Selasa, 07 Februari 2023

Pengasingan, Ruang Kolonial dan Deteritorialisasi Masyarakat dalam Sejarah Indonesia Timur

 (bag 1)

[Timo Kaartinen]

 

  1. Kata Pengantar

Artikel yang kami terjemahkan ini berjudul Exile, Colonial Space, and Deterritoalized People in Eastern Indonesian History, yang ditulis oleh Timo Kaartinen, dan dimuat dalam buku berjudul Exile in Colonial Asia: Kings, Convicts, Commemoration,  yang dieditori oleh Ronit Ricci dan terbit pada tahun 2016 oleh penerbit University Hawa,i Press.

Artikel milik dari Timo Kaartinen ini ditempatkan pada bab 6, halaman  139 – 164, selain beberapa kajian dari Sri Margana, Jean Gelman Taylor, Ronit Ricci, dan lain-lain.  Kajian sepanjang 26 halaman dari Timo Kaartinen ini “didukung” dengan 102 catatan kaki (4 halaman), bibliografi (2 halaman) dan 2 gambar (lukisan).

Pada kajian ini, Kaartinen mengkaji tentang tema pengasingan atau “pembuangan” yang dilakukan oleh VOC sebagai sebuah kebijakan. VOC menerapkan hukuman pengasingan kepada para tokoh hingga masyarakat biasa dengan tujuan untuk “memutus” pengaruh tokoh-tokoh itu di dalam masyarakat. Namun, pada sisi yang lain kebijakan VOC ini juga menciptakan dampak lain, yaitu menciptakan ruang kolonial, dimana para tokoh itu bersama keluarga mereka membentuk “masyarakat” baru di wilayah pengasingan yang berelasi dengan masyarakat setempat.

Artikel yang kami terjemahkan ini dibagi menjadi 2 bagian dan ditambahkan dengan catatan tambahan serta beberapa gambar ilustrasi. Akhirnya semoga kajian ini bisa memberikan manfaat bagi pemahaman kesejarahan kita lebih luas.

 

  1. Terjemahan

Pemerintah kolonial menggunakan pengasingan atau pembuangan untuk mengontrol musuh-musuh mereka, untuk mengisolasi mereka dari jaringan sosial yang merupakan pendukung mereka, dan untuk mengisi ruang kolonial yang baru diciptakan. Keberagaman dari tujuan ini mencerminkan kompleksitas politik dari situasi kolonial awal. Kapten-kapten orang Eropa dan perusahaan dagang awalnya menghadapi kekuatan politik pribumi di tanah mereka sendiri, tetapi segera mulai membangun basis terbatas untuk kekuatan berdaulat mereka sendiri untuk bersaing lebih efektif satu sama lain. Ruang kolonial ini menciptakan kondisi untuk membangun relasi kekuasaan dengan cara baru. Masyarakat pribumi ditarik ke dalam konfigurasi baru ini untuk dipindahkan, didisiplinkan, dimobilisasi, dan dimukimkan kembali, dan dipaksa untuk berpartisipasi dalam kegiatan militer dan komersial.

Sebagian besar penelitian tentang konteks kolonial berfokus pada penggabungan masyarakat pribumi dan politik ke dalam tatanan politik kekaisaran. Sebuah fenomena baru yang mendapat perhatian baru-baru ini adalah apa yang sering ditafsirkan oleh orang Eropa sebagai kekacauan : politik maritim yang kacau1, penyelundupan2, dan pembajakan3. Kekacauan yang tampak ini bukanlah gejala perpindahan dan perlawanan. Beberapa orang menanggapi penggabungan ini ke dalam sistem kekaisaran dengan meniru pola perampokan dan perdagangan kekaisaran. Mereka menanggapi hilangnya kedaulatan politik dan budaya dengan mengubah ikatan masyarakat lokal mereka yang terikat menjadi komunitas komersial yang bergerak.

Dalam kajian ini saya membahas relasi antara pembuangan dan pengasingan dengan efek deteritorial lainnya dari kolonialisme di Hindia Belanda. Saya mempertanyakan apa pengaruhnya terhadap penciptaan ruang kolonial dan dinamika kekuasaan yang lebih luas yang digerakkan oleh kebijakan Belanda antara tahun 1600 dan 1880. Negara kolonial yang baru muncul menggunakan pembuangan dan pengasingan sebagai alat untuk memanipulasi politik pribumi, dan sebagai kesepakatan untuk krisis legitimasi dan perlawanan anti kolonial yang tidak terduga. Kekuatan penjajah awalnya mencoba untuk mengubah sejumlah kebijakan masyarakat pribumi menjadi pengganti kekuasaan mereka sendiri. Ketika para pemimpin politik ini kehilangan legitimasinya, para penjajah memaksa melakukannya dan menggusur lawan-lawan mereka secara langsung. Beberapa dari mereka ditarik ke ruang yang dikendalikan oleh orang Eropa, sedangkan sisanya diletakkan di lintasan lain.

Karena konteks dan rasionalisasi politiknya yang beragam, pengasingan berubah menjadi konsep protean yang mirip dengan, misalnya, diaspora. Apakah pengasingan berarti pemindahan paksa atau sukarela?? Apakah orang-orang yang diasingkan tunduk pada tatanan politik yang dipaksakan oleh sebuah kerajaan atau negara, atau apakah “pengasingan”4 mereka menjauhkan diri dari tatanan semacam ini??? Pertanyaan-pertanyaan ini membuat saya membandingkan bahasa pemerintah kolonial tentang identitas dan tempat dengan komunitas orang yang diasingkan.

Saya menggunakan kata “pengasingan” untuk merujuk pada perpindahan dari “rumah” ke ruang kolonial. Argumen saya, bagaimanapun, adalah bahwa dinamika deteritorialisasi kekuasaan yang mendasari gerakan semacam itu juga memobilisasi orang dengan cara lain. Beberapa orang tetap berada di luar domain kontrol orang Eropa dan mengembangkan wilayah mereka sendiri. Para migran ini menegaskan identitas mereka yang berbeda dengan menamai pemukiman baru mereka dengan nama desa tempat mereka dipindahkan secara paksa5. Baru pada akhir abad ke-19 negara kolonial mulai membentuk administrasi birokrasi yang berfokus pada lokalitas daripada kelompok etnis dan orang-orang. Pengasingan dalam konteks ini muncul kembali sebagai tindakan hukuman terhadap orang-orang yang menolak teritorialisasi dari cara pemerintahan yang baru ini.

