Minggu, 23 April 2023

Pemberontakan PATTIMURA 1817 : Penyebabnya, Jalannya peristiwa dan Dampaknya

 

(bag 5)

[P.J.M. Noldus]

 

Bab IV1

PERTANYAAN & ANALISA

Pemberontakan telah berakhir. Pemerintahan Belanda telah ditegakkan kembali, tetapi Belanda masih harus menganalisis apa yang salah. Saat kita melihat analisis kontemporer ini dalam beberapa detail, kita mungkin mulai merumuskan kesimpulan kita sendiri tentang penyebab langsung pemberontakan.

Kita harus ingat sepanjang waktu, tentu saja, bahwa sebagian besar sumber kita disediakan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan langsung, seperti Komisaris dan para Pemimpin Pemberontak, atau jurnal-jurnal harian perwira angkatan laut yang mengambil bagian dalam operasi tetapi yang sering mengungkapkan pendapat pribadi dan atau desas-desus ketika mendiskusikan penyebab. Dalam kasus Ver Huell, jurnal aslinya hilang dengan kapalnya karena kapal karam dan ditulis ulang dari ingatannya 2 tahun kemudiana; dalam kasus Van Dorenb dan J. Boelen, catatan-catatan mereka ditulis bertahun-tahun kemudian setelah peristiwa ituc,d, yang harus menimbulkan keraguan tentang keakuratannya. Kita mungkin harus siap untuk mengakui pada titik ini kemungkinan bahwa setelah penyelidikan yang cermat, kita mungkin tidak dapat mengatakan secara positif dimana penyebab langsung dari revolusi itu berada. Laporan dari otoritas yang bertanggung jawab, termasuk versi Engelhard, harus, dalam situasi tertentu, dibaca dengan sangat hati-hati. Tetapi kita berkewajiban, sebagai sejarahwan, untuk membuat apa yang kita bisa lakukan dari laporan-laporan ini. 

Q.M.R. Ver Huell

Mengenai para Komisioner Maluku, Van der Kempe tampaknya tidak jauh dari sasaran ketika dia menggambarkan Gubernur sebagai “Van Middelkoop yang bodoh”2, dan Engelhard sebagai “ Tidak berguna”3. Yang pasti, Van Middelkoop bukanlah orang yang kuat, atau berbakat dalam seni pemerintahan; pengambilalihan dari Resident Inggris yang kooperatif berjalan cukup baik, tetapi dengan Engelhard di sampingnya, dia sama sekali tidak mampu menangani pemberontakan. Melihat lebih dekat, bagaimanapun, seharusnya lebih tegas di Maluku pada saat-saat itu. Tanpa uang maupun personel, hanya dengan pena dan kertas serta banyak niat baik, tujuan para komisaris/komisioner adalah untuk membuat koloni Belanda lepas atau keluar dari pemerintahan Inggris yang ceroboh. Ketika, pada pengenalan kembali Pemerintah Belanda, para administrator yang baru mencoba menjalankan rezim mereka di sepanjang garis kebijakan lama, hasilnya, di Saparua yang selalu sulit diatur, adalah konflik langsung dan berapi-api – dan dalam keadaan seperti itu tidak satu pun dari Komisaris berada di tempat yang tepat.

Saat masih di Ambon, Engelhard menulis dalam surat pribadi4 bahwa pemberontakan itu karena gaya kepemimpinan Van Middelkoop5, tetapi dalam Laporan Batavia-nya ia menyatakan bahwa sebab-sebabnya “sama sekali tidak diketahui” dan bahwa ia tidak dapat menjelaskan masalah “karena komunikasi dengan Saparua telah terputus dan komunikasi dengan Ambon terhenti sama sekali”. Meskipun demikian, ia memberikan pendapat panjang lebar tentang penyebab, menyebutnya secara umum : itu adalah, katanya, “ketidaksukaan orang-orang Saparua secara umum terhadap semua kepatuhan dan kontrak sosial, karena pada dasarnya pada gaya hidup yang mandiri, berpendapat sendiri, dan mudah, yang diinduksi oleh kecenderungan mereka untuk menolak setiap penerimaan pemerintahan reguler, dan harapan yang salah kaprah bahwa mereka, seperti masyarakat Seram dan di tempat lain, dapat berdiri tanpa kewajiban apa pun”6.

Sekalipun secara etnografis benar, keadaan seperti itu hampir tidak dapat dikatakan, oleh pemerintahan yang bertanggungjawab sebagai “keadaan yang meringankan”; itu adalah fungsi pemerintah untuk mengendalikan keadaan seperti itu. Penduduk Saparua sudah lama dikenal “sulit” dan cenderung menentang/oposisi. Buijskes mengakui bahwa “kebebasan Seram yang luwes menciptakan persaingan karena penduduknya tidak langsung berada di bawah kendali pasukan militer Belanda atau pegawai negerinya dan oleh karena itu mereka dapat berdagang sesuka hati dan dengan siapa saja. Keinginan untuk bebas dan keuntungan yang menyertainya sudah lama menggebu-gebu di kalangan penduduk”7.

==================================

Pada tanggal 29 Mei 1817, di Saparua, Matulesia mengeluarkan sebuah manifesto yang mencantumkan 14 poin keberatan/protes. Daripada memberikan teks lengkap dari dokumen yang rumit di sini, kami akan memberikan resume singkat sebagai berikut :

1.         Otoritas Belanda mencampuri urusan sekolah dan agama

2.        Orang Ambon direkrut secara paksa ke Jawa

3.        Penggunaan uang kertas tidak dapat diterima

4.       Tidak ada upah yang dibayarkan untuk pekerjaan pemerintah

5.        Pemerintah menghukum warga desa/negeri yang mengadu dan menembakan senjata ke arah mereka

6.       Pekerjaan wajib pembuatan garam ditolak

7.        Resident menaikkan pajak

8.       Keberatan untuk menggantikan tugas tenaga kerja dengan mengorbankan penduduk desa lainnya

9.       Pengaduan penduduk desa/negeri tidak digubrik

10.     Pembayaran transportasi pengiriman surat ke Seram terlalu rendah

11.       Pembayaran transportasi pengiriman surat ke Ambon terlalu rendah

12.      Pengiriman wajib ikan kering ditolak

13.      Eksperimen penanaman kopi dan pala ditolak

 

 Point ke-14 diberikan secara lengkap karena memberikan indikasi pemikiran Matulesia :

14.     Hal-hal tersebut telah disampaikan dengan sebenarnya. Jika pemerintah Belanda ingin memerintah kita, maka itu harus dilakukan dengan baik dan adil, seperti yang dilakukan Inggris, yang menepati janjinya; tetapi tentang pemerintah Belanda, jika mereka tidak memerintah kita seperti yang mereka (Inggris) lakukan, maka kita akan melawan mereka selamanya. Selain itu, kita, Regent dan rakyat tidak memilih pemimpin kita yang disebutkan di atas, tetapi dia telah ditunjuk oleh Yang Maha Tinggi sendiri.

Pernyataan ini ditandatangani oleh 21 Regent dari Pulau Saparua dan Nusa Lautf. Perlu dicatat bahwa di antara penandatangan adalah Melojior Kesaulija, Pattij dari Siri Sori Serani, dan Sarassa Sanaki, Pattij dari Siri Sori Islamg. Dari 2 negeri yang bertetangga ini, yang pertama (Serani atau Nasrani) adalah Kristen dan yang kedua adalah Muslim8, yang membuktikan bahwa, secara sukarela atau dibawah paksaan, umat Islam Saparua memihak kelompok Kristen melawan pemerintah.

==========================

 

Van Middelkoop dalam kedua laporan pembelaannya9 menganalisis 8 keluhan yang terkandung dalam 14 poin keberatan Pattimura dan daftar keluhan yang diberikan kepada Kolonel Groot di Hatawano dan memberikan versinya tentang masalah yang diangkat. Poin-pin ini, katanya :

1.         Uang Kertas

2.        Perintah membuat garam

3.        Tata letak perkebunan pala

4.       Pemotongan dan penyediaan kayu, dan gaba-gaba

5.        Pemberhentian kepala sekolah dan perintah menyekolahkan anak-anak pulau Saparua di ibukota kepulauan

6.       Perekrutan tentara Ambon untuk bertugas di Batavia

7.        Penyediaan ikan kering dan dendeng

8.       Kewajiban pengiriman kopi

Pertanyaan yang harus diajukan di sini adalah : keluhan mana yang dianggap paling serius oleh penduduk?? Bagaimana pendapat para pemimpin pemberontak itu sendiri?? Keluhan itu terbagi dalam 2 kategori, yaitu ekonomi dan etno-psikologis. Kategori kelompok pertama terdiri dari kewajiban pengadaan kayu, atap, gaba-gaba, ikan kering, dendeng dan kopi. Kategori kelompok kedua adalah pertanyaan tentang sekolah, gereja dan perekrutan. Kami akan mempertimbangkan 8 poin ini satu per satu :

I.                    UANG KERTAS

“Publikasi” Komisari Jend di Batavia pada tanggal 14 Januari 1817 dimulai dengan keangkuhan : “Sama seperti Yang Mulia telah memberikan dasar yang tidak tergoyahkan pada kondisi moneter di Belanda, demikian juga ia telah memerintahkan hak yang sama untuk Hindia Belanda, menjamin hak yang luas dan peredaran uang yang terus menerus”. Dinyatakan bahwa 2 juta gulden, dalam bentuk uang logam, telah dikirim bersama Komisi dan bahwa uang kertas akan diterbitkan, menyatakan bahwa “koin kertas tidak akan pernah diterbitkan atau diterima dengan nilai di atas atau di bawah nilai nominalnya dan selalu dengan nilai yang sama dengan uang logam yang benar-benar representatif”. Pada kenyataannya uang kertas tidak dapat dipertukarkan – hanya ada 3 bank penukaran yang akan dibuka di seluruh Maluku, masing-masing di Ambon, Ternate dan Banda – dan pada saat uang kertas itu beredar, bank-bank tersebut masih belum terorganisir – contoh lain dari pemerintahan yang buruk. Pada tahun 1810, Belanda telah meninggalkan Maluku di bawah “kegelapan”, setelah mengeluarkan uang kertas darurat yang tetap beredar secara paksa, dan sekarang, 7 tahun kemudian, mereka memulai dengan cara yang sama.

Dengan Surat Keputusan no 18, tertanggal 10 April 1817, Komisi telah mengarahkan bahwa  “Semua rempah-rempah dan pengiriman lainnya di wilayah Karesidenan yang kekuasaannya di bawah Ambon, akan dibayar seluruhnya dengan uang tunai (uang koin/logam) karena sulitnya menerima uang kertas bagi penduduk kepulauan ini, karena tidak ada bank penukaran yang dapat didirikan di sana, sehingga memerlukan perjalanan ke Ambon setiap pembayaran akan dilakukan”. Ini, kata Van Middelkoop, berarti bahwa penduduk pulau-pulau itu lebih diuntungkan daripada penduduk Ambon sendiri, dan ia berpendapat bahwa oleh karena itu hal ini tidak mungkin menjadi penyebab pemberontakan, “walaupun ada ketidaksukaan langsung terhadap uang kertas, mungkin takut bahwa dalam jangka panjang akan merugikan, seperti yang terjadi di masa lalu”, “Tetapi”, katanya lebih lanjut, “ini adalah reaksi dari orang-orang kaya, bukan orang Ambon yang miskin, yang mungkin digunakan sebagai alat untuk menghentikan pengenalan mata uang kertas; Inggris telah memperkenalkan Dollar Spanyol pada tahun 1811 dan ini sangat disukai”10.

Jika penjelasan Van Middelkoop bisa diterima, itu membuktikan kebenaran tentang kekurangan uang logam. Karena bank penukar hanya ada di Ambon, Ternate dan Banda, uang kertas tidak dapat ditukar di tempat lain. Pemerintah tidak membayar penduduk dengan uang kertas, tetapi ini hanya berlaku untuk pembayaran rempah-rempah dan pengiriman wajib lainnya. Dalam laporan yang sama kita membaca bahwa Komisaris, untuk mencegah koin perak, “tidak mengizinkan penukaran koin perak selama 2 bulan pertama setelah pengambilalihan koloni”. Untuk membenarkan hal ini, mereka merujuk ke Banda, dimana, “tetapi karena campur tangan Resident yang tepat waktu, seluruh stok uang koin perak akan hilang”. “Menyadari kekurangan uang koin perak di Jawa”, lanjutnya, “dan kesulitan mendapatkan jumlah yang dikirim ke koloni ini, saya memutuskan untuk tidak menyediakan uang koin perak bagi semua orang untuk keuntungan pribadi mereka dengan mengorbankan pemerintah, karena hal ini akan menghabiskan persedian uang koin perak kita, yang akan diekspor ke tempat-tempat dimana tidak dikembalikan ke instansi pemerintah dan ini akan menimbulkan ketidaksenangan Komisaris Jend (di Batavia). Lagipula hal itu tidak membuat orang biasa yang tertarik pada uang perak, dia lebih suka dibayar dalam doit, sementara seluruh kekayaannya jarang berjumlah lebih dari 4 atau 5 rupee”11. Tetapi keluhan sangat umum tentang masalah ini, sehingga tidak dapat diabaikan bergitu saja. Kesalahan pasti terletak pada para Komisaris Maluku dan, secara tidak langsung, juga pada Komisaris Jend di Batavia yang bertanggung jawab atas masalah uang kertas dan sistem moneter yang tidak memuaskan secara umum. Buijskes sendiri mencatat dalam laporannya bahwa “pembayaran dalam bentuk uang kertas segera menimbulkan ketidakpuasan”; penduduk mengingat apa yang terjadi pada tahun 1810 dan sekerang setelah Inggris pergi, “penduduk kembali dipaksa untuk menerima pembayaran dalam bentuk uang kertas daripada dalam bentuk uang koin”12. Oleh karena itu, tampaknya ada sedikit keraguan bahwa masalah uang kertas merupakan faktor penyebab ketidakpuasan umum yang memicu pemberontakan.

Suasana kota Ambon, abad ke-19

II.                 PEMBUATAN GARAM

Matulesia mengatakan dalam 14 poin keberatannya: “Resident memerintahkan kami untuk membuat garam, yang ingin dijual oleh pemerintah; tetapi dari dulu hingga sekarang, kami tidak pernah melakukan pekerjaan semacam ini untuk pemerintah; inilah alasannya ketidakpuasaan kami”.

Melalui Surat Keputusan no 30 tanggal 10 April 1817, Van Middelkoop telah meminta Resident untuk menyelidiki kemungkinan pembangunan/pembuatan ladang garam di daerah mereka; untuk tujuan yang sama, ia menunjuk sebuah komisi untuk pulau Ambon, yang, “setelah menyelesaikan penyelidikannya melaporkan bahwa tempat yang paling mungkin pun tidak cocok”. Permintaan Gubernur menekankan bahwa tidak ada yang boleh diabaikan dalam upaya untuk menghilangkan kekurangan garam, yang tidak tersedia baik di masa Inggris maupun dari sumber swasta; tidak ada yang diimpor dari Jawa dan kemungkinan besar impor semacam itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Permintaan Gubernur merupakan upaya untuk melihat apakah Maluku dapat dibuat swasembada dalam komoditas ini. Van Middelkoop tidak dapat melihat adanya alasan untuk mengadukan masyarakat setempat karena tindakan tersebut didorong oleh kepeduliannya terhadap kesejahteraan mereka, karena dengan cara itu mereka akan “memiliki cara yang mudah untuk mendapatkan garam dengan harga yang jauh lebih murah daripada jika mereka diwajibkan membeli garam impor dengan harga mahal, atau mendapatkannya dengan mambakar kayu tua yang terendam air laut atau kayu apung”13.  

 

III.               PENATAAN PERKEBUNAN PALA

Matulesia berkata: “Kami susah sekali mengurus perkebunan cengkih dan kopi, namun kami masih disuruh menata perkebunan pala, hal ini membuat laki-laki dan perempuan kami yang harus melakukan banyak pekerjaan berat untuk pemerintah, benar-benar sangat pahit”.

Van Middelkoop menjelaskan perkebunan pala sebagai berikut : Dia dan Engelhard khawatir bahwa gempa bumi hebat tahun 1816 di Bandah akan berdampak jangka panjang dan luas pada budidaya pala. Untuk meringankan “kerugian bagi pemerintah dan”, dia menambahkan dengan agak muluk-muluk, “ketidaknyamanan bagi umat manusia” Komisaris telah menulis kepada para Resident untuk memerintahkan mereka untuk merancang “kebun pala percobaan”. Saparua telah memulai penanaman 750 pohon. Haruku telah melaporkan bahwa tanah mereka tidak cocok untuk ditanami atau tidak cocok untuk budidaya pala, serta Hila belum menjawab/melaporkan sama sekali. Oleh karena itu, Gubernur tidak dapat melihat adanya alasan untuk pemberontakan karena kebijakan pala, karena “penduduk pulau ini sangat besar dan tanah yang cocok tersedia begitu dekat dengan benteng, sehingga jumlah tenaga kerja yang terlibat tidak signifikan”14. Patut dicatat bahwa Van den Berg, baik dalam pembuatan garam maupun perkebunan pala, jauh lebih bersemangat daripada rekan-rekannya; dia jelas belum mempelajari teknik “festina lente”i rekan-rekan Resident di Hila dan Haruku, keduanya dengan pengalaman bertahun-tahun dalam dinas kolonial, jelas mengadopsi hal itu15.

 

IV.               PENGIRIMAN POTONGAN KAYU, ATAP DAN GABA-GABA

Ini dianggap sebagai salah satu keluhan yang paling serius dan tentu saja tidak adil. Van Middelkoop menyebutkan keadaan gedung-gedung pemerintah yang bobrok dan menambahkan: “untuk memperbaiki hal ini dan juga melanjutkan perbaikan yang diperlukan untuk gedung-gedung pemerintah di Banda, saya mengeluarkan permintaan umum untuk penyediaan kayu dari Saparua, Hila dan Haruku pada bulan April lalu16, tetapi tidak ada kayu yang telah diterima. Beberapa kayu tersedia di Hila tetapi kekurangan perahu, sejauh ini membuat pengapalan atau pengiriman tidak mungkin”. Kuota pengiriman akan tersebar di berbagai negeri Saparua, Hila dan Haruku. Kemudian mengikuti pembenarannya yang biasa : “permintaan kayu ini tidak menjadi beban rakyat sejak, dibandingkan dengan pengiriman di masa lalu, bahkan di bawah pemerintahan Inggris, terutama ketika mereka pertama kali tiba di sini, itu sama sekali tidak berlebihan dan selalu menjadi kewajiban dari penduduk yang telah dipertahankan oleh Inggris selama mereka tinggal. Untuk penebangan dan pemotongan, upah yang adil dibayarkan sesuai dengan Keputusan saya nomor 43 tanggal 13 April, tetapi karena kayu itu bukan milik mereka, tetapi tumbuh liar di tanah-tanah milik pemerintah”.

Dikatakan bahwa ini bertentangan dengan hukum adat dan kelanjutan dari teori Raffles, yang, melalui sewa tanahnya yang sangat tinggi, dapat dikatakan telah mengubah seluruh Jawa menjadi ladang penyewaan pemerintah17.

Idema18 mengutip daftar harga pasokan kayu :

                       Balok 6x 12sampai 18                                                      2.16 guilders

                       Balok di bawah ukuran 6" x 8' sampai 12'                     0.18 guilders

                       Papan 1 ½ x 12 hingga 18                                                2.00 guilders

                       Ditto [sama] ukuran di bawah 1 ½                                0.18 guilders

                       Pengiriman kayu nani                                                      2.00 guilders

                       Dan lain-lain

 

Ini adalah bagian dari daftar yang ditetapkan oleh “perintah rahasia no 36” tanggal 12 April 1817. (mengapa “rahasia”, kita mungkin bertanya?, kita akan mengharapkan daftar harga seperti itu dipublikasikan secara luas). Seperti yang kita lihat, metode pembayarannya sangat rumit dan membutuhkan persetujuan dari Gubernur di Ambon, menyebabkan penundaan yang lama, dan setelah semua itu, pembayaran yang diharapkan dilakukan dengan uang kertas yang dibenci. Penundaan yang lama ini mungkin menjadi alasan klaim Matulesia bahwa tidak ada pembayaran yang diterima. Juga harus diingat bahwa jumlah yang sebenarnya yang diterima bukanlah hal yang paling penting: yang benar-benar merugikan adalah tuntutan tenaga kerja yang tampaknya tak ada habisnya untuk memenuhi segala macam kebutuhan. Eksperimen tambahan yang dipaksakan, dengan pembuatan garam dan perkebunan pala, tidak diragukan lagi akan menambah ketidakpuasaan umum penduduk19.

Pengiriman kayu, seperti yang kita lihat, memberikan percikan api di tong mesiu dan pemindahan muatan kayu dari arumbai di Porto oleh para pemberontak adalah tindakan pembangkangan pertama. Setelah pemberontakan pecah, perbaikan segera dilakukan dengan Keputusan tertanggal 24 Mei 1817, memberikan dana kepada Pengawas-pengawas negeri-negeri untuk pembayaran segera, dalam bentuk uang koin, untuk pembayaran.

Buijskes mengklasifikasikan perintah untuk pengiriman wajib diantara perintah “ceroboh” Van Middelkoop20.

Pada tanggal 3 Mei 1817, Resident Saparua meminta kepada Komisaris untuk memberitahukan kepadanya apakah para pendayung untuk arumbai yang banyak dibutuhkan oleh pemerintah untuk mengangkut barang, personel atau surat, harus dibayar dengan upah harian 4 stuivers per hari per orang, seperti yang telah dilakukan pemerintah Inggris, mengingat pemerintah Belanda sebelumnya tidak melakukan pembayaran seperti itu. Penulis saat ini belum dapat menemukan jawaban Komisaris. Barangkali inilah yang menjadi dasar keluhan Matulesia: “untuk pengangkutan surat ke Seram harus dibayar 4 gulden, untuk pengangkutan ke Ambon hanya 2 gulden, ini benar-benar sangat buruk”. Dalam Surat Keputusan Komisaris tertanggal 2 Agustus 1817 – setelah pecahnya pemberontakan saparua, perlu dicatat – para Komisaris jelas berubah pikiran. “Kepada semua orang negeri yang dipekerjakan dalam dinas pemerintah di arumbai yang mengangkut barang, personel atau surat, akan dibayar 5 stuivers setiap hari dengan jatah yang biasa ketika mereka harus meninggalkan teluk dan berlayar, tetapi jika mereka tetap di teluk atau di pulau itu, hanya 4 stuiver dan tidak ada ransum; atas permintaan sebagian dari ini, dalam ketidakhadiran mereka, dapat diberikan kepada istri atau anak-anak untuk penghidupan mereka”21.

Bagian berikut juga menarik :

Pengawas sangat dianjurkan untuk memastikan bahwa beban ini tersebar merata di antara orang-orang negeri dan tidak seorang pun, yang mendapat giliran, yang diizinkan untuk menggantikan kewajiban ini, karena hal ini akan membuat orang lain kecewa dan dapat menyebabkan keributan, sementara dia juga akan memberikan perhatiannya dan memastikan bahwa mereka yang telah memberikan layanan ini atau mengirimkan barang, akan segera menerima pembayaran penuh; dia akan bertanggung jawab atas tindakan yang bertentangan22.

Merupakan semangat pemerintah, hal demikian jelas bahwa negeri-negeri pemasok kayu sangat ditekan, tetapi tidak ada indikasi sama sekali bahwa Gubernur pernah membela kepentingan rakyatnya, melawan permintaan militer yang tidak terhitung jumlahnya. Berkali-kali pengawas negeri diperintahkan untuk menyediakan ini atau itu “melalui pendistribusian ke negeri-negeri”. Dan jumlah yang sangat besar dibutuhkan: tiang-tiang untuk dermaga angkatan laut, perbaikan besar-besaran kastil, rumah sakit militer dan pos kecil di Leitimor, bahkan kayu bakar untuk kapal perang yang baru tiba. Transportasi reguler di teluk Baguala juga dituntut, juga dengan distribusi yang merata di negeri-negeri. 2 arumbai harus tersedia atas permintaan pertama dari komandan militer – seperti yang dinyatakan dalam keputusan : “seperti di bawah pemerintahan Belanda sebelumnya, kewajiban yang dihapuskan oleh pemerintah Inggris sebagai tidak perlu”. Seperti orang Belanda yang rapi, Surat Keputusan tanggal 19 April23 memerintahkan semua jalan di kota untuk diperbaiki secara menyeluruh dan pembersihan kota diatur kembali. Melalui Keputusan 25 April, tugas kepolisian yang dibiayai Inggris 7 dampai 8 ribu dollar spanyol setiap tahun, digantikan oleh penjagaan malam dari kaum burger bersenjata, “karena pengeluaran seperti itu tidak dapat dilanjutkan”. Jelas kecaman Buijskes atas layanan wajib ini sebagai “tidak bijaksana” adalah pernyataan yang meremehkan.

V.     PEMBERHENTIAN GURU-PENDETA DAN PERINTAH KONSENTRASI PENGAJARAN ANAK-ANAK SAPARUA DI IBUKOTA PULAU

Pattimura mengklaim bahwa “Inggris menghormati agama kami dan oleh karena itu rakyat patuh dan hidup damai, tetapi begitu Belanda datang untuk memerintah kami, semua itu selesai; karena alasan ini rakyat menjadi tidak puas dan bangkit melawan pemerintah; itulah sebabnya masyarakat Hunimua (nama lain Saparua) dan Nusa Laut tidak mau lagi menuruti pemerintah, tetapi kemudian Resident menjadi marah dan menembakkan meriam dan senjata24 dan hati kami sakit dan kami mulai menentang orang-orang seperti itu”. Di sini ia jelas merujuk pada masa pemerintahan Daendels, yang ketika menghadapi kekurangan dana, pembayaran gaji kepala sekolah menjadi tanggung jawab masing-masing negeri; dia juga merujuk pada pembalikan aturan ini oleh Inggris segera setelah mereka mengambil alih lagi wilayah pada tahun 1810, ketika pemerintah kembali bertanggung jawab atas dukungan keuangan dari sistem sekolah-gereja. Namun, sekolah tradisional dan gereja di setiap desa – yang menjadikan desa itu penting – memiliki kerugian yang jelas berupa biaya tinggi dan Jabez Carey, sebagai pengawas sekolah sejak tahun 1814, telah mulai memusatkan murid-murid sekolah kecil di distrik Ambon dalam satu sekolah pusat besar di kota Ambon. Hal ini kemudian menimbulkan ketidakpuasan di kalangan para guru djemaat. Oleh karena itu, keluhan khusus ini mendahului kembalinya pemerintahan Belanda pada tahun 1817, tetapi mungkin telah diperkenalkan kembali karena dampak emosionalnya yang pasti.  

Komisaris Belanda ingin memperluas sistem konsentrasi ke sekolah-sekolah yang lebih besar ke Saparua, antara lain karena Van Middelkoop melihat hal ini sebagai peluang untuk meningkatkan pengajaran, terutama bahasa Belanda – yang dipandang sebagai sarana untuk meningkatkan kesetiaan kepada Belanda. Tapi alasan utamanya adalah, tidak diragukan lagi, penghematan biaya. Namun sebenarnya yang dilakukan hanyalah pengiriman surat oleh Van Middelkoop, meminta saran dari Resident van Saparua dan Resident van Haruku. Van Middelkoop melaporkan25 bahwa tidak ada tindakan yang diambil. Surat aslinya tentang hal ini telah ditulis pada tanggal 9 April dan pada tanggal 15 April, Resident van Saparua, Van den Berg, mengirimkan sarannya, dengan tegas menolak usulan tersebut, dengan alasan bahwa sistem sekolah yang lengkap akan musnah jika pemerintah Inggris tidak mengatur kembali pembayaran gaji para guru djemaat, setelah “Prancis”26 menjadikan hal ini adalah tanggung jawab masing-masing negeri. “Perubahan dalam pengaturan ini” tulis Van den Berg, “akan sangat merugikan karena akan mengganggu seluruh sekolah dan sistem gereja”27. Residen van Haruku bereaksi dengan cara yang sama dan usul itu kemudian dibatalkan oleh Van Middelkoop. Dalam laporan kepada Komisi Jend di Batavia tertanggal 26 April 1817 – perlu dicatat, jauh sebelum pecahnya pemberontakan – para Komisaris di Ambon menulis bahwa “di antara orang Ambon ada kekhawatiran kemungkinan bahwa pemerintah kita akan kembali mengurangi dan mengubah sistem sekolah dan gereja”. Keluhan itu tidak berdasar, tetapi desas-desus itu trsebar dan penduduk desa/negeri mempercayainya. Oleh karena itu, fakta bahwa penduduk sangat kecewa diketahui oleh Komisi hanya melalui penyelidikan dan seharusnya mereka sangat berhati-hati dalam semua hal lainnya. Lagipila, para guru djemaat Maluku sangat puritan dalam pandangan mereka. Posisi mereka justrus mengundang/menciptakan perbandingan dengan para Tuanku di kalangan kaum Paderi yang berperan penting dalam kebangkitan Islam di Sumatera28. Sentimen “nasionalistik” lokal terlihat menonjol di antara guru djemaat seperti halnya di kalangan kaum Paderi.

Desas-desus bahwa pemerintah bermaksud untuk memusatkan sekolah-sekolah, yang akan menyebabkan pemecatan sejumlah guru djemaat dan pengurangan pengaruh Gereja Reformasi di kalangan masyarakat Maluku secara umum merupakan faktor yang sangat berkontribusi dalam pemberontakan selanjutnya. Belakangan diketahui, dalam upaya mendapatkan dukungan tambahan dari 10% penduduk Saparua yang beragama Islam, tersiar kabar bahwa umat Islam akan dipaksa oleh pemerintah untuk memeluk agama Kristen. Hal ini tentu saja membuat kerusuhan agama menjadi lengkap29.

Matulesia, sepanjang karirnya sebagai pemimpin pemberontakan, dikelilingi oleh guru djemaat yang bertindak sebagai penasehat utama dan perantara. Van Doren melukiskan gambaran yang jelas tentang guru djemaat berusia tua Saparua, “seorang pengikut Protestan yang sangat ortodoks” yang “kitab suci di tangan” selalu mendorong sesama penduduk negeri/desa untuk melakukan perlawanan lebih lanjut30.

 

VI.               REKRUTMEN PERSONIL MILITER UNTUK BATAVIA

Komisi Jend di Batavia perlu memperluas pasukannya di Jawa dan mencari/merekrut di Maluku untuk tujuan ini. Pasal 5 dari “Petunjuk kepada Panglima Militer” memerintahkan perekrutan penduduk pribumi di Maluku secara eksklusif untuk dinas di Jawa. Engelhard merasa bahwa ini akan menjadi tugas yang sulit karena “penduduk sangat menentangnya; prestasi militer begitu besar sejak tindakan kampanye perekrutan sebelumnya sehingga kampanye baru di pulau-pulau ini akan cukup untuk menciptakan keresahan besar di bawah populasi dan mengarah pada pemberontakan”31. Istilah populasi ini tidak berlaku untuk dinas di Maluku sendiri dan, dengan kekuatan tentara yang sangat kecil, tampaknya merupakan hal yang masuk akal untuk membatasi perekrutan di sana hanya untuk dinas lokal. Resident van Saparua dan Resident van Hila, khususnya, membuat rekomendasi yang sangat kuat mengenai hal ini, tidak diragukan lagi didorong oleh kekuatan yang sama sekali tidak memadai. Namun, Pejabat Rekrutan, Letnan Kolonel Kraijenhoff, menolak untuk menyimpang dari pasal 5. Gubernur Van Middelkoop setuju karena “hubungan yang sangat dekat antara penduduk pulau-pulau ini dengan penduduk pulau Seram dapat mendorong penyelundupan rempah-rempah daripada mencegahnya”. 

Schutterij di Saparua, ca. 1898

Van Middelkoop “tidak mau menyangkal bahwa upaya perekrutan menimbulkan kesan yang salah di beberapa kalangan” karena “orang Ambon enggan meninggalkan negeri/desanya dan memiliki ketakutan yang sangat berlebihan terhadap Batavia”. Namun, tambahnya, “tidak ada sedikit pun upaya pemaksaan atau perekrutan paksa dan petugas perekrutan bahkan belum meninggalkan Benteng Victoria sebelum pecahnya pemberontakan; alasan ketakutan itu sepenuhnya ditemukan dalam perekrutan paksa di bawah pemerintahan Daendels”32. Dalam laporan yang sama, Van Middelkoop juga melaporkan bahwa Resident van Menadoj telah berhasil mengambil alih tentara Manado yang dibayar Inggris, tetapi dengan syarat bahwa mereka tidak wajib menerima pemindahan dari Manado. Resident telah melaporkan hal ini kepada Gubernur yang memberi tahu Kruijenhoff. Figur terakhir (Kruijenhoff) tidak setuju, “karena seorang prajurit terikat untuk pergi ke mana penguasa membutuhkannya”, dan dia mengatakan bahwa, bahkan jika para prajurit ini tidak harus bertugas di Batavia, setidaknya mereka harus bertanggung jawab untuk bertugas di seluruh kepulauan Maluku. Penulis belum dapat memastikan apakah pernyataan Kruijenhoff ini membuat pihak berwenang mengingkari janji yang dibuat, tetapi sejak pecahnya pemberontakan, Komisi memerintahkan agar orang-orang Ambon direkrut untuk 3 tahun bertugas di Maluku saja, sepertinya tidak mungkin33.

Ketidakmampuan Engelhard diilustrasikan lagi. Meskipun dia tidak setuju dengan Van Middelkoop tentang keefektifan tentara Ambon dalam mengendalikan penyelundupan – karena Inggris telah mempekerjakan mereka dalam fungsi itu dengan sukses besar – dan juga dengan Komandan Militer mengenai kepatuhan ketat pada pasal 5, dia tidak melakukan apa pun untuk mencegah keputusan mereka. Dalam laporan Batavia-nya, Engelhard menulis : “Saya menganggap tidak ada gunanya memberikan pendapat yang bertentangan karena Komandan Militer dan Komandan Pasukan tidak boleh diombang-ambingkan untuk menyimpang dari perintahnya”. Hanya setelah pecahnya pemberontakan, ketika sejumlah besar bekas serdadu telah bergabung dengan pihak pemberontak atau bersimpati padanya, barulah para pejabat sipil dan militer menyadari bahwa menyerah pada permintaan untuk bertugas di Maluku secara eksklusif tidak akan hanya meningkatkan kekuatan pasukan mereka, tetapi juga memastikan kontrol yang lebih besar atas elemen berbahaya dari Resimen Ambon.

Buijskes, yang menunjukkan pemahaman yang jauh lebih baik tentang kepentingan serdadu Ambon (mungkin dengan keuntungan melihat kembali ke masa lalu), yakin bahwa orang Ambon bahkan dapat dibuat mengerti untuk bertugas di Jawa, jika akal sehat selalu gagal. “Menimbang bahwa alasan utama penolakan penduduk untuk mengikuti wajib militer di Jawa adalah ketidakjelasan mereka tentang nasib orang tua, anak-anak dan sanak saudara lainnya, dan ketidakmungkinan menafkahi mereka setelah kepergian mereka (prajurit). Lebih lanjut mengingat pengetahuan bahwa sanak saudara terjamin kebutuhan pokoknya mungkin memiliki hasil yang baik dalam meningkatkan jumlah sukarelawan untuk bertugas di Jawa, diputuskan : “bahwa orang tua, anak, saudara laki-laki atau saudara perempuan serdadu Ambon yang bertugas di Jawa akan menerima tunjangan bulanan sebesar 20 pon beras dan ½ pon garam”34. 

 

VII.             PERSEDIAAN IKAN KERING DAN DENDENG TANPA PEMBAYARAN

Komandan Sloterdijkk dari skuadron angkatan laut di Ambon membutuhkan gudang itu untuk kapalnya karena persediaan daging asin mereka sudah busuk. Gubernur “melalui pembagian yang adil” meminta sebagian dari Karesidenan Saparua, Hila dan Haruku, karena tidak ada yang tersedia di Ambon dan tidak ada impor dari Jawa. Harganya ditetapkan 15 rix dollar per picul35 memberikan kebohongan pada pernyataan bahwa tidak ada pembayaran yang akan dilakukan. Penduduk Hila dan Haruku telah meneroma harga ini tetapi penduduk Saparua meminta pembayaran sebesar 20 rix dollar per picul, harga yang telah dibayarkan pada masa pemerintahan Belanda sebelumnya, pada saat-saat ketika permintaan dalam jumlah besar. Pemerintah setuju untuk membayar dalam jumlah tersebut, asalkan penduduk Saparua dapat membuktikan bahwa harga tersebut telah dibayar di masa lalu. Tampaknya harga yang lebih tinggi tidak dibayar karena bekas Gubernur menyatakan : tetang hal ini atau tentang keluhan-keluhan lain yang dituduhkan, juga tentang penganiayaan dan penindasan yang dituduhkan kepada Resident setelah pemberontakan, tidak ada keluhan atau petisi yang sampai ke saya”36.

Jumlah total yang terlibat dalam keluhan ini adalah 1000 pon, dimana bagian Hila adalah 500 pon, Haruku 200 pon dan Saparua hanya 300 pon atau 5 picul. Jumlah total uang yang dipersengketakan adalah 25 rix dollar, yang keluhan khusus ini tampak – setidaknya bagi pengamat luar – agak remeh/kecil.

 

VIII.   KEWAJIBAN PENGIRIMAN KOPI

Van Middelkoop menolak poin ini sepenuhnya. Meskipun pasokan telah direkomendasikan karena kekurangan yang disebabkan oleh tidak datangnya pasokan dari Jawa dan permintaan pasokan oleh kapal angkatan laut dan pasukan, harga yang wajar telah disepakati dan perintah telah dikeluarkan bahwa hanya kelebihan kopi untuk permintaan lokal yang dipenuhi. Pengaturan serupa telah diberlakukan di bawah pemerintahan Inggris. Menurut pendapat Van Middelkoop, oleh karena itu tidak dapat diajukan sebagai keluhan terhadap Belanda.

Untuk mendukung penolakannya terhadap semua keluhan yang terkait dengan kewajiban pengiriman kayu, garam, kopi atau daging kering serta tentang uang kertas dan tuduhan tentang campur tangan dalam urusan sekolah dan gereja, sebagai alasan pemberontakan, Van Middelkoop mengutip pernyataan dari bekas Radja van Pelauw dan Orangkaija van Kailolo37/l bahwa pertemuan pertama para pemberontak dari negeri ini terjadi pada tanggal 4 April 1817, hanya 10 hari setelah pengambilalihan dari Inggris dan hampir 2 minggu setelah kedatangan Van den Berg di Saparua. Ini jauh sebelum uang kertas diedarkan, permintaan-permintaan dilakukan, atau percobaan pembuatan garam dimintakan.

Pada tanggal 17 Juni 1817, seseorang menulis dari Ambon ke Benggala tentang peristiwa di Saparua: “Penyebab pemberontakan yang malang dikatakan karena uang kertas, perekrutan orang untuk dikirim ke Jawa, fakta bahwa Resident menyuruh seorang wanita ditelanjangi dan dicambuk di pasar, bahwa dia telah meminta pasokan ikan dan sagu untuk pasukan tanpa bayaran dan bahwa dia terlalu mengandalkan pegawainya, yaitu Ornek”. Hal ini dipublikasikan dalam Government Gazette tertanggal 7 Agustus 1817 di Calcutta. Surat Kabar Bataviasche Courant no 49 tanggal 6 Desember 1817 mencetak ulang berita ini, dan menambahkan: “pengalaman dan laporan, yang dapat diperoleh siapa pun di sini, akan menunjukkan laporan ini dan pendapat yang diungkapkan di dalamnya, apa adanya”. Kemarahan yang agak membingungkan karena, secara keseluruhan, laporan tersebut sama sekali tidak adil. Fakta bahwa Komisi Jend dan sistem uangnya, mungkin, setidaknya sebagian, penyebab pemberontakan, tidak mereka sadari. “Peristiwa menyedihkan Saparua”, tulis Van der Cappelen dalam sebuah surat pribadi kepada Menteri Koloni, A.R. Falckm, pada tanggal 8 Juli 181738 “menyampaikan kepada Yang Mulia dalam surat resmi. Arah yang salah, perlakuan orang yang tidak bijaksana dan urusan, dan penyalagunaan wewenang tidak diragukan lagi penyebabnya”. Dan pada tanggal 14 Oktober 181739 “Resident Van den Berg tampaknya yang paling bertanggung jawab atas pemberontakan ini”40. “Masyarakat Saparua kebanyakan disebut Kristen dan sangat fanatik. Inggris telah mempertahankan semangat ini di Maluku dan tampaknya telah menanamkan kepercayaan kepada penduduk bahwa kami akan memperkenalkan sistem yang sama sekali berbeda. Ini menyebabkan darah yang buruk”. Sekali lagi di sini kesalahan ditimpakan di tempat lain.

Meskipun Van den Berg dijadikan kambing hitam oleh hampir semua orang, tidak terlalu sulit untuk menunjukkan ketidakadilan putusan semacam itu. Satu-satunya tuduhan Buijskes terhadap Van den Berg adalah bahwa sulit memahami bagaimana dia bisa gagal untuk mencurigai gejolak pemberontakan yang telah terjadi di Saparua sejak awal Mei41. Van den Berg tidak sepenuhnya mengabaikan fakta-fakta ini. setelah Pieter Souhoka memberitahunya desas-desus tentang pertemuan revolusioner di hutan42, Resident meminta pendapat dari Regent Booi dan Nolloth43 dan diyakinkan bahwa itu hanya gosip jahat. Tidak diketahui secara pasti kapan Nyora Nolloth mengunjungi istri Resident44, tetapi pasti tidak lama sebelum pecahnya pemberontakan; fakta bahwa dia menyebutkan bahwa senjata telah disiapkan menunjukkan hal itu. Tidak terbayangkan Van den Berg masih meragukan kebenaran informasi dari Souhoka setelah dikonfirmasi sendiri oleh seorang istri dari pria yang telah “menyesatkannya”, dan tidak terbayangkan pula bahwa dia – yang telah menunjukkan dirinya sebagai pria yang bertindak dalam beberapa kesempatan – akan gagal menyampaikan hal ini kepada atasannya di Ambon.

Van Doren45 mengklaim bahwa Nyora Nolloth memberitahu Nyonya Van den Berg “dengan polos” apa yang terjadi, tetapi mengingat hubungan baik antara para wanita, sebagaimana dibuktikan dengan kunjungan minum kopi, kemungkinan besar ia (Nyora Nolloth) bermaksud ini sebagai peringatan menit-menit terakhir terhadap bahaya yang akan segera terjadi. Malang bagi Resident bahwa peringatan itu tidak datang lebih awal karena akan menimbulkan tindakan keras dari Ambon, setidaknya jika mata mereka terbuka. Tetapi kita tahu bahwa peringatan yang disampaikan kepadanya secara langsung oleh Regent Siri Sori, Johannes Kyrauly, diabaikan oleh Van Middelkoop, tetapi hal ini tidak disebutkan oleh salah satu komisaris dalam laporan mereka. Engelhard, menurut Van Middelkoop, menemukan semua peringatan yang datang “sangat membingungkan, spekulatif dan tidak jelas”. Dia memang mengatur garnisun kecil yang dipimpin seorang sersan, seorang kopral dan 6 serdadu untuk dikirim ke Benteng Hoorn di Pelauw dan mengirim beberapa orang ke Hila ke garnisun di Hitu lama, tetapi itu adalah jumlah total dar tindakannya dalam hal ini, karena Kolonel Kraijenhoff menyatakan bahwa dia tidak dapat mendistribusikan 1 orang militer lagi.

Laporang Engelhard46 tentang peringatan kepada Resident van Haruku, Uijtenbroek, sangat penting untuk menunjukkan di mana, kapan, mengapa dan bagaimana rencana pemberontakan itu47.

Jika kita menambahkan apa yang ditulis Buijskes tentang konspirasi:48

“....................Saya ulangi api pemberontakan yang membara, karena tampaknya, dalam beberapa hari setelah proses pengambilalihan wilayah oleh kami, ada pertemuan di sini dan di sana, ada korespondensi antara penduduk Hitu dan pantai utara Haruku dan kemungkinan besar dengan penduduk Saparua, dimana mereka berjanji di bawah sumpah yang sungguh-sungguh untuk membebaskan diri dan merdeka”

Kutipan dari laporang Engelhard dan Van Middelkoop ini membuktikan :

1.         Bahwa maksud para pemberontak adalah untuk memperoleh kemerdekaan dan kebebasan dari pemerintah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan tindakan pemerintah daerah di Saparua

2.        Bahwa dalam beberapa hari setelah pergantian pemerintahan terjadi pertemuan-pertemuan pemberontak, sehingga apapun hubungan antara ini dan tindakan Resident Van den Berg tidak ada, karena

3.        Semenanjung Hitu, dimana Liang berada adalah bagian dari Pulau Ambon dan ajakan persengkokolan berasal dari pulau itu dan bahwa sumber pemberontakan adalah di Ambon dan bukan di Saparua

Dari kesimpulan di atas dapat ditarik bahwa daftar keluhan yang disusun oleh Matulesia dan para Radja di Hatawano dibuat untuk mendapatkan dukungan penduduk desa/negeri untuk suatu tindakan yang telah diputuskan seluruhnya atau sebagian besar secara independen dari mereka.

Jelas bahwa Buijskes segera menyadari bahwa pemberontakan telah ditetaskan di Ambon, meskipun pemimpin utama pemberontak, Matulesia dan Rhebok berada di Saparua dan revolusi meletus di sana. Buijskes menulis:

“ Segera setelah saya mengambil alih pemerintahan dan diberi pengarahan tentang posisi itu, saya menyadari bahwa sangat penting untuk menaklukkan negeri-negeri pemberontak di Hitu dan memulihkan perdamaian di pulau Amboina, sebelum tindakan terhadap pemberontak di Saparua dan pulau-pulau tetangga dapat dilakukan secara menguntungkan dan aman”50.

Verhuell telah menyarankan pengiriman segera kapalnya ke Saparua “untuk menduduki Fort Duurstede dan dengan paksa menekan pemberontakan”, tetapi seperti yang dilaporkan Buijskes kepada Raja, “Komisaris tidak ingin mencabut salah satu kapal utama Ambon agar tetap tersedia jika mereka melarikan diri. Pada akhirnya”, Buijskes menulis, “semua tindakan yang diambil telah mengonfirmasi saya pada pendapat ini”51.

Tindakan Komisaris ini, yang tampaknya telah diilhami oleh kepentingan pribadi, dapat dilihat sebagai sangat tercela karena pelaksanaan rencana Verhuell akan merebut kembali Benteng Duurstede pada bulan Mei (sebenarnya tidak direbut kembali hingga tanggal 3 Agustus 1817), ekspedisi Beetjes tidak akan dikirim dan kehilangan pasukannya sekitar 200 orang, belum lagi hilangnya prestise militer, akan dapat dihindari. Semua faktor ini berkontribusi pada panjangnya durasi pemberontakan, karena mereka memerlukan persiapan ekspedisi kedua, sehingga memberikan banyak waktu kepada para pemberontak untuk mempersiapkan kubu pertahanan di Saparua yang membuat usaha perebutan kembali menjadi jauh lebih sulit.

=======================

Kita telah melihat bagian dari keluhan para pemberontak, apakah dibenarkan atau tidak, yang dimainkan dalam letusan pemberontakan yang sebenarnya. Kami telah mencapai kesimpulan bahwa Van den Berg, sebagai seorang Resident yang tidak berpengalaman, tanpa pelatihan apa pun untuk tugasnya yang sulit, mungkin telah bertindak sembrono dan kasar, karena baik Van der Kemp maupun Gub Jend Van der Capellen mewakili masalah tersebut. Tetapi fakta menunjukkan kemungkinan bahwa Van den Berg dijadikan kambing hitam.

Kesimpulan Buijskes dikutip di atas: “........saya ulangi api yang membara.........” dimulai sebagai berikut : “Tidak dapat dimaafkan adalah beberapa disposisi Gubernur tidak lama setelah pengambilalihann, yang hanya bisa mengorbankan api revolusi yang sudah membara........”52. Jika Van Middelkoop terbukti tidak kompeten, Engelhard lemah dan tidak efektif. Sayangnya, keduanya gagal dalam tugasnya dan salah urus mereka berkontribusi pada pemberontakan di Saparua. Engelhard sendiri mengeaskan hal ini dalam suratnya kepada Senn van Basel yang disebutkan sebelumnya53 bahkan jika dia mewakili Van Middelkoop sebagai satu-satunya pihak yang bersalah, ketika dia menulis :

Sudah pasti bahwa Van Middelkoop dan Dekrit yang dia keluarkan, mengabaikan instruksi kami untuk menjalankan pemerintahan, sementara, prinsip-prinsip yang diperkenalkan oleh Inggris, memberikan kontribusi besar terhadap masalah di Saparua”.

Dalam surat yang sama, ia menuduh Van Middelkoop menyalahkan “Van den Berg yang malang atas peristiwa-peristiwa yang ia sendiri, Van Middelkoop, perintahkan, suatu fakta yang dengan hati-hati ia hindari menyebutkannya, dengan harapan bahwa arsip-arsip Saparua akan telah dibakar atau hilang”. Pernyataan-pernyataan tersebut tentu saja merupakan pengakuan bersalah oleh Engelhard yang, sebagai Komisaris Pertama, seharusnya tidak pernah menyetujui perintah yang dikeluarkan oleh Van Middelkoop yang bertentangan dengan instruksi mereka. 

Kawasan Batu Gajah, Ambon ca. 1817

Terlepas dari kesalahan para Komisaris Maluku, banyak kesalahan harus ditimpakan pada Komisaris Jend di Batavia. Kesalahan dan kekurangan mereka dapat ditabulasikan sebagai berikut :

1.           Pengangkatan sebagai Resident van Saparua untuk seorang laki-laki yang tidak pernah mendapat pelatihan apa pun untuk jabatan itu

2.          Tuntutan agar serdadu Maluku direkrut khusus untuk tugas di Jawa

3.          Pengiriman kekuatan militer yang sama sekali tidak memadai ke Maluku setelah pihak berwenang di negara Belanda, pada Traktat London tanggal 13 Agustus 1814, menolak untuk mengambil alih Korps Ambon. Militer Belanda yang sama sekali tidak memadai mungkin hanya dapat menyemangati kaum revolusioner

4.          Pengenalan sistem mata uang kertas juga diletakkan di pintu (ditimpakan kesalahan kepada) Batavia atau pemerintah Belanda di negeri Belanda

5.          Kegagalan pemerintah Batavia untuk mengirimkan pasokan garam, ikan kering dan daging, serta kopi, ke Maluku tepat waktu, baik untuk penduduk maupun skuadron angkatan laut, adalah alasan pengiriman paksa, keluhan utama dari orang-orang negeri, yang, di mata mereka, sepenuhnya membenarkan perang melawan “kompeni”.    

Kesimpulan yang harus ditarik dari penjelasan di atas adalah bahwa penyebab langsung pemberontakan tahun 1817 adalah ketidakpuasan rakyat, yang disebabkan oleh ketakutan akan pengenalan kembali pemerintahan Belanda sebelum Inggris yang keras/kejam, yang dikipasi oleh kaum elit guru djemaat dan pemimpin desa yang melihat status penguasa tradisional mereka terancam, dan oleh bekas serdadu, yang tidak puas dengan penolakan Belanda untuk melibatkan mereka kembali dengan persyaratan yang dapat diterima; mereka, karena burger yang baru dibuat berada di luar sistem dati dan dengan demikian menjadi tergantung pada kemurahan hati kerabat mereka. Ketidakmampuan pejabat sipil dan militer Belanda di tempat serta kebijakan berpandangan pendek dari pemerintah Batavia dan Den Haag yang mendekati masalah-masalah rumit dengan cara yang paling kaku, hanya dapat mengukuhkan penduduk kepulauan dalam tekad mereka.

========= bersambung =========

 

Catatan Kaki

1.         Dalam bab ini penyebab langsung pemberontakan akan diteliti dan dalam hubungan ini kronologi singkat mungkin akan berguna, karena begitu banyak yang terjadi dalam waktu yang begitu singkat:

§  8 Maret 1817           : Kedatangan Komisioner Maluku di Ambon

§  14 Mei 1817             : Pecahnya pemberontakan di Saparua

§  20 Mei 1817            : Hancurnya ekspedisi Mayor Beetjes

§  1 Oktober 1817       : Tibanya A.A. Buijskes di Ambon

§  16 November 1817 : Akhir pemberontakan

2.        P. V.d.Kemp, "Het Herstel van het Nederlandsch Gezag" Bijdragen Vol. 65 (1911) p.504.

3.        P. V.d.Kemp, Het Nederlandsch Bestuur in 1817 tot het Vertrek der Engelschen. The Hague. (1913) p.21

4.        Letter from N.Engelhard to his brother-in-law, S.Van Basel, 12 June 1817. Rijks Archief, The Hague.

5.        “Adapun perannya dalam pemberontakan Saparua, yang sekarang dia salahkan pada Van den Berg yang malang, dengan menuduhnya melakukan tindakan, yang dia sendiri yang memberi perintah dan yang sekarang lebih suka dia bantah, dengan asumsi bahwa arsip Saparua sekarang akan hilang"

6.       Buyskes Report 472.

7.        Van Middelkoop's "Ambon Report" and "Sourabaya Report".

8.        cf. p.61.

9.       Van Middelkoop's "Ambon Report" and "Sourabaya Report".

10.     Van Middelkoop's Sourabaya Report.

11.       ibid.

12.      Buyskes Buitenzorg Report.

13.      Van Middelkoop's Sourabaya Report ff. 35-36.

14.      ibid.

15.      Saat pecahnya pemberontakan, baik karesidenan Hila maupun Haruku tidak mengambil tindakan apa pun sehubungan dengan pembuatan garam tersebut, tetapi Van den Berg telah memulai eksperimen tersebut.

16.     Keputusan no 39 tertanggal 12 April 1817

17.      C. van Vollenhove. Het  Adat Recht van Nederlandsch Indie. Leiden (1931), p.236.

18.      H.A.Idema. "De Oorzaken van den Opstand van Saparua in 1817" Bijdragen Vol. 79 (1923) pp. 598-618.

19.     Beban kerja wajib pengiriman kayu seringkali menimpa penduduk desa/negeri secara tidak adil. Hal itu, misalnya, mungkin yang membuat praktek “membeli” atau menggantikan kewajiban seseorang dengan hak paten dari satu kegiatan. Namun, ini berarti bahwa orang lain harus melakukan pekerjaan ekstra yang diperlukan untuk mengisi kuota yang tidak berubah

20.    Buyskes' Report 472

21.      Keputusan no 117 tertanggal Ambon, 2 Agustus 1817

22.     ibid.

23.     Keputusan no 47, Ambon 19 April 1817

24.     Ini secara langsung bertentangan dengan Laporan Porto yang menyatakan bahwa hanya pada tanggal 15 Mei senjata ditembakkan dalam upaya untuk membebaskan Residen di jalan antara Haria dan Fort Duurstede.

25.     Van Hiddelkoop's Sourabaya Report.

26.    Jelas mengacu pada fakta bahwa Daendels mewakili Louis Bonaparte yang adalah orang Prancis.

27.     Van Doren Op cit. p. 106

28.     Kaum Padri (istilah yang berasal dari kata Portugis Padre atau dari kota Pedir di Sumatra, Men of Pediri atau Padri) memainkan peran penting dalam kebangkitan Islam di wilayah Minangkabau di Sumatra. Mereka adalah anggota sekte Islam yang telah jatuh di bawah pengaruh gerakan puritan Wahhabi, saat berziarah ke Mekkah. Mereka menentang ajaran Islam yang politheis dan animisme dan berusaha untuk memperkenalkan norma-norma Islam yang sangat patriarkal di antara orang-orang Minangkabau matriarkal dan segera membuka konflik antara Islam dan adat. Cara-cara yang diadopsi kaum Padri begitu memperparah masalah penyesuaian adat Minangkabau dengan Islam, sehingga upaya tersebut berakhir dengan konflik bersenjata dan pembunuhan seluruh keluarga kerajaan Minangkabau, kecuali satu buronan. Otoritas Belanda, terutama karena alasan konservatisme, memihak penguasa pedalaman, yang, karena tindakan angkuh mereka, kehilangan kepercayaan rakyatnya. See S.Tas, Indonesia: The Underdeveloped Freedom. Pegasus, New York (1974) p.49. See also Christin a Dobbin. Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy, London 1984.

29.    Enklaar, op.cit. p.51.

30.    Van Doren, ibid.

31.      Engelhard Letter to S. Van Basel dated 12 June 1817.

32.     Van Middelkoop's Ambon Report.

33.     Keputusan no 47 tertanggal 8 Juni 1817

34.     Keputusan no 230 tanggal 23 Februari 1818

35.     Permintaan tanggal 30 April 1817

36.    Van Middelkoop's Sourabaya Report.

37.     Van Middelkoop's Sourabaya Report.  f. 26.

38.     A.R.Falck,Gedenkschriften p.467.

39.    ibid p.471.

40.    Penilaian ini jelas berdasarkan laporan Van Middelkoop.

41.      Buyskes' Report 472.

42.     Van Doren. op.cit. p.128.

43.     Dengan bijaksana ia memilih Regent dari dua negeri, yang satu terletak di selatan (negeri Booi) dan satu di utara Saparua (negeri Nolloth).

44.     cf. p.78.

45.     Van Doren. op.cit.

46.    Engelhard's Batavia ReEort.

47.     cf. p.76.

48.     Buyskes' Buitenzorg Report.

49.    Hanya 10 hari setelah pengangkatannya Van den Berg, dari 25 Maret hingga 4 April.

50.    Buyskes 1 Buitenzorg Report.

51.      ibid.

52.     cf. pp. 76 and 145.

53.     cf. footnote p.121.

Catatan Tambahan

a.        Ingatan atau memori Ver Huell ditulis dalam bukunya yang berjudul Herinneringen van eene reis naar de Oost-Indien, buku ini diterbitkan dalam 2 volume, volume I terbit tahun 1835, volume II terbit tahun 1836. Kedua volume ini dterbitkan oleh Penerbit Vincent Loosjes, Haarlem.

b.       Van Doren, memiliki nama lengkap Joannes Baptistus Josephus van Doren, lahir pada 31 Maret 1790 di Gent dan meninggal pada 14 Agustus 1873 di Bergen. Ia pernah bertugas di Gubernemen Maluku, di Ambon pada tahun 1836 di bagian sub-inspektorat.

c.        J.B.J. Van Doren, Thomas Matulesia, Het Hoofd der Opstandelingen op Het Eiland Honimoa na de Overname van Het Bestuur der Molukken door den Landvoogd Jacobus Albertus van Middelkoop in 1817, J.D. Sybrandi : Amsterdam, 1857.

d.       J. Jzn. Boelen, Het Merkwaardig Dagboek van een Nederlandsch Zeeman. 1795 -1860 , Vol. II, 1866.

e.        Van der Kemp, memiliki nama lengkap Pieter Hendrik van der Kemp, lahir pada 20 Mei 1845 di Naarden dan meninggal pada 9 Maret 1921.

f.         21 Regent Pulau Saparua dan Nusalaut yang menandatangani adalah sebagai berikut :

1.         H.E. Kesaulij                                  : Radja van Ullath

2.        P. Latumalisa                                 : Radja van Paperoe

3.        A. Tanalipij                                    : Radja van Tuhaha

4.        Melojior Kesaulija                        : Patih van Siri Sory

5.        J.W. Nikyaluw                               : Patih van Ouw

6.       J. Lishitu                                         : Patih van Haria

7.        J.M. Pattiasina                               : Patih van Booij

8.        Jeremias Latuhamawlo                                : Radja van Porto

9.       MS Titaley                                      : Radja van Saparoea

10.     JS Pattijwael                                   : Patih van Tiow

11.       M.S. Wattimena                            : Patih van Itawaka

12.      J.N. Huniselan                               : Radja van Nolloth

13.      A. Lelipaly                                      : Radja van Ihamaho

14.      Sarassa Sanaki                               : Patih van Sirry Sory Islam

15.      I.W. Hihanussa                             : Radja van Titaway

16.     N. Pattijnosarane                          : Radja van Amet

17.      A.J.W. Manusama                         : Patih van Abubu

18.      J.W. Patinala                                  : Patih van Nalahia

19.     Lucas Tanasaly                             : Patih van Leynitu

20.    A.L. Sosilisa                                   : Patih van Sila

21.      D.I. Tuwan kotta                           : Patih van Akoon

 

[Penulisan nama-nama seperti di atas berdasarkan penulisan yang dimuat dalam sumber P.H. van der Kemp]

 

g.        Pada tahun 1817 ini, hanya masih ada 1 negeri yang “legal” dan diakui oleh pemerintah Belanda yaitu negeri Siri Sory, belum ada negeri Siri Sori Kristen dan Siri Sori Islam.  Pada masa pemerintahan Inggris, di masa kepemimpinan Resident Byam Martin, komunitas Muslim di negeri Siri Sori telah mengajukan atau meminta agar pemimpin negeri Siri Sori berasal dari pemimpin beragama Islam, namun ditolak oleh Resident Martin.

h.       Gempa bumi hebat yang terjadi di Banda pada tanggal 8 – 11 Oktober 1816

§  Arthur Wichman, Die Erdbeben des Indischen Archipels bis zum jahre 1857, Johannes Muller : Amsterdam, Oktober 1918, hal 81-82

i.         festina lente bisa diartikan sebagai tindakan yang lambat atau aksi yang diperlambat atau yang “ditunda”.

j.         Resident van Menado yang dimaksud adalah Tammo Petrus Adriaan Martheze. Ia menjadi Resident van Menado dalam periode 1817 – 1819, sebelumnya adalah Assisten Resident van Indramayu (1814 – 1816).

k.        Komandan Sloterdijk, memiliki nama lengkap Jacobus Sloterdijk, lahir pada 7 Juli 1766 di Makkum dan meninggal pada 30 September 1817 di Ambon (karena bunuh diri). Sejak Feb 1815, pangkatnya menjadi Kapten Laut dan Komandan kapal Nassau (6 April 1815 – 30 September 1817), setelah kematian Kapten Laut D.H. Dietz, ia menjadi komandan skuadron angkatan laut di perairan Maluku (24 Maret 1817 – 30 Sept 1817).

l.         Bekas Radja van Pelauw adalah Pattijhena Latuconsina (sebelum 1803 – 1810-1817), sedangkan Orangkaija van Kailolo bernama Samajang Pattij Latuconsina (Feb 1806 – 1811-1817). Pattijhena dan Samajang diberhentikan di masa pemerintahan Resident Byam Martin (1811 – 1817).  

m.   A.R. Falck, memiliki nama lengkap Anton Reinhard Falck, lahir pada 19 Maret 1777 di Utrecht dan meninggal pada 16 Maret 1843 di Brussel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar