Selasa, 31 Januari 2023

Memahami fitur-fitur geometris desain salawaku suku Nuaulu

(bag 1)

 

 [Roy F Ellen]

 

  1. Kata Pengantar

Artikel sepanjang 22 halaman ini adalah kajian dari Roy Frank Ellen tentang  elemen-elemen geometris pada desain-desain salawaku atau perisai yang digunakan oleh suku Nuaulu di Pulau Seram Maluku. Kajian ini berjudul Understanding geometrical features of Nuaulu shield design, yang dimuat pada Journal of Material Culture, tahun 2018, halaman 1-22.

Pada kajian ini, Roy Ellen membahas mengenai apa makna yang ada pada desain salawaku milik suku Nuaulu, serta elemen-elemen yang ada pada salawaku tersebut. Disebutkan bahwa ada unsur-unsur hewan totem yang digambarkan pada salawaku yang merupakan totem dari klan-klan pemilik salawaku itu. Misalnya, ular sanca, biawak, buaya, kuskus, serta bentuk silangan atau krois (pola salib) yang merepresentasikan ikan bintang dan lain-lain. 

Jika kita membaca artikel ini, minimal kita tahu dan mengerti bahwa pola-pola pada desain salawaku yang digunakan oleh orang Maluku, memiliki makna khusus meskipun tidak semua orang mau mengungkapkan makna khusus itu. Oleh karena itulah, kami menerjemahkan kajian penting ini agar bisa dibaca dan diketahui oleh kita. Artikel hasil terjemahan ini kami bagi menjadi 2 bagian, menambahkan beberapa gambar pendukung selain gambar ilustrasi yang sudah ada pada naskah artikelnya. Akhir kata semoga kajian ini bisa bermanfaat.

 

  1. Terjemahan

Abstract

Artikel ini berusaha menjelaskan bentuk dan fungsi desain dekoratif  pada salawaku perang Suku Nuaulu di Seram, Indonesia. Artikel ini ditulis “melanjutkan” karya sebelumnya yang berfokus pada perisai (salawaku) sebagai entitas antropomorfis yang sakral dengan siklus hidupnya sendiri, yang reproduksinya mencerminkan reproduksi rumah-rumah suci. Sebelumnya telah dikemukakan bahwa keragaman dalam elemen desain sengaja dikembangkan sebagai bagian dari estetika umum, yang menghubungkan individualitas, kepribadian  dan “gelombang” sebagai fitus entitas hidup. Pada kajian ini, kami meneliti materialitas salawaku, mendokumentasikan variasi desain – khususnya pola-pola keramik dan kerang-kerangan – dan mempertanyakan apa makna yang melekat atau terkandung pada objek ini. Kami menyimpulkan bahwa atribusi makna khusus untuk elemen individu adalah aplikasi yang terbatas, sementara dampak dari salawaku terletak pada variasi itu sendiri, pengaruh perseptual yang dimiliki oleh salawaku tergantung dari yang melihat, dan dalam karakteristik geometris abstrak yang membuatnya cocok untuk tujuan ritual.

Pendahuluan

                Dalam kabinet antik Tradescant, yang sekarang menjadi bagian dari Museum Ashmolean di Oxford, terdapat perisai (salawaku) yang sejak lama tidak terindentifikasi dengan baik, tetapi kini dikenal sebagai salawaku (perisai) perang dari Kepulauan Maluku (Gambar 1), dan mungkin contoh pertama dari seni Indonesia yang masuk dalam koleksi Inggris. Meskipun demikian, ada beberapa studi tentang perisai (salawaku) jenis ini yang menempatkannya dalam konteks budayanya dan mengarahkannya kepada pendekatan antropologis untuk memahami objek seni. Kita dapat melihat dari koleksi Museum dan ilustrasi yang diterbitkan bahwa bentuk khas perisai (salawaku) Maluku bervariasinya di seluruh pendistribusiannya, meskipun tetap dapat dikenali berdasarkan tema dasar yang sama. Salawaku dari [Pulau] Seram tampaknya yang terbesar dari jenis ini, dengan kelengkungan penampang paling “kecil” dan rasio lebar “pinggang” salawaku hingga ke ujung (Gambar 2), sedangkan Salawaku dari Halmahera, Buru, Banda, dan Ambon-Lease cenderung lebih kecil, dan dengan lebih banyak kelengkungan bagian yang berlebihan, dan rasio lebar “pinggang” ke ujung (Juynboll, 1930-1931; Martin, 1894: volume 2, tabel 30, gambar 5; Visser, 1917). 

                Dalam artikel ini, saya menjelaskan bentuk dan fungsi desain yang digunakan pada jenis salawaku ini seperti yang ditemukan di antara orang-orang suku Nuaulu di Seram, dan melanjutkan atau mengembangkan kajian dari 2 artikel sebelumnya yang menjadi fokusnya. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada tahun 1990, saya menaruh perhatian pada salawaku sebagai entitas antropomorfis – memang sebagai “jimat” (Ellen, 1988), dengan siklus hidupnya sendiri, suatu reproduksi yang pada gilirannya mencerminkan reproduksi rumah-rumah sakral. Oleh karena itu, fokusnya adalah pada pembuatan, hubungan antara kayu “hidup” darimana salawaku itu dibuat dan perannya sebagai objek sakral dengan kehidupannya sendiri yang membutuhkan penghormatan dan perlindungan. Saya berargumen bahwa salawaku “mewujudkan” kesinambungan rumah-rumah sakral tempat huniannya serta reproduksi biososial dari klan-klan yang menjaganya. Dalam artikel yang kedua (Ellen, 2017), saya “menyimpulkan” bahwa keragaman dalam elemen desain salawaku, sengaja dibudidayakan oleh suku Nuaulu sebagai bagian dari estetika yang menghubungkan individualitas, kepribadian, dan buih sebagai ciri makhluk hidup. Dalam artikel ini, saya mengkaji materilitas salawaku, mendokumentasikan variasi-variasi desain – khususnya pola keramik dan kerang – dan mempertanyakan apa arti penting yang harus kita makna pada hal ini.  Saya menyimpulkan sementara bahwa atribusi makna khusus dalam arti semiotik, misalnya seperti yang dikembangkan oleh Munn (1966), adalah penerapan yang terbatas, pentingnya salawaku terletak pada variasi itu sendiri, pengaruh visual yang dimiliki salawaku tergantung pada pandangan yang melihat dan abstrak fitur geometris yang membuatnya cocok untuk tujuan ritual.

 

Konteks dan Metode Etnografi

                Suku Nuaulu adalah Masyarat di selatan Seram Tengah yang berjumlah lebih dari 2000 jiwa pada tahun 2012, yang sebagian besar masih aktif mempraktikan ritual tradisional, yang dikabarkan oleh pandangan dunia dapat digambarkan sebagai animisme dan dimana pemujaan terhadap roh leluhur sebagai pusatnya (Ellen,2012). Hal ini dicapai melalui pelaksanaan siklus upacara yang rumit yang berfokus pada krisis kehidupan dan pembangunan rumah-rumah klan dan rumah sakral lainnya yang dimiliki bersama oleh marga yang mendiami satu pemukiman. Dahulu, pengayauan (potong kepala) merupakan bagian integral dari kompleksitas kepercayaan dan praktik ini meskipun – meskipun terjadi sejak tahun 1990 beberapa peristiwa “potong kepala” dalam konteks konflik komunal modern (Ellen, 2002), itu tidak lagi menjadi inti fitur dan secara terbuka ditolak oleh sebagian besar orang Nuaulu (Ellen, 2014).