 

Politik Pengasingan di masa VOC.

                Materi kasus saya diambil dari Kepulauan Maluku di Indonesia Timur, tempat saya melakukan kerja lapangan jangka panjang pada tahun 1990-an dan 2009. Daerah ini berada di bawah kekuatan kolonial Eropa pada awal abad ke-16, ketika Portugis dan Spanyol berusaha menguasai melalui aliansi dengan penguasa lokal. Pada awal abad ke-17, kaum kolonial Iberaian disingkirkan oleh VOC atau Perusahaan Hindia Timur Belanda yang baru dibentuk, yang menguasai kepulauan ini selama 2 abad6. Tujuan utama VOC adalah membatasi penanaman pala dan cengkih di wilayah yang berada di bawah kendali langsung mereka. VOC bersaing dengan kelompok pedagang Muslim lokal dan berusaha melenyapkan mereka dengan 2 cara : dengan mengosongkan wilayah yang luas dan dengan mengubah pemerintahan lokal menjadi sekutunya. VOC menggandeng atau mengorganisir kelompok-kelompok masyarakat pribumi masuk ke dalam aktivitas militer, yang melakukan penyerangan atau penyergapan mendadak, yang dikenal dengan istilah hongi, ke desa-desa para pedagang dan pembudidaya rempah-rempah yang bersaing di Maluku, sebelah timur “markas” VOC. Setiap desa besar menyiapkan sejumlah kano perang, yang dikenal sebagai kora-kora, sebagai mesin perang VOC7. Kekuatan “angkatan laut” ini sangat penting untuk mengendalikan bagian-bagian kepulauan yang tidak dapat dijangkau oleh kapal-kapal layar besar kompeni atau VOC. 

                Selama abad ke-17 dan ke-18, VOC beroperasi sebagai negara “bayangan”. Para komandan armadanya diberdayakan untuk membuat kontrak dengan pemerintah masyarakat pribumi dan mengerahkan kekuatan militer untuk memonopoli penanaman dan perdagangan rempah-rempah. Kehadiran langsung orang Belanda terbatas pada benteng-benteng yang ditempatkan secara strategis dan pelabuhan-pelabuhan terpenting. VOC merebut benteng di kota Ambon dari Portugis pada tahun 16058 dan menguasai pantai utara pulau Ambon melalui aliansi dengan Hitu, pemukiman perdagangan yang pernah menjadi sekutu terpenting VOC dalam kampanyenya melawan Portugis9. Perjanjian-perjanjian dengan Sultan Ternate pada tahun 160710 dan dengan Sultan Tidore pada tahun 165711 mengubah 2 kerajaan di Maluku Utara ini menjadi pengganti pemerintahan Belanda yang nominal (hanya namanya) di pinggiran Maluku yang sebagian besar tidak diketahui12.

                Pengasingan memiliki beberapa tujuan dalam konteks politik ini. Pengasingan memisahkan para pemimpin dan kaum bangsawan dari hierarki dan jaringan politik masyarakat pribumi serta memupuk kedekatan dan sub-ordinasi mereka dengan kompeni. Paling tidak pada awalnya, “pengasingan kaum bangsawan” seperti itu berbeda dari penggunaan hukuman pengasingan terhadap penjahat, pedagang gelap dan penentang pemerintahan Belanda. VOC melihatnya sebagai sarana untuk mendidik para pemimpin masyarakat pribumi dan mengelola relasi antara kekuatan kaum pribumi dan Eropa.

Pada tahun 1606, Matelief de Jonge, pemimpin armada yang mencoba menaklukan Malaka dari Portugis, membawa serta 3 putra dari pemimpin-pemimpin di wilayah Maluku Tengaha “untuk mempersiapkan mereka menjadi pangeran”13. Salah satu dari mereka, yaitu Halaene, berusia 20 tahunb, adalah putra dari Kapitan Hitu, melakukan perjalanan jauh ke Belanda dan kembali ke Ambon pada tahun 161114. Harapan Belanda akan kekuasaan politik Halaene terwujud ketika ia menerima jabatan yaitu hukum15. VOC telah memastikan kesetiaan ayahnya dengan memberinya gelar atau status yaitu “perusahaan” cengkih terbaik di Ambon dan lisensi perdagangan. Jaringan politik yang luas dari keluarga Kapitan telah membantu VOC melawan Portugis, tetapi pada tahun 1630an, mereka telah menjadi potensi ancaman bagi kepentingan VOC sendiri. Halaene menjadi musuh VOC ketika hak perdagangan yang dinikmati oleh ayahnya dihapus16.

Dalam sebuah laporan dari tahun 1634, Artus Gijsels – Direktur perdagangan VOC di Ambon – memperingatkan atasannya, bahwa meskipun berteman dengan VOC, Hitu menjadi pusat dari kelompok oposisi kaum Muslim terhadap VOC di seluruh Maluku Tengah. Kapitan Hitu yang barucpenerus ayah Halaene – adalah seorang pemimpin karismatik yang “diikuti seperti bayangan” oleh para pemimpin kecil lainnya. Gijsels merekomendasikan agar VOC mendukung “konstitusi hukum” Hitu – keunggulan formal dari “rajanya”. Sekali lagi, pengasingan tampaknya merupakan cara terbaik untuk “mengontrol” Kapitan. “Singkatnya”, Gijsels menulis, “Saya berharap Kapitan Hitu berada di Batavia”17.

Kebijakan Belanda terhadap Hitu memperlihatkan efek teritorial dari pengasingan. Di Maluku, Kapitan seringkali merupakan gelar pemimpin yang mewakili kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam peperangan dan perdagangan. Mengasingkan mereka menghilangkan potensi ekspansif ini; otoritas tersisa berkaitan dengan masalah lokal yang ketat seperti tanah dan hak pernikahan. Ternyata Gijsels memahami ini. Kapitan mewakili kekuatan deterotialisasi yang mirip dengan VOC, dan penting untuk menjadikannya orang kompeni.

