Minggu, 08 Januari 2023

Peperangan, Perampokan, Perbudakan dan Pembajakan di Kepulauan Maluku

(bag 1)

Oleh Manuel Lobato

 

  1. Pengantar

Mungkin dari kita banyak yang mengetahui bahwa sejarah bangsa Maluku sebelum datangnya bangsa Eropa yaitu Portugis dan diikuti Belanda pada abad ke-16 dan ke-17, adalah sejarah wilayah yang penuh “kedamaian”, namun faktanya tidak seperti itu. Periode sebelum itu, tepatnya sebelum abad ke-15, di wilayah timur yang nantinya dikenal sebagai Indonesia, penuh dengan gejolak, berupa peperangan, perampokan, pembajakan dan perbudakan. Mungkin hal ini mengagetkan kita, tetapi faktanya demikian adanya.

Manuel Lobato dalam kajian berjudul War-Making, Raiding, Slave Hunting and Piracy in the Malukan Archipelago, mengurai jejak-jejak kekerasan itu. Berbasis dari banyak sumber, sang penulis membahas tentang peperangan, perampokan, pembajakan dan disertai perbudakan di wilayah timur Indonesia yang terjadi sebelum munculnya bangsa Eropa dan intensitas kekerasan yang meningkat pada masa kolonial (Portugis dan Belanda/VOC). Artikel atau kajian dari Manuel Lobato ini dimuat dalam buku Piracy and surreptitious activities in the Malay Archipelago and adjacent seas, 1600-1840, pada bab 5, halaman 77 – 103, dimana buku ini dieditori oleh Y.H. Teddy Sim dan terbitkan pada tahun 2014 oleh penerbit Springer. Selain kajian dari Manuel Lobato, ada juga kajian dari Peter Borschberg (untuk semenanjung Melayu), Ariel Cusi Lopez (untuk wilayah Mindanao), Chung Min Chin (untuk wilayah Sulu), Y.H. Teddy Sim (untuk wilayah laut Burma) dan lain-lain. 

Kepulauan Maluku (1607)

Artikel sepanjang 27 halaman ini terdiri dari 25 halaman kajian, 2 halaman bibliografi dan 97 catatan kaki dari penulis, dan sayangnya tidak ada peta atau gambar-gambar pendukungnya. Membaca kajian ini, pastilah kita akan mengetahui banyak tentang situasi wilayah kepulauan Maluku sebelum kedatangan bangsa Eropa hingga kedatangan mereka dan meningkatnya intensitas peperangan di wilayah itu. Maka, tentunya akan lebih bermanfaat jika kemudian kami menerjemahkan kajian dari Manuel Lobato ini, agar bisa dibaca luas. Pada hasil terjemahan ini, kami membaginya menjadi 2 bagian dan hanya menambahkan beberapa gambar pendukung serta catatan tambahan jika diperlukan. Akhirnya, semoga uraian dari Manuel Lobato ini, bisa bermanfaat bagi kita semua.  

  1. Terjemahan

Abstrak

Kajian ini menyelidiki perlawanan orang Asia terhadap resistensi dan upaya kerjasama dengan VOC. Ikatan politik-budaya di antara para penguasa dan pemimpin desa, yang menyediakan pengembalian segera, lebih penting daripada alasan-alasan ekonomi dalam perlawanan. Dalam situaasi meningkatnya peperangan di Kepulauan Melayu sejak pertengahan abad ke-16, perbedaan etnis di wilayah itu disembunyikan di bawah penampilan konflik Muslim-Kristen yang jauh lebih tajam. Perselisihan lokal cenderung diselesaikan dengan mengajukan kepada kekuatan-kekuatan utama regional, yang memberi Ternate atau Makassar kesempatan untuk semakin mencampuri dan menuntut upeti sebagai pemimpin tertinggi. Melakukan ekspedisi hukuman jarak jauh, merampas kapal-kapal orang Asia, dan menjarah wilayah-wilayah pinggiran sungai dari Sangihe dan Syau hingga ke Laut Timor, kekuatan-kekuatan besar maritim Asia melakukan perbudakan untuk berbagai tujuan di luar motif ekonomi. Dengan cara ini, mereka mengubah diri mereka menjadi pemburu budak dan berkontribusi pada lalu lintas budak yang mengarah ke Jawa bagian barat dan Batavia.

Pendahuluan

Kepulauan Maluku masuk dalam “sejarah global” terutama sebagai daerah untuk produksi dan perdagangan rempah-rempah. Meskipun ini adalah sejarah kekerasan dan agresi brutal terhadap dan di antara populasi Asia, rempah-rempah tampaknya belum menjadi motif untuk perang sebelum kedatangan bangsa Eropa. Pertemuan pertama di Maluku terjadi pada tahun 1512, ketika Francisco Serrão dan beberapa rekan Portugis lainnya diserang di Pulau Penyu, di sebelah barat pulau Buru, oleh bajak laut Wadjo (“Bajaus”) dari Sulawesi bagian timur, yang melakukan penyerangan negeri-negeri berpelabuhan di semenanjung Hoamoal1. Reputasi orang-orang Bugis sebagai bajak laut, entah itu bisa pandangan steorotif atau tidak2, diperhatikan oleh Portugis sepanjang abad ke-16, saat pembajakan adalah praktik yang agak umum di bagian timur dan barat laut Kepulauan Melayu. Jacques de Coutre, pedagang Flemish yang berdagang batu-batu berharga, menganggap Sultan Brunei, Sultan Shah, “lebih bajak laut daripada seorang raja”, dan sebagian besar rakyatnya sebagai “Bajaus Borneo”3, mungkin suatu cabang lain dari Orang Tidung, bajak laut terkenal yang Thomas Forest temui di pantai timur laut Kalimantan, 2 abad kemudian4. Namun, pembajakan hanya merupakan aspek darri praktik kekerasan dan penjarahan yang luas, yang telah menjadi tujuan utama perburuan budak. Hal itu mengalami dorongan besaar pada akhir 1660-an, setelah Perang Makassar, ketika beberapa Bajaus pindah ke Pasir, Bima, Sumbawa dan tujuan seberang lautnya di Kepulauan Sunda Kecil5.

Aktivitas penangkapan budak di timur Indonesia, sering dikatakan dirangsang oleh kebutuhan Belanda akan budak di Batavia, meskipun perdagangan budak hanya mencapai 0,5 % dari total volume perdagangan VOC, termasuk perdagangan di koloni Afrika Selatan6. Beberapa motif sebenarnya digunakan untuk menjelaskan meledaknya perburuan budak dan perampokan : kebutuhan orang Eropa akan tenaga kerja di perkebunan, di tempat kerja, di perkotaan dan kebun di pinggiran kota, dan juga buruh untuk pekerjaan pelabuhan, galangan kapal dan awal kapal; banyaknya barang impor; dan panen rempah-rempah dan pembatasan perdagangan. Namun, dengan pengecualian kompensasi untuk kebijakan pemusnahan oleh Belanda, salah satu motif sebelumnya tampaknya telah menghasilkan dampak yang cukup di wilayah Maluku. Meskipun setelah tahun 1660-an, Belanda mencari tenaga kerja untuk perkebunan lada di Kalimantan, Jawa, dan Sumatera, dan pemilik budak Melayu, Cina dan Belanda lebih menyukai tenaga kerja Papua7, jumlah untuk budak Papua dan Maluku ke Batavia, satu-satunya yang tersedia, tidak terlalu pasti. Mereka mungkin lebih sedikit daripada mereka yang berasal dari Kepulauan Sunda Kecil. Di sisi lain, pada tahun 1700, 1 dari 3 penduduk Batavia adalah seorang budak dan kebanyakan budak berasal dari Melayu timur8. Apakah mereka berasal dari Makassar, Kepulauan Sunda Kecil atau daerah Raja Ampat, di antara mereka pastilah berasal dari Maluku. 