                Data mengenai salawaku (aniaue) yang digunakan dalam kajian ini terdiri dari objek yang dikumpulkan di lapangan selama tahun 1970-1971 (dan sekarang di British Museum dan di Universitas Kent), objek-objek yang digambar dan dideskripsikan selama kerja lapangan pada tahun 1970-1971, dan objek-objek yang difoto selama kerja lapangan antara tahun 1970 dan 1996. Selama di lapangan, saya tidak secara sistematis mendokumentasikan semua salawaku yang saya temui. Hal ini tentunya tidak mungkin. Fokus utama dari analisis ini terdiri dari 24 salawaku yang saya nilai telah dijelaskan dengan cukup baik dalam catatan saya untuk tujuan tersebut. Desain di bagian depan telah digambar ulang dari foto dan catatan lapangan, dan “disederhanakan” ke tingkatan standar untuk dapat diterbitkan (Gambar 5). Data untuk kumpulan ini diperoleh pada saat peluang yang muncul pada tahun 1970, 1971, dan 1973 dan, meskipun ini bukan merupakan sampel ilmiah, saya percaya bahwa objek-objek ini mencerminkan keragaman desain yang ditemukan di seluruh wilayah suku Nuaulu pada saat salawaku dideskripsikan. Beberapa data kontekstual disajikan dalam lampiran, yang menunjukan bahwa salawaku berasal dari 3 desa dan 7 sub-suku yang berbeda. 3 dari 24 salawaku belum selesai dibuat, sehingga belum atau tidak digunakan untuk analisis fitur desain akhir. Objek itu, bagaimanapun, telah dimasukkan ke dalam aspek lain dari analisis. Terlepas dari data lapangan saya sendiri, tidak ada salawaku dalam koleksi publik/umum yang dapat dibuktikan berasal dari suku Nuaulu dengan pasti, walaupun banyak yang mungkin berasal dari suku Nuaulu. Saya telah memeriksa koleksi di Belanda (Rijksmuseum voor Volkenkunde di Leiden, Tropenmusem di Amsterdam dan Museum voor Volkenkunde Rotterdam), dan dalam beberapa kasus ada salawaku yang sangat sesuai dengan deskripsi yang disajikan di sini. Selain itu, ada beberapa karya yang diterbitkan mengacu pada salawaku dari Pulau Seram dan menyertakan gambar dan foto (misalnnya Martin, 1894: cetakan 8, gambar 27 dan 30: lihat gambar 2 di artikel ini) yang relevan dengan analisis ini.

 

Bentuk Umum dan Pembuatan Salawaku

                Salawaku suku Nuaulu (Gambar 3) berbentuk “lonjong melengkung” dan terbuat dari sepotong kayu kawasa, Archidendron clypearia [syn. Pithecellobium clypaenia], pohon yang digunakan untuk salawaku dan objek-objek sakral tertentu lainnya. Spesies lain yang berkerabat dekat (nisoae), Falcataria moluccana [syn. Albizzia falcata], juga kadang-kadang digunakan, yang dikenal dalam bahasa Melayu-Ambon sebagai kayu salawaku. Clepearia – berarti perisai/pelindung (salawaku) – berasa dari nama Latin yang diberikan untuk kedua spesies – Arbor Clypeorum – oleh naturalis abad ke-17 yaitu Rumphius (2011 [1743] : volume 3, 87-90), yang pernah melihat pohon itu di Seram. Rincian 16 salawaku yang didokumentasikan di lapangan selama tahun 1970-1971 telah dipublikasikan (Ellen, 1990 : tabel 1). Studi ini menambahkan 8 seri salawaku sisa (lihat lampiran). Ukuran rata-rata berdasarkan korpus ini adalah panjang 111,15 cm, lebar maksimum 11,09 cm dan lebar minimum 8,94 cm, sehingga membuat salawaku terlihat “ramping” di bagian “pinggangnya”. Terlihat pada sisi samping (Gambar 2 dan 3c) tampilan menunjukan tingkat kelengkungan vertikal cembung, dan pada bagian “muka” menunjukan kelengkungan horozontal cembung. Dari 6 salawaku yang diukur ketebalannya, secara umum berukuran 1 cm. Spesimen yang sekarang berada di British Museum (Gambar 3a) memiliki berat 640 gram, dan yang ada di Universitas Kent (Gambar 3b) beratnya 500 gram, yang menurut saya mencerminkan kisaran besar tersebut. Jadi, salawakunya ringan, sebagaimana layaknya salawaku perang dan salawaku yang digunakan untuk menari.

                Pinggiran setiap salawaku sering “dilapisi” dengan belahan potongan rotan halus (Gambar 4), dan dipaku dengan paku payu logam kecil dengan jarak kira-kira 8 cm, meskipun dalam satu kotak pengencang berupa pasak kayu kecil dan potongan kawat. Semua rotan [yang digunakan] terindentifikasi sebagai spesies Calamus, meskpun dari berbagai ungkapan bahasa lokal (folk-taxa) yaitu (meu huhue, meu nunte, meu wasaura, meu kania uwa atau meu kania tonu) dari spesies yang belum ditentukan. Dalam beberapa kasus, rotan dicat dengan cara yang konsisten dengan (dan perpanjangan dari) keseluruhan pola dan skema warna di bagian depan salawaku.

                Sisi belakang dari sebagian besar salawaku memiliki bubungan tengah yang membentang dari atas ke bawah (rata-rata W = 1-1,5 cm). Di atas bubungan terdapat lubang (terkadang menampilkan lingkaran serat) untuk memungkinkan salawaku digantung pada pasak/paku yang dipasang di dinding bagian dalam rumah. Lubang yang sama dapat digunakan untuk menempelkan (5 contoh dalam kelompok yang diperiksa) serat nanas pendek (sesene : Ananas comosus) yang mengikat sepotong kain merah (karanunu, dalam bahasa Melayu-Ambon yaitu kain berang) yang berisikan halia (soie : berbagai spesies jahe, termasuk Zingiber cassumunar, Z. Papuanum dan Globba marantina) dan terkadang bulu jambul dari kakatua Maluku (nakatua putie : Cacatua moluccensis). Benda ini adalah jimat untuk melindungi salawaku dan penggunanya (Gambar 4). Di tengah bagian belakang setiap salawaku, punggungan tengah berubah menjadi pegangan (dalam hal ini disebut ai munia – secara harfiah berarti “plasenta kayu” daripada kata biasa untuk kata pegangan yaitu kaie atau maine). Pegangannya secara khas didekorasi dengan tepi berundak atau bergerigi dan terkadang dengan pola irisan geometris (Gambar 2 dan 3b).

                Artikel saya tahun 1990 membahas secara rinci bagaimana salawaku itu dibuat dan oleh siap. Pada suatu kesempatan, salawaku sakral  tertentu diambil dari pohon kawasa, salawaku “keturunan” lainnya akan dipotong dari pohon yang sama untuk anggota klan atau rumah-rumah sakral lainnya, yang sebagian besar diselesaikan secara bertahap dalam waktu tertentu. Salah satu poin utama dari artikel sebelumnya ini adalah menunjukkan bagaimana salawaku diperlakukan secara antropomorfik pada setiap produksinya dan sepanjang kehidupan sosialnya, dan bagaimana mereproduksi salawaku sakral tidak hanya mencerminkan tetapi merupakan bagian intrinsik dari reproduksi rumah-rumah sakral. Serpihan pertama yang dipotong dari pohon saat membuat salawaku sakral, diperlakukan sebagai nafas dan jiwa kayu dan disatukan kembali dengan salawaku yang sudah jadi di loteng penyimpanan rumah sakral tempat biasanya berada. Serpihan serupa disimpan dengan hati-hati setiap kali rumah baru atau kano/perahu bercadik dibangun/dibuat. Dipercayai bahwa jika “jiwa” tidak dijaga, perahu akan tenggelam, rumah tidak akan kuat, dan salawaku tidak akan memberikan perlindungan. Praktik semacam itu mencerminkan protokol serupa yang diamati saat berburu, misalnya serpihan diambil saat menyiapkan tusukan tempat babi atau kuskus diangkut dan disiapkan.

                Meskipun semua laki-laki dewasa mungkin memiliki satu atau lebih salawaku, individu-individu tertentu dianggap sangat berpengalaman dan tepat dalam pembuatannya, meskipun hal ini cenderung untuk keahlian ritual mereka dan pemahaman tentang proses yang benar daripada dikarenakan kemampuan  soal ukiran atau dekorasi. Banyak orang menyatakan bahwa mereka tidak membuat salawaku – “mereka tidak tahu caranya” – dan ini berarti bahwa misalnya dalam kasus klan Matoke-pina di Rouhua, kepala klan yaitu Iako, menghabiskan banyak waktu untuk membuat salawaku untuk orang lain. Pada tahun 1970, ketika saya mewawancarainya tentang  masalah tersebut, Iako baru saja menyelesaikan 1 salawaku untuk Tapone, kepala klan Sounaue-ainakahata. Iako menjelaskan kepada saya bahwa, jika sebuah rumah sakral memiliki 4 salawaku, maka 2 salawaku dapat digunakan (atau dibawa keluar untuk digunakan), tetapi 2 salawaku harus dibiarkan tetap tinggal, jika ada 3 salawaku maka 2 salawaku boleh digunakan dan 1 harus tetap tinggal, jika ada 2 salawaku maka 1 salawaku harus tetap tinggal dan 1 salawaku boleh digunakan; tetapi jika hanya ada 1 salawaku maka 1 salawaku itu harus tetap tinggal dan tidak boleh digunakan (atau dibawa keluar). Pembuatan salawaku terjadi karena diminta pada saat-saat tertentu dalam siklus ritual yang berpuncak pada tarian auwoti, yang secara tradisional mendahului aktivitas potong kepala atau pengayauan. Pembuatan salawaku mungkin juga dipicu oleh pengakuan para tetua bahwa aniaue monne (salawaku sakral) lama perlu diganti. Ini kemudian menjadi “hiburan” utama bagi sekelompok kecil laki-laki yang lebih tua sampai pekerjaan selesai, yang mungkin memakan waktu beberapa bulan. 

 

Dekorasi dan Penggunaan Warna

                Sebelum mempertimbangkan bahan-bahan dekoratif dan cat yang ditambahkan ke kayu, perlu untuk menyebutkan satu fitur ukiran pada bagian “wajah” salawaku yang menyediakan – seolah-olah – templat garis besar, dan yang dapat mempengaruhi penerapan pola keramik, kerang atau cat. Ini adalah “punggungan” sempit (muneka) yang membentang dari atas ke bawah. Dari 24 objek pada Gambar 5, 2 objek tidak memiliki punggungan, 8 objek memiliki 1 punggungan, 2 objek memiliki 2 punggungan dan 12 objek memiliki 3 punggungan. Jika kayu yang tersisa tidak cukup menghasilkan bubungan, alur kadang-kadang cukup. Dimana ada punggungan tunggal, ini berjalan secara vertikal di tengah perisai, mencerminkan punggungan yang lebih tebal yang telah dijelaskan sebagai kebalikannya. Dimana ada 2 punggungan, ini secara vertikal membagi 2 sisi salawaku yang ditentukan oleh garis tengah imajiner. Dimana ada 3 punggungan, 1 berjalan secara vertikal di sepanjang garis tengah dan 2 secara vertikal membagi 2 setiap sisi salawaku. Baik pada salawaku 2 bubungan dan 3 bubungan, bubungan vertikal yang membelah setiap sisi melengkung sedikit di bagian atas dan bawah sedemikian rupa sehingga bagian awal dan titik akhir adalah sudut atas bawah salawaku. Dua dari salawaku tiga punggungan milik Marpati Sounaue dan 1 lagi milik Hatarai Sounaue, menunjukan bahwa ini adalah gaya khusus untuk klan Sounaue-ainakahata. Pada salawaku [milik] Sahukone Neipani-tomoien, punggungan tunggal sangat lebar (2,5 cm). Meskipun variasi ini tampaknya cocok dengan tradisi yang diwariskan oleh pembuat dari tempat salawaku sebelumnya (misalnya, pola 3 bubungan pasti ditransmisikan antar generasi antar pembuat di klan Sounaue-ainakahata dan Matoke-hanaie), ada korespondensi yang tidak cukup kuat untuk menyarankan bahwa ini terkait dengan klan yang berbeda atau rumah-rumah sakral. 

Gambar 5

                Fitur yang paling menonjol dari dekorasi tambahan adalah penggunaan potongan kecil pecahan keramik kaca sebagai tatahan, dalam beberapa kasus diganti dengan potongan cangkang terkelupas dari Cephalopoda Nautilus pompilius, yang dikenal di Nuaulu sebagai nakatua saha (secara harfiah bermakna “kakatua laki-laki yang baru menikah) dan dalam bahasa Ambon-Melayu yaitu “kakatua laut”, keduanya dinamai karena kemiripan antara cangkang nautilus dan paruh kakatua. Bulu dari kakatua jambul salmon dan cangkang Nautilus sering dipasangkan dengan benda-benda keramat suku Nuaulu, seperti pada salawaku yang dijelaskan di sini, dan pada hiasan kepala (orane) yang dikenakan oleh laki-laki penjaga rumah-rumah sakral klan. Pada 1 salawaku, 2 cangkang nautilus dipasang di kedua sisi pegangan di belakang salawaku. Potongan-potongan yang sudah disiapkan (kikau atau kika huna [secara literal bermakna “kikau bulan]) kira-kira berbentuk lingkaran dan berdiameter 1-1,5 cm (BM As. 1.175). Pecahan-pecahan keramik yang ada di British Museum semuanya kecuali dari bejana putih berhias merah, tetapi sebagian besar berwarna putih murni. Sebagian besar terbuat dari piring porselen abad ke-20 yang murah, meskipun dalam satu kasus ada penggunaan “pola pohon pinus” biru di Staffordshire Inggris abad ke-19 yang jelas berwarna biru. Pecahan-pecahan tersebut dipasang ke salawaku menggunakan resin, meskipun dalam beberapa kasus juga menggunakan isi dalam dari baterai. 24 salawaku yang dijelaskan memiliki antara 26 dan 100 kikau, dengan rata-rata yaitu 70 kikau. Sebagian besar salawaku memiliki 60-70 kikau, dan 5 diantaranya memiliki kikau di atas 90.

                Bahan perwarna sebagian besar menggunakan cat minyak yang digunakan dengan “tongkat” kecil, meskipun cenderung memberikan hasil akhir seperti “belang-belang”, mungkin karena paparan dan praktik pengenceran dengan parafin atau minyak kelapa. Pada semua spesimen yang sudah jadi, cat diaplikasikan pada bagian depan salawaku. Aplikasi cat di bagian belakang (atau tepi) itu bervariasi. Sebelas punggung salawaku benar-benar polos, pada 2 salawaku ada pola zig-zag terus menerus berwarna merah, pada 1 salawaku ada pola zig-zag tidak sempurna, sementara pada 3 salawaku ada pola yang lebih rumit : bentuk berlian digambarkan dalam 4 warna (hitam-hijau-kuning-merah), pola zig-zag berwarna kuning-hijau-merah, dan 1 salawaku dengan bentuk setengah lingkaran merah dan lingkaran berwarna kuning dan hijau, dan segitiga berwarna merah di sepanjang pola geometris yang ditorehkan dari punggungan tengah (Gambar 5 [18]). 

Gambar 5 - lanjutan

                Pekerjaan pengecatan di bagian depan salawaku pada dasarnya adalah “pengecatan” sekunder di antara kikau, tercermin dalam urutan pekerjaan yang dilakukan, lewat penjelasan yang diberikan oleh pembuatnya, dan bagaimana salawaku dikatakan efektif dalam konteks penggunaan. Elemen desain tambahan ini terutama garis (melengkung dan lurus), zig-zag, setengah lingkaran dan loop konsentris, bentuk geometris lainnya seperti benteng-bentengan atau bangunan lainnya, persegi panjang, berlian, segitiga, beberapa silangan (bentuk salib), beberapa hewan dan figur humanoid, dikombinasikan dengan balok warna. Warna yang digunakan antara lain hitam, biru, hijau, kuning dan merah. Dalam 3 kasus, ada kombinasi 4 warna (hijau-kuning-merah-biru, dan hitam-merah-kuning-hijau (Gambar 5 [18], 5 [23] dan 5 [24]), tetapi kebanyakan yang ada adalah kombinasi dari 3 warna : merah-biru-hitam (3 kotak), hitam-kuning-hitam (2 kotak), dan 1 kotak masing-masing untuk warna merah-kuning-hitam, merah-hijau-hitam, merah-biru-tidak dicat, dan merah-kuning-tidak dicat. Beberapa salawaku menggunakan kombinasi 2 warna : merah-biru, merah-tidak dicat, merah-hijau, dan merah-hitam, dan 1 tidak dicat. Jadi, merah adalah warna yang paling umum, muncul atau digunakan pada 14 salawaku yang dicat, diikuti warna hitam (8 kotak), biru (6 kotak), kuning (5 kotak), dan hijau (3 kotak). Seperti pada pola bubungan, dimungkinkan untuk melihat penggunaan warna yang terkait dengan pembuat tertentu dan rumah-rumah sakral (misalnya merah-hijau-hitam sangat disukai oleh Iako Matoke-pina, sedangkan warna hitam-kuning-merah dikaitkan dengan Hatarai dan Sounaue-ainakahata kapitane rumah-rumah sakral, keduanya di Rouhua). Namun demikian, sulit untuk melihat kombinasi warna berkorelasi jelas dengan perbedaan masing-masing klan. Pada beberapa salawaku sakral yang sangat tua (misalnya milik Saute Neipani-tomoien, lihat lampiran gambar 5 [10]) catnya dikaburkan oleh kotoran bertahun-tahun. Secara keseluruhan, polanya mewakili variasi pada tema-tema yang telah familiar dan “modis”.      

Makna dari unsur-unsur desain

                Tanggapan berulang atas pertanyaan saya tentang “makna” desain salawaku adalah bahwa itu murni “dekoratif”. Bagi Hatarai Sounaue-ainakahata, penting bahwa salawaku itu “terlihat bagus” sehingga ketika ada tarian auwoti, orang akan melihat dan berkata “salawaku yang bagus”. Menai Sounaue-ainakahata tampak agak tidak yakin apakah pola pada salawaku miliknya memiliki makna atau tidak dan, setelah saya “memberitahu” kepadanya bahwa pola zig-zag itu mungkin seekor ular, dia setuju, pada awalnya tidak yakin, tetapi kemudian berkeliling memberi tahu semua orang. Komisi Soumori lebih berani, mengatakan bahwa individu dapat memberikan maknanya sendiri pada salawaku tetapi dia tidak selalu mengetahuinya. Kemudian, dalam percakapan yang sama, dia dapat “mengidentifikasi”pola pada salawaku milik klan lain. Iako Matoke, yang mengawasi pembuatan salawaku pada suatu kesempatan yang dijelaskan dalam artikel saya tahun 1990, mengatakan bahwa desain yang diterapkan (terlepas dari penggantian aniaue monne milik klan Matoke) adalah baru dan “muncul dari kepalanya”. Dia juga membuat salawaku dengan mempertimbangkan orang-orang tertentu dan mengidentifikasi masing-masing pemilik potensial. Dimana beberapa tetua secara aktif terlibat dalam membuat desain salawaku, mereka akan berbagi pendapat tentang kesesuain elemen desain yang berbeda dan maknanya, tetapi beberapa elemen mungkin hanya memiliki arti bagi pembuatnya sendiri. Sikap yang tampaknya ad hoc dan kadang-kadang kontradiktif seperti itu, konsisten dengan tidak adanya wacana yang lebih luas tentang makna dan keengganan dalam memberikan interpretasi parktik-praktik ritual (Ellen, 2012 : 14-16; Valeri 1994), sebuah penghormatan kepada orang yang lebih tua dalam soal-soal itu, dan kurangnya verbalisasi yang lebih mengingatkan pada produk-produk seni asal Papua Nuigini (misalnya Forge, 1965; O’Hanlon, 1992; Sillitoe, 1980). Konsekuensi dari sikap keengganan ini adalah mengabaikan ikonografis dan penampilan yang mana kekuatan ekspresif desain salawaku lebih penting daripada semiosis. 

deskripsi klan-klan pemilik salawaku (lihat gambar 5)

                Jadi, pernyataan Hatarai tampaknya sebagian besar akurat. Namun demikian, ada beberapa fitur yang cukup spesifik dengan makna artikulasi yang tidak terbantahkan. Untuk satu hal, beberapa elemen pengisi diberi nama (misalnya setengah lingkaran digambarkan sebagai “setengah bulan” (hunane siaie) dan zig-zag sebagai “ular” (takene)), sedangkan elemen yang paling menonjol dengan makna transparan adalah terkadang hewan-hewan totem. Dengan demikian, pada gambar 5 [7] kita dapat melihat representasi terpisah dari kuskus marsupial jantan – Phalanger (Spilocuscus) maculatus (mara makinete) – totem utama untuk sub klan Sounaue-ainakahata (Ellen, 1972). Salawaku lain yaitu Gambar 5 [1] merepresentasikan biawak (puo : Varanus indicus), totem utama untuk marga Matoke (dan juga totem sekunder untuk Peinisa, Pia dan Neipani-tomoien), salawaku lain yaitu gambar 5 [19] merepresentasikan buaya (puha : Crocodylus porosus), totem untuk Sounaue-aipura, Sopanani, Matoke dan Huni, meskipun sama sekali bukan totem utama. Pada salawaku milik Waenisa, zig-zag dikatakan mewakili teke patona yaitu ular sanca batik (Python reticulus), totem utama dari klan Soumari, klan istrinya.  Begitu pula dengan salawaku milik Patioka Sounaue-ainakahata (gambar 5[2], 5[4] dan 5[14], Komisi mengatakan pola tersebut merepresentasikan jimat menakut-nakuti (wate) nutu inae, yang diadopsi Patioka dari marga istrinya (Neipani-tomoien) saat menikah atau iai nisi pina (yaitu dengan menyetujui untuk tinggal secara uxori-patrilokal dan melakukan pekerjaan untuk mertuanya dengan imbalan pengurangan harta perkawinan). Dengan demikian, elemen desain tidak hanya berasal dari imajinasi pembuatnya atau dari cadangan yang terkait langsung dengan klan untuk siapa elemen-elemen tersebut dibuat, tetapi diperoleh melalui transmisi akhir. Salawaku lain (tidak digambarkan dalam sampel yang diperiksa secara rinci di sini) memuat gambar enu (penyu laut : enu ikae, Dermochelys coriacea dan enu hunane, Eretmochelys imbricata), totem untuk sub-klan Neipani-tomoien (Ellen, 1998). Penjelasan berbeda, dari Lihuta Matoke-pina menjelaskan bahwa pola silangan/krois (atau bentuk salib) pada salawakunya (gambar 5[20] adalah unai nuae – ikan bintang (star fish), dan dalam satu kasus – pola silangan/krois pada salawaku milik Aipinua Matoke-hanaie – terdapat figur manusia skematis (gambar 5[1]. Kombinasi warna dikaitkan tanpa arti tertentu, meskipun seperti semua fitur salawaku diterapkan untuk mencapai efek “gelombang” yang paling mempesona, dengan banyak kontras (Gell, 1998 : 23, 72, 94 dan seterusnya; Morphy, 1989). Dalam beberapa kasus, warna yang dipilih mungkin mencerminkan tidak lebih dari pilihan cat yang tersedia di toko-toko di Seoa, Tamilouw, Amahai dan Masohi yang dekat. Jadi, terlepas dari contoh-contoh spesifik ini, kita mungkin setuju dengan Boas (1955 [1927] : 279) bahwa : “Tidaklah mungkin untuk menetapkan masing-masing dan semua elemen ..........suatu fungsi yang signifikan, tetapi banyak dari elemen yang digunakan tidak memiliki arti, dan digunakan murni untuk tujuan hiasan semata”.

======== bersambung ======

Tidak ada komentar:

Posting Komentar