Kamis, 23 Februari 2023

Pengetahuan dan Kekuasaan : [Buku] Ambonese Herbal dan Ambonese Curiosity Cabinet karya Rumphius Sebagai Zona-zona Kontak Kolonial

[ESTHER HELENA ARENS & CHARLOTTE KIEßLING]

 

  1. Kata Pengantar

Artikel 10 halaman ini ditulis oleh Esther Helena Arens dan Charlotte Kießling dengan judul Knowledge and Power : Rumphius’ Ambonese Herbal and Ambonese Curiosity Cabinet as Colonial Contact Zones dan dimuat dalam Jurnal European Review, volume 26, nomor 3, tahun 2018, halaman 461 – 470. Esther Helena Arens adalah seorang sejarahwan dan Universitas Cologne, sedang Charlotte Kießling adalah seorang sarjana dari Universitas Leiden dan Universitas Cologne.

Kedua sarjana ini mengkaji narasi yang ada dalam bukunya Georg Eberhard Rumphius, tentang kolonialisme dan perbudakan di Maluku akhir abad ke-17. Jika kita membaca kajian ini, maka kita akan lebih paham, bahwa bahan baku narasi Rumphius adalah informasi dari orang lokal/pribumi yang kemudian “didialetika” kembali oleh Rumphius menurut perspektifnya sebagai orang Eropa. Dari sini kita harus menyadari dan memahami bahwa apa yang ditulis oleh Rumphius, bukanlah hasil karangan atau fantasinya sendiri, tetapi berdasarkan fakta, data, dan informasi dari orang-orang di sekelilingnya. Kita harus lebih kritis untuk menyaring mana informasi dan mana perspektif yang dilakukan oleh Rumphius.

Artikel dari kedua sarjana ini didukung oleh 25 catatan kaki, namun sayangnya tidak tersedianya gambar/lukisan pendukung, sehingga pada hasil terjemahan ini kami akan menambahkan beberapa gambar pendukung dan catatan tambahan. Akhir kata semoga artikel ini bisa bermanfaat dalam hal menambah wawasan kesejarahan tentang sejarah orang Maluku.

 

  1. Terjemahan

Buku-buku modern awal tentang sejarah alam Ambon oleh G.E. Rumphius sebagian besar telah dianalisis untuk bentuk  estetika dan kandungan ilmiahnya. Namun, dengan konsep zona kontak seperti yang diperkenalkan oleh M.L. Pratt, teks-teks ini juga bisa dibaca sebagai sumber sejarah tentang kolonialisme dan perbudakan di Maluku akhir abad ke-17. Artikel ini menelusuri jejak kolonialisme dan perbudakan dalam buku karangan Rumphius yaitu Ambonese Herbal (1740 ff) dan Ambonese Curiosity Cabinet (1705).

Pada paruh kedua abad ke-17, Georg Eberhard Rumpf dari Hanau, Jerman, menyadari dirinya sebagai seorang migran tetap di Ambon, kepulauan Maluku. Pertama [sebagai]  prajurit, kemudian pedagang, kemudian  sarjana alam yang bekerja pada Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie – VOC), ia menetap dan berkeluarga dengan seorang wanita lokal dan memilih untuk tidak kembali ke Eropa. Setelah dia menulis sejarah Ambon yang berfokus di Maluku selama penjajahan, VOC memberinya waktu, buku-buku dan layanan untuk meneliti satwa liar di wilayah  tersebut. Dikarang dengan menggunakan nama Latin, yaitu Rumphius, [buku] Amboinsche Rariteitkamer (Ambonese Curiosity Cabinet) diterbitkan di Belanda pada tahun 1705, dan Amboinsche Kruid-boek (Ambonese Herbal) sejak tahun 1741 dan seterusnya. Ditulis di zona kontak kolonial Hindia Timur dan sangat berpengaruh dalam konkologi dan botani Eropa kontemporer, kedua buku tersebut juga termasuk dalam kanon sastra akhir abad ke-20 di bekas Hindia Belanda. 

Zona kontak telah didefinisikan oleh Mary Louise Pratt sebagai “ruang sosial dimana budaya bertemu, berbenturan, dan bergulat satu sama lain, seringkali dalam konteks relasi kekuasaan yang sangat asimetris, seperti kolonialisme, perbudakan1. Sementara analisis spesifik dari Pratt pada tulisan-tulisan perjalanan orang Eropa tentang Amerika Selatan dan Afrika telah ditantang2, diubah dan ditambah3,4, konsepnya terus diterapkan dalam bidang sejarah dan etnologi pada situasi kolonial dalam waktu dan ruang yang berbeda5,6.

Studi kasus pertama berfokus pada kerja budak sebagai salah satu prasyarat produksi pengetahuan di wilayah kolonial, dan relasi antara tubuh manusia dan objek ilmiah. Ini menganalisis bagaimana Rumpf merujuk pada pekerja yang diperbudak, dan bagaimana mereka menyumbangkan bahan-bahan untuk penelitiannya bagi Ambonese Herbal. Studi kasus kedua berfokus pada penduduk lokal sebagai mediator atau perantara pengetahuan dalam Ambonese Curiosity Cabinet, khususnya pada pertukaran yang mencakup pertukaran asimetris. Ini mengkaji bagaimana Rumpf mengumpulkan informasi dari masyarakat lokal, dan bagaimana pertukaran ini digambarkan dalam teksnya.

Sejarah perbudakan dan perdagangan budak di Indonesia modern dan daerah sekitar Samudera Hindia, baru-baru ini menarik perhatian7,8, sementara penelitian tentang perdagangan budak Atlantik telah lama dilakukan9. Markus Vink menerbitkan artikel seminalnya berjudul “ Dutch Slavery and Slave Trade in the Indian Ocean in the seventeenth Century” pada tahun 200310, dimana dia menunjukan bahwa, berbeda dengan Amerika, “kekuatan kolonial Eropa mengambil alih dan berinteraksi dengan sistem perbudakan Samudra Hindia yang ada” (Ref 10, hal 134). Dengan latar belakang ini, kami membaca ulang entri dalam buku-buku Ambonese milik Rumpf, mencari hubungan antara produksi pengetahuan dalam sejarah alam dan kekerasan yang dilakukan terhadap orang yang hidup dan bekerja di bawah rezim kolonial di Maluku.

Sementara Pieter van Dam menuliskan rincian perdagangan budak antara [kota] Cape Town dan Batavia untuk para manajer VOC (Heeren XVII) di Amsterdam dalam bukunya Beschryvinge van de Oostindische Compagnie11, Rumpf menggambarkan mereka yang dipaksa bekerja untuk VOC dan para pedagangnya, untuk publik akademis. Selain Beschryvinge yang dilarang diedarkan hingga abad ke-19, Ambonese Herbal diedit dan diterbitkan dalam versi Belanda-Latin dari akhir tahun 1730-an dan seterusnya12. Sampai tingkat tertentu, upaya ilmiahnya dimungkinkan oleh divisi tenaga kerja di bawah rezim perusahaan (kompeni). Pertama, pada tahun 1694, sekitar 52% penduduk kota Ambon adalah orang-orang yang diperbudak, dan, seperti di “pusat-pusat kota dan sekitar lainnya”, kota itu termasuk dalam “masyarakat budak asli, dimana budak memainkan peran penting dalam – baik – kemewahan maupun kapasitas produktif, yang memberdayakan kelompok elit tertentu, yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan budaya [.....]” (Ref. 10, hal 148). Selain itu, sebagaimana E.M. Beekman tunjukan, Rumpf sendiri adalah kepala rumah tangga yang memanfaatkan budak, termasuk 29 orang yang diperbudak pada tahun 1672.

Dalam Ambonese Herbal, pekerja yang diperbudak sering dijumpai bukan sebagai subjek interaksi, melainkan sebagai subjek observasi. Saat menulis lebih luas sebagai etnografer di bagian “penggunaan”, Rumpf mencatat kebiasaan tentang makanan, kesehatan dan fisik atau perlindungan agama. Pertama, penyebutan [kata] budak dapat secara biasa, dapat ditemukan sejak awal di buku pertama, di Bab 1, dengan judul Calappus Tree (kelapa), yang didesain Rumpf sebagai “pemimpin kapal”. Di sana, dia menjelaskan cara mengekstrak minyak dari buah itu dan mencatat bahwa

[.....] pengurus rumah tangga lebih suka cara orang Ambon, karena cara ini menghasilkan banyak Roroban, dengan air yang lebih sedikit dengan ampas, seperti sirup yang kental dan manis, dimana para budak suka makan dengan gula dan sagu, atau diberikan kepada anjing dan babi untuk menggemukan hewan itu, tapi kita tidak akan mendapatkannya dengan cara/metode orang Bali13

Meskipun Rumpf tidak menghindari dari memperdebatkan detail dan mengkategorisasi informasi di bagian linguistik dan referensi dari entri yang ditargetkan untuk  pembaca di Eropa, dia tidak memperluas pertanyaan tentang nutrisi untuk para budak. Dalam entri tentang pohon Blimbing (Averrhoa carambola), misalnya, ia menganut pandangan ahli botani dan para pengusaha :

[.....] dan meskipun buah-buahan ini bagus dan berukuran besar di Ceylon (Srilangka), buah tersebut jarang mencapai kesempurnaan di sini, para budak dan orang biasa memetiknya ketika buah itu belum matang, dan digunakan sebagai kari, yang merupakan saus-saus ikan, sehingga buahnya juga tidak terlalu dihargai di sini [.....] (Ref. 13, Buku I, Bab 13, hal 363).

Dalam [buku] Ambonese Herbal, ada tulisan tentang para budak yang membantu mengumpulkan informasi tentang produk tanaman, dan mengubah pengetahuan botani menjadi pengetahuan komersial untuk kompeni.

Dalam buku Ambonese Herbal, referensi tentang praktik budak itu sendiri secara eksplisit, sedangkan yang mengacu pada praktik perbudakan biasanya tersirat. Misalnya, ketika Rumpf menulis tentang penggunaan asam jawa, ia menyebutkan manfaatnya pada pelayaran yang menempuh jarak jauh pada umumnya, dan menggunakan istilah “pelaut” untuk orang-orang yang bepergian dalam pelayaran itu :

Asam Jawa sebenarnya untuk pengobatan, dan dikirim ke Eropa untuk tujuan itu dalam pot-pot dan tong besar, terutama berguna untuk pelaut, tidak peduli jika mereka menjilatnya, atau mencampurnya dengan air, dan membuat hidangan dingin darinya, karena ini adalah pencahar yang baik untuk manusia, membersihkan dan mengencerkan darah kental yang disebabkan oleh makanan kapal  yang mentah dan asin, dan akan melindungi mereka dari penyakit kudis, yang merupakan momok bagi para pelaut. (Ref 13. Buku II, Bab 32, hal 131).

Sisi lain dari perspektif yang lebih netral dapat ditemukan dalam bab tentang perbudakan oleh Pieter van Dam, yang mencakup sebuah daftar dari tahun 1685, yang menentukan ketentuan kapal dengan 350 hingga 400 pekerja budak di kapal yang harus dibawa : “ pertama 300 lb asam jawa, untuk digunakan pada orang sakit dan mereka yang terkena penyakit kudis” (Ref 11, hal 669). Perbudakan dan perdagangan budak tampaknya dihapus dari buku-buku Rumphius, meskipun dia mungkin menyaksikan mereka. Dia telah melakukan perjalanan melalui Batavia dan terlibat dalam ekspedisi militer di kepulauan Maluku (disebut hongitochten), sebelum dia dipromosikan menjadi pedagang pada tahun 1657 (Ref 12, hal 50).

Dengan cara yang sama, Rumphius tidak mengakui para budak sebagai informan atau kontributor pada project ilmiahnya – peran kedua dari mereka yang lebih langsung dalam produksi pengetahuan. Rumphius menulis tentang para budak di pulau Banda sebagai “terlatih” dalam memisahkan bunga pala dari buah pala, dan melakukan “hal ini dengan cukup cekatan” (Ref 13, Buku II, bab 6, hal 29). Namun, ia tidak mengomentari nilai keahlian dan urusan pengetahuan dari mereka, yang memungkinkan dilakukannya penelitian, maupun kemampuan mereka untuk mengumpulkan informasi dan objek. Sebuah anekdot tentang batu langka di buku pertama menunjukan bagaimana temuan dikaitkan dengan status sosial :

“Ada Dendritis lain yang menakjubkan, juga dari pohon Calappus, yang perlu saya sebutkan di sini; saya melihat dan memiliki hanya satu dari jenis ini. Yang ini telah ditemukan di Ceylon di hutan pohon Calappus yang, setelah disambar petir, roboh dan terbelah di tengahnya. Budak seorang perwira Belanda yang kebetulan lewat, naik ke sana untuk mendapatkan palmeto, dan ketika mereka membuka bagian atas batang dengan parang mereka, mereka menemukan batu kecil ini tertanam di dalam kayu sedemikian rupa. Dengan cara itu, kita pasti harus menyimpulkan bahwa batu itu telah tumbuh di sana, kemudian mereka memberikannya kepada tuan mereka, yang adalah seorang Kapten Belanda, orang yang ingin tahu dan dapat dipercaya, yang kemudian menghormatiku dengan batu itu [.......] (Ref 13, Buku I, Bab 3, hal 217)

Contoh ini menunjukan praktik Rumphius dalam mengumpulkan informasi dan ruang lingkup pembelajarannya sendiri dalam kaitannya dengan kontribusi orang-orang yang dia temui, sebuah pola yang tidak selalu terkait dengan jarak geografis. Dalam pendekatan biografi abad ke-19 dan ke-20, Rumphius dianggap sebagai ahli bahasa karena bukunya, Herbal Ambon pada khususnya mengandung begitu banyak referensi, baik bahasa Eropa dan Asia. Ini harus dilihat dengan latar belakang keragaman etnis yang dijelaskan oleh Markus Vink : “[......] budak kelahiran luar negeri secara meyakinkan melebihi jumlah budak Kreol yang lahir secara lokal dalam perbudakan. Budak yang lahir di luar negeri ini berasal dari berbagai latar belakang budaya dan karena itu secara internal dibagi menurut garis etnis, bahasa dan agama” (Ref 10, hal 170). Jika 55-60% penduduk kota Ambon pada abad ke-17 terdiri dari orang-orang yang diperbudak14, dan Rumphius berada dalam dan memegang posisi istimewa sebagai pedagang dan konselor, maka dia akan dengan cepat mengumpulkan atau mengekstrak kosakata-kosakata ini. Selain para budak, pelaut juga mungkin menjadi sumber lisan yang penting bagi Rumphius, terutama mengenai kapal-kapal VOC yang lebih kecil, yang menghubungkan pulau-pulau Nusantara, yang sebagian besar berawak orang-orang Asia15. Hal yang sama berlaku untuk informasi geografis. Misalnya, Rumphius mencatat bahwa “para penduduk Madagaskar juga menggunakan asam setiap hari dalam makanan mereka, karena pohon-pohon ini tumbuh di sana banyak sekali, dan menghasilkan buah 2 kali setahun” (Ref 13, Buku II, Bab 32, hal 135). Selain itu, di seluruh buku Herbal, Rumphius secara samar-samar mengacu pada tanaman “dibawa dari tempat lain” (Ref 13, Buku VIII, Bab 73, hal 251) jika dia tidak dapat menghubungkan tanaman itu dengan transportasi Spanyol atau Portugis, atau pengiriman dari Batavia. 

Selain kata-kata, Rumphius juga mengumpulkan cerita-cerita, memperhatikan informasi botani yang tersimpan dalam bentuk naratif,yang mungkin terbukti berharga di masa selanjutnya. Dalam satu kasus, dia memilih untuk memasukan sebuah cerita yang diceritakan di sebuah desa di Ambon, tentang pengalaman seorang budak. Ditempatkan dalam konteks cerita sejarah alam, budak itu tampaknya menjadi tandingan bagi seorang yang berpengetahuan :

Orang-orang dari Halong menceritakan sebuah kisah tentang bagaimana seorang budak dari desa mereka menemukan bunga seperti itu di gunung Siree, tersangkut pada ikat pinggangnya, dan menyadari bahwa kekuatan dirinya bertambah kuat, sehingga dia dapat membawa 2 kayu hingga dia tiba di sebuah sungai, dan ketika dia mencuci [dirinya], dia kehilangan bunga itu, dan kehilangan semua kekuatannya lagi. (Ref 13, Buku VIII, Bab 24, hal 86).

Dengan mengkarakterisasi pekerja yang diperbudak sebagai takhayul, Rumphius “merampas” budak dan banyak otoritas lain yang mereka miliki berdasarkan praktik mereka dalam menangani tumbuhan dan benda-benda botani. Dikualifikasi menjadi takhayul memiliki fungsi tambahan dibandingkan dengan konteks orang Eropa, sesuatu yang bisa diperdebatkan. Meskipun itu adalah kiasan umum dalam argumen antar-pengakuan, dan dalam memisahkan agama dan sains16, hal itu cocok dengan upaya taksonomi di tataran ekonomi dan sejarah alam. Sementara para pekerja yang diperbudak mungkin adalah pengrajin terampil yang berbagi kebiasaan sehari-hari dengan orang biasa, seperti dikutip di atas, Rumphius dalam teksnya membatasi kontribusi mereka dalam penelitiannya pada kerja-kerja fisik, hanya membawa “material berat di bahu mereka” di zona kontak kolonial di Maluku (Ref 13, Buku I, Bab 18, hal 305).

Penduduk lokal adalah sumber informasi utama dalam karya Rumphius, di samping “auctoritas” dan observasi empiris. Dalam 68 dari 87 entri yang terdapat pada buku ketiga dari Curiosity Cabinet, misalnya, penduduk setempat disebut-sebut sebagai informan. Mereka tidak hanya memberikan informasi seperti soal nomenklatur lokal dari objek-objek tersebut, tetapi mereka juga menyediakan objek-objek itu sendiri. Secara keseluruhan, Curiosity Cabinet, menunjukan ketertarikan pada masyarakat lokal dan kepercayaan mereka, namun eksekusi aktual pada perdagangan dijelaskan secara terpisah-pisah dan sebagian besar tersirat. Hal ini menandakan bahwa pertukaran dengan penduduk lokal sebagai hal yang bersahabat dan penuh hormat. Namun, saat menganalisis pertukaran dengan penduduk lokal di Curiosity Cabinet, paternalisme dan eksploitasi pengetahuan milik mereka, tampaknya juga merupakan strategi yang khas.

Kurangnya pengakuan dari masyarakat lokal bisa menjadi penjelasan atas minimnya deskripsi pertukaran tersebut. Seperti teks-teks ilmiah abad ke-17 lainnya, Curiosity Cabinet, menyatakan kebenarannya dari posisi narator orang pertama yang berwibawa yang disamakan dengan penulisnya, Rumphius17. Ketika pengetahuan lokal diceritakan, para informan itu secara inheren tidak dapat dipercaya; mereka perlu diakreditasi oleh narator orang pertama18. Rumphius juga mengaitkan mereka ke tempat-tempat tertentu, menegaskan pengetahuan mereka sebagai hal lokal, dan dengan demikian bersifat valid (Ref 18, hal 248).

Informasi dari para pegawai VOC dan pelancong Eropa disahkan oleh posisi mereka dan tahun observasi mereka dilakukan, serta berdasarkan nama-nama mereka. “Informasi pertama datang kepada saya dari Yang Mulia Jacob van Wykersloota, bekas pemimpin wilayah Timor, pada tahun 1681 [.....]” (Ref 18, hal 75). Steven Shapin menyebut hal ini sebagai “kredibilitas orang berwibawa”19. Sebagai konsekuensi dari tingkat sosial mereka yang lebih rendah, penduduk lokal, seperti orang-orang dari kelas bawah di Eropa, jarang disebut namanya. Pengecualian dalam hal ini adalah pada orang-orang lokal yang berpangkat, seperti pemimpin Timor, yaitu Radja Salomon, Iman Reti, seorang imam dari Buro (Buru), atau regent desa/negeri Hitu, yaitu Ely. Mereka memang memiliki status “kredibilitas orang berwibawa”. Kontak intensif Rumphius dengan ketiga orang ini membuat E.M. Beekman menyimpulkan, bahwa Rumphius merasa lebih dekat dengan penduduk lokal daripada dengan rekan senegaranya dan dapat memperoleh informasi eksklusif (Ref 18, hal 103)20, atau bahkan pengetahuan lokal yang ditandai sebagai rahasia : “ Howbeit, seorang laki-laki dari Macassar membagikan rahasia besar kepada saya, yaitu, bahwa panah-panah ini berfungsi untuk “menyedot” racun yang mengerikan orang-orang Macassar dari suatu luka  [.....]” (Ref 18, hal 73). Jadi, pendapat Beekman tampaknya valid dalam hal eksklusivitas informasi yang dapat diperoleh Rumphius. Namun, tidak semua pengetahuan rahasia dibagikan kepada Rumphius :

Ketika saya bertanya kepada beberapa pribumi dari Timor dan Rotty, seperti apa pertumbuhan benda ini [Mutu Lambatta], mereka memberi tahu saya banyak hal berbeda, sehingga kita akan mengira bahwa mereka telah bersepakat untuk menyembunyikan dari Belanda apa Mutu Lambatta itu dan dimana itu terjadi; karena saya tidak percaya, bahwa begitu banyak pribumi, yang semuanya memakai objek itu secara umum, tidak mengetahui darimana asalnya”. (Ref 18, hal 280)

Jadi, dalam kaitannya dengan hubungan Rumphius dan pengakuan penduduk lokal, kami ingin menunjukan celaan yang mendasari dan penggambaran negatif di sini. Setiap pengakuan subjek lokal bertepatan dengan status sosial mereka yang lebih tinggi saja (Cf. Ref 19, hal 75). Sementara dalam status sosial Eropa barat laut, terutama terkait dengan kekayaan dan pekerjaan, pengakuan penduduk lokal di Curiosity Cabinet, tampaknya terkait dengan lokasi dan perbudakan.

Dalam 3 contoh pertukaran berikut yang diambil dari buku ketiga dari Curiosity Cabinet, fokusnya terletak pada pertukaran asimetris. Penduduk setempat menggunakan batu, mineral, dan fosil yang dideskripsikan di sana untuk pengobatan dan praktik yang berhubungan dengan kepercayaan supernatural. Dalam Curiosity Cabinet, kepercayaan ini dituduh sebagai “takhayul” (bijgeloof). Buku ketiga mungkin yang tidak populer – di antara alasan lain karena jarang diilustrasikan – tetapi ini memungkinkan pandangan unik di dalam kepercayaan kaum kolonialis, terutama komitmen Rumphius pada Calvinisme, dan bagaimana dia merefleksikan dalam kolonialisasi (Ref 18, hal 102).

Saat membaca entri tentang “Batu yang kebetulan berasal dari [dan] Buah”, paternalisme terhadap penduduk setempat menjadi sangat nyata. Untuk mengatasi konsekuensi dari takhayul mereka, Rumphius mengambil batu-batu itu dari mereka :

“Aku tahu betul bahwa kepura-puraan mereka [tentang batu yang membawa keberuntungan] adalah omong kosong [.....] tetapi aku mengambilnya dari tangan mereka untuk “meyakinkan” mereka pada cerita-cerita takhayul mereka, sementara saya juga sangat sadar bahwa dalam perang, kemenangan itu tidak berasal dari batu yang remeh seperti itu, tetapi saya pikir hal yang disarankan untuk “mengeluarkan” atau “menarik” seperti itu dari tangan orang pribumi, karena itu akan membuat mereka berani dari waktu ke waktu, yang sering menyebabkan mereka berperang dengan kita dengan cukup mudah” (Ref 18, hal 363f).

Motif Rumphius bukan untuk mengubah kepercayaan mereka. Dia memiliki alasan pragmatis, mengetahui bahwa kepercayaan murni pada kekuatan supernatural yang diberikan oleh batu, dapat mengorbankan nyawa dan uang. Di Eropa, penolakan takhayul juga terkait dengan kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi juga digunakan untuk melawan Gereja Katolik dan pengaruh agama pada ilmu alam secara umum (lihat Ref 16, hal 367). Dalam kutipan di atas, terdapat alasan berbeda untuk bertindak melawan praktik-praktik takhayul. Jika batu-batu itu, memang bisa membawa/memberikan keberuntungan, hasilnya bisa jadi terciptanya kesimetrian kekuasaan antara penjajah/kolonialis dan penduduk lokal. Dengan mengambil batu-batu itu, penduduk setempat di bawah kendali Belanda, dan dibiarkan tanpa harapan bahwa kekuatan yang lebih tinggi akan membantu mereka. Contoh ini bahkan bukan pertukaran asimetris, karena interaksi harus digambarkan sebagai deprivasi. Laporan itu tidak menjelaskan secara rinci, bagaimana batu-batu itu dibawa pergi. Apakah penduduk setempat keberatan??? Apakah Rumphius dikawal seorang serdadu atau apakah status sosial Rumphius, cukup untuk merampas barang-barang milik penduduk lokal tanpa menimbulkan keributan???. Orang-orang Maluku harus menyerahkan batu-batu berharga kepada pemimpin mereka, seperti yang tercantum dalam entri tentang cangkang Buccinum : “penduduk lokal mungkin tidak menyembunyikannya [cangkang Tsjanko], tetapi harus membawanya kepada Raja mereka” (Ref 18, hal 139). Tetapi, apakah mereka juga mengakui Rumphius sebagai pemimpin seperti pemimpin mereka sendiri???. 

Rumphius sukses di VOC. Dia memulai karir sebagai serdadu, kemudian menjadi pedagang dan dipromosikan menjadi pedagang senior (opperkoopman) sebelum dia menjadi buta pada tahun 1670. Tetapi, bahkan sebagai pedagang yunior (onderkoopman) (Ref 18, hal 59) pada tahun 1657, kekuatan posisi Rumphius menonjol dalam entri tentang batu Aprites :

Batu yang disebutkan di atas telah diwarisi atau diberikan 3 atau 4 kali dalam keluarga yang sama, dengan gagasan/kepercayaan bahwa batu itu memiliki kekuatan untuk menyebabkan banyak bermimpi [....] tetapi pemilik terakhir memberikannya kepada saya pada kesempatan berikut : beberapa pelanggaran yang dilakukannya telah membuatnya dirantai, dan dia diserahkan kepada saya dengan kondisi itu, ketika saya memimpin wilayah pantai Hitu pada tahun 1660; dia sangat menghormati batu itu, [.....] tetapi batu itu tidak mengungkapkan apa pun kepadanya : jadi dia menjadi marah pada batu itu, dan memberikannya kepada saya [.....] dan mengetahui semuanya, bahwa dia telah disihir untuk beberapa hal sepele, saya melepaskan rantai itu; jadi masing-masing dari kami pulang dengan perasaan cukup puas, saya dengan batu itu dan dia dengan kebebasannya (Ref 18, hal 330).

Kisah ini dapat dibaca dengan 2 cara : di satu sisi, pria itu mungkin telah frustrasi dengan batu yang tidak lagi menguntungkannya dan mungkin telah memberikannya kepada Rumphius dengan gratis, yang kemudian dengan bermurah hati membebaskan pria itu. Di sisi lain, kita dapat merasakan kekuatan di balik tindakan ini. Rumphius mungkin telah menjanjikan pria itu kebebasan dengan cara menukar batu itu, atau mungkin pangkat dan jabatan Rumphius, cukup untuk membuat pria yang tersihir itu terkesan bahwa akan lebih untuk menyerahkan batu tersebut.

Pada tahun 1673, pulau Ambon dihuni oleh 19.404 penduduk lokal (Ref 14, hal 133). Pada tahun yang sama, penduduk kota Ambon berjumlah 4089 jiwa. Jumlah ini dapat dibagi menjadi 1189 pegawai/pelayan VOC dan keluarganya, 748 warga Eropa, 967 penduduk Tionghoa, dan 1176 penduduk pribumi21. Meskipun angka-angka ini menunjukan bahwa rasio pegawai VOC terhadap penduduk lokal seimbang, kita tetap harus ingat bahwa para pekerja dan budak dihitung sebagai bagian dari rumah tangga oleh VOC, dan kita sedang berbicara hanya tentang kota Ambon. Di wilayah pedesaan, rasio ini akan terlihat berbeda. Penting juga untuk melihat jumlah serdadu di bawah kendali VOC : dari 600 serdadu yang bertugas di gouvernement (gewest) Ambon, sekitar 300 serdadu tinggal di benteng Victoria. Meskipun angka itu tampaknya rendah, dan Knaap mengatakan bahwa hubungan yang baik dengan penduduk lokal itu penting, dia juga berbicara tentang keuntungan militer VOC (Ref 14, hal 37). Kisah di atas menunjukan kekuasaan kolonialis atas masyarakat lokal, mungkin berdasarkan kesadaran akan keunggulan militer ini. Dalam contoh berikutnya, sebuah objek ditukar dengan uang. Apakah menilai perdagangan ini harus disebut asimetris, harga harus dipertimbangkan serta kepentingan kedua belah pihak dalam objek tersebut.

Penduduk pribumi telah menyembunyikannya [batu karang berbentuk seorang wanita yang diidentifikasi sebagai istri atau saudara perempuan dari nakhoda asal  Jawa] di hutan, dan mungkin akan menjadikannya sebagai berhala : karena orang Moor/Muslim yang sekarang tinggal di bawah kekuasaan Halong memperhitungkan bahwa objek itu berasal dari nakhoda yang disebutkan di atas; tetapi saya dengan cerdik mendapatkan objek itu dari tangan mereka dengan membayar mereka seharga 1 rixdollar, dan itu membuat tampilan bagus di kebun saya [.....] (Ref 18, hal 365f).

Penduduk lokal menghargai objek tersebut karena kekuatan supernatural dan makna historis, sedangkan Rumphius sebagai seorang kolektor menghargai karena alasan estetika. Maria-Theresia Leuker menyatakan bahwa “perbedaan ini secara konkret menggambarkan perampasan budaya : sebagai imbalan pembayaran, objek pemujaan penduduk pribumi dapat menjadi langka dalam koleksi-koleksi orang Eropa. Deskripsi Rumphius mengandung kesan tersirat tentang keunggulan budayanya sendiri”22.

Dalam kasus batu (berbentuk) yang disebutkan di atas, koleksinya tidak berada dalam lemari/kabinet tetapi di kebun/taman milik Rumphius. Berapa nilai dekorasinya bagi Rumphius? Satu dolar sepertinya kecil. Sebagai perbandingan : pada abad ke-18, seorang pedagang junior memperoleh 36 gulden per bulan, yang artinya 14, 4 rixdollar.

Secara keseluruhan, Curiosity Cabinet menunjukan ketertarikan pada masyarakat lokal dan kepercayaan mereka, namun pertukaran dengan masyarakat lokal, jarang dijelaskan secara eksplisit. Seperti yang dikemukakan di atas, “kredibilitas kaum berwibawa” dan akibat kurangnya pengakuan bagi masyarakat lokal bisa menjadi penjelasannya. Namun demikian, contoh-contoh yang dianalisis di sini menimbulkan pertanyaan tentang klaim yang dibuat Beekman secara eksklusif bersikap positif terhadap penduduk lokal. Mereka juga menunjukan adanya kekuatan kolonial yang mendasarinya, karena benda-benda dalam contoh-contoh tersebut, diperdagangkan untuk uang atau kenyamanan pribadi atau diambil begitu saja. Penjajah melindungi penduduk lokal dan mengeksploitasi pengetahuan dan harta benda mereka. Sementara eksekusi sebenarnya dari pertukaran di Curiosity Cabinet hanya dijelaskan secara terpisah-pisah dan banyak yang tidak terucapkan, pengetahuan lokal, seringkali dirahasiakan, dan benda-benda pemujaan mungkin dapat dengan mudah dikumpulkan berkat reputasi baik Rumphius dengan penduduk lokal. Tapi seperti yang ditunjukan juga oleh contoh, kompromi juga asimetris.

Rumphius mencatat ruang sosial yang dipengaruhi oleh proses perbudakan dan komodifikasi di Dunia Samudra Hindia yang lebih luas. Proses yang dianalisis oleh Carolien Stolte untuk tulisan-tulisan orientalis Belanda di India, juga berlaku untuk teks Rumphius; karena teks tersebut “diterjemahkan dan direproduksi, utuh atau dipecah-pecah dan disusun kembali dalam kompilasi baru, teks tersebut mendapat perhatian khayalak Eropa yang lebih luas”24. Informasi yang terkandung di dalam Curiosity Cabinet serta Herbal dilegalkan oleh sosok Rumphius sebagai seorang ahli alam di dalam Republik Sastra Eropa, dan dengan materialisasinya sebagai buku yang diterbitkan. Selain informasi dari sumber-sumber arsip tulisan tangan,bentuk pengetahuan kolonial ini –diedit, distandarisasi dalam bentuk, dapat dibawa dan dapat diakses oleh publik – dapat dianggap stabil dan nyata di luar ruang sosial rezim VOC sekitar tahun 170025. Jadi kami (penulis) sampai pada kesimpulan tentatif bahwa hubungan asimetris dan kuat, yang diwujudkan dengan pekerja yang diperbudak dan masyakat lokal seperti yang diekspresikan dalam teks, dapat direproduksi secara intelektual di ruang budaya Eropa tengah, seperti perpustakaan dan akademi.

==== selesai ====

References and Notes

1.         M.L. Pratt (2004) Arts of the contact zone. In: David Bartholomae and Anthony Petrosky (Eds), Ways of Reading. An Anthology for Writers, 8th edn (Boston: Bedford), pp. 326–348, p. 327.

2.        M.L. Pratt (1992) Imperial Eyes. Travel Writing and Transculturation (London; New York: Routledge)

3.        S. Huigen (2008) Imperial eyes van de postkoloniale criticus. Selectieve lectuur van achttiende-eeuwse reisbeschrijvingen over Zuid-Afrika. Werkwinkel, 3, pp. 17–29.

4.        L. Guelke and J.K. Guelke (2004) Imperial eyes on South Africa. Reassessing travel narratives. Journal of Historical Geography, 30, pp. 11–31 5.

5.        Q. Zhang (2015) Making the New World Their Own. Chinese Encounters with Jesuit Science in the Age of Discovery (Leiden: Brill) with chapter 3 ‘Mapping a Contact Zone’.

6.       Conference ‘Artisten in der Kontaktzone’. Jahrestagung der Gesellschaft für Ethnographie am 27./28.01.2017. Via http://www.gfe-online.org/cms2/index.php/ tagungen.html (accessed 10 February 2016).

7.        M. van Rossum (2015) Kleurrijke tragiek. De geschiedenis van slavernij in Azië onder de VOC (Hilversum: Verloren).

8.        Conference Slave Trade in the Indian Ocean and Indonesian Archipelago Worlds (16th to 19th Century). New Research, Results and Comparisons. Via https:// socialhistory.org/en/events/cfpworkshop-slave-trade-asia (accessed 10 February 2016).

9.       P. Emmer (2006) The Dutch Slave Trade, 1500–1850 (New York: Berghahn)

10.     M. Vink (2003) ‘The world’s oldest trade’: Dutch slavery and slave trade in the Indian Ocean in the seventeenth century. Journal of World History, 14, pp. 131–177.

11.       P. van Dam (1976) Beschryvinge van de Oostindische Compagnie (manuscript 1693–1701). Reprint. Boek I, II en III in zes banden ingeleid en geannoteerd door F.W. Stapel; Boek IV uitgegeven door C.W.Th. baron van Boetzelaar van Asperen en Dubbeldam (Den Haag: Rijks Geschiedkundige Publicatien 1927– 1954). Via http://resources.huygens.knaw.nl/retroboeken/vandam/#page=662& accessor=toc&source=2&view=imagePane&size=801 (accessed 26 June 2016). Translation by E.H. Arens.

12.      E.M. Beekman (2011) Introduction. The Ambonese Herbal, G.E. Rumphius (New Haven; London: Yale University Press), pp. 1–169, p. 99ff.

13.      G.E. Rumphius (2011) The Ambonese Herbal. Translated, annotated, and with an introduction by E.M. Beekman (New Haven; London: Yale University Press), Book I, Chapter 3, p. 209.

14.      G. Knaap (2004) Kruidnagelen en christenen. De VOC en de bevolking van Ambon 1656–1696, 2nd edn (Leiden: KITLV Uitgeverij), p. 164.

15.      M. van Rossum (2011) De intra-Aziatische vaart. Schepen, de ‘aziatische zeeman’ en ondergang van de VOC? Tijschrift voor sociale en economische geschiedenis, 8, pp. 32–69, p. 51.

16.     W. Behringer (2004) Wissenschaft im Kampf gegen den Aberglauben. Die Debatten über Wunder, Besessenheit und Hexerei. In: R. van Dülmen and S. Rauschenbach (Eds), Macht des Wissens. Die Entstehung der modernen Wissensgesellschaft (Köln; Weimar; Wien: Böhlau), pp. 365–389, p. 388.

17.      R. Nate (2009) Wissenschaft, Rhetorik und Literatur: historische Perspektiven (Würzburg: Königshausen & Neumann), p. 107.

18.      G.E. Rumphius (1999) The Ambonese Curiosity Cabinet, Translated, edited, annotated and with an introduction by E.M. Beekman (New Haven; London: Yale University Press), p. 242.

19.     S. Shapin (1994) A Social History of Truth. Civility and Science in Seventeenth Century England (Chicago: University of Chicago Press), p. 86.

20.    E.M. Beekman (1999) Introduction: Rumphius’ life and work. In: G.E. Rumphius, The Ambonese Curiosity Cabinet (New Haven: Yale University Press), pp. xxxv–cxii.

21.      G.J. Knaap (1991) A city of migrants: Kota Ambon at the end of the seventeenth century. Indonesia and the Malay World, 51, pp. 105–128, p. 119.

22.     M.-Th. Leuker (2010) Knowledge transfer and cultural appropriation: Georg Everhard Rumphius’s Amboinsche Rariteitkamer (1705). In: S. Huigen, J.L. Jong and E.E.P. Kolfin (Eds), The Dutch Trading Companies as Knowledge Networks (Leiden: Brill), pp. 145–170, p. 158.

23.     J.R. Bruijn and F.S. Gaastra (2012) The career ladder to the top of the Dutch East India Company: could foreigners also become commanders and junior merchants? In: L. Lucassen and M. van der Linden (Eds), Working on Labor. Essays in Honor of  Jan Lucassen (Leiden/Boston: Brill), pp. 215–236, p. 226.

24.     C. Stolte (2015) Encounters erased. Tracing Indo/Dutch connected histories and their textual echoes, c. 1630–1670. In: M. Derks et al. (Ed.), What’s Left Behind. The Lieux de Memoire of Europe beyond Europe (Nijmegen: Vantilt Publishers), pp. 155–163, p. 162.

25.     C. Jeurgens (2015) Networks of information. The Dutch East Indies. In: C. Antunes and J. Gommans (Eds), Exploring the Dutch Empire. Agents, Networks and Institutions, 1600–2000 (London: Bloomsbury), pp. 95–130, p. 99

 

Catatan Tambahan

  1. Jacob van Wykersloot adalah Opperhoofden van Timor sejak Maret 1672 – 20 Juli 1680 (meninggal saat bertugas di Kupang). Kalimat di atas harus dipahami bahwa informasi dari Jacob van Wykersloot tiba atau didengar oleh Rumphius pada tahun 1681, meski Jacob van Wykersloot telah meninggal 1 tahun sebelumnya, dan bukan van Wykersloot masih hidup di tahun 1681.

§  Hans Hagerdal,  Lords of the Lands, Lords of the Sea : Conflict and Adaptions in early colonial Timor 1600 – 1800, KITLV Leiden Press, 2012, appendix (lampiran 2), hal 425  

Generale Missivien van Gouverneur Generaal en Raden aan Heeren XVII VOC, deel IV, Catatan kaki no 9, hal 105 dan 106

Tidak ada komentar:

Posting Komentar