 

Hukuman Pengasingan dan Penciptaan Subjek

                Pengasingan para pemimpin dan keluarga kerajaan melayani berbagai tujuan : pendidikan, tekanan politik, pemerasan politik, dan hukuman. Penjajah menganggap pengasingan sebagai cara yang efektif untuk “mematahkan” kehendak kaum elit yang dijajah, karena efeknya yang “merendahkan secara budaya” terhadap terpidana (lihat kajian Anderson, pada bab 1 dalam buku inid). Robert Townsend Farquhare, seorang pejabat yang mengawasi pendudukan singkat Inggris atas koloni Belanda di Maluku selama Perang Napoleon, berpendapat bahwa penduduk pribumi “sangat terpengaruhi oleh rasa malu, dan pengusiran dari negara dan keluarga mereka adalah salah satu yang paling memalukan dan contoh hukuman yang memalukan bagi mereka”18. Belanda pada awalnya melakukan eksekusi publik yang spektakuler untuk mencegah lawan politik mereka19, tetapi aturan-aturan VOC, yang ditemukan dan diterjemahkan oleh Farquhar pada tahun 1796, memiliki keputusan terpisah untuk mengasingkan para pemimpin masyarakat pribumi. Mereka akan menderita “pengusiran selamanya, penyitaan barang-barang dan ketidakmampuan anak-anak atau kerabat mereka untuk mengganti kepemimpinan manapun “ jika mereka mengizinkan para pedagang non-VOC untuk memasuki wilayah mereka20. Buktinya, bagaimana pun status bangsawan yang diasingkan sering tetap terjaga dari pengusiran dan pengasingan, dan hubungan kekerabatan mereka dengan penguasa di luar masyarakat mereka sendiri merupakan sumber legitimasi yang harus diperhitungkan oleh kaum kolonialis21

                VOC menggunakan hukuman pengasingan terhadap orang-orang biasa sejak tahun 1688, ketika menangkap seorang laki-laki bernama TOUALf  karena keterlibatannya dalam pembunuhan sekutu-sekutu Kristen VOC dan mengasingkannya secara permanen ke Ceylon22. Tidak semua pengasingan berarti pemindahan individu ke jarak geografis yang sangat jauh. Prioritas awal VOC adalah membatasi pembudidayaan dan perdagangan rempah-rempah kaum pribumi, dan cara yang paling efektif untuk ini adalah dengan depopulasi desa dan pulau secara paksa yang tidak dapat dikontrolnya. Ketika VOC mengambil alih Semenanjung Hoamoal di Seram pada tahun 1656, penduduk desa yang kalah dijadikan subyek langsung kompeni23. Orang-orang kelas rendah dimukimkan kembali di dekat benteng kompeni di Luhu, dan para pemimpin politik dan agama mereka diasingkan di pemukiman di Ambon, yang dikenal sebagai Batu Merah24. 30 anak ditangkap dan dilatih menjadi “militer” VOC25. Pada tahun 1657, tokoh-tokoh terkemuka Hoamoal diasingkan lebih jauh ke Batavia26.

                Sensus penduduk yang dilakukan oleh pemerintah VOC dari tahun 1671 dan seterusnya27 mengungkapkan bahwa masyarakat pribumi Maluku memiliki antara 5000 hingga 7000 budak, yang merupakan 12% - 13% dari populasi. Jumlah budak ini sebanding dengan yang dimiliki oleh pemerintah VOC28. Selain lawan lokal VOC, lawan lain yaitu termasuk pedagang yang tertangkap dan tahanan perang dari Makassar, kerajaan Sulawesi yang menentang monopoli perdagangan kompeni di Ambon29. Setelah menaklukkan Makassar, pintu masuk terakhir perdagangan kaum pribumi pada tahun 166930, VOC mengalihkan perhatiannya pada kebutuhan tenaga kerja perkebunan pala dan cengkih yang dikelola oleh rakyatnya. Banyak budak kompeni dikirim untuk bekerja di perkebunan rempah-rempah di Kepulauan Banda, dimana mereka akhirnya berintegrasi dalam populasi mardijkers yang terus meningkat, atau “budak yang dibebaskan”31.

Perbudakan perkebunan merupakan khas kolonialisme dunia baru terbatas di Banda32. Meskipun demikian upaya untuk memastikan bahwa para penanam di Banda memperkejakan para budak “bukan untuk tujuan pribadi mereka sendiri, tetapi untuk menjaga pohon pala”33, para budak segera terintegrasi dalam ekonomi rumah tangga majikan mereka34. Bagi masyarakat pribumi, perbudakan terutama adalah masalah sosial yang berbasis pada hubungan patronase dan hutang35. Budak yang tinggal di kota besar dan kecil menyadari banyak kemungkinan untuk melawan dan mengubah posisi mereka36. Pada akhirnya, penerapan pengasingan sebagai hukuman dan penindasan menciptakan populasi perkotaan yang beragam dari subyek-subyek VOC.

 

Mesin Perang dan Kedaulatan

                Baik pelabuhan-pelabuhan VOC maupun negara perdagangan pra-kolonial Asia Tenggara adalah atau berkumpul di sekitar perdagangan dan berisi populasi imigran yang heterogen. Tetapi sementara negara-negara pra-kolonial di Maluku berusaha memasukan penguasa dan simbol asing ke dalam relasi sosial dan kosmologis mereka, VOC memobilisasi rakyat lokalnya dan mengubahnya menjadi mesin perang yang beroperasi di laut. Kompeni mengklasifikasikan populasi kota, perkebunan, dan benteng-benteng sebagai “ warga negara bebas”, “orang asing Asia, “warga pribumi”, dan “budak”, dan kompeni mencatat itu dengan cermat armada hongi dan serdadu anak-anak pribumi yang dibutuhkannya untuk memproyeksikan kekuatan di luar area ini. Dokumen-dokumen VOC memperlihatkan jumlah kora-kora dari setiap desa, dan buku-buku kontemporer menggambarkan hal itu dalam gambar bergaris.

                Deleuze dan Guattari37 menekankan bahwa angka-angka individual, kapal-kapal, bagian-bagian etnis, dan unit militer sangat penting untuk mendistribusikan orang di dalam ruang dan memasukan mereka ke dalam kerangka negara. Pengasingan kaum bangsawan, apakah itu dimaksudkan untuk mempromosikan karir politik pengasingan atau untuk mengecualikannya dari kekuasaan, memiliki efek yang sama dengan memobilisasi dan mengubah kekuasaan38. Dalam istilah hukum, membawa seseorang ke pengasingan mengandaikan kontrol kedaulatan atas wilayah. Ini menjadi masalah, khususnya bagi Belanda, yang mempertahankan konsep “laut bebas” yang merupakan argumen melawan klaim kolonial Portugis, Spanyol, dan Inggris. Hugo Grotius, yang meminta VOC untuk mempertahankan hak mereka untuk merebut kapal-kapal Portugis di laut lepas, menyatakan bahwa “[setiap] bangsa bebas bepergian ke setiap bangsa lain dan berdagang dengan mereka”39. Pada awalnya, VOC mengakui kelompok penduduk pribumi sebagai “negara” daripada wilayah atau “perkebunan” yang diklaim oleh negara induknya. Terlepas dari penerapan konsep “laut bebas” mereka yang kejam, Belanda sangat mementingkan hukum pada kontrak perdagangan monopolistik mereka dengan para pemimpin lokal. Dihadapkan dengan argumen bahwa Belanda hanya mengklaim untuk diri mereka sendiri sebuah monopoli perdagangan yang mereka tolak kepada orang lain, Grotius berpendapat bahwa perjanjian-perjanjian ini dibuat dalam domain “hukum kota”, mungkin meniru negara-negara kota di Belanda40

                Mengasingkan orang-orang yang berpengaruh secara politik dari domain kota ini, dan menarik mereka ke wilayah-wilayah “angkatan laut” dan militer di kota-kota dan garnisun VOC di Ambon, Ceylon, Cape Town, dan Amsterdam, bukan hanya pelaksanaan kedaulatan tetapi juga cara untuk membentuknya. Bagi Grotius dan cendiakawan-cendiakawan abad ke-17 lainnya, ruang maritim yang terbentang di antara “bangsa-bangsa” termasuk dalam wilayah hukum alam41. Namun, bisa dibilang, memindahkan para pemimpin pribumi ke dalam ruang kolonial memiliki dampak hukum positif42 : mengubah mereka menjadi penanda tunggal penguasaan tempat asalnya. Di ruang ini, otoritas “kota” atas orang-orang dan kontrak diartikulasikan dengan kekuatan abstrak seperti negara yang diidentifikasi oleh beberapa pemimpin pribumi dengan status mereka sendiri.

                Salah satu pemimpin tersebut adalah Sultan Hamzah dari Ternate. Sebelum berkuasa sebagai sekutu VOC pada tahun 1628, dia menghabiskan lebih dari 20 tahun di Manila. Tahun-tahun pengasingan Hamzah di Manila, membuat ia “terpapar” pada gagasan-gagasan absolut Spanyol tentang kekuasaan kerajaan yang kemudian dia terapkan pada rekan-rekannya. Terlepas dari sikapnya yang “lembut”43, Hamzah memberhentikan beberapa anggota dewan kerajaannya44, dan ketika salah satu dari mereka menolak keputusannya, dia meminta VOC untuk membantu menghukumnya. Pemimpin ini, Kaicili Luhu, dibawa ke Ambon dan dipenggal di depan umum pada tahun 164345.

                Upaya VOC untuk menggunakan Hamzah sebagai wakil kepentingan mereka sebagian besar gagal. Hamzah meninggal pada tahun 1648 dan penerusnyag  tidak dapat menguasai Hoamoal, yang kemudian ditaklukan VOC dengan paksa46. Pada abad ke-18, VOC tidak lagi berusaha mengubah sekutu lokalnya menjadi penguasa boneka. Sebaliknya, Cakraningrat IV dari Madura diasingkan ke Tanjung Harapan pada tahun 174647, dan Kamaluddin Kaicili Asgar dari Tidore ke Ceylon pada tahun 177948, sementara kompeni mengambil alih kekuasaan mereka di dalam negeri tersebut.

                Kamaluddin adalah raja muda49 di bawah Sultan Jamaluddinh, yang menolak berperang melawan rakyat Ternate di wilayahnya. Setelah menggulingkan Jamaluddin, VOC  mencoba untuk memerintah Ternate melalui dewan yang terdiri dari 5 regent50. Pengasingan Kamaluddin memicu pemberontakan yang dipimpin oleh Kaicili Nuku, seorang bangsawan Tidore lainnya, yang menuntut agar VOC memulihkan Jamaluddin atau mengangkat Kamaluddin atau dirinya sendiri sebagai Sultan51.

                Pengasingan Nuku yang dipaksakan sendiri di pulau-pulau timur menyebabkan jalinan proyek kekaisaran Belanda dan Ingris yang tidak disengaja, suatu tema yang juga dieksplorasi oleh Anderson pada bab 1 dalam buku ini. Setelah orang-orang Nuku menyelamatkan awak kapal Inggris yang karam, dia mengirim Mohamad Saleh dan pejabat pengadilan lainnya ke Bengal untuk merundingkan aliansi anti Belanda dengan Inggris. Aliansi yang diusulkan gagal setelah perjanjian damai Inggris-Belanda tahun 1784. Perwira Inggris yang ditugasi membawa misi diplomatik Nuku ke Maluku meninggalkannya terdampar di Bengkulu, pos perdagangan Inggris di barat daya Sumatera, pada tahun 178652. Mohamad Saleh diizinkan untuk menikah lagi dan bekerja di perkebunan pala, tetapi selain itu ia berbagi nasib dengan narapidana India yang mulai diangkut oleh pemerintah Benggala ke Bengkulu pada tahun 178753.

                Kehadiran VOC menciptakan ruang interaksi yang oleh Leonard Andaya54 sebut sebagai dua “dunia” Maluku yaitu : oekumene Kristen dari kolonialis Iberian dan politik kosmologis penduduk pribumi Maluku. Sampai masa VOC, dunia-dunia ini sebagian besar terpisah karena kekaisaran Portugis dan Spanyol puas memasukkan tanah dan orang baru ke dalam geografi kekuasaan mereka. Pendeknya untuk menghapus batas antara 2 dunia itu, Belanda menambahkan elemen ketiga, yaitu sebuah ruang interaksi langsung antara kompeni dan rakyat pribumi. Selain membantu mengisi ruang kompeni, pengasingan menyediakan vektor untuk memperluasnya. Tetapi cara mengumpulkan kekuasaan ini juga memobilisasi penduduk pribumi yang tidak dapat dihitung atau diperintah oleh VOC. Kajian selanjutnya berkaitan dengan konsekuensi pengasingan yang tidak diinginkan ini.

 

Penaklukan Kepulauan Rempah-rempah

                Masyarakat Banda bisa dibilang adalah kelompok orang Indonesia yang paling dikenal yang tergusur akibat kolonisasi Indonesia Timur oleh VOC. Kompeni menaklukan kepulauan Banda pada tahun 1621 dan membantai sebagian besar penduduk pribumi mereka. Namun, beberapa masyarakat Banda bertahan hidup di Kepulauan Kei, tempat kerja lapangan saya pada tahun 1994-1996. Tidak seperti banyak kelompok pengungsi lain di Maluku, keturunan orang Banda mempertahankan bahasa, tradisi lisan, dan keyakinan Islam mereka yang khas.

                Sumber-sumber kolonial menyatakan bahwa 1000 dari 15.000 penduduk Banda telah “melarikan diri” dan selamat sebelum penaklukan oleh kompeni itu. Pada tahun 1621, VOC memindahkan 789 orang – 287 laki-laki, 256 wanita, dan 246 anak-anak – dari Banda ke Batavia dengan kapal bernama Dragon55. Orang-orang ini dikirim ke Batavia untuk bekerja sebagai budak yang membangun kanal dan tembok benteng56. Demografis komposisi kelompok yang diasingkan menunjukan bahwa kompeni juga bermaksud menggunakan mereka untuk mengisi benteng-benteng barunya di Jawa dan Maluku.

                Tidak semua orang Banda yang selamat ditangkap oleh VOC. Sejumlah besar selamat dan mencari perlindungan di komunitas Muslim terdekat. Pada tanggal 16 Mei 1621, setelah pasukan utama Belanda meninggalkan Banda, beberapa orang mengambil perahu mereka, yang disembunyiakn di hutan Banda besar, dan melintasi laut lepas sejauh 100 km yang memisahkan mereka dari desa-desa sekutu Muslim di Seram, pulau terbesar di Maluku Tengah. Orang Belanda mencoba mengejar mereka di laut tetapi harus menyerah karena kondisi cuaca buruk57. Sebulan kemudian beberapa ratus orang lagi dibawa ke tempat aman dengan 20 perahu orang Seram58.

                Keturunan orang Banda ini bersikeras bahwa leluhur mereka bukanlah orang yang diasingkan, tetapi meninggalkan Banda atas kemauan sendiri. Sebagian menetap di desa-desa pesisir dan pulau Seram. Yang lainnya pindah ke Kepulauan Kei sekitar 500 km dari tanah air leluhur mereka. Di Kei, mereka mendirikan 2 kampung, yaitu Banda Eli dan Banda Elat, yang menjadi fokus penelitian saya pada tahun 1994-199659

                Tradisi lisan masa kini tidak merepresentasikan “sejarah rakyat” masyarakat Banda. Tradisi lisan ini terdiri dari lagu naratif milik kelompok klan tertentu dan menggambarkan perjalanan laut dari leluhur awal mereka. Lagu-lagu tersebut mengklaim kepada leluhur di Banda tetapi tidak menampilkan gambaran yang seragam tentang migrasi orang Banda ke Kepulauan Kei. Sebaliknya, fokus mereka adalah hubungan yang langgeng antara 2 desa orang Banda dan sejumlah besar tempat lain di Maluku. Sejarah, bagi orang Banda, bukanlah tentang peristiwa masa lalu yang tunggal, melainkan tentang hubungan yang dapat dihidupkan kembali dan pertemuan yang dapat diulangi di masa kini.

                Kerja lapangan saya di antara orang Banda bertujuan untuk memahami wacana sejarah mereka dalam konteks dimana itu dilakukan dan diperebutkan. Pada tahun 1994-1996 saya bekerja dengan sejumlah penyanyi yang mengetahui lagu-lagu leluhur keluarga mereka. Pengetahuan tentang lagu-lagu tersebut diwariskan dari generasi perempuan yang lebih tua ke generasi perempuan yang lebih muda, dan karena perempuan biasanya mengubah afiliasi klan mereka saat menikah, puisi yang mereka nyanyikan beredar di antara kelompok keturunan yang berbeda. Karena lagu-lagu tersebut membenarkan klaim laki-laki atas status politik, laki-laki mengambil peran untuk menafsirkan maknanya. Dengan melakukan itu, mereka mengembangkan teks naratif otoritatif seputar leluhur dan nama tempat dalam lagu dan konteks naratif alternatif yang disajikan oleh kelompok yang bersaing. Wacana sejarah di antara orang Banda sangat dialogis. Orang-orang mengakui adanya interpretasi yang berbeda dalam komunitas mereka, dan kebenaran setiap interpretasi diuji dengan menyajikannya kepada orang luar etnis.

                Pekerjaan lapangan saya di Ambon pada tahun 2009 mengungkapkan beberapa cara berbeda dimana orang Banda menampilkan diri mereka di depan umum sebagai sebuah kelompok etnis. Mereka menanggapi model nasional tentang perbedaan budaya lokal, tetapi pada saat yang sama mereka membuat argumen sejarah spesifik tentang nenek moyang mereka yang sama dengan kelompok pemilik tanah Ambon dan tentang status pribumi mereka di Kepulauan Banda60. Pertanyaan tentang pribumi adalah teks utama yang orang-orang Banda menegaskan kesejarahan tradisi mereka. Mereka menyangkal menjadi orang yang diasingkan dan berpendapat bahwa mereka berjuang untuk tanah mereka.

                Lagu-lagu orang Banda dibawakan dalam 2 bahasa : bahasa leluhur Banda, yang disebut Turwandan, dan dalam bahasa mayoritas Kepulauan Kei, yang disebut Evav. Dalam lagu-lagu berbahasa Banda, sosok puitis yang paling dekat dengan pengasingan adalah “hanyut”, atau terbawa hembusan angin di sepanjang laut. Dalam lagu-lagu ini, orang Banda meninggalkan pulau mereka sebagai tanggapan atas praktik standar VOC untuk “mencabut” pohon-pohon pala milik masyarakat pribumi, tetapi ketidakamanan politik dan penganiayaan Belanda digambarkan hanya sebagai kekuatan kosmologis61. Lagu-lagu berbahasa Kei umumnya menggambarkan kondisi ketidakhadiran dan orang yang berpergian sebagai marvotun, sebuah kata yang berkonotasi kuat dengan keterasingan sosial “orang asing”62. Orang Banda selalu menjelaskan bahwa kata-kata ini mengacu pada seseorang yang bepergian melewati lautan di tanah dagam “the trade lands”63. Frasa ini tidak mengacu pada wilayah geografis tertentu, tidak seperti kata asing dalam Bahasa Indonesia, yang sering digunakan untuk warga negara asing dan juga akar dari kata pengasingan, “eksil”.

                Narasi masyarakat Banda tentang peristiwa kolonial awal menekankan pada perlawanan bersenjata mereka terhadap Belanda, termasuk pembunuhan komandan Belanda, yaitu Verhoeven, oleh orang Banda pada tahun 160964. Pemimpin sekuler dan agama di Lonthor, kota terpenting di Banda Besar, dibawa ke kapal-kapal VOC dan dieksekusi oleh 6 tentara bayaran Jepang65. Catatan-catatan orang Belanda menyebutkan 8 orangkaya, atau anggota aristokrasi perdagangan Banda, sebagai korban utama hukuman pembunuhan oleh VOC. Masyarakat Banda mengaitkan peristiwa yang sama dengan pembunuhan 30 imam, atau pemimpin Islam komunitas mereka.

                Masyarakat Banda tidak mengakui bahwa ada orang berpangkat tinggi yang diasingkan oleh Belanda, dan mereka memilih untuk tidak berbicara tentang nasib memalukan masyarakat biasa yang lolos dari pembunuhan hanya untuk dikirim sebagai budak buruh ke Batavia, tempat VOC membangun markasnya yang baru. Sejarahwan Belanda menyatakan bahwa orang Banda terakhir yang melarikan diri ke Seram dipimpin oleh beberapa bangsawan66. Masyarakat Banda, pada bagian mereka, bersikeras bahwa nenek moyang masih hidup telah meninggalkan Banda sebelum perang melawan Belanda. Oleh karena itu, masyarakat Banda sudah menjadi kelompok perdagangan kosmopolitan yang tersebar jauh dan luas di sepanjang jalur perdagangan Indonesia Timur.

                Belanda melihat masyarakat Banda sebagai masyarakat lokal dan gagal membedakan mereka dari pedagang-pedagang lain yang berbasis di Makassar, negara perdagangan terakhir yang merdeka di Indonesia Timur67. Mereka juga ada di Seram Timur, daerah yang tidak pernah berhasil dikuasai Belanda dengan baik. Setelah penaklukan Belanda atas Banda pada tahun 1621, pulau-pulau padat seperi Seram Laut, Goram, dan Kefing, dekat ujung timur Seram, mengambil alih peran Banda sebagai titik pertemuan para pedagang Asia yang kegiatannya telah diganggu oleh VOC. Wilayah ini juga merupakan pengungsian pertama orang Banda yang lolos dari pembantaian oleh Coen pada bulan Mei 1621. Banyak nama marga (etar) di Seram Timur menunjukan nama-nama desa di Banda, dan masyarakat Banda yang direlokasi juga melakukan kunjungan rutin ke bekas tanah air mereka69.

Sekitar tahun 1630, Belanda menyadari kehadiran orang-orang Banda di pulau-pulau terpencil Kei, sekitar 500 km tenggara Banda, dimana mereka tinggal di 2 desa besar yaitu : Banda Eli dan Banda Elat70. Penduduk desa-desa ini mempertahankan beragama Islam dan tetap berbicara dalam bahasa mereka sendiri, yang disebut Turwandan atau bahasa Banda71 yang berbeda dengan bahasa mayoritas di Kepulauan Kei. Sementara orang Banda pengasingan lainnya bergabung ke dalam komunitas pedagang Muslim yang lebih besar di Indonesia Timur, kedua desa di Kei tersebut mewujudkan keberadaan orang-orang Banda yang berkelanjutan sebagai kelompok budaya yang berbeda.

Isolasi budaya bukanlah penjelasan untuk bertahannya bahasa dan tradisi orang Banda di Kepulauan Kei. Kedua desa orang Banda terletak di situs pelabuhan terbaik di Pulau Kei Besar, dan selama masa kolonial, orang Banda terus mengunjungi situs perdagangan pesisir lainnya dengan perahu mereka sendiri. Mereka menolak untuk menikah dengan orang-orang Kei tetangga mereka, dan membingkai hubungan mereka dengan mitra dagang jauh sebagai kekerabatan leluhur.

Chris Gregory72 mendefinisikan teritorialitas sebagai kepemilikan etnis di antara kelompok-kelompok dagang yang tidak terlokalisir. Ini mengacu pada wilayah yang diperluas secara spasial dimana kelompok komersial mengidentikasi modal yang terakumulasi sebagai barang tertinggi. Modal di sini menandakan kekerabatan dan kedekatan dalam komunitas pedagang, seperti halnya tanah pertanian yang tidak dapat dicabut dari komunitas petani India, dibawah perwalian keluarga tertentu, adalah sumber hierarki sosial dan kepemilikan.

Hubungan istimewa masyarakat Banda dengan komunitas pedagang yang lebih luas di Maluku adalah contoh dari teritorialisasi dalam pengertian Gregory. Kekerabatan dengan tempat yang berjauhan menjadi pembatas masyarakat Banda dengan masyarakat lain di Kei. Teritorialisasi bukan hanya tentang ikatan sosial : di atas semua itu adalah fenomena ideologis. Alih-alih bergabung dalam elit pribumi Kepulauan Kei, orang Banda memilih mengejar gengsi dan pengakuan di pusat-pusat perdagangan dekat tanah kelahiran mereka di Maluku Tengah.

Dalam terminologi Jonathan Friedman73, perdagangan jarak jauh orang-orang Banda adalah strategi mobilitas kosmologis. Terminologi ini menggambarkan situasi penaklukan kekaisaran yang membentuk kembali populasi yang ditaklukan menjadi struktur kelas atau ikatan masyarakat semi-independen dan menyiratkan bahwa anggota elit lokal “harus berusaha untuk mendefinisikan dirinya sebagai anggota kelompok penakluk”. Di bawah VOC, tanda “penakluk” adalah hak perdagangan mereka sendiri. Dalam menegaskan hak tersebut, orang Banda membangun domain komersial sebagai jaringan kekerabatan yang luas. Tetapi Friedman mencatat bahwa ketika ikatan masyarakat komersial atau terorganisir membentuk kantong-kantong di dalam kerajaan birokrasi yang lebih besar, dinamika akumulasi komersial dan identitas budaya mereka mungkin bertentangan dengan struktur kekaisaran74. Antagonisme antara orang Banda dan Belanda pada abad ke-19, jauh setelah orang Banda tidak lagi menjadi ancaman militer, adalah bukti dari konflik tersebut. Orang Banda bukan sekedar masyarakat lokal yang dijajah oleh Belanda. Teritorialitas dan mobilitas mereka adalah ciri dari ruang yang sama, yang diciptakan VOC dengan membangun benteng-benteng di pesisir, mengisinya dengan penduduk pribumi, dan mengasingkan penguasa pribumi.

==== bersambung ===

Catatan Kaki

  1. Timothy Barnard, Multiple Centres of Authority. Society and Environment in Siak and Eastern Sumatra, 1674–1827 (Leiden: KITLV Press, 2003).
  2. Eric Tagliacozzo, “Smuggling in Southeast Asia: History and Its Contemporary Vectors in an Unbounded Region,” Critical Asian Studies 34, no. 2 (2002): 193–220.
  3. Roy Ellen, On the Edge of the Banda Zone: Past and Present in the Social Or ga ni zation of a Moluccan Trading Network (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2003), 120.
  4. Gilles Deleuze and Felix Guattari, A Tousand Plateaus: Capitalism and Schizo phrenia (London: Athlone Press, 1988), 131.
  5. Leonard Andaya, Te World of Maluku: Eastern Indonesia in the Modern Period (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1993), 111; Ellen, On the Edge of the Banda Zone, 84.
  6. See M. A. P. Meilink- Roelofsz, Asian Trade and Eu ro pean Influence in the Indonesian Archipelago (Te Hague: Martinus Nijho, 1962), 173–206, for an overview on VOC competition with other European powers.
  7. The role of the indigenous navy in controlling the periphery of VOC- held Ambon has been described in G. J. Knaap, Kruidnagelen en Christenen: De Verenigde Oost- Indische Compagnie en de bevolking van Ambon 1956–1696, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal- , Land- en Volkenkunde 125 (Dordrecht: Foris Publications, 2004), 67–76; and in Meilink- Roelofsz, Asian Trade, 217. Dutch archival and historical rec ords contain precise accounts of the number of war canoes in each VOC- allied village; see, e.g., G. J. Knaap, ed., Memories van Overgave van gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw (Te Hague: Martinus Nijho, 1987), 177, 224–228, and François Valentyn, Beschryvinge van Amboina. vol. 2, pt. 1 of Oud en nieuw Oost- Indiën (Dordrecht: Joannes van Braam; Amsterdam: Gerard Onder de Linden, 1724), 185–189.
  8. Andaya, World of Maluku, 152.
  9. Meilink- Roelofsz, Asian Trade, 212; Knaap, Memories van overgave, 8–9.
  10. Andaya, World of Maluku, 153.
  11. Ibid., 171.
  12. Ibid., 84.
  13. François Valentyn, Ambonsche zaaken, vol. 2, pt. 2 of Oud en nieuw Oost Indiën (Dordrecht: Joannes van Braam; Amsterdam: Gerard Onder de Linden, 1724), 11, 32.
  14. Ibid., 37.
  15. Ibid., 80. Hukum translates as “magistrate,” a title used in the sultan’s court at Ternate; see Andaya, World of Maluku, 70. Hitu is a village on the north coast of Ambon Island. It originated as a Javanese trading settlement, but hukum and other courtly titles suggest that it modeled itself after an Islamic polity.
  16. Andaya, World of Maluku, 83.
  17. Knaap, Memories van Overgave, 119–120.
  18. J. E. Heeres, “Eene engelsche lezing ontrent de verovering van Banda en Ambon in 1796 en omtrent den toestand dier eilanden groepen op het eind der achttiende eeuw, uitgegeven en toegelicht door J. E. H,” Bijdragen tot de Taal- , Land- en Volkenkunde van Nederlandsch- Indië 60, nos. 3–4 (1908): 325.
  19. Andaya, World of Maluku, 161.
  20. Heeres, “Eene engelsche lezing,” 342.
  21. Kerry Ward, “Blood Ties: Exile, Family, and Inheritance across the Indian Ocean in the Early Nineteenth Century,” Journal of Social History 45, no. 2 (2011): 445.
  22. Knaap, Memories van Overgave, 279.
  23. James T. Collins, “Language Death in Maluku: Te Impact of the VOC,” Bijdragen tot de Taal- , Land- en Volkenkunde 159, nos. 2–3 (2003): 251.
  24. See Collins, “Language Death,” 252, and Valentyn, Beschryvinge van Amboina, 204, for an account of these events. Batu Merah and Merdeka, two neighborhoods north of the VOC fort in Ambon, are living reminders of the city’s exiled slave populations. Valentyn, Beschryvinge van Amboina, 134, calls Batu Merah “Roodenberg,” or “Redhill,” in Dutch, and mentions a stone bridge connecting the com pany fort area to Mardyker Street.
    Mardyker was originally used for indigenous Christians afliated to the former, Portuguese occupants of the fort in Ambon. On page 256 Valentyn describes them as “Black Freemen,” free- bought or manumitted slaves occupied with sailing, fshing, and trade.
  25. Valentyn, Ambonsche zaaken, 205.
  26. Collins, “Language Death,” 251; Knaap, Kruidnagelen en Christenen, 353n19.
  27. Knaap, Kruidnagelen en Christenen, 369.
  28. Ibid., 163.
  29. Ibid., 163.
  30. Leonard Andaya, The Heritage of Arung Palakka (Leiden: KITLV Press, 1981), 137.
  31. G. J. Knaap, “A City of Migrants: Kota Ambon at the End of the Seventeenth Century,” Indonesia 51 (1991): 112; Phillip Winn, “Slavery and Cultural Creativity in the Banda Islands,” Journal of Southeast Asian Studies 41, no. 3 (2010): 371.
  32. Gert Oostindie and Bert Paasman, “Dutch Attitudes towards Colonial Empires, Indigenous Cultures, and Slaves,” Eighteenth- Century Studies 31, no. 3 (1998): 352.
  33. Heeres, “Eene engelsche lezing,” 349.
  34. Winn, “Slavery and Cultural Creativity,” 371.
  35. Anthony Reid, “Introduction: Slavery and Bondage in Southeast Asian History,” in Slavery, Bondage and De pen dency in South- East Asia, ed. Anthony Reid (University of Queensland Press, 1983), 1–43.
  36. Eric Jones, “Fugitive Women: Slavery and Social Change in Early Modern Southeast Asia,” Journal of Southeast Asian Studies 38, no. 2 (2007): 215–245.
  37. Deleuze and Guattari, A Tousand Plateaus, 389.
  38. Ricci, in chapter 4 in this volume, stresses that exile was not simply about isolating people but about moving them within a single imperial realm. The geographic distance covered by this movement varied in proportion to the severity of the exile’s crime and the colonizer’s ability to punish it. I would suggest that the commensurability of crime and punishment was key to turning the exile from a member of a conquered local society into an imperial subject.
  39. Karl Zemanek, “Was Hugo Grotius Really in Favour of the Freedom of the Seas?” Journal of the History of International Law 1 (1999): 54.
  40. Ibid., 56.
  41. Ibid., 53.
  42. Deleuze and Guattari, A Tousand Plateaus, 394.
  43. Andaya, World of Maluku, 158.
  44. Ibid., 160.
  45. Ibid., 161.
  46. Collins, “Language Death,” 251.
  47. Ward, “Blood Ties,” 441.
  48. Andaya, World of Maluku, 219, 228.
  49. “Junior king,” an office created by the company to prevent a succession dispute; ibid., 217.
  50. Ibid., 219.
  51. Ibid., 231; Heeres, “Eene engelsche lezing,” 279–280; Muridan Widjojo, The Revolt of Prince Nuku: Cross- Cultural Alliance- Making in Maluku, c. 1780–1810 (Leiden: Brill, 2009).
  52. Widjojo, Revolt of Prince Nuku, 174.
  53. Anand Yang, “Indian Convict Workers in Southeast Asia in the Late Eigh teenth and Early Nineteenth Centuries,” Journal of World History 14, no. 2 (2003): 191.
  54. Andaya, World of Maluku, 23.
  55. P. A. Tiele, Bouwstoen voor de geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen archipel, 2nd ser., vol. 1 (Te Hague: Martinus Nijho, 1886), 280.
  56. J. A. van der Chijs, De vestiging van het Nederlandsche gezag over de Banda- Eilanden (1599–1621) (Te Hague: Martinus Nijho, 1886), 161; Collins, “Language Death,” 249.
  57. Tiele, Bouwstoen, vol. 1, 291.
  58. Chijs, De vestiging, 162.
  59. Timo Kaartinen, Songs of Travel, Stories of Place: Poetics of Absence in an Eastern Indonesian Society. Folklore Fellows’ Communications 299 (Helsinki: Academia Scientarium Fennica, 2010).
  60. Ibid., 101; Timo Kaartinen, “Handing Down and Writing Down: Metadiscourses of Tradition among the Bandanese of Eastern Indonesia,” Journal of American Folklore 126 (2013): 400; Timo Kaartinen, “Perceptions of Justice in the Making: Rescaling of Customary Law in Maluku, Eastern Indonesia,” Asia- Pacifc Journal of Anthropology 15, no. 4 (2014): 333.
  61. In Bandanese oral traditions, gusting, “fve- faced” wind (anin pancarupa) regularly appears as a counterforce to a boat’s directed movement at sea.
  62. Cecile Barraud, “Wife- Givers as Ancestors and Ultimate Values in the Kei Islands,” Bijdragen tot de Taal- , Land-en Volkenkunde (1990): 199, 201, notes that people of the Kei Islands use marvotun as the opposite of people who “belong” to the village community and as an attribute of a woman who will become a “stranger” at her marriage.
  63. Kaartinen, Songs of Travel, 67, 82.
  64. Chijs, De vestiging, 39.
  65. Ibid., 158.
  66. Ibid., 162.
  67. Andaya, World of Maluku, 164, notes that historical literature usually identifes the Bandanese who continued their commercial activities in Maluku during the VOC time as “Makassarese.” This category also includes Malays who relocated to Makassar after the Portuguese conquest of Malacca in 1511. See Andaya, Heritage of Arung Palakka, for a detailed account of the role of VOC’s indigenous allies in this war.
  68. Knaap, Kruidnagelen en Christenen, 68; Pamela Swadling, Plumes from Paradise: Trade Cycles in Outer Southeast Asia and Teir Impact on New Guinea and Nearby Islands until 1920 (Boroko: Papua New Guinea National Museum, in association with Robert Brown & Associates, 1996), 137.
  69. Ellen, On the Edge of the Banda Zone, 84.
  70. P. A. Tiele, Bouwstoen voor de geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen archipel, 2nd ser., vol. 2 (Te Hague: Martinus Nijho, 1890), 165; J. E. Heeres, “Dokumenten betreende de ontdekkingstochten van Adriaan Doortsman 1645–1646,” Tijdschrift voor de Indische Taal- , Land- en Volkenkunde 6, no. 2 (1896): 246–279; 608–619; 635–662.
  71. James Collins and Timo Kaartinen, “Preliminary Notes on Bandanese: Language Development and Change in Kei,” Bijdragen tot de Taal- , Land- en Volkenkunde 154, no. 4 (1998): 521–570.
  72. C. A. Gregory, Savage Money (Amsterdam: Harwood Academic Publishers, 1997), 165.
  73. Jonathan Friedman, Cultural Identity and Global Pro cess (London: Sage Publications, 1994), 33.
  74. Ibid., 32.

 

Catatan Tambahan

  1. 3 putra pemimpin Maluku Tengah yang dimaksud adalah Halaene (putra Kapitan van Hitu), putra dari Radja van Nusaniwe(l), dan putra dari Orangkaya van Lakatoewa. Namun 2 putra yang terakhir ini batal diberangkatkan dan diganti dengan Laurens  (putra dari Marcus, Hukum van Hative), dan Martinho (putra dari Antoni, Orangkaya van Taviri/Tawiri)
  2. Menurut sumber dari Francois Valentijn, ke-3 orang pangeran muda itu berusia antara 10 – 12 tahun.
  3. Kapitan Hitu yang baru adalah Kakiali, putra tertua dari Tepil, Kapitan van Hitu yang meninggal pada April 1633. Ini berarti bahwa Halaene adalah adik dari Kakiali
  4. Maksudnya adalah kajian dari Clare Anderson yang berjudul A Global History of  Exile in Asia, c. 1700-1900, yang dimuat dalam buku berjudul Exile in Colonial Asia. Kajian dari Clare Anderson ditempatkan pada bab 1, sedangkan kajian dari Timo Kaartinen ditempatkan pada bab 6
  5. Robert Townsend Farquhar, lahir pada 14 Oktober 1776, meninggal pada 20 Maret 1830. Menjadi Asisten Resident van Banda (1796-1799), Residen Maluku (1799-1802).
  6. Toual atau Tual adalah seorang masyarakat biasa yang berasal dari Negeri Besi, di Pulau Seram. Ia diasingkan menuju ke Batavia pada 12 Mei 1689.
  7. Pengganti Sultan Hamzah adalah Sultan Mandarsyah memerintah sejak 1648-1675 
  8. Sultan Jamaluddin menjadi Sultan Tidore pada 1756-1780, yang kemudian digantikan oleh Sultan Badaruddin (Patra Alam) pada 1780-1783.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar