Jumat, 14 April 2023

Pemberontakan PATTIMURA 1817 : Penyebabnya, Jalannya peristiwa dan Dampaknya

 

(bag 3)

[P.J.M. Noldus]

 

Chapter III1

Pemberontakan

Pada tanggal 19 Agustus 1816, Pulau Jawa secara resmi diambil alih dari Inggris oleh Komisi Jenderal yang dikirim untuk hal tersebut dari Belanda. Mereka mendirikan markas mereka di Batavia dan pada akhir tahun itu menunjuk sebuah Komisi untuk mengambil alih Pemerintah Maluku. Sebagai Komisaris Pertama, mereka mengangkat N. Engelharda, yang digambarkan sebagai “orang yang cakap dan sopan”. Sebagai Komisaris Kedua dan juga Gubernur Maluku, mereka mengangkat J. van Middelkoopb. Van Middelkoop kemudian digambarkan sebagai seorang yang terus menerus mecoba “menjilat” atasannya, egois dan licik dan melakukan hal-hal konyol dengan rekan-rekannya2. Juga bersama kelompok ini yang berlayar ke Maluku adalah Johannes van den Berg yang berusia 27 tahun dengan istri dan keluarga barunya. Van den Berg memiliki relasi yang baik. Istrinya adalah cucu perempuan dari bekas Gubernur Jend VOC, W.A. Alting (1780-1796)c, dan keponakan dari bekas Gubernur Jend Hindia Belanda lainnya, J. Siberg (1801-1805)d yang masih menetap di Batavia. Ayah dari van den Berg sendiri, yang, sebagai Resident Jogjakartae, telah berkuasa di masa VOC, juga dihormati oleh Raja William I, yang ia wakili pada sejumlah delegasi ke Paris dan London pada era Napoleon. Komisaris Engelhard adalah paman Van den Berg3/f

Komisaris tiba di Ambon pada tanggal 17 Februari 1817, tertahan karena kekurangan kapal dan tenaga kerja. Jumlah pasukan yang menyertai mereka sangat kecil karena alasan ini, tetapi Batavia yakin bahwa Maluku akan diambil alih tanpa kesulitan. Inilah salah satu dari banyak kesalahan dan salah perhitungan yang mereka lakukan.

Karena pengaruh bekas Gubernur Jend Siberg dengan Gub Jend saat ini, yaitu Van der Capellen, [maka] Van den Berg, yang telah dikirim ke Hindia hanya sebagai “PNS” kelas III, diangkat menjadi Residen Saparuag. Penunjukan suatu jabatan yang begitu penting dan sulit untuk pria yang masih muda, dan sangat kurang dalam pengalaman dan pelatihan dalam pegawai negeri dan dalam urusan pribumi, sedikit banyak mengejutkan. Maluku selalu dianggap sebagai daerah yang sulit untuk diperintah, karena ada banyak persaingan di antara negeri-negeri, dan Saparua memiliki reputasi terburuk di antara semuanya4.

Di era VOC, karesidenan Saparua, menghasilkan lebih banyak cengkih daripada wilayah Maluku lainnyah, telah menjadi el doradoi bagi Resident untuk korup5. Buijskes menyinggung korupsi ini dalam laporannya kepada Komisaris di Batavia tanggal 17 November 1817 :

Dengan kebetulan belaka, saya menyadari melalui surat-surat Residen yang menjabat 40 tahun lalu di Karesidenan Saparua, bahwa pejabat ini dalam waktu yang sangat singkat mengumpulkan kekayaan 100.000 Rix Dollar dan karena gaji seorang Resident pada waktu itu sangat rendah dan hampir tidak ada kesempatan untuk terlibat dalam perdagangan penyelundupan rempah-rempah, hanya membuat saya menduga bahwa pemerasan pastilah merupakan hal yang lumrah/biasa. Kecurigaan ini terkonfirmasi/diperkuat dengan utang yang cukup besar yang dimiliki oleh ahli waris dari Blondellj  Resident Saparua, oleh beberapa pemimpin negeri di pulau itu, yang obligasinya telah disita oleh bekas Residen Inggris, yaitu Martin,dan diteruskan kepada Komisaris, karena merasa harus ikut campur dalam penyelesaian utang ini. Utang itu (seperti yang saya pahami) awalnya adalah denda yang dikenakan oleh pemerintah Maluku saat itu, yang harus dilunasi oleh Residen setelah hal itu diserahkan kepadanya untuk membayarnya sebaik mungkin. Dia kemudian membuat pengaturan melalui obligasi atau gadai untuk pembayaran seperti jumlah, pemotongan uang bagi pemimpin negeri untuk pembayaran rempah-rempah yang masih harus dibayar. Saya berasumsi bahwa praktik-praktik ini terjadi di semua karesidenan, meskipun Saparua, sebagai pulau yang paling padat penduduknya, yang menghasilkan cengkih dalam jumlah terbesar, pastilah cepat menjadi kaya, dan saya kira inilah alasan mengapa bekas Gubernur Jend Siberg telah merekomendasikan keponakannya, yaitu Van den Berg kepada Yang Mulia, untuk jabatan Residen Saparua6.

 

Pengangkatan Van den Berg bukan satu-satunya kesalahan Komisaris Jenderal di Batavia dalam pengangkatannya di Ambon.

===============================================

Van den Berg tiba di Saparua pada tanggal 15 Maret dan dilantik atau mulai menjabat pada tanggal 21 Maret 1817.  Pengambilalihan wilayah secara resmi pemerintahan Maluku secara keseluruhan tidak terjadi sampai tanggal 25 Maret 1817, tetapi pelatikan Van den Berg dimungkinkan karena kesepakatan antara Komisaris Jenderal dan Resident Inggris, W.B. Martin7 telah tercapai di Ambon.

Peralihan kekuasaan pemerintahan secara resmi terjadi pada pagi hari tanggal 25 Maret 1817. Resident Inggris, Martin, telah menyerahkan Nota Penyerahan kekuasaan kepada Komisaris yang menjelaskan situasi Maluku. Tentang masalah keadilan, dinyatakan bahwa aturan keadilan Belanda tetap tidak berubah seperti yang dijamin oleh ketentuan kapitulasi pada tahun 1810. Tentang masalah perdagangan, isi nota mengklaim bahwa monopoli rempah-rempah telah dijalankan “secara umum dengan syarat-syarat yang sama seperti ada sebelumnya”. Penduduk masih diwajibkan untuk menjual seluruh hasil panen mereka kepada pemerintah, tetapi harga untuk produsen telah naik.

Para komisioner Belanda yang datang dituntun untuk percaya bahwa sistem pemerintahan masih sama seperti sebelumnya. Sedikit atau tidak ada perubahan sama sekali, kecuali pengawasan para Regent dan pemimpin daerah lainnya jauh lebih ketat daripada di bawah pemerintahan Belanda sebelumnya.

Yang utama pada kuatnya laporan atau nota dari Martin adalah tentang sistem sekolah, yang masih dalam pengawasan dan pelayanan pendeta Jabez Carey sebagai pengawas sekolah., tidak ada perubahan yang dilakukan, setidaknya untuk saat itu. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama. Pemerintahan Belanda yang baru tidak cukup mendukung otoritas Carey dan penurunan kehadiran di sekolah, segera menjadi terlihat dan jelas8. Kam, yang tidak setuju dengan pandangan agama Carey dalam banyak hal, hanya dapat melihat prospek kelanjutan sekolah-sekolah Carey dan pekerjaan misionaris sebagai menciptakan kebingungan dan kesulitan dan ingin menggantikannya, dan dalam hal ini ia mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Inilah alasan mengapa pekerjaan Jabez di Maluku tiba-tiba berakhir. Dalam surat tertanggal 26 Mei 1816, Kam telah mendesak London Missionary Society untuk mendekati Duta Besar Belanda di London untuk menggagalkan rencana Baptist Society, “yang sangat ingin memperoleh izin penuh (sic) untuk mempromosikan Kekristenan di kepulauan Maluku”9.

Tetapi sekarang, terlepas dari upaya Kam, muncul keputusan Komisaris Jend di Batavia bahwa Jabez harus diberhentikan dengan hormat sebagai pengawas sekolah. Komisaris Buijskes khususnya, yang baru kembali dari Ambon, melihatnya sebagai “sangat tidak biasa bahwa pengawasan sekolah ini dilakukan oleh 1 orang yang adalah orang “asing” pada saat itu, yang tidak mengerti satu kata pun dari bahasa kami”10. Dia merasa bahwa kelanjutan Jabez di posisi itu telah selesai dari pertimbangan untuk Resident Martin, bukan atas dasar kegunaannya di pos ini dibawah kekuasaan Belanda. Jabez Carey dua kali mengajukan petisi kepada pemerintah untuk izin tinggal di Ambon sebagai misionaris, tetapi Buijskes bersikeras dan pada awal tahun 1818, keputusan dibuat lagi bahwa “permintaan pendeta baptis Carey, untuk diizinkan melakukan pertobatan terhadap orang-orang dari Gereja Reformasi Belanda, telah ditolak”11. Pearce Carey mengatakan demikian : “ Ia akhirnya meninggalkan Maluku karena pemerintah Belanda tidak mengizinkan khotbah atau pembaptisan, kecuali atas nama dan cara dari Gereja negara mereka”12. William Carey kesal dan kecewa tetapi Jabez kembali tanpa, katanya, tanpa dendam atau perselisihan. Kedudukan kepala sekolah dan gajinya tetap sama, termasuk pembayaran upah oleh pemerintah. Hal ini penting karena belakangan diduga bahwa perubahan sistem sekolah yang ada sekembalinya Belanda, menjadi salah satu penyebab pemberontakan13.

===========================

Kekuatan kecil militer yang menyertai Komisi tidak melakukan apa pun untuk memperkuat atau meningkatkan prestise mereka. Itu diperlengkapi sebagaimana adanya, mereka terlihat berjaga-jaga, “setengah telanjang dan bersenjatakan bambu runcing”14. Hal ini antara lain karena kekurangan orang dan peralatan, disebabkan oleh kesulitan transportasi, dan sebagian lagi harapan palsu dari pemerintah Batavia bahwa pasukan dapat segera direkrut di Maluku.  

Korps Ambon yang terdiri lebih dari 400 orang, diciptakan oleh Martin, telah ditawarkan kepada Belanda ketika Perjanjian London telah dirundingkan, tetapi karena beberapa alasan tawaran ini tidak diterima. Salah satu alasannya adalah harapan optimis bahwa, begitu Maluku telah diduduki, tidak akan sulit untuk mendapatkan jenis prajurit yang membentuk korps ini. Pasal 11 dari instruksi untuk Komisi Maluku mengarahkan agar negosiasi dilakukan, dengan Komandan Militer Inggris di Ambon, untuk perpindahan pasukan pribumi yang dibayar/digaji oleh Inggris. Namun, Inggris tidak dapat menyetujui proses transfer langsung karena klausul khusus dalam kontrak perekrutan mereka. Dapat dikatakan bahwa klausul ini dimasukan secara tegas karena penyerahan kembali wilayah Maluku tidak dipertimbangkan pada saat kontrak dibuat. Kontrak tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa, dalam hal penyerahan kekuasaan/kedaulatan, para prajurit diberhentikan terlebih dahulu, sehingga bebas untuk bergabung dengan tentara Belanda atau tidak, sesuai dengan keinginan mereka. Hal ini dijelaskan kepada Komisaris ketika tentara dengan suara bulat menuntut agar klausul ini diterapkan atau dijalankan.

Martin, yang selama proses penyerahan kekuasaan bertindak dengan benar dan sopan, tidak dapat memperkirakan konsekuensi selanjutnya dari pembubaran korps Ambon ini. Demikian pula para Komisaris pada saat itu. Hanya dalam dokumen-dokumen selanjutnya, kita menemukan reaksi negatif terhadap hal itu15. Martin memerintahkan semua prajurit pribumi di Maluku untuk melapor ke Ambon, beberapa hari setelah ratifikasi resmi perjanjian dengan Belanda pada 24 Maret 1817. Mereka datang dengan orembai yang dihiasi ke ibukota. Residen Inggris berpidato yang menyanjung dan membagikan hadiah, seperti Burgher Paten, pemberian hak status burger kepada semua tentara yang “diberhentikan”16. Tidak ada yang tidak biasa dalam hal ini, pemerintah Belanda juga selalu mengikuti praktik yang sama. Yang menimbulkan keberatan pada kesempatan ini adalah tanggal pelepasan dan jumlah yang sangat besar dan diberikan hak status burger pada satu kesempatan/waktu. Paten Burger telah diberikan sebelum tanggal 24 Maret, suatu fakta yang disajikan oleh beberapa penulis sebagai hal yang tidak biasa, tetapi hal ini masih bisa diperdebatkan. Boelen mencatat dalam jurnalnya bahwa para bekas serdadu, yang kembali ke desa-desa mereka, menggunakan kesempatan itu untuk menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap Belanda dengan bebas17. Di antara serdadu yang kembali ini adalah Thomas Matulesia.

Tidaklah sulit untuk melihat bahwa kembalinya mereka ke desa-desa ini, tanpa sarana dukungan yang layak, dari begitu banyak bekas serdadu yang kurang lebih terlatih, sebagian dari mereka bersenjata, dapat memiliki konsekuensi yang mengerikan, jika benih ketidakpuasan jatuh ke tanah yang subur, seperti yang memang terjadi. Jadi, menurut Buijskes, bekas serdadu ini segera menjadi bahaya bagi tatanan masyarakat18.

Pertanyaan yang harus diajukan di sini adalah apakah mungkin otoritas sipil dan militer melalukan sesuatu tentang masalah ini. Jawabannya adalah iya. Engelhard memberikan penjelasan kepada kita : Komisi Jenderal di Jawa membutuhkan pasukan untuk di Jawa dan mengeluarkan instruksinya kepada penguasa militer di Ambon. Pasal 5 instruksi ini memerintahkan agar rekrutmen dari korps Ambon yang dibubarkan, hanya khusus untuk dikirim ke Jawa. Ini adalah alasan penolakan bergabung, sebagian besar pasukan tidak mau meninggalkan pulau asalnya. Akibatnya, tulis Engelhard, hanya 33 dari 400 anggota korps yang masuk dinas ketentaraan Belanda, dan sebagian besar adalah orang Jawa19. Keberatan bukan untuk bergabung seperti itu, tetapi dizinkan untuk melayani secara eksklusif di Maluku, seperti yang mereka lakukan di bawah kekuasaan Inggris. Komandan Militer Belanda di Maluku menolak untuk mengalah pada pasal 5 ini, meskipun kekuatan tentara di sana jauh di bawah persyaratan/kondisi yang ideal. Resident Saparua dan Resident Hila sangat merekomendasikan agar korps dilibatkan kembali untuk Maluku, tidak diragukan lagi dengan memperhatikan kekuatan mereka sendiri yang menyedihkan, tetapi komando milter tetap bersikukuh. Gubernur Van Middelkoop juga berkeberatan untuk merekrut serdadu lokal untuk tentara karena dia mengira “ bahwa ini akan mendorong penyelundupan rempah-rempah daripada menjaganya”20. Engelhard tidak setuju dengan pandangan ini “karena Inggris telah sangat berhasil memanfaatkan korps Ambon, yang telah berjuang sekuat tenaga melawan perdagangan penyelundupan seperti yang dilakukan pasukan Belanda sebelum mereka”21. Begitu pemberontakan dimulai, keberatan terhadap pasal 5 hilang dan Komisi Maluku, dengan dekrit no 17, tertanggal 8 Juni 1817 memerintahkan Komandan untuk melibatkan kembali pasukan bekas Inggris ini seperti yang dipersiapkan untuk memasuki layanan hanya untuk Maluku. Pada saat ini, tentu saja, kerugian telah terjadi; banyak dari bekas serdadu itu terlibat secara aktif dalam pemberontakan atau bersimpati padanya.

Pemberontakan seperti yang meledak di Maluku hampir pasti telah disiapkan dalam skala luas di desa-desa, dan sangat mungkin para Radja, Pattij, Orang Kaija sama sekali tidak menyadarinya. Pemimpin yang, karena alasan apa pun, tidak ingin melihatnya berkembang, berada dalam posisi paling sulit untuk memutuskan apakah akan memberi tahu pejabat pemerintah Eropa atau tidak. Para penguasa Eropa di sisi lain, harus sangat akomodatif kepada orang-orang itu, jika mereka tidak ingin mengecilkan informasi semacam ini, karena jika tidak, mereka mungkin akan mengekspos diri mereka pada kemungkinan tiba-tiba dan tidak siap menghadapi bencana. Tetapi pada saat Belanda kembali, akomodasi hal ini sayangnya telah berkurang. 

Teluk Saparua, 1817

Pemberontakan itu telah membara bahkan sebelum proses pengambilalihan wilayah Maluku itu jelas dari fakta, bahwa dalam beberapa hari dari peristiwa itu, ada pertemuan rahasia dan korespondensi antara orang-orang Hitu dan orang-orang dari pantai utara Haruku, dan mungkin dengan orang-orang dari Saparua, dimana sumpah khidmat dibuat dibawah sumpah bahwa mereka akan bekerjasama untuk mencapai kebebasan dan kemerdekaan. Sebuah laporan telah dikirim kepada para Komisaris di Ambon oleh Resident van Haruku, Uijtenbroekk, yang memberitahukan bahwa, pada tanggal 20 April 1817, hanya 21 hari setelah Van den Berg menduduki jabatannya di Saparua, bekas Radja negeri Pelauw dan negeri Aborul, 2 pelayan setia pada masa pemerintah Belanda (yang, kebetulan memiliki dendam terhadap Inggris, karena Resident Martin telah memberhentikan mereka karena dugaan pelanggaran) memberitahu Resident bahwa pertemuan telah diatur di hutan di wilayah Liang, di Hitu, lebih dari 100 orang pada tanggal 4 April 1817, pada saat itulah persekongkolan melawan Belanda dilakukan dan para konspirator itu bersumpah, melalui surat terbukan kepada penduduk pulau Seram dan pulau-pulau lain, untuk mempengaruhi mereka agar memutuskan hubungan dengan pemerintah Belanda dan bergabung dengan persengkokolan mereka22. Yang sama membingungkannya adalah fakta bahwa para pejabat Belanda itu tidak bertindak melawan kelompok-kelompok ini ketika diberitahukan tentang mereka oleh beberapa Regent yang setia. Para pejabat itu tidak hanya menolak untuk mempercayai mereka, tetapi juga informan-informan mereka itu dicambuk dan ditangkap karena permasalahan mereka. Bukan hanya satu, tetapi setiap pejabat yang dituju oleh para pemimpin, bertindak dengan pemahaman yang sama.

=========================================

Kesalahan pertama yang dilakukan Van den Berg di Saparua, terjadi segera setelah kedatangannya. Seorang burger Ambon, Anthony Rhebokm, putra dari keluarga yang tua dan terhormat dari Saparua yang telah melayani kompeni dengan setia selama beberapa generasi, dan temannya, yaitu Philip Latumahinan, saat mabuk, telah memukuli Daniel Sourbag, sampai jatuh di dalam air. Sourbag mengajukan keluhan kepada Resident, yang mendengar kasus tersebut dan menghukum Rhebok dengan hukuman cambuk. Hukuman ini adalah kesalahan besar karena sepenuhnya bertentangan dengan status hak seorang burger. Seorang burger, ketika dijatuhi hukuman fisik, seharusnya diikat ke bangku kayu. Di atasnya mereka dibaringkan dan kemudian dipukuli dengan tali. Hanya orang-orang negeri dan bukan kaum burger lainnya, yang diikat ke pohon dan dicambuk. Hukumannya hampir sama, tetapi “bentuk hukuman” yang sangat penting, Rhebok dan Latumahina telah “kehilangan muka”. Benjamin Pattiwaelo, anak dari Salomon Pattiwaelp yang ikut serta dalam pemberontakan dan merawat anak Resident yang masih hidup, menggambarkan lanjutan dari hukuman cambuk sebagai berikut :

“ di sini pada saat keduanya pulang dengan hati yang pahit (sakit hati = a sick heart) dan kemudian pergi dari desa ke desa di seluruh pulau Saparua, untuk menghasut dan membujuk penduduk untuk bergabung dengan mereka dalam perang melawan “kompeni”. Namun, sebelum ini, mereka berkumpul di tempat yang sepi di hutan dan bersumpah untuk tidak mematuhi semua perintah Resident23.

Rhebok khususnya sangat marah dan segera menjadi komandan kedua Matulesia. Resident, meskipun sadar bahwa desas-desus telah beredar mengenai ketidakpuasan di antara orang-orang Saparua tetapi yakin dia menegakkan perintah Gubernur dengan cara yang wajar, tidak melihat alasan untuk memberikan bobot pada “gosip pasar”24. Ketika seorang Pieter Souhoka datang untuk melaporkan rumor ini kepadanya, dia menyelidiki masalah itu secara pribadi. Dia juga memanggil Regent van Booy dan Nollothq, dan atas jaminan mereka bahwa semuanya baik-baik saja, dia juga menyuruh Souhoka dicambuk. Namun, beberapa hari kemudian, Nyora Nolloth, Istri Radja, sambil minum kopi dengan Nyonya Van den Berg mengatakan kepadanya dengan seluruh kepolosannya bahwa Souhoka telah mengatakan yang sebenarnya dan telah dihukum secara tidak adil, karena memang ada pertemuan harian di Nolloth, dan orang negeri sedang menyiapkan senjara mereka25. Tetapi, seperti para pemimpinnya di Ambon, begitu juga Van den Berg mengabaikan peringatan itu. 

Radja negeri Siri Sori Serani26, Johanes Kiraulijr, seorang pelayan setia pemerintah Belanda, juga pernah mendengar rencana pemberontakan. Dia enggan memberitahu Resident karena takut Resident akan menyebut dia sebagai informan Resident; akibatnya bisa saja mengakibatkan kematian di tangan penduduk negeri, baik dirinya sendiri maupun keluarganya. Karena itu dia memutuskan untuk melaporkan desas-desus ini kepada Gubernur di Ambon secara langsung, tetapi baik Gubernur Van Middelkoop maupun sesama Komisaris Engelhard tidak akan mempercayai laporan rahasianya, dan atas masalah ini dia ditahan dengan status tahanan kota di Ambon.

Resident van Haruku, Uijtenbroek, juga mendapat peringatan dari beberapa Regent, termasuk Raja negeri Pelauw. Resident ini memanggil Radja negeri Sameth dan diam-diam memerintahkannya untuk menyelidiki. Raja ini pada waktunya melaporkan bahwa desas-desus itu adalah isapan jempol dari imajinasi para informan, dan Resident mengirimnya ke Ambon, dimana, seperti Raja Siri Sori, dia ditempatkan di bawah pengawasan ketat polisi.

====================================

Ambon membutuhkan kayu untuk keperluan bangunan27. Van den Berg menerima pesanan untuk memotong dan mengangkut kayu-kayu ini. Kerja wajib ini menimbulkan ketidakpuasan28. Namun, kayu tersebut telah dipotong dan dimuat dengan arumbai29 di Porto. Resident, yang kini telah diperingatkan oleh peristiwa minum kopi dari Nyora van Nolloth, memutuskan untuk mengirim petugas ke Porto dengan perintah untuk memberangkatkan kapal ke Ambon bersama dirinya, dengan surat yang memberitahu Gubernur tentang keadaan atau situasi saat itu30. Petugas itu ditahan oleh kerumunan orang yang tidak bersahabat yang menolak untuk membiarkan kapal itu berlayar, menganiaya dia dan menahannya.

Kisah awal pemberontakan disajikan dalam Laporan Porto31, ditulis dalam bahasa Melayu oleh seorang Kepala Sekolah (Guru Djemaat) Portos. Laporan ini mencatat tentang penjarahan pos perahu/kapal di Porto. Laporan ini dimulai dengan menggambarkan bagaimana 6 orangt, termasuk Johannes Matulesia, saudara laki-laki Thomas Matulesia, berkeliling mengunjungi rumah-rumah penduduk di Haria untuk mendesak orang-orang itu datang ke pertemuan di “hutan belantara” negeri Hariau, untuk membahas desas-desus bahwa kompeni akan memaksa orang-orang pergi ke Jawa sebagai serdadu. Seratus orang kemudian berkumpul dan, setelah berdoa, memutuskan untuk menghancurkan Benteng Duurstede Saparua. Siapa pun yang menolak untuk berpartisipasi akan dibunuh oleh penduduk dan keluarganya dimusnahkan. Enam hari kemudian, pada tanggal 9 Mei, diadakan rapat lagi untuk menunjuk seorang pemimpin atau Kapitan. Thomas Matulesia bangkit dan berkata: "Saya akan menjadi Kapitan dan akan mengumpulkan armada Orembaai, menyerang dan menghancurkan Fort Duurstede dan membunuh Residen".

Pada tanggal 15 Mei 1817, setelah mendengar tentang pecahnya kerusuhan di Porto, Residen, yang betapa pun gagalnya, tampak dengan berani, pergi ke Porto sendirian, dimana dia didatangi oleh para pemberontak dan tidak diizinkan untuk kembali ke rumah. Ketika berita ini sampai ke Saparua, juru tulisnya yaitu Ornek, segera menunggang kuda untuk membebaskan atasannya, tetapi setelah menghadapi massa bersenjata dan tertembak di tangan, ia terpaksa kembali ke Saparua untuk meminta bantuan. Ornek melakukan upaya kedua dengan pasukan sebanyak 12 serdadu Jawa dan sekitar 20 orang burger bersenjata. Setelah juga jatuh korban, mereka kembali mundur ke Saparua sekali lagi. Di antara para pemberontak yang mereka temui adalah Risakotta, Strudiekv, Pattiwaelw dan Thomas Matulesia, sebagian besar tinggal di Haria.

Para pemberontak bermaksud untuk membunuh Residen dengan segera tetapi Risakotta32 berdebat dengan massa yang menjelaskan bahwa pemberontakan adalah masalah seluruh penduduk pulau; mengapa Resident harus dibunuh di Porto atau Haria, sehingga kesalahan akan ditimpakan pada 2 negeri ini saja. Resident kemudian diizinkan untuk kembali ke Saparua dan benteng Duurstede. Peringatan Risakotta dapat menunjukkan bahwa dia tidak sepenuhnya yakin bahwa pemberontak akan menang, atau bahwa simpatinya setidaknya sampai batas tertentu dengan Resident. Sentimen yang sama juga bisa menjadi alasan mengapa Souhoka dan yang lainnya melaporkan pertemuan-pertemuan rahasia di hutan kepada pihak berwenang.

Tidak lama setelah kepulangannya, Van den Berg menerima kunjungan dari Anthonie Rhebok dan Latumahina, putra-putra keluarga terkemuka Saparua, yang ia cambuk beberapa minggu sebelumnya. Sekilas Rhebok tampaknya telah menerima hukuman dengan baik karena dia sekarang datang, jelasnya, untuk memberikan nasehat yang baik kepada Resident. Dia mencontohkan situasi krisis karena tidak hanya Pulau Saparua yang memberontak, tetapi pulau Ambon juga terlibat dalam gerakan itu. Daripada mengambil tindakan keras, katanya, akan lebih bijaksana untuk mencoba menyelesaikan masalah ini secara damai. Van den Berg menyatakan kesiapannya dan meyakinkan Rhebok bahwa dia menyesali hukuman yang harus dia berikan. Atas saran Rhebok, Resident kemudian menulis surat kepada orang-orang Siri Sori Slam, yang menurut Rhebok merasa sangat dirugikan. Rhebok setuju untuk mengirimkan surat itu, tetapi yang dia lakukan hanyalah menempelkan surat itu pada sebuah tiang di pasar Saparua. Rhebok tidak ragu menggunakan kesempatan untuk melihat seperti apa pertahanan Benteng Duurstede. 

Teluk Saparua/Tiouw, 1817

Tampaknya sulit dipercaya, tetapi Nyonya Van den Berg entah bagaimana berhasil mendapatkan perahu untuk pergi ke Ambon dengan sepucuk surat kepada pamannya, Komisaris Engelhard, memohon agar pamannya mengirim bantuan. Juru tulis, yaitu Ornek, yang selalu setia, mengirim surat melalui pembawa surat yang sama dengan surat istri Van den Berg kepada Gubernur, Komisaris Middelkoop.

Alih-alih mempertahankan bentengnya sepenuhnya dan, sambil menunggu kedatangan bala bantuan, membawa senjatanya ke dalam permainan untuk menakut-nakuti para pemberontak, Resident, mungkin karena dia yakin situasinya tidak ada harapan lagi, telah mengibarkan bendera putih. Tindakan ini, pada pagi hari tanggal 16 Mei 1817, jelas bukan tindakan yang akan mendorong garnisun. Aliran pemberontak terus bertambah dan Matulesia sekarang diminta untuk memimpin serangan ke Benteng. Pada gelombang serangan pertama, Resident tertembak di kaki dan pingsan. 12 serdadu Jawa – seluruh garnisun pribumi – berpikir bahwa Resident sudah mati, melompati tembok, mungkin untuk melarikan diri, tetapi segera dibunuh oleh para pemberontak, yang sekarang memanjat tembok dalam jumlah ratusan. Resident yang masih hidup, diikat ke sebuah tiang, seorang kepala sekolah/guru djemaat melangkah maju untuk berdoa dan Resident ditembak berulang kali. Para pemberontak kemudian menyeret Nyonya Van den Berg dan anak-anaknya ke tempat mayat suaminya terbaring dan mereka ditikam sampai mati. Hanya 1 anak, seorang anak laki-laki berusia sekitar 5 tahun, yang selamat33. Para pemberontak kemudian – secara signifikan – mengibarkan bendera Inggris di atas benteng.

Sementara pemberontakan di Saparua sedang berlangsung dan telah menyebar ke Haruku dan Hitu, para Komisaris Jenderal di Ambon bertindak dengan cara yang paling aneh. Engelhard melaporkan perselisihan histeris yang pecah ketika Van Midelkoop berencana mengirim Resident baru ke posnya tanpa memberinya dana apa pun. Ketika Engelhard tidak setuju dengan keputusan itu, Middelkoop menyatakan bahwa dia tidak dapat memerintah jika dihalangi oleh Engelhard dan mengancam akan melepaskan jabatan Gubernur. Dia (Middelkoop) menuntut agar ia ditahan oleh Komandan Militer, yang segera menolak, dengan mengatakan bahwa dia tidak berwenang untuk menangkap seorang gubernur. Van Middelkoop sempat dibujuk, tetapi insiden itu menunjukkan kapasitas orang-orang yang bertanggung jawab atas Maluku pada saat kritis itu34.

==================================

Ketika surat Nyonya Van den Berg dan surat dari juru tulis Ornek tentang pemberontakan di Saparua sampai di Ambon, Dewan Pemerintahan berkumpul untuk membahas cara dan sarana untuk memadamkan pemberontakan. Komandan kapal H.M. Evertsen, Verhuellx ingin segera berlayar ke Saparua untuk mengambil alih Benteng Duurstede dari pihak pemberontak. Ada kekurangan dan kelemahan dari rencana ini, seperti ukuran kapal yang besar untuk perairan dangkal Saparua dan cuaca pada waktu itu sepanjang tahun. Angin muson timur telah bergerak, membuat laut sangat ganas di wilayah selatan pulau-pulau Uliaser. Dalam jurnal kapal beberapa minggu ke depan beberapa kecelakaan kapal yang disebabkan oleh angin muson dicatat35, tetapi karena komandan Evertsen siap untuk membawa kapalnya, ada banyak yang bisa dikatakan untuk tindakan tegas segera untuk membebaskan benteng, menyelamatkan orang-orang dan segera menumpas pemberontakan. Nasib yang menimpa pemerintah rakyat di Saparua pada tanggal 16 Mei 1817 masih belum diketahui di Ambon. Alih-alih mengindahkan pendapat Verhuell, Dewan mendengar nasehat yang pasti bermaksud baik dari Resident Martin (yang akan berlayar menuju Benggala keesokan harinya), dan kepala pelabuhan, yaitu Whitey, yang berdasarkan pengalaman sebelumnya, merasa bahwa tidak bijaksana untuk mengirim kapal yang sedang “bersiaga”. Satu-satunya kapal yang tidak terlalu besar yang bisa berlayar keluar Teluk Ambon dan ke Teluk Saparua pada wakti itu, mereka menyarankan, adalah  Korvet H.M. Irish. Tetapi kapal ini baru tiba di pelabuhan hanya sehari sebelumnya dalam keadaan tidak baik dan akan membutuhkan beberapa hari lagi untuk kembali bisa berlayar.

Dewan memutuskan pada tanggal 16 Mei 1817, bahwa kapal Evertsen harus tetap bersiaga di Ambon dan Fregat H.M. Maria Reijgersbergen, yang diharapkan segera tiba di pelabuhan dari Ternate, akan dikirim ke Saparua. Verhuell menerima perintah untuk melabuhkan kapalnya tepat melewati titik tenggara Benteng Victoria Ambon, dengan kata lain tepat di depan bagian utama kota Ambon, ruang amunisinya diisi dengan peluru tajam sehingga jika terjadi peristiwa pemberontakan yang tidak diharapkan, tindakan tegas bisa segera diambil36.

==========================

Karena tidak ada kapal yang tersedia, Dewan memutuskan untuk mengirim ekspedisi ke Saparua dengan kapal-kapal milik pribumi. Organisasi ini berada ditangan Letnan Kolonel Kraijenhoffz, seorang perwira lemah yang pengangkatannya sebagai komandan militer merupakan pilihan kedua, yang merupakan gejala dari kekurangan perwira di angkatan darat37.

Ia menunjuk Mayor Beetjesaa dari korps/divisi insinyur (mesin), yang beberapa tahun sebelumnya telah bekerja di Saparua sebagai insinyur sipil dan dengan demikian memiliki pengetahuan lokal, untuk mengambil alih komando sebuah detasemen yang terdiri dari 120 orang kapal angkatan laut, dibawah perwira mereka sendiri, ditambah 30 pasukan Eropa dan 50 serdadu pribumi. Seluruh rencana itu kemudian dikritik oleh Jenderal Anthingab, Komandan Angkatan Darat, dengan alasan bahwa Beetjes, yang hanya bertugas di divisi teknik/mesin, dan dengan demikian tidak memiliki pengalaman sebagai perwira lapangan, yang diberi tugas komando dan juga atas komposisi dasar detasemen. “ Seharusnya detasemen itu terdiri dari pasukan terlatih, dan pelaut, sedangkan yang tentu saja tidak berani dan kurang berpengalaman dalam hal taktis, harus tetap di Ambon untuk melindungi benteng”38

Lukisan ilustrasi pertempuran di Waisisi, 20 Mei 1817

Ekspedisi meninggalkan Ambon pada tanggal 17 Mei 1817, berbaris menuju Baguala Pass (Passo), dimana diharapkan meneemukan perahu untuk membawa mereka ke Saparua39. Saat tiba, ditemukan bahwa tidak ada peahu yang tersedia dan pasukan melanjutkan perjalanan ke Tial dimana perahu didapatkan dan penyeberangan dilakukan ke negeri Haruku. Di sini, mereka mendengar kabar bahwa wilayah pantai timur pulau Haruku telah bergabung dengan pemberontakan Saparua; informasi ini membuat Beetjes memutuskan untuk meninggalkan suatu detasemen berisi 55 orang di negeri Haruku. Dengan sisa pasukannya, dia sekarang mengelilingi pantai utara pulau Haruku dan kemudian dan kemudian di antara pulau-pulau Haruku dan Saparua dibawah kegelapan, mencapai teluk saparua di pagi hari. Ombak yang kuat membuat pendaratan 10 kora-kora di dekat Benteng Duurstede tidak mungkin, sehingga perahu-perahu yang berlayar sejajar, mengarah menuju Paperu, semua menuju ke arah pantai secara bersama-sama. Lokasi pendaratan terbukti menjadi pilihan yang tidak menguntungkan karena tanahnya sangat berawa-rawa. Pendaratan dilakukan dengan tergesa-gesa dengan banyak pasukan melompat ke air dan membuat bubuk mesiu mereka basah. Para pemberontak, yang dipimpin oleh Matulesia dan Rhebok40, bersembunyi di semak-semak belukar lebat yang membentang di sepanjang pantai, dan mereka melepaskan tembakan beruntun dan sangat akurat. Pasukan terbagi menjadi 3 divisi di pantai tetapi perlawanan terlalu kuat dan mereka dipukul mundur. Sebagian besar perwira, termasuk komandan, Mayor Beetjes, tewas. Perahu-perahu, dibiarkan tidak terjaga, dan telah hanyut menjauhi pantai sehingga pasukan yang mundur harus berenang menuju perahu-perahu itu. Banyak dari orang-orang yang kelelahan, yang telah beraktivitas selama 24 jam, ditembak atau ditebas dengan parang saat mereka berada di dalam air yang mencapai leher mereka. Satu perahu dengan sekitar 50 orang terbalik dan semuanya tenggelam. Hanya 1 perahu yang lolos dan akhirnya berhasil mencapai benteng Zeelandia di Haruku. Hanya 30 orang yang selamat dari pertempuran.

Matulesia, yang telah memenangkan pertempuran dengan sangat baik, sekarang mengganti seragam sederhananya dengan seragam Mayor Beetjes, dan sebagai hiasan lebih lanjut digantung tanda pangkat ketiga, seperti yang disebutkan di atas, di dadanya. Ia memerintahkan kepada penduduk pulau Nusa Laut yang menurutnya tidak mendukungnya dengan baik, untuk menguburkan jenazah. 2 orang yang selamat ditemukan di antara mayat-mayat itu dan keduanya dibiarkan hidup; satu karena dia berpura-pura menjadi orang Inggris dan sebagai bukti dia menunjukkan tatonya, dan yang lain karena dia adalah seorang penabuh genderang dan penjahit41.

Para pemberontak tidak berhenti, mereka memanggil seuruh penduduk di pesisir selatan pulau Seram dan seruan mereka mendapat tanggapan yang besar. Partisipasi mereka yang siap mungkin dapat dijelaskan oleh fakta bahwa Belanda diketahui berniat menghapus sepenuhnya perdagangan penyelundupan rempah-rempah yang menguntungkan antara orang Seram dan Makassar. Melewati banyak gunung yang ganas, Alifuru menyeberang ke Saparua dan mengambil bagian dalam pertempuran ketika pecah lagi. Matulesia juga mengirim perahu orang Seram ke Raja Bali, untuk meminta pasokan mesiu. Raja menyanggupi tetapi kapal itu dicegat oleh korvet Wilhelmina dan muatannya disita, tetapi upaya lain lebih berhasil. “Laporan Porto” menyebutkan bahwa ada 10 kesempatan antara 28 Agustus dan 13 Oktober 1817, Matulesia membeli bubuk mesiu, dan membayarnya dengan cengkeh yang ia temukan di gudang-gudang di Benteng Duurstede42.

Keikutsertaan Alifuru Seram tidak bisa dilihat sebagai perluasan konflik di luar Maluku; Seram Alifuru adalah bagian dari Maluku. Pasokan mesiu dari Bali juga tidak bisa dianggap sebagai indikasi. Orang Bali tidak berselisih dengan Belanda; baik Bali dan Lombok semuanya merdeka meski hanya sebatas nama sampai tahun 1841 dan bahkan pada tahun 1885 hanya sebagian kecil dari Bali yang secara efektif “dijajah”. Barter bubuk mesiu dengan rempah-rempah murni masalah perdagangan sejauh menyangkut orang Bali. Bagi mereka itu adalah bisnis tanpa resiko, kargo diangkut dengan kapal/perahu milik orang Seram dan pembayaran rempah-rempah diterima sebelum bubuk mesiu dikirim. Pemberontakan Ambon tidak pernah meluas ke pulau-pulau di luar wilayah Maluku.

============================

Pasukan Belanda yang selamat dari ekspedisi Beetjes, setibanya di Benteng Zeelandia di Haruku, bergabung kembali dengan 50 orang yang ditinggalkan sebelumnya dan bala bantuan yang telah tiba di sana, 30 orang yang telah tiba di sana pada 22 Mei 1817. Kapal Inggris “Swallow” dibawah Kapten Wilsonac telah membawa 2 meriam dari Ambon untuk menggantikan dudukan meriam di benteng Zeelandia yang telah lapuk43. Ini juga tidak bisa dilihat sebagai perluasan perselisihan lebih jauh dengan melibatkan Inggris. Beberapa kapal Inggris yang terlibat dalam berbagai ekspedisi hanya disewa oleh Belanda. Kapal-kapal itu adalah kapal milik pribadi dan semua transaksi dilakukan antara masing-masing nakhoda dan pemerintah Belanda, dan seperti yang akan terlihat berikutnya, nakhoda itu sendiri mendapat ketidaksenangan/ketidaksetujuan keras dari pemerintah di Benggala. Bala bantuan lebih lanjut tiba di Zeelandia pada tanggal 22 Mei 1817, sehingga kekuatan garnisun totalnya menjadi 106 orang.

Kapal penjelajah Inggris “Nautilus” sekarang tiba di Ambon, dalam perjalanan dari Ternate ke Bengal untuk mengambil/membawa Resident van Ternate asal Inggris, Mackenziead. Komisaris Maluku meminta kapten “Nautilus”, komandan Hepburnae, untuk membantu memadamkan pemberontakan, terlebih lagi “sejak pemberontakan dilakukan dengan membawa bendera Inggris dan akan menganggap apa yang mereka lihat sebagai penghinaan terhadap bendera mereka, dimana hal itu harus dibalaskan dendamnya”44. Tetapi Mackenzie menolak mentah-mentah, dan menunjukkan bahwa bahwa keterlibatan Kapten Wilson dari kapal “Swallow” tidak sesuai dengan persetujuannya dan bahwa pemiliknya “harus membenarkan tindakannya untuk pemerintah dan bahwa kapalnya mungkin akan disita”, karena dia telah berperang melawan orang-orang yang dengannya Inggris “memiliki hubungan paling lama beberapa waktu lalu dan yang tidak menyakiti mereka”45. Keluhan selanjutnya tentang penolakan ini, kepada Gub Jend di Benggala, menimbulkan jawaban singkat bahwa masing-masing komandan tentu saja tidak berwenang untuk menggunakan kapal pemerintah untuk tujuan yang tidak dimaksudkan, dan bahwa pemerintah di Benggala sangat terganggu karena kapal-kapal pedagang swasta Inggirs telah membantu Komisaris Maluku dalam perangnya dengan para pemberontak46. Penolakan Inggris untuk memberikan bantuan terhadap usaha penumpasan pemberontakan ini, harus dicatat, bertentangan langsung dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah di Bengal dalam pertukaran korespondensi antara pemerintah (Inggris) di Batavia47 dan Gub Jend dalam Dewan Pemerintah di Fort (Benteng) William48 pada tahun 1816, mengenai implikasi dari Perjanjian London tanggal 13 Agustus 1814. Dalam jawaban mereka terhadap poin-poin yang diajukan oleh pemerintah Batavia, pemerintah di Bengal menulis :

Para 15. Pertanyaan-pertanyaan yang dibahas dalam alinea sebelunya mencakup semua yang digolongkan di bawah bagian politik akan menjadi subjek khusus. Karena itu saya melanjutkan ke satu-satunya poin yang tersisa, yang, meskipun sebagian bersifat militer, harus ditentukan terutama oleh pertimbangan politik. Pertanyaannya adalah jika para pemimpin pribumi menolak mengakui Belanda, pemerintah Inggris berhak (dan jika demikian, sampai sejauh mana) untuk memaksa mereka untuk melakukannya.

Para 16. Mengenai hal ini saya diarahkan untuk mengamati bahwa, jika ada oposisi yang dibuat/dilakukan oleh penduduk pribumi terhadap kedatangan Belanda, kita terikat untuk menekannya, karena kita terikat untuk menguasai mereka   

=============================

Di Haruku, sejumlah besar pemberontak telah berkumpul dan pada tanggal 30 Mei 1817 dilakukan serangan terhadap Fort Zeelandia dengan kekuatan 600 orang, tetapi rentetan tembakan menyebabkan korban yang begitu banyak sehingga pihak pemberontak segera mundur49

Verhuell melaporkan bahwa pada hari berikutnya, “seorang Hindia”50 tertangkap karena sedang memata-matai benteng. Ketika diancam akan disiksa, ia mengungkapkan bahwa serangan massal direncanakan pada tanggal 2 Juni 1817, dengan kekuatan 2.000 orang, menyerang dari 5 titik secara bersamaan. Berita ini langsung dikirim kepada Gubernur Middelkoop yang mengirim 200 pasukan tambahan. Serangan itu terjadi diperlambat 1 hari. Benteng diserang di beberapa titik, tetapi parang dan tombak yang dimiliki sebagian besar pemberontak tidak sebanding dengan senjata, dan sekali lagi pihak pemberontak kembali mundur. Beberapa serangan kecil terjadi selama beberapa hari berikutnya tetapi benteng Zeelandia tetap bisa bertahan. Selama pemberontakan, bendera Inggris dikibarkan di berbagai titik di pulau Haruku, mungkin dengan tujuan untuk “memenangkan hati” Kapten Wilson dari kapal Swallow, kapal yang disewa oleh komisaris Maluku, tetapi hal itu tidak mencegah Kapten Wilson untuk mengibarkan bendera Belanda selama pertempuran dan menembakan meriam ke arah pemberontak51.

“Laporan Porto” menggambarkan kemarahan Thomas Matulesia atas laporan tidak menyenangkan yang sampai kepadanya dari Haruku. Dia secara pribadi tidak mengambil alih komando pertempuran di sana, tetapi telah mengirim parangnya bersama pihak pemberontak sebagai “jimat” atau tanda keberuntungan52.

“Pada tanggal 16 Juni 1817, orang-orang dari Hoelalioe, Raja Oma, kepala sekolah/guru djemaat, dan 5 orang dari Haruku datang memberitahu Matulesia bahwa bekas Raja Aboru ingin menyerah tetapi musuh telah menembaknya. Matulesia menendang utusan ini dan penduduk desa Haria memukuli mereka dengan popor senapan dan salah satu dari mereka dipukuli sampai mati. Pada tanggal 18 Juni 1817, orang-orang membawa surat minta perdamaian ke baileo desa Haria53 dan memberikannya kepada Matulesia yang melemparkannya ke lantai. Orang-orang Latu dan Iha juga mengirim surat tetapi Matulesia membakarnya atau merobeknya”54.

 

Tidak disebutkan lebih lanjut dalam Laporan Porto tentang pertempuran di Haruku dan ada celah di dalamnya dari 26 Juni 1817 hingga 21 Juli 1817af.

====================

Matulesia yang telah membuktikan dirinya sebagai komandan lapangan yang baik, menyadari bahwa dengan kemenangannya atas Fort Duurstede, revolusi itu belum berakhir. Dia mulai membangun “benteng-benteng” di sepanjang jalan di Saparua yang kemungkinan akan digunakan oleh pasukan Belanda. Ia membangun tembok-tembok dari batu karang, “tinggi 6 kaki dan tebal 4 kaki. Setiap 30 meter, ia membangun sebuah “lintasan”, sebuah dinding secara diagonal di seberang salah satu dinding paralel, meninggalkan celah atau gerbang sempit di satu ujung, dan di ujung lainnya di ujung berikutnya. Bentuk ini memaksa siapa pun yang bergerak maju akan saling menyilang di antara lintasan yang terus menerus terkena tembakan musuh dari lintasan berikutnya”.55

====== bersambung ======

 

Catatan Kaki

1.         Bab ini berkonsentrasi pada jalannya peristiwa revolusi. Karena diskusi lengkap tentang sebab-sebab langsung dari pemberontakan - dilihat dalam konteks analisis kontemporer tentang sebab-sebab itu - menjadi pokok bahasan Bab IV, hanya rujukan sepintas pada sebab-sebab ini yang dibuat pada tahap ini.

2.        Enklaar, op.cit. p.48.

3.        Van den Berg. "De Tragedie op het Eiland Saparua in Bijdragen Vol. 104 (1948) pp. 242-245.

4.        R.Leirissa. "Notes on Central Maluku in the 19th Century”, Prisma No. 22, September 1981, pp. 63-64. Dalam artikel ini, Leirissa berpendapat bahwa sebagian besar masalah ini muncul dari sengketa tanah dan perbatasan, yang menyebabkan pertempuran tak berkesudahan dan seringkali berdarah antar negeri/desa. Dia mencatat bahwa penentangan terhadap monopoli cengkih tidak sering terjadi. Selain Pemberontakan Pattimura tahun 1817, hanya percobaan pemberontakan tahun 1829 yang diakibatkan oleh monopoli ini. Tidak ada perlawanan/oposisi  besar lainnya yang dapat dicatat atas dasar monopoli

5.        Olivier (Land en Zeetogten in Nederland's Indie, Amsterdam (1830) Vol.I hal.131) mengutip beberapa contoh penyalahgunaan yang luar biasa dari beberapa pejabat di masa VOC : “Resident (Saparua) yang pembantunya/pelayannya adalah seorang penata rambut, menyuruh orang ini membuatkan rambur palsu dari bulu-bulu kambing. Sebagai tanda kehormatan, ia (Resident) menyuruh para Regent memakai/menggunakan rambut palsu tersebut setelah rambut mereka sendiri dipotong. Setiap Regent harus membayar 100 ducat untuk kehormatan ini.

6.       Laporan Buyskes 472, ff. 1-2. Archief Schneither Inv. No. 57. No 128 Rijksarchief, Den Haag.

7.        Meski jabatan resmi Martin adalah “Resident”, tetapi di sana (Maluku) ada 8 Resident lain di Maluku yang menjadi bawahannya. Oleh karena itu, kekuasaannya adalah seperti seorang Gubernur. Pengaturan seperti ini berlaku di Hindia Timur/dunia Melayu di masa Inggris.

8.        Report of Mr Livett, pedagang Inggris yang menetap di Ambon kepada London Missionary Society, tertanggal 12 Mei 1818

9.       Enklaar, op.cit. p.47.

10.     P.V.d.Kemp "Herstel van het Nederlandsch Gezag”,  Bijdragen Vol. 66 (1912) p.148.

11.       ibid Vol. 65 (1911) p.45l.

12.      Pearce Carey op.cit. p.305.

13.      J.v.Doren, Thomas Matulesia het Hoofd der Opstandelingen 0p het land Honimoa”. Amsterdam (1857) pp. 175-188.

14.      Buyskes op.cit. f.9

15.      ibid f.9.

16.     e.g. J.Boelen "Het Merkwaardig Dagboek vaneen Nederlandsch Zeeman Vol II, Amsterdam 1860.

17.      Ver Huell,Q.M.R. Herinneringen aan een Reis naar Oost Indie, Haarlem (1835) p.37.

18.      Buyskes op.cit. f.10

19.     Middelkoop, Sourabaya Report.

20.    Middelkoop, Sourabaya Report.

21.      Engelhard's Batavia Report.

22.     Buyskes ibid.

23.     C. Van den Berg. "The Tragedie op het Eiland Saparoea in het jaar 1817 tijdens den Opstand in the Molukken", Bijdragen Vol. 109 (1945) p.262. Penulis artikel itu adalah cicit dari Residen Van den Berg dan keturunan langsung dari anak yang selamat dari pembantaian tersebut. Sumbernya adalah laporan dari Benjamin Pattiwael, bagian dari arsip Ds. de Vries yang merupakan koleksi keluarga Van den Berg.

24.     J.Boelen, Het Merkwaardig Dagboek van een Nederlandsch Zeeman, Amsterdam (1865) Vol. II p.17.

25.     V.d.Berg (1948) op.cit. p.281.

26.    Negeri Siri Sory terbagi menjadi 2 komunitas; yaitu Siri Sori Serani yang beragama Kristen dan Siri Sori Slam yang beragama Islam. Masing-masing dari 2 komunitas ini memiliki pemimpinnya (Radja/Pattij) sendiri

27.     Baik pemotongan kayu maupun penyediaan orembaai untuk pengangkutannya dituntut berdasarkan kewajiban kerja wajib. Orang-orang Porto dan Haria, dari mana kayu akan dikirim, tidak puas dengan upah yang dibayarkan. Meskipun penduduk di masa V.O.C. selalu diwajibkan untuk memasok baik perahu dan pendayung untuk pemerintah, kebiasaan ini telah berakhir di bawah pemerintahan Inggris dan pelaksanaan kewajiban ini kembali sangat dibenci. Lebih banyak akan dijelaskan soal ini nanti di bab ini.

28.     Buijskes mengutip sebagai contoh perintah Van Middelkoop yang diberikan secara ceroboh pada tanggal 12 April 1817 tentang pasokan kayu. Lihat bab IV

29.    Orembaai – perahu besar ---lihat gambar ilustrasi

30.    Van Doren. p 18

31.      Laporan Porto adalah laporan tanpa tanda tangan/tidak ditandatangani tertanggal 13 November 1817. Ini adalah laporan tentang pemberontakan oleh kepala sekolah/guru djemaat Porto yang ikut serta dalam pemberontakan. Ada beberapa keraguan mengenai identitas asli penulis laporan ini, apakah Risakotta atau Strudiek. Naskah aslinya berada di Arsip Van Alphen, Rijks Archief, Den Haag, no XXII – 315

32.     Porto Report, passim.

33.     Bocah laki-laki yang selamat terluka parah; dia memiliki pedang yang dipotong di kepala dan telinganya dipotong menjadi dua. Malam harinya ketika beberapa penduduk asli datang untuk melihat lagi tempat pembantaian itu, anak itu mengangkat kepalanya sambil berkata "Goea belom mati" - saya belum mati. (Sumber: Laporan Pattiwael dikutip Van den Berg (1945) op.cit.) Bdk. Ch. III hal.78. Salah satu wanita mengambilnya dan membawanya ke Matulesia. Ada dua versi reaksinya. Yang pertama adalah bahwa dia berkata kepada mereka yang masih ingin membunuh anak itu bahwa "Tuhan telah menunjukkan bahwa Dia ingin anak itu hidup dan Tuhan akan marah jika keinginannya diabaikan". Versi lainnya adalah di mana seorang mantan abdi Residen meminta agar dia dan istrinya dapat menjaga anak itu, kata Matulesia; "Tra verdoelie, abil itu babie putih" - Tidak masalah, ambil babi putihnya. Versi mana pun yang benar, anak itu diasuh oleh Salomon Pattiwael dan istrinya, yang tinggal di hutan hingga akhir pemberontakan. Pada November 1817 sekelompok pemberontak menyerah di Tiouw dengan membawa anak itu bersama mereka. Komandan Ver Heull kemudian mengasuh anak itu di atas kapalnya dan pada waktunya menyerahkannya kepada kakek neneknya di Sourabaya. Anak laki-laki itu hidup sampai usia 82 tahun. Sumber: Ver Huell hal 230-240. Cicit laki-laki itu adalah penulis De Tragedie in Saparua, sebuah upaya untuk membenarkan perilaku Residen Van den Berg pada tahun 1817

34.     Engelhard Letter to Commission General, Batavia dated 12 June 1817, quoted by Van der Kemp in Bijdragen Vol. 65 (1911) p.6l1.

35.     Ver Huell Vol. I p.102.

36.    Ver Huell Vol. I, p.129.

37.     V.d.Kemp, Bijdragen Vol. 65 (1911) p.403 and pp. 407-408.

38.     Anthing Report 20 June, 1817, quoted by V.d. Kemp in Bijdragen (1911) p.602.

39.    Journal Lt. H.P.M.’t Hoofd, Rijksarchief, The Hague. passim.

40.    Van Doren, Op.C1t. . p. 32

41.      ibid.

42.     Bijdragen Vol. 65 (1911) p.641

43.     Verhuell. Vol. II, pp. 181-188.

44.     Engelhard Letter to Batavia dated 12 June 1817. Schneither Archief, Rijksarchief,The Hague

45.     V.d.Kemp Bijdragen Vol. 65 (1911) p.64l.

46.    ibid p.642.

47.     Letter from The Government of Batavia to Earl Moira, Governor General in Council, 15 March 1816.

48.     Letter from Governor in Council, Fort William to Charles Assey Esq., Secretary to the Government of Batavia, 18 May 1816. (1. O. L. & R.)

49.    Verhuell. Vol. II, pp. 142-144

50.    Pada masa itu orang Indonesia kadang-kadang dirujuk sebagai "India" atau “Hindia”

51.      Journal Lt. H.P.M. 't Hoofd.

52.     Van Doren, pp. 34-35.

53.     Markas Besar Matulesia untuk sebagian besar waktu.

54.     Porto Report

55.     Verhuell, Vol. I. p.249.

 

Catatan Tambahan

  1. N. Engelhard, Nicolaus Engelhard diangkat sebagai Komisaris Pertama pengambilalihan wilayah Maluku dari tangan Inggris melalui besluit Komisaris Jend tertanggal 31 Desember 1816 no 38
  2. Jacobus Albertus Middelkoop Engelhard diangkat sebagai Komisaris kedua pengambilalihan wilayah Maluku dari tangan Inggris sekaligus Gubernur Maluku melalui besluit Komisaris Jend tertanggal 31 Desember 1816 no 38
  3. Istri dari Johannes Rudolph van den Berg, Resident van Saparoea, yaitu Johana Christina Umbgrove, lahir di Tegal pada 29 April 1791, anak kedua (putri pertama) dari pasangan Jan Lubbert Umbgrove dan Constantia Cornelia Alting.  Costantia Cornelia Alting adalah anak kedua (putri kedua) dari pasangan Willem Arnold Alting (Gub Jend VOC – 1780 s/d 1797)  dan Hendrina Maria Knabe.

Relasi mereka bisa dijelaskan secara singkat :

Willem Arnold Alting (1724 – 1800)  x Hendrina Maria Knabe  (1741 – 1774):

§  Pieternella Gerhardina Alting, lahir pada 3 Mei 1857 dan meninggal pada 20 Jan 1818

§  Johana Maria Alting, lahir pada 1767 dan meninggal pada 1789

§  Costantia Cornelia Alting, lahir pada 23 September  1770, dan meninggal pada 16 Maret  1840

 

Pieternela Gerhardina Alting menikah 2 kali yaitu :

§  Samuel Jan Abeleven (1745 – 1776), putra dari Abraham Abeleven (1714 – 1776), Gubernur VOC Ternate (1755 – 1777)

§  Johannes Siberg (1740 – 1817), Gub Jend Hindia Belanda (1801 – 1805)

 

Willem Arnold  Alting memiliki 2 orang adik, yaitu :

§  Johana Christina Alting (1725 – 1765)

§  Maria Alting (1733 – 1817) menikah dengan Nicolaus Engelhard II atau kedua (1733 – 1765) :

Ø  Gerardina Fockelina Engelhard (1758 – 1838)

Ø  Nicolaus Engelhard III atau ketiga (1761 – 1831) : figur ini yang menjadi Komisaris Pertama pengambil alihan wilayah Maluku

 

  1. Lihat relasi keluarga mereka pada catatan tambahan huruf c di atas
  2. Ayah dari Johannes Rudolph van den Berg yaitu Johannes Gerardus van den Berg (1762 -1842) menjadi Resident van Jogjakarta (1799 – 1803)
  3. Komisaris Engelhard atau Nicolaus Engelhard adalah paman dari Van den Berg dari sisi istrinya, bukan dari sisinya. Lihat catatan tambahan huruf c di atas
  4. Johannes Rudolph van den Berg ditunjuk menjadi Resident van Saparoea melalui besluit Komisaris Jend tertanggal 31 Desember 1816 no 38
  5. Bahkan hingga tahun 1821, produk cengkih dari karesidenan saparua lebih banyak/besar dibandingkan karesidenan/pulau lain di Gubernemen Amboina/Maluku
  6. el dorado berarti emas....yang bermakna bahwa karesidenan Saparua menjadi tempat “basah” atau kesempatan “emas” bagi seorang Resident untuk melakukan korupsi
  7. Blondell yang dimaksud adalah Daniel Jacob Blondell, menjadi Resident van Saparua sebanyak 2 kali yaitu pada 1785 – 1798 dan 1804 – 1807.
  8. Uijtenbroek yang dimaksud adalah Arnoldus Uijtenbroek. Ia menjadi Resident van Haruku pada Maret – Agustus 1817. Ia pernah menjadi Opperchirugijn/dokter bedah di Gubernemen Ambon pada 1803 – 1810. Diketahui menikah dengan Cornelia Matheus.
  9. Bekas Radja negeri Pelauw yang dimaksud adalah Pattijhena Latuconsina (sebelum 1803 – antara 1811 – 1817) sementara bekas Radja negeri Aboru adalah Philipus Benjamin Ferdinandus (sebelum 1803 – antara 1811 – 1817).
  10. Anthonij Rhebok, putra dari Johannes Rhebok, seorang bekas serdadu. Adik-adik dari Anthonij Rhebok bernama Cornelis Rhebok dan Dirk Rhebok. Menurut sumber dari Q.M.R. Verhuell, Anthonij Rhebok berusia sekitar 40 tahun, yang berarti lahir sekitar tahun 1777, berperawakan kuat, tetapi baik hati. Dieksekusi hukuman gantung pada tanggal 16 Desember 1817 melalui besluit tertanggal 13 Desember 1817 nomor 131

§  Q.M.R. Verhuell, Herinneringen van Eene Reis naar de Oost-Indie, volume I, Vincent Loosjes, Haarlem, 1835, hal 244

§  Besluit schout-bij-nacht commissaris-generaal Buijskes 13 december 1817 no. 131, Ambon. Afschrift. NA: collectie Buijskes 1.01.47.05, 4; collectie Schneither 2.21.007.57, 128

  1. Philip Latumahina, dieksekusi hukuman gantung pada tanggal 16 Desember 1817 melalui besluit tertanggal 13 Desember 1817 nomor 129

§  Besluit schout-bij-nacht commissaris-generaal Buijskes 13 december 1817 no. 129, Ambon. Afschrift. NA: collectie Buijskes 1.01.47.05, 4; collectie Schneither 2.21.007.57, 128.

  1. Benjamin Pattiwael, bernama lengkap Benjamin Salomon Pattiwael, putra dari Salomon Pattiwael. Menikah dengan Sofietjie Titaleij pada 19 Juni 1843 dalam usia 28 tahun, yang berarti lahir sekitar tahun 1814/1815. Ia pernah menjadi Gezaghebber van Tiouw dalam tahun 1843, menggantikan kakaknya, Matheus Pietersen Pattiwael, Pattij van Tiouw.  
  2. Salomon Pattiwael, menjadi Pattij van Tiouw sejak tahun 1818 dan sejak 17 Januari 1833 gelarnya menjadi Radja van Tiouw, berdasarkan besluit no 1 dan diberikan zilveren rottingknop (tongkat bergagang perak). Pada tahun 1836, ia disebutkan berusia 80 tahun, yang berarti lahir sekitar tahun 1744

§  J.B.J. van Doren, Bijdragen tot de kennis van Verschillende Overzeesche Landen, Volken enz, eerste deel, Amsterdam, J.D. Sybrandi, 1860, hal 307

  1. Regent (Pattij) van Booi yang dimaksud bernama J.M. Pattiasina dan Regent (Radja) van Nolloth bernama Isaac Nicolas Huliselan yang memerintah (sebelum 1803 – 1820)
  2. Johanes Kiraulij, bernama lengkap Johannes Salomon Kesaulija (Kesaulya), putra dari Salomon Kesaulija, Pattij van Siri Sori (?? – 1804). Johannes Salomon Kesaulija menjadi Pattij van Siri Sori (12 Des 1804 – 20 Mei 1817). Nicolaus Engelhard menyebutnya sebagai seorang yang bermartabat dan terhormat. Sedangkan Joseph Kam menyebut dalam salah satu suratnya, bahwa Johanes Salomon Kesaulija adalah seorang raja pribumi dari Siri Sory yang sangat saleh.

§  N. Engelhard aan zijn zwager J. Siberg te Batavia, Ambon, 3 en 4 juni 1817. Particulier. Minuut of afschrift, eigenhandig. NA, collectie Van Alphen 2.21.004.19, 315

§  P.H. van der Kemp, Het Herstel van Het Nederlandsch gezag in de Molukken in 1817, bagian II dengan sub judul De Opstand in de Molukken onder het bestuur der Commisie Engelhard – Van Middelkoop, dimuat dalam  Bijdragen Tot de Taal-, Land, ende Volkenkunde van Nederlandsch Indies, deel (atau volume) 65, tahun 1911, hal 561-736, khususnya hal 624

§  H. Enklaar, Joseph Kam...........................hal 54, catatan kaki no 68

  1. Hendrik Risakotta, berdasarkan sumber per tanggal 31 Agustus 1804, ia disebutkan baru diangkat sebagai guru, dalam tahun 1817 ia bertugas sebagai guru djemaat untuk negeri Porto dan Haria, serta dalam tahun 1819 sudah bertugas sebagai guru djemaat untuk negeri Tiouw dan Saparua. Ia menikah dengan Elizabeth Pattiselano. Meninggal mungkin sekitar tahun 1845.
  2. Ke-6 orang yang dimaksud adalah Johannes Matullesia, Nicolaas Patinasaranij, Jeremias Tamaela, Marawael Hattuw, Bastian Latuperijsa, dan Harmanus Latuperijsa,
  3. Hutan Waehauw yang berbatasan dengan negeri Tiouw dan Paperu
  4. Figur ini muncul pertama kali dalam sumber J.B.J. van Doren yang kemudian dikutip oleh P.H. van der Kemp. Namun berdasarkan arsip-arsip gereja, tidak ada nama guru djemaat pada tahun 1817 yang bernama Strudiek.

§  J.B.J. van Doren, Thomas Matulesia Het Hoofd der Opstandelingen op Het Eiland Honimoa na De Overname van Het Bestuur der Molukken door den Landvoogd Jacobus Albertus Middelkoop in 1817, J.B. Sybrandi, Amsterdam, 1857, hal 19

§  P.H. van der Kemp, Het Herstel van Het Nederlandsch gezag in de Molukken in 1817, bagian II dengan sub judul De Opstand in de Molukken onder het bestuur der Commisie Engelhard – Van Middelkoop, dimuat dalam  Bijdragen Tot de Taal-, Land, ende Volkenkunde van Nederlandsch Indies, deel (atau volume) 65, tahun 1911, hal 561-736, khususnya hal 579

  1. Pattiwael yang dimaksud pada teks ini adalah Jacobus Pattiwael, Pattij van Tiouw, yang terlibat dalam pemberontakan, dan akan dieksekusi pada 11 Februari 1818.
  2. Verhuell yang dimaksud adalah Quirijn Maurits Rudolph Verhuell, lahir pada 11 September 1787 di Zutphen dan meninggal pada 10 Mei 1860 di Arnhem. Ia adalah putra dari Everhard Alexander Verhuell dan Ana Alaida Staring.  Ia menjadi komandan kapal Evertsen sejak 24 Maret 1817 – 4 Desember 1819
  3. White yang dimaksud adalah Joseph White, syahbandar atau kepala pelabuhan Ambon di masa pemerintahan Inggris.
  4. Letnan Kolonel Kraijenhoff, bernama lengkap Cornelis Johannes Kraijenhoff, lahir pada 16 Juli 1778 di Jawa Tengah, dan meninggal pada 21 Juni 1821 di Semarang. Pangkatnya menjadi Letnan Kolonel sejak tahun 1815 dan menjadi komandan militer Maluku sejak 1817 – 1818.
  5. Mayor Beetjes, bernama lengkap Pieter Jacobus Beetjes, lahir sekitar tahun 1780 di Semarang, dan meninggal di Saparua pada 20 Mei 1817. Menikah dengan Elizabeth Geertruida van Steenbergen van Banda. Pangkatnya menjadi Mayor sejak Agustus 1816.
  6. Jenderal Anthing, bernama lengkap Carl Heinrich Wilhelm Baron Anthing, lahir pada 11 November 1766 di Saksen Gotha dan meninggal pada 7 Februari 1823 di s’Gravenhage. Pangkatnya menjadi Letnan Jenderal pada 21 Agustus 1815.
  7. Kapten Wilson, bernama lengkap David Wilson.
  8. Resident van Ternate asal Inggris, Mackenzie, memiliki nama lengkap William Gordon Mackenzie, lahir pada 9 Mei 1785 di Edinburg, dan meninggal pada 20 Juni 1842 di Bengal. Menjadi Resident van Ternate pada 1813 – 1814, kemudian menjadi Resident van Manado pada April  1814 – 1816, dan kembali menjadi Resident van Ternate pada 1816 – 1817.
  9. Hepburn, bernama lengkap George Swain Hepburn, lahir pada 9 September 1774 di Stamford dan meninggal di Oakley pada 30 Sept 1849.
  10.  ada celah di dalamnya dari 26 Juni 1817 hingga 21 Juli 1817 dalam narasi ini, maksudnya adalah pada deskripsi di dalam Laporan Porto, kejadian atau peristiwa sejak tanggal 21 Juni 1817 hingga tanggal  20 Juli 1817 tidak dideskripsikan atau “meloncat” dari tanggal 20 Juni 1817 ke tanggal 21 Juli 1817.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar