Sabtu, 29 Maret 2025

BAK JAPANG : Cerita singkat kamp tawanan perang di Amahai

[Adryn Anakotta]

 

A.      Pengantar

Kenangan itu kembali ditarik mundur ke tahun 2011, saat rombongan masyarakat negeri/desa Saparua menghadiri acara pelantikan Raja negeri Souhuku [Lilipori Kalapessy]. Di saat itu rombongan menyusuri jalan menggunakan angkutan mobil dari pelabuhan feri di Wailei. Beberapa kilometer menjelang tiba di tempat yang dituju, tepatnya di sebuah “kawasan” asing di negeri Amahai [Lounusa Maatita], untuk pertama kalinya, kami mendengar terminologi “Bak Japang”, pada momen itu, kata tersebut tidak meninggalkan kesan apa-apa, sekedar hanya sebuah nama tempat dalam percakapan kehidupan orang-orang desa. 

Setelah menikah dan menetap di negeri/desa Souhuku [Lilipori Kalapessy], dan setiap kali menuju ke kota Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah, kata “Bak Japang” kembali muncul dalam percakapan dan menjadi menu kehidupan. Awalnya, kami tidak mengetahui mengapa kawasan di sepanjang jalan itu disebut demikian. Sedikit demi sedikit, informasi mulai “masuk” dan “berputar” di kepala. Informasi bahwa itu adalah tempat tahanan orang Jepang [karena itu disebut Japang] dan memiliki relasi “intim” dengan lapangan terbang, yang secara kebetulan berada tepat di depan halaman rumah kami. Saat mencari beberapa sumber untuk penulisan artikel, kami menemukan beberapa literasi dan sumber-sumber yang terfragmentasi tentang “Bak Japang” ini. Kami mencoba mengumpulkan, menata, membaca, dan akhirnya memutuskan untuk menulis tulisan pendek tentang objek itu.

Apa yang kami tulis ini, tentunya tidak sempurna, dan perlu penelitian, pendalaman, dan perluasan lebih jauh, tetapi minimal ini bagian dari upaya untuk menulis “kembali” masa lalu tentang sebuah objek, sebuah nama wilayah yang jejaknya berawal di masa PD II, di tahun 1940-an. Kami meyakini dengan pasti, bahwa “Bak Japang” adalah terminologi sosiologis dan psikologis yang “traumatis” orang-orang Pulau Seram, khususnya masyarakat negeri Amahai dan Souhuku, terhadap sebuah tempat “penderitaan” bernama Kamp Tawanan Perang. Bak Japang adalah kamp tawanan perang di masa PD II, yang dibangun oleh para tawanan perang atas rencana dan perintah angkatan bersenjata Jepang.

 

B.      Bak Japang

Semua bermula dari pelabuhan Surabaya. Pada tanggal 22 April 1943, kapal pengangkut pasukan Jepang, Kunitama Maru 3 yang berbobot 4.500 ton “dikawal” 2 kapal lainnya, Amagi Maru dan Cho Saki Maru, serta beberapa kapal barang, sebuah kapal tanker minyak kecil dan 2 kapal pengawal. Kunitama Maru 3 membawa 1000 tawanan perang dari Jaarmarkt-camp [Kamp Jaarmarkt] di Surabaya. Di dalam kapal pengangkut pasukan juga diangkut bom, amunisi dan drum-drum minyak. Semua tawanan perang perang adalah orang Belanda (32 perwira dan 962 prajurit). 


Armada ini tiba di Pantai Selatan Pulau Seram, di pesisir Amahai pada 30 April 1943. Tugas para tawanan perang adalah membangun sebuah kamp di Amahai dan lapangan terbang [Vliegveld], di Souhuku. Kamp perang ini bernama Java III 1D dalam historiografi Jepang, namun oleh para tawanan disebut sebagai Kamp “Juliana”. Hal ini disebabkan saat para tawanan tiba pada tanggal 30 April 1943, tanggal ini adalah tanggal lahir Princes/Putri Juliana, yang lahir pada 30 April 1909.

Kamp tawanan perang di Amahai dipimpin oleh komandan Jepang bernama Shiozawa dan Sersan Kawai Yoshijiro dan beroperasi pada periode 30 April – 21 Oktober 1943. Tawanan perang asal Belanda dipimpin oleh Kapten R. Kortweg dan J. Erkelens.  Kamp tersebut terdiri dari barak yang dibangun sendiri, bambu dan atap. Kamp itu dikelilingi kawat berduri. Setelah selesai membangun kamp yang diperkirakan selesai pada bulan Mei 1943, para tawanan perang dikerahkan dalam tim kerja untuk membangun lapangan terbang di Souhuku. Pekerjaan tersebut meliputi penebangan pohon, pencabutan alang-alang, perataan tanah, dan penghancuran batu karang. Sekitar 31 tawanan perang meninggal karena kekurangan gizi, penganiayaan, dan penyakit seperti disentri, dengan perincian 28 orang meninggal akibat penyakit, dan 3 orang karena dieksekusi [akibat melarikan diri]. 

 

Marinus Maresch, tawanan perang di kamp Amahai yang selamat

Setelah lapangan terbang selesai dibangun, mungkin pada awal bulan Oktober 1943, para tawanan dipindahkan dalam 3 rombongan pada periode antara 11-21 Oktober 1943 ke kamp tawanan perang Haruku, di negeri Pelauw, Pulau Haruku. Rombongan pertama berangkat pada 11 Oktober 1943  dengan perahu membawa 40 tawanan perang menuju Pelauw, 50 km jauhnya, dan tiba pada malam harinya. Rombongan ini dipimpin oleh Letnan Van Goor. Rombongan kedua diberangkatkan pada 20 Oktober 1943 dengan perahu [motorboat] membawa 500 tawanan perang dan tiba pada tanggal itu juga. Rombongan ketiga diberangkatkan pada tanggal 21 Oktober 1943 dengan perahu [kapal motor cepat] membawa 454 tawanan dipimpin oleh Kapten R. Kortweg dan tiba pada hari itu juga. Kelompok ini juga termasuk pasien tandu. Tiga tawanan perang ditinggalkan, menjalani hukuman; Mereka dieksekusi di kamp setelah perahu pergi.

Fragmen penderitaan di neraka kamp tawanan perang disampaikan oleh seorang tawanan yang selamat :”Di Amahai, hidup bagaikan neraka yang lebih besar. Kelaparan, kecelakaan, penyakit, dan… seorang Sersan Mori dan rekannya dari Korea. Disebut “DARAH DAN LENDIR” oleh para tahanan, karena penampakan luarnya adalah DIARE. Tidak ada lagi duo yang kejam dan mematikan. Untuk memberi Anda gambaran tentang apa yang terjadi… dari 1000 orang, 424 orang akhirnya selamat dari kesulitan. Cara terbaik untuk bertahan hidup di neraka ini adalah sebuah kolaborasi, sebuah KONFIGURASI. Ries berpesta dengan temannya, Rob. Rob tidak dapat bekerja selama beberapa waktu karena sakit dan menyimpan uang bersama mereka, karena ia selalu hadir di barak dan dengan demikian dapat mencegah uangnya dicuri”.

Pada tanggal 15 Oktober 1943, kamp tawanan perang “Juliana” di Amahai ditutup melalui sebuah upacara singkat yang diadakan di areal pekuburan/pemakaman, dimana 28 orang tawanan yang meninggal di kamp, akibat penyakit diberi penghormatan.

 

C.      Denah Kamp Tawanan Perang “Juliana”

Sebuah kamp perang, pastilah memiliki bangunan yang tergambar lewat peta atau denah kamp tersebut. Kami menemukan 2 gambar peta atau 2 denah kamp tawanan perang Juliana di Amahai. Denah pertama menyajikan situasi per Oktober 1943. Sedangkan denah kedua adalah denah yang lebih “modern” yang telah diwarnai.

 


 

Legenda [untuk denah pertama]

1.       Barak 1 – barak 4, merupakan barak orang hukuman

2.      Barak 5, merupakan barak orang sakit

A.     Pos penjagaan [oleh serdadu Jepang]

B.     Gerbang kamp

C.     Kantor kamp

D.    Dapur kamp

E.     Rumah sakit misionaris

F.     Kantor [untuk urusan orang Jepang]

G.     Sel hukuman

H.    Jamban/WC

I.      Barak [untuk orang] Jepang (bangunan gereja)

J.       Gudang [gedung sekolah]


Legenda [untuk denah kedua]

1.       Kamp Komandan

2.      Rumah sakit

3.      Latrines = Jamban/WC

4.     Keuken = Dapur

5.      Kampleiding = Pipa Kamp

6.     Strafcellen = Sel hukuman

7.      Poort = Gerbang/pintu kamp

8.     Wacht = Pos jaga/pemantau

9.     Kerk/Kazerne = Gereja/ Barak [Gereja digunakan untuk barak]

10.    Zieken = (barak) untuk orang sakit

 

D.     Tawanan perang yang meninggal

Seperti yang disebutkan di atas, bahwa dalam periode kamp tawanan  Juliana di Amahai yang beroperasi sejak 30 April – 21 Oktober 1943, mengakibatkan 31 orang meninggal dunia akibat penyakit dan dieksekusi karena melarikan diri. Kami tidak mengetahui persis dimana tawanan ini dimakamkan, tetapi mungkin mereka dimakamkan di sekitar kamp tersebut. 


Berikut ini, disajikan daftar nama tawanan perang yang meninggal akibat sakit dan dieksekusi. Kami membaginya menjadi 3 sub bagian, yaitu meninggal akibat sakit, akibat dieksekusi, dan 1 kategori yang kami tandai “tanpa keterangan”. Kami menyusun nama-nama tawanan berdasarkan tanggal meninggalnya mereka sehingga lebih terstruktur.

 

a.       Akibat Sakit [28 orang]

1.       Ernst Van der Putte, lahir di Makassar 1 April 1898, meninggal pada 12 Mei 1943

2.      Albertus Jacobus van Vliet, lahir di Niewer Amstel 11 November 1896, meninggal pada 15 Mei 1943

3.      Cornelis Wilhelmus Wouters, lahir di Heerlen 10 Juli 1916, meninggal pada 26 Mei 1943

4.     Pieter Eerhard, lahir di Den Haag 4 April 1896, meninggal pada 28 Mei 1943

5.      Gerrit Jan Razenberg, lahir di Sommelsdijk 10 Juli 1898, meninggal pada 29 Mei 1943

6.     Anthon Hendrik Willems, lahir di Nijmegen 29 Juli 1903, meninggal pada 2 Juni 1943

7.      Hermanus Gerardus van Welzen, lahir di Leiden 3 November 1897, meninggal pada 4 Juni 1943

8.     Cornelis Van Buren, lahir di Oostvorne 22 Juni 1895, meninggal pada 6 Juni 1943

9.     Chaeles Louis Riekerk, lahir di Sukabumi 29 Desember 1917, meninggal pada 6 Juni 1943

10.    Eddy Valk, lahir di Semarang 18 Oktober 1922, meninggal pada 6 Juni 1943

11.     Bernard Charles van Minde, lahir di Batavia 8 Januari 1918, meninggal pada 10 Juni 1943

12.    Henri Johan Wilem Muis, lahir di Amsterdam 10 Februari 1904, meninggal pada 15 Juni 1943

13.    Martinus Loos, lahir di Rotterdam 24 September 1920, meninggal pada 15 Juni 1943

14.    Hendrik Jacobus Christiaan d’Hulst, lahir di Semarang 19 Oktober 1895, meninggal pada 21 Juni 1943

15.    Fernand Emile Kooijmans, lahir di Batavia 31 Maret 1899, meninggal pada 21 Juni 1943

16.    Willem Gerhard Dol, lahir di Amsterdam 3 Maret 1901, meninggal pada 3 Juli 1943

17.    Napoleon Lodewijk van der Veen, lahir di Ambarawa 24 Mei 1906, meninggal pada 4 Juli 1943

18.    Erlandius Eugenius Anthonie Swaving, lahir di Surabaya 23 April 1911, meninggal pada 6 Juli 1943

19.    Rindert Algra, lahir di Garijp 26 Juni 1892, meninggal pada 9 Juli 1943

20.   Gerrit Kappert, lahir di Warnsveld 2 April 1895, meninggal pada 26 Juli 1943

21.    Franciscus Hubertus Soentjens, lahir di Heerlen 3 November 1908, meninggal pada 31 Juli 1943

22.   Joannes Cornelis Maria Belt, lahir di Amsterdam 6 Mei 1896, meninggal pada 4 Agustus 1943

23.   Louis Van Rinsum, lahir di Amuntai 29 Juli 1899, meninggal 18 Agustus 1943

24.   Auke Schoenmaker, lahir di Oldermarkt 9 Februari 1896, meninggal pada 20 Agustus 1943

25.   Jacobus Mattheijer, lahir di Den Helder 27 Desember 1903, meninggal pada 22 Agustus 1943

26.   Piet Lootsma, lahir di Workum 2 Desember 1896, meninggal pada 9 Oktober 1943

27.   Peter Johan Scheurs, lahir di Leuth 18 Desember 1913, meninggal pada 14 Oktober 1943

28.   Jan Jansma, lahir di Terband 30 Agustus 1912, meninggal pada 19 Oktober 1943

 

b.      Akibat dieksekusi [3 orang]

1.       G.Henry Fitz Verploeg, lahir di Tasikmalaya 7 April 1918, meninggal pada 21 Oktober 1943

2.      Hendrik Smit, lahir di Kendal 20 Agustus 1914, meninggal pada 21 Oktober 1943

3.      Johannes Verleng, lahir di Leerdam 3 Mei 1916, meninggal pada 21 Oktober 1943

 

c.       Tak diketahui

1.       Toerono, lahir di ........., meninggal pada 1 Juli 1943

2.      A. Matatula, lahir di..........23 Agustus 1909, meninggal pada 11 November 1943

 

E.      Penutup

Enam puluh dua (62) tahun telah berlalu, saat kamp tawanan perang Juliana di Amahai beroperasi hingga akhirnya ditutup. Pastilah dalam rentang 6 bulan (April – Oktober 1943) itu, ada cerita kehidupan yang “dijahit” di kawasan yang banyak menghadirkan parutan-parutan yang menyedihkan dan menyakitkan. Duka karena sakit yang berujung pada kematian, kengerian yang berkawan akrab dengan hardikan, ancaman dan pada akhirnya eksekusi. Manajer kamp, Kapten R. Kortweg, yang “keluar hidup-hidup” dari kamp menulis kisah kehidupan para tawanan dalam bukunya De 1000 van Amahai, yang diterbitkan tahun 1946 di Batavia. Sayangnya, kami belum memiliki kesempatan untuk membaca buku ini, namun review yang dibuat untuk buku ini dan dimuat pada surat kabar Het Indisch Nieuws, tweede jaargang [tahun kedua], nomor 38, edisi Sabtu, 21 September 1946, menceritakan “segalanya”. Sang penulis buku, R. Kortweg menceritakan “neraka” di Amahai. 

 

Mungkin kekejaman dan penderitaan mulai “memudar” dalam koleksi ingatan penduduk negeri Amahai dan Souhuku, tetapi ingatan itu masih berpaut erat dan seperti tak ingin “berpisah”, identitas “Bak Japang” yang disematkan pada objek dan kawasan tempat kamp tawanan tersebut adalah konsep mengingat masyarakat yang “sederhana”, tapi juga berbentuk “penolakan” dan “penerimaan” serta “adaptasi” cerita kehidupan dan sejarah yang pernah ada dan beroperasi dalam kehidupan sehari-hari mereka, di tahun 1943 hingga di masa kini, ketika kehidupan telah jauh berubah, namun mungkin masih meninggalkan luka yang meski telah “kering” tapi tetap menjadi “luka lama” yang dikenang dalam berbagai perspektif antara cinta dan dendam.

===== selesai ====

 

 





R. Kortweg  

G.H.F. Verploeg (1918 - 21 Okt 1943)

H.G. van Welzen (1897 - 4 Juni 1943)

C.L. Riekerk (1917 - 6 Juni 1943)

H.J.W. Muis (1904 - 15 Juni 1943)

Piet Lootsma (1896 - 9 Oktober 1943)

F.E. Kooijmans (1899 - 21 Juni 1943)

 

Literatuur

§  Audus, L.J. Spice Island slaves. A history of Japanse prisoner of war camps in Eastern Indonesia, May 1943-August 1945 (Ham 1996)

§  Dulm, J. van e.a. - Atlas Japanse Kampen,  Deel I, 2000, pg 221

§  Elenbaas, C.M. - NIOD,  IC, Dagboek 56, pg 42-62

§  Jong, L. de - Het Koninkrijk der Nederlanden in WOII, deel 11B, pg 703-704

§  Kesasar, Totok, Geen saai leven. Het leven van een thee- en rubberplanter gedurende de jaren 1926-1947 [1982])

§  Korteweg, Kapt. R. - De 1000 man van Amahei, (Batavia [1946])

§  Lansdorp - Hoe was het ook alweer? Herinneringen aan de jaren 1942-1945 [1990]) (NIOD-bibliotheek)

§  Lekkerkerker - Kort verslag, NIOD, IC 003672 – 003688

§  Oorlogstribunaal (uitspraken), NIOD, IC 062334

§  Veenstra, J.H.W. e.a Als krijgsgevangene naar de Molukken en Flores. Relaas van een Japans transport van Nederlandse en Engelse militairen 1943-1945 ('s-Gravenhage 1982)

§  Waterford, Van - Prisoners of the Japanese, 1994, pg 333 

    Witsen, E. van - Krijgsgevangenen in de Pacific-oorlog, 1971, pg 84-96

Tidak ada komentar:

Posting Komentar