Ternate (1607)

Tidak mengherankan, jumlah barang impor yang sangat besar hampir tidak mendorong penangkapan budak di antara ekonomi berteknologi rendah dengan sedikit keragaman barang yang akan dipertukarkan di sepanjang saluran antar benua, karena dapat diekstrapolasi dari skenario serupa di seluruh zona pinggiran Samudra Hindia, yaitu di Afrika Timur, dimana meningkatnya pasokan tekstil India mengurangi kembali emas, gading, dan budak selama abad ke-179. Sebaliknya, menurut Roxo de Brito, emas merupakan insentif utama bagi orang Papua dari Misool dan pulau-pulau lain di Raja Ampat untuk melakukan serangan dan menangkap budak untuk ditukar di Seram Timur. Dia menambahkan bahwa hampir semua rakyat jelata Misool mengenakan anting-anting dan ornamen emas lainnya10. Ini tampaknya merupakan praktik yang berkembang cukup awal dan secara independen, dari barang impor yang tersedia yang dibawa oleh pedagang Asia dan Eropa.

Perbudakan memiliki tradisi panjang di seluruh Asia Tenggara. Di Sulawesi Selatan, selama periode pra-Muslim, bahkan para penguasa seperti Tumapaqrisiq Kallona, seorang Raja awal Gowa abad ke-16, adalah putra-putra dari selir yang berasal dari budak, meskipun perkawinan antar suku memunculkan keturunan dari status atau level yang agak ambigu dan kompleks secara sosial. Penyerangan maritim tampaknya merupakan perpanjangan dari kehancuran internal dan perbudakan besar-besaran yang terjadi di wilayah-wilayah vassal Gowa selama abad ke-16, menghasilkan daerah-daerah terpencil yang luas. Dengan enggan menerima perbudakan, banyak orang Bugis pindah ke pantai, meninggalkan pertanian untuk menemukan kegiatan pelayaran11, termasuk perampokan dan pembajakan.

Dengan rempah-rempah menjadi motif kedua, perdagangan cengkih memberi penguasa Maluku sarana untuk mengakses aliran barang-barang mewah dan bergengsi, terutama impor tekstil India, senjata Api dari Jawa dan beras. Kecuali pulau Bacan yang cukup besar dan berawa-rawa, wilayah atau daerah penghasil cengkih terlalu kecil dan agak sukar menghidupi penduduk pribumi. Konflik endemik sebagian besar berasal dari persaingan untuk pengaruh politik antara 2 kerajaan utama regional – Ternate dan Tidore – juga untuk mengendalikan daerah pemasok makanan di pulau Halmahera Utara.

Yang paling penting, para sejarahwan zaman modern awal mengaitkan insentif kekerasan kepada budaya politik tradisional serta kemunculan produksi penanaman uang dan proses pembentukan negara12. Namun, tulisan-tulisan orang Eropa dari periode berikutnya, terutama dari akhir abad ke-18 dan seterusnya, akan memberikan penilaian yang agak kontras. Mengingat lemahnya “negara-negara” di timur Indonesia, sebagian besar sejarahwan yang mengkaji periode kolonial, kemudian berasumsi bahwa dinamika pembentukan negara memudar karena campur tangan VOC. Mereka juga berasumsi bahwa orang Eropa tidak berkontribusi secara signifikan dalam penguatan kesultanan Ternate dan Tidore, yang paling kuat di antara “negara-negara” lainnya. Ini sebagian berasal dari fakta bahwa Ternate terbukti, kecuali dalam beberapa kesempatan, semakin dapat dikendalikan selama periode kekuasaan Belanda atas wilayah tersebut. Namun, Ternate juga membangun hegemoni sendiri sejak masa lalu, suatu proses yang pasti dimulai jauh sebelum abad ke-15, dan akan memasuki tahap akhir, ketika pertama kali dideskripsikan oleh sumber-sumber Portugis dan Spanyol pada awal abad ke-16. Catatan-catatan kaum Iberian berulangkali melaporkan strategi yang digunakan oleh penguasa Ternate dan Tidore, untuk menghindari kehilangan hak prerogatif yang telah lama didapatkan, serta reaksi oleh penguasa lainnya yang kurang kuat, seperti Raja Katarabumi dari Jailolo (memerintah sekitar 1534 – 1551), yang menyatakan dirinya sebagai Sultan di tahun 1540-an, tetapi gagal mengkonsolidasikan koalisi regional yang bertahan lama13.

Dengan mendukung Ternate, campur tangan kaum Eropa di Maluku secara definitif mengganggu kekuatan-kekuatan pribumi yang agak seimbang, berdasarkan nilai-nilai dualistik yang secara budaya bernilai positif. Pada pertengahan abad ke-16, Sultan Ternate memperluas pengaruhnya atas Motir dan Makian, dengan mengorbankan Tidore14. Pengaruh regional kesultanan Ternate dan kapasitasnya untuk melibatkan sumber daya militer, tumbuh hingga pada titik [saat] mengalahkan Portugis pada tahun 1575 dan setelah tahun 1581, berhasil menolak gabungan kekuatan militer Portugis dan Spanyol yang bermarkas di Tidore. Penguasa Ternate memiliki kemampuan untuk membangun kemitraan yang kuat dengan faksi-faksi kaum Eropa yang paling kuat di Maluku. Pertama-tama, mereka memperoleh persahabatan dari Portugis saat melawan Tidore dan armada Spanyol yang datang dari Meksiko, namun hilang. Pada kuartal terakhir abad ke-16, Ternate dan wilayah-wilayah vasalnya meningkatkan hubungan dagang dan menerima dukungan militer dari beberapa kota pelabuhan di Jawa, yang semakin tidak aman dengan kapal-kapal Portugis yang “berseliweran” antara Malaka dan Maluku. Tuban, Gresik, Sidayu, Brondong dan Jaratan, terlibat pada tahun 1580 dalam perebutan Surabaya melawan sebuah kapal perang Portugis di bawah komando Agostinho Nunes, Gubernur baru Ambon yang ditunjuk. 25 orang yang selamat diperbudak dan dijual di Gresik dan Japara15. Pada awal abad ke-17, Ternate bergabung dengan upaya Belanda yang berhasil menyingkirkan orang-orang Iberia dari perdagangan cengkih. Jalur kesultanan adalah model sentralisasi politik yang berhasil pada skala regional, karena otoriyas negara dan pejabat lokal yaitu kapitan laut dan Rubuhonghi “gubernur” Ternate atau perwakilan Sultan di daerah Buru, Seram dan Ambon, meningkatkan subordinasi atau ketundukan wilayah itu kepada Sultan. Selain pusat-pusat kekuasaan yang didelegasikan ini, Islam juga memainkan peran besar, karena Sultan Ternate diakui sebagai pemimpin tertinggi di seluruh Maluku dan oleh banyak “negara” di wilayah yang luas dari Mindanao hingga Timor. Rupanya, hanya di wilayah Raja Ampat Papua, gengsi dan keunggulan Sultan Tidore, mengalahkan Ternate. Argensola menyebutkan Ternate memerintah 72 kerajaan16, dan Francis Pretty, dalam kisahnya tentang pelayaran Francis Drake ke seluruh dunia, juga merujuk hal demikian17, dimana kedua orang tersebut mereproduksi secara tidak kritis, bagaimana orang-orang Ternate melihat pengaruh politik mereka sendiri di seluruh kepulauan bagian timur. 

De Vlamingh menginspeksi Cengkih di Ternate (1656)

Peperangan : Semantik dan Praktik

Hubungan kekuasaan di wilayah Maluku, tampaknya sangat mirip dengan daerah lain di Kepulauan Melayu, yaitu di “negara” tetangga, yaitu Filipina dan Papua Barat. Karena orang-orang Filipina bukan “orang-orang yang ramah dan suka kedamaian”, Felice N. Rodriguez menganggap kekerasan sebagai “jendela untuk memahami kehidupan sebenarnya” dan peperangan sebagai cara untuk mendefinisikan “masyarakat pribumi awal”. Pendekatan budaya semacam itu mengenai motif utama untuk kekerasan, seharusnya menjelaskan alasan mendalam mengapa orang membunuh dan untuk apa mereka mati. Faktanya, mengenai motif politik dan ekonomi untuk kekerasan, harus diakui bahwa motif tersebut seringkali hanya merupakan dalih atau alasan. Hal ini tampak cukup jelas dalam sengketa wilayah yang melibatkan sumber daya penting, seperti penguasaan politik atas tenaga kerja. Namun, motif lain, seperti serangan balasan dan perselisihan pribadi, menyiratkan investasi perang yang lebih kuat, untuk menyelamatkan “wajah” dan reputasi, semuanya tampaknya merupakan akibat logis dari kebutuhan ekonomi dan budaya yang berakar dan dalam, yang terkait dengan peperangan. Menganalisis dengan kronik-kronik Spanyol tentang Filipina, F.N. Rodriguez memberi perhatian khusus pada munculnya “metode, ritual, alat dan bahasa perang”. Dalam penelitiannya pada 3 kamus bahasa Tagalog yang disusun oleh para misionaris Spanyol, ia sampai pada kesimpulan bahwa menurut perangkat-perangkat bahasa Spanyol ini, orang-orang Filipina memiliki 2 gagasan berbeda untuk perang – perang darat dan perang laut - : masing-masing pangahat (atau pangabat) dan pagayao (atau pangangayao). Namun, dalam kamus-kamus berbahasa Spanyol tersebut, kedua ungkapan itu diterjemahkan sebagai conquistar, “to conquer” (“menaklukan”), yang mengandung makna yang agak beragam, mengingat gagasan bahwa penaklukan menyiratkan pendudukan atas wilayah, suatu gagasan yang terkait erat dalam literatur tentang praktik politik Spanyol selama awal zaman modern. Faktanya, pagayao atau pangangayao secara harfiah berarti “memotong kepala”18.

Penyerangan desa, di satu sisi untuk penaklukan dan untuk menangkap budak, dan memotong kepala musuh, di sisi lain, jelas merupakan gagasan yang berbeda dari kegiatan perang yang berbeda, yang hampir tidak dapat “dilihat” oleh pengamat Eropa. Kadang-kadang, perampok menjadi bajak laut setiap kali ada kesempatan. Dengan cara ini, perang, penyerbuan, dan pembajakan digabungkan menjadi satu aktivitas perang tunggal, yang penggunaan khususnya dalam bahasa Melayu, tidak terjadi sebelum paruh kedua abad ke-1819. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan untuk menemukan, di antara para penulis Eropa abad ke-19 dan para pegawai kolonial, penggunaan istilah “piracy” (“pembajakan”) dan “pirate” (“pembajak”) secara tidak kritis diterapkan pada aktivitas perampasan kapal-kapal dan penyerangan di daerah-daerah pinggiran. Asimilasi semacam itu, mungkin disebabkan oleh fakta bahwa kedua aktivitas tersebut didasarkan pada kekuataan dan aset perairan. Ini bukan hanya contoh tentang kesalahpahaman dan biasnya orang Eropa terhadap elemen kunci dari budaya Melayu : untuk membatasi praktik kekerasan seperti itu, juga merupakan alat penting bagi kekuatan Eropa untuk aturan-aturan laut, kepada raja dan negera yang merdeka. Karena itu, penting untuk merujuk bahwa pembajakan terorganisir dan bajak laut sesekali adalah fakta kuat di kepulauan Melayu. Sejak 1780-an, kapal-kapal berbendera VOC terbukti rentan terhadap serangan bajak laut, seperti dalam kasus, ketika 2 kapal, yaitu pacalang dan brig, ditangkap oleh bajak laut Mindanao di luat Gorontalo (Sulawesi Utara) dan Obi20.

Di wilayah Maluku, perbedaan antara 2 cara berbeda dalam perang, juga menjadi jelas bagi para pengamat Eropa. Penyerangan yang dilakukan dengan tujuan dan pertikaian terbatas disebut garu (dalam bahasa Portugis dan Spanyol yaitu garo), yang berarti “ mencakar” dan “menggores”, karenanya “penyergapan” atau serangan mendadak, suatu istilah yang juga digunakan di kepulauan Sulu, mungkin berasal dari bahasa Melayu, garuq, “menjerit keras-keras”, dan merupakan praktik umum dalam setiap aksi peperangan yang terjadi di darat atau laut di seluruh kepulauan timur. Kadang-kadang penyerangan ini semata-mata bertujuan untuk menangkap orang untuk mendapatkan informasi politik dan militer. Pada bulan Februari 1614, regent Bacan, Cacil Malitu, terbunuh akibat garu yang dilakukan oleh 2 kora-kora Tidore pada Makian. Pada tahun yang sama, selama penyerangan pada Morotai, Pangeran Tidore, Cacil Naro, satu-satunya putra dan pewaris Sultan Mole, membunuh 2 penguasa Kristen, salah satunya Don Juan de Silva, sengadji dari Tolo, dimana orang Spanyol bermarkas hingga tahun 1613. Ia juga memperbudak sejumlah orang Kristen, termasuk wanita dan anak-anak. Dihadapkan oleh misionaris Jesuit asal Italia, Lorenzo Masonio, Pangeran Tidore membenarkan dirinya, untuk mencegah orang Moro pindah ke kekuasaan Ternate, menyangkal tuduhan yang dituduhkan yaitu telah bertindak sengaja untuk menangkap budak21. Budak-budak sama sekali bukanlah properti yang penting dan berharga bagi para penguasa Tidore. Satu setengah abad kemudian, Pangeran Nuku, menolak untuk menyerahkan 20 budak Papua kepada Belanda, dan juga menghancurkan beberapa benteng di Tidore, sementara ia terus mengeluhkan tindakan Belanda lainnya22

Kepulauan Maluku (1682)

Relasi Kekuasaan : Suka Berperang

Menurut Apolonius Schoot, penduduk Ternate dan Tidore biasanya kurang suka bekerja di ladang, tetapi lebih cenderung suka berperang , dimana mereka hampir terlibat secara permanen/tetap. Sebagai akibatnya, pulau-pulau ini tidak swasembada bahan makanan yang harus diperoleh di luar daerah melalui penyerangan atau pemaksaan :

Kedua daerah ini berani dan bangga, hidup lebih cenderung berperang daripada bertani, saling melakukan perampokan dan penjarahan satu sama lain, karena mereka adalah musuh abadi dan sudah disumpah; ......mereka memiliki tujuan besar, berusaha untuk memerintah atas semua pulau lainnya23.

Dia berkomentar bahwa orang-orang Ternate, khususnya “sangat terbuka untuk mengadopsi metode-metode Eropa” dalam berperang, dan bahwa mereka memperoleh posisi sosial dan politik melalui peperangan24.

Pada tahun 1616, persahabatan antara Ternate dan Belanda terprovokasi beberapa kritik di kalangan elit Ternate, karena perdagangan dan perjanjian politik yang jelas menguntungkan VOC25. Situasi serupa kemudian terjadi di sisi Tidore dengan Spanyol. Terlibat dengan sekutu Eropa mereka, Ternate dan Tidore bebas untuk berperang satu sama lain, tetapi tidak menginginkan untuk berdamai. Sebagai konsekuensinya, keharmonisan yang akan didasarkan pada konsep dualistik tentang masa perang dan masa damai menjadi terputus. Karenanya regent Ternate dan Naro, Pangeran Tidore, menyesuaikan persyaratan untuk perdamaian informal, berpura-pura dengan komitmen mereka kepada sekutu Eropa mereka masing-masing. Situasi ini tidak akan pernah diselesaikan dengan memuaskan. Pada tahun 1639, orang-orang Spanyol menjadi bingung oleh raja-raja Tidore dan Ternate, yang secara resmi merayakan perdamaian, “sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan”, kata mereka26. Rupanya, Gorontalo, Sultan Tidore (memerintah 1633 – 1653), membenarkan tindakannya dengan fakta bahwa selama 4 tahun sebelumnya Gubernur Filipina gagal mengiriminya hadiah seperti biasanya. Orang-orang Spanyol, bagaimanapun, tidak percaya bahwa dia tergerak oleh alasan yang agak sia-sia27.

Menurut Schott, untuk waktu yang lama, pihak Ternate “terbiasa untuk memerintah atas otoritas lain dengan otoritas dan kekuasaan yang besar, sehingga mereka tidak bisa tidak menganggapnya salah bagi siapa pun untuk menjalankan kekuasaan penuh atas wilayah itu”28. Dia menganggap penguasaan ini sebagai hasil pemerintahan yang baik oleh 3 bekas Sultan : Baab Ullah (1570-1583), Said Udin Berkat (1583-1606) dan Hidayat (1606-1610)29. Sebenarnya, Baab Ullah adalah satu-satunya yang memerintah dengan otoritas penuh, bebas dari dukungan kaum Eropa manapun, dan akhirnya mengalahkan Portugis, karena dipengaruhi kebijakan ayahnya, Sultan Hairun (1535-1570). Hairun mulai memerintah dalam posisi yang agak lemah, berhasil menghindari menjadi penguasa tidak berdaya di bawah kekuasaan Portugis, seperti saudaranya dan beberapa regent lain sebelumnya, yang dengan sabar mengkonsolidasikan posisi pribadinya dan membangun hegemoni regional Ternate yang kuat dan berjangka panjang30

Benteng Portugis Di Ternate (1608)

Sisi lain dari fakta politik ini adalah perlawanan sesekali dan terkadang meluas oleh komunitas-komunitas yang menderita penganiayaan dan tekanan yang berlebihan dari para Sultan Ternate dan Tidore. Rupanya, bentuk-bentuk perlawanan itu, umumnya damai. Namun, masalahnya lebih lebih akut di wilayah penghasil sagu dan pasokan beras di Halmahera Utara dan Bacan, dimana terjadi sejumlah konversi agama Kristen sejak tahun 1530-an. Komunitas-komunitas ini berusaha melepaskan diri dari pengaruh Ternate, dengan memperoleh dukungan politik dan perlindungan militer dari Portugis, yang, tidak seperti Belanda 1 abad kemudian, dengan mudah terlibat dalam konflik-konflik yang berkaitan dengan komunitas-komunitas lokal. Sedangkan Raja Bacan yang telah lama memeluk Islam, tidak menentang hegemoni Ternate, sangadji dari Labuha meminta untuk dibaptis pada tahun 1579, dan mengadopsi nama Rui Pereira31.

Akan tetapi, konflik ini, yang berasal jauh dari masa lalu, berfokus pada kontrol oleh Sultan-Sultan Tidore dan Ternate atas daerah-daerah penghasil beras dan sagu di utara. Halmahera dan Bacan, tertanam dalam budaya dan bahasa setempat sampai-sampai ungkapan yang sama digunakan untuk menunjukan “memanen sagu” dan “merampok”. Pada akhir abad ke-18, misalnya, orang-orang dari Galela dan Toboru, di utara dan barat laut Halmahera, dikatakan mempersenjatai 1 kora-kora untuk melakukan penyerangan demi pembagian sagu di kepulauan Sula, di lepas pantai timur Sulawesi32. Dalam situasi dipaksa untuk memberikan sagu kepada Sultan Ternate dan untuk menghindari menjadi korban dari orang-orang Ternate, kelompok-kelompok Halmahera utara ini mengembangkan strategi serangan mereka yang didukung oleh Ternate.

John Saris, pada tahun 1612, melaporkan bahwa, karena “perang saudara” yang sedang berlangsung, dan konflik Belanda-Spanyol yang berlangsung lama, cengkih tidak lagi dipanen di Bacan, yang sebelumnya paling produktif di antara kepulauan rempah-rempah, penduduk memilih untuk tidak memanen cengkih33. Beberapa tahun kemudian, panen cengkih di Bacan terus ditinggalkan, sebagian karena perang dan tekanan pada penduduk, beberapa dari mereka, yang sebelumnya dikhususkan untuk Portugis, telah berpindah agama menjadi Kristen untuk menghindari takluk di bawah kekuasaan Ternate. Schott menginformasikan bahwa, pada tahun 1609, pemukim dibawa ke Tobelo dari Kayoa, dimana perlawanan keras terhadap pengaruh Ternate menyebar, diduga untuk melindungi mereka dan meningkatkan panen cengkih di Bacan. Dia menggambarkan bagaimana “tirani” dan pemaksaan berat oleh Sultan, membuat pulau-pulau di bawah kekuasaan Ternate, jarang dihuni dan bagaimana Belanda merasa sulit untuk menaati perjanjian bilateral mereka dengan penduduk yang berulang kali menderita kerugian yang ditimbulkan oleh orang-orang Ternate. Pulau Motir, yang sebelumnya tidak berpenghuni karena perang yang terus menerus antara Ternate dan Tidore, dihuni kembali oleh 2.000 orang, di antara mereka adalah orang-orang Ternate yang yang sebelumnya melarikan diri ke Jailolo, dan wilayah vasal Ternate yang datang dari Gane, di ujung selatan Halmahera34.

Belanda tidak dapat mencegah Sultan Hamzah (1627-1648) dan Sultan Mandar Syah (1648-1675) memperluas hegemoni Ternate atas wilayah-wilayah pinggiran. Meskipun para penguasa Ternate ini memberikan bebeberapa daerah yang memberontak, seperti Hitu, di utara Ambon, dan Hoamoal, di Seram bagian barat, untuk ditempatkan di bawah kekuasaan Belanda, pengaruh VOC atas pusat kesultan Ternate tetap terbatas35.


Koneksi Maluku dan Makassar

Selama dekade-dekade awal kontrol VOC yang adil atas perdagangan rempah-rempah di Maluku, para pedagang Makassar dikatakan telah mengunjungi secara teratur kepulauan Ambon, dan kadang-kadang beberapa pelabuhan yang lebih jauh ke utara, ke wilayah pusat kesultanan Ternate, sesekali diuntungkan oleh bantuan pemerintah lokal dan Sultan sendiri. Volume cengkih dan pala serta fuli dalam jumlah kecil yang berasal dari daerah-daerah di luar kontrol VOC, membanjiri Makassar, sebagaimana dilaporkan oleh agen-agen berbangsa Inggris di sana36, yang menerima hak perdagangan terbatas sebagai imbalan untuk memberikan persenjataan berukuran besar dan senjata api orang Eropa lainnya kepada Sultan37. Portugis dari Malaka dan Tidore dan Spanyol dari Tidore dan Manila, juga sering mengunjungi Makassar, merangsang perdagangan penyelundupan, meskipun mereka hanya diterima secara individual seperti pedagang Melayu lainnya. Meskipun hampir semua upaya milter Spanyol dilakukan dibawah kebutuhan defensif melawan Belanda, pada momen-momen tertentu, bagaimanapun juga, kadang-kadang, latar belakang Spanyol yang bias membuat mereka menyerang, bahkan kepada sekutu mereka sendiri, seperti yang terjadi pada tahun 1617 di lepas pantai pulau Buru, ketika kapten Don Fernando Becerra menangkap sebuah kapal milik Alaudin, Sultan Makassar (1593-1639), menewaskan semua orang di kapal, termasuk ulama (bahasa Spanyol : Casis) dan mengambil barang-barang berharga, yang secara teori, akan dianggap sebagai upeti kerajaan Spanyol, namun Becerra lebih memilih untuk mendistribusikan barang-barang rampasan itu untuk para serdadu di bawah komandonya, suatu praktik umum di antara para perompak Asia Tenggara38. Kaum “burger bebas” Belanda yang menetap di kepulauan Banda, juga menggunakan senjata api Eropa milik mereka, untuk merampok pedagang-pedagang Asia, sebuah fakta yang mendorong VOC untuk menerapkan pembatasan yang lebih ketat terhadap kebebasan mereka untuk membeli barang-barang minuman dan komoditas tidak berharga lainnya39

Ambon (1606)

Menjelang akhir tahun 1620-an, penyelundupan hebat telah merusak perdagangan cengkih milik Belanda sampai-sampai VOC mengambil langkah-langkah pembatasan untuk menegakkan monopolinya. Pada tahun 1629, Ternate, yang tampaknya mematuhi tekanan Belanda, menempatkan 100 kora-kora di kepulauan Ambon untuk mencegah junk-junk Asia Tenggara untuk membeli cengkih di bawah perlindungan Sultan Makassar. Namun, perwakilan Sultan Ternate di Seram Selatan, Kimelaha, terus menyelundupkan cengkih ke Makassar. Embargo tetap tidak efektif dan semua operasi menghasilkan hasil yang buruk, seperti pada tahun 1630 sekitar 300 bahar cengkih jatuh ke tangan agen-agen Inggris di Makassar, memaksa Belanda untuk memblokade Ambon, juga dengan memperoleh hasil yang sedikit. Menurut Inggris, “perang Ambon” pada tahun 1636, meningkatkan jumlah cengkih yang diselundupkan di luar kontrol Belanda, sekitar 400 bahar dengan imbalan senjata api Asia dan Eropa. Setelah tahun 1642, ketika VOC memperoleh izin untuk mendirikan gudang di Makassar, banyak pedagang Melayu meninggalkan kapal untuk berlayar dari sana ke Ambon karena takut terlacak oleh Belanda. Kemudian kesultanan menjalin hubungan persahabatan yang lebih dekat dengan Manila untuk mendapatkan cengkih yang dikirim dari benteng Spanyol di Tidore, dengan imbalan beras lokal serta senjata api dan bubuk mesiu yang berasal dari Inggris40.

Namun, pada setengah abad sebelum Perjanjian Bunggaya tahun 1667, kronik-kronik “Pangeran Gowa dan Taloq” merujuk, pada tahun 1652, hanya 2 ekspedisi militer dan penyerangan Makassar melawan Ternate dan Belanda di Ambon, diluar daftar 55 ekspedisi semacam itu41. Mereka memberikan dukungan perdagangan dan militer dari Makassar ke Kimelaha Majira di Luhu, di semenanjung Hoamoal Seram, yang menolak supremasi Sultan Ternate, Mandar Syah (1648-1675), menawarkan kesempatan untuk menghindari kontrol Belanda dan meningkatkan kegiatan “ilegal” yang dilakukan oleh para pedagang Melayu42. 160 orang Belanda, termasuk beberapa wanita dan anak-anak, kehilangan nyawa mereka ditangan para pemimpin “pemberontak”, Kimelaha Majira, dan kapitan laut, Said43. Menurut Charles Boxer, otoritas Belanda di Batavia percaya bahwa pedagang Portugis terkemuka di Makassar, Francisco Viera de Figueiredo, telah berada di balik peristiwa pemberontakan tahun 165144.

Bahkan, pada tahun 1651, pemberontak Ambon memperkuat diri di Loki, titik tertinggi di pantai timur Hoamoal. Mereka menerima dukungan dari Makassar, dimana sejumlah resimen orang Portugis oleh Figueiredo ikut serta45. Pada tanggal 27 Juni 1652, 400 tentara Belanda dan 50 orang Ternate, akhirnya merebut benteng di perbukitan Loki46. Pada bulan Maret tahun berikutnya, Sultan Hasanudin (1653-1669) melakukan pelayaran mendukung pemberontakan Ambon melawan kubu Belanda di pulau Butung :

Raja berlayar secara pribadi, ditemani para pemimpin lain yang tunduk kepadanya, dengan pasukan sebanyak 60.000 orang47.........mencapai sebuah pulau yang mereka sebut Butung yang menuju [ke Ambon], yang ingin dia tuju ke wilayah itu karena telah memberontak dan bergabung dengan Belanda, yang memiliki benteng dengan 30 serdadu Eropa dan 29 orang Ternate. Orang Makassar menyerang benteng yang dengan gagah berani dipertahankan. Pihak yang bertahan, yang tidak bisa lagi bertahan, membakar bubuk mesiu dan meledak bersama 45 orang Makassar. Benteng itu dihancurkan dan seluruh pulau menyerah, membayar 14.000 pardaos kepada Raja Makassar. Setelah selesai dengan urusan ini, ia kembali ke markasnya, karena angin muson untuk berlayar ke Ambon telah berganti48

Dari akhir abad ke-16, beberapa pedagang Makassar mungkin menetap di istana Ternate, dimana mereka mendirikan sebuah kampung Makassar, yang kita ketahui informasinya secara reguler dari tahun 1680-an dan seterusnya49.

Kebijakan ekstirpasi yang diberlakukan oleh administrasi VOC di Maluku Utara, membawa peningkatan pendapatan Sultan Ternate dan kemiskinan rakyat jelata dan wilayah-wilayah vasal50, yang secara tradisional dikeluarkan dari pendapatan kompeni non produktif, seperti pembajakan dan penangkapan budak.  Keluarga kerajaan dan elit istana berbagi 12.000 rixdollar per tahun, yang dibayarkan oleh Belanda sejak tahun 1752 kepada Sultan, sebagai kompensasi untuk melepaskan ekspor rempah-rempah dan pengawasan panen cengkih di seluruh wilayah kekuasaannya. Namun, pemimpin desa dan para petani, menderita kerugian dari kebijakan ini, melibatkan diri dalam perang yang diprakarsai sendiri, penangkapan budak dan kegiatan pembajakan lainnya sebagai alternatif untuk produksi cengkih


Pembajakan dan Konflik Etnis : Memori atau Amnesia?

Meskipun penyerangan dan perburuan budak ada di Maluku jauh sebelum orang-orang Eropa mulai membahas tentang hal itu, tidak dapat dikatakan bahwa hal demikian adalah kegiatan yang secara eksklusif “berakar” dalam praktik perang khas Papua. Di Galela dan Tobelo, di timur laut Halmahera, penduduk kontemporer dengan bangga mengingat leluhur mereka sebagai pejuang atau perompak laut, kegiatan yang secara budaya terkait dengan kejantanan (kelaki-lakian) dan simbolisasi rasa bersalah dan pembunuhan yang dilakukan selama ritual pernikahan. Para antropolog percaya bahwa komunitas-komunitas ini telah mengembangkan praktik pemurnian ini melalui keterlibatan yang kuat dalam pembajakan sejak abad ke-17 dan seterusnya. Di desa-desa lain di seluruh wilayah ini, seperti Kao atau Loloda, bajak laut “profesional” dapat ditemukan hingga akhir abad ke-19. Ngidiho dari Galela, misalnya, masih menampilkan tarian sakral cakalele  sebagai perayaan kemenangan untuk menghormati leluhur “bajak laut” mereka, dan berbicara dengan bangga tentang hal itu, seperti yang dilakukan kebanyakan orang di Halmahera Utara, Ternate dan Tidore. Serangan terhadap kapal dagang hingga sejauh di Seram dan Timor, juga terjaga dalam tradisi lisan Galela51. Dihadapkan dengan tradisi-tradisi lisan yang hidup ini dan beberapa catatan sejarah, para antropolog berhasil untuk menghubungkan bajak laut di antara desa-desa Ndigiho di timur laut Halmahera dengan proses pembentukan negara di Maluku utara. Secara politis dan budaya, cukup jelas bahwa pembajakan sesekali berwujud perlawanan dari daerah-daerah pinggiran terhadap pusat hegemonik di Ternate dan Tidore. Tetapi sebaliknya juga benar. Sejumlah contoh mengungkapkan bahwa kepatuhan minor wilayah pinggiran ke pusat politik, seringkali ditandai melalui keterlibatan dalam kegiatan penyerangan yang disponsori oleh pusat-pusat yang kuat, seperti Ternate atau Tidore. 

Tidore (1607)

Motif ekonomi yang kuat untuk pembajakan dan perampokan juga digunakan dalam memori kolektif. Namun, berdampingan dengan ingatan yang paling nyata, motif sosial dan ekonomi lainnya harus ditemukan, terutama dalam cara dimana Raja-raja Ternate dan Tidore menegakkan kendali mereka sebagai penguasa utama di semenanjung Morotia di Halmahera utara. Di wilayah ini, pengenalan penanaman dan panen padi, suatu bentuk pekerjan halus yang dilakukan oleh perempuan, mengintensifkan kerja divisi seksual, dan menghilangkan tanggungjawab laki-laki dari memotong dan membuat tepung sagu, dan memungkinkan mereka untuk mendedikasikan lebih banyak waktu untuk berperang dan aktivitas bajak laut yang “profesional”52. Morotia menjadi lumbung Maluku, karena sebagian besar pulau vulkanik lainnya tidak memiliki kondisi tanah untuk penanaman padi, seperti juga pulau Ternate dan Tidore yang kaya tetapi berukuran kecil, yang para penguasanya terpaksa menukar cengkih dengan beras asal Jawa untuk memberi makan penduduknya yang semakin bergantung pada pertanian. Meskipun perubahan ini terjadi dari masa lalu yang sangat jauh, sebelum munculnya Islam di paruh akhir abad ke-15, konflik tersebut akan mendapatkan kontur atau frame agama setelah kedatangan orang Iberia di wilayah tersebut. Sejak 1534 dan seterusnya, setelah menolak agama Islam selama sekitar setengah abad, sangadji dari desa-desa Mamuya, Tollo, Sugala dan Cawa di Halmahera utara, menerima untuk dibaptis dengan imbalan bantuan militer. Portugis yang tidak dapat menolak memberikan bantuan militer kepada komunitas-komunitas Kristen, berulang kali mencampuri masalah di wilayah ini, apakah mendukung orang-orang Halmahera melawan Sultan Ternate, atau mendukung Ternate melawan orang-orang Tobaru, yang terbiasa menyerang desa-desa pesisir di pedalaman. Pada 1629, Sultan Hamzah (1627-1648), dalam pandangan untuk mengkonsolidasikan dirinya secara politik dan untuk melawan tuduhan telah murtad dari Islam setelah sementara waktu dikonversi menjadi Kristen selama pengasingan yang panjang dan terpaksa di Manila53, memperbudak dan menderpotasi ke Ternate, 700 prajurit dari 6 desa Kristen yang penting di semenanjung Morotia, termasuk Galela, dan memaksa mereka untuk memeluk Islam. Menurut L. Andaya, perdagangan rempah-rempah dan penyebaran Islam, keduanya berkontribusi dalam penguatan Ternate sebagai penguasa terpenting di dunia Maluku54.

Kerusuhan dan pembantaian yang terjadi baru-baru ini di seluruh wilayah Maluku, terutama di Ambon dan beberapa pulau tetangga lainnya, seperti Sulawesi Utara, telah menarik perhatian dunia bagi peran yang terus dimainkan dalam bentuk kekerasan antar kelompok di bagian kepulauan Melayu itu. Dianggap sebagai konflik etnis dengan standar media internasional dan organisasi kemanusiaan, peristiwa kekerasan dilaporkan sebagai bentuk separatis “etno-nasionalis” lain dan konflik Muslim-Kristen di Indonesia, sejalan dengan yang ada di Aceh, Timor-Timur atau Papua Barat55. Bagaimana peristiwa-peristiwa ini dapat dipertimbangkan, tidaklah sulit untuk menemukan akarnya di masa lalu yang jauh, sebelum Islam menjadi agama negara pada abad ke-15.

Kenyataannya, konflik semacam itu sebenarnya tidak jauh berbeda dari perang yang terjadi pada tahun 1512, ketika Portugis pertama kali menetap di wilayah tersebut. Selama kuartal ketiga pada abad ke-16, konflik di Bacan dan Ambon, menjadi alasan utama pemisahan secara bertahap antara Portugis dan orang-orang Ternate. Pada 1570, konflik akhirnya mengarah pada pembunuhan Sultan Hairun, yang disebut-sebut mempromosikan perlawanan kaum Muslim kepada komunitas Kristen yang sedang berkembang pesat di Maluku Tengah. Dengan mendukung orang Ambon Islam dan Kristen, Belanda kemudian menciptakan kedamaian sesaat bagi konflik ini. Konflik ini berlanjut setelah tahun 1622 karena ketidakpuasaan mengenai pembatasan penanaman dan panen cengkih yang diberlakukan oleh Belanda. Gejolak di kepulauan Ambon, dan khususnya di pulau-pulau utama, seperti Buru dan Seram, mencapai puncaknya pada tahun 1630-an, dan berakhir pada 1656, saat Belanda berhasil menegakkan pax neerlandica.

Klaim oleh para Sultan Ternate atas Hitu dan desa-desa di Seram bagian barat lainnya di semenanjung Hoamoal56 konsisten dengan kroniknya Ridjali sekitar tahun 1646, yaitu Hikajat Tanah Hitu57. “Negara” di pantai utara Ambon ini, dan pelabuhan-pelabuhan lain seperti Veranula, Lesidi atau Kambelo, terbukti penting bagi Ternate dalam menahan masyarakat Kristen di seluruh kepulauan Ambon, yang sangat banyak di pulau-pulau sebelah timur Ambon, seperti Haruku, Saparua dan Nusalaut. Dengan cara ini, karena campur tangan Portugis dan penentuan nasib sendiri dalam membangun benteng baru di Ambon, wilayah ini menyaksikan sendiri selama kuartal terakhir abad ke-16, meningkatnya kekerasan endemik yang oleh penulis anonim menyebutnya “Perang Ambon”58. Situasi memburuk selama tahun 1560 karena serangan dan pembunuhan yang dilakukan terhadap prajurit kelas rendah asal Portugis, yang dikenal dengan istilah casados atau “laki-laki yang sudah menikah”, yang terlibat dalam perdagangan cengkih dan bahan makanan. Hal ini memanaskan hubungan antara Ternate dan Portugis, yang akhirnya berujung pada tahun 1570 melalui pembunuhan Sultan Hairun, dan penaklukan benteng Portugis di Ternate oleh putra dan penerus Hairun, yaitu Sultan Baab Ullah. Hairun diyakini telah memerintahkan tindakan-tindakan semacam itu dan melakukannya melalui agen-agen dari darah bangsawannya sendiri, yaitu putra-putra mereka sendiri, sementara pada saat yang bersama, ia (Hairun) membenarkan dirinya dengan menyalahkan “nyamuk pencuri” bagi tindakannya. Beberapa casados kaya juga ditemukan terlibat dalam mengungkap tindakan sang penguasa, dengan siapa mereka mengembangkan hubungan keluarga dan perdagangan yang erat59

Benteng di Banda

Mengenai praktik “penyelundupan” yang melibatkan kreol mardika Portugis-Asia di Tidore di bawah pemerintahan Spanyol dan pedagang Makassar selama periode Belanda, hanya ada sedikit ruang untuk kegiatan diam-diam yang tidak melibatkan kekuatan lokal Asia dan para penguasa sendiri. Di laut Maluku, penyerangan tidak dilakukan sebagai kegiatan independen. Sebaliknya, sebagian besar serangan, atau kampanye penyerbuan, diperintahkan atau disetujui oleh Sultan sendiri.

Richard Leirissa menunjukan bahwa distribusi politik dan agama dari desa-desa Kristen dan Islam di pulau-pulau Ambon, Haruku, Saparua dan Nusalaut, meskipun 300 tahun pemerintahan Belanda dan setengah abad rezim pasca kolonial, masih ada dan berdiri seperti yang dideskripsikan dan dijelaskan dalam surat-surat Jesuit akhir abad ke-16. Namun, ia juga mengakui bahwa penyerbuan dan serangan di Ambon, secara efektif sangat intens dari periode sebelumnya60, ketika desa-desa di semenanjung Leitimor, yang belum menerima agama Kristen dan secara implisit mendukung militer Portugis, mendapat tekanan dari desa-desa di semenanjung Hitu, suatu federasi awal (uli) desa-desa yang memeluk Islam sekitar tahun 1500. Pada akhir abad ke-16, Hitu bukan lagi “negara” penting di pulau Ambon, digantikan oleh pelabuhan-pelabuhan lain yang terlindung dari serangan Portugis, seperti Luhu, Kambelo dan Lisidi, di semenanjung Seram paling barat di Hoamoal.

Menurut Leirissa, penyerbuan, perang, dan Kristenisasi di Ambon pada abad ke-16 adalah bagian dari upaya untuk menjaga “dikotomi simbiosis” sosial yang berdasar pada – siwa (sembilan) dan –lima (lima), suatu pola klasifikasi kelompok yang banyak hadir di Maluku, dan terutama di kepulauan Ambon-Lease. Manuskrip milik Georg Rumphius, yaitu Ambonsch Landbeschrijving mengenai organisasi desa/negeri di wilayah Ambon, sejauh ini tidak diterbitkan, melaporkan 7 uli atau federasi desa sesuai dengan kapasitas mereka dalam menyiapkan unit kora-kora untuk bertugas di armada patroli Belanda. Kembali ke masa Portugis, seluruh organisasi uli dipertahankan di bawah pemerintahan Belanda, dengan pengecualian federasi Nusaniwe, hilang akibat terlalu kuat terpengaruh pada Portugis. Beberapa uli desa-desa diminta untuk membangun dan memelihara operasional satu kora-kora61.

Aktivitas kekerasan adalah bagian penting dari dualisme budaya lokal dan sosial dalam membentuk lanskap manusia yang besar dan sangat kompleks. Penjajah Eropa sulit memahami bahwa entitas politik Maluku, seperti Ternate atau Tidore, terlibat dalam peperangan dengan fokus yang berbeda, memusnahkan musuh mereka atau merebut tanah mereka, yang diyakini orang Eropa sebagai tujuan perang. Namun, gambar cetakan yang beredar di kalangan elit pertanian Eropa cenderung mewakili komunitas pribumi dalam citra tanah air mereka sebagai petani dan nelayan yang idealis dan damai. Sebaliknya, mereka juga kemudian bisa menyetujui bahwa penyerbuan adalah tindakan pembajakan ilegal yang harus diperlakukan sesuai dan tidak diabaikan dalam arti apa pun. Bersama dengan orang Bugis, orang Ambon menjadi terkenal sebagai prajurit terbaik yang melayani Belanda selama awal perang Jawa pada abad ke-1962.

==== bersambung ====


Catatan Kaki

1.         António Galvão, A Treatise on the Moluccas (c. 1544) Probably the Preliminary Version of António Galvao’s Lost Historia das Molucas, diberi anotasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dari manuskrip Portugis di  the Archivo General de Indias, Seville, by Hubert Th. M. Jacobs, S. J. (Rome and St. Louis: Jesuit Historical Institute, Sources and studies for the history of the Jesuits III, 1971), ch. 39, pp. 196–97 and note 1 in ch. 33, p. 343.

2.        Stephen C. Druce, The lands west of the lakes. A history of the Ajattappareng kingdoms of South Sulawesi, 1200 to 1600 CE (Leiden: KITLV Press, 2009), p. 21.

3.        Jacques de Coutre, Andanzas asiáticas, Eddy Stols, B. Teensma and J. Werberckmoes eds. (Madrid: Historia 16, 1991), pp. 108 and 145.

4.        Christian Pelras, “Notes sur quelques populations aquatiques de l’Archipel nusantarien”, Archipel, vol. 3 (1972), p. 164.

5.        H. Hägerdal, “From Batuparang to Ayudhya. Bali and the outside world, 1636–1656”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, vol. 154, no. 1 (1998), p. 75.

6.       Marcus Vink, “The world’s oldest trade: Dutch slavery and slave trade in the Indian Ocean in the seventeenth century”, Journal of World History, vol. 14, no. 2 (2003), p. 135.

7.        John Villiers, “Makassar: The rise and fall of an Indonesian maritime trading state, 1512–1669”, in J. Kathirithamby-Wells and J. Villiers eds., The Southeast Asian port and polity: Rise and demise (Singapore, Singapore University Press, 1990), pp. 150–51.

8.        Remco Raben, “Facing the crowd. The urban ethnic policy of the Dutch East India Company, 1600–1800” (Ph.D. dissertation, Berkeley, University of California, 1995), Appendix III apud. Anthony Reid, “Cosmopolis and nation in central Southeast Asia”, Asia Research Institute Working Paper Series, 22 (Apr. 2004), p. 8 (www.ari.nus.edu.sg/publication_details.asp?pubtypeid= WP&pubid=274).

9.       Manuel Lobato, “Maritime trade from India to Mozambique. A study on Indo-Portuguese enterprise, 16th to 17th centuries”, in K. S. Mathew ed., Ship-building and navigation in the Indian Ocean region, AD 14001800 (New Delhi: Munshiram Manoharlal, 1997), pp. 113–31.

10.     J. H. F. Sollewijn Gelpke, “The report of Miguel Roxo de Brito of his voyage in 1581–1582 to the Raja Ampat, the MacCluer Gulf, and Seram”, Bijdragen Tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 150 (1994), p. 130.

11.       Druce, The lands west of the lakes, pp. 56, 163, 178 and 242–43

12.      John Villiers, ‘The cash-crop economy and state formation in the Spice Islands in the fifteenth and sixteenth centuries’, in J. Kathirithamby-Wells and John Villiers eds., The Southeast Asian port and polity. Rise and demise (Singapore: Singapore University Press, 1990), pp. 83–105.

13.      Manuel Lobato, “A Influência europeia na tradição arquitectónica das Ilhas Molucas. Alguns exemplos de Ternate, Tidore e Halmahera” [European influence in the architectural tradition of  Maluku. A few cases in Ternate, Tidore and Halmahera], Review of Culture, vol. 35 (2010), p. 100.

14.      Chandra R. de Silva, “The Portuguese and the trade in cloves in Asia during the sixteenth century”, Stvdia, vol. 46 (1987), p. 147.

15.      S. J. Hubert Jacobs, “Un règlement de comptes entre portugais et javanais dans les mers de l’Indonésie en 1580”, Archipel, vol. 18 (1979), pp. 159–73.

16.     Bartolomé L. de Argensola, Conquista de las Islas Malucas (Madrid: Miraguano-Polifemo, 1992), bk. II, p. 82.

17.      Charles W. Eliot ed., Voyages and travels ancient and modern, (reprint, New York: Cosimo, 2005, 1910), p. 230.

18.      Felice N. Rodríguez, ‘Words of war: Philippine warfare in the 17th century’, in Ma. Dolores Elizalde Pérez-Grueso, J. M. Fradera Barcelo and L. A. Alvarez eds., Imperios y naciones en el Pacífico, vol. 1: La formación de una colonia: Filipinas (Madrid: CSIC, 2001), pp. 278–81.

19.     James F. Warren, “A tale of two centuries: The globalisation of maritime raiding and piracy in Southeast Asia at the end of the eighteenth and twentieth centuries”, Asia Research Institute Working Paper Series, vol. 2 (Jun. 2003), p. 3 (www.ari.nus.edu.sg/publication_details.asp? pubtypeid=WP&pubid=167).

20.    Muridan Satrio Widjojo, “Cross-cultural alliance making and local resistance in Maluku during the revolt of Prince Nuku, c. 1780–1810” (Ph.D. dissertation, Leiden, Leiden University, 2007), pp. 44–45. This essential study on power relations was later published as a book under the title The revolt of Prince Nuku. Cross-cultural alliance-making in Maluku, c. 17801810 (Leiden: Brill, 2008)

21.      Gerónimo de Silva to Juan de Silva, Governor of the Philippines, Ternate, 1 Mar. 1614; same to Sultan Mole of Tidore, Ternate, 14 Oct. 1614; and Lorenzo Maconio to Jerónimo de Silva, Tidore, 15 Oct. 1614, in Marquis of Miraflores and Miguel Salva eds., Correspondencia de Don Gerónimo de Silva con Felipe III, Don Juan de Silva, el rey de Tidore y otros personajes, desde abril de 1612 hasta febrero de 1617, sobre el estado de las islas Molucas, (Madrid: Imprenta de la Viuda de Calero, 1868), pp. 194, 264–65 and 26, respectively.

22.     Widjojo, The revolt of Prince Nuku, p. 102.

23.     “A discourse by the very renowned Apoloni Schot, a native of Middelburgh in Zeeland”, in J. A. J. de Villiers ed., Joris van Speilbergen’s voyage round the world (1614–1617), and the Australian navigations of Jacob Le Maire (London: Hakluyt Society, 1906), p. 136.

24.     A discourse by the very renowned Apoloni Schot”, p. 139.

25.     A discourse by the very renowned Apoloni Schot”, pp. 137–38.

26.    Juan Lopez S. J., “Report on Philippine events between August 1639 and August 1640, Manila, Aug. 1640”, in Hubert Jacobs S. J. ed., Documenta Malucensia, III (Rome: IHSI, 1984), doc. 156, pp. 515–16.

27.     E. H. Blair, J. A. Robertson and E. G. Bourne eds., The Philippine Islands, 14931898, vol. 29 (Cleveland, Ohio: Arthur H. Clark, 1905), p. 195.

28.     A discourse by the very renowned Apoloni Schot”, p. 137.

29.    A discourse by the very renowned Apoloni Schot”, pp. 140–41.

30.    Manuel Lobato, “The Moluccan Archipelago and Eastern Indonesia in the second half of the 16th Century in the light of Portuguese and Spanish accounts”, in Francis A. Dutra and J. C. dos Santos eds., The Portuguese and the Pacific. International colloquium at Santa Barbara (Santa Barbara: University of California, 1995), p. 39.

31.      Hubert Jacobs S. J., “Introduction”, in Hubert Jacobs S. J. ed., Documenta Malucensia, II (Rome: IHSI, 1980) p. 19*.

32.     Widjojo, The revolt of Prince Nuku, p. 146.

33.     The voyage of Captaine Saris in the Cloave, to the Ile of Japan, what befell in the way: Observations of the Dutch and Spaniards in the Molucca’s”, in Samuel Purchas ed., Hakluytus Posthumus or Purchas His Pilgrimes, III (Glasgow: James MacLehose and Sons, 1905), p. 416.

34.     A discourse by the very renowned Apoloni Schot”, pp. 135–39.

35.     Leonard Y. Andaya, The world of Maluku. Eastern Indonesia in the early modern period (Honolulu, University of Hawaii Press, 1993), pp. 164–68.

36.    D. K. Bassett, “English Trade in Celebes, 1613–1667’, Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 21, no. 1 (1958), pp. 5–6.

37.     John Villiers, “’One of the Especiallest Flowers in our Garden’: The English Factory at Makassar, 1613–1667”, Archipel, vol. 39 (1990), p. 164.

38.     Gerónimo de Silva to Andrés de Alcaraz, president of the Royal Audiencia, Ternate, 18 Feb. 1617, Correspondencia, p. 418.

39.    Tom Goodman, “The sosolot exchange network in eastern Indonesia during the seventeenth and eighteenth centuries”, Perspectives on the Birds Head of Irian Jaya, Indonesia. Proceedings of the Conference Leiden, 13–17 October 1997, ed. J. Miedema, C. Odé and R. A. C. Dam (Amsterdam: Rodopi, 1998), p. 429.

40.    Villiers, “One of the Especiallest Flowers”, pp. 164–65 and 170.

41.      La Side Daéng Tapala, “L’expansion du royaume de Goa et sa politique maritime aux XVIe et XVIIe siècles”, Archipel, vol. 10 (1975), pp. 168–70. For a recent edition of these chronicles see William Cummings (ed.), A Chain of Kings: The Makassarese chronicles of Gowa and Talloq (Leiden: KITLV Press, 2007).

42.     Bassett, “English Trade in Celebes”, p. 23.

43.     Gerrit Knaap, “Headhunting, carnage and armed peace in Amboina, 1500-1700”, Journal of the Economic and Social History of the Orient, vol. 46, no. 2 (2003), p. 179.

44.     Charles Boxer, Francisco Vieira de Figueiredo: A Portuguese merchant-adventurer in South East Asia, 16241667 (The Hague: Martinus Nijhoff, 1967), pp. 8–11.

45.     Boxer, Francisco Vieira de Figueiredo, p. 12.

46.    Knaap, “Headhunting, carnage and armed peace in Amboina”, p. 180.

47.     Three thousand according to Figueiredo. See Boxer, Francisco Vieira de Figueiredo, p. 12.

48.     Fr. Metello Saccano S. J. to the Jesuit assistant of Portugal in Rome, Makassar, June 30, 1655, in Hubert Jacobs S. J. ed., The Jesuit Makasar Documents (16151682) (Rome: Jesuit Historical Institute, 1988), doc. 39, p. 124.

49.    R. Z. Leirissa, “Bugis-Makassarese in port-towns Ambon and Ternate through the nineteenth century”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 156, 3 (2000), p. 621.

50.    Andaya, The world of Maluku, p. 57.

51.      Farsijana R. Adeney-Risakotta, “Politics, ritual and identity in Indonesia: A Moluccan history of religion and social conflict” (Ph.D. dissertation, Nijmegen, Radboud University Nijmegen, 2005), pp. 99 and 149–50.

52.     Adeney-Risakotta, “Politics, ritual and identity in Indonesia”, pp. 124–25.

53.     Andrea Simi S. J. to Muzio Vitelleschi, General of the Jesuits, Ternate, 28 Mar. 1629, in Hubert Jacobs S. J. ed., Documenta Malucensia, III (Rome, IHSI, 1984), doc. 140, p. 470.

54.     Andaya, The world of Maluku, p. 57.

55.     Kathleen T. Turner, Competing myths of nationalist identities: Ideological perceptions of conflict in Ambon, Indonesia (Ph.D. dissertation, Perth, Murdoch University, 2006), pp. 9 and 38.

56.    Relação dos feitos : : : que Sancho de Vasconcelos’, in A. Basílio de Sá ed., Documentação para a história das missões do padroado português do oriente. Insulíndia, IV (Lisbon: AGU, 1956), pp. 181–82.

57.     H. Stravers, Ch. Fraassen and J. Putten eds., Ridjali: Historie van Hitu. Een Ambonse geschiedenis uit de zeventiende eeuw (Utrecht: Landelijk Steunpunt Educatie Molukkers, 2004). For a detailed description see G. L. Koster, “Hikayat Tanah Hitu. A rare local source of 16th and 17th century Moluccan history”, Review of Culture, vol. 28 (2008), pp. 132–42.

58.     Relação dos feitos : : : que Sancho de Vasconcelos”, p. 184.

59.    Relação dos feitos : : : que Sancho de Vasconcelos”, p. 186.

60.    Richard Z. Leirissa, “St. Francis Xavier and the Jesuits in Ambon, 1546–1580”, Review of Culture, vol. 19 (2006), p. 53.

61.     Leirissa, “St. Francis Xavier and the Jesuits in Ambon”, pp. 60–61.

62.    Joël Eymeret, “Les archives françaises au service des études indonésiennes: Java sous Daendels (1808–1811)”, Archipel, vol. 4 (1972), p. 164.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar