Kamis, 12 Januari 2023

Massoi dan Kain Timur di Semenanjung Kepala Burung Papua, ujung paling timur dunia Samudra Hindia


(bag 1)

[Leonard Andaya]

 

  1. Pengantar

Membaca kajian dari Leonard Yuzon Andaya ini, kita akan mengetahui jejaring rumit perdagangan yang sejak berabad-abad telah terbentuk, dari ujung paling timur Nusantara hingga ke dunia Samudra Hindia. Kajian Leonard Andaya ini berjudul Massoi and Kain Timur in the Birdshead Peninsula of New Guinea, the easternmost Corner of the Indian Ocean World, yang dimuat dalam buku berjudul Trade, Circulation, and Flow in the Indian Ocean World, yang dieditori oleh Michael N. Pearson dan diterbitkan tahun 2015. Kajian dari Andaya ditempatkan pada artikel ke-5, halaman 83-108 dari 9 artikel yang dimuat dalam buku itu. Selain kajian dari Leonard Andaya, ada kajian dari Geoff Wade (tentang perdagangan Cina pada masa dinasti Song, Yuan dan Ming), M.R. Fernando (tentang perdagangan di Selat Malaka abad ke-17 dan ke-18), Rila Mukherjee (koneksi Cazimbazar di Samudra Hindia) dan beberapa yang lain.

Pada artikel sepanjang 26 halaman ini, Andaya mengkaji tentang perdagangan kulit kayu massoi dan kain yang dilakukan oleh para pedagang Seram Tenggara (Seram Laut), Tidore, Makassar, Bugis, Jawa, Cina dalam jejaring perdagangan yang rumit di abad ke-15 dan seterusnya. Jika kita membaca kajian ini, minimal kita memahami “sejarah” penggunaan kain patola dalam aktivitas bayar harta kawin atau mahar yang masih dipertahankan oleh orang-orang Maluku. Selain alasan “teologis sakral” yang terkandung dalam sepotong kain, ada alasan “ekonomi dan prestise” yang “melatar belakangi” alasan mengapa para leluhur “mewajibkan” sepotong kain sebagai syarat mahar saat proses pernikahan. 

Kami menerjemahkan kajian Leonard Andaya ini dalam 2 bagian, agar bisa dibaca secara “ringan” dan menambahkan beberapa gambar pendukung, selain 4 buah peta yang dilampirkan oleh penulis dalam naskah aslinya, serta memberikan catatan tambahan yang diperlukan. Akhir kata semoga kajian ini bisa bermanfaat bagi kita.

  1. Terjemahan

Gagasan tentang "dunia Samudra Hindia" terus diperdebatkan dan didefinisikan ulang di antara para sarjana sejak Alan Villiers membantu memprakarsai konsep tersebut dalam studinya tahun 1952, yang berjudul The Indian Ocean. Di antara mereka adalah K. N. Chaudhuri, yang berusaha untuk “menemukan kesatuan dan keragaman peradaban Samudra Hindia” dengan meneliti perdagangan jarak jauh yang melibatkan banyak unit geografis dan budaya berbeda yang membentuk samudra ini. Dia berusaha untuk mendefinisikan Samudra Hindia dalam istilah yang paling luas, untuk memasukkan tidak hanya unit fisik tetapi juga manusia yang diciptakan oleh orang-orang saat mereka mengikuti rute perdagangan dan menjalin hubungan melintasi lautan (Chaudhuri 1985, hlm. 2–4). Yang lain sejak itu mengikuti jejaknya atau mengambil arah baru dalam mencoba menemukan kesamaan dari wilayah perairan ini yang telah dianggap sebagai satu kesatuan dan secara umum dinamai Samudra "India". Dengan demikian gagasan tentang "Samudra Hindia" telah melahirkan jurnal ilmiah dan banyak artikel dan monografi yang telah mendekati subjek dari perspektif yang berbeda1. Sebuah studi inovatif baru-baru ini tentang diaspora sayyid Hadrami semakin memperkuat persepsi dunia Samudra Hindia sebagai penyedia konektivitas di begitu banyak negeri dan budaya (Ho 2006). Studi semacam itu, sejauh ini, telah menegaskan kembali pernyataan Chaudhuri bahwa pertukaran barang dan gagasan di Samudra Hindia memang telah menciptakan “ruang geografis bersama” (Chaudhuri 1985, hlm. 21). 

Dalam kajian ini, saya berusaha menunjukkan hubungan semacam itu di bagian paling timur dari dunia Samudra Hindia—pulau-pulau di timur  Indonesia dan Semenanjung Kepala Burung di New Guinea. Dalam melakukannya, saya juga mencoba untuk memperbaiki apa yang Edward A. Alpers dalam pidato utamanya pada konferensi internasional tentang “Cultural Exchange and Transformation in the Indian Ocean World” di UCLA pada tahun 2002, yang menyebut "kurangnya minat yang ditunjukkan oleh para sarjana dari Asia Tenggara kepulauan dalam menghubungkan wilayah khusus mereka dengan dunia Samudra Hindia yang lebih besar" (Alpers 2002, hlm. 9). Saya memutuskan untuk membatasi fokus saya pada kulit kayu Massoi dan pada perdagangan kain timur (“eastern cloth”) yang berasal dari Semenanjung Kepala Burung, meskipun banyak komoditas lokal lainnya dari Semenanjung itu menjadi bagian dari jaringan perdagangan internasional yang sama.

Dalam melakukan penelitian ini, saya telah terinspirasi dan dibimbing oleh wawasan berharga dari Peregrine Horden dan Victor Purcell dalam buku mereka yang luar biasa, The Corrupting Sea: A Study of Mediterranean History (Horden dan Purcell 2000). Dalam menulis tentang Mediterania, Horden dan Purcell telah membuat perbedaan yang berguna antara kajian tentang  DI lautan dan DARI lautan. Di yang pertama, studi tentang orang dan tempat terletak DI wilayah perairan tertentu, seperti Mediterania, tanpa harus banyak berhubungan dengan komunitas dan situs lain yang berbagi laut yang sama. Laut bukanlah fitur yang menonjol dalam pendekatan ini, tetapi daratan yang bersebelahan. Sebaliknya, studi tentang DARI laut menekankan laut sebagai wilayah "interaksi kompleks faktor manusia dan fisik, bukan hanya latar belakang materi dari serangkaian kendala yang tidak dapat diubah" (Horden dan Purcell 2000, hal. 9).

Konektivitas inilah yang mengikat komunitas-komunitas ini sebagai satu kesatuan dan menjadikannya bagian penting dari lautan (Peta 5.1).

Kajian tentang perdagangan Massoi menunjukkan "interaksi kompleks faktor manusia dan fisik" ini dari hutan yang perawan ke pengumpul, kemudian melalui berbagai hubungan perantara melalui darat dan laut ke pihak konsumen. Sementara perjalanan hasil hutan yang luar biasa ini menyoroti jaringan mengesankan komunitas perdagangan yang aktif di laut Indonesia bagian timur (atau ujung timur Samudra Hindia), saya juga peduli untuk menekankan dampak perdagangan semacam itu terhadap komunitas produsen. Dalam hal ini kain timur atau “eastern cloth” yang diimpor memainkan peran penting. Kulit massoi tidak memiliki daya tarik di luar kepulauan Indonesia, namun permintaannya hanya dapat dipenuhi oleh sistem pertukaran yang rumit yang mencakup para pedagang dari semua pusat perdagangan utama dunia modern awal. Dalam hal ini, perdagangan massoi adalah contoh bagaimana bahkan komoditas biasa dapat menciptakan konektivitas yang membuat cerita dari banyak komunitas di pulau-pulau jauh di timur Indonesia ini menjadi bagian integral DARI Samudera Hindia.

 

Massoi dan Pasar Utamanya

Kulit massoi berasal dari pohon (Cryptocarya massoy) dari keluarga laurel yang berasal dari New Guinea. Tumbuh subur antara 400 dan 1000 meter di atas permukaan laut di antara kaki pegunungan bagian dalam Onin di bagian selatan Semenanjung Kepala Burung (Swadling 1996, hlm. 136). Dikenal sebagai “massoi” di seluruh Nusantara dan dengan berbagai nama lokal Papua, pohon itu dulunya tersedia di pantai tetapi sekarang hanya ditemukan di daerah pedalaman yang lebih terpencil. Pemanenan berlebihan dan praktik menebang pohon untuk mengambil kulit kayu kemungkinan besar merupakan alasan utama menipisnya pohon massoi secara bertahap di sepanjang pantai. Faktor lain menurut naturalis terkenal G.E Rumphius (c. 1627-1702) adalah bahwa penduduk yang bermusuhan telah memaksa perdagangan berpindah  dari hutan di Pulau Karas di Onin lebih jauh ke tenggara Adi (Pulau Wessel) di Onin Kowiai (Rumphius 2011, hal90). Terlepas dari laporan-laporan ini, pada awal abad ke-20 masih ada hutan lebat pohon massoi yang ditemukan di tanah kapur di lereng timur pegunungan di barat daya New Guinea dan kaki bukit Onin Kowiai (Dissel 1907, hlm. 1003) (Peta 5.2). 

Rumphius menggambarkan pohon massoi sebagai “pohon yang lurus, tinggi, dan biasanya sangat tebal sehingga orang hampir tidak bisa memeluknya : kulitnya halus, abu-abu muda, kasar di batang bawah, sobek, dan dengan bintik-bintik lumut abu-abu, ia di sini juga setebal jari kelingking, kaku, tapi mudah kering” (Rumphius 2011, hlm. 89). Tidak adanya penopang dan banyak cabang yang menonjol membuat batang lurus ideal untuk pengupasan kulitnya, bagian pohon yang paling berharga. Pada akhir abad ke-16, Miguel Roxo de Brito, seorang Portugis melaporkan bahwa orang Papua menggunakan kulit kayu untuk mengobati banyak penyakit, termasuk sakit perut, dan itu “seperti kayu manis, dan [mengeluarkan] kehangatan yang aneh. Saat dimakan, itu membuat wajah terbakar, seperti buah pinang. Ini akan sangat dihargai di negara-negara dingin........” (Sollewijn Gelpke 1994, hal 138-139).

Satu abad kemudian, Rumphius memberikan laporan yang lebih luas tentang penggunaan kulit kayu :

............kulit kayu adalah bagian terbaik dari pohon, dan dibawa ke pasar dibagi menjadi potongan-potongan panjang, sekitar 2,5 kaki panjangnya, diikat bersama dalam kumpulan besar yang beratnya 20 hingga 25 pohon : kulit kayu terbagi dalam 2 jenis, meskipun dari pohon yang sama : untuk kulit batang bawah tebalnya seperti jari kelingking, cokelat muda di bagian dalam, bertali atau berbintik-bintik dengan urat warna putih, seolah-olah kapur kering : kulit kayu yang sama hanya setebal 2 pisau di bagian batang atas, halus tertutup kulit putih kotor atau kekuningan, tanpa urat putih di bagian dalamnya, dan agak lebih tajam dan lebih panas daripada bagian batang bawah, tetapi bau kulit batang yang tebal cukup menyenangkan, meskipun keduanya memiliki bau yang sangat pedas dan rasanya, seperti Cubebas2, panas dan kering hingga level 3, dan ketika dikunyah seperti lidah yang tergigit sedikit, tetapi tidak sebanyak seperti lada, dan mengisi mulut kita dengan kehangatan yang menyenangkan. Ketika digosokkan pada tubuh kita, itu akan sangat memanaskan kulit, sehingga kita tidak dapat menahannya.......(Rumphius 2011, hal 89)

Kualitas kulit kayu yang paling penting adalah sifatnya yang “kering, panas, dan menembus”3, yang menjadi alasan popularitasnya.

                Massoi memperoleh pasar yang siap di Nusantara, khususnya di Pulau Bali, Madura, Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Ketika ditumbuk dan dibuat menjadi pasta, itu dioleskan ke tubuh untuk memberikan kehangatan sepanjang siang dan malam yang dingin. Wanita Jawa dan Bali dilaporkan terpikat oleh kualitas aromatiknya, sehingga mereka menambahkan kulit kayu manis (kulit lawan atau Cinnamomum culitlawan (L) Kostermans), beberapa cengkih, dan sedikit cendana kunging untuk membuat salep yang dikenal sebagai bobori panas. Beberapa juga menggunakan massoi dalam memasak dan menambahkannya ke ramuan obat yang disebut jamu. Daun dan cabang pohon kurang “panas” dibandingkan kulit kayu, dan karena itu digunakan dalam pembuatan poultices untuk anak-anak. Para pelaut dari Seram Laut biasa mengisi bantal mereka dengan dedaunan untuk memberikan kehangatan dalam perjalanan laut mereka yang panjang dan sering (Rumphius 2011, hal 91).

                Meskipun Rumphius tidak menyebutkan kegunaan lain, penelitian selanjutnya menunjukan sejumlah cara lain bahwa orang Jawa menggunakan massoi. Dikenal sebagai masoji dalam bahasa Jawa, itu dianggap sebagai obat untuk diare dan berbagai penyakit perut, terutama kram selama kehamilan. Ketika dicampur dengan ramuan obat lain, sangat efektif mengobati keputihan (“witten vloed”) (Heyne 1927, hal 674). Hingga kini masih digunakan sebagai ramuan untuk mengobati radang kandungan, darah kotor, rematik, cacingan, dan untuk pengobatan penyakit kelamin dan sifilis (Soepardi 1967, hal 82,86,91,96,98). Penggunaannya yang luas dan kepercayaan akan kemanjurannya mengobati serangkaian penyakit yang mengancam jiwa, membuatnya menjadi produk yang sangat diinginkan di antara orang Jawa pada khususnya, namun juga di pasar lain. Penggunaan penting lainnya dari massoi adalah sebagai fiksatifa pewarna dalam pembuatan batik, suatu seni Jawa kuno (Swadling 1996, hal 133; Goodman 2006, hal 97; Pickell 2002, hal 160-161). Di antara orang Papua sendiri, massoi digunakan untuk berbagai tujuan pengobatan, bahkan menggunakan rebusan massoi untuk mengobati pergelangan kaki terkilir dan digunakan secara eksternal untuk sakit kepala (Pickell 2002, hal 161). Beberapa orang Papua menggunakan campuran minyak massoi dan air untuk dioleskan ke tubuh mereka untuk melindungi dari roh balas dendam musuh yang telah mereka bunuh (Swadling 1996, hal 133; Goodman 2006, hal 97). Pada masa kolonial, orang Jerman di Papua Nuigini mengekspor massoi ke tanah air mereka, dimana massoi itu digunakan untuk minuman keras dan pahit yang murah (Heyne 1927, hal 674). Permintaan massoi, khususnya dari Jawa, membuat perdagangan massoi menjadi usaha yang bermanfaat bagi orang Papua.

 

Pengumpulan dan Penjualan Kulit Massoi

                Rumphius sekali lagi memberikan deskripsi paling awal tentang pengumpulan kulit kayu massoi, tetapi dia hanya berbicara tentang orang Papua dari Onin Kowiai yang berjalan ke pegunungan untuk mengumpulkan kulit kayu massoi dan kembali setelah sebulan dengan sekitar 60-100 pikol (1 pikol = 160 lb atau 72,6 kg). Mereka menumpuknya di pantai hingga setinggi pedang/parang Tobunku, lalu tawar-menawar dengan para pedagang dari Seram Tenggara (khususnya penduduk Pulau Seram Laut) untuk menentukan harga yang disepakati bersama. Para pengepul asal Papua melaporkan bahwa hanya ada beberapa pohon yang tersisa di dekat pantai, dan sekarang mereka harus ke pedalaman di pegunungan untuk mendapatkan kulit massoi. Setelah menikmati keuntungan dari perdagangan ini, mereka tidak mengizinkan para pedagang untuk pergi ke pedalaman, atau mengizinkan pengambilan anakan untuk ditanam kembali di tempat lain. Lebih lanjut Rumphius berkomentar bahwa , dalam mencari pohon massoi, orang Papua membawa serta anjing pemburu mereka. Ketika anjing mulai menggerogoti batang pohon, mereka menganggap pohon itu baik dan matang (Rumphius 2011, hal 89,91). Pada akhir abad ke-17, Francois Valentijn menambahkan catatan lebih lanjut, bahwa sebelum orang Papua mau masuk ke pedalaman untuk mencari pohon massoi, mereka harus dibujuk dengan makanan dan minuman (Valentijn 2002 [1724], hal 103). Karena tidak ada orang asing yang diizinkan untuk menemani orang Papua dalam ekspedisi pengumpulan kulit massoi, kita tidak memiliki deskripsi rinci tentang proses tersebut sampai tahun-tahun awal abad ke-20 dalam laporan J.S.A. van Dissel, seorang pegawai bahasa Belanda  yang ditugaskan untuk mempelajari bahasa asli pesisir Papua Nuigini dan untuk mengumpulkan bahan-bahan etnografi.

                Van Dissel melakukan beberapa perjalanan ke berbagai pesisir Papua Nuigini pada dekade pertama abad ke-20, dan dalam salah satu ekspedisi, ia memberikan penjelasan yang jelas tentang metode pengumpulan yang dilakukan oleh orang Papua. Dalam kelompok yang terdiri dari 12 orang atau lebih, mereka pergi mencari pohon massoi selama 6 atau 7 bulan di musim kemarau. Pengumpulan juga dapat dilakukan selama musim hujan, namun jalur perjalanan sulit untuk digunakan. Ketika mereka menemukan batang pohon yang baik, mereka membangun rumah dimana mereka tinggal selama musim panen. Kulit pohon pertama-tama dilingkari 1 meter terpisah, kemudian ditebang sepanjang pohon sehingga kulit kayunya tumbang. Pohon-pohon biasanya ditebang, meskipun jika dibiarkan berdiri, pengambilan kulit kayu akan membunuh pohon4. Kulit kayu kemudian diletakkan di bawah tiang untuk membiarkan getah (yang menyebabkan rasa gatal yang menyiksa) menetes ke bawah. Setelah beberapa minggu, kulit kayu kayu menjadi kering dan siap untuk diikat dengan rotan atau sulur menjadi bundel dengan berat sekitar ¼ pikol. Ikatan-ikatan ini kemudian dibawa oleh laki-laki dan perempuan dengan menggunakan “tali” di sekeliling dahi dan dibawa ke tempat sementara untuk disimpan sampai terkumpul dalam jumlah yang cukup, atau sampai waktu yang disepakati dengan tengkulak. Sungai adalah moda transportasi yang paling nyaman, dan di sepanjang sungai dengan interval sekitar ½ jam didirikan rak kayu untuk kulit massoi. Perahu-perahu kemudian menyusuri sungai, memuat kulit kayu dan berhenti untuk bermalam di sebuah stasiun sebelum melanjutkan perjalanan ke pantai menuju para pedagang yang menunggu. Selama 3 bulan van Dissel berada di wilayah Bedidi pada tahun 1904, ia memperkirakan sekitar 200 pohon telah ditebang berdasarkan perhitungannya bahwa pohon berukuran sedang akan menghasilkan 2 kg kulit kayu. Untuk seluruh musim pengumpulan dari bulan April – Oktober, dia percaya bahwa 500 pohon massoi akan ditebang (Dissel 1907, hal 1003-1005).

                Salah satu aspek menarik dari proses pengumpulan itu adalah penggunaan kera-kera. Ini biasanya terdiri dari 2 batang yang di taruh di tanah, di atasnya digantungi daun, sehelai kain, cangkang, atau sehelai kulit kayu dengan gambar manusia yang digambar dengan kapur tulis/kapur. Terkadang sebuah gelas diletakkan di sana dengan gambar seorang laki-laki. Kera-kera adalah representasi individu yang ingin mencegah siapa pun menggunakan jalan atau mengambil  buah dari pohon atau memasuki rumah saat ia tidak ada. Kera-kera memiliki “kekuatan” sehingga melanggar sama saja dengan melakukan kekerasan fisik terhadap orang tersebut dan karenanya mengundang balas dendam (Dissel 1904, hal 485). Kera-kera digunakan oleh para pengumpul untuk mencegah orang lain menebang pohon massoi yang mereka anggap miliknya. Dalam salah satu ekspedisinya, van Dissel menemukan kera-kera berupa meja persegi panjang yang di sekelilingnya digantungi potongan-potongan kain berwarna. Di atas meja yang beralas daun lontar diletakkan sagu, nasi, ikan, tebu, talas (ubi), singkong (keladi), dan sedikit tembakau. Itu dianggap massoi-pamali, atau “tabu massoi”, bagi siapa saja yang mencari massoi di daerah tersebut. Alasannya, seperti yang diberitahu kepada van Dissel, adalah bahwa pemiliknya mungkin pergi mencari massoi dan tidak berhasil. Dia kemudian kembali dan mendirikan kera-kera untuk memberi tahu orang lain bahwa dia bermaksud untuk melanjutkan pencarian di daerah yang sama pada hari berikutnya. Kera-kera berisi benda-benda yang dimaksudkan sebagai persembahan kepada leluhur. Jika tembakau masa ada pada keesokan paginya, itu adalah tanda dari nenek moyang bahwa pada hari itu dia akan menemukan massoi sebanyak yang dia inginkan (Dissel 1907, hal 1002-1003).

                Tampaknya sebagian besar pengumpulan awal dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil atau perorangan. Namun, pada tahun-tahun awal abad ke-20, ekspedisi pengumpulan kulit kayu massoi mungkin menjadi lebih terorganisir. Namun demikian, sebagian besar deskripsi van Dissel tampaknya merujuk pada pekerjaan manual yang melibatkan penebangan pohon, pengeringan kulit kayu, dan pengangkutan kulit kayu yang diikat oleh kuli-kuli di sepanjang jalan kecil dan sulit ke titik pengumpulan. Organisasi yang lebih besar dalam penimbunan kulit kayu di rak untuk pengumpulan di sepanjang sungai terdengar seperti sistem yang dirancang setelah berabad-abad terlibat dalam perdagangan. Namun elemen dasar dari pengumpulan akan tetap cukup mirip/sama. Penyebutan perempuan yang juga terlibat sebagai pengangkut tidak dicatat dalam deskripsi sebelumnya, dan mungkin mencerminkan kebutuhan tenaga kerja yang lebih besar/banyak untuk memenuhi permintaan pasar.

                Kesediaan orang Papua untuk melakukan tugas berat mengumpulkan kulit kayu massoi didorong oleh keinginan untuk mendapatkan barang-barang asing yang ditawarkan oleh para pedagang, terutama peralatan besi, sagu, dan kain. Semua komoditas ini mencapai pesisir Kepala Burung melalui beberapa jaringan perdagangan yang rumit dan saling terkait.

 

Jaringan Perdagangan [kulit] Massoi

                Perusahaan Hindia Timur Belanda (atau VOC) berusaha untuk masuk ke dalam apa yang diharapkan akan menjadi perdagangan yang menguntungkan, yaitu perdagangan kulit kayu massoi, dan karena itu mengirimkan sampelnya ke Cina, Jepang, dan Eropa pada tahun 1660-an. Penjualan massoi di Eropa mengalami kerugian karena merupakan produk yang tidak dikenal5, tetapi VOC berharap para praktisi medis Cina dan Jepang akan tertarik dengan produk baru tersebut (Sollewijn-Gelpke 1997, hal 394). Sayangnya bagi VOC, massoi sepertinya belum merambah materia medica Cina6, dan tidak terdengar lagi di sumber-sumber tentang ekspor massoi ke Cina atau Jepang. Upaya Belanda pada awal abad ke-17 untuk menjalin hubungan dengan para pengumpul Papua terbukti memakan banyak korban jiwa, dan ketika lebih banyak kematian mengikuti ekspedisi pada tahun 1678, VOC mengabaikan upaya lebih lanjut untuk berpartisipasi secara langsung dalam perdagangan (Swadling 1996, hal 138; Solewijn-Gelpke 1997, hal 394).

                Para pedagang yang paling sukses dalam perdagang massoi adalah salah satu dari 3 jaringan utama yang didominasi oleh Seram Tenggara, Tidore, dan Cina. “Seram Tenggara” adalah istilah umum yang digunakan dalam kajian ini untuk menyebut apa yang oleh orang Belanda pada abad ke-17 dan ke-18 sebut sebagai “Seram Timur”. Wilayah ini mencakup sudut paling timur pulau Seram dan pulau-pulau lepas pantainya, serta Kepulauan Seram Laut dan Gorom (Andaya 1993, hal 56). Terlepas dari nama kolektifnya, komunitas Seram Tenggara (peta 5.3) ini adalah entitas independen dan sering bersaing ketat dengan tetangga-tetangga mereka, terutama dalam perdagangan dengan wilayah Kepala Burung Papua. Di Seram Tenggara yang kekurangan sumber daya, ada persaingan sengit untuk menguasai terumbu karang, dan hubungan diadik dibangun dengan komunitas lain untuk memastikan akses ke makanan, kebutuhan lain, dan perdagangan barang. Permukiman Seram Tenggara ini membagi pesisir Kepala Burung di antara mereka sendiri dengan menetapkan pengaturan sosolot dengan orang Papua, yang menggambarkan teluk dan pelabuhan yang dianggap sebagai satu-satunya daerah perdagangan mereka. Pada akhir abad ke-17, misalnya, desa Keffing di Rumatameri dan Kelu dikatakan memiliki pengaturan sosolot eksklusif untuk perdagangan kulit kayu massoi di Onin Kowiai (Ellen 2003, hal 126; Goodman 2006, hal 72). 

                Pulau Kecil Kilwaru di ujung timur Pulau Seram biasanya mengirim 10 kapal setiap tahun selama abad ke-17 ke Uring dan Hote di Pulau Seram untuk mendapatkan budak dan massoi, yang dibawa ke sana dari Kepala Burung oleh pedagang Seram Selatan lainnya (Andaya 1991, hal 84). Kilwaru adalah salah satu pulau yang sering disebutkan dalam laporan VOC sebagai tempat perdagangan yang penting. Kilwaru hanya sebuah pulau kecil berukuran sekitar 45 meter dan tinggi 1 meter, tetapi memiliki akses air tanah yang baik dan tempat berlabuh yang aman dalam cuaca musim apa pun. Orang-orang dari Seram Laut dan Gorom membawa barang-barang mereka dari Kepala Burung ke Kilwaru, dimana barang-barang itu ditukar dengan kain dan sagu (Swadling 1996, hal 142), 2 barang penting untuk perdagangan orang Papua. Pedagang dari seluruh Nusantara “berkumpul” di Kilwaru, yang menyediakan pasar yang dapat diandalkan untuk produk-produk Indonesia bagian timur, seperti rempah-rempah, budak, massoi, kulit penyu, cendrawasih, dan pada abad ke-18, produk tripang atau teripang (bĂȘche de mer).

                Para saudagar Seram Tenggara membagi Kepala Burung menjadi 3 yaitu Notan, Onin Lascar, dan Onin Kowiai. Menurut Brito, yang berada di Kepulauan Raja Ampat dan Semenanjung Kepala Burung dari Mei 1581 hingga November 1582, [wilayah] Notan sangat makmur dan berada di bawah Raja Waigeu. Berdasarkan intenario dari Brito, Sollewijn-Gelpke percaya bahwa “Notan” berada di suatu tempat di pantai barat Pulau Salawati (Sollewijn-Gelpke 1994, hal 125-127). Goodman, bagaimanapun, menempatkan Notan di pantai selatan dan barat Kepala Burung, yang terkenal dengan budak dan sagunya. Onin Lascar, atau yang disebut Brito hanya “Onin”, pada waktu itu hanya merujuk pada ujung barat laut Semenanjung Onin7. Penggunaan nama tersebut kemudian diperluas hingga mencakup wilayah dari pantai barat daya Teluk Berau (Teluk MacCluer) hingga Semenanjung Kumawa, tenggara Fak-Fak saat ini. Onin Kowiai, dimana sebagian besar pohon massoi ditemukan, awalnya adalah garis pantai dari Kepulauan Karas di tenggara Fak-Fak hingga pintu masuk Teluk Arguni, tetapi pada masa VOC, meluas lebih jauh ke tenggara hingga Teluk Etna dan mungkin sejauh Sungai Omba (Goodman 2006, hal 79-81).

                Orang Jawa kemungkinan besar merupakan pendorong utama perdagangan massoi. Dalam Desawarnana, sebuah puisi epik yang ditulis pada tahun 1365 di istana Majapahit Jawa Timur, ada suatu daftar tempat yang “mendapat perlindungan” Majapahit, diantaranya adalah Wwanin (Onin) (Robson 1995, hal 34). Itu adalah tempat yang paling dikenal oleh orang Jawa, mungkin karena wilayah itu adalah situs/tempat kulit kayu massoi dan budak yang sangat diminati. Rumphius mengatakan perdagangan kedua komoditas tersebut terjadi di selatan Teluk Berau (Teluk MacCluer), dengan bagian barat yang dikenal sebagai Papua Onin (juga Wonin), dan bagian timur Papua Kowiai. Berkurangnya pasokan pohon menyebabkan perdagangan bergerak lebih jauh ke pedalaman dan ke timur hingga pada tahun 1670 wilayah utama massoi berada di Kowiai Papua (Ellen 2003, hal 138).

                Deskripsi perdagangan massoi oleh Roxo de Brito, seorang Portugis, pada tahun 1581-1582 sangat mirip dengan pengamatan orang Belanda tentang pemain dan rute yang terlibat dalam perdagangan sepanjang abad ke-17. Menurut Brito, mereka yang berasal dari Seram Laut membawa kulit kayu massoi, budak, dan emas, yang kemudian diperdagangkan ke Bali dan Jawa (Sollewijn-Gelpke 1994, hal 134-135). Para pedagang Seram Laut terlebih dahulu harus meyakinkan orang Papua untuk melakukan perjalanan mengumpulkan kulit massoi melalui hadiah-hadiah tertentu. Setelah sebulan, mereka akan kembali dengan produk yang cukup untuk mengisi 1 atau 2 perahu. Saat itulah terjadi tawar-menawar yang keras antara orang Papua dengan para pedagang Seram Tenggara. Rumphius “menghina” orang Papua dan percaya bahwa mereka ditipu oleh para pedagang. Orang Papua umumnya dibayar dengan “pedang/parang tambuxe, kain asli, gula hitam, dan beras” (Rumphius 2011, hal 89).

                Namun apa yang dianggap sebagai nilai berbeda antara kedua komunitas, memungkinkan kesepakatan. Pedang/parang “tambuxe” dibuat di Tobunku di Sulawesi Tenggara dan sangat dihargai di antara orang Papua dan penduduk pulau Indonesia bagian timur, meskipun Rumphius menganggap pedang/parang itu lebih rendah [kualitas] daripada yang dibuat di Karimata (Rumphius 1999, hal 238). Yang disebut “kain asli” yaitu mencakup berbagai tekstil terutama kapas dari India, tetapi terutama dari Pulau Jawa, Sumbawa (termasuk Bima di bagian timur pulau), Sumba, dan bahkan mungkin Rote, Sawu, Timor, dan pulau-pulau lain di Nusa Tenggara Timur (NTT = Kepulauan Sunda Kecil bagian timur), yang memiliki tradisi menenun. Para pedagang Bugis dan Makassar sering mengunjungi pulau-pulau ini dan akan menjadi pembawa utama kain tersebut ke Seram Tenggara, Tidore, atau langsung ke Kepala Burung. Di daerah Papua, kain terakumulasi dan memainkan peran sosial dan ritual penting dalam masyarakat Papua. “Gula Hitam” dibuat dari pohon aren (Arenga pinnata, Merr) dan sulit diperoleh di Papua. Nasi adalah makanan yang lezat dan dianggap sebagai makanan untuk acara –acara khusus karena makanan pokok, jika tersedia adalah sagu.

                Kapal-kapal besar yang dibangun dengan baik dari pulau-pulau Seram Tenggara mampu berlayar sejauh selatan kepulauan Timor dan ke barat sejauh pulau Jawa. Sebagai imbalan atas barang-barang Papua, termasuk massoi, penduduk pulau Seram Laut menerima barang-barang yang digunakan untuk berdagang menjajakan di seluruh wilayah. Komoditi yang mereka terima antara lain emas dan kain dari Bali; emas, kain, amber, dan lilin dari Bima; emas dan kain dari Buton; kain dan beras dari Jawa; dan sejumlah besar barang internasional dari pintu masuk utama Makassar – dari tekstil India dan senjata Eropa hingga porselen Cina dan gong perunggu. Pedagang dari Kepulauan Seram Laut dan Gorom di Seram Tenggara membentuk mata rantai terpenting antara Kepala Burung dan dunia luar.

                Sepanjang tahun kapal-kapal dari kedua kepulauan ini membawa barang-barang dari Papua, antara lain massoi, cendrawasih, dan budak ke Banda, menjadikan Banda pelabuhan penting bagi produk Papua. Mereka menukar produk tersebut dengan besi, tekstil, dan sagu yang sangat berharga bagi orang Papua. Kapal-kapal Banda yang lebih kecil juga ikut serta dalam perdagangan ini dengan langsung menuju Kepulauan Seram Laut dan Gorom untuk membeli produk-produk Papua untuk dibawa kembali ke Banda, dimana produk itu diperdagangkan kepada pedagang-pedagang besar yang menjual barang-barangnya di Batavia. Kapal-kapal Banda yang lebih besar langsung menuju pulau-pulau di Kepulauan Aru dan Kei untuk berdagang burung cendrawasih, emas, mutiara, dan barang-barang lainnya dari daerah itu yang ditukar dengan beras, sagu, dan barang-barang manufaktur (Ellen 2003, hal 103-104). Banda, bersama dengan Makassar, merupakan pusat utama dan titikpengumpulan barang-barang Indonesia bagian timur. Massoi, budak, cendrawasih, dan produk Papua lainnya dibawa ke Banda untuk ditukar dengan barang-barang dari tempat lain di Nusantara dan sekitarnya (Meilink-Roelofsz 1962, hal 95) (Peta 5.4).

                Sumber penting kedua dari Massoi adalah jaringan perdagangan Tidore yang berbasis di Kepulauan Raja Ampat. Tidore adalah titik pengumpulan utama untuk rempah-rempah dan banyak barang Indonesia timur yang dibawa oleh wilayah “kekuasaan” Tidore di Gamrange, Kepulauan Raja Ampat, dan pemukiman pesisir tertentu di Semenanjung Kepala Burung. Komunitas pesisir di Kepala Burung memiliki pengaturan perdagangan khusus dengan “kerajaan-kerajaan kecil” di Kepulauan Raja Ampat, yang pada gilirannya responsif terhadap pimpinan Gamrange, yang terdiri dari pemukiman Maba, Weda, dan Patani di Halmahera Tenggara. Orang-orang Gamrange kemudian berdagang langsung dengan para pedagang Tidore, baik yang berbasis di sana maupun yang datang ke sana setiap tahun untuk menunggu datangnya produk-produk Papua, termasuk massoi.

Tidore menyediakan kain, peralatan dari besi, dan berbagai barang kecil ke Gamrange, yang pada gilirannya mengeluarkan barang-barang ini sebagai kredit kepada orang Papua di Kepulauan Raja Ampat untuk mendapatkan budak, massoi, pala, fuli, dan kulit kura-kura dari orang Papua di wilayah Kepala Burung. Orang Belanda kagum dengan banyaknya jenis kain yang tersedia di Gamrange, sebagian besar ditujukan untuk perdagangan ini. Penduduk kepulauan Raja Ampat bertukar kain dengan teman dagang mereka dari Kepala Burung, kemungkinan besar melalui tipe pengaturan sosolot. Setiap tahun armada besar dari kepulauan Raja Ampat berlayar ke Gamrange membawa massoi, budak, dan pala panjang dari daerah Papua. Di Gamrange, produk-produk Papua ini dijual langsung ke banyak orang Tidore yang menunggu di sana, yang kemudian membawa barang-barang itu dengan kora-kora mereka di sekitar ujung selatan Halmahera, melalui Selat Patinti, dan akhirnya ke bagian utara Tidore. Beberapa pedagang Makassar juga pergi dengan perahu kecil mereka langsung ke Weda, Obi, Akelamo, Makian, Mayu, dan berbagai tempat di utara Halmahera dan Kepulauan Sula untuk rempah-rempah, budak, kulit kayu massoi, dan barang-barang lainnya (Andaya 1991, hal 72, 86-87).

Sumber ketiga massoi adalah kehadiran pedagang Cina yang terus tumbuh. Hingga akhir dinasti Song Selatan (1127-1279), Cina menerima produk-produk Indonesia bagian timur, terutama cengkih Maluku bagian utara yang bernilai tinggi, dari gudang-gudang di kepulauan Indonesia bagian barat. Sementara  catatan dinasti Song menyebutkan tempat-tempat di Jawa dan kepulauan barat, sumber-sumber berikutnya dari dinasti Mongol, Yuan, (1271-1368) memuat referensi ke tempat-tempat di kepulauan timur, yang menghasilkan mutiara dari Sulu dan kayu cendana dari Timor (Ptak 1992, hal 33). Menuru Wang Dayuan (sekitar 1350), setiap tahun junk dari Cina berlayar langsung ke Maluku untuk menukar porselen dan sutra Cina dengan cengkih, meskipun mereka juga membawa barang-barang yang mereka beli dalam perjalanan dari pedagang lokal, termasuk peralatan besi dari Banggai. Namun, perdagangan langsung Cina ke Kepulauan Indonesia bagian timur tampaknya telah berakhir dengan naiknya pamor Majapahit (1293-1527) dalam perdagangan rempah-rempah dan cendana (Ptak 1992, hal 29). Orang Cina merasa lebih layak untuk mendapatkan produk-produk Indonesia bagian timur langsung dari Majapahit, yang menjadi pintu masuk utama internasional untuk perdagangan rempah-rempah. 

J.S.A. van Dissel (berdiri, 2 dari kanan)

Kehadiran pedagang Cina yang sudah lama dikenal di Indonesia bagian timur akan menjelaskan penemuan tembikar pedagangan Cina dari abad ke-15, yang ditemukan di sebuah situs pemakaman di Pulau Aguni di pantai utara Onin (Swadling 1996, hal 136). Bisa jadi itu adalah bagian dari barang-barang pertukaran yang dibawa oleh para pedagang awal dari Majapahit, atau bisa juga menunjukan bahwa penduduk Cina di Majapahit sendiri mungkin terlibat dalam perdagangan tersebut. Pada abad ke-15 dan ke-16, orang Tionghoa yang berdomisili di Jawa terlibat dalam perdagangan membawa tekstil India yang dibeli dari pedagang India, bersama dengan kain-kain Jawa dan Bima, ke Banda untuk membeli rempah-rempah. Orang Cina membuat ceruk untuk diri mereka sendiri di dunia perdagangan Indonesia bagian timur dan termasuk di antara pedagang paling terkemuka di pesisir Kepala Burung, untuk memperoleh massoi, budak, dan kulit penyu dengan imbalan kain, porselen, pedang, dan pisau. Dikatakan bahwa mereka bahkan memiliki istri di pedalaman untuk memfasilitasi perdagangan. Pada tahun 1712, VOC, karena takut akan dominasi yang semakin besar dari para pedagang Cina, melarang mereka berlayar ke timur dari Makassar. Meskipun tindakan ini merugikan keterlibatan Cina dalam perdagangan Indonesia bagian timur, mereka segera mengambil langkah-langkah efektif untuk menghindari larangan ini. Beberapa dari mereka menjadi Muslim dan hidup di bawah perlindungan Sultan setempat, sementara yang lain secara sembunyi-sembunyi membawa barang-barang timur ke Bacan dan Kepulauan Obi yang tidak berpenghuni di dekatnya, dimana produk-produk tersebut dipindahkan ke junk-junk Cina lainnya yang berasal dari Banda, Ambon, dan Ternate (Andaya 1991, hal 77).

Ketidakefektifan larangan pertama mengakibatkan larangan kedua pada tahun 1731. Kedua larangan ini berkontribusi pada lebih banyak operasi perdagangan orang Tionghoa klandestin di Indonesia bagian timur dan membuat Makassar lebih menarik bagi orang Tionghoa sebagai entrepot. Pada abad ke-18 perdagangan komoditas, seperti kulit penyu dan teripang dari pulau-pulau di Indonesia bagian timur, dibiayai oleh modal yang disediakan oleh orang Cina, yang juga memberikan keahlian dalam persiapan dan pemasaran produk (Sutherland 2011, hal 177, 179). Sejak tahun 1770-an, ada junk-junk tahunan yang sarat dengan barang-barang Cina yang tiba di Makassar dari Amoy (Xiamen) dan kembali dengan muatan penuh barang-barang dari laut dan hutan Nusantara (Sutherland and Knaap 2004, hal 145-149). Dengan munculnya Sulu pada kuartal terakhir abad ke-18, perdagangan Cina atas barang-barang Indonesia bagian timur, termasuk barang-barang dari Kepala Burung, dilakukan langsung dengan junk-junk dari Cina di Sulu (Andaya 1991, hal 78). Karakteristik yang mencolok dari perdagangan Cina di pulau-pulau itu adalah proses yang melelahkan untuk mendapatkan pasokan kecil dari pedagang lokal sampai produk dalam jumlah yang cukup dikumpulkan. Dalam satu kasus, seorang kapten Cina membutuhkan 43 bulan untuk mendapatkan muatan kapal penuh produk. Karena tidak mampu bersaing, VOC malah berusaha mempekerjakan orang Cina untuk mendapatkan barang-barang tersebut atas nama mereka (Sutherland 2011, hal 182).

Tingkat berikutnya dari perdagangan massoi dan produk Papua lainnya didominasi oleh orang Makassar dan Bugis dari Sulawesi barat daya, bekerjasama dengan pengumpul primer, orang laut Sama Bajau (Nolde 2014). Pada abad ke-17 dan ke-18, orang Makassar – yang bergabung setelah berakhirnya Perang Makassar pada tahun 1667 oleh orang Bugis – berdagang di seluruh Halmahera dan bahkan dengan pulau penghasil rempah-rempah di Maluku utara. Karena kebijakan ketat VOC yang bermarkas di Makassar sejak tahun 1667, baik orang Makassar maupun Bugis menggunakan jalur utara ke Palu, lalu ke Parigi ke Teluk Tomini dan lebih jauh ke timur. Orang Bugis dari Bone menggunakan jalur darat dari Teluk Bone ke Tobunku di pesisir tenggara Sulawesi. Di Tobunku mereka dapat memperoleh pedang/parang dan kapak besi tempa lokal, yang kemudian mereka bawa ke Kepulauan Seram Laut untuk mendapatkan rempah-rempah dari Maluku utara dan massoi, emas, budak, bulu burung cendrawasih, dan sebagainya dari Kepala Burung. Barang-barang besi serupa dari Kepulauan Karimata di barat daya Kalimantan dibawa ke Palembang, dan kemudian diangkut oleh pedagang Bugis dan Melayu di bagian barat kepulauan ke wilayah timur. Kain dan peralatan besi dari Tobunku dan Karimata sangat berharga di antara orang Papua dan penting untuk mendapatkan massoi dan barang-barang lainnya. Pada tahun 1632, seorang Ambon melaporkan melihat melihat di salah satu Kepulauan Seram Laut sekitar 28 perahu, 8 diantaranya adalah [milik] orang Melayu, 6 orang Makassar (atau dari Makassar, yang bisa saja Bugis atau Melayu yang berdomisili di kota dan Sama Bajau yang terletak di pulau-pulau lepas pantai), dan sisanya dari Banten, Japara, dan Bukit (di Jawa Timur) (Andaya 1991, hal 83,91).

Melalui berbagai pengaturan perdagangan yang rumit ini, kulit kayu massoi mencapai pasar luar dengan imbalan komoditas asing yang sangat diminati seperti besi, sagu, dan porselen, tetapi terutama kain. Lebih dari barang asing lainnya, kain menjadi yang paling dihargai di antara masyarakat Papua dan menghasilkan perkembangan dari apa yang oleh para sarja sebut sebagai kompleksitas kain timur (eastern cloth)

====== bersambung ======

Catatan Kaki.

  1. Misalnya  Journal of the Indian Ocean Region dan beberapa kajian diantaranya, Halikowski-Smith (2011), Malekandathil (2010), Moorthy and Jamal(2010), Alpers (2009), Ray and Alpers (2007), Pearson (2003) and (2005), and McPherson, (2004, new epilogue of 1993 book).
  2. Piper Cubeba L. merupakan tanaman yang terdapat di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan yang mirip dengan lada. Pada abad ke-16, tanaman ini dianjurkan untuk “memperkuat perut yang lemah dan berangin” dan sebagai obat untuk infeksi kandung kemih dan saluran kemih. Lihat Halikowski Smith, “List of Spices,” hal 179
  3. Ada kandungan minyak eugenol, saffrol dan turpentin yang luar biasa tinggi, ini yang menjelaskan “panas” yang terkait dengan kulit dan daun massoi. Pickell, Kamoro, 161.
  4. Upaya dari Forest Products Reasearch Centre di Papua Nuigini untuk mengupas hanya sebagian kulit kayu terbukti tidak berhasil menyelematkan pohon karena rayap akan masuk ke area yang dikupas dan akhirnya membunuh pohon. Swadling (1996), 136.
  5. VOC mungkin masih memiliki harapan bahwa Eropa pada akhirnya akan menjadi pasar yang menguntungkan untuk massoi, dengan cara mencegah menyebarkan informasi yang mengungkap sumber atau asal kulit kayu. Sollewijn- Gelpke (1997), 394.
  6. Komunikasi pribadi dengan John Welden, seorang mahasiswa PhD, yang bekerja pada pengobatan Cina di departemen sejarah Universitas Hawaai di Manoa
  7. Sollewijn–Gelpke (1994), 130, catatan kaki no 22. Nama “lascar” bukan orang Papua dan merujuk pada pelaut India. Fakta bahwa nama “Onin Lascar” awalnya hanya merujuk pada ujung barat laut Semenanjung Kepala Burung dapat menunjukan bahwa pedagang atau pelaut asing (mungkin orang India sendiri atau mereka yang berasal dari kepulauan bagian barat) adalah pengunjung tetap di Onin, yang membuat wilayah itu dinamai seperti demikian.

 

Catatan Tambahan

a.   Fiksatif adalah bahan pelapis yang digunakan setelah gambar di anggap selesai, sehingga gambar tidak mudah luntur dan pudar jika terkena gesekan. (dalam dunia sketsa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar