Kamis, 20 April 2023

Pemberontakan PATTIMURA 1817 : Penyebabnya, Jalannya peristiwa dan Dampaknya

 

(bag 4)

[P.J.M. Noldus]

 

Bab III

Pemberontakan

[Lanjutan]

Komisioner Maluku memutuskan bahwa tindakan segera lebih lanjut terhadap pemberontakan Saparua tidak mungkin dilakukan. Lebih banyak kapal bersenjata diperlukan, dan yang paling penting adalah mempertahankan daerah yang belum ditaklukan oleh pemberontak, yaitu Haruku dan Ambon sendiri.

Total kekuatan militer profesional di Ambon dan Kepulauan Uliaser sekarang hanya berjumlah 55 orang dari kesatuan artileri, 55 orang Eropa dan 250 serdadu pribumi; situasi genting, terutama untuk Ambon, dimana tindakan pencegahan harus diambil sebelum ke tempat lain.

Kaum Burger sekarang dikerahkan dan ditempatkan dibawah komando Magistratea, seorang bekas perwira angkatan laut. Ini menjadikan suatu korps berkekuatan 800 orang, dimana hanya 300 orang yang memiliki senapan; sisanya bersenjatakan tombak. Gubernur juga mengerahkan sukarelawan yang diperlukan, untuk bertugas di benteng Victoria Ambon. Ini menjadikan suatu korps yang berkekuatan terdiri dari 250 hingga 300 orang, yang diambil dari jajaran pegawai negeri sipil tingkat junior dan putra-putra kalangan bangsawan. 100 orang diantaranya memiliki senapan, sisanya dilatih untuk menjaga senjata-senjata perbentengan. Korps ketiga adalah semacam “penjaga” yang diambil dari penduduk negeri. Akhirnya ada sedikit orang Bengal yang tersisa di masa Inggris, dimana korps kecil ini terdiri dari 40 orang, berjalan kaki dan berkuda, dibentuk untuk tugas-tugas kepolisian; mereka akan berpatroli di kota dan, diharapkan, memadamkan setiap usaha pemberontakan secara cepat56.

Kora-kora Ternate & Tidore tiba di Ambon, 1817

Sultan Ternate dan Tidoreb juga menawarkan bantuan mereka kepada komisioner, tetapi Van Middelkoop merasa mereka tidak dapat dipercaya. Alasan mengapa mereka berpihak kepada kompeni, antara lain dapat ditemukan/dilihat dalam krisis suksesi di kepulauan ini dimana Sultan Ternate mencari dukungan dari pemerintah; juga hal penting adalah fakta bahwa mereka telah menerima pembayaran tahunan sejak tahun 1650 sebagai kompensasi atas pendapatan rempah-rempah yang hilang ketika kompeni memonopoli wilayah-wilayah Ambon dan menghancurkan semua pohon cengkih di wilayah Maluku lainnya, termasuk Ternate dan Tidore. Buijskes, beberapa bulan kemudian, memanfaatkan dukungan yang ditawarkan ini.      

Radja negeri Eti, Raja Alifuru pegunungan Seram, datang dengan sebuah kapal besar untuk menawarkan bantuannya melawan para pemberontak. Selalu ada masalah antara penduduk Seram pesisir selatan dan Alifuru pegunungan dan fakta bahwa pihak yang pertama (penduduk Seram pesisir selatan) bergabung dalam pemberontakan Matulesia mungkin merupakan alasan yang cukup bagi Radja negeri Eti untuk berpihak pada sisi lain. Namun pada titik ini juga, Van Middelkoop tidak menganggap bijaksana untuk mempercayai seorang pemimpin suku “primitif” ini.

Berita kemenangan pemberontak di Saparua disebarkan oleh utusan Matulesia ke pulau-pulau lain di Ambon, dengan harapan yang jelas bahwa mereka sekarang juga akan memberontak secara terbuka dan dengan demikian memaksa Belanda untuk mendistribusikan kekuatan mereka. Di Leitimor, semuanya tetap tenang, tetapi di semenanjung Hitu masalah meletus di beberapa tempat. Sejauh kekuatan manusia dimungkinkan, bala bantuan dikirim ke Pass Bagoela (Passo), Hila, Hitu Lama dan Liang. Di Hila, Resident dan Komandan Pasukan terbunuhc, tetapi para pemberontak dipukul mundur. Para tawanan digantung, tanpa diadili, di pohon-pohon yang tidak jauh.

Pemimpin pemberontak Hitu Islam adalah Raja Oeloepaha yang berusia 80 tahund, keturunan langsung dari keluarga yang secara tradisional melawan Belanda sejak abad ke-16 dan yang juga terlibat dalam upaya “kudeta bangsawan” pada tahun 179657. Karena lemah untuk berjalan, dia sendiri dibawa ke medan perang dengan kursi dan memberi perintah serta mendorong anak buahnya.

Untuk melindungi Hitu dan menghentikan kontaknya dengan Seram sebanyak mungkin, perahu-perahu pribadi disewa dan dipersenjatai. Liang di pantai utara Hitu jatuh ke tangan pemberontak, meskipun dengan korban jiwa yang banyak. Ambon segera mengirim bala bantuan ke Waai, sisi selatan Liang, untuk mencoba merebut kembali tempat ini. Jika komandan menganggap pasukannya yang terdiri dari 51 orang terlalu kecil untuk tujuan ini, maka detasemen di Bagoela akan ditambahkan. Hila, bagaimanapun, tetap menjadi “wilayah cadangan” para pemberontak dan dibawah kekuasaan Matulesia. Yang paling bisa dicapai adalah memastikan bahwa tidak ada bala bantuan lebih lanjut untuk para pemberontak yang bisa didatangkan dari Seram. Setelah Matulesia ditangkap dan pemberontakan di Saparua berhasil dipadamkan dengan kekuatan baru yang dibawa oleh Buijskes, orang-orang Hitu secara bertahap menyerah kepada pasukan pemerintah.  

==================================

Pada tanggal 25 Juni 1817, H.M. Reygersbergen”, yang dikomandani oleh Komandan Groote, berlayar memasuki teluk Ambon dan segera bersiap untuk ekspedisi ke Saparua. Kapal ini diperbantukan oleh kapal Iris, Swallow dan Dispatch, kapal Inggris lainnya, di bawah komando Kapten Crozierf, yang menolak/membantah perintah pemerintah di Bengal, dan secara aktif membantu memadamkan pemberontakan58. Armada siap berlayar pada tanggal 24 Juni 1817. Perintahnya, menurut Van Doren59, “untuk menghukum penduduk yang ikut serta dalam pemberontakan”, tetapi Engelhard dalam laporan ke Batavia menegaskan bahwa kapal itu berlayar “untuk berdialog dengan penduduk pribumi”60.

Selain itu, kru Reygerbergen membawa 24 orang burger bersenjata dan 12 orang burger tidak bersenjata dimana orang-orang ini bertindak sebagai pendayung orembai. Beberapa diantaranya kemudian terbukti tidak dapat diandalkan. 

Pesisir jazirah Hatawano (utara p. saparua), 1817

Tujuan pertama ekspedisi bukanlah, seperti yang diharapkan, ke ibukota pulau Saparua tetapi ke wilayah Hatawano di timur laut pulau Saparua. Di wilayah itu, ada 5 buah negeri di situg, dan diharapkan serangan di wilayah ini akan menyebabkan pengalihan dan mencegah para pemberontak menggunakan kekuatan gabungan mereka di Saparua61. Sepertinya agak aneh, karena Saparua berada di tangan para pemberontak dan pada saat itu pasukan pemerintah tidak melancarkan serangan ke kota itu. Namun, dapat dipastikan bahwa serangan ke wilayah Hatawano telah direncanakan.

Tembakan dimulai dari senjata-senjata di kapal tetapi hanya berbuah sedikit kerusakan karena tembakan hanya mengenai rumah-rumah bambu, hanya membuat lubang di dinding anyaman bambu. Diputuskan bahwa hal ini merupakan pemborosan bubuk mesiu dan tembakan. Hanya tembakan sporadis yang ditembakkan setelah itu, cukup untuk membuat para pemberontak khawatir. Para pemberontak tetap menantang dan berteriak “kemarilah orang Belanda dan orang burger Ambon, mendaratlah di pantai dan terimalah apa yang akan kami lakukan untuk kalian serta bawa pimpinanmu agar bernasib sama dengan Mayor Beetjes”62.

Komandan armada kini mencoba melakukan negosiasi. Bendera putih dikibarkan di semua kapal dan sebuah “perahu” dikirim ke darat dengan pernyataan yang ditinggalkan di pantai, diikat dengan bendera putih. Perilaku bebas ditawarkan kepada delegasi negeri-negeri. Malam itu kapal-kapal ditarik dari pantai dan perpanjangan waktu diminta; surat itu tidak bisa dijawab hingga hari Senin karena proklamasi atau pernyataan akan dibacakan di mimbar di semua gereja pada hari Minggu.  

Pada hari Minggu pagi sebuah surat yang ditempelkan pada bendera putih ditinggalkan di pantai. Isinya permintaan agar kapten kapal untuk datang ke darat karena penduduk desa tidak memiliki untuk pergi ke kapal. Letnan Ellinghuizenh bersama dengan Letnan Christiaanseni, yang merupakan bekas pemandu dan fasih berbahasa Melayu, pergi ke darat. Sebuah meja dan beberapa kursi diletakan di pinggir pantai dan negosiasi dimulai. Para Radja memberikan daftar keluhan sebagai berikut :63

1.         Bahwa mereka telah dihalangi dalam menjalankan agama mereka oleh pemerintah Belanda

2.        Bahwa mereka tidak senang dengan uang kertas yang diperkenalkan oleh Belanda karena mereka tidak bisa melayani/membantu orang miskin dengan uang seperti itu. Uang kertas tidak dapat dimasukkan ke dalam kotak-kotak untuk orang miskin karena kebiasaan mengharuskannya berupa uang koin

3.        Bahwa setelah mengedarkan uang kertas, Resident menolak untuk menerima pembayaran di toko-toko pemerintah tetapi meminta uang koin perak untuk semua pembayaran

4.       Bahwa Resident telah mengancam, jika mereka menolak, untuk membelenggu mereka dengan rantai dan mengirim mereka ke Batavia, tetapi jika mereka membayar dengan uang koin perak, hal itu tidak akan terjadi

5.        Bahwa Resident menuntut orang Burger dan penduduk negeri menyerahkan hak paten burger mereka dan kemudian menolak untuk mengembalikannya, kecuali mereka membayar 50 dolar spanyol (sekitar 125 gulden).

6.       Bahwa mereka harus mengirimkan garam dan daging kering (dendeng) buatan lokal tanpa dibayar

7.        Bahwa semua tenaga kerja dan persediaan bahan-bahan, yang dulunya dibayar oleh Belanda dan Inggris, sekarang dituntut untuk tidak dibayar64

Wakil komandan kemudian menanyakan kondisi-kondisi yang mereka inginkan agar bisa berdamai. Para Radja menjawab bahwa mereka menginginkan 2 pendeta dari Batavia untuk layanan keagamaan mereka. Hal ini disetujui, diputuskan bahwa bendera putih akan terus berkibar sampai keluhan mereka disampaikan kepada Gubernur.

Kemudian pagi itu, sebuah permintaan datang dari 5 negeri untuk mengirim Christiaansen ke Saparua untuk berunding dengan Matulesia. Christiaansen bersedia untuk pergi dan berangkat sore itu ke pesisir barat pulau Saparua, melakukan perjalanan darat ke Saparua. Dari sana, sepucuk surat tiba, yang ditandatangani oleh para pemberontak dan Christiaansen, yang mengatakan bahwa rakyat sangat ingin berdamai dan keesokan harinya seorang perwira dan seorang kadet harus pergi  ke kota Ambon. Komandan mengirim salah satu perwiranya, Letnan Boelenj, ke Ambon untuk berunding dengan Gubernur. Para pemberontak, menjadi tidak sabar, menulis sejumlah surat kepada Komandan yang terus mengulur waktu, tetapi, atas permintaan baru dari pihak pemberontak, dia mengirim Letnan muda Feldmank ke Saparua untuk berunding dengan para pemimpin pembeontakan.

Pada tanggal 18 Juli 1817, menyadari bahwa dia tidak dapat mengulur waktu lagi, komandan mengirim surat kepada pihak pemberontak yang menunjukkan bahwa dia akan datang ke darat untuk berunding dan bahwa dia mengharapkan Letnan Christiaansen dan Letnan muda Feldman berada di sana.

Sementara Feldman ketika dia telah mencapai Saparua dimana dia bertemu dengan sekitar 600 orang pemberontak bersenjata, yang dipimpin oleh Matulesia. Atas perintah Matulesia, mereka semua mengarahkan senjata atau menodong Feldman saat dia sedang diinterogasinya oleh Matulesia. Beberapa kali Matulesia melompat dan mengayunkan parangnya ke leher Feldman, menanyakan apakah dia harus membunuhnya. Dia kemudian mengikat Feldman di ekor kuda yang ditunggangi Matulesia dan menaikinya ke rumah ibunya sekitar 1 jam jaraknya dari Saparua. Para wanita tua memandang Feldman dengan kasihan tetapi tidak ada yang berbicara. Ketika ditanya tentang orang tuanya, Feldman menyebutkan bahwa ayahnya adalah seorang Pelayan Gereja/Pendetal dan kemudian ia diperlakuan secara baik. Para pemberontak mengatakan kepadanya bahwa mereka ingin ayahnya datang ke Saparua sebagai Resident mereka dan dia harus menulis permintaan itu kepada ayahnya. Pada tanggal 19 Juli 1817, dia dikirim kembali ke Hatawano setelah menjanjikan kepada Matulesia untuk menyampaikan permintaan Matulesia kepada komandan untuk mengirim sutra hitam dan bubuk mesiu65.

Feldman kembali ke Reygersbergen di pagi hari tanggal 19 Juli 1817, tetapi Christiaansen, yang menurut Feldman mengalami masa-masa yang sangat buruk, tidak diizinkan kembali ke kapal oleh penduduk desa/negeri dan ditahan di pantai.

Pada jam 14.00 siang hari itu komandan Groot sendiri pergi ke darat untuk berunding. Menyadari bahwa dia tahu apa yang terjadi pada utusannya, perilaku Groot tampak aneh. Mungkin itu masalah tidak ingin meninggalkan Christiaansen pada takdirnya, mungkin dia benar-benar berpikir bahwa penampilan barunya yang berani ini akan membuahkan hasil.

Para pemimpin desa mengenakan baju panjang mirip rok berwarna hitam yang terbaik dan menerima delegasi dengan penuh hormat. Ketika ditanya oleh Groot mengapa mereka berperang melawan pemerintah, mereka menjawab karena agama. Melihat orang-orang bersenjata berkumpul di tempat pertemuan dan mengamati bahwa beberapa Regent mencoba meninggalkan pertemuan secara diam-diam, komandan memberi perintah untuk segera kembali ke kapal. Mereka baru saja membuat kapal barkas (sejenis tongkang) sebelum masa bersenjata mencapai mereka66. Pada saat itu Matulesia muncul. Atas perintahnya, para pemberontak harus menyerang pasukan Belanda pada saat ia muncul dan menyerahkan mereka kepada dalam keadaan hidup atau mati. Hanya kapten Crozier asal Inggris, yang bertindak sebagai penerjemah, yang harus dibiarkan hidup karena Inggris dianggap sebagai sekutu67.

Pada pagi hari tanggal 21 Juli 1817, pasukan yang mendarat membakar rumah-rumah penduduk desa termasuk rumah Radja setempat dan gereja; perahu dan kapal-kapal yang lebih besar mengalami nasib yang sama. Ada sekitar 20 rumah yang terbakar di negeri itu. Mengapa semua kekuatan pasukan ini digunakan dan desa terbakar sulit dijelaskan; itu dilakukan atas perintah Gubernur dan tampaknya sekali lagi menunjukkan ketidaksesuian total pemerintah Ambon baik dalam hal sipil maupun militer. 

Kapal Reygersbergen berlayar ke [negeri] Saparua pada tanggal 31 Juli 1817. Kapal Iris telah berlayar beberapa hari sebelumnya dengan perintah untuk berlayar beberapa hari di Laut Banda untuk mencegat pengiriman senjata dan amunisi dari pulau-pulau seperti Flores dan Soembawa, setelah ia akan bertemu dengan Reygersbergen, Maria dan Dispatch di perairan Saparua68.

Saat berlayar di perairan Nusa Laut, kapal Iris, disambut oleh sebuah prahu yang mengibarkan bendera Belanda dan membawa seorang Pattijm dari kepulauan itu, yang melaporkan bahwa penduduk dari seluruh 7 negeri setia kepada pemerintah69 dan bahwa dia telah dikirim untuk meminta bantuan melawan pemberontak yang ada di pulau itu dan melawan Kapitan Lucas70/n. Lucas ini adalah orang yang sama yang dikenal sebagai Thomas Matulesia. Pattij itu melaporkan bahwa kapitan Lucas ini sekarang menguasai pulau Saparua, Haruku dan Nusa Laut dan atas perintahnya para Radja tidak lagi memiliki kekuasaan atas penduduk. Dia (Lucas) bersedia berdamai dengan pemerintah Belanda dan bersedia mentolerir seorang Resident, selama pejabat itu berada di bawah wewenangnya.

Para Radja/Pattij yang telah berunding di pantai Hatawano pada tanggal 19 Juli 1817 juga memberikan informasi tentang Benteng Duurstede, yang, katanya telah dikelilingi oleh perangkap dan jebakan manusia; semua perangkap itu telah dibuat berduri dan semua gerbang telah diikat dengan baja. Mereka lebih lanjut juga melaporkan bahwa di Saparua juga, sebagian besar penduduk desa lebih menyukai pemerintah Belanda, tetapi banyak di bawah kekuasaan Kapitan Lucas untuk berani menyampaikan keberatan karena takut kepala mereka dipenggal.

=====================

Pada tanggal 1 Agustus 1817, armada yang telah beroperasi di Hatawano berlayar ke selatan untuk memulai serangan ke Benteng Duurstede dan kota Saparua. Untuk rincian aksi armada beberapa hari ke depan, penulis akan banyak menggunakan jurnal kapal H.M. Reygersbergen, yaitu oleh komandan Groot.

Pada tanggal 3 Agustus 1817, jam 05.30 pagi, pasukan pendaratan naik ke perahu-perahu, sementara pada saat yang sama senjata berat melepaskan tembakan ke benteng. Perlawanan balik tidak terlalu besar dan pada jam 06.00 pagi bendera Belanda berkibar lagi di atas benteng. Terlepas dari informasi yang diberikan oleh Pattij dari pulau Nusalaut, benteng Duurstede ternyata tidak berpenghuni. Matulesia mungkin telah memutuskan bahwa bahwa begitu kapal-kapal perang Belanda mengepung benteng dengan senjata angkatan laut berat mereka yang tidak dapat dilawan oleh para pemberontak, anak buahnya akan terperangkan di benteng dan tidak dapat terlibat lagi dalam pertempuran lebih lanjut. Di dalam benteng, semua senjata telah dihancurkan dan sejumlah peluru ditemukan72. Pada siang hari benteng disiapkan untuk pertahanan. Senjata dibawa dari kapal dan rumah-rumah di pinggir benteng, termasuk rumah Resident dibakar untuk membersihkan medan api. Tidak banyak terlihat para pemberontak yang telah melarikan diri ketika senjata berat ditembakan secara membabi buta.

Perebutan Benteng Duurstede sebagian besar merupakan kemenangan moral. Seluruh pulau masih berada di tangan pemberontak dan hanya kelompok bersenjata lengkap yang bisa keluar dari benteng. Satu-satunya sumur yang tersedia untuk kebutuhan benteng dan juga untuk kapal-kapal yang berada beberapa meter di luar tembok benteng, kadang-kadang mengering. Objek ini juga berada dalam sasaran tembakan penembak jitu yang konstan oleh para pemberontak. Nilai strategis terbesar dalam penaklukan atau perebutan benteng adalah fakta bahwa hal itu “menekan” moral pasukan musuh, mencegah serangan lebih lanjut seperti yang terjadi di Haruku pada 3 Juni 181773.

Jika Groot ingin mengambil tindakan tegas, dia akan membutuhkan persediaan dari setiap deskripsi, tapi Ambon tampaknya kekurangan sumber daya dan ketabahan untuk mengelola urusan. Setelah lama tertunda, kapal dagang Annao tiba dengan air dan bubuk mesiu tanpa ada pemantik, peluru atau bala bantuan. Penduduk desa, sementara itu, pada malam yang gelap, telah membangun benteng batu karang di dekat benteng dan ketika satu bagian hancur, bagian lain akan dibangun kembali. Pada hari Minggu 21 September 1817, para pemberontak muncul dengan meja dan kursi, berpakaian hitam dan berteriak ke arah benteng bahwa mereka ingin mengadakan kebaktian gereja di lapangan. Tembakan dari arah benteng segera meyakinkan mereka bahwa itu dianggap sebagai tipu muslihat untuk memikat pasukan orang Ambon beragama Kristen untuk bergabung dengan pihak pemberontak.

Komandan Groot, yang masih berharap dapat membujuk para pemberontak untuk menyerah, mengeluarkan pernyataan/proklamasi, yang banyak salinannya ditinggalkan di lapangan oleh serdadu yang berpatroli. Isinya menyarankan para pemberontak untuk menyerah dan dengan demikian menghindari harta benda dan rumah mereka dibakar atau dihancurkan. Isinya juga menawarkan hadiah 1000 gulden untuk menyerahkan Matulesia, baik hidup atau mati. Tanggapan para pemberontak adalah menggantung naskah proklamasi ini di tiang di depan benteng, menunjukkan ejekan mereka74.

==========================

Meskipun Ambon telah menerima berita tentang pemberontakan sejak tanggal 16 Mei 1817, komisioner Maluku belum memberitahu Komisi Jend di Batavia sampai tanggal 2 Juni 1817, dalam sebuah surat yang dibawa oleh kapal Nautilus yang telah berlayar dari Ambon pada tanggal 9 Juni 1817. Tidak diragukan lagi mereka masih berharap dapat menghentikan pemberontakan dalam waktu singkat. Nautilus adalah kapal Inggris yang membawa Resident Mackenzie kembali ke Bengal, sebuah kapal yang sama yang diharapkan oleh komisioner Maluku akan bersedia untuk membantu memadamkan pemberontakan. Berita tentang Maluku yang tersampaikan ke Komisi Jend oleh Mackenzie, hanya menguatkan hilangnya kepercayaan mereka terhadap Komisioner Maluku.

Komisi Jend segera bertindak. Melalui dekrit rahasia tertanggal 24 Juni 1817, diputuskan bahwa Buijskes, komisaris ketiga, akan berlayar ke Maluku dengan bala bantuan. Ekspedisi akan berkumpul di Surabaya dan berangkat secepat mungkin.

Keesokan harinya, keputusan penting tanggal 25 Juni 1817, tentang perselisihan yang tampaknya terjadi antara komisaris Ambon, memberi Buijskes wewenang untuk membubarkan komisi ini dan memikul tanggung jawab pemerintah sendiri, jika dianggap perlu. Setelah berkonsultasi dengan Mackenzie, Komisi Jend memiliki sedikit keraguan bahwa kesalahan atas peristiwa-peristiwa bencana itu sebagian besar harus dibebankan pada para komisioner Maluku.

Dalam sepucuk surat kepada Buijskes, yang saat itu telah berangkat ke Surabaya untuk mengawasi persiapan ekspedisinya, mereka menulis pada tanggal 28 Juni 1817 :

Tampaknya para pejabat Belanda tidak menyadari perlunya memperlakukan penduduk pribumi, terutama orang Kristen, dengan kelembutan dan bahwa untuk menjaga perdamaian, justru tindakan yang berlawanan harus diambil, daripada sebenarnya yang perlu diambil.

Oleh karena itu keyakinan kami bahwa dimana tidak ada keterlibatan langsung (dengan revolusi) yang telah terjadi, kita tidak bisa terlalu lunak.

Mereka yang berpartisipasi dalam pemberontakan dan kejahatan yang menyertainya, kemungkinan besar akan, karena takut akan hukuman, bertahan, dan tindakan yang sepadan dengan perilaku mereka harus diambil; tetapi karena tujuan kami adalah untuk mendapatkan keuntungan dari kepemilikan ini, maka tindakan penggunaan kekuatan akan  dilakukan secara bijak.

Kita tidak boleh mengabaikan untuk menyebutkan bahwa, sebenarnya, perilaku para komisioner yang, seperti yang kita pahami, hidup di tengah permusuhan, bagi kita tampaknya sangat tidak diinginkan dan kelayakan untuk jabatan Tuan Middelkoop sangat diragukan. Pemberhentian dari jabatannya oleh karena itu tampaknya disarankan dan kami puas untuk menyerahkan masalah ini kepada anda.75

Pasukan Buijskes yang dibawa bersamanya ke Maluku terdiri dari 250 orang, baik Eropa maupun pribumi, dibawah komando seorang yang masih muda, berusia 28 tahun, yaitu Mayor Meyer76/p. Buijskes tiba di Ternate pada tanggal 1 September 1817, dan membahas pembaruan kontrak dengan Sultan Ternate dan Sultan Tidore. Sultan Tidore, yang telah merebut tahta dengan bantuan Inggris, mengalami kesulitan dengan putranya, Sultan Mudaq, yang bertahta dan dengan wilayah-wilayah vasal di beberapa distrik yang menolak untuk mengakui haknya atas tahta. Buijskes mengadili masalah itu, meyakinkan Sultan Muda untuk tetap tinggal di Ternate sampai pemerintah bisa memutuskan masalah itu. Sultan Ternate dan Sultan Tidore kemudian “memberikan bukti keterikatan mereka dengan pemerintah Belanda dengan memberikan masing-masing 20 kora-kora bersenjata dan berawak untuk saya”77. Buijskes jelas lebih percaya kepada Sultan daripada yang dilakukan Van Middelkoop 2 bulan sebelumnya, suatu hal yang tidak dikomentari Buijskes. Kora-kora ini, dari Ternate dan Tidore dipersenjatai dengan senjata putar, dan semua pria berbadan sehat yang dapat ditemukan dipaksa untuk bertugas, tampaknya sangat bertentangan dengan keinginan mereka. “Benar-benar sangat baik semangat juang orang Ternate”78, tulis seorang pengamat “bahwa beberapa orang menangis seperti anak-anak sementara yang lain mati-matian mencoba melompat ke laut atau melarikan diri ke pegunungan”. Angin selatan yang tidak henti-hentinya mencegah keberangkatan kapal dari Ternate hingga tanggal 12 September 1817, dan bahkan angin sebaliknya membuat kemajuan sangat lambat sehingga armada tidak mencapai Ambon sampai 1 Oktober 1817.

=========================

Pada saat kedatangan Buijskes, keadaan di Maluku sangat serius. Semua negeri di Pulau Saparua memberontak. Benteng Duurstede berada di tangan Belanda tetapi begitu “terkepung” sehingga mengambil air dari sumur, hanya 25 langkah dari tembok benteng adalah urusan yang berbahaya. Di pulau Haruku hanya negeri Samet dan Haruku yang tetap setia, tetapi banyak dari penduduk bahkan bersimpati dengan pemberontak. Pulau Nusa Laut sepenuhnya berada di bawah kekuasaan pemberontak. Pesisir selatan pulau Seram juga bersimpati pada perjuangan pemberontak dan telah mengirim orang-orang bersenjata ke Saparua, Haruku dan Hitu. Hanya semenanjung Leitimor di Ambon yang tetap setia pada Belanda.

Tindakan pertama Buijskes adalah pemecatan Van Middelkoop dan Engelhard atas dasar ketidakmampuan dan perilaku yang membahayakan mereka sejauh pegawai negeri tidak dapat mempercayai otoritas mereka. Dalam kasus Van Middelkoop, inkompetensi telah mengakibatkan perintah yang tidak bijaksana mengenai pasokan kayu, dan pembayaran dengan uang kertas di daerah-daerah dimana hal ini tidak dapat dipertukarkan; dimana kedua tindakan ini pasti akan menyebabkan ketidakpuasan terhadap penduduk.

Pada tanggal 3 Oktober 1817, Buijskes mengambil alih pemerintahan, tetapi karena tugas militernya, ia tidak dapat memberikan perhatian penuh terhadap tugas ini, sehingga ia memutasi Resident van Ternate, yaitu Neijsr, untuk menjalankan urusan pemerintahan sehari-hari. 

Peta Operasi Penumpasan Pemberontakan Pattimura

Buijskes yakin bahwa musuh yang diserang dari 2 arah atau lebih bisa dianggap kalah, apalagi jika disiplinnya lemah. Dia menjadikan pemulihan perdamaian di Ambon sebagai prioritas utamanya dan ketika 20 kora-kora dari Ternate dan Tidore tiba pada 12 Oktober 1817, dia siap menghadapi pemberontak di semenanjung Hitu.

Pada tanggal 10 Oktober 1817, ia telah menandatangani proklamasi kepada penduduk-penduduk negeri di pesisir barat Hitu dari Wakasihu ke Hila, memaksa untuk menyerah dan memberikan amnesti atau pengampunan kepada para pemimpin79. Serangan terhadap Hitu pada tanggal 12 Oktober 1817 dilakukan dari laut di Larike dan Hila, sementara pada saat yang sama pasukan darat melintasi pegunungan Hitu dari Laha dan Baguala/Passo, tetapi bahkan sebelum tindakan ini dimulai, pemimpin-pemimpin negeri Seit dan Lima pergi ke Ambon untuk menyerahkan diri. Namun mereka dicurigai karena telah meninggalkan wanita dan anak-anak mereka sehingga mereka ditahan di Ambon. Di sebagian besar negeri, pasukan pemerintah, dalam perjalanannya, disambut oleh utusan-utusan yang ingin menyerah, mengklaim bahwa negeri mereka selalu setia, tetapi telah dipaksa oleh Radja Oelapaha untuk mengambil bagian dalam pemberontakan. Beberapa pertempuran kecil yang terjadi biasanya berakhir dengan pelarian para pemberontak, yang dikejar oleh pasukan Alifuru Ternate yang membunuh ratusan orang.

Ekspedisi yang menang kembali ke Ambon pada 19 Oktober 1817. Keberhasilan mereka yang cepat memulihkan kepercayaan kepada pemerintah dan kekuatan militernya. Sejumlah negosiator yang selama ini ragu-ragu datang untuk menyerahkan diri. Semangat membumbung tinggi di antara para kaum burger Ambon yang kini ingin melawan para pemberontak. Lebih dari 300 sukarelawan dan mereka dipersenjatai dengan senjata yang disita dari pemberontak.

Buijskes memutuskan untuk memimpin operasi penumpasan di Haruku dan Saparua secara pribadi. Negeri Pelauw dan Kailolo hanya menunjukkan perlawanan yang lemah. Buijskes telah memberi perintah agar negeri Pelauw tidak dihancurkan tetapi, “untuk menghukum para pemberontak dan pada saat yang sama memuaskan kerakusan para sekutu, yaitu mengizinkan melakukan penjarahan selama 24 jam”. Proklamasi telah mencapai pegunungan dan sekarang ratusan penduduk desa kembali. Semua pemberontak dikurung di dalam gereja dan hal itu dirasa akan menjadi contoh. 21 pemimpin, termasuk guru djemaat yang sudah tua, dipilih dan dibawa ke alun-alun gereja dimana mereka mendapat perintah untuk berlutut dan berdoa, setelah itu mereka dieksekusi. Apakah hukuman ini sah?? Apakah hal itu bermanfaat?? Banyak diskusi kemudian terjadi mengenai legalitasnya. Mengenai kegunaannya, beberapa orang berpendapat bahwa penembakan itu adalah peringatan yang bermanfaat, tetapi yang lain merasa bahwa semua itu dilakukan hanya akan memperkuat tekad para pemberontak. Mengingat apa yang terjadi di abad ke-20 kita, kita mungkin harus berhati-hati dengan penilaian kita. Komentar Verhuell layak dicatat :

“ Sudah pasti bahwa hukuman ini memiliki pengaruh yang kuat pada semua orang yang masih memberontak dan telah menyelamatkan banyak darah, karena gagasan menyerah sekarang berakar lebih kuat. Oleh karena itu penting bahwa contoh harus ditegakkan dan sebagai keadilan yang ketat diamati, mereka menjadi yakin bahwa perang ini tidak dilancarkan terhadap mereka karena haus darah, tetapi untuk membawa mereka kembali dari cara mereka yang telah salah80.

Verhuell jelas mencoba untuk meringankan eksekusi tetapi dia hampir tidak meyakinkan. Harus diingat bahwa janji amnesti telah diberikan sedemikian luasnya, sehingga dengan kekuatan itu, orang-orang telah kembali dari hutan atau gunung untuk menyerah. Ketika Verhuell berargumentasi bahwa penghukuman memiliki pengaruh yang kuat untuk kebaikan dan menyelamatkan banyak darah karena “gagasan menyerah sekarang telah berakar kuat”, Van Rees81 beralasan : “ Mereka tidak lagi mempercayai janji pengampunan dan tidak berani meninggalkan hutan”. Pertahanan gigih di Saparua yang telah dibahas pada bab ini, tampaknya lebih membenarkan pendapat Van Rees daripada Verhuell.

======================

Pada paruh kedua bulan Oktober, Buijskes memerintahkan komandan kapal Evertsen, Verhuell, ke Saparua dan meskipun jaraknya hanya 15 mil, kapal membutuhkan waktu 2 hari penuh untuk sampai ke sana, karena musim hujan. Komandan Groot dan kapal Reygersbergen masih berlabuh di benteng Duurstede, yang sekarang dikomandoi oleh Kapten Lisnets.

Sementara itu para pemberontak semakin berani dan jumlah mereka terus meningkat. Benteng batu karang milik pemberontak semakin dekat ke benteng dan negeri Tiouw, sedikit ke arah pedalaman dari benteng Duurstede, terlihat telah diperkuat dengan baik dengan tembok pembatas batu. Sifat batu karang itu sedemikian rupa sehingga berhenti dan menahan peluru sementara dindingnya tetap utuh, sehingga tidak ada gunanya membuang bubuk mesiu dan peluru dari senjata kapal yang berat. 

Buijskes sekarang memutuskan untuk menyerang dari 2 sisi memaksa pemberontak untuk membagi kekuatan mereka82. Serangan akan datang dari benteng Duurstede, yang sudah berada di tangan pasukan Belanda, dan dari Haria dan Porto, dimana pendaratan dilakukan tanpa banyak perlawanan. Dalam pertempuran, kedua negeri ini dibumihanguskan. Kedua detasemen pemerintah bergerak maju ke arah negeri Tiouw. Ini adalah perjalanan yang sulit, jalannya adalah jalur sempit dengan semak lebat di kedua sisinya, memberikan perlindungan yang sangat baik bagi penembak jitu pihak pemberontak. Juga pasukan pembantu dari Alifuru memperlambat gerak maju pasukan Belanda. Mereka terbiasa melawan dari posisi penyergapan dan tidak mau maju. Begitu pasukan tiba di Tiouw dan menyerang dari kedua sisi, negeri Tiouw dan negeri Saparua, benteng kuat yang tidak dapat bertahan, berada di tangan pasukan pemerintah pada jam 08.00 pagi.

Meyer memberikan gambaran tentang benteng-benteng milik negeri : seseorang tak cukup heran dengan pembangunan pertahanan musuh; dinding batu karang setebal 12 sampai 14 kaki dan tinggi 15 kaki, ditopang di kedua sisi dengan balok berat yang tidak dapat ditembus oleh 30 penggilas.

Hal lain yang membuat heran dan kecewa Belanda adalah kenyataan bahwa pemberontak menganggap pemberontakan mereka hampir sama seperti Perang Suci. Seperti yang telah kami tunjukkan, orang Ambon yang berorientasi gerejawi selalu menganggap negara dan gereja sebagai satu kesatuan. Campur tangan dengan agama berarti bahwa pemerintah tidak setia kepada Gereja Tuhan dan karena itu mereka tidak lagi terikat untuk mematuhi penguasa dunia yang telah melanggar iman. Bukti ini dapat dilihat pada fakta bahwa Letnan ‘t Hooftt, saat berada di Gereja Saparua, telah menemukan Alkitab yang terbuka pada Mazmur 17u :

                       “Dengarkanlah, Tuhan, perkara yang benar

                       Sembunyikan aku dalam naungan sayap-Mu

                       Terhadap orang-orang fasik yang menggagahi aku

                       Terhadap musuh nyawaku yang mengepung aku

                       Luputkanlah aku dengan pedang-Mu daripada orang fasik.

Pada tanggal 10 November 1817, parade pasukan dari Tiouw berangkat pagi-pagi sekali : 400 orang dibawah pimpinan Kapten Kriegerv, ditambah 150 orang Alifuru Ternate. Kini, untuk pertama kalinya, pasukan menemukan lintasan yang dibuat/dibangun oleh Matulesia di Siri Sori. Pada saat yang sama armada kora-kora Ternate dibawah pangeran mereka, O Toesan, menyerbu pantai dan setelah perlawanan kecil yang mengejutkan, 9 benteng ditaklukkan dan Siri Sori jatuh ke tangan mereka.

Di depan gereja, pasukan menemukan sebuah meja dengan 4 gelas dan sebotol anggur. Verhuell berasumsi bahwa pemimpin pemberontak telah memulai sarapan dengan santai, tidak menyangka bentengnya akan direbut begitu cepat. Ini tampaknya agak tidak mungkin, dan penjelasan yang lebih logis adalah bahwa meja yang disajikan dimaksudkan sebagai isyarat persahabatan dan penyerahan. 

Satu-satunya oposisi nyata ditemui di negeri Oelat dan Ouw. Sebuah kelompok pengintai yang terdiri dari 60 orang melaporkan bahwa musuh banyak, memiliki benteng yang kuat dan dilengkapi dengan senjata api. Mayor Meyer, tidak ingin segera menyerang karena dia telah mengirim beberapa detasemen ke pegunungan untuk menyebarkan proklamasi dan menangkap pemimpin-pemimpin yang melarikan diri, dan dengan demikian pasukannya habis. Meskipun dia menganggap lebih bijaksana untuk menunggu kembalinya detasemen-detasemen ini, dia membiarkan pikirannya diubag oleh komandan keduanya, Kapten Krieger. Krieger dan mungkin Meyer sendiri merasa bahwa laporan tentang kekuatan yang begitu kuat di Oelat dan Ouw, mungkin dibesar-besarkan dan pergerakan maju ke negeri-negeri dengan kekuatan yang telah menjadi 118 orang85. Karena kekurangan amunisi, perintah diberikan untuk pasukan bayonet. Terlepas dari kenyataan bahwa semua petugas terluka dalam serangan itu (Mayor Meyer akan meninggal karena luka-lukanya beberapa minggu kemudian), 8 kubu pertahanan dan balok-balok kayu dirampas. Tetapi ketika pasukan memasuki negeri Ouw, yang terletak di kaki gunung yang curam, mereka menyadari dikelilingi oleh tembakan musuh. Serdadu-serdadu Jawa mulai goyah dan hanya ancaman tembakan dari pasukan mereka sendiri yang membuat mereka berdiri teguh. Pasukan musuh berjumlah beberapa ribu. Pasukan Meyer, di tempat perlindungan kubu pertahanan yang ditaklukkan, bertahan dan malam hari menerima bantuan 100 orang dari detasemen angkatan laut yang kuat dari Tiouw. Pasukan ini bertahan sampau tengah hari keesokan harinya ketika bala bantuan lebih lanjut berupa 3 kora-kora Ternate tiba. Musuh segera mundur dan negeri itu ditaklukkan. Para pemberontak telah bertempur dengan gagah berani, diilhami, bukan oleh Radja negeri, Paulus Triagow, tetapi oleh putrinya yang berusia 16 tahun, Christina Martha. Dia telah membantu membangun kubu pertahanan dan, ketika amunisi habis, dia adalah orang pertama yang melempari pasukan Belanda dengan batu. Pada akhirnya dia diseret, lemas setengah mati, keluar dari rumah yang terbakar, masih memegang tombak di tangannya. Ini adalah akhir dari perlawanan.

==============================

Selama bintangnya sedang naik daun, pemimpin pemberontak, Thomas Matulesia, tetap bergaya, pertama di rumah Resident di Saparua dan kemudian di rumah di Haria. Dia memberikan istrinyax dengan gelar “Putri Saparua”. Dua memiliki banyak pelayan dan dari waktu ke waktu, dia mengundang para Radja untuk makan malam. Di sisi lain dia memastikan bahwa negeri-negeri yang telah dia tundukkan, atau yang telah memilih berada di sisinya, tetap di bawah perintahnya. Pekerjaan sehari-hari berjalan seperti biasa dan hari Minggu didedikasikan untuk kegiatan agama. Regent yang tidak dapat diandalkan diberhentikan dan yang lemah dihukum. Dia menolak proposisi untuk menghancurkan budidaya cengkih; sebenarnya dia melakukan semua yang dia bisa untuk mempromosikannya. 

Christina Martha Tiahahu, lukisan Q.M.R. Verhuell

Surat edaran tertanggal 29 September 1817 menunjukkan betapa teguhnya Pattimura memegang teguh iman Kristen :

“ Kepada semua Regent pulau Seram. Pertama-tama : Saya dengan ini menginstrusikan kepada Anda semua, para Radja, Pattij, Orang Kaija, agar Anda melihat ini, sejauh mungkin, bahwa semua orang Kristen, baik mereka anggota komunitas atau tidak, baik laki-laki maupun perempuan, agar terus hidup dalam damai seperti yang biasa kita lakukan, dan Anda terus memajukan kepentingan orang-orang Kristen kita sesuai dengan perintah Yang Maha Kuasa yang di surga. Ini harus dilakukan dengan pergi ke Gereja pada hari Minggu dan menghadiri pertemuan-pertemuan selama seminggi. Jangan ada orang yang ceroboh dalam menaati perintah-perintah Tuhan – sehingga kita dapat memperoleh kekuatan dan dorongan dalam hal ini perang yang harus dilakukan untuk memperbaiki nasib kita dan daerah kita. Kedua, Anda harus memasikan bahwa anak-anak harus pergi ke sekolah. Menurut adat/kebiasaan kita, semua ayah dan ibu harus mempercayakan anak-anak mereka ke dalam usaha guru, sehingga mereka diajari kata Tuhan sebagai seorang Kristen, untuk kemuliaan daerah kita, sesuai dengan kehendak suci Tuhan. Selanjutnya, jika ada di antara kamu tidak memenuhi instruksi ini, dia akan dihukum dan diadili, dia akan dibunuh dan semua keluarganya bersamanya “.

Matulesia, jelas melihat dirinya sebagai penjaga iman Kristen yang ia rasakan terancam oleh sikap pemerintah. Namun, dia tidak menganggap dirinya sebagai seorang nabi, apalagi seorang Mesias. Dia tetap menjadi Calvinis yang setia sampai akhir.

Setelah jatuhnya negeri Siri Sori, Radja negeri Booiy, sebuah negeri di seberang teluk dari Siri Sori, mendekati komandan Belanda, menawarkan untuk menyerahkan Matulesia kepadanya, asalkan dia diberikan beberapa pasukan untuk menemaninya. Raja Booi itu telah dipecat atau diberhentikan oleh Matulesia. Belanda pada saat itu sangat bersedia untuk memanfaatkan pertikaian internal di tengah-tengah orang Ambon. Letnan Pietersenz, seorang perwira Ambon, dengan 40 orang dalam 2 arumbai dikirim bersama Radja. Dia memasuki sebuah rumah yang ditunjukkan kepadanya dan memang menemukan Matulesia “bersedih dan tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya”86. Pietersen menyarankan Matulesia untuk menyerah dan kemudian dengan ragu-ragu ditawan oleh Radja Booi. Begitu berada di kapal Evertsen, Matulesia menolak untuk banyak bicara dan ketika Pangeran Ternate O Toesan bertanya kepadanya, bagaimana dia bisa begitu gegabah untuk berperang melawan institusi sekuat “kompeni”, dia tetap diam, “tetapi menatap pangeran dengan mata penuh kebencian”87

Lukisan penyerahan Jean Lubert van den Berg, Tiouw November 1817

Atas permintaan Mayor Meyer, perintah diberikan untuk membakar semua kapal milik para pemberontak. Saat mendarat di pantai Paperu untuk membakar arumbai, sang pemiliknya, seorang penduduk desa yang telah tua, memohon kepada para serdadu untuk tidak menghancurkan satu-satunya sarana hidupnya, sebagai imbalannya ia akan menunjukkan kepada mereka tempat persembunyian Latumahina, komandan ketiga pemberontak. Dua pemimpin pemberontak penting lainnya, Anthonij Rhebok dan Thomas Pattiwael, juga ditangkap, tetapi penulis belum dapat menemukan rincian peristiwa atau tanggalnya.

Verhuell yang telah diberi tahu bahwa anak Resident Van den Berg masih hidup, setelah dirawat oleh Salomon Pattiwael dan istrinya, mengirimkan patroli untuk menemukan anak itu, tanpa hasil, tetapi pada 12 November 1817 sekelompok pemberontak datang untuk menyerah dan membawa anak itu bersama mereka. Dia dalam kondisi sehat dan pada waktunya diserahkan oleh Verhuell kepada kakek-neneknya di Surabaya.

===================================

Radja Triago dijatuhi hukuman mati, terlepas dari pembelaan putrinya Christina Martha, dan dieksekusi di Nusa Laut. Gadis itu, karena masih muda, dibebaskan dan diasuh oleh guru djemaat Nusa Laut. Setelah eksekusi pemimpin pemberontak di Ambon, pemberontak yang peranannya lebih kecil dibuang ke Jawa dan ditempatkan di atas kapal Evertsen. Yang mengejutkan Verhuell adalah gadis Christina Martha ada di antara mereka. 

Lukisan Eksekusi Paulus Tiahahu, November 1817

“Gadis heroik”, tulisnya, “telah lolos dari pengawasan guru djemaat dan telah berkeliaran sendirian di hutan, hidup dengan makan buah-buahan liar. Segera rekan-rekan senegerinya, tenggelam dalam takhayul, melihatnya sebagai penyihir atau Sawahaa (roh jahat), dan komisaris telah memutuskan bahwa dia tidak boleh tinggal di sana”88.

Ketika kapal Verhuell berangkat ke Jawa, dia menerima perintah untuk membawa gadis itu ke sana, dimana dia bisa dirawat dengan baik. Tetapi dia kehilangan keinginan untuk hidup, lemas dan mati sebelum kapal mencapai pelabuhan. Dia dimakamkan di laut.

============================

Pada tanggal 21 November 1817, kapal Evertsen telah mencapai Ambon dan para tahanannya dipindahkan ke penjara. Mereka diadili di Pengadilan Negeri dan dijatuhi hukuman gantung. Eksekusi 4 pemimpin pemberontak terjadi di alun-alun di depan benteng Victoria. 

Besluit vonis hukuman mati Thomas Matulesia no 130

Pada sore hari tanggal 15 Desember 1817, Verhuell mengunjungi para tahanan, sebuah kunjungan yang dicatatnya sebagai berikut : 89

“ Pemimpin pemberontak, Thomas Matulesia, dikelilingi oleh para guru djemaat untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian dengan menyanyikan mazmur terus menerus. Dia tampak tenang, benar-benar tenggelam dalam kebaktian dan mengabaikan keadaan sekelilingnya. Para pemberontak lainnya juga diam...........Jam 07.00 pagi, para pemberontak, yaitu : Thomas Matulesia sebagai pemimpin, Anthonij Rhebok sebagai Kapten, Philip Latumahina sebagai Letnan, Raja Siri Sori, Sajat Printaab diarak keluar. Putusan pengadilan dibacakan. Ketika Matulesia mendengar bahwa jenazahnya akan digantung di sangkar besi, “sebagai pencegah bagi orang lain”, dia mendongak sejenak. Setelah itu dia menatap lurus ke depan. Latumahina adalah orang yang pertama. Dia laki-laki yang berat dan talinya putus. Setengah mati dia diangkat ke atas tangga lagi dan digantung kembali. Matulesia adalah yang terakhir. Dengan langkah tegas dia menaiki tangga. Saat tali dipasang di lehernya, dia menyapa para hakim dengan hormat dan berkata dengan suara yang jelas : “Slamat Tinggal Tuan-tuan”, sapaan timur yang sopan yang secara harfiah diterjemahkan [dalam bahasa Belanda : een gelukkig achter]. Dia memasuki keabadian seperti seorang pria terhormat. Mayat-mayat itu dibawa ke tiang gantungan luar dan mayat Matulesia, digantung dalam sangkar besi panjang/berbentuk lonjong “

Para pemimpin pemberontak lainnya dibuang ke Jawa untuk bekerja di perkebunan kopi. Beberapa dari mereka kemudian diizinkan kembali ke Ambon.

====== bersambung =======

Catatan Kaki

  1. Bijdragen Vol. 65 (1911) p.630.
  2. See p.35.
  3. Motif Kapten Crozier sederhana, sebagai nakhoda independen, dia bisa menyewakan kapalnya kepada siapa saja yang menawarinya harga yang masuk akal.
  4. Van Doren. pp. 45-46.
  5. Engelhard, Batavia Report.
  6. Van Doren, passim. Boelen,passim.
  7. Ver Huell, Vol. I, p.174.
  8. Boelen, p.42
  9. Ketujuh poin di sini hanya diberikan sebagaimana disajikan. Ini akan dianalisis dan dinilai dalam Bab IV bersama dengan 14 poin yang ditetapkan dalam pernyataan Matulesia yang pada intinya mencakup keluhan yang sama.
  10. Ver Huell Vol. I pp. 181-188.
  11. Ship's Journal H.M. "Reygersbergen" , 18 July, 1817. Rijksarchief, The Hague.
  12. Ver Heull p.190.
  13. Ship's Journal "Reygersbergen" 21 July, 1817.
  14. Nusa Laut, pulau terkecil di gugusan Uliasan selalu menjadi pulau yang paling tidak merepotkan dan paling cinta damai. Penduduknya telah dipaksa untuk berpartisipasi dalam pemberontakan, tetapi kerja sama mereka kurang antusias, yang membuat Matulesia kesal. Sebagai hukuman atas kurangnya semangat mereka, mereka terpaksa menguburkan jenazah ekspedisi Beetjes.
  15. Penulis belum menemukan alasan mengapa Matulesia di sini disebut sebagai "Lucas".
  16. Journal Groot. Rijksarchief, The Hague.
  17. Boelen hal.264 juga menjelaskan secara rinci beberapa temuan mengerikan di Benteng, seperti kaus kaki berdarah dengan kaki anak kecil masih di dalamnya.
  18. See p.92
  19. Boelen p.272.
  20. Van der Kemp. Bijdragen Vol. 66 (1912) p. 6.
  21. Ver Huell, Vol. I p.196.
  22. Buyskes Buitenzorg Report dated 25 September, 1818.
  23. Van Rees. Het Nederlandsch Indische Leger (1859) p.89.
  24. Van Doren, op.cit. p.75
  25. Ver Huell, p.220.
  26. Van Rees, p.138
  27. Journal Groot and Ver Huell passim.
  28. Meyer. “Kronijk” p. 355 .
  29. Journal 't Hoofd. Rijksarchief Inv. 2-21-4 No.2.
  30. Buyskes Buitenzorg Report
  31. Boelen, op.cit. p.280.
  32. Van der Kemp, Bijdragen Vol. 66 (1911) p.71.
  33. Ver Huell, p.271.
  34. ibid p.269

Catatan Tambahan

a.        Magistrate yang dimaksud adalah Robert Henri Cateau van Rosevelt, lahir pada 10 September 1786 di Vlisingen, meninggal di Surabaya pada 21 Juni 1826.

b.       Sultan Ternate dan Tidore dalam periode tahun 1817 adalah Mohamad Ali sebagai Sultan Ternate (1807 – 1821), dan Mohamad Thaher/Tahir sebagai Sultan Tidore (1810 – 1821)

c.        Resident van Hila dan Larike pada periode tahun 1817 adalah Jan Willem Burghgraef (Maret – 25 Juni 1817), namun ia hanya terluka tidak terbunuh. Sedangkan Komandan Pasukan adalah Kapten Hendrik van Walraven, namun ia juga hanya terluka dan tidak terbunuh.

d.       Raja Oeloepaha, atau Ulupaha adalah gelar untuk Kapitan van Seit. Mungkin berasal dari klan atau keluarga Tulalatu. Ia dieksekusi pada tanggal 20 Februari 1818. Ia lahir sekitar tahun 1733/1734 dengan asumsi pada tahun 1817, ia berusia 80 tahun.

e.        Komandan Groot, yang dimaksud bernama Jan Groot, lahir pada 10 April 1777 di Hoorn, dan meninggal dunia pada 19 Februari 1821 di Tanjung Harapan. Ia menjadi komandan kapal Maria Reygersbergen sejak 14 Januari 1817 – 25 Agustus 1819.

f.         Kapten Crozier, bernama lengkap Willem Crozier. Ia terbunuh oleh awak kapalnya sendiri pada perjalanan dari Batavia ke Ambon pada 26 Oktober 1826.

g.        Pada tahun 1817, ada 5 negeri di jazirah Hatawano atau pantai utara Pulau Saparua yaitu : Itawaka, Nolloth, Ihamahu, Paperu dan Tuhaha. Setelah tahun 1817, negeri Paperu “dipulangkan” kembali ke wilayah lamanya di sisi barat pulau Saparua yang bersebelahan dengan negeri Booi dan negeri Tiouw. Pada tahun 1817, negeri Iha  secara administrasi tata pemerintahan, masih ditempatkan di pesisir selatan pulau Seram berdekatan dengan negeri Latu dan negeri Hualoi.

h.       Letnan Ellinghuizen, memiliki nama lengkap Andries Adolph Ellinghuizen, lahir pada 6 November 1787 di Gouda dan meninggal pada 16 Desember 1836 di Ambon. Ia bertugas di kapal Maria Reygersbergen sejak 2 Februari  1817 – 30 November 1818, menjadi komandan Benteng Duurstede sejak 3 Agustus 1817 – 3 September 1817. Berpangkat Letnan 1 laut sejak 1 April 1817. Ia juga pernah menjadi Gubernur Maluku pada periode Des 1829 – 16 Desember 1836.

i.         Letnan Christiaansen, memiliki nama lengkap Christian Christiaansen, pada tahun 1818 – 1823 sebagai komandan pos di Alang.

j.         Letnan Boelen, memiliki nama lengkap Jacobus Jzn Boelen, lahir pada 16 Mei 1791 di Amsterdam dan meninggal dunia pada 10 April 1876 di Utrecht. Ia berpangkat Letnan 2 laut dan bertugas di kapal perang Maria Reygersbergen sejak 27 Juli 1815 – 25 Agustus 1819.

k.        Letnan muda Feldman, memiliki nama lengkap Theodorus Feldman, lahir pada 19 Des 1794 di Zutphen, dan meninggal pada 27 Februari 1841. Ia bertugas di kapal Maria Reygersbergen sejak 28 April 1815 – 25 Agustus 1819. Berpangkat adelborst atau Letnan muda sejak 5 Juli 1814.

l.         Ayah Theodorus Feldman bernama Diederich Leonard Feldman, seorang pendeta (predikant) di Voorst bij Zutphen.

m.      Pattij yang dimaksud adalah Pattij van Akoon, Domingus Thomas Tuwanakotta

n.       Pada catatan kaki no 70 di atas, tertulis bahwa sang penulis naskah thesis tidak mengetahui alasan mengapa Thomas Matulesia disebut Kapitan Lucas. Penyebutan Kapitan Lucas sebagai pemimpin pemberontakan secara eksplisit disebutkan dalam surat Resident van Haruku, Arnoldus Uijtenbroek kepada Gubernur Maluku, Jacobus Albertus Middelkoop tertanggal 1 Juni 1817. Pada surat itu tertulis ........en dat haer kapitein genaamd is Lukas van de negorij Haria. Chr Fr. van Fraasen memberikan catatan kaki (bernomor 7) pada kalimat ini. Ia menulis bahwa pada bulan-bulan pertama pemberontakan ketika pemimpin pemberontakan belum diketahui oleh oleh pihak Belanda, beredar kabar bahwa pemberontakan dipimpin oleh seorang kapitan bernama Lucas.

§  Resident van Haruku (Uijtenbroek) aan gouverneur der Molukken (Van Middelkoop), Haruku, 1 juni 1817. No. 29. Afschrift. ARNAS, Ambon 998/n. [lihat catatan kaki no 7 pada arsip ini]

o.       Kapal dagang Anna yang dimaksud adalah kapal Anna Maria yang bertonase 190 ton dan milik Pieter Bol

p.       Mayor Meyer, memiliki nama lengkap Jan Albert Meijer/Meyer, lahir pada 27 Januari 1789 di Veere, dan meninggal pada 16 Januari 1818 di Ambon. Berpangkat mayor infantri sejak 18 Oktober 1816. Ia bersama A.A. Buijskes datang ke Maluku dengan kapal Prins Frederik. Ia tertembak pada pertempuran di Ouw pada tanggal 11 November 1817.

q.       Sultan Muda yang dimaksud bernama Mohamad Djamaludin, putra dari Mohamad Djainalabidin, Sultan Tidore (1805 – 1810). Sedangkan Mohamad Thaher/Tahir (1810 -1821) adalah paman dari Sultan Muda. Sultan Mohamad Thaher/Tahir dan Sultan Mohamad Djainalabidin adalah putra dari Mohamad Mashud Djamaludin, Sultan Tidore (1756/1757 – 1779/1780).

r.        Resident van Ternate, Neijs, yang dimaksud adalah Johanes Alexander Neijs.  Ia menjadi Resident van Ternate sejak 30 April 1817 – September  1817) yang kemudian digantikan sementara waktu oleh Joan Pieter Hulft van Hoorn sebagai pejabat Resident  van Ternate (Sept 1817 – Agustus 1818) dan diserahkan lagi kepada J.A. Neijs hingga tahun 1831.

s.        Kapten Lisnet, memiliki nama lengkap Philip Andreas Lisnet, lahir pada tahun 1776 di Bangkalan Madura  dan meninggal di Sumenep Madura pada 22 Desember 1834. Berpangkat kapten infantri sejak 31 Oktober 1816, dan menjadi komandan Benteng Duurstede sejak 3 September 1817, menggantikan Letnan A.A. Ellinghuizen (lihat catatan tambahan huruf h)

t.         Letnan ‘t Hooft, memiliki nama lengkap Hendrik Petrus Nicolaas  ‘t Hooft, lahir pada 23 Januari 1793 di Gelderland, dan meninggal pada 4 Juni 1827 di Haarlem. Bertugas di kapal perang Eversten sejak  1 Desember 1816 – 4 Desember 1819 dengan pangkat Letnan 2 laut.

u.       Mereka menemukan ini pada tanggal 9 November 1817 di dalam Gereja

v.        Kapten Krieger, memiliki nama lengkap Petro Ferdinand Vermeulen Krieger, lahir pada 11 Maret 1782 di Schleiden dan meninggal pada 27 September 1865.

w.      Paulus Triago atau Paulus Tiahahu, Kapitan van negeri Abubu. Penulisan Paulus Triago adalah “korupsi” penulisan dari Paulus Tiahahu. Misalnya penulisan nama Paulus Treago secara eksplisit ditulis oleh Letnan H.P.N. ‘t Hooft dalam jurnal hariannya per tanggal 14 November 1817, 16 November 1817, 17 November 1817.  Paulus Tiahahu ditangkap pada tanggal 13 November 1817 dan dieksekusi pada tanggal 17 November 1817 di Nusa Laut.

x.        “Istri” Thomas Matulesia bernama Elisabeth Gassier, seorang pelayan di rumah syahbandar Ambon asal Inggris, Joseph White. Identitas “istri” atau pasangan Thomas Matulesia ini mulai disebutkan atau diketahui (meski tidak menyebut namanya secara eksplisit) melalui Laporan Gubernur Maluku, J.A. van Middelkoop kepada Gub Jend di Batavia tertanggal 28 Agustus 1817, dan kepada A.A. Buijskes tertanggal 4 Oktober 1817. Penyebutan nama Elisabeth Gassier secara eksplisit pertama kali disebut dalam sumber J.B.J. van Doren, yang kemudian dikutip oleh P.H. van der Kemp dan I.O. Nanulaita.  Chr Fr van Fraasen menulis bahwa nama Elisabeth Gassier “sebaiknya” dibaca atau ditulis sebagai Elisabeth Gaspersz.

§  Gouverneur der Molukken (Van Middelkoop) aan gouverneur-generaal (Van der Capellen), Ambon, 28 augustus 1817.No. 32. Afschrift. ARNAS, Ambon 474. [lihat catatan kaki no 14 pada arsip ini)

§  J.B.J. van Doren, Thomas Matulesia, het hoofd der opstandelingen op het eiland Honimoa, na de overname van het bestuur der Molukken door den landvoogd Jacobus Albertus van Middelkoop in 1817 (Amsterdam 1857) hal 15 dan 109

§  P.H. van der Kemp, ‘Het herstel van het Nederlandsch gezag in de Molukken in 1817’, BKI 65 (1911) hal 584;

§  I.O. Nanulaitta, Kapitan Pattimura (Jakarta 1985) hal 18, 65.

y.        Pattij van Booi, mungkin bernama J.M. Pattiasina

z.        Letnan Pietersen, memiliki nama lengkap Matheus Thomas Pietersz, sejak 10 Mei 1817 pangkatnya menjadi Letnan 2 infantri. Ia menikah dengan Dorothea Hendreta Hendemeth (meninggal di Saparua pada 8 Januari 1846).

aa.     Mungkin maksud Verhuell adalah Swangi atau Suangi/Suanggi.

bb.   Melchior Kesaulija alias Patisaha atau Sajad Printa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar