Kamis, 26 Januari 2023

Portugis dan Perdagangan Cengkih di Asia sepanjang Abad XVI

 

 [C.R. de Silva]

 

  1. Kata Pengantar

Wilayah Maluku telah dikenal  di dunia sebagai sumber rempah-rempah terkhususnya cengkih pada awal-awal abad Masehi. Sebagai sumber satu-satunya produsen cengkih, maka Maluku menjadi tujuan pencarian, pembelian dan usaha untuk menguasai wilayah itu oleh para pedagang lokal dan bangsa Asing. Misalnya, saat Portugis mulai mengetahui lokasi sumber cengkih pada akhir abad ke-15, maka mereka berusaha mengirim ekspedisi pada awal abad ke-16 untuk mencari lokasi Maluku, begitu juga dengan Spanyol, Belanda, dan Inggris. Hampir 1 abad lamanya di abad ke-16 itu, Portugis berusaha dengan segala upaya untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah karena alasan keuntungan yang besar.

C.R. de Silva, mengurai hal itu dalam artikel sepanjang 10 halaman ini. Artikel ini berjudul The Portuguese and the Trade in Cloves during the Sixteenth Century. Artikel ini pertama kali dimuat oleh Mohd Amin Hassan dan Nik Hassan Shuhaimi Nik Abd Rachman dalam buku yang mereka editori The Eighth Conference : International Association of Historians of Asia. Selected Papers, pada halaman 251-260 yang diterbitkan tahun 1988 oleh Universiti Kebangsaan Malaysia, Selangor. Artikel ini kemudian dipublikasikan ulang oleh Michael N. Pearson dalam buku Spices in the Indian Ocean World, bab ke-12, halaman 259-268, yang terbit tahun 1996. 

Pada kajian ini, de Silva mengurai pola perdagangan cengkih yang berlangsung sepanjang abad ke-16 yang mana Portugis terlibat dalam upaya mengontrol dan memonopoli perdagangan itu. Ia juga menyajikan harga-harga cengkih, jika dibeli langsung di sumbernya yaitu Maluku, dan beberapa tempat. Ia juga mengurai bahwa pada akhirnya Portugis gagal dalam upaya monopoli karena beberapa penyebab, seperti korupsi dalam perdagangan cengkih oleh para pejabat Portugis, pemberian hak istimewa dari Radja Kerajaan Portugis dalam soal pengangkutan cengkih, kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki Portugis, rentang jarak yang jauh dari Malaka ke Maluku serta jalur pelayaran yang sulit dan memakan biaya dan waktu pada masa itu. Jika kita membaca kajian ini, perdagangan rempah-rempah dalam hal ini perdagangan cengkih tidaklah sederhana yang dipikirkan. Ada banyak aktor yang terlibat, ada dimensi, ada “drama” dalam bidang sosial-ekonomi-politik yang “bermain” pada proses ini.

Kami menerjemahkan artikel ini agar kita bisa lebih mengetahui proses yang terjadi pada abad ke-16 itu. Artikel ini terdiri dari 40 catatan kaki, sumber referensi, dan sayangnya tidak ada gambar ilustrasi. Pada hasil terjemahan ini, kami menambahkan beberapa gambar pendukung dan catatan tambahan, dan semoga kajian ini bisa bermanfaat.

 

  1. Terjemahan

Portugis mempertahankan posisi dominasi dalam perdagangan cengkih Asia selama kurang dari 1 abad. Bahkan selama periode itu, dominasi mereka ditantang – terkadang berhasil – oleh saingan dagang mereka. Namun demikian, sebuah studi tentang partisipasi mereka dan upaya untuk mengontrol perdagangan cengkih selama abad ke-16, bernilai karena 3 alasan. Pertama-tama, meskipun diketahui bahwa cengkih telah menjadi barang dagangan dalam perdagangan Asia sejak abad ke-3 SM1, hanya ada sedikit informasi tentang kuantitas yang diperdagangkan, harga yang dibayarkan, dan organisasi perdagangan hingga tiba pada catatan-catatan bangsa Portugis abad ke-16. Catatan-catatan Portugis, meskipun tidak setebal arsip-arsip Belanda yang berkaitan dengan periode berikutnya dan memang jauh lebih lengkap daripada yang diharapkan, masih menyediakan banyak informasi tentang semua aspek ini.

Kedua, studi tentang partisipasi Portugis dalam perdagangan cengkih menggambarkan sifat monarki Portugis di Timur. Monarki Portugis tidak hanya berdagang di Asia atau bahkan hanya memonopoli perdagangan timur-barat dalam beberapa produk utama; mereka juga berusaha menggunakan kekuatan militernya untuk mengontrol perdagangan beberapa produk, untuk secara artifisial menekan harga pembelian produk-produk ini dan untuk mendapatkan keuntungan besar dalam distributif perdagangan baik di Asia maupun di Eropa2. Perdagangan cengkih adalah wilayah dimana monarki Portugis memiliki kepentingan khusus, karena terlepas dari nilai instrinsik perdagangan, konsentrasi produksi di beberapa pulau membuat kontrol sumber pasokan menjadi operasi yang layak. Ketiga, studi jenis ini juga dapat digunakan untuk mengilustrasikan jangkauan dan keterbatasan kekuatan militer dan perdagangan bangsa Portugis. Setelah dasawarsa kedua abad ke-16, Portugis hampir tidak terbantahkan menguasai laut lepas di Samudra Hindia dan Kepulauan Indonesia. Namun, karena luasnya lautan yang harus diseberangi sangat luas dan kekuatan jumlah orang Portugis itu kecil, kekuatan Portugis di wilayah tertentu mana pun dapat dilawan oleh kekuatan lokal orang Asia, dan Portugis seringkali harus bergantung pada sekutu pribumi untuk mempertahankan kekuatan mereka di Asia3. Kisah perdagangan cengkih menunjukan bahwa meskipun Portugis dengan cepat memperoleh posisi dominan di Samudra Hindia, penyempitan kesenjangan teknologi dengan adopsi senjata-senjata Eropa dan metode pembuatan kapal oleh kekuatan bangsa Asia, membuat semakin sulit bagi Portugis mempertahankan dominasi politik-ekonomi mereka bahkan sebelum saingan mereka, Inggris dan Belanda tiba di wilayah tersebut. 

Pada awal abad ke-16, cengkih tidak dibudiyakan tetapi tumbuh liar di 5 pulau kecil pantai barat Halmahera. Pulau-pulau ini, yang secara kolektif dan secara lokal dikenal dengan nama Maluku (Moluccas) adalah Ternate, Tidore, Moti, Makian dan Bacan, dan pada saat itu pulau-pulau tersebut adalah satu-satunya sumber cengkih di seluruh dunia4. Cengkih adalah kuncup bunga kering yang belum terbuka zyzygium aromaticum (Eugenia caryophyllata Thunb.) dari familie Myrtaceae. Pohon cengkih mulai berbunga setelah tahun ke-5 atau ke-6 dan dapat hidup hingga 75 tahun. Berbunga terjadi 2 kali setahun, biasanya pada bulan September dan Desember. Para “pendatang” awal berkomentar tentang keharuman yang meresap ke seluruh hutan selama musim berbunga. Hasil bervariasi tidak hanya berkaitan dengan umur pohon tetapi juga dengan lokasinya untuk tumbuh paling baik di iklim lembab di tanah kering yang baik, seperti yang ditemui di lereng bukit Kepulauan Maluku. Hasil maksimum per pohon bisa mencapai hingga 70 pon atau lebih dari setengah kuintal Portugis, tetapi ini adalah hasil luar biasa yang dikumpulkan setiap 3 atau 4 tahun sekali. Di lain waktu, hasilnya bisa jauh lebih sedikit. Bangsa Portugis dengan demikian membedakan antara antara “musim besar” ketika hasil panen luar biasa di beberapa atau semua pulau, dan tahun-tahun lain ketika hasilnya sedang atau kecil. Juga diketahui bahwa curah hujan tahunan berdampak pada tingkat panen cengkih5

Meskipun cengkih tumbuh liar, pohon-pohong tingginya bisa mencapai 5 kaki itu dijaga dan dilindungi dengan hati-hati oleh para penduduk. Ketika pucuk coklat kemerahan siap dipetik, para pemanen membersihkan tanah di bawah pohon. Seorang laki-laki kemudian memanjat pohon, mengangkat keranjang dengan tali, mengikat keranjang dipunggungnya, mengambil cengkih dengan tangannya dan memasukannya ke dalam keranjang. Kuncup cengkih yang tumbuh di cabang-cabang yang tidak terjangkau dipukul dengan sepotong kayu/bambu dan diambil/dipungut di tanah. Kuncup-kuncup yang dikumpulkan kemudian dikeringkan atau dijemur di bawah sinar matahari atau dengan pengasapan selama 2 hari dan menjadi hitam saat dikeringkan. Beberapa penulis menyebutkan bahwa air garam dipercikkan pada cengkih selama proses pengeringan untuk membantu mengawetkan cengkih dengan lebih baik. Penting untuk mengeringkan cengkih dengan benar, karena jika tidak, cengkih dapat kehilangan berat massanya karena dehidrasi selama perjalanan ke tempat tujuan, sehingga mengakibatkan kerugian bagi pembeli. Kuncup cengkih itu sendiri ½ hingga ¾ inci panjangnya dan disebut “crave de cabeca”. Batang tempat kuncup cengkih juga dikumpulkan dan dikeringkan untuk diekspor sebagai varietas inferior dan disebut “cravo de bastao”. Cengkih yang lebih besar/ atau “gemuk” harganya lebih murah tetapi sering digunakan untuk tujuan yang sama6.

                Cengkih dibutuhkan sebagian untuk produksi minyak cengkih yang mengandung eugenol dan digunakan baik sebagai parfum maupun untuk pengobatan berbagai penyakit. Cengkih itu sendiri dibuat menjadi pengawet dengan cuka atau gula dan dijual dalam bentuk ini terutama di India. Cengkih juga digunakan untuk mengharumkan nafas, untuk mengunyah dengan sirih dan sebagai obat bius lokal untuk sakit gigi. Namun sebagian besar permintaan tidak hanya di Eropa tetapi di Cina, India dan Muslim Timur Tengah7.

                Selain cengkih, Maluku hanya mengekspor sedikit kecuali beberapa akar jahe yang dikeringkan dengan kapur untuk pengawetan. Ikan dari laut sekitar, unggas dan kambing serta babi, madu lebah, tebu dan buah-buahan tropis merupakan bahan makanan yang ditemukan di pulau-pulau tersebut tetapi secara keseluruhan daerah tersebut mengimpor makanan, terutama tepung sagu dan sebagian besar beras dari pulau tetangga, Halmahera. Selain bahan makanan, impor utama tampaknya adalah tekstil. Diketahui bahwa masyarakat Maluku memang memproduksi kain dari kulit pohon namun kain katun kasar banyak diminati. Barang-barang lain yang akan ditukar pedagang dengan cengkih termasuk emas dan perhiasan emas, perak, porselen, katun halus dan sutra untuk bangsawan, vermilion, merkuri, pisau, gunting, belati, gong Jawa, baskon timah dan tembaga, koin tembaga Cina yang disebut caixas dan manik-manik kaca8.

                Karena pelayaran dari Malaka atau Jawa ke Maluku jauh lebih sulit karena pola angin daripada pelayaran ke Ambon atau Kepulauan Banda, praktik tersebut berkembang dimana cengkih dibawa ke Ambon atau Kepulauan Banda untuk dijual. Thome Pires, seorang penulis  buku Suma Oriental asal Portugis menulis bahwa hingga tahun 1511, perdagangan rempah-rempah dibagi antara Pate Cucuf dari Agrasya  (Jawa) dan Khodja Deva dari Maluku, yang antara mereka mengirim 6 sampai 8 junk untuk mengangkut lebih dari 5000 bahar cengkih dan sejumlah rempah-rempah lain dari Kepulauan Rempah-rempah9

                Portugis segera menyadari setelah pelayaran Vasco da Gama pada tahun 1497/1498 bahwa cengkih hanya berasal dari Kepulauan Indonesia dan disalurkan melalui pelabuhan Malaka. Jadi, setelah merebut Malaka pada bulan Agustus 1511, Alfonso de Albuquerque mengatur agar kapal-kapal yang dikapteni oleh Antonio de Abreu, Francisco Serrao dan Simao Afonso berlayar ke arah timur untuk menemukan kepulauan rempah-rempah. Kapal de Abreu dan Afonso mencapai Amboina dan Pulau Banda, dimana Banda menjadi sumber utama pala dan cengkih dan kembali dengan muatannya ke Malaka. Francisco sebaliknya berlayar melalui rute lain, karam di karang dan dibawa ke Ternate. Ia diterima dengan baik oleh Sultan Dayan Sirrulahb dan menetap di Pulau Ternate10.

                Kedatangan Portugis di Kepulauan Rempah-rempah tidak serta mengubah pola perdagangan cengkih. Kapten Portugis di Malaka mengirimkan kapal untuk membeli cengkih dan kapal-kapal ini mengunjungi pelabuhan Jawa, Ambon dan Kepulauan Banda serta Maluku untuk pembelian itu. Pedagang pribumi Malaka serta pedagang Jawa diizinkan berdagang cengkih tanpa gangguan11. Namun keadaan ini berubah pada tahun 1522, ketika perdagangan cengkih dijadikan monopoli monopoli Portugis. Mengomentari faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan ini, Vitorino Magalhaes Godinho menekankan intrusi Spanyol ke kepulauan rempah-rempah. Pada awal November 1521, 2 kapal Spanyol dari ekspedisi Fernao Magalhaes telah tiba di Tidore setelah berlayar mengelilingi Amerika Selatan dan telah mendirikan sebuah gudang di sana. Portugis telah melakukan serangan militer dan angkatan laut yang kuat di bawah pimpinan Antonio de Brito berhasil menghancurkan gudang dan menangkap satu-satunya kapal Spanyol yang tersisa. Untuk mengamankan Maluku dari gangguan lebih lanjut, Portugis mendirikan benteng di Ternate dan membuat perjanjian dengan penguasanya. Godinho berpendapat bahwa kebutuhan untuk mencari sumber pendapatan untuk mendukung benteng merupakan faktor utama dalam keputusan untuk monopoli kerajaan. Namun, faktor lain yang juga dia sebutkan – kecenderungan monopoli yang berlaku dalam kebijakan Portugis mungkin bahkan lebih penting. Pada tahun 1520, monarki Portugis telah memutuskan bahwa pendapatan dapat dimaksimalkan dengan monopoli kerajaan dalam produk-produk tertentu dan cengkih menempati urutan teratas dalam daftar. Mapannya kehadiran militer Portugis di Ternate hanya menyediakan sarana untuk penegakan monopoli. Pada tahun 1523 ketika para pedagang datang untuk membeli cengkih dari Maluku, Antonio de Brito memaksa mereka untuk menyerahkan semua cengkih yang dibeli ke gudang Portugis12.

                Pendirian benteng dan monopoli segera melibatkan Portugis dalam politik lokal Maluku. Pulau-pulau itu sendiri berukuran kecil dan memiliki total populasi hingga 15.000. Namun, sebagian besar karena kekuatan ekonomi yang ditimbulkan oleh perdagangan cengkih, pulau-pulau tersebut telah mengembangkan 2 kerajaan yang kuat dan 2 kerajaan yang kurang kuat. Kerajaan terkuat adalah Ternate. Memang, meskipun orang Portugis kontemporer menyebut semua penguasa dari 4 kerajaan besar itu “Raja”, Tome Pires membuat perbedaan dengan melaporkan bahwa hanya penguasa Ternate yang disebut Sultan13 dan yang lainnya disebut “Raja”14. Sultan Ternate juga menguasai setengah dari Pulau Moti dan memiliki akses pasokan makanan melalui kedaulatannya atas Ambon dan Halmahera Utara. Dia memperoleh pasokan besi dari Kepulauan Banggai dan memang kekuatannya tampaknya telah diakui di wilayah yang luas di bagian timur Kepulauan Indonesia termasuk Seram, sebagian Sulawesi dan Buton. Namun menjelang datangnya Portugis, Ternate disaingi oleh Tidore. Kekuasaan penguasa Tidore tidak hanya meliputi Pulau Makian dan sebagian Moti, tetapi juga sebagian besar Halmahera dan pantai barat Papua serta beberapa pulau kecil. Kerajaan Tidore sama pentingnya dengan Ternate sebagai pemasok cengkih dan telah membangun kerajaan yang hampir sama tangguhnya.

                Kedua kerajaan kecil lainnya jauh lebih lemah. Yang pertama dari Kepulauan Kasirula dan disebut Kerajaan Bacau karena memperluas kekuasaannya atas Kepulauan Bacan. Raja Bacan juga mengklaim kekuasaan atas beberapa desa di Seram Utara dan atas distrik Gane di Halmahera. Kerajaan lainnya adalah Jailolo yang berbasis di Halmahera (dan dengan demikian di luar Maluku sendiri). Jailolo agak kuat sebelumnya tetapi mulai menurun.

Upaya Portugis di Ternate untuk memonopoli perdagangan cengkih ditentang oleh penguasa Tidore. Ini bukan semata-mata karena alasan politik. Pedagang Portugis paling awal di Maluku menganggap cengkih sangat murah menurut standar mereka. Empat bahar setengah kuintal dan 21 arrateis (sekitar 600 pound Inggris) dapat ditukar dengan kain yang harganya hampir cruzado (400 reis) di Malaka atau bahkan lebih murah di Gujarat. Dengan meningkatnya persaingan setelah masuknya Portugis ke pasar, harga-harga makin naik. Pada tahun 1517 ada laporan tentang seorang Portugis yang telah membayar 8 sampai 7 cruzado per bahar tetapi ini rendah dibandingkan dengan apa yang ditawarkan orang Spanyol di Tidore pada tahun 1521/1522. Penduduk pulau yang telah ditawari seluruh bahar tembaga untuk 4 bahar cengkih atau pisau kain dalam jumlah besar dan barang dagangan lainnya dengan imbalan 1 bahar cengkih tidak mau menerima harga tetap 3 cruzado yang ditetapkan oleh gudang-gudang Portugis15

Perang berakhir dengan kekalahan Tidore yang menyetujui monopoli Portugis dan menyerahkan setengah dari Makian ke Ternate sebagai harga perdamaian pada tahun 1526, tetapi segera setelah itu ketika 2 kapal Spanyo dari armada Frey Garcia de Loaysac  tiba di Tidore mereka disambut dengan antusias. Selama 3 tahun berikutnya Tidore dengan bantuan Spanyol memulihkan hampir seluruh Pulau Makian dan mempertahankan kekuasaannya di Halmahera. Selama ini mereka dipaksa kembali oleh kapal Alvaro de Saavedra yang berangkat dalam pelayaran eksplorasi dari Meksikod. Portugis memperkuat pasukan mereka di Ternate tetapi Malaka terlalu jauh untuk memberikan bantuan yang cukup untuk memperoleh kemenangan. Perselisihan pribadi melemahkan upaya Portugis dan secara umum orang Portugis di Kepulauan Banda dan Ambon, lebih suka mengambil untung dari perdagangan terbuka yang sekali lagi dikembangkan melalui pedagang pribumi daripada mengusir orang Spanyol dan memaksakan kembali monopoli kerajaan.

Kegagalan upaya Spanyol untuk menemukan rute kembali melintasi Pasifik itulah yang menyelamatkan Portugis. Ancaman pengalihan perdagangan cengkih melalui Spanyol Amerika menghilang dan akhirnya pada tahun 1529 Portugis merebut Tidore dengan penyerangan dan memaksanya untuk berdamai, menyetujui monopoli kerajaan dan menyerahkan seluruh Makian ke Ternate. Kemenangan ini dikonfirmasi oleh perjanjian tahun 1529 antara Portugis dan Spanyol, dimana Raja Spanyol menyerahkan semua klaim atas Maluku dengan imbalan kompensasi. Pada tahun 1533, Gilolo yang menolak untuk menyetujui persyaratan yang diberlakukan oleh Portugis diserang dan dipaksa untuk takluk. Maluku sekarang berada di bawah kekuasaan Portugis16.

Kerajaan  Portugis segera menyadari bahwa kemenangan militer melawan musuh lebih muda daripada memaksakan monopoli perdagangan atas rakyatnya sendiri. Jelas bahwa monopoli kerajaan yang diproklamirkan pada tahun 1522 hanya ada di atas kertas. Jelas juga bahwa untuk memperkuat kekuasaan Portugis di Maluku dengan mendorong pemukiman penjajah Portugis di sana diperlukan pelonggaran monopoli agar pemukim dapat tetap ada di sana hanya dengan mendapat untung dari perdagangan cengkih. Jadi pada tahun 1526, Afonso Mexia, vedor India mengendurkan monopoli kerajaan yang kaku. Vedor India setiap tahun meminta sejumlah tertentu cengkih atas nama Radja dan tidak ada ekspor yang diizinkan sampai jumlah ini terpenuhi. Namun setelah itu, cengkih digudang dapat dijual dengan persentase keuntungan tetapm pertama kepada Kapten, pejabat dan prajurit benteng dan kemudian kepada para pedagang. Keuntungan yang didapat akan digunakan untuk memelihara benteng dan garnisunnya17.

Ini terbukti bukan solusi. Keuntungan yang bisa didapat terlalu besar. Bahkan jika harga resmi dibayar 10 kali lipat di Maluku, pedagang swasta masih bisa mendapat keuntungan besar di Malaka atau di India. Dengan demikian, para Kapten Portugis di Maluku tidak dapat menegakkan monopoli kerajaan dan salah satu dari mereka yang mencoba, yaitu Goncalo Pereira, hampir pasti berutang kematiannya karena usahanya untuk melakukan hal itu. Maka pada tahun 1535, Gubernur Nuno da Cunha memutuskan untuk mengubah sistem tersebut. Pembelian cengkih di Maluku dibuka untuk semua orang dan harganya ditentukan dengan tawar-menawar bebas. Namun, semua cengkih yang diekspor harus dimuat dari kapal-kapal kerajaan atau kapal swasta resmi yang ditujukan ke Malaka dan setelah kargo dimuat, 1/3 dari total itu dianggap dijual ke kerajaan dengan harga 3 pardaos per bahar yang harganya dibayar di Ternate dalam bentuk kain dengan harga yang sama di sana. 2/3 lainnya tetap menjadi milik para eksportir tetapi dia harus membayar choque atau ongkos kirim untuk muatannya ke kerajaan apakah barang itu ada di kapal kerajaan atau tidak. Angkutan yang dikenakan untuk pelayaran Maluku-Malaka ditetapkan sebesar 3/10 dari muatan cengkih. Dengan cara ini, kerajaan dapat memperoleh 16 dari dari setiap 30 bahar yang diekspor dari Maluku dengan biaya nominal18.

Antonio Galvao, Kapten Portugis di Maluku (1536-1539) mencoba menegakkan monopoli kerajaan lama tetapi setelah dia diganti di tengah-tengah penentangan yang luas terhadapnya dari para pedagang dan pemukim Portugis, sistem baru ini diberlakukan dan terus beroperasi selama 3 dekade. Namun, faktor yang sama yang telah melukai kepentingan kerajaan di masa lalu terus bekerja. Kapten Portugis di Maluku diangkat untuk jangka waktu 3 – 4 tahun. Penunjukan ini adalah sesuatu yang didambakan yang diberikan sebagai hadiah atas pengabdian yang lama kepada kerajaan atau untuk pembayaran sejumlah besar uang. Oleh karena itu, tujuan setiap Kapten adalah memaksimalkan keuntungannya selama masa jabatannya yang singkat. Untuk perlindungannya, setiap Kapten membawa rombongan kerabat dan pelayan. Regimento (peraturan) tahun 1566 berusaha membatasi rombongan ini menjadi 20 orang tetapi mereka semua serta pejabat lainnya di benteng di Maluku biasanya berdagang atas biaya mereka sendiri dan tidak ragu menggunakan otoritas dan pengaruh apa pun yang mereka miliki untuk memajukan kepentingan perdagangan mereka seringkali dengan mengorbankan pendapatan kerajaan. Pada tahun 1522, Simao Botelho, Pengawas Pendapatan di India melaporkan bahwa nakhoda-nakhoda Maluku telah memuat dan mengirimkan kapal-kapal pribadinya sementara kapal kerajaan harus tetap tinggal karena kekurangan muatan. Sebuah surat bertarik tahun 1568 mengeluhkan bahwa 2 kapal yang dikirim dari Goa atas biaya kerajaan pada tahun sebelumnya hanya membawa muatan pribadi kecuali 6 bahar cengkih yang dibawa atas nama kerajaan19.

Yang merugikan pendapatan kerajaan adalah berbagai liberdades (hak istimewa) dan foros (hibah) yang diberikan kepada individu. Foros sehubungan dengan cengkih telah diberikan sejak awal. Sejak tahun 1514, ada catatan pemberian hak untuk membawa 50 kuintal cengkih ke Cochin kepada Ruy de Araujo selain hak untuk membawa 50 kuintal yang sudah dimilikinya dan pada tahun 1513 kerajaan memberikan Nicalao de Ferrera hak untuk berdagang dalam 30 kuintal cengkih. Foros semacam itu terus diberikan sepanjang abad ke-16 baik oleh Radja maupun Wakil Raja di India. Pada tahun 1533, Francisco Palha mengeluh kepada Radja Portugis bahwa hak membawa 10 bahar cengkih dari Maluku telah dijual oleh Gubernur India dengan pembayaran 30 pardaos. Setiap anggota Jesuit di Maluku diizinkan untuk mengekspor 4 bahar cengkih bebas biaya dan 1/3 (terco) menjadi hak Radja. Simao Botelho mengeluh pada tahun 1552 bahwa 2 kapal kerajaan yang dikirim pada tahun 1551 begitu penuh dengan barang-barang  foros sehingga hanya 10 bahar yang dibawa untuk kepentingan Raja. Ada hak istimewa tertentu yang sulit untuk dihapuskan. Misalnya Kapten kapal yang berlayar ke Maluku telah memperoleh sejumlah hak istimewa yang diperkirakan bernilai 9.000 hingga 10.000 cruzados per pelayaran sedangkan hak perdagangan untuk sekretaris di atas kapal diperkirakan bernilai 3.000 cruzados. Yang paling utama di antara libardades adalah hak untuk mengangkut cengkih dalam jumlah tetap. Jadi pada pertengahan abad itu, Kapten kapal diizinkan mengangkut 50 kuintal, sekretaris, pilot dan master di kapal masing-masing 30 kuintal, “polisi” dan pemimpin perahu/kapal masing-masing 15 kuintal, pelaut, penembak, tukang kayu, caulker dan dispenser masing-masing 10 kuintal. Mereka semua seharusnya membayar 1/3 dari jumlah ini kepada negara (kerajaan) sebagai terco sehingga bagian untuk sekretaris misalnya benar-benar hanya 20 kuintal. Namun, seiring berjalannya waktu praktik berkembang dimana 1/3 yang diberikan kepada kerajaan dianggap melebihi jumlah total libardades dan dengan demikian sekretaris benar-benar memuat 45 kuintal dan menyimpan 30 untuk dirinya sendiri dan kapten serta semua lainnya. Orang-orang Portugis di kapal melakukan hal yang sama. Terlepas dari libardades ini, setiap anggota awak diizinkan memuat cengkih di kabinnya (camara) jika mereka memilikinya, atau di gasalhado (ruang yang disediakan untuk menyimpan pakaian dan barang-barang pribadi). Peraturan tahun 1566 berusaha membatasi jumlah yang diambil oleh anggota awak kapal dengan menetapkan batas legal pada 60 kuintal untuk Kapten, 36 kuintal untuk pilot, sekretaris dan master, 18 untuk pemimpin kapal/perahu dan “polisi” dan 12 untuk lainnya dengan kewajiban menyerahkan 1/3 dari jumlah ini kepada Kerajaan dan pada tahun 1580-an libardades dikurangi lagi menjadi jumlah aslinya tetapi penegakan tetap menjadi masalah20

Akhirnya, masih ada masalah pelanggaran peraturan secara terbuka atau terselubung. Kapal-kapal orang Jawa terus mengunjungi Maluku dan diperkirakan pada tahun 1566 mereka membawa sekitar 500 bahar cengkih setiap tahun dari Ambon. Kadang-kadang para pejabat Portugis sendiri menjual bagian kargo milik Raja saat di Ambon dengan harga rendah, seolah-olah untuk mendapatkan perbekalan yang sangat dibutuhkan untuk benteng di Ternate. Para nakhoda Malaka diketahui telah membeli cengkih sebelum kapal memasuki pelabuhan sehingga terhindar dari pembayaran ongkos angkut dan terco serta bea cukai. Sebaliknya ada yang mengambil paksa cengkih yang dibawa oleh pedagang dengan harga murah dan baru mengembalikannya setelah membawa cengkih ke kota dan menjualnya untuk mendapat keuntungan. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa Kerajaan Portugis jarang memperoleh pendapatan yang sebenarnya yang dapat dikumpulkannya21.

Kekuasaan Portugis di Maluku memiliki pengaruh penting di pulau-pulau itu sendiri. Pertama-tama, hal itu dengan jelas mengubah keseimbangan militer di wilayah tersebut. Menjelang kedatangan Portugis, Tidore dengan penguasaannya atas Makian dan setelah dari Moti mampu menyaingi Ternate. Pada pertengahan abad, Ternate dengan bantuan Portugis telah merebut Makian dan seluruh Moti dan dengan mudah menjadi kerajaan yang paling kuat di wilayah itu22. Di sisi lain, kehadiran Portugis di Ternate mengancam akan menurunkan posisi penguasanya menjadi “boneka”. Para Kapten Portugis menggunakan kekuatan militer mereka untuk membuat raja kagum dan kadang-kadang menggulingkan raja atau mengasingkan kerabatnya23. Oleh karena itu, perasaan anti-Portugis yang kuat berkembang di Ternate. Hal ini diperkuat oleh faktor ekonomi dan agama. Pedagang Portugis memberikan kain kepada penduduk lokal dan memaksa mereka untuk mengirimkan cengkih dengan harga murah. Yang lebih penting adalah penyebaran Islam. Ketika Portugis pertama kali tiba, umat Islam adalah minoritas di Maluku. Namun, dalam setengah abad berikutnya, Islam menyebar di pulau-pulau itu dan memperoleh pendukung setia dalam diri Sultan Hairun dari Ternate (lahir tahun 1521) yang memerintah pada 1534-1545 dan 1546-1579, secara terbuka membantu sesama Muslim melawan orang-orang Kristen di Ambon. Pembangunan benteng Portugis di Ambon gagal mencegah kemenangan pasukan Islam di sana terutama karena mereka mendapat bantuan dari orang-orang Jawa24.

Konflik antara Ternate dan Portugis menjadi terbuka pada tahun 1558 ketika Kapten Portugis memenjarakan Sultan Hairun dan orang-orang mengepung benteng Portugis. Namun, tidak lama kemudian kedua belah pihak bersatu melawan musuh bersama – yaitu Tidore. Pembangunan benteng Portugis di Ambon dan serangan terhadap orang-orang Kristen di Halmahera memperburuk hubungan dan akhirnya pada tahun 1570, Sultan Hairun dibunuh oleh Portugis. Hal ini menjadi tanda perang terbuka dan pasukan Ternate dipimpin oleh putra Hairun, Baabullah, mengepung benteng Portugis di Ternate hingga akhirnya menyerah pada tahun 157625.

Pecahnya hubungan dengan Ternate dan hilangnya benteng Portugis menjadi titik balik dalam sejarah partisipasi Portugis dalam perdagangan cengkih. Portugis memang memiliki pangkalan di Ambon dari mana mereka mengajukan tawaran untuk pemulihan. Benteng di Amboina diperkuat dan dibuat aliansi dengan Tidore dimana benteng baru Portugis dibangun. Namun demikian, kendali penuh Portugis atas perdagangan cengkih tidak pernah tuntas bahkan sebelum tahun 1570 menjadi bayangan dari dirinya yang dulu. Para pedagang Jawa mulai mendominasi perdagangan ekspor dan para Kapten Portugis di Tidore dan orang Ambon sering bekerja sama dengan mereka. Kerajaan Portugis dengan demikian kehilangan pendapatan yan diperolehnya dari perdagangan cengkih kecuali bea cukai yang dipungut di Malaka dan di pelabuhan-pelabuhan Portugis di pantai barat India26.

Raja Portugis memberikan perintah pada tahun 1584 untuk menghidupkan kembali praktik sebelumnya yaitu mengirimkan kapal setiap tahun ke Maluku agar kerajaan memperoleh 1/3 dari cengkih yang dibawa ke Malaka. Namun, dislokasi sistem dekade sebelumnya sulit diperbaiki. Raja Muda atau Wakil Raja telah memberikan foros kepada banyak pedagang Portugis dan para Kapten Portugis di Tidore dan Ambon yang menjual cengkih secara bebas kepada semua pedagang. Kapten Malaka mulai mengambil bagian 1/3 dari bagian kerajaan untuk penghasilan pribadinya. Pihak kerajaan mempertimbangkan 2 kemungkinan untuk meningkatkan pendapatannya. Salah satunya adalah penegakan pengiriman 1/3 dari semua cengkih yang mencapai Malaka. Namun, segera diketahui bahwa ini hanya akan menghalangi para pedagang Jawa untuk datang ke sana dan perdagangan orang Jawa sangat penting karena membawa bahan makanan yang sangat dibutuhkan karena benteng Portugis di Malaka mengalami kesulitan. Oleh karena itu, proposal ini tidak benar-benar ditegakkan meskipun ada perintah kerajaan sesekali untuk efek ini. Kemungkinan kedua adalah penjualan hak kirim kapal ke Maluku kepada perorangan. Ini kadang-kadang dilakukan bahkan pada periode-periode sebelumnya, tetapi sekarang keuntungan telah menurun, sementara bahaya kiat meningkat. Jadi tidak ada yang mau menerima resiko melengkapi kapal untuk melakukan pelayaran. Oleh karena itu, kapal-kapal kerajaan terus melalukan pelayaran.

Di sisi lain, disadari di Goa bahwa diperlukan insentif untuk membujuk para pemukim agar tetap tinggal di Maluku untuk memperkuat kekuasaan Portugis di sana. Jadi pada tahun 1595, sebuah perintah dari Goa menetapkan bahwa penduduk Portugis di Maluku dapat memilih 5 di antara mereka setiap tahun untuk berdagang untuk seluruh masyarakat dan bahwa perwakilan ini harus bebas berdagang ke semua pelabuhan, kecuali Manila27.

                Larangan perdagangan dengan Manila adalah upaya untuk menguji pengalihan perdagangan rempah-rempah dari Malaka dan Goa. Setelah penyatuan Kerajaan Spanyol dan Portugis, orang-orang Spanyol yang telah berada di Filipina sejak tahun 1564 dianggap sebagai sekutu dan cabang perdagangan baru tampaknya terbuka – pertukaran cengkih dengan sutra Cina, porselen dan perak di Manila, dengan demikian melewati pintu masuk di Malaka. Perkembangan perdagangan ini ditentang oleh Portugis di Lisbon dan dilarang atas perintah dari Eropa tetapi pengulangan larangan yang terus-menerus membuat kemungkinan besar, bahwa seorang Michael Pearson benar dalam mengasumsikan bahwa perdagangan semacam itu memang berkembang. Bahkan setidaknya ada satu contoh izin khusus yang diberikan untuk semua perdagangan cengkih di Laut Cina asalkan kapal itu “menyentuh” Malaka dalam perjalanan pulang28

                Namun, pada tahun-tahun awal abad ke-17, posisi Portugis yang sudah melemah di Maluku runtuh sebelum serangan musuh baru – yaitu Belanda. Bahkan pengiriman armada Portugis yang kuat dibawah pimpinan Andre Furtado de Mendonca dan bantuan Spanyol tidak cukup untuk menyelamatkan Portugis. Pada tahun 1605, baik Ambon maupun Tidore telah ditaklukan, dan meskipun serangan balik Spanyol merebut kembali Tidore, kekuasaan Portugis di Maluku telah berakir. Pihak kerajaan, dalam pengakuan yang terlambat atas fakta tersebut, membuka perdagangan cengkih untuk semua pada tahun 1610 dengan syarat pembayaran 1/3 dari kargo yang dibawa ke Malaka, tetapi pada saat itu Belanda sedang dalam proses untuk memaksakan monopoli mereka sendiri pada perdagangan cengkih29.

                Dampak Portugis pada produksi cengkih tampaknya sangat minim. Hal ini seharusnya tidak mengherankan karena tidak seperti pala atau lada, pohon cengkih tidak dibudidayakan tetapi tumbuh liar dan hanya dilindungi setelah berkembang biak secara alami. Dengan demikian hasil pada abad ke-16 tetap cukup stabil dari sekitar 16.000 sampai 25.000 kuintal pada tahun-tahun “musim besar” hingga jumlah yang jauh di bwah itu pada tahun-tahun berikutnya30. Jelas juga bahwa Makian tetap menjadi produsen terbesar, diikuti oleh Ternate dan Tidore sedangkan Moti agak kurang. Bacan dianggap sebagai pemasok yang kurang signifikan karena kualitas cengkih dari Bacan dianggap rendah31. Ciri yang mencolok dari gambaran ini adalah munculnya Ambon sebagai penghasil cengkih pada paruh kedua abad ke-16. Pada awal abad ke-17 bahkan Halmahera dan Mea’u telah muncul sebagai pemasok skala kecil. Bukti yang ada tidak menunjukan apakah perluasan produksi cengkih merupakan hasil dari penanaman yang disengaja di pulau-pulau di luar Maluku, atau merupakan hasil dari penyebaran alami spesies tersebut32.

                Di sisi lain, bukti mengenai harga menunjukkan dampak yang cukup besar. Hingga tahun 1521, 1 bahar cengkih (sekitar 600 pon) dapat dibeli di Maluku dengan barang senilai 1 atau 2 cruzados di sana meskipun ada kasus harga yang jauh lebih tinggi yang dibayarkan oleh pedagang-pedagang swasta. Namun, kedatangan orang Eropa tampaknya telah mendorong kenaikan harga, karena Antonio de Brito menetapkan harga resmi sesuai kesepakatan dengan penguasa Ternate pada tahun 1522 menjadi 3 cruzado dengan bahar yang lebih kecil yaitu sekitar 500 pon. Harga resmi ini tidak dapat bertahan lama karena orang Spanyol di Tidore telah membayar lebih banyak dan harga dinaikkan menjadi 5 cruzado untuk bahar yang lebih besar, pertama untuk cravo de cabeca saja dan kemudian untuk cravo de bastao juga. Pedagang swasta yang melanggar monopoli kerajaan atau memperoleh pengecualian darinya, membayar harga yang jauh lebih tinggi. Harga tampaknya telah mencapai puncaknya pada tahun 1535-1536 ketika persaingan ketat antara pedagang invidu, Portugis dan juga lainnya, mendorong harga ke kisaran 30 hingga 60 cruzado per bahar. Namun, dengan diperkenalkannya sistem perdagangan yang jauh lebih bebas, harga menjadi turun dan pada tahun 1545 harga di pasar terbuka hanya sekitar 10 cruzado per bahar. Hampir tidak ada data untuk paruh kedua abad ini tentang harga, tetapi orang Inggris dan Belanda yang datang ke Hindia Timur membayar harga yang berkisar dari 50 cruzado ke atas. Tampaknya adil untuk menyimpulkan bahwa intrusi kaum Iberian mengakibatkan pertukaran uang dalam jumlah yang lebih besar kepada penduduk Maluku33

                Peubahan harga pada sumber pasokan tercermin di berbagai titik redistribusi sehingga keuntungan yang diperoleh para pedagang tetap dipertahankan. Harga 1 bahar cengkih di Malaka meningkat dari 9 menjadi 12 cruzado pada dekade kedua abad ke-16 menjadi 60 hingga 80 cruzado pada tahun 1530-an. Perubahan tata niaga pada tahun 1540-an mengakibatkan penurunan harga lebih dari setengahnya tetapi harga naik lagi pada akhir tahun 1550-an dan tahun 1560-an dengan kembalinya jalur perdagangan Laut Merah ke Timur Tengah dan Eropa34.

                Harga cengkih di India dan Timur Tengah menggambarkan faktor yang sama. Harga cengkih naik tajam selama beberapa tahun setelah penaklukan Malaka mengganggu pola perdagangan cengkih yang ada. Misalnya harga di Kairo hanya 7 ducat per kuintal dalam tahun 1513, tetapi menjadi 380 – 400 ducat pada tahun 1520. Dengan demikian pula harga 1 bahar cengkih telah meningkat lebih dari 10 kali lipat dari tahun 1505 sampai tahun 1514 di pantai barat India. Harga kemudian turun dengan pembentukan kembali pola perdagangan baru tetapi pembentukan monopoli kerajaan berarti bahwa harga pada tahun 1520-an dan 1530-an baik di Kairo dan di pantai Malabar dan Kanara di India, 2 atau 3 kali lipat dari awal abad ini sebelumnya. Jadi harga 1 bahar cengkih lebih dari 70 cruzado pada tahun 1522 di Chaul. Namun, harga turun dengan sistem perdagangan baru di tahun 1540-an. Pada tahun 1547, 1 kuintal cengkih hanya berharga 7 cruzado di pesisir barat India yang mencapai total biaya sekitar 30 cruzado per kuintal. Meskipun meningkatnya gangguan terhadap pasokan, namun harga naik pada paruh kedua abad ke-16 menjadi lebih dari 120 cruzado per bahar35. Tentu saja harga di Eropa jauh lebih tinggi untuk bea atas cengkih di Lisbon pada akhir abad ke-16 adalah 30 cruzado per kuintal36.

                Namun, mungkin perlu ditekankan bahwa keuntungan dalam perdagangan di Asia tidak diperoleh dengan mudah. Pelayaran pulang dari Goa ke Ternate umumnya memakan waktu lebih lama daripada perjalanan pulang dari Goa ke Lisboa/Lisbon. Sebuah kapal yang meninggalkan Goa pada pertengahan April akan mencapai Malaka pada akhir Mei dan berangkat dari pelabuhan tersebut pada pertengahan Agustus akan mencapai Ternate pada bulan Oktober. Perjalanan pulang dimulai pada bulan Februari tahun berikutnya dan Malaka dicapai pada akhir Juni. Keberangkatan dari Malaka pada pertengahan November dan kapal akhirnya kembali ke Goa pada pertengahan Maret hampir 2 tahun setelah keberangkatan. Karena perjalanannya panjang dan mahal, upaya yang dilakukan untuk memuat cravo de cabeca daripada cravo de bastao bukan hanya karena cravo de cabeca memperoleh harga yang lebih tinggi. Ditemukan juga bahwa berat “de bastao” yang sama menghabiskan ruang 50% lebih banyak di palka kapal37.

                Kapal-kapal Portugis yang berlayar dari Maluku atau Amboina ke Malaka mengambil paling banyak kurang dari setengah produksi cengkih dan umumnya jauh lebih banyak kurang dari 1/5 dari jumlah yang mereka peroleh, kurang dari ¼ dikirim ke Eropa. Sejauh ini, pasar terbesar adalah Kekaisaran Moghul di India, meskipun Cina dan Kerajaan Islam di Timur Tengah mengonsumsinya dalam jumlah besar38.

                Sejumlah penulis abad ke-16 menulis dengan fasih tentang berapa banyak yang dapat diperoleh kerajaan Portugis melalui kontrol monopoli atas perdagangan rempah-rempah dan angka-angka yang sering disebutkan adalah 100.000 cruzado setahun. Ini bahkan pada tahun 1580-an hampir 1/6 dari total pendapatan negara (kerajaan) Portugis di India39. Namun, angka sebenarnya dari keuntungan yang diperoleh tentu jauh lebih sedikit. Maluku terletak terlalu jauh dari pusat kerajaan Portugis di Asia untuk diawasi secara memadai dan akhirnya terbukti terlalu jauh bahkan untuk dipertahankan secara memadai. Portugis sebagian besar berusaha untuk mendapatkan keuntungan dari perdagangan yang telah ada sebelum kedatangan mereka. Mereka berhasil untuk sementara waktu, tetapi ketika mereka melepaskan kontrol, mereka tidak memberikan pengaruh yang signifikan baik pada volume maupun organisasi perdagangan40.

======== selesai ========

Catatan Kaki

  1. Cengkih harus diletakan atau dimasukkan ke mulut para pejabat istana sebelum mereka bicara dengan kaisar-kaisar Dinasti Han untuk menjaga nafas mereka tetap bersih atau harum.
  2. Untuk penjelasan singkat tentang pandangan bahwa Portugis adalah kekuatan “pemungut upeti”, lihat Niels Steensgaard,                 Carracks, caravans and companies: The structural crisis in the European-Asian trade in the early seventeeth century, Copenhagen, 1973, halaman 81-95.
  3. Lihat misalnya C.R. de Silva, The Portuguese and pearl fishing off South India and Sri Lanka, South Asia, n.s. Volume I, 1978, hal 14-28. Sebagai contoh dari ketergantungan Portugis pada dukungan orang Pribumi untuk bekerja atau sistem komersial dan ekonimo mereka, lihat M.N. Pearson, Indigenous dominance in a colonial economy : the Gao rendas, 1600-1670, Mare Luso-Indicum, II, 1972, hal 61-73
  4. [Istilah] Maluku digunakan juga di kemudian hari untuk mendeskripsikan seluruh kelompok pulau rempah-rempah termasuk Kepulauan Banda dan Ambon. Pulau-pulau yang berdampingan seperti Halmahera, Seram, Buru dan Oli juga termasuk “Moluccas” dan akhirnya wilayah Belanda “de Molukken” meluas ke Timor dan beberapa kepulauan Banda. Orang-orang Portugis di sisi lain terkadang menggunakan kata Maluco untuk menyebut pulau Ternate saja. 
  5. Hubert Jacob (ed.), A treatise on the Moluccas (c.- 1544) probably the preliminary version of Antonio Galvao's Los Historia das Molucas, Rome, 1970, p. 137; Artur Basilio de Sa ed, Documentacao para a historic das missoes do padroado protugues do Oriente: Insulindia (setelah ini pada catatan kaki, kami hanya menulis Insulindia). Lisbon, 1954-58 Vol. I, halaman 244, 336, 338,57; Documenta Malucensia, 1, halaman 678; Documenta Ultramarina Pertuguesa, Lisbon, 1960-75, Vols. 1,halaman 166 (setelah ini pada catatan kaki, kami hanya menulis DUP).
  6. DUP, 1, halaman 168-169,  Jacobs (ed.} A treatise, 159; Garcia da Orta, Coloquios dos simples e drogas he cousas medicinais da India, (ed. Francisco Manoel Carlos de Mello, conde de Ficalho,) Lisbon, 1891- 1895, Vol. I, 363; Vitorino Magalhaes Godinho, Os descobrimentos e a economic mundial, Lisbon, 1965, Vol. I, 527; Ludovici di Varthema, The travels of Ludovici di Varthema in Egypt, Syria, Arabia deserta, Arabia Felix, in Persia, India and Ethiopia AD 1503-1508, trans by J.P. Jones, ed. G.P. Badger, London, 1863, 246; Documenta Malucensia. 1, halaman 678.
  7. Da Orta, Colloquies. I. 365.
  8. Documenta Malucensia I, 678 - 680. Thome Pires, The Suma Oriental of TTic ires: an account of
    the east from the Red Sea to Japan written in Malacca and India in 1512-1515 ana (he Book of Francisco
    Rodriguez, rutter of the voyage in the Red Sea nautical rules, almanack and maps written and drawn in the East before 1515.
    trans and ed. by Armando Cortesao, London, 1944, Vol. I, 216; Joao de Barros,
    Asia de Joao de Barros: de feitos que os Portuguese fizeram no descobrimento e conquista doe mares e
    terras do Oriente,
    ed. by Hernani Gdade and Manuel Murias, Lisbon, 1945-46, VoL III, 258- 259;
    Fernao Lopes de Castanheda, Historia, do desconrimento e conquista da India Pelos Portuguese, ed. By Pedro de Azevedo,Coimbra, 1924-1933, Vol. Ill, 169; Hubert Jacobs (ed.),A treatise, 35,37,133,139.
  9. T. Pires, Suma Oriental, I. 214. The weight of a bahar varied greatly with the place and the product
    but in the Moluccas a bahar was 41A quintals and 24 arrateis and in Malacca (for cloves) it was 4% quintals and 10 arrateis thus being between 580 and 600 English Ibs. Luis Felipe Ferreira Reis Thomaz (ed.), De Malacca a Pegu: viagen de urn feitor Portugues 1512-1515. Lisbon, 196o, 50.
  10. Godinho Os Descobrimentos pp. 175-176; Georg Schurhammer, Francis 'Xavier: his life, his times, (trans by M. Joseph Castelloe), Rome, 1976-77, 251.
  11. Cartas de Afonso de Albuquerque. Lisbon, 1894-1935, Vol. VII,182.
  12. Godinho, Os Descobrimentos, 177-180.
  13. Tentu saja ini hanya menyiratkan bahwa penguasa Ternate mengadopsi gelar Muslim sebelum yang lainnya, yang mungkin lebih memilih untuk mempertahankan gelar “Raja”.
  14. Documenta Malucensia, pp. 3-5',Insulindia pp. 321-322; Pires, Suma Oriental, I. 214.
  15. Hubert Jacobs (ed.), A treaties, 211; Thome Pires, Suma Oriental. I, 213; As govetas do Torre do
    Tombo.
    Lisbon, 1960-75, Vol. VI, 349, VIII, 606, 641, 642: Insulindia, IV, 14; Duarte Baibosa.
    The Book of Duarte Barbosa An account of the countries bordering the Indian Ocean and their inhabitants, (trans M.L. Dames), London 1918-1921, Vol. II, 228, Caspar Correa, Lendas da India, (ed.by Rodrigo Jose de Lima Felner), Lisbon, 1858-1866, Vol. II, 711, Simao Botelho, 'Tombo do estado da India1, in Subsidios para a historia da India Portuguesa, (ed. Rodrigo Jose de Lima Felner), Lisbon, 1686,112.
  16. Godinho, OsDescobrimentos, II, 180-182.
  17. Ibid., II 184-185.
  18. Ibid., 185- 186, 189- 190; Simao Botelho, 'Tombo do estado*, 112-113; 'Livro dos Pesos da India'
    in Subsidios, 41.
  19. Josef Wicki (ed.), 'Duas relacoes sobre a situacao da India Portuguesa nos annos 1568e 1569,* Studia,Vol. VIII, 1961, 189; Insulindia. I, 218-219.
  20. Cartas, Vol. VII, 101-102, 116; As Gavetas VIII, 183; Documenta Indica (ed. Josef Wicki), Rome,
    Archivum 1948-75, Vol. VIII, 407, X, 294-295; Virginia Rau (ed), Regimen to da casa dos contosae
    Goa de 1589,
    Lisbon, 1949, 130-131 Panduronga S.S. Pissurlencar, Reglmentos das fortalezas da
    India,
    Bastora, Goa, 1951, 408-409; Insulindia, Vol.V, 252-260, 269-272; As Gavetas, VoL V, 315,
    ArchivoPortugguez Oriental (ed.J.H. da Cunna Rivara), 1857-76, Vol.V, 634-635.
  21. Godinho, Os Descobrimentos II, 196; Josef Wicki 'Duas relacoes . . , 140; Sebestiao Goncalves,
    Primeira pane da historia dos religiosos da companhia da Jesus e do que fizeram com a dtvina graca no conversao das infeis a Nossa Sancta Fe Catholica nos reynos e provincia da India Oriental (ed.Jose Wicki), Coimbra Altantida 1957-62, 2 vols. Vol. Ill, 173, ArchivoPortuguez Oriental, III, 104.
  22. T. Pires, Suma Oriental, Vol.I, 213, Insulindia, IV, 13; As Gavetas,Vol. VIII, 608.
  23. Hubert Jocabs (ed),4 Treatise, 213, 225,133'; Insulindia. II, 405 ff.
  24. Documenta Indica. VI, 494 D. Lach. Asia in the Making of Europe: Volume 1 The Century of Discovery, Chicago, 1965.610; Insulindia, 1, 456,IV, 196-200; Godinho, a Descobrimentos. II, 200;Joseph Wicki, 'Duas Relacoes', 141;DocumentaMalucensis, I, 68.
  25. Documenta Malucensia. I, 233-'5, 249, 276-282, 460-462, 548-552, 566, 580, 585, 590-593; Lach,
    Asia in The Making, 620-622 Documenta Indica, X, 390.
  26. Insulindia, IV,200-329 V.I15.
  27. Botetim da Filmoteca, Vt 273,Insulindia, V, 35, 74, 82, 198-200, 233; Archivo Portuguez Oriental.
    Ill, 125, 546-547, 684, 756,766-767; Documentacao para a historia dos missoes do padroado do
    Oriente: India
    (ed.by Antoneo da Silva RegQ), Lisbon, 1947-1958, Vol.X, 158-159.
  28. Archivo Portuguez Oriental, III, 758, Insulindia, V, 270, 27"3; Godinho. Os Descobrimentos 203;
    M Pearson, 'Spain and Spanish Trade in South East Asia , Journal of Asian History, II, 1968,118-119.
  29. Archivo de Relacao de Goa, contendo varios documentos dos Seculos XVII, XVUl e XIXate a organizacao da nova Relacao pela decreto de 7de Dezembro de 1816, (ed. Jose Ignacio de Abranchas Garcia), Nova Goa, 1871-74, Vol. I, 91.
  30. Estimasi dari total dipaparkan sebagai berikut :

Tahun 1510-4600 bahars (Cartas, III, 11).
1514-5000-7000 bahars (T. Pires, Suma Oriental, 1,213.
1523-2800 bahars (Insulindia, 1,159)
1524-5000 bahars (Ibid, I, 912)
1529-5000-6000 bahars (Ibid. IV,13)
1534-4000 bahars (Ibid, 1, 321-322)
1540-3000-4000 bahars (Ibid, 1,332)
1540*8-6000-7000 bahars (H. Jacob A Treatise, 319)
1548-2000 bahars (Insulindia, 1,575)
1568-2000 bahars (J. Wicki 'Duas Relacoes' 133)
1569-5000-6000 bahars (Insulindia, HI,304)

  1. Perkiraan atau estimasi ini hanya dapat digunakan sebagai panduan yang sangat “kasar” karena bobot bahar tidak konstan/tetap dalam semua perkiraan. Estimasi dari Tristao de Ataide (Insulinda, I, 331-332) memberikan angka-angka sebagai berikut :  Makian - 1500 bahars (or 8210 quintals): Ternate - 1500 bahars; Tidore - 800-1000 bahars; Moti - 400bahars and Bacan - 300 bahars.
  2. Insulindia. III, 378. Meskipun Richard Z Leirissa nampaknya tidak pasti/yakin dalam soal ini, di dalam kajiannya “Local potentates and the competition for cloves in early seventeeth century Ternate (North Moluccas), Proceedings of the seventh International Association of the Historians of Asia Conference, Bangkok 22-26 August 1977, Bangkok 1979, 312. Ada bukti bahwa cengkih diproduksi di Ambon sejak tahun 1560-an.  
  3. Insulindia, 1,151,165, 328, 337,456;II. 151 IV 14; H. Jacobs,X Treatise, 273.
  4. T. Pires, Suma Oriental, I, 213; Barbosa, The Book, II, 228; Insulindia I, 335; C.R. Boxer 'A Note on
    Portuguese Reaction to the Revival of the Red Sea Trade and the Rise of Atjeh', Journal of South East Asian History, Vol.X, 1969,415-428.
  5. D. Lach Asia In The Making. 1, 610; Barbosa, The Book, II, 228; Cartas, III, 298.
  6. Luis de Figueiredo Falcao Livro em que se content toda a Fazenda a Real Patrimonia dos Reinos de Portugal India andtthas adja-centes outros parricularirdades 1607, Lisbon, 1859, 72.
  7. Documentacao ... India, IV, 363; As Gavetas, Vol. VIII, 183; S. Botelho, “Tombo do estado” 113;
    Insulindia I, 575;III, 494.
  8. As Gavetas, VIII, 182.
  9. Niels Steensgaard, Carracks, 88.
  10. Ucapan terima kasih disampaikan kepada the Calouste Gulbenkian Foundation Lisban, The University of Peradeniya, Sri Lanka, The American Philosophical Society, Philadelphia and the Newberry Library, Chicago, atas bantuan yang memungkinkan penelitian ini.

 

Catatan Tambahan :

  1. Agrasy yang dimaksud adalah Gresik. Sumber-sumber Portugis menulis Gresik dengan berbagai varian nama yaitu sebagai Grisee, Garsik, Gacaim, Agacaim, Agacim, Agaci, Agasai, Agraci, Grece
  2. Beberapa penulis Portugis menulis nama Sultan Bayan Sirullah sebagai Bem Acorala (Tome Pires), Soltam Binaracola (Barbosa), Abuleis (Pigafetta), Cachil Boleise (Barros). Menurut Paramita Abdurachman, nama pra-Islam dari Abulais atau Bayan Sirullah adalah “Liliato”.

§  Paramita Abdurachman, “Niachile Pokaraga” A Sad Story of Moluccan Queen, Modern Asian Studies, Volume 22, No 3 (1988), hal 571-572, khusus catatan kaki no 2 (hal 573)

  1.  Menurut Charles E. Nowell, namanya adalah Garcia Jofre de Loaisa, yang tidak pernah tiba di Maluku karena meninggal di Laut Pasifik pada 30 Juli 1527. Pemimpin ke-4 (setelah 3 pemimpin sebelumnya meninggal) yaitu Martin Iniquez de Carquizano yang akhirnya tiba di Tidore pada 31 Desember 1526.

§  Charles E Nowell, The Loaisa Expedition and the Ownership of the Moluccas, Pasific Historical Riview, Volume 5, No 4 (Des 1936), hal 325-336, khusus hal 328, 330

§  Marco Ramerini, I Forti Spagnolia A Tidore : uno studio prelimanare (The Spanish Forts in Tidore : a preliminar study)

  1. Marco Ramerini menulis namanya  Alvaro de Saavedra Ceron, tiba di Tidore pada 30 Maret 1528 dengan kapal “Florida”
                Marco Ramerini, I Forti Spagnolia A Tidore : uno studio prelimanare (The Spanish Forts in Tidore : a preliminar study)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar