Rabu, 22 Februari 2023

Sultan, Raja, Sangaji dan Khimalaha : Budaya dan Kekuasaan di Kepulauan Maluku Menurut Sumber-sumber Awal Portugis dan Spanyol

 

(bag 2 - selesai)

[Oleh Manuel Lobato]

 

Sumber-sumber abad ke-16 dan Antropologi Politik Maluku

Skenario yang baru saja digambarkan di atas, dihuni oleh populasi dengan hierarki sosial dan integrasi kelompok yang kuat. Orang Eropa pertama yang tiba di sana – yaitu Portugis dan Spanyol – biasanya menggunakan gambar yang diambil dari struktur sosial Eropa untuk menggambarkan masyarakat lokal. Kepala-kepala - atau sangaji – dengan otonomi yang lebih besar atau lebih kecil vis-à-vis para raja, digambarkan sebagai adipati (duke atau earl), menempati puncak aristokrasi bangsawan selanjutnya yang terdiri dari “knights” (cavaileros) dan “knaves” (valetes). Para budak, yang menempati bagian bawah masyarakat, juga diberi label menurut sub kelompok yang hampir tidak bisa diintegrasikan dalam stereotip Eropa bagi tawanan dan orang-orang yang tidak bebas. Catatan-catatan Iberia paling awal tentang Moro, menggambarkan penduduknya sebagai “budak” Sultan Ternate45, suatu julukan yang tidak sesuai dengan status mereka, meskipun dibentuk pada fakta bahwa setiap tahun penduduk ini dipaksa untuk melakukan layanan tertentu dan memberikan beberapa hari kerja gratis untuk raja Ternate dan Tidore, yang oleh komunitas Moro diakui sebagai penguasa tertinggi mereka. Maluku sebagai daerah yang cepat berubah selama periode tersebut, sia-sia kita menemukan di antara penduduk pribumi kelas pedagang, meskipun tidak ada keraguan tentang keberadaan individu, terutama di kalangan elit, yang terlibat dalam pemasaran cengkih. 

António Galvão, seperti penulis lainnya, menggunakan sistem aristokrat Eropa untuk menggambarkan hierarki sosial di Maluku : “tingkatan pertama dan terpenting adalah raja, yang mereka sebut kolano, ratu disebut radja, dukes disebut sengadji, knights disebut mersaolis”46. 50 tahun kemudian, misionaris Italia, Antonio Marta, juga mengulangi : “Di pulau-pulau Maluku ini terdapat 4 kerajaan dan 17 sangaji, yang seperti bangsawan dalam cara Eropa”47. Menurut pendapatnya yang sangat bias, mereka juga pemimpin atau kepala yang kasar, berpakaian buruk dan kurang gizi, tidak mampu mencari cara untuk menjadi kaya agar dilayani dengan megah melalui arak-arakan, yang upacara keagamaannya yang sederhana, yang tidak dapat dibandingkan dengan apa yang dilakukan di antara orang Turki, karena penguasa ini juga tidak malu mengemis apa pun yang ingin mereka miliki, “seperti orang miskin di Portugal”48.

Namun, sementara kelompok kecil sangaji itu dianggap sesuai dengan status tinggi bangsawan Eropa, sebenarnya mereka secara lokal diberi gelar “raja” seperti penguasa Maluku lainnya pada saat itu, karena mereka adalah orang-orang suci, suatu kondisi yang merujuk pada istilah itu sendiri49. Kondisi bangsawan mereka diperkuat melalui ikatan kekerabatan, karena disebut akan menikah di antara keluarga penguasa. Raja-raja dan sangaji biasanya dipilih di antara anak-anak penguasa dengan istri utamanya, yang secara lokal disebut “raja” dan ratu atau putri-putri dalam sumber-sumber Eropa. Selain itu, dikatakan bahwa semua penguasa mengembangkan kekerabatan dengan semua pemimpin di bawah kekuasaannya, terutama sangaji, kebanyakan dari mereka mengakui keunggulan Sultan Ternate atau Raja Tidore, juga berhak dan diakui sebagai Sultan sejak pertengahan abad ke-16. Akan tetapi, beberapa sangaji, khususnya raja Jailolo, berperilaku sebagai penguasa yang merdeka dengan sementara waktu memberontak melawan otoritas Sultan Ternate50. Dalam Historia da Índia, Antonio Pinto Pereira memberikan kita salah satu definisi terbaik dari status karakteristik yang umum untuk 17 sangaji, juga mengungkapkan sedikit perbedaan di antara mereka. Mengacu pada sangaji yang taat kepada Sultan Ternate, dia menyatakan : Sangajes.....adalah pemimpin di luar untuk Ternate, karena sangajes adalah gelar tertinggi dari semuanya, kecuali pejabat kerajaan, dan disebut sebagai pangeran dan pemimpin wilayah “jajahan”, dan juga beberapa penguasa yang negaranya atau wilayahnya tidak berhak untuk menjadi kerajaan”51.

Sesuai dengan penggunaan adat di Ternate yang mengatur suksesi penguasa, hanya seorang putri yang merupakan anak perempuan Raja yang dianggap sebagai “ratu” di antara banyak istri Sultan, dan putra tertuanya yang harus terpilih mewarisi tahta. Dua kali sepanjang abad ke-16, sosok “ibu suri” memainkan peran penting selama masa remaja calon penguasa atau sultan. Pada kesempatan tersebut, para ratu adalah putri-putri dari Raja Tidore, dan mereka membiarkan ayah mereka mempertahankan pengaruh atas Ternate, yang bisa terbukti penting pada saat-saat krisis, tetapi sebenarnya malah digagalkan oleh sekelompok lawan internal di sekitar calon-calon lain yang disebut sebagai sultan-sultan “haram” dalam sumber-sumber Iberia52


Dalam kasus yang dipelajari oleh Paramita Abdurachman tentang seorang ratu yang datang dari Jawa, kemungkinan dari Japara atau Grisek, ratu itu diberi gelar Niachile Boki Raga (raja), dimana niachile adalah gelar feminim (perempuan) bagi kaicil, yang adalah gelar eksklusif untuk pangeran yang adalah para putra dan para saudara laki-laki dari penguasa-penguasa “faksi-faksi utama” seperti Sultan-sultan Ternate dan Tidore. Dia adalah “ratu” (rainha) dalam sumber Portugis, ibu dari Sultan Tabarija (1533-1535), yang merupakan satu-satunya penguasa Ternate yang masuk Kristen setelah diusir ke Goa53. Sultan Tabarija meninggal di Malaka saat dalam perjalanan kembali ke Ternate, kemungkinan dibunuh atas perintah penggantinya, Sultan Hairun (1536-1570), yang kemudian menjadi penguasa Ternate terkenal pada abad ke-16. Para sultan Ternate dan Tidore juga merupakan satu-satunya raja di Maluku, yang menikah dengan putri-putri yang berasal dari pusat-pusat keagamaan bergengsi dari luar wilayah mereka, seperti Kepulauan Filipina, Sulawesi, Timor atau Kepulauan Raja Ampat Papua. Namun, tidak satu pun dari istri-istri ini yang memperoleh status “ratu” atau ibu dari calon pewaris tahta. Meskipun aliansi pernikahan semacam itu, seringkali menciptakan perjanjian defensif dan memperkuat persahabatan perdagangan dan hubungan-hubungan yang bertikai, biasanya hal itu juga mencerminkan pengenaan pajak dan hubungan ketundukan politik sehubungan dengan kaitan pemimpin desa atau kelompok etnis yang lebih besar, membayar upeti dengan cara menyerahkan saudara perempuan mereka atau putri mereka kepada Sultan.

Seperti yang Andaya ketahui, dalam pernikahan kerajaan, peran Tidore tampaknya menjadi “pemberi istri” bagi Ternate yang merupakan “pengambil istri”54. Namun, raja atau sultan Tidore kadang-kadang mengambil seorang putri Ternate, meskipun mereka biasa mengambil istri dari kerajaan-kerajaan besar Maluku lainnya selain Ternate55. Pertukaran istri timbal-balik biasanya tidak terjadi, menghindari situasi dimana hierarki politik di antara penguasa dan pengaruh politik yang ingin dicapai melalui penyatuan kerajaan yang akan hilang sebagian. Praktik ini secara khusus mencegah terjadinya “mata air tertutup” yang disebabkan oleh pernikahan silang antar sepupu. Jadi, untuk tujuan melestarikan identitas diri, entitas politik yang relatif otonom seharusnya mempertimbangkan keharusan eksogami darah bangsawan. 

Kajian antropologi yang dilakukan di lapangan selama 40 tahun terakhir, menunjukan bahwa struktur politik yang didasarkan pada perkawinan antar saudara sepupu56, para raja dan pemimpin desa saling berhubungan oleh ikatan kekeluargaan oleh praktik poligami. Dalam sumber Portugis dan Spanyol, Sultan Ternate dan Raja Jailolo disebut memiliki lebih dari 300 wanita. Terlepas dari simbolisasi jumlah ini57, tidak ada keraguan bahwa sistem politik ditemui pada peredaran perempuan. Mereka memainkan –dan masih memainkan- dalam dunia Melayu peran politik yang sangat penting, bahkan ketika mereka tetap tidak terlihat.

Menjadi sangat efektif pada tingkat kekerabatan kerajaan, ketaatan pada pernikahan non timbal-balik dan penerapan praktik pemberi istri dan pengambil istri, juga akan terjadi pada tingkat yang lebih rendah, yaitu di antara keluarga sangaji dan khimalaha meskipun tidak ada bukti-bukti Iberia yang tersedia untuk mendukung premis semacam itu tanpa keraguan yang logis. Sayangnya, misionaris Jesuit, Marcus Prancudo gagal untuk memberikan contoh-contoh positif :

Di bagian ini, sangat umum bahwa saudara menikah dengan saudara sedemikian rupa sehingga kadang-kadang seorang saudara laki-laki ditemukan menikah dengan saudara perempuannya, setidaknya sepupu dengan sepupunya, paman dengan keponakannya, ipar dengan ipar. Mereka juga menganggap ini luar biasa. Di samping itu, pria terhormat akan menerima penghinaan besar dengan menikahi wanita yang lebih rendah dari mereka. Dan raja-raja dan para pemimpin saling berhubungan dan terkait satu sama lain, sehingga mereka sulit menemukan wanita yang bukan kerabat dekat mereka58.

Seorang khimalaha59 sering kali menjadi kepala kampung atau soa, yaitu salah satu dari dua atau lebih dari bagian dimana setiap desa terbagi60, sejalan dengan definisi yang diberikan pada tahun 1607 oleh Gubernur Spanyol pertama di Maluku, Juan de Esquivel (1606-1608) : “guimala adalah seperti kepala suatu lingkungan”61. Status sosial dan kekuatan politik yang dianugerahkan kepada khimalaha tidak berhenti meningkat sampai abad ke-19, khususnya di daerah pinggiran seperti Moro62. Mereka (khimalaha) muncul dalam narasi lisan karena memainkan peran penting dalam memperluas pengaruh Sultan Ternate ke daerah-daerah baru seperti Kepulauan Sula. Sekitar tahun 1618, perwakilan Sultan Ternate di Hitu, di pulau Ambon, direkrut dari Tomagola terkemuka, yang adalah salah satu keluarga terpenting di Kesultanan yang anggotanya menyandang gelar kimalaha63. Pada pertengahan abad ke-17, mereka memimpin perlawanan terhadap Belanda di Ambon, melakukan aliansi dengan Sultan Makassar64. Sebagai sumber kekuasaan, penggunaan gelar Ternate ini – guimalaes seperti gelar [di Eropa]65 – berkembang pada abad ke-17 hingga ke Mindanao seiring dengan penggunaan gelar sangaji66, yang juga digunakan di Timor selama periode yang sama67.

Kerajaan-kerajaan lokal belum berkembang secara politik menuju terciptanya satu negara hegemonik, sistem suksesi tahta, yang diatur oleh seperagkat disposisi adat, oleh karena itu tidak akan menemukan dalam tradisi. Barangkali, seorang raja yang akan memerintah seluruh Kepulauan Maluku harus mencari “ratu” di luar negeri, dalam kerangka regional yang lebih luas daripada yang dirasa cenderung oleh negara-negara mikro Maluku, meskipun salah satu istri utama Sultan Ternate, Abu Lais (1505-1521), kadang-kadang secara keliru dipercaya sebagai “ratu” dalam beberapa sumber Portugis, telah tercatat sebagai putri Jawa68. Peristiwa-peristiwa seperti itu sangat jarang terjadi, meskipun kondisi yang sesuai untuk pelayaran dan komunikasi maritim jarak jauh. Kerajaan-kerajaan ini mempertahankan hubungan politik yang berpusat secara berlebihan di wilayah budaya Maluku. Namun, mereka juga menjalin hubungan diplomatik, perdagangan dan kerabat dengan kekuatan-kekuatan luar yang memainkan peran terbatas, untuk memberikan prestise kepada para penguasa. Beberapa contoh perkawinan kerajaan dengan istri dari luar Maluku, baik putri Jawa atau Papua, menunjukan bahwa hanya secara luar biasa mereka mengangkat calon-calon untuk tahta. Namun, António Galvão mencatat versi lisan tentang masuknya Islam di Ternate, yang memberikan peran utama kepada seorang putri Jawa yang menikah dengan raja Tidore Vongui, yang akan menjadi penguasa Maluku pertama yang menjadi Sultan sekitar tahun 146569

Pulau-pulau tersebut merupakan fakta yang lebih kompleks daripada wilayah berukuran kecil yang disarankan. Lebih dari suatu mikrokosmos, alam kepulauan adalah seluruh alam semesta yang diketahui oleh orang-orang yang tinggal di dalamnya. Kendala ekologis hampir tidak dapat diatasi, masyarakat Maluku lebih menukai keseimbangan kekuatan yang tidak stabil dan pembagian wilayah pengaruh antara Portugis dan Spanyol untuk kemenangan dari satu faksi. Karena alasan inilah, Portugis meskipun sering berhasil dalam perang, menghadapi kesulitan yang sangat besar untuk berurusan dengan Spanyol dan pendukung mereka. Hanya dalam beberapa kesempatan, mereka merasa cukup kuat untuk bertindak seolah-olah mereka benar-benar menguasai Maluku. Mereka biasanya takut akan pemberontakan umum oleh raja-raja yang berbeda melawan mereka. Oleh karena itu, kapten pertama Maluku, António de Brito, memulai praktik menjaga Sultan Ternate dalam sangkar emas, bersama-sama dengan calon-calon lainnya yang akan naik tahta, semuanya adalah putra almarhum Sultan Abu Lais (1501-1521). Penerus António de Brito terus menahan sultan sebagai sandera mereka untuk mencegah penduduk pribumi melakukan kudeta terhadap benteng.

Portugis juga berhasil memaksakan otoritas pribumi ke kesultanan dengan memanipulasi pemilihan mereka untuk pekerjaan tersebut, selama masa kanak-kanak dari Sultan, atau menyingkirkan orang-orang yang tidak mendukung tujuan mereka, seperti Kaicil Tarrawese, yang setelah dideklarasikan sebagai “regent abadi” oleh Portugis tahun 1530, akhirnya dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi oleh Portugis pada tahun berikutnya di bawah pimpinan kapten Gonçalo Pereira70. Posisinya secara lokal serupa dengan gelar Patih71, kecuali jika orang yang menyandang gelar itu berasal dari darah bangsawan, yang kemudian disebut Kaicil, gelar eksklusif bagi paman, sauadar laki-laki dan anak-anak Sultan, seperti yang telah disebutkan di atas. Jadi, Portugis mencampuri secara mendalam politik internal Kesultanan Ternate, mengubah dalam waktu singkat menjadi semacam proktetorat dan mengkondisikan hubungannya dengan kebijakan-kebijakan sekitarnya.

Kekuasaan Kesultanan  dan Sentralisasi Politik

Proses pembentukan entitas negara di Kepulauan Melayu, cukup diketahui. Penjelasan yang diajukan pada dasarnya bersifat spekulatif dan berdasarkan pada bukti-bukti yang kurang tersedia. Di wilayah-wilayah ini tampaknya terdapat berbagai macam bentuk sentralisasi politik, karena konfederasi desa yang masih muda – sampai taraf tertentu, itu lebih sedikit tersentralisasi daripada organisasi suku – kepada kerajaan yang muncul. Sistim politik di Ternate banyak mempertahankan basis tradisionalnya. Dewan Tetua menunjuk anggota dari 4 keluarga utama untuk menduduki jabatan pemerintahan, suatu praktik yang awalnya terkait dengan pembentukan negara itu sendiri. Peran Dewan Tetua mirip di seluruh kepulauan timur. Di Pulau Banda, badan perwakilan ini mempertahankan prestise dan keunggulannya di bawah kekuasaan Belanda periode akhir. Di Ternate, menurut tradisi, badan itu mewakili 4 garis keturunan utama atau soa utama, yang bergabung dengan 5 keluarga lain, yang konon berasal “luar negeri” dan yang menetap di wilayah pesisir. Karena itu, sebutan bagi Dewan Tetua di Ternate adalah : Soa Sio atau 9 keluarga. Institusi yang kuat disebutkan beberapa kali dalam sumber-sumber Portugis, seringkali dengan cara yang agak tidak memadai dan ambigu – tetapi juga signifikan – sebagai “paman-paman” Sultan.

Setelah periode perlawanan satu sama lain, sistem pemerintahan bergilir di antara momole, atau pemimpin masing-masing dari 4 soa utama mulai muncul. Para momole kemudian terpilih menjadi kolano atau raja. Konsolidasi keluarga kerajaan, yang peran pemersatu terlihat jelas, tampaknya telah dipercepat pada paruh kedua abad ke-15, setelah kedatangan Islam. Sisa momole dari 4 keluarga utama – Tomagola, Tomaitu, Marsaoli dan Limatahu – dipilih oleh Soa Sio untuk menduduki jabatan pemerintahan, yang merupakan ciri khasnya. Posisi-posisi ini, dalam urutan ke bawah, Jou-gugu atau perdana menteri, Pinate atau menteri keuangan dan hakim ketua – semacam “penyedia umum”, menurut sumber-sumber Portugis – Hukum atau menteri kehakiman, menteri dalam negeri dan polisi, dan Sadaha atau menteri pertahanan. Keturunan yang paling penting adalah Tomagola, yang menyandang Jou-gugu secara turun-temurun. Prinsipnya, penerus kerajaan berasal dari istri utama raja yang dipilih dalam garis keturunan ini. Momole dari 4 garis keturunan utama membentuk aristokrasi baru – Fala Raha – yang memegang fungsi utama dalam Dewan Tetua, termasuk memilih raja72

Hak anak pertama dalam kerajaan memiliki arti yang berbeda dengan yang di monarki-monarkhi Eropa. Mengakui sejumlah calon yang beragam, seringkali menyebabkan krisis suksesi yang singkat. Pengganti Sultan haruslah adik laki-laki dari almarhum raja/sultan, putra dari ibu yang sama, janda utama dari sultan sebelumnya – “ratu” dalam sumber Portugis – atau, jika tidak ada, saudara laki-laki lain atau putra dari istri sultan yang sah. Putra-putra sultan yang lahir dari selir, “dikeluarkan” dari suksesi dan dijuluki sebagai “putra haram” dalam sumber-sumber Iberia73.

Dengan asumsi bahwa aturan suksesi kerajaan berasal dari periode pra-Islam dan bahwa hal tersebut tidak akan berubah, Paramita.R. Abdurachman dengan tepat menolak legitimasi keinginan yang dipaksakan oleh otoritas Portugis dan diberlakukan pada tahun 1545 di Malaka oleh Sultan Tabarija, yang menunjuk penggantinya adalah Raja Portugal74. Namun demikian, kasus-kasus lain juga harus dipertimbangkan dimana pendapat dan keinginan raja diperhitungkan, meskipun lembaga politik yang terdiri dari saudara-saudara raja yang meninggal memiliki suara yang menentukan tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan suksesi kerajaan. Meskipun seorang kandidat tidak mungkin berhasil tanpa persetujuan ini, bukan tidak mungkin untuk melakukannya, mengingat penghormatan berkenaan dengan keinginan terakhir raja yang telah meninggal dalam memilih penggantinya. Hal ini terjadi sekali lagi pada tahun 1560-an, ketika Sultan Hairun, yang mengambil posisi berlawanan dengan saudara-saudaranya, menarik warisan tahta dari putra tertuanya, Mandar Syah, menunjuk dengan tepat putra “haramnya”, Baab Ullah untuk menggantikannya75. Konon keengganan oleh Dewan Tetua untuk mengakui Baab Ullah pada masa Sultan Hairun, yang agak meragukan, memberi jalan pada rasa kesungguhan dan pragmatisme yang akan berlaku di antara keluarga kerajaan dan otoritas Ternate setelah kematiannya.

Menurut Diogo do Couto, Sultan Baab Ullah, yang menggantikan Hairun pada tahun 1570, yang disebut sebagai “anak haram”, dipilih oleh ayahnya, tetapi bukan perampas kekuasaan. Menurutnya, ada juga kesepakatan tentang perlunya mencegah kepemimpinan yang lemah terhadap Portugis. Sumber-sumber Portugis mencatat bahwa sejak Diogo Lopes de Mesquita memerintahkan pembunuhan Sultan Hairun, suksesi berdasarkan putra tertua Ratu Putri, “princess” dari garis keturunan bangsawan – permaisuri, suatu istilah  yang merujuk pada istri utama Sultan76 – tidak lagi dilakukan di Ternate. Sementara sang pengganti, Mandar Syah, masih di bawah umur – yang akhirnya dibunuh – mahkota diserahkan kepada Sultan Baab Ullah (1570-1585), yang dianggap paling mampu memimpin perang melawan Portugis karena kekuasaannya. Ketrampilan pribadi yang akan benar-benar dibuktikan saat ia merebut benteng Portugis pada tahun 1575. Argensola menceritakan bagaimana penobatan Sultan Baab Ullah diakui oleh semua raja dan sangaji di Maluku dalam upacara Islam yang berlangsung di Masjid Agung77. Baab Ullah, pada gilirannya, juga menunjuk “putra haram” lain untuk menjadi penggantinya, Sultan Sayd Berkat (1585-1606). Seperti kasus pendahulunya, naik tahtanya Sayd Berkat tidak terpengaruh, karena ia bisa mengandalkan dukungan seorang paman, yang juga disebut “haram”, dan mengumpulkan pendukung melalui pembagian suap yang besar78. Juga di Tidore, Kaicil Kotta, pewaris yang sah, disisihkan untuk kepentingan saudaranya, Kaicil Mole (1599-1627), yang popularitas, karisma dan kemampuannya untuk mengumpulkan pendukung memenuhi keinginan sultan kerajaan sebelumnya, Sultan Gapi Baguna (1577-1599), mengantisipasi kemungkinan krisis yang akan terjadi setelah kematiannya79. Kita harus menyimpulkan bahwa aturan suksesi kerajaan menjadi cair atau fleksibel di Maluku, selama akhir abad ke-16 sebagai akibat dari campur tangan Eropa.

Kesimpulan

Di Kepulauan Maluku, perkiraan awal yang dapat diandalkan tentang populasi lokal dimulai pada tahun 1534, di bawah Gubenur Tristão de Ataíde80, hampir 20 tahun setelah kapal-kapal Portugis mulai mengunjungi pulau-pulau tersebut secara teratur, dan 12 tahun setelah berdirinya pemukiman permanen pertama. Ataíde juga orang pertama yang menyebutkan fungsi pemerintahan yang berbeda di istana Ternate, meskipun dia hanya menyebut Pinate, menteri yang mengumpulkan upeti dan mengelola keuangan sultan. Patih, gelar yang diimpor dari Jawa untuk merujuk pada semacam perdana menteri, baru akan disebutkan pertama kali sekitar tahun 154581.

Portugis juga menyampaikan beberapa kesalahpahaman tentang bagaimana calon pewaris naik tahta setelah kematian para penguasa. Kesalahpahaman tentang keturunan sultan diulangi lagi dan lagi sepanjang abad ke-16, ketika mereka yang menerima sebutan “haram”, meskipun tidak harus dalam arti merendahkan, yaitu anak-anak di luar pernikahan. Sikap bias dalam cara orang Eropa memandang sistem kekerabatan yang berbeda dari mereka, bagaimanapun juga, merupakan pembenaran yang adil terhadap hak prerogatif yang tampaknya dinikmati oleh putra dari “ratu” atau istri terpenting Sultan dan tokoh kunci, melayani tujuan dominasi politik mereka dengan memanipulasi satu penguasa yang kuat, alih-alih mengendalikan sistem penggunaan keluarga yang berbeda kesetiaan. Jenis ketidakakuratan ini menyebabkan representasi yang agak tidak memadai dari sistem politik sebagaimana didefinisikan dalam adat setempat, hukum tradisional kesultanan yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Karena keputusan-keputusan pemerintah seringkali didasarkan pada praktik konsensual, bahkan raja-raja yang paling karismatik, seperti Sultan Hairun (1535-1570), bergantung pada Dewan Tetua yang di Ternate disebut Soa Sio, dengan mengumpulkan anggota keluarga kerajaan dan perwakilan dari keluarga-keluarga utama/penting.

Analisis hubungan antara raja dan sangaji, yang sering disebut sebagai “governor” oleh Portugis dan Spanyol, menekankan bahwa “penguasa” kecil ini dengan mudah memberontak terhadap sultan setempat. Memang, sangaji adalah penguasa peringkat kedua yang kekuasannya diturunkan secara turun-temurun dan sama sekali bukan seorang governor yang ditunjuk oleh raja utama. Defisit otoritas yang ditunjukan oleh sultan Ternate dan Tidore dari waktu ke waktu tidak bisa dianggap sebagai berkurangnya prestise dan pengakuan. Kedua sultan sering membenarkan pelanggaran perintah langsung oleh rakyat sebagai hasil dari kesetiaan pribadi mereka kepada Portugis dan Spanyol. Para penguasa menampilkan ketidakberdayaan agar dipatuhi oleh rakyat mereka, sebagai bagian dari permainan ganda yang mereka mainkan untuk menyamarkan duplikat mereka sendiri sambil melawan tuntutan orang Eropa.

Sejak awal, kehadiran Eropa di Maluku sangat berperan penting bagi penguasa lokal untuk memperkuat kekuasaan pribadinya. Dengan menggunakan semacam legitimasi yang tidak pernah mereka miliki, para penguasa memperoleh dukungan dari Iberia – yang nantinya akan mereka peroleh dari Belanda juga – untuk menganiaya orang-orang yang diduga memberontak dari komunitas yang sebelumnya hampir tidak menoleransi kontrol ketat oleh otoritas mana pun. Menurut L. Andaya, pada kuartal terakhir abad ke-16, otoritas penguasa akhirnya dibentuk mirip kerajaan-kerajaan Eropa : penguasa utama benar-benar menjadi raja dan orang-orang ditundukan atau memberontak terhadap mereka82. Dengan cara ini, praktik yang cukup umum di seluruh Asia Tenggara diberi label sebagai legal atau ilegal, menciptakan pandangan dan sterotip yang sepihak. Pernyataan J. Warren bahwa “interaksi dinamis di antara perompakan...................dan investasi dalam perdagangan maritim barang mewah...........merupakan fitur utama ekonomi politik negara-negara pesisir Melayu”83 dapat dengan mudah ditelusuri ke periode sebelumnya dalam sejarah Maluku. Sulit untuk memikirkan peluang alternatif bagi Ternate dan Tidore untuk mengumpulkan prestise dan kekuasaan regional yang begitu besar, selain yang ditawarkan oleh perdagangan rempah-rempah. Akibat dari pengaruh politik yang telah lama diperoleh Ternate melalui penguasaan barang-barang impor, sebanding dengan upaya Portugis untuk memberlakukan monopoli cengkih di Maluku utara. Dengan cara ini, otoritas sultan diperkuat oleh relasinya dengan orang Eropa.

==== selesai ====

 

Catatan Kaki

45.       Lionel de Lima to King John III, Melaka, 8 November 1527, in A. Basílio de Sá (ed.), Documentação para a História das Missões do Padroado Português do Oriente. Insulíndia, vol. I, Lisbon, Agência Geral do Ultramar, 1954, doc. 29, p. 220.

46.       H. Jacobs (ed.), A Treatise on the Moluccas, cit., Ch. XVIII, p. 102.

47.       Enformação da christandade de Maluco (...) no anno 1588, in Jacobs (ed.), Documenta Malucensia, vol. II, cit., doc. 73, p. 245.

48.       Ibid., p. 246.

49.       Sengaji atau sangaji dari bahasa Jawa yaitu sang, kata sandang penghormatan seperti kata “the” yang diperuntukan bagi para pahlawan, setengah dewa, raja-raja dan pejabat tinggi lainnya, sedangkan kata aji, “raja”, dari bahasa Sansekerta adhipati (lihat Leonard Andaya, The World of Maluku. Eastern Indonesia in the Early Modern Period, Honolulu, University of Hawaii Press, 1993, p. 59). Ini adalah gelar kehormatan asli dari Jawa, mirip dengan kata sangadipati, bahasa Portugis sangue de pate, digunakan di Timor dan Kepulauan Sunda Kecil lainnya, menjadi Patih atau Perdana Menteri atau Pemimpin Desa atau Distrik. Argensola adalah orang pertama yang mencoba menjelaskan asal usul istilah tersebut, meskipun ia mengajukan pseudo etimologi : “Sen Shah, yang berarti Kaptain dalam bahasa Turki”, katanya (Historia de la Conquista, cit. p. 30). Istilah ini disebarluaskan melalui pengaruh politik Ternate yang luas sehingga memperoleh arti yang agak kurang tepat yaitu “gubernur”, seperti yang dilaporkan oleh sejumlah pejabat Portugis dan Spanyol

50.       Ch. F. van Fraassen, ‘Types of Sociopolitical Structure in North Halmaheran History’, in Halmahera dan Raja Ampat Konsep dan Strategi Penelitian, edited by E. K. M. Masinambow, Jakarta, Leknas Lipi, PT Bhratara Karya Aksara, 1980, p. 90 (reprinted in Roy F. Ellen (ed.), Moluccas, Special Issue of Indonesia Circle, 23, 1980, pp. 21-40). See also ‘A influência europeia na tradição arquitectónica das ilhas Molucas. Alguns exemplos de Ternate, Tidore e Halmahera’, Review of Culture / Revista de Cultura, International Edition, III series, 35, 2010, p. 123.

51.        António Pinto Pereira, Historia da India, cit., p. 110.

52.       Castanheda adalah salah satu penulis awal yang membedakan antara pangeran yang  “haram/tidak sah” dan yang “sah”. Lihat  Castanheda, História do Descobrimento e Conquista da Índia pelos Portugueses, vol. II, cit., pp. 631-632.

53.       Paramita Abdurachman, ‘“Niachile Pokaraga”. A Sad Story of a Moluccan Queen’, Modern Asian Studies, 22, 3, 1988, pp. 571-592

54.       Tentang peran pemberi istri dan pengambil/penerima istri dalam konteks yang lebih luas di Kepulauan Melayu – Indonesia, seperti di Maluku, lihat L. F. Tomaz, ‘As cartas malaias de Abu Hayat, sultão de Ternate, a el-rei de Portugal e os primórdios da presença portuguesa em Maluco’, Anais de História de Além-Mar, IV, 2003, pp. 409-411, yang meskipun mengikuti pendekatan yang agak berbeda dari Andaya, namun memperoleh kesimpulan yang sama.

55.       Contoh pernikahan bangsawan/kerajaan antara Raja Bacan dan putri Sultan Ternate dapat dilihat dalam Gabriel Rebelo, ‘Informação das Cousas de Maluco’ (1569), in A. Basílio de Sá (ed.), Documentação para a História das Missões do Padroado Português do Oriente. Insulíndia, vol. III, cit., p. 494.

56.       Ch. F. van Fraassen, ‘Ternatan-Tidorese’, in Muslim Peoples: A World Ethnographic Survey, edited by R.V. Weekes, London, Aldwych Press, 1984, pp. 782-783.

57.       Gabriel Rebelo, dalam versi berikutnya yaitu “Informação das cousas de Maluco” yang disimpulkan dalam tahun 1569, menunjukan jumlah/angka-angka ini sebagai “kesalahan” yang sudah beredar pada zamannya. Lihat pasal 1, Da nota dalguns principais erros que achei escritos de Maluquo’ [Noticing some major errors that I found written about Maluku], in A. Basílio de Sá (ed.), Documentação para a História das Missões do Padroado Português do Oriente. Insulíndia, vol. III, cit., pp. 351-352, similar in ibid., vol. VI, cit., p. 169-170. Menurutnya “[Raja Jeilolo] dikatakan memiliki 4 putri dan 600 putra, yang tidak terlalu banyak mengingat ia memiliki 300 istri, yang sangat tidak benar, karena kelima Raja di Kepulauan itu pernah sama-sama mempunyai 100 anak laki-laki, dan ini jelas diketahui karena, beberapa saat sebelum kami [Portugis] tiba, mereka menjadi Islam, dan pada waktu itu, seiring dengan pembaruan hukum itu, mereka mengambil banyak istri. Raja Jeilolo yang sama tidak memiliki banyak wilayah bawahan, dan bukan tentang putra-putranya” (ibid.,vol. III, Ch. 18, p. 269).

58.       Marcos Prancudo to Diego Laínez, General of the Jesuits, Ternate, 12 February 1564, in Jacobs (ed.), Documenta Malucensia, vol. I, cit., doc. 126, p. 424.

59.       Kimalaha dalam bahasa Ternate atau Gimalaha dalam bahasa Tidore (F. S. A. de Clercq, Ternate. The Residency and Its Sultanate, edited and transl. from the Dutch Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate, Leiden, Brill, 1890, by P. M. Taylor and M. N. Richards, Washington DC: Smithsonian Institution Libraries, Digital Ed., 1999, Appendix II, p. 241, www.sil. si.edu/digitalcollections/anthropology/ternate/ternate.pdf accessed on 26.03.2007), kimelaha dalam dialek Tobelo di Halmahera Utara. Kata Guimola dalam bahasa Portugis, atau Guimala dalam sumber-sumber Portugis dan Spanyol, mengacu pada terjemahan bahasa Tidore (Luís Fernandes S.J. to the Provincial of the Jesuits, Alberto Laerzio, Ternate, 10 April 1606, in Jacobs (ed.), Documenta Malucensia, vol. III, cit., doc. 1, p. 6; and Jorge da Fonseca S.J. to Claudio Acquaviva, General of the Jesuits in Rome, Ternate, 8 April 1612, ibid., doc. 59, p. 224.

60.      Fraassen, ‘Types of Sociopolitical Structure’, cit., p. 95.

61.        Copia de la carta que scriuio el Maestre de Campo [Juan Esquível] á los rreyes de Bool Don Miguel rrey de Tontoli Tululio rrey de Menado rrey de Bulan y Dongue Reyna de Cauripa á cada uno de por si en ventiseis de julio de mil seiscientos seis, in Relaçión de lo subçedido en las yslas del Maluco desde tres de mayo de mill y seisçientos y seis que dom pedro de acuña se fue dellas y quedo gouernandolas el Maestro de campo Joan desquiuel e estado en que estan [hasta el 1er de Marzo de 1607], Archivo General de Indias, Patronato 47, 21, fl. 6.

62.       Fraassen, ‘Types of Sociopolitical Structure’, cit., p. 96

63.       L. Andaya, The World of Maluku, cit., pp. 90 e 157.

64.       Pero Francisco S.J. kepada Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuyker, Makassar, 5 September 1655, The Jesuit Makasar Documents (1615- 1682), edited and annotated by Hubert Jacobs S.J., Rome, Jesuit Historical Institute, 1988, doc. 39 bis, p. 128.

65.       Governor Gerónimo de Silva to the king, 12 May 1615, in Correspondencia de Don Gerónimo de Silva, cit., p. 285.

66.      L. Andaya, The World of Maluku, cit., p. 98.

67.       Alfredo Botelho de Sousa, Subsídios para a História Militar Marítima da Índia (1585-1669), vol. II, 1605-1617, Lisbon, União Gráfica, 1948, p. 333.

68.       Manuel Lobato, ‘A man in the shadow of Magellan’, cit., p. 111 and n. 65 and the source therein quoted.

69.      Galvão mengatakan : seorang wanita bangsawan Jawa keturunan patih (yang di wilayah itu bermakna pemimpin/kepala) tiba dengan kapal-kapal ini, dan, karena dia adalah orang yang bergelar tinggi, [maka] Vongi Tidore, Raja Ternate, menikahinya, dan karena dia mereka menjadi Muslim, dalam H. Jacobs (ed.), A Treatise on the Moluccas, cit., pp. 82-84. Lihat juga Manuel Lobato, ‘The Introduction of Islam in the Maluku Islands (Eastern Indonesia). Early Iberian Evidence and Oral Traditions’, in Estudos Orientais. Volume Comemorativo do Primeiro Decénio do Instituto de Estudos Orientais (2002-2012), edited by Eva-Maria von Kemnitz, Lisbon, UCP, 2012, p. 70.

70.       Francisco Palha to the king, Goa, 20 November 1548, in Luís de Albuquerque and José Pereira da Costa, ‘Cartas de “Serviços” da Índia (1500-1550)’, Mare Liberum, 1, 1990, p. 386.

71.        Pate, Pati atau Patih pada mulanya adalah gelar Jawa yang diberikan kepada Perdana Menteri atau vizir, atau kepada penasihat utama penguasa. Di Maluku, meskipun terkadang kata ini merujuk pada gubernur, seringkali merujuk pada pemimpin desa/kepala desa (Pero Mascarenhas to the Jesuits of the Goa College, Ambon, 15 June 1570, in Jacobs (ed.), Documenta Malucensia, vol. I, cit., doc. 179, p. 597, n. 6), sebagaimana terjadi juga pada gelar Raja (Dieter Bartels, ‘Politicians and Magicians: Power, Adaptive Strategies, and Syncretism in the Central Moluccas’, in What is Modern Indonesian Culture?, edited by Gloria Davis, Athens, Ohio University, Center for International Studies, Southeast Asia Series No. 52, 1979, pp. 285-286). Di Kepulauan sebelah timur, kata ini paling sering muncul dalam bentuk sang adipati (sanguede pate dalam bahasa Portugis), merujuk kepada “pangeran/pemimpin” lokal (L. F. Thomaz, ‘O malogrado estabelecimento oficial dos portugueses em Sunda e a islamização de Java’, cit., p. 402, n. 85). Para antropolog biasanya menempatkan gelar ini secara hierarki setelah gelar raja. Namun, menurut konteks Maluku tertentu yang dipertimbangkan, gelar ini kadang-kadang menempati tingkat/level kedua, seperti  di Kepulauan Ambon  (Frank L. Cooley, ‘Village Government in the Central Moluccas’, Indonesia, 7, 1, 1969, pp. 143-144, n. 8 ), atau tingkat/level ketiga, seperti di Seram(R. F. Ellen, ‘Conumdrums about Panjandrums: On the Use of Titles in the Relations of Political Subordination in the Moluccas and along the Papuan Coast’, Indonesia, 41, 1986, p. 54)  

72.        P. R. Abdurachman, ‘“Niachile Pokaraga”. A Sad Story of a Moluccan Queen’, cit., pp. 578-581.

73.       Ibid., p. 581.

74.       Ibid., p. 578.

75.       Argensola, Conquista de las Islas Malucas, cit., p. 176.

76.       P. R. Abdurachman, ‘“Niachile Pokaraga”. A Sad Story of a Moluccan Queen’’, cit., p. 574.

77.       Conquista de las Islas Malucas, cit., p. 80.

78.       Couto, Décima Década, Parte Primeira, cit., bk. V, Ch. IV, pp. 506- 509.

79.       Argensola, Conquista de las islas Malucas, cit., pp. 149-58.

80.       Tristão de Ataíde to king, Maluku [Ternate], 20 February 1534, in A. Basílio de Sá (ed.), Documentação para a História das Missões do Padroado Português do Oriente. Insulíndia, vol. I, cit., doc. 37, p. 321. Angka atau jumlah awal di dalam Tomé Pires’s Suma Oriental dikumpulkan di Malaka dari informan India atau China.

81.        Jordão de Freitas to King John III, Ternate, 1 February 1545, in A. Basílio de Sá (ed.), Documentação para a História das Missões do Padroado Português do Oriente. Insulíndia, vol. I, cit., doc. 50, p. 421.

82.       Andaya, T e World of Maluku, cit., p. 58.

83.       James F. Warren, ‘A Tale of Two Centuries: The Globalisation of Maritime Raiding and Piracy in Southeast Asia at the end of the Eighteenth and Twentieth Centuries’, Asia Research Institute Working Paper Series, 2, Jun. 2003, p. 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar