Sabtu, 07 Januari 2023

Mimbar dan Tahta di Masyarakat Maluku Tengah

[Rev. Frank L. Cooley]

  

  1. Kata Pengantar

Artikel ini “sebenarnya” merupakan sinopsis atau rangkuman dari argumen utama disertasi milik Frank L Cooley yang berjudul Altar and Throne in Central Moluccan Societies : a study of the relationship between the institutions of relegion and the institutions of local government in a traditional society undergoing rapid social change, pada tahun 1961. Artikel sinopsis  ini kemudian dipublikasikan dengan judul “Altar and Throne in Central Moluccan Societies” dan dimuat dalam Jurnal Indonesia No 2, periode Oktober 1966 pada halaman 135 – 156. Menurut penulis, kajian ini berdasar pada penelitian lapangan yang dilakukan oleh penulis saat mengunjungi wilayah Maluku Tengah pada tahun 1957, 1960 dan 1964. 

Berdasarkan penelitian lapangan itulah, Frank Cooley, mengurai suatu relasi “intim dan ketegangan” antara 2 institusi yang ia sebut “Mimbar” dan “Tahta”. Mimbar merujuk pada institusi keagamaan yang dalam hal ini adalah Gereja, sedangkan Tahta merujuk pada institusi pemerintah lokal yang direpresentasikan lewat posisi Radja dan Saniri. Ia mengurai sejarah terbentuknya relasi ini dari masa kolonial, yaitu sejak masa Portugis dan VOC atau Belanda. Dimana pada masa kolonial itu, agama pribumi mulai “disingkirkan” dan digantikan dengan istilah yang Cooley sebut sebagai “budaya cangkok” dalam kehidupan masyarakat Maluku Tengah. Relasi “tumpang tindih” dan “tarik ulur” ini juga penuh dengan ketegangan, akibat menurunnya prestise pemerintah desa sejak tahun 1950an dan saat gereja diberikan “kemerdekaan”.

Membaca kajian ini meskipun sudah hampir 60 tahun lalu, kita bisa memahami relasi itu, dan bisa mengetahui sisa-sisa relasi itu yang masih terlihat di masa kini. Dengan dasar itulah, kami mencoba menerjemahkan artikel ini agar bisa dibaca dan menjadi pengetahuan bersama. Pada artikel terjemahan ini, kami menambahkan beberapa gambar ilustrasi, yang pada naskah asli tidak ada selain hanya 1 peta. Semoga artikel ini bisa bermanfaat bagi kita semua.


  1. TPendahuluan

                Masalah interpenetrasi budaya segera melibatkan siapapun yang terlibat dalam pekerjaan misionaris – apakah itu jenis Kristen tradisional atau jenis bantuan teknis dan pengaruh politik modern. Tampaknya ada setidaknya 2 dimensi dari masalah ini, yang pertama menerima perhatian yang relatif lebih banyak daripada yang kedua. Pertama, ada interaksi timbal balik pada tingkatan gagasan dan keyakinan antara 2 sistem budaya yang bersentuhan. Kedua, adanya interaksi 2 sistem budaya pada tataran sosiologis. Dapat dikatakan bahwa sejumlah besar kerja ilmiah yang dilakukan pada tingkat pertama memiliki nilai dan relevansi yang terbatas karena tidak memperhitungkan infrastruktur sosial-budaya secara memadai. Kajian ini mencoba melakukan hal demikian dalam mendeskripsikan situasi yang terjadi dalam masyarakat desa Maluku Tengah kontemporer dengan latar belakang sejarah yang telah berkembang. 

                Definisi tertentu dibutuhkan sejak awal. Pertama, apa yang dimaksud dengan istilah “Masyarakat Maluku Tengah”?. Masyarakat desa yang diteliti terdapat di salah satu dari 4 wilayah di Provinsi Maluku, menurut pembagian administrasi Republik Indonesia saat ini. Maluku Tengah mewakili apa yang oleh para sarjana Belanda disebut kultuurking atau kawasan budaya. Kajian ini hanya mencakup sebagian dari wilayah ini, yaitu bagian barat Pulau Seram dan Pulau Ambon, Saparua, Haruku dan Nusa Laut. Dalam segmen ini, hanya desa-desa Kristen yang dipertimbangkan (lihat peta). Dengan demikian, wilayah budaya ini masih lebih homogen daripada wilayah secara keseluruhan. Wilayah ini telah mengalami pengaruh sejarah, agama dan ekonomi-politik yang kurang umum sejak sebelum kedatangan orang Barat.

                Desa-desa Maluku Tengah cenderung homogen dalam hal agama. Desa-desa tersebut adalah desa Kristen Protestan, Islam atau Alifuru (Alifuru adalah istilah yang digunakan secara lokal untuk menunjukan bahwa sebagian dari populasi yang menganut budaya asli, menolak pengaruh Islam dan Kristen). Desa-desa Kristen dan Islam hidup berdampingan dengan damai di wilayah tersebut, mungkin karena Islam dan Kristen Maluku sama-sama sadar akan dasar bersama mereka – budaya asli – seperti perbedaan dalam keyakinan dan praktik agama mereka. Mungkin juga karena jumlah mereka hampir sama, yang secara keseluruhan membentuk sekitar 94% populasi provinsi. Di bagian Maluku Tengah yang digambarkan di atas, desa-desa Kristen Protestan akan mencakup ½ dari total, dengan desa-desa Islam di urutan kedua. Sebagian kecil desa-desa Alifuru berada di pedalaman Seram. Sekali lagi, hanya situasi di desa-desa Kristen Protestan yang akan di bahas di sini. 

                “Ambonese” adalah istilah yang umum digunakan untuk menyebut masyarakat/penduduk. Desa-desa mereka sebagian besar terletak di pantai. Pada tahun 1960, desa-desa tersebut memiliki populasi dengan ukuran rata-rata sedikit di atas 1.100 jiwa. Penduduk hidup hampir secara eksklusif dari perladangan berpindah dan menangkap ikan, meskipun cengkih dan pala adalah tanaman komersial yang sangat penting. Orang Ambon telah dikuasai oleh orang luar sejak akhir abad ke-15, dengan urutan sebagai berikut : Kerajaan Ternate dan Tidore di Maluku Utara, Portugis dari tahun 1520 sampai akhir abad ke-16, VOC dari 1605 hingga akhir abad ke-18, Inggris selama 2 dekade pertama abad ke-19, Kerajaan Belanda hingga 1941, Jepang selama Perang Dunia II, dan terakhir Belanda kembali dari 1945 – 1949. Yuridiksi Indonesia atas bagian Republik Indonesia ini dimulai pada Januari 1950. Suksesi penguasa luar ini pada gilirannya berarti suksesi pengaruh sosial, ekonomi, politik dan agama yang menimpa penduduk Maluku Tengah.

                Sementara “Tahta” merujuk hanya pada lembaga pemerintahan di desa, istilah “Mimbar” menunjuk pada institusi agama desa, yaitu sistem kepercayaan agama dan praktik. Namun, 2 perangkat lembaga keagamaan harus dibedakan dalam masyarakat Ambon yang dibahas dalam kajian ini. Yang satu jelas, yaitu Kristen Protestan, yang akan menjadi sistem yang dibahas di sini. Tetapi ada yang lain, sistem agama asli, yang tinggal tersisa, terlihat di sana-sini, kadang-kadang dalam agama Kristen, kadang-kadang dalam adat (sistem adat istiadat dan hukum adat), dan kadang-kadang secara independen dalam ritus atau upacara tertentu yang dilakukan karena krisis/masalah di keluarga atau desa. Meski bukan lagi sebuah sistem, namun masih memiliki pengaruh yang cukup besar. Meskipun demikian, pembahasan soal itu di luar cakupan kajian ini. 

                Meskipun sampel desa yang diteliti tampaknya cukup luas untuk menjamin penyusunan asumsi tentang pola umum yang berlaku untuk wilayah tersebut secara keseluruhan, isu GEREJA dan NEGARA yang dibahas di sini hanya dalam bentuk yang muncul di tingkat desa. Meskipun fokusnya terbatas, namun masalah yang diangkat berhubungan dengan masalah yang lebih umum – terutama interaksi antara Kristen dan Budaya. Dalam arti tertentu, kasus Maluku Tengah yang dibahas di sini merupakan miniatur dari keseluruhan masalah, dan untuk membahasnya secara memadai akan melibatkan banyak aspek dari masalah yang lebih besar. Pada sisi praktis, karena hubungan antara otoritas pemerintah kongregasi desa dan masyarakat desa terlalu sering diwarnai oleh ketegangan dan konflik, situasi ini menimbulkan banyak masalah administrasi baik bagi Gereja dan Pemerintah Sipil. Hal ini berdampak negatif terhadap kinerja kongregasi desa dan pemeritah desa. Ini adalah situasi yang membutuhkan solusi. Bahkan, justru pimpinan Gereja Protestan Maluku yang menyarankan fokus penelitian ini, dengan harapan analisis dan kesimpulan dapat membantu dalam melakukan pendekatan yang positif terhadap masalah tersebut.

 

Struktur dan Fungsi Mimbar dan Tahta

                Di sini disarankan bahwa masyarakat Maluku memanifestasikan 2 pola organisasi sosial yang kontras, yaitu, struktur kelembagaan yang ditemukan di dalamnya mungkin didasarkan pada salah satu dari 2 prinsip organisasi yang berbeda. Di satu sisi ada lembaga-lembaga, seperti pemerintahan desa, keluarga dan soa (sub bagian dari desa yang terdiri dari kumpulan keluarga) yang diatur berdasarkan prinsip-prinsip kekerabatan dan adat. Ini mungkin disebut pola tradisional organisasi sosial, dan ini berasal dari masa sebelum datangnya pengaruh barat. Namun demikian, ada lembaga lain, seperti kongregasi Protestan, perkumpulan gotong royong, koperasi-koperasi konsumen dan lain-lain, yang diorganisir atas dasar asas asosiasional kepentingan bersama dan keyakinan bersama, dimana unsur-unsur keinginan individu penting. Ini mungkin disebut pola organisasi sosial yang muncul, bukan dengan nada teleologis, tetapi hanya karena itu sedang dalam proses berkembang.

                Tahta atau institusi pemerintah daerah dapat dikatakan sebagai ciri kelembagaan daerah dalam pola adat atau turun-temurun. Mimbar, atau lembaga agama, dapat dikatakan sebagai bentuk utama dari pola yang muncul atau berkembang. Kedua pola kontras ini, dan wilayah kelembagaan yang paling mencirikannya, berada dalam persaingan, jika tidak dalam konflik, karena alasan tertentu. Kondisi ini sebagai karakteristik dominan dari relasi antara Tahta dan Mimbar dalam masyarakat Maluku Tengah, yang ada baiknya untuk menganalisis struktur dan fungsi masing-masing kelembagaan yang kompleks.

Radja dan Saniri Negeri Ameth (1940)

Tahta, atau Institusi Pemerintah

                Struktur masyarakat desa secara umum perlu dituangkan dalam konteks kelembagaan pemerintahan desa. Struktur masyarakat desa saat ini tampaknya “berasal” dari minimal tahun 1645, di masa-masa awal pemerintahan VOC. Ada bukti kuat untuk meyakini bahwa dalam proses penaklukan wilayah tersebut, para administrator kompeni menghancurkan struktur hierarki sebelumnya yang terdiri dari Uli, suatu pengelompokan desa di bawah kepemimpinan penguasa yang kuat, dan berupaya memberikan status otonom kepada setiap desa dengan membuatnya berpemerintahan sendiri, yang pastinya di bawah pengawasan kompeni. Bagaimanapun, ini adalah pola yang berkembang dan masih mencapai tingkat tertentu.

                Desa Maluku adalah kumpulan dari 15 – 25 kelompok clan yang disebut faam atau mata rumah, yang diorganisasikan dengan prinsip patrilineal-patrilokal. Faam dapat dibagi menjadi 2 atau lebih sub-garis keturunan, tetapi ini hanya terjadi pada sebagian kecil kasus. Desa terdiri dari beberapa kelompok besar yang disebut Soa, yang terdiri dari kumpulan garis keturunan. Soa dipimpin oleh seorang kepala, yaitu Kepala Soa, suatu jabatan yang turun temurun dalam arti bahwa kepala soa harus dipilih dari garis keturunan tertentu. Garis keturunan dan sub-silsilah dipecah menjadi rumah tangga-rumah tangga atau keluarga inti yang terkait satu sama lain oleh ikatan darah dan perkawinan. Yang terakhir ini menciptakan entitas lain lagi, yang disebut familie, sejenis kelompok kerabat non-kognatik yang berfungsi dalam urusan perkawinan, saling membantu di saat krisis/masalah pribadi, dan secara umum meningkatkan kohesi masyarakat desa1

Radja van de Negeri Kilang

                Relasi-relasi antara individu ditentukan oleh keturunan, perkawinan, dan adat (seperti dirujuk sebelumnya sebagai adat istiadat dan hukum adat). Adat sangat mendasar dalam masyarakat Ambon2. Ini menandakan norma-norma hubungan dan perilaku yang diyakini telah ditetapkan oleh nenek moyang untuk menjamin kesejahteraan masyarakat. Persyaratan adat adalah kewajiban bagi semua masyarakat desa. Kegagalan untuk mematuhinya akan mengakibatkan hukuman sementara oleh keluarga dan otoritas desa, serta (dipercaya secara luas) sang terhukum akan dikunjungi oleh arwah leluhur yang marah karena pelanggaran tersebut. Di masa lalu hampir setiap bidang kegiatan diatur oleh adat, tetapi sekarang hanya sebagian kecil dari sistem asli yang masih tersisa. Yang bertahan terutama dalah adat seputar perkawinan dan keluarga, yang berkaitan dengan hak dan kewajiban sehubungan dengan keturunan, khususnya dalam hal warisan, keanggotaan garis keturunan dan tanah; adat yang mengatur pemilihan dan pelantikan perangkat desa, terutama pimpinan dan kepala soa, serta adat lain yang dianggap mendasar bagi kelangsungan keberadaan desa sebagai masyarakat adat.

                Susunan pemerintahan desa, yang dikenal secara lokal sebagai Badan Saniri Negeri, dalam keadaan tertentu beroperasi dalam bentuk yang diperluas atau diperpendek seperti yang digambarkan dan dijelaskan di bawah ini :


Saniri3 adalah badan yang dalam keadaan semula menjalankan fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam masyarakat desa. Dalam bentuknya yang sekarang, Badan Saniri Negeri terdiri dari 8 sampai 15 anggota, tergantung pada ukuran dan struktur desa. Saat ini, yuridiksi legislatif dan yudikatifnya sebagian besar telah dialihkan ke oragan pemerintahan yang lebih tinggi, kecuali untuk masalah-masalah kecil. Kepala Saniri (dalam nomenklatur saat ini Kepala Negeri – artinya Kepala Desa) atau Ketua Dewan Desa, adalah penguasa, menyandang gelar tradisional Radja, Patih atau Orang Kaja di masa rezim kolonial. “Bapak Raja”, demikian ia biasa disebut oleh masyarakatnya, dipilih melalui pemilihan umum penduduk desa dari daftar yang dinominasikan oleh berbagai kelompok di desa dan disetujui oleh pemerintah wilayah (kabupaten), yang juga mengawai pemilihan dan kemudian melantiknya. Calon harus berasal dari keturunan atau garis keturunan yang memiliki hak dan kewajiban turun temurun untuk memerintah desa. Meskipun prinsip turun temurun ini telah secara resmi ditinggalkan dalam beberapa tahun terakhir, prinsip ini masih terus dipatuhi secara umum. Pemimpin desa adalah pemimpin seremonial dan fungsional masyarakat desa, yaitu kepala eksekutif. Juga bersama dengan dewannya, dia membuat undang-undang sesuai dengan kebutuhan desa, sesuai dengan hukum wilayah, yang berarti adat, atau hukum tradisional, dan hukum yang diberlakukan oleh otoritas sipil yang lebih tinggi. Di masa lalu, Radja dan Saniri juga duduk sebagai badan peradilan untuk mendengarkan dan memutuskan semua kasus kecuali yang paling serius, terutama yang melibatkan adat. Namun di bawah Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950, fungsi yudikatif tersebut dicabut dari Dewan Desa dan diberikan kepada pengadilan hukum di tingkat pemerintahan wilayah (kabupaten) dan daerah. 

Saniri Radjapatih Negeri Nolloth (1955)

                Radja dibantu oleh kepala soa, atau kepala dari masing-masing soa. Bersama-sama, mereka membentuk apa yang disebut lembaga eksekutif pemerintah desa, yaitu Saniri Radjapatih. Ini adalah lembaga yang bertindak dalam hal-hal umum melalui kewang (petugas keamanan desa) dan marinjo (utusan). Saniri diwakili dalam pemerintahan sehari-hari oleh pemimpin, dibantu oleh 2 orang kepala soa yang menjabat sebagai pejabat harian. Ini disebut Kepala Soa Djaga Bulan, dan bergilir sebulan sekali. Salah satu dari mereka harus selalu ada di desa untuk mewakili saniri dalam mengurus segala hal yang mungkin timbul. Dalam praktiknya, sebagian besar urusan desa ditangani oleh para petugas ini di bawah arahan radja. Pada hal-hal yang lebih penting, seluruh saniri radjapatih bermusyawarah dan bertindak. Karena fungsi eksekutif adalah yang utama, ini benar-benar kunci dari pemerintahan desa.  

                Badan Saniri Negeri yang lebih besar terdiri dari radja, kepala-kepala soa, pemimpin adat atau seremonial, tuan tanah (secara harfiahnya “lords of land”, keturunan dari leluhur yang mendirikan desa) dan tokoh-tokoh penting lainnya baik dikooptasi oleh saniri atau, sejak pertengahan 1950-an, dipilih oleh masyarakat, untuk mewakili berbagai kelompok fungsional di desa. Ini adalah badan yang lebih representatif yang membahas semua masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan desa, membuat keputusan dan mengeluarkan peraturan dan instruksi untuk melaksanakan keputusan tersebut.

Secara teoritis, siapa pun dapat menghadiri pertemuan saniri, yang diadakan secara tradisional di baileu, sebuah bangunan kedua setelah gereja dalam hal ukuran dan kepentingan di desa, merupakan kombinasi balai kota dan bangunan upacara dimana semua adat tentang desa harus dilaksanakan. Ketika hal-hal yang secara langsung mempengaruhi kesejahteraan seluruh desa dibahas, kepala-kepala rumah tangga dipanggil untuk mendengarkan dan menyatakan pendapatnya. Ini disebut Saniri Besar/Lengkap, dan pada kenyataannya adalah dewan desa, biasanya bertemu di baileu. Tetapi karena banyak desa tidak lagi memiliki baileu, maka lebih umum saniri memiliki tempat pertemuan terpisah, misalnya rumah raja, biasanya jauh lebih besar dari rumah biasa, atau di gedung khusus untuk tujuan penting desa itu.

Fungsi pemerintahan desa sudah disinggung. Dalam istilah yang paling umum saniri dikenakan dengan fungsi menjaga keamanan dan memajukan kesejahteraan masyarakat desa. Artinya, pertama-tama, mengawasi dan menjamin pelaksanaan semua adat, karena hanya dengan demikian, menurut Weltanschauung yang berlaku, kesejahteraan desa dapat terjamin. Masyarakat dianggap tidak hanya terdiri dari mereka yang tinggal di desa pada saat tertentu, tetapi juga semua orang yang pernah tinggal di sana setiap saat. Jika adat yang ditetapkan oleh nenek moyang sebagai pedoman bagi hidup dilanggar, diyakini bahwa roh orang-orang yang telah pergi sebelumnya akan tersinggung dan menggunakan kekuatan mereka untuk mendatangkan malapetaka bagi individu yang melanggar, dan dalam beberapa kasus pada seluruh masyarakat. Saniri dengan demikian merupakan simbol yang hidup dan perwakilan dari para leluhur, yang kepadanya diberikan otoritas tertinggi dengan kekuatan yang menyertainya. Oleh karena itu, Saniri harus mengawasi pemenuhan adat. Untuk membantu fungsi ini, radja akan menunjuk (bila jabatan perlu diisi), dan Saniri menetapkan, satu atau lebih kepala adat. Mereka adalah orang-orang yang sangat paham adat dan memberikan arahan kepada individu atau kepala desa tentang persyaratan dat dan bagaimana hal itu harus dipenuhi. Pada akhirnya, karena dia ada pemimpin seremonial desa, penguasa sendiri yang bertanggung jawab dalam urusan adat, tetapi kepala adatlah yang biasanya memimpin pelaksanaan upacara adat yang menyangkut desa.

Fungsi lain dari pemerintahan desa adalah untuk membela masyarakat terhadap bahaya dari luar dan dalam. Yang pertama biasanya berua perambahan di wilayah desa, menduduki dan mengeksploitasi tanah-tanah milik desa secara keseluruhan atau milik desa tertentu. Kepala soa dengan yuridiksi atas masalah tanah (Kepala Soa Tanah) mungkin memainkan peran utama di sini. Bahaya dari dalam paling sering berupa gesekan dan perseturuan antar clan atau keluarga atas masalah tanah, perkawinan, atau status hak prerogatif. Dalam kasus dimana konflik terbuka pecah, seperti yang kadang-kadang terjadi, Dewan Desa harus bertindak cepat dan bijaksana untuk memulihkan perdamaian dan keharmonisan. Namun biasanya hal-hal tidak diizinkan untuk berkembang ke titik konflik terbuka. Saniri akan mengambil langkah-langkah untuk mencegah ledakan dengan mengintervensi dan menengahi perbedaan. Adat sering memberikan prosedur khusus untuk menyelesaikan perselisihan. 

Radja van de Negeri Hutumuri

Fungsi lain dari pemerintah desa adalah untuk memberikan kesejahteraan umum dalam hal pekerjaan umum, disiplin pemuda, pendidikan, sanitasi, penyediaan air dan lain-lain. Fungsi terakhir dan semakin penting dari pemerintah desa adalah untuk melayani sebagai otoritas (baik sipil maupun militer) perwakilan lokal yang lebih tinggi (kabupaten atau daerah) dalam hal perpajakan, keamanan dan lain-lain. Sampai saat ini fungsi ini relatif kecil dibandingkan dengan yang lain, tetapi akan menjadi lebih berat seiring struktur baru pemerintahan di bawah Demokrasi Terpimpin yang sementara berjalan. Ini pada gilirannya menunjukan masalah yang berkembang.

Hanya radja, dan kepala-kepala soa, ketika mereka bertindak sebagai petugas bulanan, menerima gaji dari Kantor Wilayah, tetapi karena inflasi dan penghapusan tunjangan yang diberikan selama pemerintahan Belanda, sangat tidak memadai untuk mengganti uang pejabat yang bersangkutan untuk waktu dan upaya mereka. Aparatur desa dan utusan soa (marinjo) dipungut pajak oleh desa sebagai imbalan jasa mereka. Keadaan ini menggarisbawahi apa yang dikatakan di atas tentang otonomi relatif desa-desa dan karakter kecil ikatan yang mengikat mereka ke tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Remunerasi yang kecil disertai dengan penghapusan fungsi yudikatif cenderung mengurangi peran dan status pemerintah desa secara substansial, dibandingkan dengan masa kolonial, khususnya peran radja dan kepala-kepala soa. Hal ini selalu disebutkan ketika membahas masalah pemerintahan desa dengan mereka. Bahkan, sudah dibahas di kalangan resmi juga.

Selain itu, perubahan sosial yang semakin cepat, termasuk kemajuan pesat dalam pendidikan, cenderung melemahkan otoritas Dewan Desa, yang didasarkan, seperti yang telah kita lihat pada tradisi dan adat, sehingga mempertanyakan pola kepemimpinan yang terkait dengan otoritas itu. Generasi muda tidak lagi berusaha menyembunyikan ketidakpuasannya terhadap apa yang dinilainya sebagai ketidakmampuan pimpinan desa untuk memahami atau bersimpati dengan keinginannya untuk kebebasan dan tanggung jawab yang lebih besar di hadapan tradisi dan adat yang tidak tergoyahkan. Semua ini berarti bahwa para sesepuh desa, terutama para anggota Badan Saniri Negeri, semakin bersikap defensif dan semakin tidak aman. Mereka tidak dapat menafsirkan perkembangan terakhir dalam istilah lain selain sebagai tantangan terbuka terhadap otoritas mereka dan penolakan terhadap cara-cara leluhur. Jadi panggung terbuka untuk konflik. 

 

Struktur dan Fungsi Mimbar, atau Institusi Agama

                Karena kajian ini membatasi diri terutama pada situasi kontemporer, tidak perlu berbicara secara rinci tentang sistem keagamaan pribumi yang mendahului sistem sekarang ini. Kenyataannya, kita hanya tahu sedikit tentang struktur agama pribumi, atau penyebaran agama Kristen di Maluku sejak Portugis tiba (kira-kira 1520) hingga bubarnya VOC pada tahun 1799. Dari informasi yang tersedia, dapat disimpulkan bahwa keduanya hidup berdampingan dalam ketegangan yang tampaknya cukup besar4. Namun, selama abad ke-19 dan seterusnya, agama Kristen semakin kuat. Gereja Protestan menjadi lebih terorganisasi dan terpimpin; Kekristenan selayaknya seperti instruksi sekuler mengalami peningkatan. Agama pribumi menjadi semakin lemah hingga hanya sisa-sisa yang dapat ditemukan di berbagai struktur, seperti yang akan kita lihat. 

                Sebagai latar belakang diskusi tentang struktur dan fungsi lembaga-lembaga keagamaan Protestan, akan berguna untuk menunjukan beberapa keadaan seputar pengenalan dan pertumbuhan awal agama Kristen di Maluku. Kekristenan Katolik Roma adalah yang pertama datang, dibawa oleh Portugis sejak tahun 1530-an. Pada waktu itu, seperti pada masa Belanda, agama Kristen diperkenalkan dan disebarluaskan oleh orang-orang Barat yang berhubungan erat, jika tidak secara langsung menggunakan kekuasaan kolonial. Dengan munculnya Belanda pada tahun 1605, kekuasaan Portugis dengan cepat digantikan, dan Kristen Protestan menggantikan bentuk Roma. Perwakilan dari agama Reformasi Belanda yang melakukan ibadah, melayani orang sakit, dan memberikan instruksi adalah pegawai VOC yang dipekerjakan untuk melayani kepentingan kompeni. Jumlah mereka relatif sedikit dan terutama melayani personel kompeni dan orang Kristen berbahasa Belanda. Ini mungkin menyisakan sedikit waktu atau energi untuk pengajaran orang-orang Kristen Ambon yang diwarisi dari Portugis, atau orang-orang yang baru bertobat yang mungkin muncul. Pelayanan seperti yang ada di antara orang Ambon dilakukan oleh orang awam Ambon yang kurang terlatih, bekerja sebagai guru sekolah desa atau dalam bentuk lain dari pekerjaan kompeni. Pengajaran sistematis bagi orang Kristen desa dan memelihara kehidupan jemaat hampir tidak pernah terdengar hingga abad ke-19.

                Keadaan lain yang perlu diperhatikan adalah fakta bahwa konversi ke agama Kristen, bersifat nominal sebagaimana mestinya dalam kondisi seperti itu, terutama oleh kelompok-kelompok (yaitu oleh desa-desa), umumnya pada abad ke-16 atau ke-17, pada masa ketidakstabilan dan perubahan yang meluas. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa karena perdagangan rempah-rempah, wilayah ini merepresentasikan hadiah prestise yang dicari-cari oleh setidaknya 3 pihak dengan ambisi politik dan ekonomi : 2 kesultanan Ternate dan Tidore di Maluku Utara, Monarki Portugis dan VOC. Bersama Portugis, orang Ambon pada awalnya melihat sekutu baru dalam perjuangan melawan musuh Islam militan dari Ternate dan Tidore; kemudian mereka menyambut Belanda sebagai sekutu melawan kekejaman dan penjarahan Portugis. (Mereka tidak mengantisipasi kekejaman yang lebih besar yang harus mereka tanggung di masa Belanda). Jadi menjadi Kristen dan kemudian Protestan adalah cara untuk ikut serta dalam nasib mereka dengan kekuatan asing yang lebih kuat, dan dengan demikian menghindari dari penaklukan pada Islamisasi di bawah kekuasaan kesultanan Ternate dan Tidore. Oleh karena itu, pertanyaan yang sah dapat diajukan adalah apakah memeluk agama Kristen oleh orang Ambon mungkin lebih dimotivasi oleh politik atau keamanan daripada pertimbangan agama. Dalam hal ini tidak ada keharusan, dan tentu saja tidak ada harapan dari orang Ambon, tentang pergulatan tajam antara keyakinan baru dan agama dan adat pribumi. 

Gereja di Desa Nalahia (1905)

                Satu keadaan terakhir yang harus dicatat dalam upaya menjelaskan koeksistensi 2 sistem keagamaan di Maluku Tengah hingga awal abad ke-19, adalah fakta bahwa bahasa Kristen, baik dalam bentuk Katolik Roma maupun Protestan, adalah bahasa Melayu daripada bahasa asli orang Ambon. Bahasa Melayu adalah bahasa perdagangan bagi orang Ambon pesisir, tetapi cukup asing bagi penduduk desa. Hanya melalui Kristenisasi dan pemerintahan kolonial, bahasa pribumi pada umumnya dihapuskan di antara orang-orang Kristen, dan yang disebut bahasa Melayu Ambon menggantikannya. Ini terjadi sebagai akibat dari kebijakan yang dijalankan dengan penuh semangat oleh Negara dan Gereja dibawah kendali Belanda. Ini sama sekali tidak selesai bahkan hingga tahun 1900. Oleh karena itu, agama Kristen disebarkan dan dipraktikkan selama 3 abad pertama kehadirannya di Maluku dalam bahasa yang bukan asli digunakan oleh guru dan murid, atau pendeta dan jemaat. Sementara itu, aspek-aspek lain dari kebudayaan, khususnya agama dan adat asli, tetap hidup dalam suasana bahasa daerah. Jadi agama Kristen di Maluku Tengah, hingga abad ke-19 seperti cangkokan pada pohon budaya, yang ada bersama dengan semua cabang lainnya, terutama agama dan adat pribumi, tanpa terlalu banyak akomodasi yang diperlukan. Fakta bahwa agama Kristen hidup dalam bahasa yang berbeda dari sebagian besar budaya lainnya membuat sulit, dan mungkin pada tingkat yang tidak perlu, setiap konfrontasi nyata dengan adat dan agama pribumi.

                Struktur kekristenan protestan di Maluku dapat dilihat, seperti lembaga-lembaga keagamaan dalam masyarakat manapun, palung tidak dalam 4 dimensi yang berbeda : sebagai sistem kepercayaan dan keyakinan, sebagai sistem perilaku atau etika, sebagai sistem ritual atau seremonial, dan sebagai sistem organisasi. Kami akan mencoba membahas hal ini, dengan selalu mengingat agama pribumi yang dapat dikontraskan jika kami memeliki pengetahuan yang memadai tentangnya.

                Kekristenan Protestan di Maluku, sebagai sistem keimanan dan kepercayaan, didasarkan pada Alkitab dan Kredo-kredo sejarah Gereja (seperti yang dipahami dan ditafsirkan oleh Gereha Reformasi Belanda), terutama Pengakuan Iman Rasuli, yang dikenal oleh orang Ambon sebagai 12 pasal iman. Dengan demikian isi sistem kepercayaan adalah sesuatu yang diimpor dari Eropa, tidak memiliki kesinambungan alami dengan materi budaya asli/pribumi daerah tersebut. Namun, tidak mengherankan, sistem kepercayaan yang diimpor ini – Kristen Reformasi Belanda masih membawa beberapa tanda awal dari Katolik Roma Iberia - telah dipengaruhi oleh kategori kepercayaan dan pemikiran pribumi5. Dapat dikatakan bahwa proses domestikasi (Ambonisasi) atau pribumisasi telah berlangsung sehingga membuat kompleksitas budaya yang terdifusi menjadi lebih dapat diterima oleh pola-pola budaya dasar masyarakat Maluku6

                Kekristenan Protestan sebagai sustu sistem tingkah latu atau etis, sebagai seperangkat norma dan prinsip etis, juga didasarkan pada sebuah bangunan asing bagi budaya asli Maluku. Sepuluh Perintah (10 Hukum Taurat) akan tampak “besar” dalam jawaban orang Ambon tentang bagaimana seorang Kristen harus berperilaku, seperti tuntutan ritual (partisipasi teratur dalam kegiatan gereja) dan tindakan kesalehan individu. Sama sekali tidak bercorak puritan, kekristenan Maluku adalah sejenis hukum baru yang sebagian besar berdampingan dengan, meskipun kadang-kadang berlawanan dengan, perintah tradisional (adat) yang diwariskan nenek moyang. Karakterisasi favorit dan normatif orang Ambon tentang hubungan yang tepat antara kedua sistem ini adalah dengan mengutip jawaban Yesus kepada Ahli-ahli Taurat tentang pertanyaan membayar pajak kepada kaisar, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan Kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan” (Mrk 12: 17). Bagi umat Kristiani Ambon, kedua ranah itu jelas terpisah, keduanya sama-sama wajib, dan tidak boleh ada konflik serius antara keduanya.

                Ketiga, kekristenan Protestan di Maluku sebagai suatu sistem ritus dan peribadatan telah hampir sepenuhnya menggantikan dimensi agama pribumi ini. Ibadah minggu, musik gereja, pertemuan doa, festival khusus tahun gereja, Sakramen Pembaptisan dan Perjamuan Kudus dan ritus penguatan dan perkawinan dilakukan dengan sangat serius dan dianggap wajib bagi setiap orang Kristen. Bahkan ada busana khusus yang harus dikenakan pada semua acara ibadah dan upacara keagamaan, seperti halnya dalam upacara adat dan agama adat. Sikap dan konsepsi yang menjadi ciri khas agama pribumi masih ditemukan dalam praktik ritual umat Kristen Maluku.

Terakhir, sebagai sistem organisasi atau struktur sosiologis, kekristenan Protestan Maluku sangat kontras dengan agama pribumi, meskipun seperti pada akhirnya, jemaatnya berdekatan dengan komunitas desa. Semua anggota desa menjadi anggota jemaat dan dilayani olehnya. 

Pendeta biasanya berasal dari desa lain, meskipun kadang-kadang dia mungkin penduduk asli desa itu. Ia ditunjuk oleh Sinode GPM untuk melayani jemaat desa. Dengan demikian, ia tidak terlibat dalam hubungan kekerabatan, adat dan tanah dengan penduduk desa yang dilayaninya. Dia menikmati, bersama dengan kepala desa (radja), posisi tertinggi dalam masyarakat desa, yang sangat dihormati, dan bahkan ditakuti, karena dia adalah orang yang merupakan agen atau perwakilan dari kekuatan yang berakar di “Dunia Lain” (Dunia Sebrang) yang sangat penting dalam hal ini. Di mata masyarakat, status dan perannya dipahami, sampai tingkat yang cukup tinggi, sesuai dengan peran pendeta agama pribumi, yaitu Mauwen7 yang sejak lama telah tergantikan. Pendeta desa hampir selalu orang Ambon, meskipun selama periode 1865-1935, di masa pemerintahan Belanda, mereka tidak diberi gelar itu, karena mereka membantu para pendeta Belanda yang ditempatkan di desa-desa yang terletak di pusat untuk mengawasi sekelompok jemaat desa.

Badan Pengatur Jemaat, biasanya terdiri dari 8 sampai 15 orang, kebanyakan laki-laki, dipilih oleh jemaat dan dilantik oleh otoritas gereja yang lebih tinggi. Institusi ini, atau disebut Madjelis, dipimpin oleh pendeta dan bertanggungjawab atas semua aspek kehidupan dan kegiatan jemaat. Para anggota, penatua dan diaken, ditahbiskan, menurut praktik reformasi, dan ini memberi mereka status yang relatif tinggi dalam masyarakat pedesaan. Mereka sekaligus menjadi anggota masyarakat desa, terlibat penuh dalam segala hubungan dan kehidupannya, namun sekaligus bertanggungjawab atas urusan-urusan jemaat yang didasarkan pada bangunan dan memeliki kepedulian-kepedulian yang sangat asing dengan desa. Dalam beberapa kasus, seorang anggota saniri akan dipilih menjadi anggota Madjelis.

Setiap jemaat  memiliki berbagai organisasi yang melayani kebutuhan fungsional tertentu. Misalnya, ada sekolah minggu untuk mengajar anak-anak yang lebih muda, kelas katekismus yang memberikan 3 tahun pengajaran kepada orang-orang muda untuk mempersiapkan pengukuhan mereka sebagai anggota penuh dari jemaat. Ada kelompok pemuda untuk melayani mereka yang berusia 15 tahun hingga 35 tahun, dan ada asosiasi wanita memberi kesempatan kepada wanita untuk menjalankan aktivitas mereka sendiri dalam masyarakat yang sebagian besar didominasi oleh laki-laki.

Jemaat kurang lebih secara sadar menjadi bagian dari Gereja yang lebih luas, memiliki hubungan dengan jemaat lain, dengan presbiteri (klasis) di tingkat wilayah dan dengan Sinode di tingkat regional. Melalui Sinode, jemaat menjadi bagian dari Dewan Gereja Indoneia dan Dewan Gereja Dunia. Jemaat secara teratur mengamati ikatan yang lebih luas ini melalui partisipasi dalam kegiatan bersama, jika memungkinkan, atau dengan mengadakan layanan khusus untuk menekankannya. Jadi jemaah mungkin adalah satu kelompok di desa yang memiliki ikatan tetap dengan lembaga serupa di luar desa, distrik dan wilayah. Dalam hal ini jemaat Protestan merepresentasikan pola yang berbeda dengan pemerintahan desa. Itu tidak berakar terutama pada tradisi asli, juga tidak dibatasi oleh ikatan turun temurun atau adat. 

Anggota Sidi Gereja (1939)

Kekristenan Protestan berkembang lebih khas, dalam kaitannya dengan lingkungan Maluku, dalam dimensi sosiologis dan ritual daripada dalam dimensi teologis dan etis. Hal ini mungkin dapat dijelaskan oleh fakta bahwa karena berbagai alasan ia menghadapi lebih sedikit perlawanan atau persaiangan dari budaya asli di daerah tersebut daripada di bidang kepercayaan dan norma perilaku.

Selain fungsi-fungsi umum agama dalam masyarakat manapun, yang tidak perlu ditinjau di sini, fungsi-fungsi khusu tertentu dari agama Kristen Protestan di Maluku dapat disebutkan.

Pengamat sering melaporkan bahwa ada perbedaan mencolok antara desa Kristen dan non-Kristen di Maluku Tengah. Mereka menemukan bahwa desa-desa Kristen lebih teratur, lebih sehat dan umumnya lebih stabil (walaupun tidak lebih kuat). Mereka juga melaporkan bahwa orang-orang Kristen Ambon tampaknya sangat enggan mempekerjakan orang lain, terutama untuk pekerjaan fisik. Mereka berpendidikan lebih baik dan tampaknya menikmati standar hidup yang lebih tinggi. Mereka tampak lebih mandiri, puas dan ramah. Bangunan umum dipelihara dalam kondisi yang lebih baik, demikian pula tempat tinggal, jalan-jalan desa, dan lain-lain. Meskipun memang patut dipertanyakan untuk menghubungkan perbedaan-perbedaan ini semata-mata, secara langsung atau bahkan terutama dengan agama Kristen, tampaknya dapat dibenarkan untuk memasukan fungsi-fungsi agama Kristen di Maluku membawa peningkatan dan stabilitas tertentu ke kehidupan desa.

Terkait erat dengan fungsi ini adalah hal lain, yaitu fakta bahwa menjadi Kristen membawa status baru bagi orang Ambon vis – a vis baik bagi penguasa kolonial Belanda dan tetangga non-Kristen mereka. Mereka dianggap oleh Belanda, dan menganggap diri mereka, berdasarkan agama mereka, dalam kelas yang terpisah dan lebih tinggi daripada bagian populasi non-Kristen. Status khusus ini membawa keistimewaan tertentu yang didambakan dalam bentuk kesempatan pendidikan dan pekerjaan di perusahaan komersial, pemerintahan dan militer Belanda, yang tidak ditawarkan atau diambil oleh umat Islam lokal. Dengan demikian, orang-orang Kristen Ambon menjadi sangat dekat dengan rezim kolonial, sehingga kadang-kadang disebut Belanda Hitam (Black Dutchmen). Sikap ini menjadi begitu luas dan menonjol sehingga orang Ambon, bersama dengan orang Minahasa di Sulawesi Utara, dirujuk sebagai penduduk “Provinsi kedua belas Belanda”. Keistimewaan status ini, dan kebanggaan (orang Indonesia lain mungkin mengatakan arogansi) yang dirasakan orang Ambon karenanya, bukanlah berkah yang tak terhingga, terutama setelah nasionalisme berkembang dan kemerdekaan tercapai. Namun entah itu dinilai eufungsional atau disfungsional, ia tetap menjadi salah satu fungsi yang diasosiasikan dengan kekristenan dalam masyarakat Ambon, terutama sebelum tahun 1935, ketika Gereja Protestan Maluku diberi kemerdekaan oleh Ratu.

                Cara lain untuk mengkarakterisasi fungsi-fungsi sebelumnya, namun melampauinya, adalah dengan menunjukan bahwa kekristenan memberi orang Ambon cara baru untuk memahami kehidupan dan dunia. Dimensi baru ini, meski tidak memisahkan mereka dari lingkungan tradisional, membawa mereka ke dunia yang lebih besar dan memberi mereka banyak pengalaman baru. Itu menghubungan mereka dengan orang lain dan cara mereka. Itu memperluas wawasan mereka dan memberi mereka motivasi dan cita-cita baru, tidak semua dari kekristenan yang mungkin ditambahkan. Para pendeta Belanda tinggal di desa-desa tertentu di Maluku selama bertahun-tahun. Banyak orang Ambon meninggalkan desa mereka untuk jenis pekerjaan baru di daerah lain dan bahkan di luar negeri. Cepat atau lambat mereka membawa kembali ciri-ciri budaya baru ke desa. Mungkin tidak akan terlalu jauh untuk menyarankan perkembangan pola baru organisasi sosial, yang sebelumnya disebut pola yang muncul, dimana kategori individu, kemauan, hati nurani, kesetiaan pada sesuatu yang lebih luas daripada klan dan komunitas desa yang lebih besar, yang pada dasarnya merupakan fungsi kekristenan dalam masyarakat Maluku. Sekali lagi, kami di sini tidak mengaitkan penilaian nilai tertentu dengan fungsi ini, tetapi hanya mencatatnya.

                Setelah mempertimbangkan struktur dan fungsi Mimbar dan Tahta dalam masyarakat Maluku Tengah, kita akan mengkaji ke inti masalahnya.

 

Relasi antara Mimbar dan Tahta

                Topik ini melibatkan pertama-tama, menggambarkan apa relasi antara 2 set institusi itu dulu dan sekarang, dan kemudian pertanyaan yang lebih sulit tentangan bagaimana relasi itu seperti demikian.

Relasi tersebut seringkali meripakan salah satu ketegangan dan konflik. Di mana pun jemaat setempat (atau seorang pendeta) telah berusaha untuk setia pada landasan kitab suci dan tradisi kristen, dan di mana pun ia telah berusaha untuk melawan atau mengatasi jenis domestikasi atau Ambonisasi yang disebutkan di atas8, ketegangan telah berkembang antara lembaga keagamaan dan lembaga pemerintahan di tingkat desa. Ketegangan ini sangat sering meletus menjadi konflik antara pimpinan jemaat – pendeta dan madjelis – dengan pimpinan desa – radja dan saniri. Di desa-desa dimana tidak ada ketegangan atau konflik yang terlihat, biasanya kepemimpinan jemaat sepenuhnya berada di bawah pemerintah desa (ini terjadi dalam kasus dimana ada kepala desa dan saniri yang kuat dan pendeta dan madjelis yang lemah), atau pemerintah desa di bawah kepemimpinan jemaat (ini terjadi dalam kasus ketika pendeta dan madjelis yang kuat dan radja serta saniri yang lemah). Keadaan pertama jauh lebih umum daripada yang kedua, karena sampai 10 atau 15 tahun yang lalu pola tradisional jauh lebih kuat daripada pola yang muncul. Konflik maksimum diharapkan terjadi dalam situasi dimana kedua bidang kelembagaan dipimpin oleh orang-orang cakap dan kuat, atau dimana ada kelemahan di kedua sisi9. Maslah hubungan yang tidak memuaskan tampaknya merupakan masalah yang sangat umum. Dan tampaknya menjadi lebih serius ketika laju perubahan meningkat, dengan akibat melemahnya pola-pola sosial-budaya tradisional. 

Sinode GPM (1941)

Namun, harus ditunjukan bahwa ini sama sekali bukan sekadar masalah yang berasal dari masa kini. Sejak tahun 1824 pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan (Staatblad 1824 No. 19a) untuk menetapkan hak dan kewajiban pemerintah desa dan pimpinan jemaat mengenai gedung dan pekarangan gereja. Peraturan ini diubah pada tahun 1884, 1924 dan sekali lagi pada tahun 1945. Maksud yang jelas dari peraturan ini adalah untuk menghilangkan penyebab konflik dan akibatnya yang tidak menguntungkan. Namun ketegangan terus berlanjut, dan menjadi lebih umum dan akurat karena status dan kekuasaan kedua institusi telah berubag akibat perubahan kondisi. Bahkan, peraturan yang ditujukan untuk memperbaiki situasi sekarang memperburuk dan menghalangi perbaikan.

Saat ini tampaknya ada 3 kejadian utama ketegangan dan konflik. Penyebab ketegangan yang pertama, baik pada masa kolonial maupun setelah kemerdekaan, adalah konflik kekuasaan dan status antara pendeta lokal dan penguasa desa. Kedua figur ini menduduki status puncak dari sistem; keduanya disebut “Bapak” oleh penduduk desa. Kedua berhadapan dengan seluruh warga desa, atau dengan kata lain, semua warga desa termasuk dalam tanggung jawabnya, dianggap sebagai anak-anak mereka. Cara yang paling umum merujuk secara lokal pada hubungan yang seharusnya ada antara penguasa dan pendeta adalah menyamakan penguasa sebagai suami dan pendeta sebagai istri dalam sebuah keluarga. Ketika pernikahan harmonis, masing-masing mengetahui posisi dan menjaganya, semua berjalan dengan baik. Ketika gagal, hasilnya lebih seperti neraka. Sekarang perumpamaan ini, betapapun idealnya secara teori, jarang menggambarkan situasi sebenarnya, karena pendeta jarang puas menjadi istri yang tunduk, diperintah secara otoriter oleh kepala desa. Apalagi penduduk desa memanggilnya “Bapak” seperti yang mereka lakukan pada radja. Dan sebuah keluarga dengan 2 ayah bisa diharapkan lebih rentan terhadap konflik daripada keluarga dengan orang tua lawan jenis. Selanjutnya, pendeta kemungkinan besar berpendidikan lebih baik daripada radja, meskipun tidak selalu demikian. Pendeta mungkin memiliki lebih banyak pengalaman di luar desa. Dia juga mewakili Gereja Maluku, artinya, dia memiliki jenis dukungan yang berbeda dari radja, atau menurut pendapatnya. Masing-masing sadar akan posisinya dan sangat ingin mempertahankannya dari gangguan apa pun.

Fakta bahwa masing-masing memerintah (dalam arti yang berbeda tentunya) atas penduduk desa yang sama, seringkali menimbulkan gesekan. Kepala desa dapat menugaskan rincian pekerjaan kepada pemuda jam kelas katekismus yang terjadwalkan. Atau pendeta dapat memprakarsai suatu kegiatan jemaat tanpa persetujuan terlebih dahulu dengan radja. Radja memandang semua organisasi dan kegiatan yang berlangsung di desa sebagai di bawah yuridiksinya. Pendeta memandang raja dan saniri sebagai anggota jemaatnya dan di bawah disiplin yang sama seperti anggota jemaat lainnya. Masing-masing memiliki organisasi yang dipimpinnya, dengan para “letnan”, seolah-olah, di bawah komandonya. Jadi peluang untuk kesalahpahaman dan gesekan selalu ada.

Ketegangan kedua adalah bahwa dengan keputusan pemerintah mengenai bangunan dan properti gereja, seperti yang telah kami sampaikan, adalah milik desa. Bangunan tersebut berada di bawah yuridiksi pemerintah desa sejauh menyangkut pemeliharaan dan kepemilikan, tetapi madjelis mengontrol penggunaannya dan memegang kuncinga. Namun, karena kekuataan jemaat telah meningkat (baik sebagai akibat dari tumbuhnya rasa penatalayanan di pihak anggotanya sejak pemisahan keuangan yang tiba-tiba antara Gereja dan Negara pada tahun 1950, dan reformasi di dalam gereja itu sendiri sejak tahun 1956) dan seiring menurunnya prestise pemerintah desa, pengaturan yang tidak jelas tentang properti gereja ini menyebabkan kesalahpahaman dan konflik di hampir setiap desa pada satu awaktu atau yang lain. Hal ini memperkuat gagasan bahwa desa memiliki jemaat, bahwa jemaat berada di bawah desa, bahwa pendeta harus tunduk pada radja. Hal ini telah membatasi tumbuhnya rasa tanggungjawab jemaat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan kebutuhan desa secara keseluruhan. Banyak jemaat yang mau dan mampu mengambil alih tanggungjawab gedung dan pekarangan gereja, sehingga meringankan bebas pemerintah desa. Tetapi yang terakhir memandang proposal ini dengan ketakutan karena tampaknya hak prerogatifnya semakin terkikis. Pemerintah desa sering lamban dalam melembagakan perbaikan dan renovasi bangunan, sehingga mengganggu pendeta dan madjelis. Dalam hal membangun struktur baru atau mendekor ulang yang lama, desa mengambil peran utama. Jelas ada banyak kesempatan untuk kontroversi dalam situasi seperti itu, dan hampir selalu terwujud.

Konflik ketiga dan mungkin yang paling mendasar antara pimpinan jemaat dan pemerintah desa menyangkut masalah hukum adat atau adat. Perlu diingat bahwa pemerintah desa, khususnya radja, bertanggungjawab atas semua pelaksanaan adat. Perlu diingat bahwa jemaat ini bertumpu pada fondasi yang sangat berbeda dengan fondasi desa. Karena anggota jemaatnya sekaligus merupakan warga desa yang merupakan masyarakat adat, maka tidak heran jika situasi yang ambivalen ini sering menimbulkan bentrok. Pendeta, akan diingatkan lebih lanjut, adalah orang luar, tidak terikat dengan adat dan tidak mengetahui banyak tentang hal itu secara detail. Karena banyak dari sikap dan konsepsi yang mencirikan agama pribumi kini menampakan diri hanya dalam kaitannya dengan adat, cukup dimengerti bahwa pendeta kadang-kadang mengajukan pertanyaan tentang pelaksanaan upacara adat. Hampir tidak ada desa yang bebas dari kejadian-kejadian seperti itu, salah satunya adalah menempatkan pendeta, dan kadang-kadang madjelis, pada sisi yang berlawanan dari pergulatan dengan pemerintah desa. Para anggota jemaat, dan terkadang pada diaken dan penatua terjebak di tengah-tengah. Tidak ada pihak yang akan mundur, karena terlalu banyak yang dipertaruhkan. Persatuan desa terancam, karena banyak masalah lain mungkin terlebih dalam perseteruan ini.

Radja van de Negeri Makariki

Penyebab yang mendasari fenomena tersebut telah dibahas. Mungkin dasar ketegangan dan konflik yang paling mendasar antara Mimbar dan Tahta di dalam masyarakat Maluku Tengah terletak pada sifat ambivalen masyarakat itu sendiri. Ini, di satu sisi, komunitas adat tradisional yang memiliki sejarah berkelanjutan setidaknya sejak tahun 1450 M. Di sisi lain, dan pada saat yang sama, selama lebih dari 3 abad telah menjadi komunitas kristen berdasarkan kitab suci dan tradisi yang asing bagi budaya asli daerah tersebut. Hubungan antara kedua komunitas ini cukup ambigu. Masing-masing menerima yang lain, namun mereka tidak cocok dalam hal-hal tertentu. Orang Ambon bangga bahwa mereka adalah orang Kristen, namun mereka memegang teguh adat mereka dengan sangat kuat. Bahwa kekristenan mereka harus menantang adat mereka tampaknya merupakan gagasan yang luar biasa. Mereka percaya bahwa agama mereka seolah-olah memberkati adat mereka. Namun, pada saat yang sama, mereka menyadari bahwa ada kontradiksi antara tuntutan yang diberikan kepada mereka oleh leluhur mereka – adat – dan keharusan yang muncul dari Injil – norma dan pola hidup kristiani. Secara tradisional mereka telah mencoba mengatasi ambivalensi dan ambiguitas ini dengan mencoba dikotomi fungsional antar ranah Kaisar dengan tuntutannya (adat), dan ranah Tuhan dengan tuntutannya (iman dan etika monoteistik). Tapi ini tidak menghilangkan ketegangan; karenanya konflik antara madjelis dan saniri, pendeta dan radja, terus meletus karena persyaratan adat.

Dari sisi budaya asli, seolah-olah ada upaya ganda untuk menghadapi tantangan yang diperkenalkan oleh agama Kristen. Yang pertama adalah dikotomi fungsional yang baru saja disebutkan. Kebijakan ini sangat didorong oleh pemerintah kolonial yang sejak perjanjian pertama dengan penguasa Ambon (tahun 1605) menghindari niat untuk mencampuri adat orang Ambon. kebijaksanaan pemerintahan tidak langsung diterapkan keberhasilannya bergantung pada kesinambungan masyarakat adat tradisional. Oleh karena itu, selama Gereja berada di bawah kendali tertinggi pemerintah kolonial (yaitu sampai tahun 1935), sedikit sekali tantangan langsung terhadap adat yang dikabulkan. Menarik untuk dicatat bahwa meskipun pemerintah Republik Indonesia telah mendukung adat dan berusaha menggunakannya untuk mencapai kohesi sosial di Maluku, terutama antara desa-desa Kristen dan Islam, ia juga telah melembagkan perubahan dalam sistem administrasi yang berkontribusi pada melemahnya adat dalam hal-hal tertentu.

Upaya kedua adalah menjinakan agama Kristen (sebagaimana diilustrasikan di atas), mempribumikan atau “menyesuaikan”-nya sedemikian rupa untuk menjamin bahwa agama itu akan mengakomodasi pola budaya tradisional. Upaya ini diperkuat oleh fakta bahwa tidak ada program pengawasan atau pengajaran yang sistematis yang tersedia bagi jemaat desa hingga abad ke-19, dan oleh fakta bahwa bahasa Kristen adalah bahasa Melayu, bukan bahasa sehari-hari. Fakta bahwa situasi ini berlanjut selama setidaknya 2 abad (1615-1815) memungkinkan bentuk kekristenan asli (disebut agama Ambon) menjadi berakar kuat dan sangat resisten terhadap modifikasi di tahun-tahun berikutnya.

Hal ini lebih jauh menjelaskan mengapa, hingga saat ini, belum terjadi konfrontasi umum, langsung, sadar diri antara iman dan etika Kristen dengan adat. Memang benar bahwa di masa lalu keduanya telah berkali-kali bertabrakan tentang isu-isu spesifik di desa-desa tertentu karena berbagai alasan. Juga benar bahwa kekristenan telah menjadi salah satu faktor yang bekerja dalam perubahan-perubahan substansial yang terjadi dalam sistem adat. Tetapi secara keseluruhan Gereja telah menerima keabsahan adat dan tidak merasa ada konflik yang perlu antara adat dan Injil. Baru sejak tahun 1956, GPM menyadari bahwa ia harus memeriksa kembali secara tradisionalnya terhadap dunia, termasuk struktur politik, ekonomi, sosial dan moralnya. Hanya jika ia berhasil menghubungkan Injil dengan semua aspek kehidupan Maluku, barulah ada harapan untuk menyelesaikan banyak masalah yang dihadapinya, termasuk relasi antara Mimbar dan Tahta. Pemeriksaan ulang mendasar ini mungkin menjadi lebih mungkin, dan lebih diperlukan, oleh fakta bahwa baik norma perilaku gereja tradisional maupun adat tradisional menghadapi tantangan berat dari pihak lain.

Hal ini mengarah pada landasan umum kedua dari ketegangan dan konflik, yaitu perubahan sosial yang luas dan mendalam yang telah terjadi, dan laju perubahan lebih lanjut yang semakin cepat. Untuk tujuan mempertimbangkan faktor-faktor yang paling signifikan terlibat dalam perubahan ini, akan berguna untuk menganalisisnya melalui 3 periode sejarah. Yang pertama adalah masa sampai dengan berakhirnya kekuasaan VOC, yaitu kira-kira dari tahun 1520 sampai 1800. Selama periode ini, pengaruh ekonomi dan politik yang paling dirasakan oleh masyarakat dan budaya Ambon. Pola hidup lahiriah sangat berubah, akibat organisasi perdagangan rempah-rempah dan berpindahnya pusat perdagangan dari Ternate ke Ambon. Upaya Belanda untuk membangun dan melindungi monopoli mutlak baik pada produksi maupun perdagangan cengkih dan pala menyebabkan banyak campur tangan dalam kehidupan desa. Pemerintahan desa khususnya mengalami perubahan dan perkembangan yang radikal. Fungsinya berubah dan diperluas karena kebijakan pemerintahan tidak langsung yang digunakan oleh Belanda. Kami telah mencatat bahwa selama periode ini, pengaruh agama Kristen sebagian besar terjadi pada bidang interaksi dengan agama pribumi.

Periode kedua, dari tahun 1800 hingga 1941, adalah periode pemerintahan kolonial. Perdagangan rempah-rempah menjadi kurang penting bagi Belanda dan fokus pembangunan dialihkan ke Jawa dan kemudian Sumatera. Selama periode ini di Maluku, pengaruh ekonomi dan politik relatif berkurang, sementara agama Kristen dan pengaruh sosial dan budaya lainnya mengambil peran yang lebih besar. Ini semakin menjadi kasus dengan ditinggalkannya sistem budaya paksa, dan pemerintah kolonial pertama-tama merangkul kebijakan ekonomi “liberal” dan kemudian kebijakan (yang disebut) “etis” di Indonesia. Peluang ekonomi dan administrasi untuk orang Ambon adalah ditingkatkan dan kontak dengan bagian lain di Indonesia dan luar negeri meningkat.

Periode ketiga, pendudukan Jepang dan Perang (1941-1945) yang membawa banyak penderitaan, kematian dan kehancuran di Maluku. 5 tahun kemudian (1950-1951) masih ada lagi periode pertempuran dan kehancuran yang menimpa Maluku Tengah selama pemberontakan “RMS” yang terjadi tidak lama setelah penyerahan kedaulatan. Sejak tahun 1951, Maluku Tengah berada di bawah yuridiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemerdekaan telah membawa banyak perubahan di segala bidang, meskipun berada di ujung paling jauh dari kendali administratif. Selama periode ketiga ini, 1940-1965, dan terutama setelah tahun 1950, perubahan yang paling luas terjadi. Penghancuran material, perampasan ekonomi, ketidakstabilan dan kekacauan politik, revolusi dan reorganisasi sosial, difusi dan kebingungan budaya, semua ini dan lebih banyak lagi telah menandai periode ini. Ini adalah masa dimana kaum muda semakin menonjol. Peluang pendidikan telah berkembang pesat. Orang-orang Kristen Maluku telah dikonfrontasi oleh orang-orang Islam Maluku yang lebih sadar diri dan agresif. Pemerintahan tidak langsung melalui Dewan Desa di masa pemerintahan kolonial, telah digantikan oleh pemerintahan langsung oleh orang Indonesia, yang bertekda untuk membangun negara baru. Serangkaian keadaan ini, di sini disebut secara luas sebagai “perubahan sosial yang cepat”, telah memiliki beberapa akibat khusus yang secara langsung berkaitan dengan masalah Mimbar dan Tahta.

a.        Sistem adat semakin rusak. Hanya bagian tertentu saja yang tersisa. Lebih penting lagi, rasa hormat dan ketergantungan pada adat telah sangat menderita, terutama di kalangan generasi muda. Perkembangan ini memunculkan seluruh masalah Mimbar dan Tahta dan relasi iman Kristen dan adat dalam perspektif baru. Ini juga terkait erat dengan perkembangan kedua.

b.       Kewibawaan pemerintah desa terus menurun dan berubah secara nyata dalam beberapa tahun terakhir, pertama dengan hancurnya adat, dan yang lebih penting lagi dengan dicabutnya fungsi peradilan dari penguasa desa dan dewannya pada tahun 1950. Dengan demikian, hilangnya status dan fungsi, bersama dengan perubahan basis pemerintahan desa dari dasar adat tradisional menjadi sistem administrasi sekuler modern, telah menempatkan penguasa desa dalam posisi bertahan dan meningkatkan ketidaknyamanan mereka.

c.        Bersamaan dengan akibat ini, dan sebagai akibat dari cabutnya Belanda dan berakhirnya pemerintahan kolonial pada tahun 1949, bersamaan dengan pemotongan permanen subsidi keuangan pemerintah untuk Gereja pada tahun 1950, telah terjadi pembaruan dan reorganisasi GPM10 dalam 10 tahun gereja menjadi mandiri dan bebas baik dalam kepemimpinan maupun keuangan, sebuah perubahan radikal setelah 350 tahun kebijakan kolonial diperhitungkan untuk membuat orang Ambon bergantung, seperti anak-anak yang setia. Gereja mengalami percobaan berat selama periode ini, tetapi menjadi semakin kuat, lebih sadar akan fondasinya yang sebenarnya, sumber dayanya yang nyata, dan lebih sadar baik mengenai beban warisan sejarahnya maupun mengenai struktur dan fungsinya dalam masyarakat

d.       Hasil akhir dari perubahan ini adalah menempatkan jemaat lokal dan kepemimpinannya dalam kontras yang lebih tajam dengan desa yang diorganisir secara tradisional dan kepemimpinannya. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah dasar dan pola organisasi jemaat serta semangatnya yang baru berkembang tidak lebih sesuai dengan perubahan zaman dibandingkan dengan pemerintahan desa.

Semua aspek dari proses perubahan sosial yang luas ini memiliki kaitan langsung dengan relasi Mimbar dan Tahta.

Ketegangan ketiga dan terakhir harus dipertimbangkan terletak pada aspek pandangan dan sikap tertentu yang patut dipertanyakan yang telah menjadi ciri Gereja Maluku dan kepemimpinannya, terutama dalam kaitannya dengan kepemimpinan desa. Pendeta desa, mungkin mengingat pola yang ditetapkan oleh pendeta Belanda sebelumnya, harus terus terang, terlalu sering memerintah penduduk desa, termasuk radja dan saniri, daripada datang untuk melayani mereka. Postur atau pola kepemimpinan yang tidak menguntungkan ini disebabkan oleh sejumlah faktor. Untuk satu hal, pendeta desa berasal dari luar, ditunjuk oleh Sinode dan bertanggungjawab untuk itu daripada kepada siapa pun di desa. Di sisi lain, sampai tahun 195, ia adalah pelayan sipil yang dibayar oleh pemerintah, yang semuanya membuatnya mudah untuk mengambil peran superior di desa dan terhadap pemerintah desa. Lebih jauh lagi, postur otoritas atas segalanya ini sesuai dengan anggapan pribumi bahwa otoritas keagamaan sebenarnya lebith tinggi, lebih ditakuti dan dihormati, daripada otoritas duniawi. Pendeta adalah orang yang memegang kunci kerajaan. Gagasan ini, yang sangat kontras dengan citra pelayan Perjanjian Baru yang dominan, adalah salah satu alasan utama mengapa di Maluku, seperti di banyak masyarakat, pendeta dan radja seringkali berkonflik.

Jadi salah satu penyebab utama dari relasi yang tidak bahagia antara Mimbar dan Tahta di masyarakat Maluku Tengah adalah fakta bahwa Tahta (pemerintah kolonial di sebagian besar masa lalu) telah menguasai Mimbar (Gereja Maluku) dan Mimbar (kepemimpinan jemaat desa) telah mengambil posisi penguasa dalam kaitannya dengan Tahta (pemerintah desa). Untungnya baik pembaharuan di Gereja Maluku maupun perubahan revolusioner dalam masyarakat memungkinkan penghapusan sebab-sebab mendasar dari konflik ini.

======= selesai =======

Catatan Kaki

  1. Pembaca yang tertarik dengan soal ini dapat membaca uraian mendetail di dalam Cooley, F.L. “Ambonese Kin Group”, Ethonology, volume I, No. 1, Jan 1962
  2. Untuk uraian lengkap mengenai adat orang Amnon, dikuti dari Cooley, F.L. “A General Description of Ambonese Adat”, Yale University Southeast Asia Studies, Cultural Report Series, No. 10, 1962.
  3. Istilah ini dan pola pemerintahan berasal dari bahasa dan praktik di pulau Ceram, dimana banyak leluhur yang mendiami desa-desa Maluku, asalnya dari sini
  4. Tentang masalah ini lebih lanjut, lihat catatan kontemporer dalam Valentijn, F. “Oud en Nieuw Oost-Indien”, Amsterdam : Gerhard Onder der Linden, 1724, Volume III, Buku I, Pasal 1
  5. Misalnya, kecenderungan yang kuat terhadap literalisme dan ritualisme merupakan ciri dari agama pribumi. Penggunaan kitab suci sebagai sumber formula untuk digunakan dalam penyembuhan atau kutukan tidak jarang. Penggunaan Tete Manis sebagai istilah sehari-hari untuk menyebut Tuhan sejajar dengan istilah Tete Lanite, yang digunakan dalam agama pribumi, dan lain-lain
  6. Mengatakan ini, bukanlah untuk menjelek-jelekkan Kristen Protestan di Maluku; tidak berarti bahwa agama pribumi baru saja dibaptis dan diberi nama baru, karena jelas bukan itu masalahnya. Melainkan untuk mengakui adanya proses yang telah berlangsung, dan masih berlangsung di banyak budaya yang melibatkan banyak agama, sebuah proses yang tidak dapat dihindari jika terjadi integrasi budaya, sebuah proses dimana iman Kristiani dapat memberikan kontribusi positif terhadap budaya apa pun
  7. Mauwen, di masa pra-Kristen, adalah wakil yang memimpin wilayah suci dalam kehidupan desa, seperti Latu, kemudia Radja memimpin wilayah sekuler. Dia memberikan pengawasan dan memimpin dalam semua fungsi di mana ada hubungan dengan “dunia lain” dan makhluk diyakini tinggal di sana yang mempengaruhi nasib manusia. Untuk informasi lebih lanjut, lihat Valentjin op cit., Duyvendak, J.P., “Het Kakean Genootschap van Seran”, Almelo, Drukkeri N.V.W. Hilarius, 1916, dan Deacon, A.B., “The Kakihan Society of Ceram and New Guinea Initiation Cults”, Folklore, v.36, 1935
  8. Misalnya, dengan menarik garis yang jelas antara persyaratan adat dan injil, atau dengan berusaha menghapus sisa-sisa agama pribumi dalam adat dan praktik keagamaan, dan lain-lain
  9. Tumpang tindih struktur melalui dwi keanggotaan madjelis dan saniri yang kadang terjadi dapat diduga akan semakin memperumit hubungan, namun pada kenyataannya di mana hal itu terjadi seringkali membantu mengatasi konflik karena jika anggota yang tumpang tindih itu mampu dan serius membantu menjaga hubungan tetap terbuka dan fleksibel
  10. Cf. F.L. Cooely, “A Church Reformed and Reforming”, dalam The International Review of Missions, volume LI, No. 201, Jan. 1962

Tidak ada komentar:

Posting Komentar