Rabu, 18 Januari 2023

Jampi-jampi dan Pengobatan Herbal : Pengetahuan Etnomedis Alune dalam konteks perubahan

 

(bag 2)

 

MARGARET J. FLOREY
Department of Linguistics, La Trobe University

XENIA Y. WOLFF

Botanical consultant

 

Proses Perubahan :

Faktor-faktor yang mempengaruhi praktik penyembuhan

                Sejumlah faktor turut terlibat dalam proses perubahan praktik perawatan kesehatan di kalangan masyarakat Alune. Barangkali efek terbesar ditimbulkan oleh konversi ke agama Kristen, yang dimulai di Seram bagian barat pada awal abad ke-20, terjadi pertama kali di wilayah pesisir yang lebih muda diakses (misalnya, pada tahun 1902 di desa pesisir MurnatenI dan kemudian di desa-desa pedalaman (tahun 1925 di bekas situs desa Lohiatala, tahun 1935 di Lohiasapalewa). Agama Kristen dibawa ke Lohiatala oleh seorang laki-laki bernama Marten Supulatu, yang berkerabat dengan orang-orang di Lohiatala (termasuk bidan tradisional). Dia menghabiskan waktu di desa pesisir Hatusua dan Waesamu dan beralih ke agama Kristen di sana sebelum melakukan pekerjaan penginjilan ke Lohiatala5.

                Bahasa Alune tampaknya ditakuti oleh para misionaris, dan berbicara bahasa Alune sangat tidak dianjurkan karena dianggap sebagai sarana penyebarluasan kepercayaan pra-Kristen. Terkadang, penggunaan bahasa Alune mengakibatkan hukuman fisik. Percakapan yang direkam dengan penduduk desa di Lohiasapalewa dan Lohiatala memberikan banyak bukti bahwa kepercayaan dan praktik sosiokultural pra-Kristen juga ditekan secara aktif oleh gereja. Pengetahuan seperti itu telah direndahkan dari waktu ke waktu oleh penduduk desa, dan mereka telah berhenti mentransmisikan praktik-praktik adat kepada generasi selanjutnya (cf. Florey n.d). Meskipun beberapa orang muda mengungkapkan minat untuk mempelajari praktik-praktik pra-Kristen, orang tua menolak untuk mengajari mereka agar pengetahuan tersebut terlupakan atau “hilang”. Seorang lelaki menegaskan :

Ya, semua itu akang hilang. Karena sekarang kita percaya kepada Tuhan Yesus....tetapi jika kita [hidup seperti dulu] kita tidak akan lagi mengenal Yesus”.    

            Dengan berpindah ke agama Kristen, para tabib/dukun suku Alune turut berpartisipasi dalam upacara keagamaan yang diadakan sebagai lambang “penghancuran” pengetahuan mereka. Pada tahun 1979, pendeta di Lohiatala mengadakan upacara satu desa pada saat peletakan batu pertama pembangunan gereja baru. Setiap keluarga diminta menyumbang sebuah koin yang mereka doakan di rumah mereka bersama pendeta dan panitia gereja. Keluarga tersebut bersumpah bahwa mereka tidak akan lagi menggunakan mantra, dan memahami bahwa Tuhan akan menghukum mereka dengan kematian dalam waktu 3 hari jika sumpah tersebut dilanggar. Semua keluarga kemudian berkumpul di gereja tua/lama sementara koin tersebut dikubur oleh pendeta dan panitia itu di bawah fondasi gereja baru (permanen).  

                Namun tidak semua anggota masyarakat bersedia meninggalkan pengetahuan mereka. Beberapa pria lanjut usia menolak, tetapi peristiwa selanjutnya memaksa mereka untuk patuh. Salah satu peristiwa semacam itu menyangkut seorang laki-laki yang istrinya sedang sekarat. Dia disuruh menghancurkan pengetahuannya tentang mantra atau istrinya akan mati. Dia menyetujui proses tersebut, dan pergi ke gereja pada tengah malan untuk berdoa bersama pendeta. Pendeta telah menyatakan bahwa senjata akan ditembakan setelah berdoa sebagai tanda bahwa laki-laki itu telah meninggalkan praktik non-Kristennya. Peluru telah diisi namun senjata itu tidak meletus. Doa kemudian diulangi, tetapi lagi-lagi senjatanya tidak mau meletus. Pendeta itu menuduh laki-laki itu masih menyembunyikan pengetahuannya. Putranya menceritakan kisahnya sebagai berikut :

Jadi pendeta itu berdoa. Setelah berdoa, dia memasukan peluru dan menembak. Tidak ada suara. Mereka berdoa lagi. Dia (yaitu pendeta) berkata, ‘Bapa, ini belum selesai’. Ayah berkata, ‘Benar”. Namun masih ada lagi. Ayah selesai [membuang ilmunya]. Dia menembak untuk kedua kalinya (ayah sendiri yang menembak), tetapi senjata itu tidak mengeluarkan suara. Mereka berkata, “Hei, ibu sakit, dia lagi sekarat di rumah.’. Jika ayah tidak membuang semua ilmunya, ibu akan mati. Akhirnya ayah membuang semua ilmunya. Akhirnya setelah ketiga kalinya dibuang. Pendeta berdoa lagi dan senjata ditembakkan : itu semua telah selesai. Pengetahuan itu langsung hilang, bahkan jika dia mempraktikkannya lagi, bahkan jika ayah masih mengingat pengetahuan itu, dia tidak dapat menggunakan ilmunya lagi.”

                Dalam peristiwa serupa, seorang laki-laki lain membuang/menghancurkan ilmunya dengan cara membakar kain merah yang dikenakan pada saat ritual yang “berisi” ilmu tersebut. Acara ini berlangsung di gereja dengan kunjungan seorang pendeta dari pulau tetangga, pulau Nusa Laut. Pembakaran kain itu membutuhkan 3 kali percobaan sebelum terbakar.

                Masyarakat Alune jelas menyadari bahwa pengetahuan ini tetap dapat diakses oleh seorang bekas praktisi. Seorang konsultan mengakui, misalnya, bahwa ada orang di Lohitala yang mempertahankan pengetahuan itu tetapi memilih untuk tidak mempergunakannya lagi  :

                                “ Itu betul, masih ada yang tahu tetapi tidak lagi diizinkan menggunakan ilmunya.”

                Pengetahuan penyembuhan oleh kebidanan tradisional juga telah ditekan oleh gereja sebagai bagian dari praktik pra-Kristen. Namun, pengetahuan ini tidak dibuang/dihancurkan dalam upacara yang dilakukan di Lohiatala seperti disebutkan di atas. Sebaliknya, pendeta membuat perjanjian dengan bidan tertua bahwa praktik kebidanan Alune tidak akan digunakan lagi setelah kematian bidan itu.

                Penduduk desa Lohiasapalewa menjalani upacara serupa untuk membuang/menghancurkan pengetahuan penyembuhan tradisional mereka, termasuk praktik kebidanan. Terlepas dari pertunjukan terbuka untuk meninggalkan kepercayaan non-Kristen, terlihat bahwa beberapa mantra terus memainkan penting dalam kehidupan kontemporer di beberapa desa Alune. Seorang laki-laki desa Lohiatala menjelaskan perlunya mempertahankan pengetahuan dan kegunaan mantra, baik untuk penyembuhan maupun membela diri. Dia mengutip kasus seorang pemuda yang menjadi tentara dan diajari mantra oleh ayahnya untuk melindungi dan menyembuhkan dirinya sendiri. Namun, dia menyatakan :

Itu tidak berarti kamu tidak menghormati Tuhan. Tuhan terlebih dahulu, kemudian hal ini (pengetahuan mantra) berikutnya.”

            Pergeseran bahasa dari bahasa Alune ke bahasa Melayu-Ambon turut menjadi penyebab matinya jampi-jampi/mantra penyembuh di Alune. Ketrampilan linguistik adalah elemen kunci dalam kinerja mantra penyembuhan. Kemanjuran tergantung, setidaknya sebagian, pada pembacaan yang akurat. Valeri (1985 : 3) secara serupa membahas “kepentingan terpenting” bagi suku Huaulu di Seram tentang pembacaan jimat/mantra yang tepat. Bagi anggota komunitas Lohiatala yang lebih tua, dimana pergeseran bahasa ke bahasa Melayu-Ambon berkembang pesat, kefasihan dalam bahasa Alune merupakan komponen penting dari praktik penyembuhan. Oleh karena itu, mereka menegaskan bahwa orang yang lebih muda tidak dapat mempelajari ketrampilan penyembuhan pra-Kristen karena mereka bukan penutur bahasa Alune. Anggota paruh baya dari komunitas Lohiatala, yang berbicara dalam bahasa Alune yang tidak standar (cf. Florey 1997), membahas bahaya yang terjadi dalam melafalkan mantra dengan tidak sempurna. Seorang laki-laki dalam kelompok ini mewarisi ketrampilan penyembuhan dari ayahnya. Meskipun seorang penutur bahasa Alune, dia tidak siap untuk menjadi soeang praktisi karena kesadarannya akan fitur non-standar dalam penggunaan bahasa ini.

                Pergeseran bahasa dan penindasan praktik-praktik pra-Kristen jelas berimplikasi pada hilangnya metode penyembuhan tradisional, termasuk pengunaan obat-obatan herbal dan pembacaan mantra. Namun, proses kehilangan tersebut diperparah dengan perubahan gaya hidup yang telah mengurangi kesempatan bagi kaum muda untuk terpapar ketrampilan yang dimiliki oleh orang tua dan leluhur mereka. Keterbatasan waktu yang dipaksakan oleh kehidupan desa kontemporer, termasuk keterlibatan dalam proyek gereja dan negara dan tidak terpecah-pecah di desa, sangat mengurangi waktu yang tersedia untuk praktik holtikultura baik di Lohiasapalewa maupun Lohiatala. Penduduk desa di kedua lokasi sekarang tidak terlalu bergantung pada pemanenan sumber daya hutan dan pada tingkat yang jauh lebih besar pada penanaman tanaman budidaya dalam jumlah terbatas (Wolff and Floreu n.d). Oleh karena itu, anak-anak menghabiskan lebih sedikit waktu di hutan bersama orang tua mereka dan tidak belajar tentang tumbuhan dan sumber daya hewani, atau berbagai pengunaan tradisional spesies tumbuhan asli di lingkungan ini. Situasi ini diperparah dengan banyaknya waktu yang dihabiskan para pemuda desa Alune jauh dari desa untuk tujuan pendidikan dan pekerjaan. Di Lohiatala, perpindahan ke situs desa dataran rendah semakin mengurangi akses ke sumber daya tumbuhan tradisional karena perbedaan ekologi di situs baru. Sejumlah besar sumber daya hutan yang dieksploitasi di desa pegunungan tidak ditemukan di situs baru. Sejumlah besar sumber daya hutan yang dieksploitasi di desa pegunungan tidak ditemukan di zona pesisir dan mayoritas penduduk desa dari segala usia di Lohiatala memiliki pengetahuan yang sangat terbatas tentang ekologi Seram pedalaman yang mencirikan dunia Alune tradional nenek moyang mereka. 

Praktik-praktik penyembuhan kontemporer

                Baik di Lohiatala dan Lohiasapalewa hari ini, penyakit dan luka dirawat terlebih dahulu oleh pendoa, biasanya dilantunkan di rumah bersama pasien dan keluarganya oleh seorang penatua gereja, atau, dalam kasus yang lebih serius, oleh pendeta bersama semua penatua dan diaken. Jika tersedia dan terjangkau, obat-obatan barat dapat menjadi bagian dari pengobatan penyembuhan. Ketika penyakit tetap kebal terhadap doa dan pengobatan barat, beberapa masyarakat Alune di kedua lokasi akan memanggil penduduk desa yang sudah lanjut usia untuk menyiapkan obat herbal yang sesuai. Jika semua strategi ini gagal, penduduk desa dapat meminta ma’aleru  untuk meramal sumber penyakit dan menyembuhkan dengan jampi-jampi/mantra. Karena penindasan dari praktik-praktik ini oleh gereja, pekerjaan ma’aleru  dan ma’selu  dengan hati-hati disembunyikan dari andangan pendeta non-Alune yang ditunjuk melayani di desa Alune, dan dari penduduk desa Alune yang keyakinannya pada ajaran Kristen tidak lagi tergoyahkan.

                Perbandingan praktik-praktik penyembuhan kontemporer di kedua lokasi mengungkapkan beberapa perbedaan yang menarik. Orang-orang di Lohiatala yang lahir setelah tahun 1950, dibesarkan baik di desa non-Alune yaitu Hatusua atau di situs desa pesisir Lohiatala yang direlokasi. Pengetahuan mereka tentang praktik-praktik pra-Kristen telah dipengaruhi oleh 3 proses : transmisi terputus dibawa melalui penekanan pengetahuan tersebut mengikuti konversi ke kepecayaan Kristen, kurangnya pengetahuan sumber tanaman tradisional, dan pergeseran bahasa ke bahasa Melayu-Ambon. Di Lohiasapalewa, transmisi pengetahuan kepada orang-orang yang lebih muda dipengaruhi oleh 2 proses pertama, tetapi pada tingkat yang jauh lebih rendah oleh pergeseran bahasa karena bahasa Alune masih ditutukan oleh semua generasi.

Di Lohiasapalewa, beberapa konsultan yang lahir antara tahun 1920 dan 1940 bersedia untuk mendiskusikan praktik-praktik penyembuhan suku Alune pra-Kristen dan, dalam kasus seorang pria tua dan seorang wanita, untuk membaca mantra penyembuhan. Salah satu penduduk desa membacakan mantra, dan beberapa penduduk desa yang bersedia mendiskusikan penggunaan mantra, meminta kerahasiaan selama diskusi ini. Hanya lelaki tua yang menolak proses publik untuk membuang pengetahuan pra-Kristen yang tampak tidak terganggu oleh kemungkinan bahwa orang lain mungkin tahu bahwa dia mengungkapkan informasi ini. Kurang perhatiannya tidak dimiliki oleh anggota rumah tangga lain dimana pencatatan dilakukan. Meskipun mereka telah menyetujui dan mengatur pertemua itu, mereka dengan hati-hati menyembunyikan tujuannya.

Tidak ada penduduk desa yang lahir di Lohiasapalewa setelah tahun 1940 yang mau membahas praktik-praktik pra-Kristen dalam bentuk apa pun, termasuk praktik-praktik penyembuhan. Pertanyaan-pertanyaan yang mencari informasi seperti itu selalu ditanggapi dengan komentar tentang penggunaan praktik Kristen sebagai pengganti semua praktik selama “masa kegelapan” yang mendahului pertobatan. Proses konversi ke agama Kristen dimulai pada tahun 1935 di Lohiasapalewa : penduduk desa yang dewasa pada saat itu tampaknya adalah orang terakhir di situs ini yang menularkan/mentransmisikan pengetahuan mantra-mantra penyembuhan kepada penduduk desa yang lebih muda. Meskipun memiliki ketrampilan linguistik yang diperlukan untuk pembacaan mantra, tampaknya keberhasilan berpindah ke agama Kristen di Lohiasapalewa sedemikian rupa sehingga orang-orang muda tidak memiliki pengetahuan tentang mantra-mantra penyembuhan.

Di Lohiatala, konsultan yang bersedia untuk mendiskusikan praktik-praktik penyembuhan suku Alune pra-Krisren dan melafalkan mantra, adalah yang lahir antara tahun 1910 dan 1930. Seperti disebutkan sebelumnya, pembacaan mantra-mantra ini mengikuti periode kerja lapangan sekitar 5 bulan dimana pengetahuan pribadi tentang praktik penyembuhan ditolak oleh seluruh penduduk desa. Setelah hubungan yang lebih dekat terjalin dengan konsultan di generasi ini, mereka tampak bangga menunjukan pengetahuan mereka dan, selama diskusi kami, tidak menunjukan kehati-hatian yang sama seperti yang dicatat di Lohiasapalewa. 

Penduduk desa yang lahir di Lohiatala antara tahun 1930 dan 1950, seperti rekan mereka di Lohiasapalewa, tidak mau melafalkan mantra-mantra. Namun, tidak seperti kelompok paruh baya di Lohiasapalewa, penduduk desa Lohiatala bersedia mendiskusikan praktik-praktik pra-Kristen. Diskusi ini ditempatkan dalam 2 konteks. Sekelompok penduduk desa menyangkal pengetahuan pribadi tentang praktik-praktik penyembuhan suku Alune tetapi mengutip orang-orang tertentu di desa yang dikenal sebagai ma’aleru, biane  dan ma’selu  dan biasanya memberikan gambaran tentang cara-cara para dukun mengobati penyakit. Kelompok kedua menyusun diskusi mereka dalam kerangka praktik-praktik Kristen di masa kini atau penggunaan pengobatan barat. Menarik untuk dicatat bahwa konversi ke agama Kristen dimulai pada tahun 1925 di Lohiatala. Transmisi praktik-praktik penyembuhan suku Alune tampaknya telah terputus oleh proses itu, dan, seperti di Lohiasapalewa, penduduk desa yang sudah dewasa pada saat berpindah kepercayaan tampaknya menjadi yang terakhir mentransmisikan pengetahuan tentang mantra-mantra penyembuhan.

Penduduk desa Lohiatala yang lahir setelah tahun 1950 di tempat “pengungsian” mereka, situs Hatusua atau di desa relokasi Lohiatala, seperti generasi kakek-nenek mereka bersedia melafalkan mantra-mantra dan mendiskusikan pola-pola penggunaan. Namun struktur dan fungsi mantra yang digunakan oleh kelompok ini sangat berbeda dengan yang digunakan oleh kakek-nenek mereka. Mantra-mantra cenderung desktuktif daripada kuratif, dan biasanya dibaca dalam bahasa Melayu atau bahasa non-Alune lainnya, dan mantra-mantra sering ditulis daripada dihafal. Selanjutnya, pembacaan mantra-mantra oleh generasi ini biasanya tidak disertai dengan penggunaan alat bantu yang terbuat dari tumbuhan atau hewan. Berbeda sekali dengan praktik-praktik penyembuhan orang Alune yang lebih tua, kata-kata itu sendiri di dalam mantra yang dimiliki oleh orang yang lebih muda-lah yang memegang kekuatan dan membawa kemampuan untuk menyembuhkan.

Pengetahuan orang tua bukanlah sumber-sumber mantra yang dibacakan oleh kaum muda suku Alune di Lohiatala. Bahasa mantra-mantra dan fungsi yang digunakan terpengaruhi oleh pengaruh langsung dunia di luar lingkungan suku Alune. Tidak seperti orang tua dan kakek-nenek mereka, yang dibesarkan dalam lingkungan isolasi dan perlindungan yang relatif dari desa pegunungan, kaum muda di Lohiatala dihadapkan pada “permusuhan” nyata dari dunia non-Alune. Mereka telah bereaksi terhadap lingkungan dimana mereka tinggal sekarang dengan belajar dan memanfaatkan pengetahuan mantra-mantra pan-Maluku.

 

Penutup

                Analisis praktik-praktik perawatan kesehatan di desa Alune Lohiasapalewa dan Lohiatala mengungkapkan bahwa, pada era pra-Kristen, para penyembuh (ma’aleru, biane, ma’selu) memulai proses pengobatan penyakit dan masalah kebidanan dengan obat-obatan herbal yang dibuat dari berbagai material, termasuk tanaman, produk sampingan tanaman, produk sampingan hewan, dan mineral. Jika pasien gagal menanggapi kekuatan obat-obatan herbal, penyakitnya dianggap muncul dari pembalasan leluhur atas kesalahan pasien, atau berasal dari sihir destruktif para dukun. Dalam kasus seperti ini, pengobatan pertama-tama membutuhkan ramalan sumber masalahnya diikuti dengan pembacaan mantra-mantra penyembuhan bersamaan dengan bantuan yang terbuat dari tumbuhan, hewan, atau bahan mineral.

                Konversi ke agama Kristen di kedua situs menyebabkan penindasan bahasa Alune dan praktik-praktik perawatan kesehatan pra-Kristen, dan secara tiba-tiba menghentikan transmisi pengetahuan semacam itu. Obat-obatan herbal sekarang sudah jarang digunakan dan pengetahuan tentang bahan serta cara pembuatannya semakin “menghilang”. Penduduk desa sangat bergantung pada kekuatan penyembuhan dari doa dan, jika tersedia, obat-obatan barat. Sementara orang tua di Lohiatala dan Lohiasapalewa mengingat dan mungkin secara diam-diam menggunakan mantra penyembuhan, penduduk desa yang lahir setelah perubahan agama/kepercayaan memiliki akses terbatas ke praktik-praktik para leluhur. Di Lohiasapalewa, pengetahuan dan penggunaan mantra-mantra penyembuhan tampaknya hampir sepenuhnya berhenti atau “musnah”. Di Lohiatala, dengan tidak adanya transmisi praktik-praktik suku Alune dan menanggapi lingkungan kontemporer, orang-orang muda telah mengubah bentuk dan fungsi jampi-jampi/mantra dengan mencari pengetahuan dari masyarakat Maluku yang lebih luas.

==========selesai ==========

 

Catatan Kaki

  1. Perubahan sosial dan dampak Calvinisme di Seram juga dibahas dalam Grzimek (1991, 1996)

 

LITERATURE CITED

 

  • BOLTON, ROSEMARY A. 1994. Ancestral spirits: guardians of Nuaulu society and culture. Paper presented at the Third International Maluku Research Conference, Pattimura University, Ambon, Indonesia.
  • BOULAN-SMIT, M. CHRISTINE. 1992. "Formerly we blew; now we pray" - some aspects of the medical beliefs and practices among the Alune of West Seram. Paper presented at the Second
    International Maluku Research Conference, University of Hawai'i, Honolulu.
  • ELLEN, ROY 1993a. Nuaulu Ethnozoology: A Systematic Inventory. Centre for Social Anthropology and Computing Monograph 6: University of Kent. Canterbury.
    _--,-_1993b. Anger, anxiety, and sorcery: An analysis of some Nuaulu case material from Seram, Eastern Indonesia. Pp. 81-97 in Understanding Witchcraft and Sorcery in Southeast Asia, C.W.
    Watson and R.F. Ellen (editors). University of Hawaii Press, Honolulu.
  • ERRINGTON, ROSS. 1986. The magic of the Cotabato Manobos. Studies in Philippine Linguistics 7(1): 153-164.
  • FLOREY MARGARET J. 1990. Language shift: Changing patterns of language allegiance in Western Seram. Ph.D. dissertation, University of Hawai'i at Manoa. UMI Dissertation Services: Ann Arbor, Michigan.
    _--,,--,-1991. Shifting patterns of language allegiance: A generational perspective from eastern Indonesia. Pp. 39-47 hI Papers in Austronesian Linguistics, No.1, H. Steinhauer (editor). Pacific
    Linguistics, Canberra.
    _--,-_1993. The reinterpretation of knowledge and its role in the process of language obsolescence. Oceanic Linguistics 32(2): 295-309.
    ___ 1997. Skewed performance and structural variation in the process of language obsolescence. Pp. 639-660 in Proceedings of the Seventh International Conference on Austronesian Linguistics, C. Ode and W. Stokhof (editors). Editions Rodopi B.V., Amsterdam/ Atlanta.
    _-,:-_1998. Alune incantations: Continuity or discontinuity in verbal art? Journal of Sociolinguistics 2(2): 205-231.
    _-,-_N.d. Threats to indigenous knowledge: A case study from eastern Indonesia. In  Language, Knowledge and the Environment: The Interdependence of Cultural and Biological Diversity, Luisa Maffi (editor). Oxford University Press, Oxford.
    ___ , CHRISTOPHER J. HEALEY, and XENIA Y. WOLFF, with WEMPI MANA KANE. N.d .. From the edge of the forest: Alune ethnobiology in a changing world.
  • FOX, JAMES J. 1975. On binary categories and primary symbols: Some Rotinese perspectives. Pp. 200-279 in Bahasa, sastra dan sejarah: Kumpulan karangan mengenai masyarakat Pulau Roti. J.J.
    Fox (editor). ILDEP, Jakarta.
  • GLICK, LEONARD R.1967. Medicineasan ethnographic category: The Gimi of the New Guinea Highlands. Ethnology 6(1); 31-56.
  • GRZIMEK, BENNO R. O. 1991. Social change on Seram: Astudy of ideologies of development in eastern Indonesia. PhD. thesis, University of London.
    ___ 1996. Sacrificing to authority: From ancestors to the Protestant Tuhan Allah. In For The Sake of our Future: Sacrificing in Eastern Indonesia. S. Howell (editor). Research School CNWS, Liden, The Netherlands.
  • MAKERAWE, MATHEUS and MAKS NIKOLEBU. 1988. Suilima: Sejarah singkat asal mula lahirnya desa Lohiatala. Unpublished manuscript reproduced in Florey 1990.
  • OOY, F. VAN. 1994. Ritual language of Sawu Dimu, eastern Indonesia. Paper presented at the 7th International Conference on Austronesian Linguistics, Leiden, The Netherlands.
  • PRENTICE, D.J. 1981. The minstrelpriestesses: A Timugon Murut exorcism ceremony and its liturgy. Pp. 121-44 in Papers on Indonesian Languages and Literature, Nigel Phillips and Khaidir
    Anwar (editors). School of Oriental and African Studies, University of London.
  • TAYLOR, PAUL. 1988. From mantra to mataraa: Opacity and transparency in the language of Tobelo magic and medicine (Halmahera Island, Indonesia). Social Science and Medicine 27(5): 425-436.
  • VALERI, VALEIRIO. 1985. "Our ancestors talked little": Forms of knowledge and forms of "power" among the Huaulu of Seram (Indonesia). Paper presented at the panel "Who's in the know: Epistemological foundations of control and secrecy" American Anthropological Association Annual
    Meeting. Washington D.C.
    _-:-:_1990. The genres of knowledge in Huaulu (Seram). Royal Institute of Linguistics and Anthropology International Workshop on Indonesian Studies No. S. Leiden, The Netherlands.
  • WOLFF, XENIA Y. and FLOREY, MARGARET }. N.d. Foraging, agricultural, and culinary practices among the Alune of west Seram, with implications for the changing significance of cultivated plants as foodstuffs. In Old World Places, New World Problems: Exploring Issues of Cultural Diversity, Environmental Sustainability, Economic Development and Local Government in Maluku, Eastern Indonesia, Franz von BendaBa:kmann and Sandra Pannell (editors). Australian National University: Centre for Resource and Environmental Studies, Canberra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar