Sabtu, 08 April 2023

Pemberontakan PATTIMURA 1817 : Penyebabnya, Jalannya peristiwa dan Konsekuensinya

(bag 2)

[P.J.M. Noldus]

 

Bab  II1

MASA PERALIHAN INGGRIS

Pada paruh kedua abad ke-18, pentingnya perdagangan rempah-rempah berkurang di seluruh dunia. Kompeni – alasan utamanya adalah perdagangan rempah-rempah – mengalami kemunduran yang menandakan kehancurannya. Korupsi, yang akan dibahas lebih lanjut dalam bab ini, berkontribusi besar terhadap kejatuhannya, tetapi perdagangan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh perubahan selera dan kebiasaan makan orang Eropa. Di bawah pengaruh masakan Perancis yang lebih canggih, terjadi peralihan dari makanan daging yang banyak dibumbui di masa lalu ke hidangan yang jauh lebih lembut, menyebabkan turunnya permintaan orang Eropa akan rempah-rempah dunia timur. Selain itu adalah penyebab terpenting dari semuanya, hilangnya monopoli produksi ditambah dengan kesulitan transportasi perang Anglo-Prancis-Amerika menjelang akhir abad ke-18. Meskipun pemusnahan pohon-pohon klandestin di pulau-pulau tetangga dan yang tidak diinginkan yang ada di kepulauan Uliasan sendiri, pada akhirnya situasi menjadi tidak dapat dipertahankan. Dalam upaya untuk menghalangi masuknya pedagang asing setelah tahun 1770, pasokan kayu bakar dan air ke kapal-kapal Eropa secara resmi dilarang, tetapi jumlah penyelundup di Maluku tetap meningkat. Pada tahun 1769-1770, ekspedisi Prancis di bawah pimpinan Pierre Poivreabapak budidaya rempah-rempah di koloni Prancis – memasuki Maluku dan memperoleh bibit pohon cengkih. Sebuah protes diajukan oleh VOC, tetapi sekarang posisi VOC sedemikian rupa sehingga protes tersebut tidak diindahkan. Perintah untuk menolak bantuan dan pasokan kepada orang asing Eropa ditekankan sekali lagi, tetapi ini pun tidak lagi efektif. Cengkih sekarang telah ditanam di Ile de France and Reunion pada tahun 1770, dan 3 tahun kemudian di Cayenne dan pulau-pulau Karibia Prancis. 

Penaklukan Ambon oleh Inggris tahun 1810

Setelah Perdamaian Paris (1784), Inggris diberikan hak untuk berlayar di mana saja di Nusantara; tetapi ini, pada dasarnya, hanyalah pengesahan situasi yang sudah ada.

Ketika, pada Januari 1795, Prancis menduduki Belanda, Stadhouder William V melarikan diri ke Inggris, dimana sepupunya, Raja George II menyediakan istana Kew untuk William V berdiam. Menteri Luar Negeri Inggris, Grenvilleb membujuk William untuk menandatangani sejumlah surat pada tanggal 7 Februari 1795, dimana Gubernur koloni Belanda diperintahkan “untuk menerima pasukan dan kapal yang dipimpin oleh kerajaan Inggris dan menganggap pasukan mereka dan kapal-kapal dari negara sahabat yang dikirim untuk mencegah invasi mereka oleh pasukan Prancis”. Tindakan ini, bisa dibilang, sejalan dengan Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1788, yang, dalam kasus perang, memungkinkan sekutu unuk menduduki koloni-koloni pihak lain dan dengan demikian menjauhkannya dari tangan musuh bersama. Khawatir bahwa koloni-koloni akan segera takluk dibawah pengaruh dan kemungkinan kekuasaan kaum republikan Prancis yang telah menduduki Belanda, bekas Stadhouder itu lebih memilih perlindungan dari Inggris. Inggris dimaksudkan untuk menjaga koloni-koloni sampai Pangeran Oranye dikembalikan ke posisi yang seharusnya. Apakah mereka (Inggris) bermaksud untuk menepati janji mereka, sulit untuk dinilai, tetapi jelas William mempercayai mereka2.

Walter Lennonc, dalam jurnal harian tentang ekspedisi Admiral Rainierd menaklukan Maluku3 menimbulkan keraguan tentang niat Inggris pada saat itu, ketika ia berulang kali mengisyaratkan secara luas kemungkinan kepemilikan Belanda yang dipertahankan Inggris. Misalanya, ia berbicara tentang :

“..................saran-saran sehubungan dengan manajemen masa depan mereka yang lebih baik jika (kepemilikan mereka) dipertahankan dalam kepemilikan permanen kami.......” (halaman 253).

“..........ini seharusnya pada akhirnya tetap menjadi milik kami, yang disukai...” (halaman 264).

“.............. apa pun keputusan yang terkait dengan pulau-pulau ini, apakah itu dinilai konsisten dengan kepentingan Inggris Raya, untuk mempertahankan kepemilikan Belanda ini atau mengembalikan kepemilikan ini kembali ke Belanda.....” (halaman 358)

“ Karena itu dapat dianggap bahwa tidak hanya untuk menyingkirkan Belanda dari kepulauan ini tetapi untuk mengembalikan kepulauan ini kepada “raja-raja” pribumi; dalam melakukan kewajiban yang diberikan kepada mereka akan dengan mudah mendorong mereka untuk masuk ke dalam persyaratan seperti itu, yang akan mengamankan seluruh keuntungan dari perdagangan tanpa biaya bagi Inggris” (hal 359)

Tentu saja memang benar bahwa Kapten Walter Caulfield Lennon bukanlah Pemerintah Inggris, tetapi dia juga bukan orang sembarangan. Dia adalah teknisi utama dan sekretaris dari ekspedisi tersebut, dan catatan hariannya serta pendapatnya ditujukan kepada Direktur British East India Company (EIC) yang, jika kepemilikan Belanda tetap  dipertahankan oleh Inggris, berharap untuk memainkan peran penting di dalam hal ini. Pertanyaan tentang niat Inggris dalam hal ini karena, setelah tahun 1817, klaim-klaim yang dibuat Belanda, dan ditolak oleh Inggris, bahwa penduduk Maluku telah dipengaruhi untuk percaya bahwa Inggris ada di sana untuk tinggal dan, begitu pendudukan kembali Belanda sudah dekat, mereka (Inggris) akan segera kembali setelah itu.

Apapun niat Inggris pada tahun 1795 dan selanjutnya, harus dicatat bahwa “Surat-surat Kew” di sebagian besar koloni Belanda menyebabkan diterimanya perlindungan Inggris tanpa adanya perlawanan. Ekspedisi Rainier yang telah kami sebutkan, berlayar pada bulan Oktober 1795 dari Madras dengan perintah dari Inggris untuk mengamankan Maluku : “untuk tujuan mengembalikan kepulauan ini kepada Pemerintah Belanda, jika kepulauan itu harus dikembalikan lagi atau, jika mereka menolak tawaran perlindungan kami, akhirnya mengurangi mereka melalui kekuatan”. Terbukti kekuatan tidak diperlukan karena Gubernur Ambon, Alexander Cornabee, atas kekuatan surat-surat Kew, menyerahkan kota dan pulau tanpa perlawanan apapun ketika armada Rainier muncul di Teluk Ambon pada tanggal 17 Februari 17964. Tidak ada tembakan yang dilepaskan dari tembok benteng Victoria yang tidak tertembus (menurut pendapat Belanda).

Orang Ambon setempat terheran-heran dan kaget dengan pergantian pemerintahan yang tiba-tiba ini tanpa ada perlawanan dari Belanda. Penduduk kota melarikan diri, meninggalkan rumah dan toko tanpa pengawasan. Hal ini menyebabkan penjarahan oleh pasukan Belanda dan Inggris atas harta-harta pribadi dan juga milik pemerintah, tetapi pihak berwenang Inggris segera menghentikan penjarahan ini. Pasukan pribumi melarikan diri, membawa senjata mereka, membuat Inggris cemas. Pasukan orang Eropa, yang sebagian besar adalah orang Polandia atau Jerman, termasuk kompi Wurttembergersf (bagian dari resimen tentara bayaran yang dipasok oleh Duke Wurttemberg) tidak keberatan menjadi tentara di bawah bendera Inggris dan mengambil sumpah setia. Sebagian besar Raja, Pattij, dan Orang Kaya melakukan hal yang sama. Sebagian besar pejabat Belanda mempertahankan posisi mereka; mereka sebenarnya paling penting karena sangat sedikit orang Inggris yang mengerti bahasa Belanda atau Melayu. Oleh karena itu, pada hari-hari awal pemerintahan Inggris, pemerintah berubah tetapi hanya sedikit, dan monopoli cengkih tetap berlaku, meskipun perkebunan cengkih sekarang telah “didirikan” di luar “Nusantara”. Tetapi harga dinaikkan, suatu langkah yang sebelumnya dapat dilakukan oleh pejabat Belanda yang pelit, seperti yang jelas dari perhitungan Daendels5/g.

Satu kelompok penduduk menarik kesimpulannya sendiri dari perubahan pemerintahan yang tiba-tiba ini. Orang-orang Hitu – akan terus diingat, terikat kuat dengan kompeni seperti halnya orang-orang Kristen di Leitimor – telah menyerahkan diri mereka pada pengawasan kompeni. Tetapi gagasan tentang “kerajaan” dari Kesultanan Ternate tidak pernah terlalu dipedulikan kompeni, karena itu tersimpan di masa lalu, yang masih tetap hidup. Orang Hitu masih melihat Sultan sebagai Raja mereka, tidak boleh memerintah dalam kejayaannya hanya dengan kekuatan kompeni. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa, dengan hilangnya kekuasaan secara tiba-tiba, sebuah kelompok “royalis” memutuskan untuk membuat diri mereka sendiri independen juga dari Inggris. Mereka bergerak maju ke kota Ambon, tetapi Inggris telah disiagakan dan memadamkan pemberontakan tanpa banyak kesulitan. Sejumlah pemberontak, termasuk raja baru, dipenjara dan beberapa orang lainnya dieksekusi6. Seperti yang akan kita lihat di bab berikutnya, orang Hitu sekali lagi akan melawan pemerintah yang baru datang pada tahun 1817.  

==============================

Selama perang dari tahun 1785 hingga tahun 1802, tidak ada satu kapal Belanda pun yang mencapai Indonesia. Posisi Belanda di laut sangat lemah sehingga kapal-kapal Amerika digunakan untuk mengangkut rempah-rempah ke Amsterdam. Pada tahun 1797, 20 kapal Denmark dan 31 kapal Amerika singgah di pelabuhan Jawa untuk mencari kopi dan rempah-rempah – kopi yang saat itu sudah menjadi lebih penting – berjumlah 12 juta pound pada tahun 17977.

Setelah perdamaian Amiens (25 Maret 1802) pertanyaan tentang reorganisasi koloni menjadi hal yang mendesak di Belanda. Sebuah Komisi ditunjuk untuk merancang sebuah piagam yang akan “memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya kepada Hindia Belanda, keuntungan terbesar bagi perdagangan Belanda, dan keuntungan terbesar keungan pemerintah Belanda”8. Pecahnya perang baru pada tahun 1803 adalah alasan piagam ini tidak pernah tercapai/terpenuhi di Hindia Belanda.

Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) pada saat itu sudah tidak ada lagi. Pada tahun 1796, para Direktur VOC menyerahkan administrasi kompeni kepada komiter pemerintah dan piagamnya, yang berakhir pada tanggal 31 Desember 1799 dan tidak diperbaharui lagi. Negara mengambil alih semua milik dan hutang kompeni dan dengan demikian, sejumlah 134 juta gulden, memperoleh seluruh kerajaan kolonial, dengan semua sumber daya mereka.

Kompeni, sebagai perusahaan perdagangan tidak membutuhkan prinsip-prinsip pemerintahan – tujuannya adalah keuntungan baru – negara baru, yang sekarang diilhami oleh gagasan Revolusi Prancis, harus membawa administrasi kolonial sejalan dengan prinsip-prinsip liberal yang sekarang begitu keras diproklamirkan di negara asal. Antusiasme mereka, bagaimanapun, tidak melebihi naluri bisnis mereka. Mereka setuju dengan Batavia bahwa doktrin kebebasan dan kesetaraan, betapapun kuatnya didasarkan pada hak-hak manusia yang tidak dapat dicabut, “tidak dapat dialihkan, atau diterapkan, pada kepemilikan Negara di Hindia Timur, selama keamanan kepemilikan ini bergantung pada keadaan subordinasi orang Indonesia yang ada dan perlu dan selama pengenalan itu tidak dapat terjadi tanpa membuat harta benda ini menjadi kacau, yang akibanya tidak dapat dibayangkan”9.

==============================

Pada tahun 1803, Maluku kembali berada di bawah kekuasaan Belanda. Kerajaan Belanda sekarang diperintah oleh saudara Napoleon [Bonaparte], yaitu Louis Bonaparte, yang mengangkat Herman Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia. Daendels membutuhkan sejumlah besar uang untuk mempertahanan koloni. Angkatan Laut Inggris mencegah barang impor dari Belanda, setelah perang pecah kembali, dan setelah Daendels mengacaukan perdagangan Amerika, dengan menolak untuk menghormati kontrak yang dibuat10, ia kehabisan uang. Ia sekarang jatuh kembali pada perangkat yang meragukan untuk memperkenalkan uang kertas tanpa jaminan, suatu tindakan yang memiliki dampak serius di Maluku.

Akibat pecahnya perang baru pada tahun 1803, kontak dengan Jawa menjadi sulit dan berbahaya, sehingga pemerintah Maluku harus menjual 100.000 pon cengkih, yang biasanya dikirim ke Batavia, kepada para pedagang yang sekarang dapat bebas berkeliaran di Nusantara. 

Herman Willem Daendels (1762-1818)

Daendels, yang ingin memperkuat tentara di Jawa, sekarang memulai pertukaran tenaga kerja yang luar biasa dari Ambon, dia merekrut banyak penduduk desa yang cocok untuk serdadu Jawa, seringkali dengan cara yang paling kejam, sementara sebagai gantinya orang-orang kelas II dan penjahat “kecil-kecilan” dari Jawa dikirimkan ke garnisun-garnisun di Maluku. Tetapi ada juga pasukan orang Eropa yang terlatih dengan baik di sana. Pada tahun 1809, ada 1445 orang yang ditempatkan di Ambon, tidak termasuk “Burger Schuterrij” Ambon atau kelompok milisi. Seluruh militer ini dikomandani oleh Kolonel Jean Philippe Filzh, seorang kelahiran Prancis yang telah mencapai promosi cepat di tentara, naik dari Letnan pada tahun 1793 menjadi Kolonel pada tahun 1809i.

Benteng-benteng di Ambon telah diperkuat dan telah diperbesar beberapa kali. Meskipun tidak diragukan lagi merupakan benteng yang kuat, ia memiliki satu kelemahan besar : karena pertumbuhan daerah kota, ia tidak lagi memiliki daerah/medan kebakaran, sementara kota itu mudah dijangkau oleh api dari perbukitan di sekitarnya. Ini tidak dapat diramalkan ketika benteng pertama kali dibangun pada saat jangkauan meriam jauh lebih terbatas. Untuk menebus hal ini, benteng telah dibangun di bukit-bukit itu untuk melindunginya, maka benteng dengan demikian, terlindung dari musuh yang menyerang.

Pada tanggal 16 Februari 1810, 3 kapal Inggris, dibawah Komandan Tuckerj, dengan kekuatan pendaratan 404 orang, tiba di teluk Ambon11. Kapten Courtk, salah satu perwira mereka, yang pernah bertugas di Ambon sebelumnya, mengetahui situasi dengan sangat baik dan oleh karena itu serangan pertama mereka diarahkan ke bukit-bukit tempat perbentengan, yang akhirnya takluk ke tangan mereka tanpa banyak kesulitan. Sekarang Inggris melepaskan tembakan ke benteng dari perbukitan, hal yang sama juga dari kapal mereka.

Pada tanggal 18 Februari 1810, Tucker mengirim seorang perwira dengan bendera gencatan senjata, menuntut penyerahan diri. Filz, yang memiliki banyak gudang dan amunisi, menolak, tetapi negosiasi tetap berjalan. Dalam pengadilan militer nantinya, dia mengklaim bahwa kualitas bubuk mesiunya sangat buruk sehingga “dengan 6 pounder milik mereka, dapat mencapai tempat-tempat yang hampir tidak dapat kami tembak dengan peluru 4 pon”12. 2 ajudan, dikirim untuk memastikan garis depan, melaporkan bahwa pasukan Inggris jauh lebih unggul, dan setelah berkonsultasi dengan Gubernur Heukevlugtl, diputuskan bahwa Ambon harus menyerah selagi masih mungkin untuk merundingkan kondisi yang menguntungkan. Jadi, alih-alih menyerang dengan penuh kekuatan, Filsz mengibarkan bendera putih. Pada tanggal 19 Februari 1810, penyerahan terjadi. Ketika pasukan Filsz menyadari bahwa jumlah mereka lebih banyak 1.000 orang dari penakluk mereka, mereka merasa jijik dan ingin melanjutkan pertempuran, tetapi Inggris membuat mereka berubah pikiran. Pasukan Tucker merampas tidak kurang dari 218 meriam.

Garnisun-garnisun dijamin bebas menuju ke Jawa, setelah menyerahkan senjata mereka, tetapi sejumlah perwira lebih suka tetap berada di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Inggris. Filsz bisa saja melakukan hal yang sama, tetapi ia lebih memilih untuk kembali ke Jawa. “Saya lemah”, katanya, “tetapi melarikan diri pada fase ini akan membuat saya menjadi pengecut, bersalah karena berkhianat”. 

Benteng Victoria Ambon, 1818

Daendels sangat murka dan memutuskan untuk memberi contoh. Filsz diadili di pengadilan, harus menjawab tidak kurang dari 240 dakwaan. Hukumannya adalah ditembak mati. Dia meninggal seperti orang terhormat.

Jelaslah kesan apa yang ditimbulkan oleh penyerahan ini kepada orang Ambon; rasa hormat mereka terhadap Belanda semakin berkurang. Tahun-tahun terakhir pemerintahan Belanda tidak menguntungkan bagi orang Ambon. Meskipun Daendels telah berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan pemerintahan Maluku, dominasi Inggris atas laut telah menghambat jalur pelayaran secara serius sehingga bisnis memburuk dan harga pasar terus meningkat. Rakyat dipaksa menerima uang kertas, pemuda-pemuda dipaksa masuk tentara dan dibawa paksa ke Jawa. Pembangunan benteng telah menuntut bahan dan pekerja dalam skala besar. Ketika Inggris tiba, semua ini berakhir dalam semalam. Rute laut dibuka kembali, perdagangan dihidupkan kembali, tekstil kapal tersedia lagi dengan harga yang wajar dan perdagangan eceran meningkat dengan pengeluaran pasukan Inggris yang dibayar dengan baik secara bebas. Pemerintah yang baru menghapus pajak pasar13 dan menggantinya dengan pajak opium. Budidaya cengkih tidak lagi dibatasi, orang Ambon bisa menanam pohon sebanyak yang mereka suka, selama mereka menjual seluruh hasil panen mereka kepada pemerintah Inggris.

Kepergian Belanda yang kedua dari pulau-pulau itu tidak melakukan apap pun untuk memperbaiki citra kompeni dan ketika pada tahun 1811 diketahui bahwa Jawa juga telah takluk ke tangan Inggris, Belanda tampaknya telah menghilang di cakrawala secara permanen

=====================================

Ambon, setelah diambil alih pada tanggal 19 Februari 1810, tidak ditempatkan dibawah Raffles di Batavia, tetapi dibawah kendali langsung Pemerintah Tertinggi di Bengal, Kapten Court secara resmi diberikan kekuasaan sebagai Gubernur Sipil. Diputuskan, bagaimanapun, atas saran Mintom, bahwa William Byam Martinn harus ditunjuk sebagai Resident.

Dengan penunjukan Martin ini, dimulailah suatu era di Maluku, dimana sampai batas tertentu berbeda dengan Jawa dibawah Raffles, tidak ada upaya nyata yang dilakukan untuk mentransplantasikan prinsip-prinsip British Bengal ke pulau-pulau ini. Tetapi Martin, seorang pria yang sangat bermoral dan religius, memberikan “cap pribadinya”dengan sangat kuat pada periode lebih dari 6 tahun pemerintahannya. Periode singkat pemerintahan Inggris di Maluku ini sendiri menarik, tetapi juga sangat penting dalam cerita kita ini. 

Lord Minto (1751 - 1814)

Lord Minto, Gubernur Jend India, sangat terkesan dengan perilaku Martin selama pemberontakan di Bencoolen ketika Residennya dibunuho  dan Martin menjadi Sekretaris di sana. Martin telah menerima pelatihan untuk pegawai negeri di Fort William College di Calcutta, dimana dia sangat dipengaruhi oleh William Carey. Carey, bersama Andrew Fuller dan Robert Hall, telah memprakarsai kampanye pembaruan di antara Kaum Baptis, terkhususnya di Inggris, yang menyebabkan lonjakan pertumbuhan. Carey yang kemudian membentuk English Baptist Missionary Society pada tahun 1792, awal dari gerakan misionaris asing modern di dunia berbahasa Inggris, dan menjadi misionaris pertama di India. Pada tahun 1801, ia diangkat sebagai Profesor Bengali di Fort William College dimana Martin, yang kemudian menganggapnya sebagai teman yang penuh kebapakan, adalah seorang mahasiswa pada saat itu.

Kolese di Fort William memiliki program pendidikan yang unik dalam sejarah penjajahan Eropa pada waktu itu. Pendatang baru dari Inggris, yang berharap untuk segera dikirim ke distrik-distrik Bengal yang berhutan, mendapati diri mereka berada di ruang kelas dimana para veteran “orientalis” menawarkan mereka sarana untuk berkomunikasi dengan penduduk India dalam bahasa mereka sendiri14.

Martin dan teman-teman kuliahnya percaya bahwa Inggris harus membantu orang Asia menemukan kembali akar yang hilang dari peradaban mereka sendiri. Terinspirasi oleh guru mereka, mereka berpendapat bahwa peradaban Asia benar-benar sehat dan kuat di zaman kuno, tetapi entah bagaimana telah merosot. Mereka merasa tugas mereka untuk memperbarui berbagai bentuk pemerintahan yang mereka temukan di Asia, institusi-institusi Asia, baik sipil maupun keagamaan15. Orang-orang Asia, yang mereka rasakan, memiliki bakat yang sampai sekarang tertimbun di bawah kesedihan karena diabaikan. Mereka merasa, menurut seorang sarjana modern, bahwa “kesalahan terbesar yang dilakukan Inggris adalah mengabaikan penghargaan terhadap sipilisasi orang Asia ini”16. Tetapi Martin juga seorang Kristen yang taat, yang ketika menjadi Residen Maluku, melakukan segala daya untuk meningkatkan standar moral di pulau-pulau itu dengan mendorong kegiatan misionaris Kristen. Ada kontradiksi di sini, itu akan diperdebatkan nanti, yang menyebabkan konflik antara 2 prinsip.

=========================

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya dalam bab ini, korupsi telah merajalela di Perusahaan Hindia Timur Inggris (EIC) dan Belanda (VOC) pada abad ke-17 dan ke-18 dan tidak diragukan lagi bahwa kegagalan VOC sebagian besar disebabkan olehnya. Keuntungannya sangat besar dan pengawasannya lemah. Sebagian besar pendapatan pejabat perusahaan (kompeni), di atas dan melebihi gaji (yang sangat rendah) yang dibayarkan, diperoleh dari “perdagangan pribadi” yang ditoleransi oleh pejabat kompeni yang lebih tinggi, yang mereka sendiri termasuk yang paling bersalah. Daendels dan Raffles tidak diragukan lagi melakukannya dengan baik saat tinggal di Hindia17.

Kapten Court, selama periode singkatnya sebagai Gubernur sipil Maluku, mengantisipasi kebutuhan terhadap lebih banyak kapal, dengan membeli kapal “Governor Bruce” dari pemilik pribadinya seharga $ 12.000 dan menjualnya 3 hari kemudian kepada pemerintah sebesar $ 20.000, sebuah transaksi yang dia lakukan berikutnya dan gagal18.

Martin dalam sebuah surat kepada Gub Jend, tertanggal 29 Februari 1812, membahas masalah korupsi secara panjang lebar, menyimpulkan bahwa contoh seorang Gubernur akan diikuti oleh bawahannya, yang mengarah ke pemerintahan yang sepenuhnya korup. Dia tidak senang dengan sistem pemerintahan yang diperkenalkan oleh Belanda, seperti yang dijelaskan saat mengirim surat ke Calcutta :

Setiap distrik dipimpin oleh seorang Regent yang dibantu oleh para tetua. Mereka ditugasi dengan kontrol dan memenuhi Peraturan Perkebunan, Wajib Kerja, dan lain-lain. Semua yang di bawah tingkatan tetua, harus melakukan pekerjaan yang diminta oleh pemerintah dan Regent sedemikian rupa sehingga penduduk pribumi tidak punya waktu atau kesempatan untuk memperbaiki kondisi mereka sendiri, memindahkan tempat tinggal mereka ke tempat yang lebih baik atau mengembangkan bakat khusus. Tidak ada kualifikasi kepintaran, usia, atau masa kerja yang membebaskan mereka dari pekerjaan ini. Sebagai akibat dari administrasi yang korup, kebijakan pribadi ditekan, sedangkan kejahatan yang tidak dapat dipisahkan dari sistem diperparah.

Semua jabatan dijual oleh Gubernur yang mengantongi keuntungan, terutama jabatan Regent. Biaya itu selalu diambil dari penduduk pribumi. Itu sering dibeli dengan biaya yang jauh melebihi nilai intrinsiknya, penggantian yang diharapkan pembeli berasal dari cara pemerasan dan dan perampasan19

Martin memperkenalkan perubahan secara bertahap. R. Farquharp, Gubernur Maluku selama pemerintahan interegnum Inggris I dari tahun 1796 hingga 1803, setelah memberi tahun Gub Jend tentang keuntungan komersial dari perdagangan rempah-rempah Maluku, yang, jika dijual di India diperkirakan menghasilkan keuntungan tahunan 200.000 pounds, dan jika dijual di Inggris, 2 kali dari jumlah itu20. Dengan mengingat hal itu, Martin menyadari “tidak disarankan untuk membebaskan penduduk pribumi dari kewajiban untuk menyediakan tenaga kerja yang dibutuhkan”21. Tapi dia meningkatkan upah yang dibayarkan dari 1 stuiver dan 1 pon beras diem menjadi 3 stuiver dan 1 1/3 pon beras setiap hari. 

Robert Townsend Farquhar (1776-1830)

Singkatnya sebelum Kolonel Filsz menyerahkan Maluku, Daendels membuat perkiraan keuntungan tanaman rempah-rempah Maluku berikut ini berdasarkan harga beli cengkih 3 stuiver dan harga jual 50 stuiver. Harga per pon untuk fuli dan pala adalah pro rata. Total estimasi keuntungan dihitung sebagai berikut :

Harga total beli hasil panen rempah-rempah                             Rd.   68.750

Biaya pasukan, amunisi, rumah sakit                                            Rd. 200.000

Gaji Pegawai                                                                                        Rd.   91.000

Pemeliharaan Gedung                                                                      Rd.   30.000

Upah Freight dan Cooly                                                                   Rd.   50.000

Angkatan Laut                                                                                    Rd.   30.000

Biaya tidak terduga                                                                            Rd.   29.452

Sewa Tanah dan Pendapatan                                                                                          Rd.   100.000

Total penjualan tanaman rempah                                                                                  Rd. 1.716.000

Total perkiraan laba bersih                                                              Rd. 1.316.666

                                                                                                                ----------------     ------------------

                                                                                                                Rd. 1.816.6661       Rd. 1816.666

 

Laba bersih dari 300% ini menunjukkan dengan jelas bahwa, terlepas dari kegagalan monopoli Belanda, ada ruang untuk kenaikan harga yang dibayarkan kepada orang-orang Maluku22.

Martin juga ingin mendiskualifikasi yang lemah dan yang tua dari wajib kerja, sehingga mereka akan dapat “menerapkan diri mereka dengan ketekunan yang lebih besar pada pekerjaan rumah tangga mereka”.

Tentang kekurangan tenaga kerja, Martin melaporkan ke Bengal : “pelabuhan di Ambon bagus, tetapi kekurangan tenaga kerja menimbulkan kesulitan. Seringkali tidak lebih dari 300 karung beras yang dapat dikeluarkan dalam 1 hari. Belanda mengambil kontribusi tenaga kerja dari penduduk desa sekitar benteng Victoria, membayar begitu sedikit sehingga tidak menutupi kebutuhan paling mendesak para pekerja”23.

Martin merasa perlu untuk tidak hanya terus menuntur kontribusi tenaga kerja dari masyarakat setempat, tetapi juga untuk mengalihkan pekerja dari pekerjaan lain untuk bekerja di pelabuhan. Namun dengan gayanya yang biasa, ia menaikan upah mereka. Dalam upaya meringankan beban masyarakat setempat, ia berusaha membujuk pemerintah untuk mengirim tenaga kerja terpidana ke Maluku. Dalam hal ini, ia tidak berhasil, Gub Jend tidak mau melakukannya karena ketidakpastian yang ada sehubungan dengan pengembalian kepulauan ke Belanda. Dalam hal itu, para terpidana harus dipindahkan dengan biaya besar “karena mereka tidak dapat, dengan cara kesopanan apapun yang ditinggalkan, dalam situasi perbudakan, kepada tangan kekuasaan asing”24. Kita dapat mencatat secara sepintas bahwa meskipun surat dari Inggris membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mencapai India, pada tahun 1814 pemerintah Calcutta tampaknya telah menyadari fakta tersebut bahwa kecil kemungkinan pendudukan Inggris akan permanen di Maluku.

Martin, meskipun diilhami oleh semangat Wilberforce, tidak dapat melihat jalannya dengan jelas untuk membebaskan para budak. Dia menjelaskan dalam sebuah surat yang dikirim ke Bengal bahwa karena kecilnya populasi, emansipasi budak yang dipekerjakan di perkebunan rempah-rempah akan menjadi prematur sampai mereka tiba pada keadaan peradaban yang lebih besar. Kekristenan, dia melaporkan, sedang berkembang dan penduduknya tertarik pada perintah. Untuk mengefektifkan itu dan mendirikan sekolah-sekolah dan sistem pendidikan, ia menyarankan agar beberapa misionaris di Serampore diundang untuk datang ke Ambon dan mengambil alih pengelolaan dan pengawasan serta mengajarkan prinsip-prinsip kekristenan kepada murid-muridnya25.

Martin bekerja sangat keras untuk membangkitkan gereja Maluku dan mempromosikan “pencerahan populer”; karena permintaannya terhadap misionaris dari Bengal. Dalam usahanya untuk mendapatkan Alkitab, dia sangat dibantu oleh Raffles, yang menanggapi janji pemerintah akan uang untuk pembelian mereka, menulis ke Calcutta, menunjukkan bahwa di Jawa, tidak seperti Ambon, tidak ada banyak kelas yang berisi orang Kristen pribumi. “Di Ambon, ada orang Kristen yang sekolahnya disediakan oleh pemerintah dan oleh karena itu sebuah Edisi (Alkitab) dalam jenis bahasa Arab akan menjadi hadiah yang paling berharga yang dapat dibagikan.........Kami percaya bahwa jumlah yang dimiliki oleh Pemerintah Tertinggi begitu dengan murah hati berjanji untuk berkontribusi dapat diterapkan sepenuhnya untuk mendukung (rencana ini)”26.

Martin ingin memulai “Sekolah Pusat” di Ambon, tetapi dia kekurangan guru yang memenuhi syarat. Dia mendesak pemerintah Calcutta untuk mendapatkan beberapa “pendidik yang berhari misionaris” dari Serampore. Dia juga menulis surat kepada William Carey untuk bantuannya. “ Saya dengan sungguh-sungguh memohon kepada anda untuk melakukan sesuat untuk mengirim seorang misionaris ke Amboyna, Keuntungannya akan tidak terhitung. Sebagai Kepala Administrasi di sini, saya akan menganggapnya sebagai tugas suci untuk memberikan semua bantuan dalam kekuasaan saya”27. Sebagai jawaban, William Carey menawarkan putranya, Jabez. Pada Januari 1814, Jabez Careyq menerima pengangkatannya dan perjalanan gratis dari pemerintah Bengal, dan dalam rentang 3 hari, menikah, ditahbiskan dan berlayar ke Ambon. Dia bertugas sebagai pengawas sekolah, melakukan tur keliling pulau, berkhotbah untuk garnisun, diangkat sebagai Almoner negara dan anggota peradilan28. Sebagai pengawas sekolah, Carey menyukai sistem Lancaster dimana anak-anak mengajar anak-anak. Sejumlah besar anak-anak berkumpul di sebuah ruangan, duduk dalam barisan yang biasanya masing-masing terdiri dari 10 murid. Seorang guru dewasa mengajar monitor, dan setiap monitor mengajarkan pelajaran kepada murid-muridnya, membaca atau menulis. Cacat sistem ini muncul, bukan dari prinsip bahwa anak-anak dapat atau harus belajar satu sama lain – mereka bagaimanapun juga – tetapi dari elaborasi dan distorsi itu mencapai hasil massal dan ekonomi massal guru dewasa diturunkan ke posisi pengamat, pembelajaran didasarkan pada latihan29. Ini tidak sesuai dengan citra guru Maluku secara keseluruhan. Pastor-kepala sekolah Maluku adalah sosok yang berwibawa dalam setiap aspek dan setiap pendelegasian wewenang ini sangat dibenci.

Dalam laporannya, Martin mengacu pada “pelayanan yang baik” dari Carey. De Graaf menegaskan bahwa karyanya mempengaruhi kehidupan keagamaan internal orang Ambon30. Sudah terlalu lama setiap kepala sekolah harus mengandalkan intuisi dan inisiatifnya sendiri dan upaya Jabez-lah yang memberi lebih banyak bentuk pada Gereja Kristen Maluku sebagai sebuah entitas. Dalam perbedaan waktu muncul pada pokok-pokok tradisi dan dogma, seperti yang akan kita lihat nanti dalam bab ini, tetapi tidak ada keraguan bahwa landasan pertama dalam mendirikan kembali gereja, yang telah terombang-ambing untuk waktu yang lama, dilakukan oleh Jabez Carey.

       Baik Martin maupun Carey menyesali fakta bahwa tidak ada misionaris lain yang datang dari Bengal, dan menyalahkan pemerintah Inggris di India atas pembatasan ini, yang “ dengan enggan menyampaikan permusuhan sengit kepada misi Kristen ke dalam pengakuan yang tidak terlunasi”31. Sebelum tahun 1807, pendapat EIC adalah bahwa “jika memungkinkan untuk mengubah orang Hindu menjadi Kristen, itu tidak diinginkan”32. Tetapi bantuan lebih lanjut tiba di Maluku pada tahun 1815, dalam pribadi Joseph Kam, salah satu misionaris pertama yang dikirim oleh Lembaga Misionaris Belanda, yang telah didirikan pada tahun 1797. Kedatangan Kam disambut oleh Martin dan komunitas Kristen Ambon, yang tidak memiliki pendeta tetap dari iman Reformed sejak tahun 1794. Ribuan anak belum dibaptis dan tidak ada ibadah komuni (perjamuan) yang diadakan selama lebih dari 20 tahun. Bahwa gereja masih berfungsi dalam beberapa cara sepenuhnya disebabkan oleh pendeta/pastor-kepala sekolah dan kekuatan gereja adat. 

Joseph Kam (1769 -1833)

Kam belum menjadi misionaris sampai usia pertengahan 40-an, ketika dia bergabung dengan Lembaga Misionaris Belanda. Karena belum ada sekolah tinggi misionaris di Belanda, ia dilatih teologi oleh sejumlah pendeta. Ketika dia menyelesaikan pelatihannya pada tahun 1811, perang dengan Inggris serta Sistem Kontinental Prancis menghalangi rute laut, tetapi pada tahun 1812, dia telah mencapai Inggris melalui Swedia. Pada awalnya dia tidak dipercayai (ia mungkin seorang mata-mata/spionase) tetapi pada akhirnya dia diterima dengan sangat baik dan diberikan beberapa pelatihan misionaris di sebuah perguruan tinggi teologi di Gosport. Di sini ia juga belajar bahasa Inggris, suatu penguasaan yang berguna pada saat koloni-koloni Belanda diperintah oleh Inggris. Akhirnya, pada tanggal 8 Maret 1815, ia tiba di Ambon, sekitar setahun setelah kedatangan Jabez Carey.

Jabez adalah seorang Baptis sejati yang tidak percaya pada baptisan anak, sesuatu yang, di sisi lain, baptisan yang diterima antusias oleh orang Ambon. Kam bekerja dengan sangat antusias untuk menyelesaikan masalah ini. 3.000 anak sedang menunggu untuk dibaptis, dan Kam yang membaptis 120 anak setiap minggu, mengejar backlog dalam waktu ½ tahun. Karena dia juga membaptis banyak orang Kristen di pulau-pulau lain, dia mendapat julukan “Tukang Sakramen”. Kam tentu saja bermurah hati dengan air baptisan, tetapi dia melihatnya sebagai satu-satunya cara untuk menyatukan kawanan dombanya yang besar dengan tanda lahiriah. Di sela-sela kesibukan tugas kependetaannya, Kam menyempatkan diri untuk mendirikan percetakan. Banyak negeri yang selama bertahun-tahun hanya bertahan dengan beberapa lembar halaman Alkitab, dimana kepala sekolah akan membacanya pada hari minggu. Alkitab, buku himne dan katekismus segera terbit dari penerbitannya. Dia juga seorang musikal, dan, dimana tidak ada organ yang tersedia, dia akan memulai orkestra seruling yang masih memeriahkan kebaktian gereja Ambon hingga hari ini. Maka tidak diragukan lagi, bahwa masyarakat Kristen Ambon mengalami kebangkitan yang berbeda di tahun-tahun segera setelah kedatangan Kam. Carey, bagaimanapun, adalah faktor yang memperumit situasi.

Kerja-kerja Carey di Ambon telah dibahas oleh beberapa penulis33, tetapi hanya sedikit yang menyebutkan relasi antara Carey dan Kam. Wawasan tentang hal ini muncul dengan jelas dalam korespondensi Kam dengan London Missionary Society, yang dikutip oleh Enklaar34. Sementara Kam tidak menyebutkan Jabez Carey dalam suratnya kepada Lembaga Misionaris Belanda, dia melakukannya, pada beberapa kesempatan, saat menulis surat kepada London Missionary Society – pada awalnya dengan kata-kata netral atau pujian tetapi kemudian dengan cara mengeluh dan kritis. Pada bulan Juni 1815, Kam menulis kepada London Missionary Society, mencatat bahwa para siswa (Sekolah Pusat Ambon) “dihadiri dengan baik” oleh “Tuan Kerry” yang telah dipuji oleh Resident Martin atas “bukti kemajuan yang memuaskan”. Resident menjanjikan dukungan berkelanjutan untuk “penyediaan manfaat pembelajaran, peradaban, dan agama yang luwes dan tidak ternilai”35.

Kam berpandangan bahwa, khususnya di Maluku, pengawasan dan wewenang atas kepala sekolah, yang juga “pendeta jemaat”, tidak boleh diberikan kepada sistem sekolah pemerintah yang netral, tetapi kepada pendeta. Tentu saja dalam hal agama, jauh dari netral, dan di sini adalah keberatan kedua dan paling berat dari Kam. Carey, sebagai putra sejati sang ayah, “memberikan kebebasan untuk dogma anabaptis”36. William Carey telah mendesak putranya untuk merevisi katekismus dan buku sekolah di Ambon, dan dengan demikian memperkenalkan “doktrin yang sehat dan kesalehan yang murni”37. Segera setelah dia menguasai bahasa (Melayu) yang cukup, dia harus segera menyerang pembaptisan anak dan memercikkan air dan membuktikan kepada mereka dengan kitab suci “model/cara pembaptisan yang benar dan siapa orang yang tepat untuk dibaptis. Jangan biarkan perubahan radikal hati memuaskan anda di dalam pertobatan anda”38.

Tidak diragukan lagi Kam setuju dengan perlunya pertobatan sejati, tetapi sebagai seorang pendeta Calvinis, dia tidak dapat menerima metode Carey. Meskipun Kam tidak menyebut nama William Carey dan karena itu tidak menunjukkan penghargaan apapun terhadap tempat dan pekerjaan terakhir dalam peremajaan gerakan misionaris dunia, dia pasti berkorespondensi dengannya, mungkin secara khusus atas keberatannya terhadap sikap Jabez, karena William Carey menulis kepada putranya pada tahun 1817, “ Saya telah menerima surat dari Tuan Kam. Saya khawatir ide-idenya terhadap sifat pertobatan dan kekristenan sangat cacat dan membingungkan. Saya harap kamu tetap berhubungan baik dengannya, tetapi kamu harus melakukan pekerjaan yang sama sekali terpisah darinya, jika kamu ingin berguna/bermanfaat”39.

Pada dasarnya, minat baru pada gereja mereka oleh pemerintah Inggris diterima dengan baik oleh para kepala sekolah dan jemaat mereka pada tahun 1811. Pendanaan gaji kepala sekolah dan biaya gereja dipandang sebagai renovasi paling penting yang dilakukan oleh Inggris. Kedatangan Jabez 3 tahun kemudian disambut dengan baik dan jika penolakannya untuk membaptis anak-anak mereka telah menyinggung, upayanya untuk menyediakan buku, dan terutama Alkitab, sangat dihargai. Begitu Kam hadir dan hanya ingin membaptis anak-anak mereka, kehidupan keagamaan menjadi tenang selama pemerintahan Inggris. Kebangkitan agama yang meluas dalam beberapa kasus menyebabkan ekses. Apakah semangat Martin untuk agama dan moral, atau pelayanan Carey dan kemudian Kam, yang mendorong ekses ini sulit ditentukan, tetapi sebagian orang Kristen Maluku mulai menganggap kehidupan keagamaan mereka sebagai satu-satunya yang penting. Mengabaikan kewajiban sehari-hari mereka yang normal, mereka mengadakan pertemuan renungan harian dimana Alkitab dibacakan dan mazmur dinyanyikan sepanjang hari.

Mengingat latar belakang ini, kita tergoda untuk mencari tanda-tanda “ milenialisme” atau pengaruh mesianik dalam pemberontakan yang mengikutinya. Milenarianisme sering menarik orang-orang yang kekurangan secara sosial dan doktrin milenium dan advent kedua menyiratkan penggulingan dunia seperti yang ada saat ini40. Kita tergoda untuk membuat perbandingan dengan gerakan Hau-hau dan Pai Marire di Selandia Baru. Namun, harus ditekankan lagi, orang Ambon bukanlah kelompok yang baru saja dikristenkan, seperti suku Maori abad ke-19. Kekristenan orang Ambon adalah ortodoksi gereja Calvinis, yang telah berhubungan dengan orang Ambon selama 200 tahun. Penulis tidak menemukan apa pun yang menunjukkan kecenderungan milenial atau kenabian.

Bantuan khusus yang dinikmati oleh kepala sekolah tidak luput dari perhatian. Sementara Daendels, karena kekurangan dana telah membuat gaji kepala sekolah menjadi tanggung jawab masing-masing negeri, Martin membayar mereka dari kas pemerintah. Ini membuat mereka independen dari orang-orang negeri dan dengan demikian memperkuat otoritas mereka. Martin melihat kepala sekolah sebagai “ Penyebar alami pencerahan hati dan kesadaran”. Ini pada mulanya merupakan sikap yang dimiliki oleh pemerintah Belanda yang masuk, yang pada tahun 1817, untuk sesaat, mempertimbangkan kemungkinan menjalankan pemerintahan dengan kepala sekolah daripada dengan kelas/kelompok para Regent yang lama, karena pengaruh mereka dengan rakyat. Gagasan itu segera dibatalkan41

Carolus de Queljoe, Radja van Kilang, ca. 1821

Karena pentingnya kepala sekolah telah meningkat, demikian pula otoritas Orang Kaija, Pattij dan Raja mulai berkurang. Meskipun Inggris telah memutuskan untuk tidak mengubah aturan lama pemerintahan, mereka jauh lebih ketat dalam pengawasan pejabat-pejabat desa/negeri. Sedangkan Belanda pada umumnya telah memperhatikan keluarga penguasa lama dan telah meninggalkan mereka praktis sendirian, selama mereka menghasilkan cukup cengkih untuk gudang pemerintah, Inggris bahkan telah menghukum pemimpin/kepala adat tradisional ini dengan sangat keras bahkan untuk penyalahgunaan kekuasaan atau korupsi yang kecil. Hal ini tidak melakukan apa pun untuk meningkatkan otoritas mereka, sementara otoritas kepala sekolah, di sisi lain, meningkat. Perubahan otoritas ini mungkin menjadi faktor penentu dalam peristiwa naas yang terjadi tidak lama setelah kembalinya pemerintah Belanda. Martin, meskipun dari motif yang paling idealis, telah menganggu hubungan sosial berabad-abad.

================================

Satu hal lagi yang diperhatikan dalam aspek militer pemerintahan Inggris di Maluku. Akibat penaklukan Jawa oleh Lord Minto, ancaman terhadap keamanan Maluku telah berkurang, dan sebagai akibatnya Raffles dan Martin diminta untuk membuat laporan bersama atas persyaratan militer untuk Jawa dan Amboyna. Saran dari Martin adalah penggantian Sepoy India oleh Korps Ambon, yang didirikan berdasarkan perbandingan dengan apa yang ia sebut Batalyon Provinsi Bengal43. Modelnya nampak seperti korps “tidak teratur” yang terdiri dari penduduk pribumi, yang sejak tahun 1780-an telah digunakan untuk mengawasi “wilayah suku-suku” tertentu – Bhagalpur misalnya – di pinggiran wilayah Bengal44.

Meskipun orang Ambon telah bertugas di tentara kompeni selama 2 abad, satu-satunya unit yang hanya terdiri dari orang-orang Ambon yang telah ada sampai tahun 1810 adalah Milisi Ambon, yang terdiri dari kaum burger Ambon, yang lebih bersifat seperti penjaga lingkungan. Seperti dalam korps “tidak teratur” India, demikian pula, dibawah Inggris, penduduk lokal/pribumi diberi kekuasaan komando yang cukup besar46. Korps Ambon yang baru ini dipimpin oleh 5 perwira Eropa dan 6 perwira Ambonr. Kader-kader N.C.O adalah orang Ambon. N.C.O seniornya adalah Sersan Mayor Matulesia.

Ver Huell memberikan deskripsi tentang pria ini (Matulesia), yang layak dikutip secara lengkap pada poin ini :

“ Thomas Matulesia adalah seorang laki-laki berusia sekitar 35 tahun, tinggi tetapi ramping dan berkulit gelap, yang tidak tampak terlalu cerdas. Ia kelahiran Saparuas, dan anggota Gereja Reformasi serta seorang burger Saparua. Dia pernah menjadi Sersan Mayor di Korps Ambon. Selama pemberontakan, dia biasanya mengenakan seragam dengan tanda pangkat Mayor Genie Beetjes, yang terbunuh dalam pertempuran pertama pemberontakan. Dia biasanya memiliki pengawal bersamanya dan telah menggunakan gelar yang “angkuh” yaitu : “ Panhoelo Pangerang di atas Poelo Hinimoa, Haroekoe, Noesa Laoet, Ambon, Ceram dan lain jang berikot”, yang bermakna : Panglima Perang Tertinggi atas Kepulauan Honimoa, Haroekoe, Noesa Laoet, Amboina, Ceram, dan pesisir sekitarnya”.47

                Boelen menambahkan juga pada gambaran/citra ini :

Matulesia sedikit berlebihan dengan menggantung 3 tanda pangkat di dadanya dan mengenakan sisir rambut emas dan berlian [milik] istri Residen yang terbunuht di rambutnya”48

Menurut standar lokal, orang-orang dari korps Ambon dibayar dengan baik pada masa pemerintahan Inggris, mereka dipersenjatai dengan senapan, berpakaian bagus dan tidak harus berperang di luar Maluku, suatu klausul yang secara khusus tertulis dalam kontrak mereka. Korps ini, anggotanya direkrut dari seluruh wilayah kepulauan Ambon, yang menjelaskan fakta bahwa Matulesia berasal dari Saparua.       

Thomas Matulesia (oleh Q.M.R. Verhuell, ca 1817)

Jumlah bekas anggota korps yang tidak diketahui, tetapi mungkin substansial, mengambil bagian atau terlibat dalam pemberontakan tahun 1817, meskipun itu bukan pemberontakan tentara. Pada saat itu Korps ini telah dibubarkan. Diberikan hak burger oleh Martin pada saat mereka keluar/diberhentikan, mereka sekarang menyadari mereka tanpa sarana dukungan dan, sebagai seorang burger, [statusnya] di luar komunitas desa/negeri. Kemarahan mereka pada Belanda, yang menolak untuk melibatkan mereka kembali dengan syarat yang dapat diterima, dapat dipahami dan ketika mereka mendayung melewati kapal-kapal perang Belanda dalam perjalanan pulang ke negeri-negeri mereka, mereka melampiaskan kemarahan mereka dengan meneriakan caci maki kepada para ABK kapal49. Karena banyak yang membawa senjata [saat pulang], tidak dapat dipahami bahwa pihak berwenang gagal menyadari betapa berbahayanya mereka.

=============================================

Karena blokade penuh kapal-kapal Belanda selama perang Inggris-Prancis-Belanda, kekurangan uang-uang logam yang akut telah muncul di semua koloni-koloni milik Belanda. Uang kertas yang diperkenalkan sebagai gantinya tidak pernah populer. Uang ini juga tidak aman dan terdevaluasi dengan cepat. Penduduk desa tidak mempercayainya. Selain itu juga melanggar kebiasaan gereja, hanya uang koin perak-lah yang dapat diterima untuk kotak miskin di gereja50.

Kekhawatiran Martin tentang uang logam sedemikian rupa sehingga, untuk mendapatkannya, dia menjual sejumlah cengkih kepada Kapten Walker, pemilik kapal pribadi “Fortune”. Menjelaskan penjualan ini, Martin menulis kepada Tuckeru, Sekretaris Departemen Kolonial di Fort William :

Saya setuju untuk mengizinkan para petugas itu membeli dengan harga yang sangat rendah {1 sicca rupee per pon) untuk disimpan bagi sirkulasi di pulau ini, suatu jumlah uang logam yang seharusnya diekspor. Meskipun beberapa pertimbangan yang sama baru-baru ini melibatkan persetujuan saya untuk pelepasan jumlah tambahan cengkih, saya, terlepas dari hasil panen terakhir yang melimpah, berhasil memperoleh 1 rix dollar per pon untuk kuantitas yang telah dijual melalui penjualan pribadi. Karena persediaan uang logam yang wajar telah diperoleh dengan cara ini, saya percaya bahwa tindakan saya dalam transaksi ini akan mendapat persetujuan dari Pemerintah Tertinggi”51.

Terlepas dari pengaturan sementara ini, uang logam tetap langka dan ini pada waktunya akan menyebabkan beberapa keputusan yang sangat salah oleh Komisi Pengambilalihan wilayah koloni Maluku untuk pemerintah Belanda.

======================

Secara umum mungkin adil untuk mengatakan bahwa Martin, di Ambon, cenderung membuat undang-undang terlalu banyak tetapi memerintah terlalu sedikit. Dia siap menyingkirkan banyak hal yang ada, tetapi dapat dikatakan bahwa kekurangan yang jelas terlihat dalam sistem lama ditambah dengan apa yang disebut Van der Kemp sebagai administrasi yang ceroboh. Ide-idenya untuk menciptakan tatanan baru memang dimaksudkan dengan baik, tetapi tidak dapat disangkal bahwa tugas lain dari penguasa, administrasi itu sendiri, diabaikan. Tidak ada yang dilakukan mengenai pemeliharaan bangunan, benteng dan jalan selama seluruh periode. Ini berarti sangat meringankan beban pasokan wajib dan tenaga kerja dan dengan demikian disambut baik oleh penduduk. Namun Belanda kembali dan 7 tahun akumulasi pengabaian itu harus diperaiki, dengan permintaan yang sangat meningkat untuk pasokan bahan serta jasa tenaga kerja, hasil yang tidak terhindarikan adalah pengerasan lebih lanjut dari sikap negatif terhadap pemerintah yang akan datang. Van Doren berpendapat bahwa kebijakan Inggris dalam hal ini sengaja. “Pemerintah Inggris di Maluku membidik lebih banyak kehancuran daripada pengembangan kepulauan”52. Menurut dia, hal itu didorong oleh fakta bahwa rempah-rempah sekarang diproduksi di koloni Inggris lainnya dan Ambon, yang diharapkan akan dikembalikan kepada Belanda, dianggap sebagai pesaing. Van Doren tidak mendukung pernyataan ini dengan bukti yang pasti dan mungkin hanya mengungkapkan pendapat pribadi.

Van Doren juga menegaskan, bagaimanapun, bahwa pemberontakan yang pecah setelah penyerahan/pengambilalihan itu sebenarnya sudah membara selama pemerintahan Inggris, dan di sini dia mengutip beberapa bukti untuk mendukung kasusnya. Raja [negeri] Nollothv bangkit melawan Residen van Saparoea, Neijsw, yang diangkat Inggris pada tahun 1816. Penduduk Siri-Sori Slam (Islam), yang permintaannya kepada Martin untuk menggantikan Raja mereka [yang beragama]Kristen dengan yang beragama Islam [seperti] mereka sendirix  telah ditolak, [sehingga] telah mengadakan sejumlah pertemuan yang merencanakan pemberontakan, tetapi hal ini telah digagalkan53. Pernyataan semacam itu mungkin dapat digabungkan dengan pernyataan Buijskes bahwa pemerintahan penduduk pribumi di bawah kekuasaan Inggris kurang adil. Ketika penduduk negeri mengeluh tentang pemimpin mereka, kepala/pemimpin negeri itu sering diberhentikan tanpa sidang. Akibatnya, Pattij, dan pemimpin lainnya kehilangan otoritas mereka; mereka menjadi takut untuk menghukum masyarakat mereka sendiri, yang sebagai akibatnya, menjadi semakin dan semakin tidak patuh dan memberontak54.

Secara umum tampaknya dirasa cukup untuk membuat aturan. Despotisme seperti Daendels tidak diinginkan, tetapi tampaknya Martin menjadi ekstrim ke hal yang lain. Dia gagal melihat bahwa Maluku membutuhkan tangan yang kuat untuk memegang kendali pada saat benih-benih disorganisasi sudah ada. Ini lebih lanjut ditunjukkan oleh kerusuhan di antara orang-orang dan pembunuhan seorang Resident Haruku asal Inggris pada tahun 1815. Kita mungkin berspekulasi bahwa ide-ide orientalisnya, dengan gagasan-gagasan Kristen yang ditumpahkan pada mereka, mengaburkan penilaiannya. Namun, penting untuk menjaga disorganisasi dan kerusuhan ini ke dalam perspektif yang tepat. Kerusuhan dan pembunuhan seperti yang terjadi diarahkan pada pejabat atau peristiwa tertentu dan bukan pada pemerintah seperti itu. Sampai pembentukan pemerintahan Inggris pada tahun 1796, aturan kompeni telah diterima oleh penduduk dengan cara yang sama yang tidak dipertanyakan seperti aturan pangeran-pangeran pribumi yang selalu diterima oleh kaum tani. Tetapi Martin telah mengurangi wewenang para Regent dan dengan demikian secara otomatis wewenang pemerintah. Juga pemerintahannya yang lebih lembut telah meyakinkan orang Maluku bahwa pemerintahan Belanda lebih keras dan sebagai konsekuensinya mereka tidak mengharapkan kemungkinan kembalinya Belanda. Ketakutan ini dan kekacauan umum menciptakan iklim yang cocok untuk pemberontakan. Tetapi seperti yang akan kita lihat pada bab III, ketika pemberontakan terjadi, tujuannya bukanlah kemerdekaan dari kekuasaan Eropa melainkan mempertahankan pemerintahan Inggris dan mencegah pembentukan kembali otoritas Belanda. Setelah pemberontakan usai, Buijskes memberikan hal itu sebagai “pendapatnya” bahwa setelah semua milik Belanda telah diambil alih oleh Inggris, dan Belanda sendiri telah dimasukkan ke dalam kerajaan Prancis, telah ada kebijakan yang disengaja untuk meyakinkan orang Maluku bahwa Belanda, sebagai sebuah bangsa, telah “gagal” untuk eksis dan tidak akan pernah kembali lagi, sehingga Maluku akan tetap selamanya di bawah kekuasaan Inggris. Keinginan itu tentu saja merupakan pokok dari pemikiran tersebut. Buijskes juga menegaskan bahwa banyak pejabat dan pegawai Eropa, serta perwira angkatan bersenjata menikah di Maluku dan telah menetap di sana, dan berita tentang pemulihan Belanda dan kemudian Perjanjian London, mengembalikan koloni-koloni ini kepada mereka, jauh dari sambutan (atau tidak dihiraukan)55. Buijskes “benar-benar yakin” bahwa ketidakpuasan ini telah menyebabkan upaya lebih lanjut untuk mengintesifkan perasaan anti-Belanda dengan mengingatkan orang-orang tentang pemerasan Gubernur dan Resident sebelumnya dan memperkirakan bahwa disposisi yang menguntungkan mengenai kepala sekolah, layanan wajib, pengiriman pakasa dan sejenisnya akan dibatalkan, uang kertas akan diganti dengan uang tunai, dan sekali lagi anak-anak mereka akan dikirim ke Jawa sebagai tentara. Mereka membandingkan nasib mereka dengan penduduk pulau Seram dan Gorom, yang dapat dianggap bebas dan merdeka dari kekuasaan Belanda dan karena itu dapat menjual hasil bumi mereka kepada penawar tertinggi dari negara mana pun.

“ Meskipun saya percaya “, tulis Buijskes, “bahwa pegawai dan perwira tinggi Inggris tidak bersalah atas hasutan ini, adalah hal yang pasti bahwa beberapa individu bawahan serta beberapa pemimpin penduduk pribumi telah bersalah atas tindakan tersebut. Bagaimana lagi dapat dijelaskan bahwa para pemberontak dari Saparua, segera setelah merebut benteng Duurstede, mengibarkan bendera Inggris, dan bahwa penyerangan terhadap benteng Zeelandia di Haruku terjadi dengan bendera Inggris yang berkibar??”56.

Apresiasi yang lebih luas tentang situasi di akhir periode Inggris berasal dari karya Van der Kemp. Dia mengatakannya seperti ini : “ Penduduk pribumi, sampai kedatangan Inggris, hanya tahu apa yang mereka sebut (dan semua yang mengatakan) “kompeni”. Mereka selalu menerima bahwa cara pelayannya memahami tugas mereka adalah seharusnya seperti begitu”57. Dengan munculnya pemerintahan Inggris, mereka melihat kemungkinan arah yang jauh lebih liberal, yang daya tariknya semakin tumbuh, dan kini mereka melihat aturan ini hilang kembali. Bahkan jika disposisi mereka yang tidak menguntungkan terhadap pemerintah yang kembali tidak dirangsang oleh “gagasan kemerdekaan dan kebebasan yang tidak dapat dicapai”58, hal itu tidak akan mengubah fakta bahwa Belanda kembali dalam keadaan yang jauh lebih buruk daripada keadaan dimana saat mereka pergi.

================================

Melalui bencana dari Napoleon di Rusia, yang tiba-tiba membuka prospek umum untuk pemulihan hubungan lama, pertanyaan kolonial menjadi akut lagi. Pada kunjungan ke Inggris pada bulan April 1813, Pangeran Oranye membuat beberapa pertanyaan tentatif tentang niat pemerintah Inggris. Mereka tidak perlu merasa terikat dengan Surat Kew, karena koloni telah dikembalikan ke Belanda melalui Perdamaian Amiens dan setelah itu ditaklukan lagi oleh Inggris. Tetapi Castlereaghy tidak berpandangan bahwa penaklukan ini harus merupakan kata akhir. Pada prinsipnya dia siap untuk mengembalikan kolonia ke Belanda, tetapi tidak berkomitmen pada seberapa jauh dia siap pergi. Sejak awal ia menggabungkan pertanyaan kolonial dengan ukuran masa depan Belanda di Eropa. Semakin kuat posisinya di perbatasan Prancis, semakin besar klaimnya atas bekas jajahannya.

Hanya setelah pertempuran Leipzig, Castlereagh menyatakan bahwa situasi pada 1 Januari 1803 akan menjadi dasar negosiasi. Dengan Konvensi London tertanggal 13 Agustus 1814, akhirnya diputuskan bahwa kolonia, dengan pengecualian Ceylon dan Tanjung Harapan, akan dikembalikan ke Belanda dalam waktu 6 bulan. Belanda tidak punya alasan untuk mengeluh. Mereka menerima kembali Kepulauan Hindia Timur dan dengan itu kesempatan untuk menjadi kekuatan kolonial utama, kesempatan yang, pada abad berikutnya, diterima dengan penuh semangat. 

Arnold Adriaan Buijskes (1771 - 1838)

Proses peralihan/penyerahan itu sendiri adalah masalah yang sulit. Sebuah Komisi ditunjuk oleh William I. Ada banyak “tangan-tangan lama” yang menginginkan pengangkatan, tetapi Raja lebih suka orang baru dan mengangkat C. Eloutz, G. Baron van der Capellenaa, dan A.A. Buijskes sebagai Komisaris Jenderal untuk mengambil alih Hindia Timur dari pejabat-pejabat Inggris di tempat.

Elout adalah yang tertua dan paling cakap dari ketiganya, seorang anggota Dewan Negara, yang telah menonjolkan dirinya dalam sejumlah penunjukan sebelumnya. Van der Capellen adalah Sekretaris Negara untuk Perdagangan dan Koloni dan ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal. Buijskes, satu-satunya yang memiliki pengalaman pribadi di Hindiabb, muncul sebagai ahli maritim59.

Kembalinya Napoleon dari Elba menunda keberangkatan Komisi. Baru pada bulan April 1816cc, Komisi tiba di Jawa dengan sekelompok pegawai negeri dan 1.800 tentara.

Yang membuat Komisi heran dan marah, Fendalldd, pengganti Raffles, yang telah dituntun untuk percaya bahwa ia memiliki masa jabatan 3 tahun, mendapat instruksi untuk mencoba menunda. Baru setelah menerima instruksi baru, dia menyerahkan koloni itu pada 19 Agustus 1816. Melalui semua penundaan ini, Maluku tidak dikembalikan sampai tahun 1817, hampir 3 tahun setelah Konvensi London60.

Dari sisi Indonesia, pada awalnya ada sedikit perlawanan terhadap perubahan pemerintahan. Di luar Maluku, hanya di Banten dan Cheribon yang terus menerus gelisah terjadi beberapa gangguan dan Perang Jawa Dipo Negoro, yang pecah sembilan tahun kemudian tidak diragukan lagi berakar pada peristiwa tahun 1816, tetapi itu berada di luar lingkup kajian ini, seperti halnya Perang Paderi di Sumatera, yang dapat dilihat sebagai hasil dari kontroversi agama Islam dan dengan demikian bukan akibat langsung dari perubahan kedaulatan. Tetapi di Maluku, kembalinya monopoli rempah-rempah, dan ekspedisi hongi yang menyertainya, ditakuti. Ledakan dahsyat yang terjadi di sana harus diredam oleh Buijskes sendiri.

==== bersambung ====

Catatan Kaki

1.         Untuk membuat peristiwa-peristiwa yang disebutkan dalam bab II ini mudah untuk diikuti/dipahami, maka diberikan kronologinya secara singkat :

a.        1784 : Perdamaian Paris. Inggris mendapat hak bebas berlayar di Maluku

b.       1795 : Prancis mengokupasi Belanda. 15 September 1795, Belanda berperang dengan Inggris

c.        1796 : Ekspedisi Rainier mengokupasi Maluku

d.       1796 – 1803 : Pemerintahan Intergnum I Inggris di Maluku

e.        1799 : VOC bubar

f.         1802 : Perdamaian Amiens. Maluku dikembalikan ke Belanda

g.        1803 – 1810 : Maluku dibawah pemerintah Belanda. Pemerintahan Daendels

h.       1810 – 1817 : Pemerintahan Interegnum II Inggris di Maluku. Pemerintahan Martin

2.        H.T.C.Colenbrander, Gedenkstukken der Algemeene Geschiedenis van Nederland van 1795-1840. p.179.

3.        “Journal of an Expedition to the Moluccas in 1796, under the Command of Admiral Rainier". Text of this Journal in "Een Engelsche Lezing omtrent de Verovering van Banda en  Ambon in 1796" by P.J.Heeres in: Bydragen Vol.60 (1908) passim

4.        Lennon mencatat bahwa hari ini adalah peringatan ke-173 tahun “Pembantaian Ambon” yang terkenal pada tahun 1623. Dia mengklaim dengan murah hati “meskipun mengingat kekejaman sebelumnya yang dilakukan terhadap orang-orang sebangsa kita, sekarang dengan mengingat tanggal itu menyegarkan pikiran setiap orang, sekarang terlihat sedikit kecenderungan untuk membalas dendam atas peristiwa itu”. Lennon’s Journal, hal 277

5.        Lihat hal 47

6.       De Graaf (1977) op.cit. p.198.

7.        Van Houtte op.cit. p.167.

8.        ibid p.166.

9.       B.Vlekke, Nusantara The Hague (1943) p.240.

10.     Stapel F.W. Geschiedenis van Nederlandsch Indie. Amsterdam (1943) p.218.

11.       J.v. Stubenvoll. History of the Island of Celebes and the Trial of Colonel Filz, Vol. IV. (1817) passim.

12.      P.J.Heeres op.cit. p.251.

13.      Pajak pasar yang sangat tidak disukai.

14.      D.Kopf. British Orientalism and the Bengal Renaissance, Los Angeles (1969) 1 p.95.

15.      D.Kopf. op.cit. p.102.

16.     Ibid

17.      Daendels, yang geram terhadap korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri, dirinya berhasil dengan sangat baik di “perkebunan” Buitenzorg. “Perkebunan” Gubernur Jenderal ini secara tradisional diserahkan kepada pendapatan setiap Gubernur Jenderal oleh para pendahulunya dengan jumlah tetap fl. 100.000. Daendels membujuk seorang anggota Raad van Indie (Dewan Hindia Timur) yang penurut untuk memberikan penghargaan itu kepadanya secara pribadi secara turun temurun. Dia kemudian menjual sebidang wilayah (istana dan taman kepada pemerintah sendiri) dengan perkiraan keuntungan satu juta gulden. Raffles melakukannya dengan baik dari kesepakatan dengan temannya Residen Hare yang telah memperoleh sebidang tanah yang luas dari Sultan Banjermassin. Menyadari bahwa orang Dajak setempat menolak untuk bekerja, dia meminta bantuan Raffles. Raffles kemudian mengangkut tiga ribu penjahat kecil dan petani tak berdosa dari Jawa. Ratusan dari mereka meninggal dan skandal itu dikenal sebagai "Kedahsyatan Banjermassin". Lihat Van Houtte, Neumeyer et al.  Algemene Geschiedenis der Nederlanden. Vol. IX, Amsterdam (1966) hlm. 173-177 dan F.W.Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indie Amsterdam (1943) hlm.220.

18.      Bengal Proceedings. I.O.L. & R. P.167/40.

19.     Ibid

20.    Letter by Minto to East India Company, London, dated 15/12/1810 I.O.L. & R. E/4/78.

21.      Letter by Martin to Bengal, dated 29/2/1812. I.O.L. &R. P/167/40.

22.     Daendels, staat d'er NederTa.ndsch Oost Indische Bezittingen. The Hague (1814) pp. 71-72.

23.     Martin to Gov.Gen. in Council 25 May 1811. I.O.L. & R. E/4/376.

24.     Bengal Civil/Colonial. I.O.L. & R. 167/57 12 February 1812.

25.     Martin's Letter to Bengal Govt. dated 18 August 1813. I.O.L. & R. 167/56.

26.    Raffles to Secretary Calcutta Bible Society 18 September 1813. I.O.L. & R. 167/57.

27.     S.Pearce Carey, William London (1923) pp. 301-307.

28.     Ibid

29.    Encyclopaedia Britannica Vol. 13 (1971) .

30.    De Graaf, op.cit. p.206.

31.      Pearce Carey, op.cit. p.306.

32.     Dari khotbah Wilberforce mengajukan kasus untuk tiket masuk gratis untuk misionaris ke wilayah Perusahaan. Sumber: P.J.Marshall. Problems of Empire: Britain and India 1757 - 1813. London (1968) hal.187.

33.     Misalnya  E.Payne, South East of Serampore and Pearce Carey, William Carey.

34.     Enklaar op.cit. hlm.44-47.

35.     Enklaar, op.cit. hlm.44-47. Semua kutipan dari L.M.S. korespondensi dengan Kam diambil dari sumber ini.

36.    Van Doren, op.cit. hal.156.

37.     Payne, op.cit. hlm. 85-88 (Dikutip oleh Enklaar hal.47).

38.     Pearce Carey, op.cit. p.327.

39.    Enklaar, op.cit. p.47.

40.    Lihat  Lanternari  The Religions of the Oppressed.

41.      De Graaf 1977 op.cit. p.207.

42.     Letter Martin . to Secretary Colonial Dept, Fort William 14 July 1814. Bengal Board Collection p.168 Vol. 5 No. 10 I.O.L.R. E/4/376.

43.     Sangat menarik untuk dicatat di sini bahwa ini bukan pengalaman pertama Martin dengan Korps pribumi. Tak lama setelah Martin mengambil tugas dari Residen Bencoolen Thomas Parr yang baru saja dibunuh, dia memasukkan Risalah berikut tertanggal 25 Februari 1808, tentang Korps Bugis dari koloni itu: "Residen (Martin sendiri) telah mencatat, dalam Proceedings of 27 Desember 1807, pendapatnya sehubungan dengan kemanfaatan mempertahankan pendirian kecil orang Bugis untuk melayani Kompeni (tampaknya bertentangan dengan gagasan Parr untuk menghapus Korps sama sekali). dan Korps yang efisien dari deskripsi ini dalam keadaan darurat, ketika tidak praktis atau tidak bijaksana untuk merinci pesta Sepoy reguler ke negara tersebut.........(Ini) keturunan dari pemimpin-pemimpin timur masih menganggap diri mereka sebagai ... Penjaga kepentingan kompeni dan kebanggaan diri karena dipekerjakan sebagai agen Perusahaan"45. Tidak diragukan lagi Martin melihat orang Ambon Kristen dalam pandangan yang sama seperti dia melihat orang Bugis, yang juga berasal dari Maluku, empat tahun sebelumnya.

44.     See A.Barat The Bengal Native Infantry (1962) Chapter 2.

45.     Minutes of the Bencoolen Residency 25 February 1807

46.    Barat, A. Ibid

47.     Ver Huell Herinneringen aan een Reis naar Indie, Vol. I pp. 242-244.

48.     Boelen op.cit. p.218.

49.    Boelen op.cit. p.137.

50.    Lihat  pp. 125-129

51.      Martin to Bengal Civil/Colonial, 19 June 1814. I.O.L. & R. 167/57.

52.     van Doren, op.cit. p.18.

53.     ibid p.5.

54.     Buyskes, Report 472. f.7.

55.     Buyskes, Report No. 472 f.7.

56.    ibid f.9.

57.     Van der Kemp (1911) op.cit. p.477.

58.     P. Meyer, Kroniek, (1841) p.563.

59.    Van Houte. op.cit. p.179.

60.    ibid p.180

 

Catatan Tambahan

a.       Pierre Poivre  (1719 - 1786) adalah pemilik bekas-bekas pulau kolonial Perancis antara 1767 dan 1772


b.       Grenville, bernama lengkap Baron William Wyndham Grenville, lahir pada 25 Oktober 1759, dan meninggal pada 12 Januari 1834. Ia menjadi Menteri Luar Negeri Inggris pada tahun 1791 – 1801.

c.        Walter Lennon, bernama lengkap Walter Caulfield Lennon, lahir sekitar 1759, dan meninggal pada 3 Januari 1835 di Cheltenham. 

d.       Admiral Rainier, bernama lengkap Peter Rainier, lahir pada 1741, dan meninggal pada 7 April 1808.

e.        Alexander Cornabe, lahir sekitar 1737 di Leiden, dan meninggal dunia pada 17 Juni 1813 di Penang. Ia menjadi Gubernur VOC Ambon sejak 31 Desember 1794 – 17 Februari 1796.

f.         kompi Wurttembergers mulai bertugas di Ambon sejak akhir tahun 1792.

g.        Daendels, bernama lengkap Herman Willem Daendels, lahir pada 21 Oktober 1762 di Hattem dan meninggal dunia pada 2 Mei 1818. Menjadi Gubernur Jenderal yang bermarkas di Batavia pada 1808 – 1811

h.       Jean Philippe Filz, bernama lengkap Jean Philippe Francois Filsz, lahir pada 11 April 1771 di Nemours, dan meninggal karena dieksekusi di Batavia pada 12 Juni 1810. Ia menjadi komandan militer Maluku pada Maret 1809 – 19 Februari 1810

i.         Menurut sumber dari Chr Fr van Fraasen, J.P.F. Filsz dipomosikan menjadi Kolonel pada 14 Maret 1808 di Batavia

j.         Komandan Tucker, bernama lengkap Edward Tucker, lahir pada 1777 dan meninggal pada 26 Maret 1864. Ia adalah komandan kapal perang (fregat) Dover yang mengkapitulasi Ambon pada 19 Februari 1810

k.        Kapten Court, bernama lengkap Henry Court, lahir pada 5 November 1783 di London dan meninggal di Inggris pada 23 November 1874. Ia menjadi Gezaghebber Sipil dan Militer Maluku pada 1810 – 1811, menjadi Resident van Banda pada 1811-1812. Berpangkat kapten sejak 6 Mei 1809 dan dipromosikan menjadi Mayor sejak tahun 1814.

l.         Gubernur Heukevlugt yang dimaksud bernama Levinus Heukevlugt, lahir sekitar tahun 1770 di Vlisingen, dan meninggal pada 26 Juli 1837 di Batavia. Ia menjadi Gubernur Ambon pada 1 Jan – 19 Februari 1810, sebelumnya menjadi Gubernur Banda pada 1805 – 1807.

m.      Minto yang dimaksud adalah Lord Minto yang bernama lengkap Gilbert Elliot-Murray-Kynymond Minto, lahir pada 23 April 1751 di Edinburgh dan meninggal pada 21 Juni 1814 di Inggris. Menjadi Gubernur Jend Inggris untuk Hindia sekaligus Gubernur Bengal (Juli 1807 – Oktober 1813).

n.        William Byam Martin, lahir 11 Juli 1782 di London.

o.        Residen Bengkulu yang terbunuh bernama Thomas Parr pada 27 Desember 1807. Lihat juga catatan kaki no 43 di atas

p.         R. Farquhar, memiliki nama lengkap Robert Townsend Farquhar, lahir pada 14 Oktober 1776 di Westminster dan meninggal dunia pada 20 Maret 1830 di London. Sebelum menjadi Resident (Gubernur) Maluku (1799 – 1802), ia menjadi pembantu (assisten) dari Assisten Resident van Banda (1796-1799).

q.         Jabez Carey, putra bungsu dari William Carey dan Dorothy Plecket, lahir di Piddington pada 12 Mei 1793 dan meninggal dunia pada 13 Mei 1862 di Calcutta. Ia menjadi pengawas sekolah (schoolopziener) di Ambon pada 1814-1818.

r.          Pembentukan Korps Ambon ini dilaporkan melalui surat dari Henry Court, Gezaghebber Sipil dan Militer Maluku, kepada Sekretaris Umum Gubernemen di Madras, Alexander Falconar, tertanggal 6 Maret 1810. Komposisi dari Korps Ambon ini adalah 1 Sersan Mayor (Eropa), 1 Sersan (Eropa), 1 Adjunt/Pembantu (Pribumi), 20 sersan, 20 kopral, 10 penabung genderang dan 600 serdadu. Korps ini dipimpin oleh Captain David Forbes dari Resimen Madras.

s.         Maksud kalimat Ia kelahiran Saparua (He was born a Saparuan) bermakna Thomas Matulesia bukan lahir di negeri Saparua tetapi lahir di pulau Saparua. Arti luas dari kata Saparua pada konteks ini merujuk pada nama pulau bukan spesifik nama salah satu negeri/desa yaitu desa Saparua.

t.          Istri Resident van Saparua yang terbunuh pada 16 Mei 1817 bernama Johana Christina Umbgrove.

u.       Tucker, yang dimaksud adalah Henry Saint George Tucker. Ia menjadi Sekretaris Departemen Kolonial di Bengal pada (1812 – 1815)

v.        Raja [negeri] Nolloth yang dimaksud adalah Isaac Nicolaas Huliselan, yang memerintah (sebelum 1803 – 1820)

w.      Residen van Saparoea, Neijs, yang dimaksud adalah Johannes Alexander Neijs.

x.        Menarik memahami narasi ini, hal ini mungkin “diperkuat” dengan fakta bahwa pada tahun 1804, salah satu calon Pattij van Siri Sori bernama Jacob Pattisahusiwa, selain Frans Pelupessij, Jacob Molle dan Cornelis Nikijuluw serta Johannes Salomon Kesaulija, dimana J.S Kesaulija-lah yang direstui dan diterima menjadi Pattij van Sirisori. Setelah tahun 1817, figur-figur dari nama keluarga Pattisahusiwa-lah yang kemudian menjadi Regent untuk negeri baru yang terlepas dari negeri Siri Sori yaitu Siri Sori Islam.

y.        Castlereagh, yang dimaksud adalah Lord Henry Robert Steward Castlereagh, politisi Inggris dan Menteri Luar Negeri Inggris (1812 – 1822)

z.        C. Elout bernama lengkap Cornelis Theodorus Elout, lahir 22 Maret 1767 di Haarlem dan meninggal pada 3 Mei 1841 di s’Gravenhage.

aa.     Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen, lahir pada 15 Desember 1778 di Utrecht dan meninggal 10 April 1848 di De Bilt

bb.    Buijskes pernah bertugas sebelumnya di Hindia Timur yaitu pada periode 1789 – 1793, kemudian menjadi komandan kapal Eendracht yang membawa Komisi Pengambilalihan wilayah Maluku jilid I (1802-1803) untuk mengambil alih wilayah Banda (Maret-April 1803), dan Ternate (April-Mei 1803).

cc.     Tiba di Batavia pada 27 April 1816

dd.    Fendall memiliki nama lengkap John Fendall, lahir pada 9 Oktober 1762 di London dan meninggal di Calcutta pada 10 November 1825.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar