Minggu, 15 Januari 2023

Jampi-jampi dan Pengobatan Herbal : Pengetahuan Etnomedis Alune dalam konteks perubahan


(bag 1)

MARGARET J. FLOREY
Department of Linguistics, La Trobe University

XENIA Y. WOLFF 

Botanical consultant

 

  1. Kata Pengantar

Masyarakat Maluku, yang dalam konteks ini masyarakat Maluku Tengah sejak dahulu kala hingga di masa digital ini, meskipun tidak seluruhnya, masih melakukan aktivitas “dunia mistis” dalam kehidupan sosial mereka. Penyembuhan yang dilakukan oleh “orang pintar” masih ditemui di masa kini. Bukan hal yang aneh, jika kita menemukan sebagian masyarakat yang meminta “saran” bahkan “pengobatan” para dukun/tabib dengan kekuatan “supernatural” tersebut, saat pengobatan medis tidak menunjukan hasil yang diinginkan.

Aktivitas “klenik” tersebut bukan muncul tiba-tiba, namun punya akar yang kuat sejak zaman para leluhur sebelum era pra-Kristen. Munculnya agama khususnya Kekristenan telah “menghilangkan” praktik-praktik tersebut, meskipun sisa-sisa dari praktik itu masih hidup atau telah “dimodifikasi” oleh generasi selanjutnya. Hal inilah yang menjadi tema dasar dari kajian yang ditulis oleh Margaret J Florey dan Xenia Wolff ini. Kajian ini ditulis berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan oleh mereka di desa Lohiatala dan Lohiasapalewa di Seram bagian barat dalam rentang antara tahun 1988 – 1998.

Artikel atau kajian ini awalnya dipresentasikan pada kegiatan The Fourth International Maluku Research Conference, yang diadakan oleh Universitas Pattimura Ambon pada tanggal 9 -13 Juli 1996. Artikel ini kemudian dipublikasikan ulang di Journal of Ethnobiology, volume 18 (1), halam 39 – 67, tahun 1998. Artikel sepanjang 29 halaman ini terdiri dari 20 halaman kajian, 5 catatan kaki,  2 halaman bibliografi dan 7 halaman berisi 3 lampiran, yaitu nama-nama tumbuhan/hewan dan material mineral dalam bahasa/terminologi Alune yang digunakan dalam pengobatan, terminologi beberapa kata bahasa Alune. Kami mencoba menerjemahkan kajian ini untuk menambah wawasan sejarah dan sosial kita untuk memahami warisan dari para leluhur kita sendiri. Pada artikel terjemahan ini, kami membaginya menjadi 2 bagian, dan menambahkan beberapa gambar pendukung, yang di naskah asli tidak dimuat.


  1. Terjemahan

Abstraksi

Analisis praktek penyembuhan di kalangan masyarakat Alune, Pulau Seram, Indonesia Timur, mengungkapkan bahwa pada jaman pra-Kristen, para penyembuh mengobati penyakit dan proses melahirkan dengan obat-obatan herbal yang terbuat dari berbagai macam tumbuhan, hewan, dan bahan mineral. Jika pasien gagal merespon obat-obatan herbal, penyakit itu dianggap muncul sebagai balasan leluhur atas kesalahan pasien, atau berasal dari sihir desktruktif para dukun. Dalam kasus seperti itu, pengobatan memerlukan ramalan tentang sumber masalah yang diikuti dengan pembacaan mantra kuratif bersama dengan bantuan lain (non-medis). Konversi ke agama Kristen di awal abad ke-20 menyebabkan penindasan terhadap banyak praktek pra-Kristen, termasuk praktek perawatan kesehatan tradisional, dan tiba-tiba terhentinya transmisi pengetahuan semacam itu. Seiring dengan perubahan sosial, pergeseran bahasa ke ragam bahasa Melayu daerah, yaitu Melayu Ambon, juga terjadi. Sebuah kontras dapat ditarik di antara desa-desa Alune yang, hingga saat ini, terlindungi dari perubahan sosiopolitik dan linguistik yang cepat oleh keterpencilan relatif mereka di lokasi pegunungan, dan desa-desa yang telah pindah ke wilayah yang lebih dekat ke pantai dan telah mengalami proses perubahan yang lebih intens. Kami membandingkan situasi di 2 wilayah yang mencerminkan pola berbeda ini. Baik di lokasi pedalaman Lohiasapalewa maupun di desa pesisir Lohiatala yang direlokasi, penggunaan obat-obatan herbal dikaitkan dengan era pra-Kristen dan penyebaran pengetahuan ini telah sangat berkurang. Di Lohiasapalewa sangat sedikit orang tua yang secara diam-diam menggunakan mantra kuratif, sementara penduduk desa yang lahir setelah perubahan agama memiliki akses terbatas ke praktek para leluhur. Akibatnya, penggunaan mantra kuratif tampaknya hampir berhenti sepenuhnya di wilayah ini. Hasil yang kontras di catat di Lohiatala dimana, dengan tidak adanya transmisi praktek Alune dan dalam menanggapi lingkungan kontemporer, orang-orang muda telah mengubah bentuk dan fungsi mantra dengan mencari dan memanfaatkan pengetahuan tersebut dari komunitas orang Maluku yang lebih luas.

Pendahuluan

                [Bahasa] Alune adalah bahasa Austronesia yang dituturkan di 26 desa di Seram bagian barat, Provinsi Maluku, Indonesia Timur. Selama abad ini, dan terutama 50 tahun terakhir, perubahan sosiokultural dan ekonomi yang cepat akibat meningkatnya kontak dengan orang-orang non-Alune telah terjadi di sebagian besar wilayah ini. Selama periode ini, perubahan ekstensif terjadi juga dalam praktek perawatan kesehatan.

[Suku] Alune menegaskan bahwa ada 2 sumber utama penyakit – yang dikaitkan dengan penyebab fisik dan yang dihasilkan dari tindakan jahat manusia atau makhluk supernatural yang mempraktekkan sihir desktruktif. Di masa lalu, praktek penyembuhan [suku] Alune melibatkan penggunaan obat-obatan herbal yang terbuat dari tumbuhan dan bahan lain, atau pembacaan mantra bersama dengan alat bantu (non-medis) yang terbuat dari tumbuhan atau bahan mineral. Penyakit yang disebabkan oleh penyebab fisik dapat diobati dengan obat-obatan herbal atau, dalam beberapa kasus, dengan melafalkan mantra. Demikian pula, praktik kebidanan [dalam proses melahirkan] mengacu pada penggunaan obat-obatan herbal dan pembacaan mantra. Namun, penyakit yang diakibatkan oleh praktik sihir destruktif hanya bisa diobati dengan pembacaan mantra yang mengikuti ramalan tentang sumber penyakit.

                Masyarakat Alune kontemporer adalah Kristen, dengan konversi ke Protestan Calvinis telah terjadi sepanjang abad ini. Pada era pra-Kristen, kosmologi Alune berfokus pada menenangkan roh leluhur dan alam setempat, seperti Tuale, [yaitu] dewa matahari, Dabike, [yaitu] dewi bulan, dan roh bumi (tapele)1 dan roh langit (lanite). Niat baik dunia roh dianggap perlu untuk memastikan kesehatan dan vitalitas kehidupan dan produktivitas lingkungan. Niat baik ini dapat dicapai dan dipertahankan, sebagian, melalui nyanyian mantra untuk memanggil arwah leluhur atau dewa yang dapat menjadi perantara atas nama manusia. Perubahan agama telah mengakibatkan penindasan aktif terhadap praktek pra-Kristen oleh para misionaris dan para pendeta, termasuk yang berkaitan dengan perawatan kesehatan. Pengobatan penyakit dan luka saat ini sebagian besar melibatkan pendoa, baik sebagai alat penyembuhan yang dijual atau dikombinasikan dengan obat-obatan Barat yang dikelola oleh seorang praktisi kesehatan daerah (dikenal dalam bahasa Melayu Ambon sebagai mantri). Namun, penelitian yang dilakukan di 2 desa [suku] Alune mengungkapkan substratum pengetahuan tentang obat-obatan herbal dan mantra. Ada bukti bahwa beberapa praktek penyembuhan pra-Kristen tetap berperan dalam masyarakat Alune saat ini, meskipun distribusi pengetahuan semacam itu di antara anggota komunitas dan pola penggunaan telah berubah dengan jelas.

                Pertama-tama kami akan menjelaskan 2 lokasi penelitian dan metodologi penelitian kami. Kami kemudian akan membahas praktek penyembuhan dengan menggunakan obat-obatan herbal, menjelaskan penyakit yang dapat disembuhkan dengan pengobatan tersebut, ramuannya, dan bentuk pengobatannya. Kami juga membahas penggunaan obat herbal dalam praktek kebidanan. Ketiga, kami mempertimbangkan praktek penyembuhan yang melibatkan mantra, menjelaskan tentang penyembuh, sumber pengetahuan, penyakit yang diobati, dan metode pengobatan. Akhirnya membahas soal proses perubahan, menganalisis beberapa faktor dalam mengubah praktek perawatan kesehatan dan perubahan dalam transmisi dan distribusi pengetahuan.

Wilayah Penelitian

                Penelitian dilakukan di 2 desa [suku] Alune, yaitu Lohiasapalewa dan Lohiatala. Lohiasapalewa terletak di pegunungan tengah Seram bagian barat, pada ketinggian sekitar 650 meter di sub pegunungan wilayah hutan hujan. Wilayah lengkap (tapel lalei) yang dimiliki dan ditempati desa terdiri dari hutan primer dengan ketinggian bervariasi, hutan sekunder dengan berbagai tingkat pertumbuhan, rumpun bambu, tanah belukar yang ditanami, lahan kebun, sawah kering, rawa sagu, padang rumput, dan lokasi pemukiman desa (cf. Ellen 1993a). Sejauh ini bagian terbesar dari wilayah desa adalah hutan primer dan hutan sekunder berusia tua.

                Lohiasapalewa berjarak sekitar 30 km dari pantai utara Pulau Seram. Tetangga terdekatnya adalah desa-desa Alune, yaitu Riring, Manusa Manue, dan Buria. Pada berbagai waktu selama abad ini, desa-desa Alune mengalami tekanan untuk pindah dari pegunungan ke pantai. Tujuan utama relokasi adalah “pengamanan” – pertama oleh pemerintah kolonial Belanda dan kemudian oleh pemerintah Indonesia – agar desa-desa lebih dapat diakses oleh otoritas pemerintah, dan dengan demikian memungkinkan pemerintah untuk melakukan kontrol yang lebih besar. Sementara sejumlah besar Alune menyerah pada tekanan dan pindah ke pantai utara dan selatan, penduduk desa Lohiasapalewa telah berhasil menolak semua upaya untuk memaksakan relokasi kepada mereka. Pada tahun 1950-an dan awal 1960-an terjadi konflik gerilya di Maluku Tengah antara RMS dan pasukan militer Indonesia. Ketakutan pada kekuatan kedua belah pihak menyebabkan penduduk desa meninggalkan rumah mereka selama 13 tahun konflik ini, namun mereka menolak desakan pemerintah untuk pindah ke pesisir, dan tetap tinggal di hutan dalam wilayah desa mereka. Penduduk desa juga menolak upaya pemerintah daerah untuk merelokasi desa pada tahun 1970. Keterpencilan relatif dari lokasi mereka berarti bahwa semua generasi penduduk desa di Lohiasapalewa tetap menjadi penutur [bahasa] Alune, dan selanjutnya berarti bahwa pengetahuan yang terbatas tentang beberapa praktek pra-Kristen masih dipertahankan. Pada tahun 1998, Lohiasapalewa memiliki populasi sebanyak 244 jiwa dari 32 rumah tangga. 

                Desa Lohiatala dan Lohiasapalewa saat ini dulunya adalah satu desa, yang terletak di situs/wilayah Lohiasapalewa. Menurut sejarah lokal (Makerawe dan Nikolebu 1988), pada tahun 1817 terjadi konflik di Lohiasapalewa menyebabkan perginya kelompok pelarian yang membentuk desa baru, yaitu Lohiatala, di hutan besar sekitar 20 km ke arah selatan. Hubungan historis antara kedua desa dilambangkan dengan retensi nama Lohia. Penambahan nama sungai besar di setiap wilayah, yaitu Tala dan Sapalewa, menandai pemisahan kontemporer mereka. Ikatan signifikan tetap ada antara Lohiasapalewa dan “anak” desa mereka, meskipun sekarang hanya ada sedikit kontak antar desa, dan mayoritas penduduk desa belum mengunjungi lokasi lain. Berbeda dengan Lohiasapalewa, warga desa Lohiatala tidak mampu menahan upaya pemerintah untuk merelokasi mereka saat terjadi konflik RMS. Pada tahun 1952, mereka dipindahkan secara massal ke pantai selatan pulau Seram, dimana mereka tinggal di desa non-Alune, yaitu di Hatusua selama 13 tahun. Desa Lohiatala saat ini didirikan pada tahun 1964 setelah pemulihan perdamaian. Terletak sekitar 6 km ke pedalaman dari pantai selatan Seram bagian barat, di selatan perbatasan tanah Lohiatala dan sekitar 20 km dari lokasi gunung sebelumnya. Tetangga terdekatnya adalah desa non-Alune, yaitu Waihatu, yang penduduknya terdiri dari orang Lombok dan Jawa yang pindah ke Seram sebagai bagian dari program transmigrasi pemerintah pusat yang bertujuan untuk merelokasi penduduk untuk mengurangi tekanan di pulau-pulau di Indonesia yang lebih padat. Lebih jauh ke selatan adalah desa non-Alune yaitu Waesamu dan Hatusua. Berbatasan dengan wilayah Lohiatala di sebelah utara adalah desa Alune, yaitu Rumberu dan Rumbatu. Pada tahun 1992, Lohiatala memiliki populasi 728 jiwa dari 110 rumah tangga.

                Tidak seperti Lohiasapalewa yang terletak di sub pegunungan hutan hujan, masyarakat Lohiatala menempati wilayah dataran rendah yang sebagian besar terdiri dari hutan sekunder dengan berbagai tahap pertumbuhan, tanah belukar yang ditanami, lahan kebun, rawa sagu, padang rumput, dan lokasi pemukiman desa. Sementara sawah kering dibuat di sini, suatu praktik yang telah ditinggalkan dalam beberapa tahun terakhir karena masuknya hama dari sawah transmigran. Lokasi bekas desa Lohiatala sebagian besar terdiri dari hutan primer dataran rendah, hutan sekunder tua, rumpun bambu, tanah belukar yang ditanami, dan padang rumput. Produk masih dipanen di situs ini, terutama oleh penduduk desa yang lebih tua.

                Berbeda dengan Lohiasapalewa, Lohiatala telah mengalami perubahan sosiokultural dan linguistik yang dramatis sejak tahun 1950-an. Proses peralihan bahasa ke bahasa Melayu-Ambon berkembang pesat di Lohiatala, dan terdapat perbedaan generasi yang jelas dalam pengetahuan dan penggunaan bahasa Alune dan praktek-praktek [suku] Alune (Florey 1991, 1993, 1997).

Metodologi

                Tujuan awal penelitian yang dilakukan oleh Florey di desa dataran rendah Lohiatala adalah mempelajari pergeseran bahasa dan keusangan bahasa (Florey 1990). Selama penelitian dan analisis bahasa Alune dan pola penggunaan yang berubah di Lohiatala, informasi tentang pengetahuan tumbuhan dan praktek sosiokultural pra-Kristen muncul. Meskipun pencatatan nama tanaman Alune dan penggunaannya tidak dilakukan secara sistematis selama periode ini, informasi yang dipelajari selama kerja lapangan menyediakan database awal yang dapat digunakan untuk membuat penelitian etnobotani di kemudian hari.

                Penyelidikan praktik penggunaan mantra terbukti lebih sulit dan lebih menarik jika dibandingkan. Informasi pada awalnya dikumpulkan, seringkali secara tidak sengaja, melalui diskusi dengan anggota masyarakat. Meskipun komentar-komentar yang menyebut peran mantra dalam kehidupan pra-Kristen cukup sering, permintaan langsung untuk informasi selalu ditanggapi dengan penyangkalan pengetahuan pribadi tentang mantra tersebut, seringkali disertai dengan rujukan ke anggota komunitas lain yang dikatakan lebih berpengatahuan. Kontradiksi yang tampak muncul dari diskusi awal. Seperti yang dicatat oleh Boulan-Smit (1992) tentang komunitas Alune di Manusa, banyak konsultan (penduduk) Lohiatala yang lebih tua yang menolak keras gagasan bahwa mantra masih digunakan di desa, dan menggemakan kepercayaan kepada Tuhan sebagai pengganti penggunaan mantra dan metode penyembuhan pra-Kristen. Namun perspektif lain diungkapkan oleh seorang pria lanjut usia yang menyatakan bahwa ada orang di Lohiatala yang masih tahu bagaimana menggunakan mantra : “Mereka tidak percaya pada Tuhan, melainkan percaya pada mantra mereka”. Pernyataan-pernyataan seperti berikut ini biasa terjadi :

Ya, jika kita menggunakan [mantra] itu, kita bukan manusia, kita tidak bisa memilih satu dari yang lain. Tetapi karena Tuhan bekerjasama bersama kita, kita berperilaku dengan cara tertentu dan harus membuang [ilmu] itu. Jika tidak, kita akan binasa, binasa !”

                Namun, setelah bekerja di Lohitala selama kurang lebih 5 bulan, seorang warga lanjut usia mengungkapkan kesediaannya untuk membahas penggunaan mantra kuratif. Selama satu sesi penelitian, 6 mantra dicatat dan deskripsi diberikan tentang cara mantra digunakan dalam hubungannya dengan bantuan seperti minyak, air, atau kapur mineral. Data ini menjadi dasar untuk pertukaran pengetahuan di masa depan dengan penduduk desa lainnya. Florey menyadari bahwa dia sebenarnya mampu “tawar menawar” pengetahuan ini untuk informasi lebih lanjut tentang mantra. Menjelang akhir kerja lapangan itu, 2 konsultan riset utama dan keluarga dimana Florey tinggal memberikan beberapa mantra sebagai hadiah. Dengan cara ini, korpus dari 13 mantra kuratif dikumpulkan, bersama dengan 15 mantra tentang topik di luar cakupan kajian ini (seperti berburu, peningkatan panen, dan obat-obatan yang merusak).

                Pada tahun 1992, penelitian dipindahkan ke desa dataran tinggi, Lohiasapalewa. Tujuan pemindahan ini adalah untuk mendasarkan penelitian di situs yang secara linguistik lebih konservatif untuk membandingkan penggunaan bahasa di 2 lokasi yang sangat berbeda. Setelah berpindah di desa ini, menjadi jelas bahwa ini juga merupakan lokasi yang menjanjikan untuk melaksanan penelitian etnobiologis yang ekstensif. Untuk studi khusus ini, 2 peneliti tambahan dilibatkan2. Pekerjaan etnozoologi dimulai pada tahun 1993, dan Wolff memulai penelitian botani pada tahun 1994.

                Penelitian botani dimulai dengan pemeriksaan oleh asisten peneliti utama, Bpk. Wempi Manakane, database leksikal istilah tumbuhan yang direkam sebelumnya di Lohiatala dan Lohiasapalewa. Kami membuat rencana kerja setiap malam untuk hari berikutnya berdasarkan informasi yang sudah dikumpulkan dan menargetkan informasi yang masih kami cari. Informasi tentang obat-obatan herbal sebagian besar hanya terbatas pada sejumlah kecil penduduk desa yang lebih tua di Lohiasapalewa. Pengetahuan seperti itu diperoleh hanya oleh sedikit penduduk desa yang lebih muda di Lohiasapalewa yang terus menghargai praktek-praktek tetua mereka. Oleh karena itu, rencana kerja kami mencakup penentuan lokasi dengan pengetahuan khusus dan lokasi tanaman-tanaman khusus. Kami bekerja dengan orang-orang ini di sekitar pemukiman desa, di kebun terdekat, dan di lokasi yang lebih jauh di hutan primer dan sekunder. Bpk Manakane mengatur kunjungan ke penduduk desa di kebun mereka dan menemani Wolff dan Florey ke situs-situs lapangan.

                Lohiasapalewa mengalami curah hujan yang tinggi sepanjang tahun, terkonsentrasi pada sore dan malam hari. Oleh karena itu, kami berangkat ke lokasi penelitian yang direncanakan tidak lama setelah matahari terbit dan biasanya bekerja di lokasi tersebut hingga sore hari. Untuk setiap tanaman, Wolff mengumpulkan sampel yang relevan, memotret tanaman di lokasi, dan mencatat data seperti pengukuran daun, tinggi tanaman, lebar tanaman, deskripsi bunga dan buah, dan praktik-praktik pertanian. Florey mencatat nama-nama Alune dan terminologi deskriptif untuk tanaman, sehubungan dengan morfologis, tahapan pertumbuhan, praktik pertanian, dan lain-lain. Data juga dicatat dalam bahasa Melayu Ambon dan Indonesia bila diketahui. Catatan etnografi ekstensif diambil, termasuk penggunaan yang diketahui dari setiap tanaman dan pentingnya dalam kehidupan [suku] Alune. Kami membahas praktik-praktik pertanian, pemilihan lokasi dan tata letak taman, serta teknik pengawetan tanaman yang dipanen dengan penduduk desa di lokasi. Kami mendesak para penyembuh untuk mendiskusikan dan mendemonstrasikan penggunaan tumbuhan untuk tujuan pengobatan. Kami mengambil foto sesuai kebutuhan.

                Sampel tanaman diolah setelah kembali dari lapangan dengan memberi label pada masing-masing sampel dan menekan dan/atau mengawetkannya dalam silika gel. Catatan lapangan diatur secara sistematis. Data etnografi dikumpulkan dan diperiksa silang dengan anggota komunitas yang relevan. Misalnya, data tentang tanaman yang digunakan dalam praktik kebidanan dibahas dan diverifikasi dengan perempuan-perempuan yang memiliki hak waris atas pengetahuan kebidanan [suku] Alune. Semua data linguistik diperiksa dengan beberapa penutur [bahasa] Alune.

                Pekerjaan juga dilanjutkan di desa, mengumpulkan informasi dari orang-orang dengan pengetahuan penyembuhan khusus. Florey bekerja secara ekstensif dengan seorang lelaki tua Lohiasapalewa yang telah mempertahankan pengetahuan dan praktik mantra penyembuhan. Karena kepekaan informasi ini, pekerjaan itu dilakukan secara pribadi. Mantra yang direkam sebelumnya di Lohiatala tidak dapat diperiksa silang di sana karena meninggalnya konsultan berusia lanjut. Oleh karena itu, data ini diperiksa dengan konsultan Lohiasapalewa, yang juga menyumbangkan 11 mantra penyembuhan tambahan dan deskripsi penggunaannya.

                Setelah periode penelitian lapangan, data yang dikumpulkan (contoh tumbuhan, foto, catatan) menjadi dasar untuk identifikasi tumbuhan oleh Wolff. Sumber untuk identifikasi termasuk koleksi yang tersimpan di Herbarium Bogoriense, Herbarium Smithsonian Institution, dan materi-materi publikasi yang relevan. Saat tanaman diidentifikasi, nama Latin dimasukan ke dalam database yang lebih besar yang menyusun informasi linguistik, botani, dan etnografi untuk setiap tanaman. Korpus ini menjadi dasar dari kajian ini.

Pengobatan Herbal :

Pengobatan karena Penyebab Fisik

                Berbagai macam penyakit dan luka umum diketahui dan dinamai di Alune. Kontras penting ditarik oleh masyarakat Alune antara penyakit umum yang dirasakan memiliki penyebab fisik, dan penyakit yang dianggap sebagai akibat dari tindakan jahat manusia, atau makhluk supernatural yang mempraktikkan sihir destruktif. Penyakit dalam kategori pertama menunjukan masalah kesehatan sehari-hari masyarakat. Penyakit kategori pertama ini termasuk : pendarahan dari luka, luka bakar, pilek dan influenza, batuk dan sakit tenggorokan, diare, infeksi telinga, infeksi mata, demam, gondok, sakit kepala, kutu rambut dan ketombe, luka yang terinfeksi, parasit usus, penyakit kuning, nyeri otot, keseleo, patah tulang, mual, keracunan, dan gigitan ular, penyakit kulit (ichtyosis, kudis, infeksi jamur, reaksi iritan tanaman atau serangga), cacar, sakit gigi, dan infeksi saluran kemih. Lampiran 1 menjelaskan secara rinci persiapan obat untuk pengobatan penyakit ini.

                Perempuan dengan hak waris untuk praktik kebidanan menangani masalah konsepsi, kontrasepsi, dan persalinan serta mengobati berbagai kondisi pasca melahirkan. Perawatan diberikan untuk kondisi berikut : untuk mencegah pembuahan, untuk mengatur menstruasi, untuk mengaborsi kehamilan yang tidak diinginkan, untuk membantu konsepsi anak laki-laki atau perempuan (sesuai keinginan orang tua yang disampaikan), untuk mempercepat persalinan yang lambat atau sulit, untuk membersihkan dan/atau menguatkan ibu setelah melahirkan, menghilangkan pembekuan darah pasca melahirkan, menyembuhkan perut bengkak pasca melahirkan, dan mengobati payudara yang membengkak. Lampiran 2 menjelaskan secara rinci persiapan obat yang digunakan oleh bidan. Jika tersedia, nama Alune-nya untuk penyakit dan kondisi ginekologi atau kebidanan dicatat di samping tajuk lampiran. Apendiks juga mencantumkan nama Alune, nama Inggris dan identifikasi Latin (bila diketahui) tanaman, dan penerapan obatnya. 

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktik penyembuhan dan kebidanan. –

                Penyakit yang tercantum di atas didiagnosis memiliki penyebab-penyebab fisik, dan kondisi-kondisi yang termasuk dalam asuhan/perawatan bidan, dapat diobati dengan obat-obatan dari tumbuhan, hewan, atau bahan mineral yang terdapat di desa. Semua obat herbal minimal mengandung bahan nabati dan mungkin juga mengandung bahan lain. 62 tanaman diidentifikasi sebagai ramuan obat yang digunakan untuk mengobati penyakit yang diagonisis akibat penyebab-penyebab fisik, dan 15 tanaman lainnya diidentifikasi sebagai bahan obat yang digunakan dalam praktik kebidanan. Penduduk desa di Lohiasapalewa menegaskan bahwa pada jaman dahulu, tanaman yang bisa digunakan untuk penyembuhan (ai ‘watai) ditanam di dekat rumah kebun di setiap rumah kebun yang baru didirikan. Praktik ini telah berkurang dengan meningkatnya akses ke obat-obatan barat.

                Selain bahan nabati, 12 produk sampingan tumbuhan dan bahan non-tumbuhan yang digunakan dalam obat telah diidentifikasi (lihat tabel 1). Berbeda dengan penggunaan bahan tumbuhan secara ekstensif dalam penyembuhan, sangat sedikit resep obat yang tercatat menggunakan produk hewani. Produk-produk hewani tersebut adalah kapur mineral, cangkang penyu, telur, dan madu. Kapur paling sering diekstrak dari cangkang kerang air tawar (lopon inai) yang dikeringkan, dipanggang, dan ditumbuk.

Penyiapan dan penggunaan obat. –

                Penggunaan obat herbal berbeda-besa sesuai dengan sifat penyakit dan bahan yang digunakan dalam obat. Obatnya bisa dioleskan sebagai pasta atau kompres, dioleskan sebagai salep pijat, diminum sebagai ramuan, atau diinfuskan. Sangat sedikit perawatan yang butuh untuk memakan bahan makanan tertentu; namun banana tema ‘watnabane (Musa fehi) dimakan sebagai pengobatan penyakit kuning dan infeksi kandung kemih.

                Sementara suatu penyakit atau luka dapat ditangani dengan beberapa persiapan yang berbeda, generalisasi tertentu dapat dibuat tentang pengobatan penyakit atau luka tertentu. Pendarahan diobati dengan penggunaan pasta yang terbuat dari salah satu bahan sejumlah tanaman, terutama rerumputan yang tersedia di daerah pemukiman desa, serta di kebun dan hutan sekunder tempat penduduk desa dapat bekerja atau berburu. Mual diobati melalui aplikasi stimulan eksternal : tembakau (Nicotiana tabacum), sirih (Areca catechu), cengkih (Syzygium aromaticum). Zat berminyak digunakan untuk mengatasi reaksi iritan karena tumbuhan dan hewan tertentu : minyak kelapa (berasal dari Cocos nucifera), kemiri (Aleurites moluccana). Luka bakar dirawat dengan aplikasi tapal lengkel. Pilek dan influenza diobati dengan menggosok kepala dengan obat “shampo”. Obat malaria cenderung terdiri dari minuman yang rasanya pahit. Infeksi saluran kemih disembuhkan dengan tanaman yang berwarna urin kuning cerah.

Sifat obat

                Sebagian besar tanaman yang digunakan untuk penyembuhan hanya memiliki 1 khasiat obat. Namun, dari korpus yang kami kumpulkan, 8 tanaman digunakan untuk berbagai tujuan dan menunjukan kegunaannya yang lebih luas dalam penyembuhan (lihat tabel 2).

Mantra-mantra Penyembuhan

                Meskipun berbagai tumbuhan, hewan, bahan-bahan mineral dikenal dan tersedia sebagai bahan dalam obat-obatan herbal, dan berbagai macam penyakit dan luka yang dapat diobati, [suku] Alune mengakui ada penyakit yang resisten terhadap pengobatan menggunakan obat. Jika luka atau penyakit yang dikaitkan dengan penyebab-penyebab fisik tetap ada meskipun obat-obatan herbal telah dugunakan, anggota komunitas desa dengan kekuatan/keahlian penyembuhan khusus dipanggil untuk mengetahui sumber penyakit, yang kemudian didiagnosis ulang karena disebabkan oleh sihir yang merusak/membinasakan. Beberapa penyakit seperti itu didiagnosis berasal dari roh leluhur sebagai pembalasan atau perilaku seseorang yang telah melanggar norma sosial dengan melakukan, misalnya perzinahan (soune) atau pencurian (mleane). Roh leluhur (nitu matale) mungkin juga melakukan “penagihan” yang tepat atas pelanggaran adat : misalnya, pernikahan antara 2 orang yang terlalu dekat hubungannya menurut hukum adat, atau karena gagal menepati janji yang dibuat kepada orang yang sekarat. Atau mungkin juga, penyakit dapat didiagnosis sebagai timbul dari tindakan jahat manusia, atau dari makhluk jahat (lita) yang dapat membahayakan dan berpotensi membunuh manusia dengan “mengirim” penyakit atau luka kepada korban yang dipilih/dituju.

                Dalam kasus dimana penyakit atau luka yang didiagnosis ulang karena disebabkan oleh sihir, mantra/jampi-jampi digunakan untuk mencoba menyembuhkan pasien. Pembacaan mantra/jampi-jampi biasanya disertai dengan menggunakan produk tumbuhan/hewani, namun produk tumbuhan/hewani dianggap sebagai bantuan dalam penerapan mantra dan tidak dianggap sebagai obat herbal. Praktik-praktik serupa telah dilaporkan secara luas di seluruh wilayah Austronesia (Bolton 1994, Ellen 1993b, Errington 1986, Glick 1967, Ooy 1997, Taylor 1988). Penggunaan mantra dalam praktik penyembuhan masyarakat Alune mencerminkan upaya untuk memahami, memprediksi, dan mengontrol fisik dan lingkungan spiritual3.     

Para penyembuh dan sumber pengetahuan mereka. –

                Penyembuh dengan pengetahuan mantra/jampi-jampi penyembuhan di Alune dikenal sebagai ma’aleru, yaitu “seseorang yang menyembuhkan”, yang berasal dari kata kerja lerue atau “menyembuhkan dengan meniup mantra/jampi-jampi kepada seseorang”. Penyembuh harus memiliki pengetahuan linguistik yang sesuai untuk melakukan mantra bersama dengan pengetahuan tentang produk (tumbuhan, hewan, dan mineral) yang merupakan alat bantu yang menyertai pelafalan/pembacaan mantra/jampi-jampi. Para ma’aleru dapat memperoleh pengetahuan tersebut dari beberapa sumber. Mantra kadang-kadang diberikan sebagai “hadiah” dan, sangat jarang, bisa dibeli dari seorang penggunanya. Praktik menjual mantra atau memberi mantra sebagai hadiah adalah hal yang tidak biasa karena mantra dianggap sebagai sumber kekayaan, dan pengetahuan yang diberikan akan “hilang” atau “kembali” kepada pemilik sebelumnya (Valeri 1990).

                Lebih umum, mantra dipelajari dari orang tua atau diwariskan dari leluhur. Namun, anggota keluarga yang lebih muda dapat mempelajari penyembuhan dari yang lebih tua, mereka tidak dapat memanfaatkan/menerapkan pengetahuan sepenuhnya selama orang tua mereka masih hidup. Secara historis, setiap orang atau keluarga memiliki mantra penyembuhan mereka sendiri. “Pemberian” atau “pewarisan” mantra dapat terjadi melalui mimpi, seperti dalam kasus seorang pemuda di Lohiatala, yang menerima pengetahuan tentang mantra penyembuhan dari almarhum kakek dan nenek dari istrinya. Pemuda ini menegaskan bahwa menerima pengetahuan secara langsung dari orang lain sangat berbahaya, tetapi menerima informasi/pengetahuan melalui mimpi adalah cara tokoh-tokoh alkitab menerima ilham ilahi. Dalam mimpinya, transmisi terjadi di bekas situs desa Lohiatala. Pemuda lain di desa ini juga menerima pengetahuan penyembuhannya dari mimpi. Dia bermimpi dia memiliki sebuah buku tentang penyembuhan dan terbangun serta menemukan ini nyata. Begitu dia mengetahui mantra, buku itu menghilang. Beberapa pengetahuan tentang mantra diterima dari sumber non-manusia. Menurut mitologi sejarah Alune yang diriwayatkan di Lohiasapalewa, musang palem biasa (lau, ti’luline) memberi penyembuh beberapa pengetahuan penyembuhan, dan mereka dilarang memakan hewan ini.

                Ada 2 kategori praktisi kebidanan di masyarakat Alune : biane atau “bidan” dan ma’selu atau secara harfiah “orang yang melihat” yaitu seorang yang membantu setelah melahirkan dengan memeriksa bayi yang baru lahir dan mengobati masalah fisik, seperti meluruskan anggota badan yang bengkok. Ma’selu juga melaksanakan tugas ritual membersihkan seorang wanita dan anaknya yang baru lahir sebelum mereka meninggalkan “gubuk” melahirkan (luma posone) dan kembali ke rumah mereka. Sang ibu kemudian menggendong bayinya pulang ke keluarga yang menunggu. Pengetahuan kebidanan suku Alune berasal dari kuskus (marele), namun tidak ada larangan memakan hewan ini.

Pengobatan penyakit dengan mantra penyembuhan

                Korpus mantra berisi obat untuk penyakit berikut : perdarahan, sesak napas, gigitan kelabang, sakit perut, demam (termasuk demam karena kehujanan yang terjadi saat matahari bersinar), penyakit kejang (kemungkinan epilepsi), dan sakit kepala. Umumnya, penyakit perut diduga disebabkan oleh makan atau mencuri hasil bumi yang dilindungi oleh mantra (wate – dikenal dalam bahasa Melayu Ambon sebagai Matakau). Penyembuh menggunakan mantr/jampi-jampi untuk mengobati luka yang disebabkan oleh parang/pedang jika ramalan mengungkapkan bahwa senjata itu telah “berisi” dengan jimat/mantra. Dalam beberapa kasus, manifestasi fisik dari penyakit yang disebabkan oleh sihir tidak spesifik, tetapi dapat menerima pengobatan dengan mantra jika penyembuh dapat “menyembuhkan” sumbernya. Bidan dapat menggunakan mantra selama persalinan yang lama dan sulit jika masalah persalinan dianggap berasal dari sihir.

Penyembuhan

                Tahap pertama dalam penyembuhan penyakit yang diduga disebabkan oleh sihir adalah menentukan sumber penyakit, suatu tugas yang dilakukan oleh ma’aleru dan ma’selu (Ellen 1993b dan Bolton untuk diskusi tentang ramalan dalam penyembuhan di antara suku Nuaulu di Seram Selatan). Seorang laki-laki menegaskan :

“Sebelumnya, kami menggunakan sihir (untuk mengetahui penyebab sakit). Kami akan mencari sumbernya [penyakit] dengan menggunakan sepotong kayu. Mungkin orang itu sakit karena roh jahat atau karena dia berbuat dosa atau apa pun. Sebelum kita menyembuhkan orang itu, kita akan mencari sumber penyakitnya. Saya akan memegang sepotong kayu. Jika kayu itu patah berarti adalah masalah dan kemudian pasien akan memberi tahu penyembuh apa yang telah dia lakukan sehingga terjadi sihir itu. Kemudian penyembuh akan bisa menyembuhkan.”

Proses ramalan dikenal di masyarakat alune sebagai nau. Seorang ma’aleru menggunakan berbagai alat bantu untuk proses ini. Misalnya, seperti dijelaskan di atas, panjang pelepah pohon sagu yang digunakan untuk membuat dinding (punale), yaitu sebatang tanaman nipa’we (Hornstedtia sp.), atau buah kelapa yang dipegang di tangan dan diperas. Jika itu patah, ini menandakan penyakit disebabkan oleh sihir. Beberapa penyembuh juga dapat mengalami trans (‘basa) dan memanggil roh untuk mengungkapkan sumber penyakit. Seorang laki-laki menjelaskan bahwa pamannya telah menggunakan batu putih besar untuk memanggil jiwanya untuk membantu dalam ramalan. Dia menyatakan :

Di masa lalu mereka menyembah, mereka tidak mengetahui tentang Tuhan. Mereka tidak tahu.....matahari dan bulan yang mereka sembah, tetapi tentang Tuhan tidak mereka ketahui, mereka menyembah [para roh]. Pohon yang tinggi, batu besar, mereka menyembah itu. Tradisi berarti mereka menyembah itu, hanya itu. Kemudian mereka menyembah roh mereka atau setan, mereka melakukan hal itu karena mereka percaya pada batu. Pasti roh mereka akan datang, dan segera mengungkap [sumber masalahnya], mengatakan ini dan itu, seperti begitu. “

Bahan-bahan yang digunakan sebagai alat bantu dalam penerapan mantra penyembuhan. –

                Setelah sumber masalah dan sifat penyakitnya terungkap, proses penyembuhannya dapat dimulai. Pola tertentu penerapan mantra penyembuhan bervariasi sesuai dengan penyakit yang akan diobati. Penyembuhan sangat jarang dilakukan hanya dengan pembacaan mantra/jampi-jampi. Dalam hampir semua kasus bahan tanaman, produk sampingan tanaman, dan bahan non-tanaman (seperti air) digunakan sebagai alat bantu untuk mengiringi pembacaan mantra penyembuhan.

                Berbagai bagian tanaman dapat digunakan untuk membantu penerapan mantra penyembuhan, termasuk daun, akar, buah, cangkang, rimpang, dan sepal. Daftar tumbuhan pada tabel 3 menunjukan peran kunc dari jahe (Zingiber officinale), dan kandungan sirih dalam penerapan mantra penyembuhan. Jika se’u putile atau se’u ta’unui (Z. officinale, Z. Zerumbet) tidak tersedia, dapat diganti dengan tanaman ‘wata muri (Costus speciosus), ‘wata muri ‘berele (Tapeinochilus ananassae), atau toune (Alpinia sp.). (semua tanaman ini anggota dari Zingiberaceae). Produk samping tanaman dan materi non tanaman pada tabel 4 juga dapat digunakan bersamaan dengan mantra penyembuhan :

Penerapan mantra penyembuhan.-

                Penyembuh menerapkan mantra dengan “meniup” pasien. Bisikan kata-kata perlindungan dari yang mempunyai mantra dengan memastikan bahwa kata itu tidak dapat didengar dan dengan demikian dipelajari dan kemudian digunakan oleh orang lain yang hadir. Dukun menegaskan bahwa mantra tidak manjur/berkhasiat jika didengar. Bagian berikut ini mencontohkan beberapa penerapan mantra dan penggunaan beberapa tanaman, hewan atau bahan mineral dalam hubungannya dengan mantra penyembuhan. Mantra sering ditujukan kepada roh yang dianggap membawa/menyebabkan penyakit.

                Penggunaan Sirih

                Komponen sirih (daun sirih, buah pinang, dan kapur mineral) dapat digunakan untuk mengobati sakit kepala. Dukun mengunyah sirih dan memberikannya kepada pasien untuk dikunyah. Kulit buah pinang yang masih muda dioleskan di kepala pasien dan dukun memijat kepala pasien 4 kali, menekan dahi dan turun dari kulit kepala ke dahi. Dukun membacakan/melafalkan mantra berikut :

ntua ‘ete ntua ‘ete

esi-‘ete leu ulu buai

au ‘ete leu ulu buai

mata bina ‘ete

esi-‘ete leu ulu buai

au ‘ete leu ulu buai

esi-‘ete leu ulu buai

satu lupa mo batu napane

batu ‘wale

 

                Penggunaan Kapur

                Kapur dapat digunakan bersamaan dengan mantra penyembuhan untuk mengobati beberapa penyakit. Satu mantra digunakan oleh penyembuh untuk menahan pendarahan hebat dari luka : baris pertama diulang sebanyak 4 kali. Saat mantra dibacakan, kapur dioleskan sekitar luka :

e-hmolile leta, lala ‘we leta

ile lala ‘we leta talu soli’ele noma

     

                Penggunaan Cabai Rawit (Capsicum frutescens)

                Untuk menghentikan pendarahan dari luka, seorang praktisi membungkus jahe dan 8 cabai dalam daun, memanaskan bungkusan itu di atas api dan mengoleskannya sebagai tapal pada luka sambil membaca mantra berikut :

‘wamlua peilu4

lala’weli seli la’wai

lala’we sa seli

la’wai ‘loto’ele lupa lane salati

mutu ‘au sela ‘wate

‘loto’ele lupa lane salati

mutu ‘au soli’e

                Penggunaan “uap panas”

                Untuk mengobati penyakit yang menunjukan gejala panas seperti demam atau pegal-pegal, uap panas adalah salah satu bahan obatnya. Bara api ditempatkan di dekat pasien sementara mantra diucapkan 4 kali. Api kemudian dipadamkan dengan air dingin, dan batang kayu tersebut dibuang ke air atau sungai terdekat :

auwe tetu ‘wele

e-muti soli’ele, mata soli’ele

au muti musute

mata soli’ele muti soli’ele

au dulu soli’ele

soli’ele bei X [nama pasien]

nanai muti sa’a ‘wele mutine

                Penggunaan air

                Mantra penyembuhan berikut digunakan untuk mengobati kesulitan bernafas, yang diwujudkan baik oleh penyakit seperti asma atau ketika seseorang dianggap sekarat. Dukun meniupkan mantra di atas wadah berisi air, lalu minum sedikit sebelum dioleskan ke seluruh tubuh pasien :

manu nusa inai

e-mei betu’we ile lalei

betu banu lupa manu nusa inai

na’wai i-leu soli’e

betu banu lupa manu nusa inai

na’wai i-leu soli’e

betu banu soli’e

 

                Penggunaan tanaman Sonaten (Codiaeum variegatum)

                Tumbuhan ini digunakan bersamaan dengan mantra penyembuhan untuk mengobati demam. Dipotong 2 buah dari ujung tanaman, digosok pada pasien dari kepala sampai ke kaki, kemudian tanaman dibuang jauh ke arah barat (yaitu arah matahari terbenam) :

ntua ‘era ‘eni

e-tati musute bei mlete mosole

e-tati musute bei X meije

e-dulu soli’e

e-leta soli’e

                Penyembuhan melalui pengusiran setan (hela,e)

                Dalam kasus penyakit terus-menerus pada anak kecil, biane dapat menyembuhkan dengan melakukan pengusiran setan (cf. Prentice 1981 tentang pengusiran setan di Limugon Murut, Sabah). Saat mantra dibacakan, roh penyebab penyakit “ditarik” dari tubuh anak dan ditarik ke tubuh penyembuh melalui pijatan tubuh yang dalam. Pergerakan roh jahat ke dalam tubuh penyembuh terlihat melalui keadaan menggigil dan seperti kesurupan. Rasa dingin yang menyertai di tubuh biane dikatakan sebagai hasil dari perpindahan panas tubuhnya dan menyembuhkan anak tersebut. Biane, seorang yang dewasa dengan kekuatan yang lebih kuat dari roh jahat, kemudian dapat mengusir penyakit dari tubuhnya sendiri.                

------- Bersambung -------

Catatan Kaki

  1. Glosarium terminologi dalam bahasa Alune dan terjemahan bahasa Inggrisnya disajikan pada lampiran 3
  2. Deskripsi etnobiologi Alune (Florey, Healey, dan Wolff dengan Manakane) sedang dipersiapkan
  3. Kajian ini berfokus tentang penggunaan mantra yang oleh Taylor (1988, hal 426) menggunakan terminologi “pengobatan kuratif”. Analisis lebih lengkap tentang mantra suku Alune, yang lebih beragam dan banyak fungsi, disajikan dalam Florey (1998)
  4. Tanda kurung ini menujukan kata kerja yang terjemahannya tidak diketahui oleh ahli bahasa atau pembicara/penutur bahasa Alune kontemporer. Kesulitan menafsirkan beberapa leksem yang digunakan dalam mantra juga dikemukakan oleh Taylor (1988) dan Fox (1975)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar