Sabtu, 07 Januari 2023

Jika kita memberi mereka makan, kita tidak boleh memakan mereka : Pantangan utama Masyarakat Hualu dan penerapannya

(bag 2)

[Valerio Valeri]

 

Kucing

Kucing karena juga dipelihara oleh suku Huaulu, kucing sangat tabu untuk mereka makan. Seperti anjing, kucing diperbolehkan masuk ke dalam rumah dan sedikit banyak bergerak bebas di dalamnya. Namun sikap suku Huaulu terhadap kucing sangat berbeda dengan anjing. Nyatanya, kedua hewan ini terus menerus dipertentangkan dalam narasi informal kehidupan sehari-hari atau dalam narasi formal yang dikodefikasikan oleh tradisi. Sebagai contoh, salah satu teman saya, Pietere, seorang pemburu dan penyayang anjing, biasa membedakan 2 situasi ideal. Yang pertama, dan positif, diringkas dalam diktum : wasuem tutu utune u weti ipiem utune, “jika kamu punya 100 anjing, kamu bisa menghasilkan 100 pohon sagu – artinya, anjing akan memberi kalian begitu banyak daging sehingga kalian harus menghasilkan sejumlah besar tepung sagu untuk dimakan dengan dagingnya. Yang kedua, bersifat negatif, ditentukan oleh 100 kucing dan tidak ada anjing. Situasi ini, menurut Pitere, terjadi di Tolatefata, sebuah pemukiman kecil di pantai tempat saudara perempuannya tinggal, selalu kalah melawan 100 kucing yang terus mencuri daging yang berhasil diperoleh suami dan dirinya. 

Sebuah kisah yang “tinggi”, tetapi yang membuatnya sangat sayang bahwa apa yang menjadi objek masyarakat Huaulu pada kucing adalah sifatnya yang “mencuri”. Sama seperti anjing yang tidak baik, kucing mengkonsumsi daging tetapi tidak menghasilkan daging – selain menjadi lebih pintar daripada anjing dalam hal mencuri. Dalam keadaan seperti itu, tidak mengherankan bahwa hanya sedikit orang Huaulu yang memelihara kucing. Atau lebih tepatnya : tidak ada laki-laki yang memelihara kucing, tetapi beberapa wanita memelihara kucing, untuk menjaga agar populasi tikus tetap terkendali. Mengenai “perjanjian” antara orang Huaulu dengan kucing, sebuah perjanjian yang membuat mereka dengan enggan menerima kucing sebagai anggota masyarakat mereka, meskipun lebih rendah dari anjing, mewajibkan kucing untuk berburu tikus, untuk melindungi pasokan makanan orang Huaulu. Sayangnya, kucing tidak pernah tampak senang hanya dengan memakan tikus, dan banyak kucing menjadi korban kemarahan pemilik daging yang dirugikan. Namun demikian, saya tidak memiliki contoh orang yang membunuh kucing rumah; hanya kucing liar, yang tertangkap cakar merah di keranjang daging.

Berlawanan dengan anjing, kucing dapat dibunuh jika melanggar sisi kontrak yang mengikat masyarakat Huaulu, tetapi seperti anjing, kucing tidak boleh dimakan tanpa konsekuensi serius. Namun, pendapat berbeda mengenai konsekuensi serius itu : menurut beberapa orang, kematian menimpa pemakan daging kucing seperti halnya daging anjing – kecuali dia berdoa kepada leluhur untuk menolongnya; menurut orang lain, pemakan daging kucing mungkin berharap lolos dari kematian hanya melalui kasus “nafas ganda” (yaitu sesak nafas atau asma), sama seperti mereka yang membunuh anjing tetapi tidak memakannya. Semakin ringannya tabu terhadap kucing menunjukan semakin rendahnya status kucing dalam masyarakat Huaulu – masih adanya tabu menunjukan bahwa memberi makan hewan dan membiarkannya hidup permanen di rumah seseorang dan dengan demikian juga di desa, membuat menjadi manusia, setidaknya sejauh itu tidak dapat diperlakukan sebagai hal yang paling utama – makanan.

Sementara anjing dan kucing dapat dianggap sebagai anggota rumah, aktivitas mereka memberi mereka hubungan yang berbeda dengannya. Dari satu sudut pandang, anjing adalah anggota rumah yang lebih intim daripada kucing. Tetapi dari sisi lain, anjing kurang menjadi hewan rumahan daripada kucing, karena fakta anjing adalah pemburu klasik. Kontras ini menjadi jelas dalam perlakuan yang berbeda dari 2 spesies ini pada saat kematian. Kucing harus dikubur pale lofu, yaitu di tanah di bawah rumah (yang di sebelah atas berupa rumah panggung), atau di tanah tempat rumah dulu berdiri. Perlakuan ini identik dengan yang dilakukan pada anak anjing yang mati sebelum bisa keluar rumah. Sebaliknya, anjing dewasa dibiarkan (dikubur) di hutan. Mereka yang mendapat gelar Kapitane (pemimpin perang) karena jumlah hewan buruan yang mereka bunuh diletakkan di atas panggung kecil yang dibangun di atas cabang-cabang pohon. Anjing-anjing biasa dibiarkan begitu saja di cabang pohon atau dilempar ke semak-semak. Ada beberapa analogi yang mencolok antara aturan-aturan ini dan aturan-aturan yang berkaitan dengan pembuangan tubuh manusia. Bayi manusia benar-benar makhluk domestik, dan karena itu mereka dikubur pale lofu seperti kucing dan anak anjing. Manusia laki-laki, yang sebagai pemburu diasosiasikan dengan hutan selain diasosiasikan dengan rumah mereka, harus dibiarkan di hutan, dengan cara yang mirip anjing pemburu terbaik. Mereka ditempatkan di lubang pohon, atau di atas panggung yang dibangun di atas cabang-cabangnya. Mayat wanita juga “dibuang” di hutan, tetapi dengan cara penguburan, dalam posisi yang lebih rendah, yang dapat dibandingkan dengan anjing yang lebih rendah.

Fakta-fakta ini menunjukan bahwa anjing dan kucing adalah bagian dari masyarakat Huaulu sebagai bantuan simbolis dan bukan hanya praktis : mereka membantu orang Huaulu untuk memikirkan diri mereka sendiri dan mengklasifikasikan hubungan mereka satu sama lain16. Dimensi hewan yang hidup dengan masyarakat Huaulu ini paling baik ditampilkan oleh ayam, yang akan kita bahas.

 

Ayam

                Sensasi pendengaran yang paling besar di Huaulu adalah suara ayam yang tidak henti-hentinya. Desa ini penuh dengan ayam dan selalu begitu sejak dahulu kala, menurut apa yang diberitahu kepada saya. Namun sampai pertengahan tahun 60an, sangat tabu bagi semua masyarakat Huaulu untuk makan ayam dan telur ayam. Bahkan saat ini semua wanita, semua dukun dan mayoritas laki-laki masih mengikuti pantangan ini. Lalu mengapa ayam dipelihara??? Ketika ditanya, orang Huaulu biasanya menjawab salah sattu dari 2 jawaban atau keduanya. Ayam dipelihara untuk dijual kepada orang luar atau “asing”; ayam telah ada sejak zaman nenek moyang, ayam adalah bagian dari desa seperti anjing atau manusia penghuninya17. Jawaban pertama memenuhi sebagian pandangan utilitarian kita tentang ayam, tetapi mungkin mengejutkan akal moral kita.

                Apakah orang Huaulu tidak bersalah atas standar ganda dalam hal menjual hewan yang dimakan kepada orang “asing”, yang mereka sendiri anggap tabu untuk dimakan??? Tuduhan semacam itu didasarkan pada kesalahpahaman. Kita menganggap sebagai hal yang biasa bahwa aturan moral harus memiliki penerapan universal, sedangkan masyarakat Huaulu tidak melakukannya, dengan sedikit pengecualian18. Pia pia pohi eme rahe makuwoliem “masing-masing memiliki tabu/pantangan” adalah pepatah favorit mereka. Jika ada orang “asing” yang bersedia membeli hewan yang dipelihara oleh masyarakat Huaulu, itu berarti hewan itu tidak tabu bagi orang “asing”, dan tidak ada salahnya jika orang Huaulu memanfaatkan fakta ini.

                Tapi ada alasan kedua mereka memelihara ayam yang menurut kami paling sulit dipahami. Ini menunjuk pada konsumsi ayam yang murni simbolis yang bertentangan langsung dengan pandangan kita tentang hewan ini yang hanya berupa kaki, hewan yang hanya berkokok yang akan direduksi menjadi bola-bola daging putih yang beku. Namun, suku Huaulu melihat sesuatu yang berbeda pada hewan ini. Mereka memikirkan banyak mitos dimana ayam muncul sebagai sahabat setengah manusia dari nenek moyang pertama, sebagai antagonis dalam sebuah drama yang membawa ditemukannya pernikahan eksogami dan pengantin, dan diberkati dengan hubungan khusus dengan matahari, dan dengan demikian dengan temporalitas yang diciptakan oleh kehidupan sehari-hari, yang pada gilirannya melambangkan hubungan hidup dan mati yang tak bisa dihindarkan. Memang tanggung jawab atas kematian manusia secara tidak langsung dihubungkan dengan ayam. Hal itu dikarenakan mereka tidak ingin meninggalkan ayam mereka (hewan-hewan yang telah mengembara dan tidak dapat segera ditemukan) karena nenek moyang mereka tertunda perjalanan mereka dari kematian. Kematian dengan demikian mampu menangkap mereka. Namun ayam juga muncul dalam mitos sebagai resusitasia  dan peremajaan manusia pada saat kematian tidak dapat diubah19. Karena rasa terima kasih atas peran ini, dan untuk melestarikan ingatannya, ayam masih dipelihara di Huaulu. Beberapa bahkan memberikan hal ini sebagai alasan tabu pada daging ayam, di samping aturan umum “jika kita memberi mereka makan, kita tidak boleh memakannya”. Tetapi semua orang setuju bahwa ada penjelasan yang lebih spesifik dan lebih meyakinkan tentang tabu ini.

                Dikatakan bahwa jika laki-laki makan ayam, mereka akan berhenti membunuh dalam perang, jika perempuan memakannya, mereka akan menderita poture melekae “menstruasi panjang”; dan jika para dukun memakannya, roh familiar mereka akan meninggalkan mereka. Tiga alasan untuk tidak makan ayam saling berhubungan. Yang kedua adalah perpanjangan logis dari yang pertama, karena wanita menderita pendarahan menstruasi yang panjang, akan menganggu kesuburan mereka setiap kali mereka berhubungan (melalui makanan, sentuhan, penglihatan atau bahkan ucapan), dengan wilayah terlarang pengayauan laki-laki. Adapun alasan ketiga untuk tidak makan ayam, mungkin merupakan perpanjangan dari alasan kedua : mayoritas roh familiar para dukung adalah perempuan dan dengan demikian mengikuti tabu dari perempuan. Dengan demikian roh itu tidak akan memasuki tubuh dukun, jika daging ayam itu ada di dalam tubuh dukun.  


                Singkatnya, ayam adalah tabu karena hubungannya – langsung atau tidak langsung – dengan prinsip suksesnya membunuh manusia dalam perang atau pengayauan (kedua aktivitas itu saling menyiratkan satu sama lain dalam pemikiran suku Hualu). Prinsip itu sendiri diberikan bentuk nyata oleh sebuah objek, yang disebut Leautuam, yang merupakan hal paling suci di Huaulu, dan yang memiliki banyak asosiasi simbolis dengan ayam. Oleh karena itu juga dikatakan bahwa penggunaan kekuatan leautuam dalam pengayauan tidak sesuai seperti makan ayam.

                Catatan-catatan suku Huaulu sendiri tentang tabu makan ayam juga menjelaskan mengapa tabu tidak lagi dihormati secara universal oleh laki-laki sejak pertengahan tahun 60-an, tetapi terus dihormati oleh semua wanita dan semua dukun. Seperti yang dikatakan seorang laki-laki kepada saya : “[Di masa lalu] kalau kita makan ayam, kita tidak bisa lagi membunuh (hita : “memotong dengan parang”), tetapi sekarang kita berhenti membunuh karena takut ditangkap polisi dan dipenjara. Oleh karena itu, kami telah berkata pada diri kami sendiri : kami mungkin memakannya [ayam]”.

                Beberapa laki-laki, bagaimanapun, masih menghormati tabu karena mereka belum meninggalkan pengayauan di hati mereka dan masih berharap untuk dapat mempraktikannya suatu hari nanti. Jadi itu bukan aturannya yang telah berubah, tetapi keadaan yang mengharuskan penerapannya oleh laki-laki. Namun, keadaan tidak berubah bagi perempuan, yang masih ingin memiliki anak dan diharapkan untuk menghasilkan keturunan dalam jumlah besar. Dan tentu saja,para dukun tetap ingin dirasuki oleh roh familiar perempuannya. Selain itu beberapa laki-laki masih menghindari makan ayam karena aturan yang lebih umum “jika kita memberi mereka makan, kita tidak boleh memakan mereka” – meskipun diakui bahwa ayam hanya diberi makan dalam arti yang paling “lemah”, dengan melempar beberapa sampah atau sisa dari jamuan makan manusia.

                Namun apa yang ditinggalkan oleh pantangan daging dan telur ayam di Huaulu ini, adalah alasan mengapa ayam dikaitkan dengan demikian juga dengan personifikasi transendental dan jaminannya – Leautuam. Asosiasi dijelaskan oleh pengalaman-pengalaman yang diandaikan oleh catatan tetapi tidak dijelaskan, karena mereka bertindak atas kesadaran masyarakat Huaulu dengan cara yang menyebar dan tidak terlihat. Representasi masyarakat Huaulu diilhami oleh pengalaman-pengalaman ini dan dimotivasi oleh hal itu, tetapi masyarakat Huaulu sendiri tidak menyadari fakta itu, karena mereka tidak memiliki alasan – dan tidak ada kesempatan – untuk merenungkannya. Ketertarikan mereka pada tabu lebih bersifat praktis daripada teoritis. Kaum antropolog-lah yang harus menanggung resiko merenungkan efek pengalaman mereka terhadap apa yang mereka katakan, untuk memahami apa yang mereka katakan. Jadi mari kita lihat “tempat” atau “posisi” ayam dalam pengalaman sehari-hari masyarakat Huaulu, dan dengan demikian juga hubungan hewan-hewan ini dengan masyarakat Huaulu.

                Saya sering bertanya-tanya, mengapa orang Huaulu, berbeda dengan banyak orang Indonesia lainnya, tidak memiliki aktivitas sabung ayam20. Alasannya adalah karena mereka memiliki sabung ayam yang alami dan spontan. Tersebar di tanah desa dimana mereka dan ayam dibiarkan berkeliaran dengan bebas, ayam-ayam saling menatap curiga dari kejauhan. Tiba-tiba, permainan tersembunyi dari cek dan keseimbangan yang membuat mereka terpisah jadi runtuh : 2 ayam menyadari mereka terlalu dekat satu sama lain. Salah satu dari mereka menyerah, dan melarikan diri, atau pertempuran/perkelahian dimulai di antara mereka. Jika itu berlangsung sebentar, hal itu menarik perhatian orang-orang yang duduk di rumah dalam percakapan kosong : mereka menghasut 2 pesaing, berteriak kegirangan, mencemooh yang kalah, dan memuji yang menang. Kemudian senandung suara malas setiap hari, yang digaungkan oleh dengkuran dan kokok, berlanjut – hingga perkelahian berikutnya. Interaksi sehari-hari yang sangat sederhana ini memberi ayam banyak makna seperti manusia. Salah satunya cukup jelas. Seperti di tempat lain di Indonesia, ayam jantan/jago adalah sosok ketangguhan manusia sendiri, sebuah metafora pejuang yang mempertahankan wilayah kekuasaannya, yang memangsa wanita dan menjauhkan mereka dari jangkauan lawan/musuh. Yang lebih penting lagi, ayam jantan/jago, seperti halnya laki-laki, tampaknya menempatkan kehormatan di atas kehidupan itu sendiri karena mereka bisa bertarung sampai mati. Maka tidak heran, para petarung Huaulu sangat mengidentifikasi diri mereka dengan ayam jantan. Identifikasi ini ditunjukan, misalnya, dengan cerita-cerita dimana para petarung menari tarian perang (usali) memegang ayam jantan di tangan mereka, dengan nyanyian (kapata) yang berbicara tentang para petarung sebagai ayam aduan, dan dengan kebiasaan menyisipkan bulu ekor ayam jantan menjadi hiasan kepala upacara laki-laki, yang juga digunakan dalam perang.

                Kita mungkin berpikir bahwa sebagaimana ayam jantan diasosiasikan dengan laki-laki dalam pengalaman, maka ayam betina diasosiasikan dengan wanita. Memang kontras ayam jantan dan ayam betina mencerminkan secara berlebihan dan hampir karikatur kontras laki-laki dan perempuan. Saat pejantan bertarung, sang betina – ayam betina dan perempuan sama-sama – berkembang biak dan melindungi keturunan mereka. Karena laki-laki seharusnya aktif secara seksual dan bahkan melakukan kekerasan dalam hubungannya dengan perempuan, maka – sebaliknya – perempuan seharusnya pasif dan menolak rayuan laki-laki. Namun sangat jelas bahwa – dari sudut pandang tabu – hubungan peremuan dengan ayam betina dimediasi oleh hubungan laki-laki dengan ayam jantan – yang dipilih sebagai yang lebih penting. Buktinya adalah fakta yang telah disebutkan bahwa sanksi bagi wanita yang melanggar pantangan pada ayam dan telurnya adalah standar untuk setiap kontak terlarang antara wanita dan benda atau orang yang berhubungan dengan pengayauan. Karena tabu, maka yang harus dilihat prinsipnya pada ayam adalah pengayauan jantan. Karena ayam jantan adalah cermin bagi laki-laki, maka ayam dari kedua jenis kelamin adalah tabu bagi manusia dari kedua jenis kelamin. Pada hewan, seperti pada sisi hubungan manusia, asimetri gender – yang mencakup hak istimewa laki-laki untuk mewakili spesiesnya dan dengan demikian memasukan seluruhnya ke dalam tabu yang hanya dimotivasi olehnya – itu ditekankan. Apalagi analogi pria dan ayam membuat premis falosentrikb  asimetri pria dan wanita cukup jelas. Premis ini selanjutnya dikonfirmasi oleh asosiasi ayam jantan dan pemburu kepala dengan Leautuam. 

                Karena rahasia besar kultus kekerasan laki-laki Huaulu adalah bahwa Leautuam, objek yang dipersonifikasikan dimana pemujaan itu bersandar, adalah penis yang hidup secara misterius dan terus menerus tegang (ereksi). Ia berasal dari surga, memang dari matahari itu sendiri, yang dengannya ia dihubungkan dengan namanya sendiri, yang dapat diartikan baik sebagai “bibit matahari” dan “objek yang berhubungan dengan matahari”. Jadi, Leautuam mereduksi prinsip laki-laki menjadi simbol utamanya – lingga. Objek tersebut juga menunjukan hubungan antara kekerasan dan seksualitas laki-laki, karena objek itu dilaporkan bergetar dengan ketegangan dan kegembiraan tambahan setiap kali diberitahu bahwa kepala telah diambil (dipotong). Kesuburan dan kemakmuran desa dikatakan terjadi dari fenomena ini (lihat. Valeri 1990a).

                Leautuam dengan demikian membuat makna antropomorfik dengan ayam jantan setransparan mungkin. Ini juga memunculkan lebih kuat saling ketergantungan hidup dan mati yang telah kami temukan terkait dengan ayam dalam mitos. Saling ketergantungan dilambangkan dengan perjalanan harian matahari yang, dalam silih bergantinya siang dan malam, seolah-olah menghubungkan hidup dan mati dalam suatu mata rantai yang tidak terpisahkan. Karena ayam jantan secara teratur mengumumkan kembalinya (munculnya) matahari, ia muncul sebagai tandingan matahari di bumi seperti halnya Leautuam. Keduanya turun ke bumi untuk menempatkan laki-laki di pusat hubungan paradoks antara hidup dan mati. Karena hidup berakhir dengan kematian – harga untuk memilikinya adalah kematian. Tetapi kemudian, sebaliknya, seseorang dapat memberikan kematian untuk memperoleh kehidupan, dan ini memang merupakan pertanda dari persembahan kepala yang diburu kepada Leautuam. Sementara wanita menghasilkan kehidupan yang berakhir dengan kematian, laki-laki membalikkan arah proses kosmik ini dengan memberikan kematian yang berakhir dengan kehidupan. Simbolnya adalah penis yang ereksi/tegang, atau leher ayam aduan yang tegak, yang menaklukan kematian melalui kekerasan yang menghidupkannya.

 

Kesimpulan

                Kesimpulan analisis status simbolik anjing, kucing dan ayam menegaskan bahwa prinsip “jika kita memberi mereka makan, maka kita tidak boleh memakan mereka” mengambil pembagian makanan sebagai simbol sintesis dari semua alasan mengapa anjing, kucing dan ayam diberikan semacam keanggotaan dalam masyarakat Huaulu, dan dengan demikian tidak boleh dimakan, bukan sebagai satu-satunya alasan untuk keanggotaan tersebut. Lebih jauh lagi, hal ini menunjukan perbedaan besar dalam hubungan yang dimiliki hewan-hewan ini dengan masyarakat Huaulu.

                Anjing berpartisipasi dalam masyarakat Huaulu sebagai individu, melalui hubungannya dengan tuan dan rumah tangganya. Ayam berpartisipasi di dalamnya melalui kontribusi yang diberikan oleh kehidupan sosial otonomnya sendiri. Seperti semua burung lainya, ayam bergabung dalam spesiesnya. Tanda kontras ini adalah bahwa semua anjing memiliki nama pribadi, sedangkan ayam tidak – kecuali dalam kasus yang jarang terjadi. Kucing memiliki posisi yang agak menengah : ia adalah anggota rumah tangga seperti anjing, tetapi ia mempertahankan otonominya seperti ayam, Berlawanan dengan ayam, bagaimanapun, ia tidak memiliki aktivitas sosial yang intens, tetapi tampil sebagai penyendiri. Individualitas ganda anti sosial (vis-a-vis manusa dan vis-a –vis kucing lain) ini mengganggu suku Huaulu, dan merupakan alasan mengapa kucing tidak diberikan pengakuan penuh sebagai anggota masyarakat manusia melalui pemberian sebuah nama pribadi. Kucing adalah individu atau “manusia” tanpa nama.

                Analisis saya menyatu dengan aspek-aspek tertentu dari kajian terkenal Lévi-Strauss tentang nama burung, anjing, kuda, dan sapi dalam bahasa Perancis (Lévi-Strauss 1962:266-277)21. Tentu saja, tidak ada sapi dan kuda di Huaulu. Tetapi seperti dalam sistem yang digambarkan oleh Lévi-Strauss, perbedaan utama antara anjing dan burung yang merupakan ayam, adalah bahwa yang pertama (anjing) memiliki hubungan metonimik yang banyak dengan masyarakat manusia, sedangkan yang terakhir (ayam) memiliki hubungan metaforis dengan masyarakat manusia. Seperti burung-burung dalam kajian Lévi-Strauss (dirinya sangat mengingatkan pada burung Aristophanean), ayam-ayam suku Huaulu membentuk masyarakat yang sejajar dengan manusia. Tetapi bertentangan dengan burung-burung itu (lihat Lévi-Strauss 1962:270-271), mereka memiliki ciri-ciri antropomorfik yang kuat dan berbeda dari semua saudara lokal mereka karena ditemukan tepat di tengah-tengah desa Huaulu – dimana mereka juga menunjukan diri seperti manusia, suatu tontonan bagi tuannya.

                Apa pun bentuk hubungan mereka dengan masyarakat Huaulu, anjing, kucing, dan ayam berkontribusi pada keberadaannya yang berkelanjutan dengan menawarkannya cermin untuk beberapa kategori terpentingnya bersama dengan oposisi mereka. Jadi laki-laki berdiri untuk perempuan seperti ayam jantan berdiri untuk ayam betina, dan – sampai batas tertentu – seperti anjing berdiri untuk kucing; rumah berdiri untuk desa seperti anjing dan kucing (hewan yang diizinkan masuk ke rumah) berdiri di atas ayam (yang tidak diperbolehkan masuk ke dalam rumah, tetapi berkeliaran di seluruh tanah desa); individualitas positif berlawanan dengan individualitas negatif seperti anjing melawan kucing, dan seterusnya. Saya bisa terus melanjutkan analisis saya. Tetapi cukup banyak yang dikatakan untuk mendukung pernyataan terakhir saya – mungkin tidak mengejutkan. Tidak memakan anjing, kucing dan ayam – serta hewan liar individu yang dibesarkan sebagai hewan peliharaan atau maskot – adalah cara yang ampuh untuk mengakui dan menegaskan kembali kategori sosial yang tidak berwujud dan, pada akhirnya, dunia sosial yang “diberi makan oleh hewan” dipahami.

==== selesai ===


Catatan Kaki

16.   Jika, seperti yang dikatakan Bachelard (1942: 182), "les choses mettent en ordre nos idées", dan "les matières élémentaires mettent en ordre nos rêves", hewan, dan hewan peliharaan pada khususnya, dapat membantu menyusun kategori sosial .

17.   Pandangan ini menemukan konfirmasi dalam lisaem, narasi epik perang kuno. Setiap kali narator cerita-cerita ini ingin menggambarkan kehancuran total sebuah desa di tangan musuh-musuhnya, ia menggunakan rumus standar: ia repi manusia esasi,wasu esasi, maulohu esasi: "dia (atau: mereka) tidak membiarkan satu pun manusia, tidak seekor anjing pun, tidak seekor ayam pun yang hidup".

18.   Seperti aturan yang melarang makan orang, atau tidak melakukan hubungan seksual dengan saudara perempuan atau ibu.

19.   Pada waktu itu, ketika seseorang meninggal, seekor ayam berwarna-warni diletakkan di kepalanya dan seekor ayam jantan merah di kakinya. Pertama ayam berkokok (tutukoko), kemudian ayam berkokok (rukule). Setelah mereka melakukan ini lima kali, orang mati itu "bangun" (panua). Tema mitologi tentang ayam yang membangunkan orang mati masih digaungkan, mungkin, dengan keyakinan bahwa selama ayam berkokok atau berkokok, semuanya baik-baik saja untuk desa. Sebaliknya, jika mereka mulai mengeluarkan suara-suara aneh yang disebut utani "menangis", seseorang di desa itu akan mati.

20.  Lihat, misalnya, makalah klasik Geertz tentang sabung ayam Bali (Geertz 1973).

21.   Konvergensi nyata lainnya adalah pada kajian Leach 1964 dan Tambiah 1969. Tapi kemudian konvergensi berasal dari fakta-fakta.

 

Catatan Tambahan

  1. Resusitasi adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti nafas atau henti jantung ke fungsi optimal guna mencegah kematian biologis atau Resusitasi adalah tindakan untuk menghidupkan kembali atau memulihkan kembali kesadaran seseorang yang tampaknya mati sebagai akibat berhentinya fungsi jantung.
  2. Phallocentrism atau falosentrisme mengacu pada keberadaan hak istimewa maskulin atas feminin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar