itu. Mitos itu dikumpulkan sekali lagi antara tahun 1536 dan 1539 oleh António Galvão, yang mencatatnya sekitar tahun 1544 dalam Treatise tentang Maluku yang disebutkan di atas. Karena teks ini tetap tidak dipublikasikan hingga saat ini, mitos tersebut pertama kali dirilis, dengan sedikit tambahan, oleh João de Barros, yang jelas-jelas mengandalkan Galvão. Namun, terlepas dari sifat-sifat sakral dari mitos-mitos pendiri yang Andaya andalkan, ia (Andaya) mungkin melebih-lebihkan pengaruh tersebut, karena kesatuan primordial dari keempat kerajaan Maluku tidak dimaksudkan untuk bertahan dari campur tangan kaum Eropa. Sekitar tahun 1516, kerajaan Makian yang terletak di pulau dengan nama yang sama, sudah ditempati dan dibagi antara Tidore dan Ternate. Jadi, sebagai negara merdeka, kerajaan ini lenyap ketika penguasanya, Raja Baab Husein (Lebechuchem), diusir dari pulau dan dijatuhi hukuman pengasingan yang memalukan, seperti yang dia nyatakan dalam sebuah surat kepada Raja Menuel40.

Beberapa penulis telah menyebutkan peran yang dimainkan oleh mitos ini sebagai kepercayaan umum masyarakat di wilayah tersebut. Tentu Andaya mengemukakan bahwa pengalamannya bekerja dengan masyarakat Melanesia merupakan sumber inspirasi bagi pilihan teoritisnya. Definisi kawasan budaya sebelumnya ditetapkan berdasarkan kriteria linguistik : masyarakat Maluku utara tergolong dalam kelompok linguistik Ternate – Halmahera yang sama yang mendiami bagian tengah-utara Halmahera dan pulau-pulau berdekatan. Berbicara varian yang berbeda, saling terkait secara linguistik, untuk berkomunikasi satu sama lain, komunitas tetangga ini terpaksa menggunakan bahasa Papua yang sebelumnya digunakan di Ternate sebagai lingua franca, yang secara bertahap digantikan sejak abad ke-15 oleh bahasa Melayu yang dibawa dari Malaka, lingua franca yang sudah diucapkan pada saat itu di sebagian besar pelabuhan antar wilayah di Asia Tenggara. Adriaan Lapian, khususnya, merasa penasaran bahwa 3 dari 4 entitas politik utama Maluku utara –Ternate, Tidore dan Jailolo – termasuk dalam kelompok bahasa non-Austronesia, sedangkan bahasa Bacan – entitas politik keempat- terkait erat dengan bahasa Melayu barat yang termasuk dalam rumpun Austronesia. Penulis ini juga meyakini bahwa persatuan etnis di Maluku, terlepas dari perbedaan bahasa, menunjukan bahwa “konvergensi unsur-unsur yang kontras ini” pasti sudah sangat tua, bahkan beberapa abad lebih tua daripada “konvergensi linguistik”. Lapian juga menyatakan bahwa proses seperti itu akan terjadi selama abad ke-16 dan ke-1741. Namun, Bausani telah menunjukan, berdasarkan kosakata terkenal yang dikumpulkan pada tahun 1521 oleh Antonio Pigafetta di Tidore dan pelabuhan-pelabuhan Indonesia timur lainnya, bahwa bahasa Melayu sudah ada, dan memainkan peran sebagai lingua franca di awal abad ke-1642. Dari Ternate, penggunaan bahasa Melayu menyebar ke berbagai arah, sampai ke Manado di Sulawesi utara, dimana bahasa tersebut diperkenalkan sebagai lingua franca yang berkembang menjadi varian lokal yang digunakan hingga saat ini, meskipun dengan banyak istilah Papua dari bahasa aslinya di Ternate43.

Meskipun pulau-pulau kecil, perbedaan antara masyarakat pesisir dan yang tinggal di pedalaman, masih ada sampai saat ini di Halmahera dan pulau-pulau besar lainnya. Pengaruh budaya dari luar negeri lebih cepat dan lebih kuat dirasakan oleh masyarakat pesisir, yang pertama memeluk Islam dan mengadopsi bahasa Melayu sebagai bahasa umum disamping penggunaan untuk tulisan. Akan tetapi, beberapa lapisan populasi primitif telah menggunakan varian Proto-Melayu-Polinesia sejak sekitar 4.500 tahun yang lalu, ketika mereka menetap di sana dari Filipina, sehingga nyaris membasmi bahasa-bahasa primitif Papua. Sebaliknya, bahasa-bahasa ini bertahan hingga saat ini di Ternate dan Tidore, serta di Morotai dan di wilayah utara Halmahera, sebagai kelompok bahasa yang sama, yang juga bertahan di Timor, Alor, dan Pantar, atau Nusa Tenggara44.

===== bersambung =====

Catatan Kaki

1.       Ungkapan “Kepulauan Rempah-rempah” muncul pertama kalinya dalam bahasa Portugis di dalam sebuah surat dari Jerónimo Gomes S.J. kepada General Jesuit (Cochin, 14 Januari 1603, dimuat dalam Documenta Malucensia, volume II, yang diedit dan diberi penjelasan oleh Hubert Jacobs SJ, Rome, IHSI, 1980, hal 608), merujuk pada orang Belanda yang, katanya “datang untuk menemukan pulau rempah-rempah ini” (“vem a descobrir estas ilhas de especiaria”). Pengadopsian ungkapan ini dalam bahasa Portugis nampaknya telah dicapai melalui pengaruh sastra, dan tidak digunakan oleh penulis-penulis Portugis selama abad ke-16. Namun, itu sesuai persis dengan ekspresi orang Spanyol yang digunakan sejak persiapan ekspedisi Magellan, Maluku dirujuk sebagai Maluco, atau, lebih samar-samar, sebagai Islas del Poniente atau de la Especeria dan kemudian hanya La Especeria. Ungkapan ini mungkin dipinjam dari ahli geografi Arab, yang sejak abad ke-9, menyebutnya sebagai “Pulau” atau “Kepulauan Wangi-wangian” (Jazirat atau Juzur al-tib) yang kemudian diidentifikasi dengan Maluku dan Kepulauan Banda (G. R. Tibbets, A Study of the Arabic Texts Containing Material of South-East Asia, Leiden and London, E. J. Brill for the Royal Asiatic Society, 1979, p. 180).

2.      António Pinto Pereira, Historia da India no tempo em que a governou o visorey dom Luis de Ataide, facsimile edited by Manuel Marques Duarte, Lisbon, INCM, 1987, p. 97.

3.      Coleccion de los viages y descubrimientos, que hicieron por mar los españoles desde fines del siglo XV, edited by Martin Fernandez de Navarrete, IV: Expediciones al Maluco. Viage de Magallanes y de Elcano, Madrid: Imprenta Nacional, 1837, p. 96. See also Juan Gil, ‘El entorno vasco de Andrés de Urdaneta (1525-1528)’, in Susana Truchuelo García (ed.), Andrés de Urdaneta: un hombre moderno, Ordizia: Ayuntamiento de Ordizia, 2009, p. 331

4.     João de Barros, Ásia. Dos Feitos que os Portugueses fizeram no Descobrimento e Conquista dos Mares e Terras do Oriente, 4 vols. (Década Primeira, Segunda, Terceira [15631] and Quarta [16151]), edited by Hernâni Cidade and Manuel Múrias, Lisbon, Agência-Geral das Colónias, 1945-1948.

5.      Dalam kajian yang digunakan ini, ditambahkan kutipan edisi dalam catatan kaki sebelumnya, juga edisi sangat kuno dari Décadas by João de Barros and Diogo do Couto (Da Asia - Décadas, 24 vols., Lisbon, Régia Oficina Tipográfica, 1777-1788, reprint Lisbon, Liv. Sam Carlos, 1973-1974), and the critical editions of the Década Quarta and Década Oitava edited by Maria Augusta Lima Cruz: Diogo do Couto, Década Quarta da Ásia, 2 vols., Lisbon, CNCDP-FO-INCM, 1999 [vol. I: Fixação do Texto; vol. II: Notas Históricas e Filológicas, Glossário e Índice de Antropónimos e Topónimos], and Diogo do Couto e a Década 8ª da Ásia, 2 vols., Lisbon, CNCDP/INCM, 1993-1994 [vol. I: Edição Crítica e Comentada de uma Versão Inédita; vol. II: Das Variantes entre as Duas Versões à Explicação de Um Texto Inédito. O Discurso Histórico].

6.     Fernão Lopes de Castanheda, História do Descobrimento e Conquista da Índia pelos Portugueses, edited by M. Lopes de Almeida, 2 vols., Lello & Irmão, Oporto, 1979.

7.      C. R. Boxer, João de Barros. Portuguese Humanist and Historian of Asia, New Delhi, Concept Publishing Company, 1981, p. 7.

8.     C. R. Boxer, ‘Some Portuguese Sources for Indonesian Historiography’, in An Introduction to Indonesian Historiography, edited by Soedjatmoko, Ithaca, New York, Cornell University Press, 1965, p. 220.

9.     Boxer, João de Barros, cit. pp. 113-114.

10.    Pertama kali diterbitkan setelah kematian Galvão (Tratado. Que compôs o nobre & notauel capitão Antonio Galuão, dos diuersos & desuayrados caminhos, por onde nos tempos passados a pimenta & especearia veyo da India ás nossas partes, & assi de todos os descobrimentos antigos & modernos, Lisbon, João de Barreira, 1563) oleh Richard Hakluyt pada tahun 1601 dalam terjemahan bahasa Inggris yang dipendekkan, dicetak 6 kali hingga terbitan tahun 1862 oleh Hakluyt Society, yang merupakan satu-satunya edisi 2 bahasa hingga saat ini (The Discoveries of the World, from Their First Original unto the Year of Our Lord 1555. Corrected, Quoted, and Published in England, by Richard Hakluyt (1601). Now Reprinted with the Original Portuguese Text and Edited by Vice-Admiral Bethune, London, Hakluyt Society, 1862).

11.     M. A. Lima Cruz (ed.), Diogo do Couto e a Década Quarta da Ásia, II, cit., pp. 43-44, 51, 155 and 235.

12.    Manuskrip ini disimpan pada Archivo General de Indias, Patronato 46, ramo 29, terdaftar dengan nomor 5823 pada Catálogo de los documentos relativos a las islas Filipinas existentes en al Archivo de Indias de Sevilla, by Pedro Torres Lanzas and Francisco Navas del Valle, 9 vols. in 10 tomes, Barcelona, Impr. de la viuda de L. Tasso, 1925-1936.

13.    Hubert T. T. M. Jacobs, S. J., A Treatise on the Molucas (c. 1544) Probably the Preliminary Version of António Galvão’s lost Historia das Molucas, edited, annotated and translated into English from the portuguese manuscript in the Archivo General de Indias, Seville, Rome and St. Louis, USA, Historical Institute, Sources and Studies for the History of the Jesuits, III, 1971. Edisi ini lebih disukai untuk edisi berbahasa Portugis berikutnya : ‘Tratado de las Yslas de los Malucos y de los costumbres de los Indios y de todo lo demas’, in A. Basílio de Sá (ed.), Documentação para a História das Missões do Padroado Português do Oriente. Insulíndia, vol. VI, Lisbon, IICT, Centro de Estudos de História e Cartografi a Antiga, 1988, pp. 5-160; Tratado das Ilhas Molucas, edited by Luís de Albuquerque and Maria da Graça Pericão, Lisbon, Alfa, 1989. Para editor Portugis tidak menetapkan kepengarangan naskah tersebut, juga tampaknya tidak memperhatikan edisi 2 bahasa dan kritis yang disiapkan secara hati-hati oleh Hubert Jacobs.

14.    Jacobs (ed.), A Treatise on the Moluccas, cit., ‘Introduction’, p. 18.

15.    Sanjay Subrahmanyam, ‘Holding the World in Balance: The Connected Histories of the Iberian Overseas Empires, 1500-1640’, The American Historical Review, 112, 5, p. 1363.

16.    Gabriel Rebelo, ‘Informação das cousas de Maluco dadas ao senhor D. Constantino’, in Colecção de Notícias para a Historia e Geografi a das Nações Ultramarinas que Vivem nos Domínios Portugueses ou lhes São Vizinhas etc., t. VI, Lisbon, Academia Real das Sciencias, 1856, pp. 143-312. This is the later version of 1569. In 1955 it was reprinted as ‘Informação das Cousas de Maluco, Dadas ao Senhor Dom Constantino, Em que se tratão algumas novidades da natureza, e succintamente de seu descobrimento pelos portuguezes e castelhanos, e de todas as armadas suas, que la forão, até Rui López de Villa Lobos, e a destruição das Fortalezas de Geilolo, e Tidore, em que se recolhião. Composto por Gabriel Rebello’, in A. Basílio de Sá (ed.), Documentação para a História das Missões do Padroado Português do Oriente. Insulíndia, vol. III, Lisbon, Agência Geral do Ultramar, 1955, doc. 35, pp. 348-508. Versi tahun 1569 adalah edit yang baru dari ‘Informação das cousas de Maluco’ etc. (ibid., vol. VI, cit., doc. 2, pp. 163-288.), tetapi dari manuskrip yang ada di perpustakaan milik Charles Boxer, konon berbeda dengan yang ada di Library Casa Cadaval yang telah hilang sejak lama. Versi tahun 1561 sebelumnya juga diterbitkan pada tahun 1955 sebagai História de Maluco, escripta no anno de1561 (ibid., vol. III, doc. 34, pp. 193-339).

17.    Diogo do Couto, Década Quarta da Ásia, I, edited by M. A. Lima Cruz, cit., bk. VII, Ch. X, p. 394.

18.    António Coimbra Martins, ‘Introdução à leitura da Década Quarta’, ibid., pp. XXXVIII-LI. See also ibid., p. 345, n. 8.

19.    Barros, Década Terceira, Part One, cit., bk. V, Ch. X, p. 297. Tentang sosok ini dan jejaknya di Maluku lihat Boxer, João de Barros, cit., pp. 110 and 138; António Borges Coelho, João de Barros. Vida e Obra, [Lisbon] GTMECDP, 1997, pp. 39 and 61; Manuel Cadafaz de Matos, ‘Dos primórdios da imprensa cristã nas Filipinas e a sua relação com a cultura portuguesa no Oriente (1593-1640). Para uma história da leitura por portugueses nas Molucas entre 1523 e 1530’, Mare Liberum, X, Dec. 1995, pp. 463-485, especially pp. 473 and sq.; also José Manuel Garcia, ‘A grande aventura de Fernão de Magalhães na cronística portuguesa do século XVI’, Review of Culture / Revista de Cultura, International Edition, series III, 17, 2006, pp. 84-104.

20.   Lihat Surat Perintah Antonio de Brito kepada Duarte de Resende memberikan 2 batang cengkih di Malaka kepada 2 orang Turki yang memperbaiki kapal Santa Eufemia, Maluku 28 Januari 1525, Arquivo Nacional da Torre do Tombo, Corpo Cronológico, Part II, bundle 123, doc. 133; Surat perintah menerima belerang dan sendawa di Maluku dari juru tulis kapal Santa Luzia, yang mantan kapten kapalnya adalah Duarte de Resende, Maluku, 8 September 1525, Arquivo Nacional da Torre do Tombo, Corpo Cronológico, Part II, bundle 128, doc. 77; Permohonan pemimpin gudang Duarte de Resende di Maluku tentang batang cengkih dan pala yang dimuat di galeon S. Lourenco ke Cochin, Maluku 22 April 1528, Arquivo Nacional da Torre do Tombo, Corpo Cronológico, Part II, bundle 147, doc. 119. Kita mengetahui bahwa dia kembali kembali Malaka, dimana dia tiba pada tanggal 20 Agustus 1527, sebagai nakhoda kapal S. Pantalião yang dia beli di Maluku, dalam perjalanannya ke Cochin ((Barros, Década Quarta, cit.,bk. I, Ch. XV, p. 55; L. F. Tomaz, Os Portugueses em Malaca (1511-  1580, Bach. thesis, I, Lisbon, Faculty of Arts, 1964, pp. 205-206 dan sumber arsip Arquivo Nacional da Torre do Tombo’s di dalamnya dikutip, termasuk surat Jorge Cabral, Kapten Malaka kepada Raja John III, Malaka, 10 September 1527, Arquivo Nacional da Torre do Tombo, Corpo Cronológico, Part I, bundle 22, doc. 80, dipublikasikan dalam L. F. Thomaz, ‘O malogrado estabelecimento oficial dos portugueses em Sunda e a islamização de Java’, in Aquém e Além da Taprobana. Estudos Luso-Orientais à Memória de Jean Aubin e Denys Lombard, edited by L. F. Thomaz. Lisbon: CHAM, 2002, p. 506

21.    Barros, Década Terceira, cit., bk. V, Ch. X, pp. 297-298; Queiroz Velloso, Fernão de Magalhães. A Vida e a Viagem, Lisbon, Editorial Império, 1941, pp. 62-63. Tentang Duarte de Resende lihat juga catatan bio-bibliografi singkat yang disisipkan oleh Barbosa Machado dalam bukunya Bibliotheca Lusitana, historica, critica e cronológica, vol. II, edited by M. Lopes de Almeida, Coimbra, Atlântida Editora, 1965, p. 214.

22.   Sejarah anonim yang juga dikenal sebagai  ‘Historia de Maluco no tempo de Gonçalo Pereira Marramaque e Sancho de Vasconcellos’ and as the ‘Relação dos Feitos eroicos em Armas que Sancho de Vasconselos fez nas partes de Amboino e Maluco, sendo capitão em ellas vinte annos pouco mais ou menos…’, in A. Basílio de Sá (ed.), Documentação para a História das Missões do Padroado Português do Oriente. Insulíndia, vol. IV, Lisbon, Agência Geral do Ultramar, 1956, pp. 164-454.

23.   C. R. Boxer, ‘Some Portuguese Sources for Indonesian Historiography’, cit., p. 221.

24.   Manuel Marques Duarte, ‘Introdução’ to António Pinto Pereira’s Historia da India, cit., pp. 19-20.

25.    Ana Gabriela Naré de Morais Freire, Novidades, Feitos e Murmúrios. Os Textos de 1561 e 1569 de Gabriel Rebelo, Oficial Português nas Molucas, M.A. thesis, Universidade Aberta, Lisbon, 2003, p. 99.

26.   Cukup diingat bahwa, tidak seperti urutan lengkap para Sultan Ternate, tidak diketahui siapa Raja atau Sultan yang memerintah di Tidore dari tahun 1554 hingga pertengahan tahun 1560-an, dan juga tidak mungkin untuk menetapkan kronologi akurat dari semua penguasa selama abad ke-16. Lihat celah dalam daftar raja-raja Tidore dalam H. Jacobs, ‘General Introduction’ to Documenta Malucensia, vol. I, cit., p. 4*.

27.   Sejak abad ke-18, pengetahuan material arsip Spanyol tentang Maluku telah berkembang melalui transkirpsi sumber dan katalog yang berkaitan dengan Filipina. Maria Bellén Bañas Llanos menerbitkan studi tentang sumber-sumber Maluku. Lihat . ‘Fuentes Hispanas para el Estudio de la Presencia Ibérica en las Islas Molucas’, in Francisco Solano et al. (eds.), El Extremo Oriente Ibérico. Investigaciones historicas: metodología y estado de la cuestión, Madrid, AECI-CEH (CSIC), 1989, pp. 243-256, dan juga oleh penulis yang sama, Las islas de las especias. Fuentes etnohistóricas sobre las Islas Molucas (s. XIV-XX), Cáceres, Universidad de Extremadura, 2000.

28.   Bartolomé Leonardo de Argensola, Conquista de las Islas Malucas, 3rd ed., Madrid, Miraguano-Polifemo, 1992 (Madrid, 16091; Madrid, Imprenta del Hospicio Provincial, 18912). Di antara para penulis yang menulis tentang Filipina juga memberikan perhatian khusus kepada sejarah Maluku perlu dicatat, selain Argensola, Rodrigo de Aganduru Moriz (Historia general de las Islas Occidentales a la Asia adyacentes, llamadas Filipinas, vol. I (Part One), Colección de documentos inéditos para la Historia de España, t. LXXVIII, Madrid, 1882) and Gaspar de San Agustín, OSA, Conquista de las Islas Filipinas, 1565-1615, Madrid, CSIC, 1975.

29.   Hampir 150 surat dari koleksi pribadi D. Jerónimo de Silva meliputi 400 dari 564 halaman dari volume kedua dalam Collección de Documentos inéditos para la Historia de España, dari periode dia memerintah kekuatan Spanyol di Maluku : Correspondencia de Don Gerónimo de Silva con Felipe III, Don Juan de Silva, el rey de Tidore y otros personajes, desde abril de 1612 hasta febrero de 1617, sobre el estado de las islas Molucas, Sacada de una copia coetánea perteneciente á don Martín Fernandez de Navarrete, Madrid, Imprenta de la Viuda de Calero, 1868.

30.   Hubert Jacobs S. J. (ed.), Documenta Malucensia, vol. II (1577-1606), Rome, Instituto Historico Societatis Iesu, 1980, pp. 244-279.

31.    Dalam 3 volume, dieditori dan diberi penjelasan oleh Hubert Jacobs S.J. Rome, Jesuit Historical Institute, 1974-1984.

32.   Luís Filipe F. R. Tomaz, ‘The image of the Archipelago in Portuguese cartography of the 16th and early 17th centuries’, Archipel, 49, 1995, pp. 79-124.

33.   Charles Wessels, Histoire de la mission d’Amboine. 1546-1605, Leuven, Museum Lessianum, 1930, diterjemah oleh J. Roebrock dari versi asli berbahasa Belanda tahun 1926 De geschiedenis der R.K. Missie in Amboina vanaf haar stichting door den H. Franciscus Xauerius tot haar vernietiging door de O. I. Compagnie. 1546-1605 [Mission in Ambon from its foundation by the Holy Francis Xavier until its destruction by the O.I. Company. 1546-1605], Nijmegen-Utrecht

34.   ‘Novos documentos para a História das Molucas no tempo de S. Francisco Xavier’, Brotéria, XIV, 5, 1932, pp. 278-288. See also Die Zeitgenössischen Quellen zur Geschichte Portugiesisch-Asiens una seiner Nachbarländer zur Zeit des Hl. Franz Xaver (1538-1552) [Contemporary sources on the History of Portuguese-Asia and its Neighbour Countries at the Time of Saint Francis Xavier], Rome, Institutum Historicum Societatis Iesu, 1962.

35.   Paramita Rahayu Abdurachman, Some Portuguese Loanwords in the Vocabulary of Speakers of Ambonese Malay in Christian Villages of Central Moluccas, Jakarta, LIPI, Seri Lembaran Khusus, 1, 1972; id., ‘In Search of Spices: Portuguese Settlements on Indonesian Shores’, The Indonesian Quarterly, II, 2, Jan. 1974, Jakarta, Centre for Strategic and International Studies, pp. 113-133; id., ‘Moluccan Responses to the First Intrusion from the West’, in Dynamics of Indonesian History, edited by Haryati Soebadio and Carine H. du Marchie Sarvaas, Amsterdam, North Holland Publ. Co., 1978, pp. 161-188.

36.   A. Lapian, ‘Bacan and the Early History of North Maluku’, in Halmahera and Beyond. Social Science Research in the Moluccas, edited by Leontine E. Visser, Leiden, KITLV Press, 1994, pp. 11-22. R. Z. Leirissa, ‘St. Francis Xavier and the Jesuits in Ambon (1546-1580)’, Review of Culture / Revista de Cultura, International Edition, series III, 19, 2006, pp. 53-63.

37.   C. R. de Silva, ‘The Portuguese and the Trade in Cloves in  Asia During the Sixteenth Century’, Stvdia, 46, 1987, pp. 133-156.

38.   John Villiers adalah penulis beberapa kajian tentang kehadiran Portugis di Kepulauan Rempah-rempah dan Kepulauan Melayu : ‘Trade and Society in the Banda Islands in the Sixteenth Century’, Modern Asian Studies, 15, 4, 1981, pp. 723-750 [reprinted as ‘Da verde noz tomando seu tributo: the Portuguese in the Banda Islands in the Sixteenth Century’, in East of Malacca. Three Essays on the Portuguese in the Indonesian Archipelago in the Sixteenth and Early Seventeenth Centuries, Bangkok, Calouste Gulbenkian Foundation, 1985, pp. 1-30]; id., ‘De um caminho ganhar almas e fazendas: Motives of Portuguese expansion in eastern Indonesia in the sixteenth century’, Terrae Incognita, 14, 1982, pp. 23-39; id., ‘Makassar and the Portuguese Connection’, in East of Malacca, cit., pp. 31-57; id., ‘Manila and Maluku: Trade and Warfare in the Eastern Archipelago 1580-1640’, Philippine Studies, 34, 1986, pp. 146-161; id., ‘Portuguese Malacca and Spanish Manila. Two Concepts of Empire’, in Portuguese Asia, edited by R. Ptak, Stuttgart, Franz Steiner Verlag, 1987, pp. 37-57; id., ‘As origens das primeiras comunidades portuguesas no Sueste Asiático’, Review of Culture , 4, 1988, pp. 21-26; id., ‘Las Yslas de Esperar en Dios: The Jesuit Mission in Moro 1546-1571’, Modern Asian Studies, 22, 3, 1988, pp. 593-606; id., ‘The Cash-crop Economy and State Formation in the Spice Islands in the Fifteenth and Sixteenth Centuries’, in The Southeast Asian Port and Polity. Rise and Demise, edited by J. Kathirithamby-Wells and John Villiers, Singapore, Singapore University Press, 1990, pp. 83-105.

39.   Ringkasan yang cukup jelas tentang teori mistis dan teritorial milik Andaya dapat ditemukan dalam karyanya :  ‘Los primeros contactos de los españoles con el mundo de las Molucas en las Islas de las Especias’, trans. by C. A. Caranci, Revista Española del Pacífico, II, 2, 1992, p. 65.

40.  Manuel Lobato, ‘A man in the shadow of Magellan: Francisco Serrão, the first European in the Maluku islands (1511-1521)’, Review of Culture / Revista de Cultura, International Edition, series III, 39, 2011, p. 112.

41.    A. B. Lapian, ‘Bacan and the Early History of Northern Maluku’, cit., p. 12. On the development of the Malay language as a lingua franca in Maluku see the same study, p. 20.

42.   Cf. Alessandro Bausani, ‘The First Italian-Malay Vocabulary by Antonio Pigafetta’, East and West, new series, 11, 1960, pp. 229- 248, apud Ch. F. Van Fraassen, ‘The North Moluccas: A Historical Introduction to the Literature’, in The North Moluccas: An Annotated Bibliography, edited by Katrien Polman, The Hague, Martinus Nijhoff , 1981, p. 32.

43.   David Henley, ‘A Superabundance of Centers: Ternate and the Contest for North Sulawesi’, Cakalele, 4, 1993, p. 56. 

44.  Peter Bellwood, ‘Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and Transformation’, in The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, edited by Peter Bellwood, James J. Fox and Darrel Tryon, Camberra, ANU E Press, 2006 [19951], pp. 106 and 113; id., Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, Sidney, Academic Press, 1985, pp. 120-121 and 127-128; R. F. Ellen, ‘The Centre on the Periphery: Moluccan Culture in an Indonesian State’, Indonesian Circle, 31, Jun. 1983, p. 8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar