(bag 1)
[Hans Straver]
- Kata Pengantar
Seperti telah diketahui, beberapa bagian dari Ambonse Historie atau Sejarah Ambon dan Ambonsche Landsbeschrjiving karya Rumphius mengambil sumbernya dari Hikajat Tanah Hitu, karya Imam Ridjali. Johannes Adrianus Maria Straver atau lebih familiar dengan Hans Straver menulis artikel 24 halaman yang membahas hal demikian dengan judul “De bedriegelijke aer desen Inlandsche Mooren” : Ridjalis’s Historie van Hitu in degeschriften van Rumphius. Artikel ini dimuat dalam Indische Letteren, jaargang [tahun ke] 22, nomor 2, tahun 2007, pada halaman 110 – 133. Tulisan Hans Straver tidak memiliki catatan kaki, dan menyisipkan 3 ilustrasi di naskah.
![]() |
Satu halaman dari naskah Sejarah Hitu karya Ridjali (UB Leiden, codex orientalis 5448, hal. 77) |
Judul artikel dari Hans Straver ini agak “provokatif”, mungkin hal itulah yang membuat kami penasaran membaca, memahami, dan pada akhirnya memutuskan mencoba untuk menerjemahkan tulisan berharga ini. Bagaimana bentuk “provokatifnya”, dan bagaimana penjelasan dari Hans Straver sendiri terhadap penggunaan sumber Hikajat Tanah Hitu-nya Ridjali oleh Rumphius dalam penulisan bukunya, adalah lebih baik untuk membaca, mengerti, dan memahami alur berpikir dan perspektif seorang Hans Straver dalam 24 halaman tulisannya ini.
Kami membagi artikel ini menjadi 2 bagian, menambahkan sedikit catatan tambahan dan sedikit ilustrasi, “melengkapi” 3 ilustrasi yang telah dimuat oleh penulis dalam naskah aslinya. Akhir kata, semoga artikel terjemahan ini bisa bermanfaat.
- Terjemahan
Tidak diragukan lagi bahwa Georgius Everhardus Rumphius, yang tinggal dan bekerja di Ambon dari tahun 1654 hingga 1702a untuk melayani Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC), adalah seorang penulis dengan kualitas dan jasa yang luar biasa. Dia telah melakukan pekerjaan perintis dengan penelitiannya tentang alam tropis, dalam keadaan yang membutuhkan lebih dari kerja biasa, ketekunan dan keberanian. Karyanya juga bukan tanpa arti penting bagi kesusastraan Hindia. Berkat cara penulisannya yang tepat dan visual, ia berhasil memikat pembaca modern lebih dari pembaca sezaman seperti Clusius atau Dodoneus. Perhatian penuh kasih yang dia amati dan gambarkan bahkan makhluk yang paling tidak penting telah mengilhami penulis sastra seperti Augusta de Wit, Maria Dermoût dan, baru-baru ini, Erik Beekman dan Patty Scholten untuk menulis cerita dan puisi.
Dalam apresiasi ilmiah dan sastra atas karya Rumphius, uraiannya tentang alam dalam D'Amboinsche Rariteitkamer (1705) dan Het Amboinsche Kruid-boek (1741-55) mendapat perhatian paling besar. Dalam hal ini, Ambonsche Landbeschrijving (1983 dan 2001) dan Ambonse Historie (1910) kurang beruntung : karya-karya ini diterbitkan relatif terlambat dan terutama dibaca dan dinilai sebagai sumber sejarah.
Sejarah kelam?
Penilaian itu tidak selalu positif. Dalam buku peringatan Rumphiusb, F. de Haan, dalam sebuah esai tentang Rumphius dan Valentijn sebagai sejarawan Ambonc, mengkritik cara Valentijn yang sangat ceroboh menjarah karya Rumphius. Tapi dia juga memberikan penilaian yang memberatkan pada Ambonse Historie:
Ketika kita mengakhiri esai ini, kita tidak dapat tidak mengungkapkan penyesalan kita karena Rumphius tidak menemukan bahan yang lebih baik untuk sejarahnya daripada sejarah kering tentang perang dan kerusuhan di Ambon, dan tidak menemukan metode penyuntingan yang lebih baik daripada rangkaian peristiwa seperti kronik, yang tidak berhasil dibuatnya menjadi menarik. Namun, apa yang dikomunikasikannya/dikatakan memberi kesan dapat diandalkan. (De Haan 1902, 25)
Apakah memang ada perbedaan antara kualitas Ambonse Historie dan deskripsi alam yang banyak dikagumi di Rariteitkamer dan Kruid-boek?
![]() |
kritikan F. de Haan terhadap buku Rumphius |
Ada beberapa hal yang dapat dikatakan menentang penilaian De Haan. Bahwa ia menganggap pokok bahasan Ambonse Historie itu “kering” dan penyuntingan yang dilakukan Rumphius “tidak menarik” adalah haknya, tetapi hal itu lebih banyak berbicara tentang waktu dan pribadinya daripada tentang periode sejarah yang dimaksud. De Haan tidak menyukai kenyataan bahwa Rumphius merangkai kejadian-kejadian yang dikisahkannya dengan cara yang “seperti kronik”, tetapi pejabat VOC yang berkonsultasi dengan Historie pasti senang dengan hal itu. Perlu diingat bahwa bentuk historiografi ini, dengan capita, summaria, marginalia, dan register, belum umum untuk waktu yang lama: misalnya, ada laporan Portugis yang luas dari tahun 1636 yang mencakup periode 1571 hingga 1591d, ketika Sancho de Vasconcelos menjadi komandan kastil di Ambone, yang di dalamnya tidak disebutkan tanggal atau tahun sama sekali (De Sa 1956). Untuk melunakkan kritiknya, De Haan dengan hati-hati mencatat bahwa historiografi Rumphius memberikan “kesan dapat diandalkan”. Hal ini tidak banyak mengubah keseimbangan negatif, terutama karena dengan pengetahuan kita saat ini, kita tahu bahwa pembaca tidak dapat begitu saja mempercayai representasi Rumphius tentang fakta sejarah. Namun, de Haan benar bahwa ia memandang Ambonse Historie dengan mata berbeda dari deskripsi alam dalam Rariteitkamer dan Kruidboek. Tujuan pertama dari Landbeschrijving dan Historie adalah untuk memberikan informasi secara menyeluruh kepada para pegawai kompeni yang ditugaskan di Ambon tentang wilayah kerja mereka. Oleh karena itu para pelindungnya atau atasannya tidak berniat menerbitkan tulisannya dalam bentuk cetak. Bahkan, mereka ingin mencegah orang luar melihat isinya dan karenanya memerintahkan kerahasiaan, khususnya Ambonse Historie.
Mungkin Rumphius sendiri memiliki aspirasi lain saat menulis. Dalam publikasinya The Ambonese Curiosity Cabinet, E.M. Beekman percaya bahwa Rumphius, sebagai seorang penulis, dibimbing, secara sadar atau tidak sadar, oleh struktur Historia Naturalis oleh Pliny the Elder, sebuah karya monumental yang tidak hanya memetakan pengetahuan yang tersedia pada saat itu di bidang zoologi, botani, kedokteran dan mineralogi, tetapi juga di bidang geografi dan etnografi. Rumphius ingin menciptakan padanan tropis untuk Historia Naturalis dengan keseluruhan tulisannya. Akibatnya, ia akan menetapkan standar kualitas tinggi yang sama untuk semua tulisannya (Beekman 1999, lxxxvi). Hal ini tidak mengubah fakta bahwa Landbeschrijving dan Historie ditulis dengan tujuan yang kurang ilmiah dan lebih praktis daripada Rariteitkamer atau Kruidboek. Tidak ada perbedaan nyata dalam kualitas, tetapi ada perbedaan nyata dalam fungsi.
Landbeschrijving dan Historie
Rumphius menulis versi pertama Landbeschrijving dan Historie antara tahun 1672 dan 1678 atas perintah atasannya. Seperti yang dijelaskannya dalam catatan tambahan di naskah Landbeschrijving di Algemeen Rijksarchief [Arsip Umum Negara], kedua karya tersebut awalnya disusun sebagai “buku berkelanjutan”, tetapi terancam menjadi “terlalu tebal”. Pada akhir bab 21, pembaca diarahkan ke “tweede deel” [bagian kedua] untuk kelanjutannya, yakni Ambonse Historie. Tetapi referensi ini tidak sepenuhnya benar. Sebab Rumphius telah menyatakan pada awal bab 15 bahwa “generale beschrijving van Amboina” telah lengkap dan bahwa ia sekarang akan melanjutkan cerita tentang kedatangan Portugis di Ambon. Enam bab terakhir dari Landbeschrijving dengan demikian sudah membentuk awal Ambonse Historie, yang, bagaimanapun, dalam bab 21, di tengah-tengah bagian tentang pertempuran laut antara Wolfert Harmensz dan André Furtado de Mendonça, tiba-tiba “terhenti”. Siapa pun yang kemudian membaca Ambonse Historie, akan melihat bahwa Rumphius tidak melanjutkan alur pertempuran laut ini, tetapi memulainya lagi dengan menulis ulang secara menyeluruh bab-bab terakhir Landbeschrijving. Tampaknya bagi saya bahwa versi pertama Landbeschrijving ditulis pada tahun 1672 hingga 1674 dan pekerjaan itu terhenti karena gempa bumi hebat pada 17 Februari 1674 yang mengakibatkan tewasnya istri dan putri Rumphiusf. Pada bulan-bulan berikutnya, ia menulis laporan yang diterbitkan di Amsterdam pada tahun 1675 dengan judul Waerachtig Verhael van de Schrickelijcke Aerdbevinghe in en omren de Eylanden van Amboina. Terhentinya pengerjaan ini mungkin menjadi alasan untuk mengesampingkan sementara Landbeschrijving dan kemudian memulai lagi dari awal mengenai Ambonse Historie. Versi pertama karya ekstensif ini dirampungkan pada tanggal 9 Mei 1678. Kedua tulisan tersebut direvisi dan diperbarui pada tahun-tahun berikutnya. Misalnya, naskah Landbeschrijving di Algemeen Rijksarchief memuat data sensus tahun 1691, sedangkan versi Ambonse Historie yang terbit tahun 1910 diakhiri dengan pernyataan Rumphius bahwa ia telah “mengoreksi dan menulis ulang teks lama tahun 1678 pada tahun 1687”. Hasil dari asal usul ini adalah kita memiliki dua tulisan yang berkaitan erat, namun berbeda karakternya. Landbeschrijving menyediakan informasi geografis dan etnografis yang berguna tentang pulau-pulau yang berada di bawah kewenangan Gubernur Ambon: Ambon, Seram, Buru dan pulau-pulau kecil tetangga. Ambonse Historie terdiri dari dua bagian dan berisi, menurut halaman judulnya, Een kort Verhaal Der Gedenkwaardigste Geschiedenissen zo in Vreede als oorlog voorgevallen atau [Kisah Pendek tentang Kisah-kisah Paling Berkesan yang Terjadi di Masa Damai dan Perang], dari kedatangan Portugis pada tahun 1512 hingga kematian Gubernur Simon Cos pada tahun 1664g. Landbeschrijving tersebut merupakan campuran dari bagian-bagian yang berisi informasi faktual tentang negara yang dibahas dan bagian-bagian yang berisi cerita-cerita, kadang-kadang sangat lucu, tentang negara dan rakyatnya. Nada dalam Sejarah lebih tenang dan tidak terlalu santai. Ini mungkin karena dalam teks Historie Rumphius tetap relatif dekat dengan dokumen arsip yang dirujuknya, seperti Daftar Harian Kastil Victoria atau surat dan kontrak yang disimpan di sekretariat. Ada kemungkinan pula bahwa ia tidak mampu lagi menggunakan nada yang lebih longgar dari Landbeschrijving setelah bencana pribadi yang menimpanya pada tahun 1674.
Di sini bukan tempatnya, seperti yang dilakukan De Haan pada tahun 1902, untuk membuat penilaian umum spontan tentang Rumphius sebagai penulis Landbeschrijving dan Historie. Saya akan membatasi diri pada pertanyaan bagaimana ia memanfaatkan satu sumber khusus dalam tulisan-tulisannya: Hikajat Tanah Hitu. Ini adalah dokumen berbahasa Melayu unik yang menggambarkan naik turunnya perdagangan cengkih bebas di wilayah Ambon dari perspektif Maluku.
Sejarah Hitu [Historie van Hitu]
Hitu adalah federasi tiga puluh negorijen di semenanjung utara Ambon yang didirikan pada kuartal pertama abad keenam belas. Sampai awal abad ke-17, bangsa Hitu melancarkan perang melawan Portugis, yang kadang-kadang sangat berhasil. Akan tetapi, ketika orang Belanda pertama tiba, mereka mengajukan permohonan mendesak kepada orang-orang Belanda untuk bertindak sebagai sekutu dan mengusir Portugis dari Ambon untuk selamanyah. Aliansi ini bertahan cukup baik selama dekade pertama, di bawah kepemimpinan politik Kapitan Hitu, yaitu Tepili, tetapi ketika ia meninggal pada tahun 1633, hubungan antara penggantinya yaitu Kakialij dan kompeni memburuk. Pada tahun-tahun berikutnya, konflik terbuka dan konflik membara silih berganti hingga tahun 1643, ketika benteng-benteng Hitu di sekitar Wawani, sebuah gunung di barat laut Hitu, ditaklukkan. Bangsa Hitu segera dinyatakan sebagai subjek kompeni melalui proklamasi. Di bagian timur Hitu, sebuah desa berbenteng di dataran tinggi Kapahaha yang tidak dapat diakses terus memberikan perlawanan hingga benteng terakhir Hitu ini direbut pada dini hari tanggal 25 Juli 1646.
![]() |
Pemandangan terkini Masjid Wapauwe di Hila, yang dianggap sebagai "Masjid Ridjali" (foto: M. van Selm) |
Hikajat Tanah Hitu atau Sejarah Hitu ditulis sekitar tahun 1650 oleh imam Ridjali dari Hitu. Setelah jatuhnya Kapahaha, dia melarikan diri ke Makassar, dimana dia menghabiskan beberapa waktu di tahun-tahun sebelumnya sebagai utusan Kakiali untuk meminta bantuan dalam perang melawan Kompeni. Rumphius menceritakan dalam keterangan Ambonse Landbeschrijving bahwa “Gubernur” Makassar, Pattingalloangk, “huijsvestinge vergunde en hem belaste de Hitoeese historie off Hacajat te beschrijven” atau “memberinya tempat tinggal dan menugaskannya untuk menjelaskan sejarah Hitu di/melalui Hacajat”. (Buijze 2001, selanjutnya dikutip AL, 15)
Keberadaan hikajat dengan demikian diketahui dari tulisan Rumphius yang beberapa kali menyebutnya sebagai salah satu sumbernya. Dia menceritakan bahwa, meskipun “sangat cacat (AL 15), naskah itu jatuh ke tangan kompeni ketika Ridjali kembali dari pengasingan pada tahun 1652 dan 1653 untuk ikut serta dalam pemberontakan besar penguasa kota Ternate, Madjira. Beberapa informasi juga diketahui mengenai isi hikajat tersebut, karena Valentijn menerbitkan ekstrak yang cukup panjang pada awal babnya tentang Ambonsche Zaaken (ONOI II).
Dua Manuskrip
Dipercayai selama ini bahwa hanya ada satu manuskrip sejarah Ridjali yang rusak parah dan telah hilang. Namun, pada abad kedua puluh, dua manuskrip berbeda tiba-tiba muncul. Pada tahun 1920-an, pejabat administrasi H. Jansenl, yang bekerja di Ambon, merekonstruksi teks hikajat yang hampir lengkap dari sebuah manuskrip dan fragmen yang dikumpulkannya di negorijen Hitu: ternyata itu adalah salinan dari sekitar tahun 1700. Halaman aslinya tetap berada di lokasi, tetapi transliterasi dan terjemahan bahasa Belanda oleh Jansen saat ini dalam bentuk manuskrip di Leidse universiteitsbibliotheek [Perpustakaan Universitas Leiden]. Pada tahun 1950-an ternyata salinan kedua Hikajat Tanah Hitu ditemukan dalam koleksi manuskrip Indonesia yang dibeli Universitas Leiden. Naskah ini merupakan salinan pada kertas VOC abad ke-17 dan karenanya merupakan salah satu manuskrip Indonesia tertua. Teks tersebut diterbitkan pada tahun 1977 dalam disertasi Z.J. Manusama dan, atas inisiatif Landelijk Steunpunt Educatie Molukkers, diedit dan diterbitkan untuk khalayak yang lebih luas oleh Hans Straver, Chris van Fraassen dan Jan van der Putten pada tahun 2004, dengan judul Historie van Hitu. Menurut kaligrafi dalam manuskrip terakhir ini, kemungkinan besar itu milik Asaukenm, sepupu Ridjali yang menjadi kepala negorij Hila hingga tahun 1662. Tidak diketahui bagaimana manuskrip ini sampai di Belanda. Apakah buku itu berakhir di perpustakaan Valentine, dibawa ke Belanda, lalu dijual kepada seorang kolektor di pelelangan perpustakaan Valentine pada tahun 1728, lalu berakhir di Leiden melalui rute memutar? Masih berupa spekulasi, namun dapat dipastikan bahwa ini adalah salinan dari negorij Hila, dibuat pada masa setelah tahun 1653 dan sebelum tahun 1662, dan kemungkinan besar penyalinnya masih sangat dekat dengan teks aslinya.
Hikajat sebagai genre
Dalam Landbeschrijving Rumphius mendedikasikan satu bab tersendiri untuk pemerintahan “dewan empat” di Hitu, yang terdiri dari perdana [pertama, kepala] dari empat keluarga imigran yang mendirikan negorij Hitu dan memerintah negorij tetangga “dengan cara yang aristokratis” (AL 8). Meskipun para perdana telah kehilangan kewenangan formal mereka pada tahun 1643, Rumphius menganggapnya berguna 30 tahun kemudian untuk memperhatikan sejarah keluarga mereka “karena pemerintahan kita bergantung pada pengetahuan keempat keluarga ini, sebagaimana telah dapat kita pelajari, sebagian dari orang-orang tua, sebagian lagi dari sejarah Hitoe atau hacajat yang dijelaskan oleh Imam Ridiali, sepupu Kapitan Hitoe terakhir, Kackialij” (AL 8). Dengan kata lain, ia menganggap pengetahuan tentang sejarah lokal dan hubungan sosial lokal berguna untuk pelaksanaan pemerintahan.
Rumphius menyebut tulisan Ridjali sebagai "sejarah atau hacajat". Valentijn lebih spesifik lagi: '” De Titel des zelfs is Hhakajat Tanah Hitoe, dat is, de Geschiedenis van 't Land Hitoe” atau “Judulnya sendiri adalah Hhakajat Tanah Hitoe, maka ini adalah Sejarah Tanah Hitoe” (Valentijn 1724, II, I, 175). Kami tidak yakin apakah ini memang judulnya, karena halaman pertama manuskrip yang kami ketahui dari sekitar tahun 1700 dan sekitar tahun 1650 hilang. Bagaimanapun, Rumphius dan Valentijn membaca karya Ridjali sebagai teks historiografi, cerita sejarah. Sekarang hikayat didefinisikan dalam kamus sebagai "cerita, narasi (genre sastra Melayu); sejarah”. Dalam sejarah sastra digambarkan sebagai genre yang berasal dari wilayah berbahasa Melayu dan berakar pada tradisi budaya Hindu-Buddha dan Islam. Oleh karena itu, istilah hikayat digunakan sehubungan dengan jenis teks yang sangat berbeda: cerita fantastis dan romantis, cermin kerajaan dan himne untuk dinasti kerajaan, hagiografi, dan epos heroik. (Braginsky 2004) Ketika bahasa Melayu menyebar ke seluruh kepulauan Indonesia sebagai bahasa perdagangan dan diplomasi selama abad ke-15 dan ke-16, genre sastra Melayu menemukan pembaca dan penulis baru. Bentuk-bentuk historiografi baru yang dikembangkan dalam genre tersebut tidak didominasi oleh unsur-unsur fantastis, romantik, atau didaktis, tetapi, seperti Ambonese Historie karya Rumphius, bertujuan untuk menawarkan “cerita pendek sejarah yang paling berkesan”.
Sepintas, yang terakhir juga terjadi pada Hikajat Tanah Hitu karya Ridjali. Bisa jadi, dan bahkan mungkin, dia di Makassar terinspirasi oleh contoh-contoh hikayat "modern" yang dia temukan di sana. Namun jika diamati lebih dekat, hikajat Ridjali tampaknya terdiri dari empat jenis teks yang berbeda.
Pembagian di dalam alkissah
Rumphius dan Valentijn membagi teks hikajat Ridjali menjadi "alkissah" untuk digunakan sendiri. Mereka beranggapan bahwa tanda baca alkisah [konon…] menandai awal babak baru. Namun, hal ini menyebabkan tata letak teks yang sangat tidak seimbang dengan “alkissah” terakhir mengambil hampir dua perlima dari teks. Dalam Historie van Hitu yang baru-baru ini diterbitkan dan dalam manuskrip yang digunakan Valentijn untuk kutipannya di Oud en Nieuw Oost-Indiën, total 26 alkissah dapat dibedakan. Referensi Rumphius terhadap “alkissah”nya Ridjali memberikan kesan bahwa ia menggunakan transkrip yang di dalamnya, setelah alkissah 3 dan sebelum alkissah 11, terdapat 2 alkissah yang lebih sedikit:
Rumphius Ridjali (en Valentijn) vindplaatsen
alkissah 3 alkissah 3 AL 78 dan 86, HvH 93
alkissah 9 alkissah 11 AL 52, HvH 109
alkissah 12 alkissah 14 AL 150, HvH 117
alkissah 15 alkissah 17 AL 144, HvH 123
alkissah 22 alkissah 24 AL 44, HvH 149
Penjelasan untuk perbedaan penomoran yang konsisten ini mungkin karena transkrip Rumphius tidak lengkap, rusak dan/atau menyimpang secara tekstual, atau bahwa ia telah menggabungkan beberapa alkissah yang lebih pendek dalam penomorannya.
Dalam Historie van Hitu edisi terbaru, terjemahan teks bersambung Ridjali yang berjumlah lebih dari 100 halaman itu telah dibagi lagi menjadi 48 bab. Setelah pembagian bab baru ini, bagian-bagian berikut dapat dibedakan dalam hikajat:
§ Pada bab 1-11, Ridjali menuangkan cerita dari tradisi lisan ke dalam bentuk tulisan. Dia menggambarkan sejarah leluhur empat keluarga yang mendirikan Negory Hitu, bagaimana mereka membagi kekuasaan sosial di antara empat perdana dan bagaimana mereka menyatakan otoritas dewan empat ini sebagai adat Hitu.
§ Bab 12-22 membahas episode-episode dari “perang suci” antara Portugis dan Hitu, dibantu oleh orang Ternate, Jawa, dan Banda. Ridjali lahir sekitar tahun 1590 dan sebagian besar hanya mengetahui periode sejarah Hitu ini dari kabar angin. Dia tampaknya menyesuaikan gaya narasinya dalam bab-bab ini sesuai dengan konvensi historiografi Islam pada masanya.
§ Dalam bab 23-46, Ridjali menjelaskan, secara umum dengan jarak yang sebenarnya, peristiwa-peristiwa di paruh pertama abad ke-17 yang dia alami sendiri, di tahun-tahun awalnya sebagai saksi mata dan di kemudian hari sebagai seorang diplomat dan pemimpin. dari pertempuran.
§ Bab 47 dan 48 memiliki karakter pribadi yang jelas, bukan hanya karena Ridjali menggambarkan pelariannya sendiri dari Kapahaha ke Makassar, tetapi juga karena ia mengekspresikan pikirannya secara terkendali.
Apakah Rumphius memperhatikan pembagian ini dalam Historie van Hitu dan tuntutan yang dibuat oleh bagian-bagian berbeda dari hikajat kepada pembaca? Dalam alinea-alinea berikut ini kami mencoba melihat dari Landbeschrijving dan Historie bagaimana dia membaca hikajat Ridjali.
Sejarah yang dapat dipercaya
Rumphius terutama menggunakan 11 bab pertama Hikajat Tanah Hitu sebagai sumber informasi etnografi untuk Ambonse Landbeschrijving. Dia menginformasikan kepada para pembacanya tentang hubungan sosial lokal di Hitu dan membahas sejarah leluhur sejauh itu penting bagi posisi dan status sosial klan dan negori keluarga yang bersangkutan.
Untuk itu, dia telah berkonsultasi dengan “orang tua-tua” tentang asal-usul dan sejarah keluarga mereka, tetapi dia mengatakan dia masih lebih memilih hikajat Ridjali sebagai sumber sejarah. Misalnya, ia menyatakan bahwa para tetua adat menceritakan asal-usul perdana Tanahitumeseng “tidak tanpa menceritakan dongeng, yang akan kita lewati di sini” dan menyebut sejarah Ridjali “oleh karena itu lebih dapat dipercaya, karena tidak terpenuhi dengan dongeng-dongeng seperti itu” (AL 9). Rumphius mengaitkan kepekaan orang Hitu terhadap “dongeng” dengan fakta bahwa sampai era Portugis mereka hanya memiliki sedikit kontak dengan pedagang asing. Konsekuensinya, penduduk tertua tetap menjadi “orang yang berkabung, liar, dan bodoh” (AL 2), dengan keras kepala berpegang teguh pada genre cerita yang menurut Rumphius menggelikan: “Di pesisir Hitoe yang ingin lebih bijak dari yang lain, pada jaman Portugis masih begitu jelek [sederhana, belum berkembang] dan gampang dipercaya, pedagang-pedagang Jawa menjual kepada mereka kerikil-kerikil putih yang bulat dan memakukannya dalam jumlah besar, sambil berpura-pura bahwa itu adalah telur kuda dan telur kerbau yang sangat kuat. Maka tak heran, jika selama ini mereka menuturkan dan meyakini sebagai kebenaran, bagaimana sebagian nenek moyang mereka muncul dari lubang pohon, dari bambu, dari tebing, dan sebagainya” (AL 6).
Rumphius menyatukan berbagai genre budaya lisan di sini. Kisah-kisah yang berhubungan dengan asal-usul dan sejarah nenek moyang memiliki karakter sakral bagi narator dan pendengarnya, sebanding dengan kisah-kisah alkitabiah. Dalam dunia cerita, nenek moyang pertama memang lahir dari tanah atau pendatang menikah dengan perempuan yang berasal dari tanaman atau buah lokal: begitulah cara narator mengungkapkan hubungan yang tidak dapat diganggu gugat antara manusia dan lingkungan hidupnya (Straver 1993). Kisah-kisah yang mengolok-olok perbedaan budaya antara masyarakat pesisir dan pegunungan atau antara penduduk menetap dan pedagang asing memiliki status yang sangat berbeda dan tidak sakral. Cerita-cerita panjang tentang praktik penipuan, seperti tentang pedagang Jawa dan “telur kuda dan kerbau” mereka, mungkin dianggap lucu oleh narator dan pendengar Ambon seperti halnya oleh Rumphius.
Setan di Kajeli :
Tentang kisah-kisah pendongeng Ambon yang dianggapnya tidak masuk akal
Rumphius mengambil pandangan yang agak tercerahkan: ia menjelaskan mereka dari keterbelakangan mereka dalam pembangunan dan peradaban. Namun, dalam Ambonse Landbeschrijving, ia membuat pengecualian untuk sejarah leluhur dari negorij Kajeli di pulau Buru. Putri “Obselan”, mantan kepala negorij, dikatakan telah memulai hubungan di sini dengan seorang pemuda yang ternyata seekor buaya. Sebagai “rajah” populasi buaya di teluk rawa Kajeli, ia memaksa sang putri untuk menikah dan sebagai balasannya berjanji akan membiarkan masyarakat desa tersebut berkembang dengan aman dan sejahtera. Rumphius memperkenalkan kisah ini sebagai berikut: “Pada zaman kegelapan, Van Obselan mewariskan kisah berikut ini kepada penduduk asli, sehingga tidak mengherankan jika Setan pernah memiliki pengaruh yang kuat dalam merayu orang-orang kafir yang buta ini” (AL 121]. Dalam seluruh tulisannya, sangat luar biasa dan luar biasa bahwa ia menyebutnya masuk akal bahwa Setan berupaya menyesatkan penduduk atau menggoda mereka kepada kejahatan. Tampaknya Rumphius mengikuti seorang penulis Belanda yang telah merekam cerita tersebut di tempat itu lebih dari sepuluh tahun sebelumnya dan menafsirkannya sebagai bukti rayuan setan. Ahli bedah Reformasi Wouter Schouten menuliskan tentang hal itu dalam karyanya Oost-Indische Voyagie (1676), saat ia melaporkan kunjungannya yang kelima ke Kajeli, yang terjadi pada tahun 1659 atau 1660. Ia juga menulis sebuah puisi tentang hal itu pada saat itu, di mana ia menyatakan bahwa ia menganggap sejarah desa Kajeli sebagai bukti bahwa iblis sedang aktif di antara orang-orang kafir tropis ini. Puisi yang baru diterbitkan ini dimulai sebagai berikut:
Arme stand der Boeronezen
tenemaal ellendig volk
die geen heer des hemels vrezen
maar de prins de helse kolk
[Kelas miskin dari masyarakat Buru
orang-orang yang sangat menyedihkan
yang tidak takut kepada Tuhan di Surga
tapi pangeran dari jurang neraka]
Schouten lalu memperingatkan “sang penggoda, pembunuh, setan, perampok, roh jahat, perusak jiwa, pengganggu kedamaian” bahwa Tuhan akan menginjak-injaknya dan meremukkan anggota tubuhnya, akan mencabut kekuasaannya di mana pun di bumi “sehingga ia tidak dapat melangkah lebih jauh dari yang ia inginkan” (Barend-van Haeften 2004, 116). Dengan puisi ini ia mengambil posisi dalam diskusi yang baru saja dimulai di Eropa: kredibilitas hal-hal supranatural, apakah itu menyangkut mukjizat atau praktik-praktik magis dan jahat, mendapat kecaman dari para wakil Pencerahan Awal. Namun, dalam kalangan Reformed, ada penolakan terhadap keraguan apa pun tentang realitas roh, setan, dan iblis karena hal ini dapat ditafsirkan sebagai serangan terhadap otoritas tradisional wahyu Alkitab. Schouten menerima cerita dari Kajeli sebagai kebenaran karena cerita itu meneguhkan kepercayaan Kristennya.
Rumphius tampaknya telah tergoda oleh Schouten ke posisi yang kurang tercerahkan tentang sejarah sang putri dan buaya daripada yang dia kenal. Tidak dapat dipungkiri bahwa mereka bertemu di Kastil Victoria di Ambon, karena pada saat pengembaraan Schouten di Ambon, Rumphius bekerja sebagai pedagang junior [onderkoopman] di Larike, di sudut barat daya Ambon. Dia mungkin juga telah menemukan salinan karya Schouten di sekretariat kastil di kemudian hari. Berbeda dengan kisah-kisah narator Ambon yang “tidak masuk akal” dan “menggelikan”, Rumphius mencirikan bab-bab pertama Ridjali sebagai sumber informasi yang “lebih kredibel”. Ridjali, bagaimanapun, mengambil dari sumber lisan yang sama dengan narator yang kurang terpelajar untuk ceritanya tentang perdana Hitu dan sejarah leluhur mereka. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa dia menceritakan sejarah leluhur sejauh berguna bagi pendengarnya di Makassar: dia terutama ingin memperjelas bahwa di Hitu tidak ada otoritas “tunggal” atau dipimpin oleh “1 orang” seperti di Ternate atau di Makassar, tetapi dewan empat mengepalai “pemerintahan”, dengan Kapitan Hitu sebagai perwakilan ke dunia luar. Sejarah tertulisnya tidak berbeda dalam genre dari sejarah lisan, meskipun kesan ini diberikan oleh penggunaan materi naratif yang lebih selektif.
Rumphius meyakini bahwa ia membaca dalam catatan Ridjali tentang pembentukan adat Hitu di awal “sebuah cerita pendek mengenai salah satu sejarah yang paling mengesankan”, yang sebanding dengan Ambonse Historie karyanya sendiri. Oleh karena itu, ia mengambil kebebasan untuk memetakan sejarah leluhur perdana masyarakat Hitu pada sebuah garis waktu. Perdana pertama dikatakan telah menetap di Hitu pada masa lampau yang tidak pasti, namun kedatangan perdana kedua, seseorang bernama Djamilu dari keluarga Nusatapi, dapat diperkirakan tanggalnya: “agar sejarah kita teratur, kita berasumsi bahwa kejadiannya terjadi sekitar tahun 1460” (AL 8), tulisnya dengan tegas. Ia memperkirakan kedatangan perdana ketiga dan keempat, mengacu pada hikajat, terjadi sekitar tahun 1480 dan 1490. Tanggal-tanggal ini diambil alih tanpa diragukan lagi oleh Valentijn dan penulis-penulis lainnya.
Akan tetapi, penanggalan Rumphius tidak dapat disesuaikan dengan pengetahuan bahwa Djamilu, perdana Nusatapi pertama, meninggal pada tahun 1569 menurut sumber-sumber Portugis. Oleh karena itu, tidak mungkin ia tiba di Hitu sebagai pemimpin sekelompok migran pada awal tahun 1480n. Sejarah asal-usul Hitu dimulai pada kuartal pertama abad ke-16, bukan kuartal terakhir abad ke-15.
Rumphius rupanya keliru berasumsi bahwa Historie van Hitu disusun secara kronologis dan bahwa sejarah leluhur dalam bab-bab pertama mendahului kedatangan Portugis pada tahun 1512. Dengan kata lain, ia gagal menghargai karakter khusus dari 11 bab pertama. Ini tidak membentuk awal dari suatu catatan kronologis yang berkesinambungan, tetapi bagian terpisah dari Historie yang menjelaskan adat istiadat administratif Hitu.
==== bersambung ====
Catatan Tambahan’
a. Rumphius tiba di Ambon pada Januari 1654 dan meninggal di Ambon pada 15 Juni 1702.
b. Rumphius Gedenkboek 1702-1902, Haarlem: Koloniaal Museum, 1902. Buku ini berisi 14 artikel/ tulisan dari beberapa penulis, misalnya J.E. Heeres [Rumphius Levensloop, hal 1-16], F. De Haan [Rumphius en Valentijn as geschiedschrijvers van Ambon, hal 17 – 25], A. Wichman [Het aandeel van Rumphius in het mineralogisch en geologisch onderzoek van den Indischen Archipel, hal 137 – 164], G.P. Rouffaer dan W.C. Muller [Eerste proeve van eene Rumphius-Bibliographie, hal 165 – 221], dan lain-lain
c. F. De Haan, Rumphius en Valentijn as geschiedschrijvers van Ambon, hal 17 – 25 [lihat catatan tambahan b di atas]
d. laporan Portugis yang dimaksud berjudul Relacao dos feitos eroicos em armas, que Sancho de Vasconcelos fez nas partes de Amboyno e Maluco, sendo capitao em ellas vinte annos pouco mais ou menos atau [Laporan pencapaian heroik Sancho de Vasconcelos di tanah Ambon dan Maluku saat kemimpinannya selama 20 tahun]. Tidak diketahui siapa penulis laporan ini.
e. Sancho de Vasconcelos menjadi komandan kastil Nossa Senhora da Anunciada di Ambon pada 1576 – akhir 1590/awal 1591
f. Tentang meninggalnya istri dan putri Rumphius. Istri Rumphiu bernama “Susana”, dan putri yang meninggal dunia adalah anak bungsunya atau putri kedua. Rumphius memiliki 3 anak, 2 putri dan 1 putra
§ Wim Buijze, Leven en werk van Georg Everhard Rumphius (1627-1702). Een natuurhistoricus in dienst van de VOC, Den Haaq, 2006
g. Simon Jacobszoon Cos, Gubernur van Amboina pada periode 1662 – 1664, meninggal pada 24 Februari 1664 di Ambon
§ Aa, van der A.J. Biographisch Woordenboek der Nederlanden, deerde deel, (diterbitkan ulang oleh K.J.R van Hardewijk), J.J. van Brederode, Haarlem, 1858 (Hal 757)
§ Molhuysen, P.C dan Blok, P.J, Nieuw Nederlandsch biografisch woordenboek. Deel 8. A.W. Sijthoff, Leiden 1930 (Hal 318)
§ De Bere, Lach P. F.L.C, Gedenktekeenen en grafschriften in Indie (in Maandblad van het Genealogisch-Heraldiek Genootschap de Nederlandsche Leeuw, no 9 jaargang XXI, 1903,hal 182)
h. Kontrak/perjanjian pertama Hitu dengan Steven van der Haghen terjadi pada September 1600
i. Tepil, Kapitan Hitu (1602 – 1633)
j. Kakiali, putra dari Tepil, menjadi kapitan Hitu pada 1633 - 1643
k. Karaeng Pattingalloang. Untuk “biografi” Pattilangoang, lihat
§ Anthony Reid, A Great Seventeenth Century Indonesian Family : Matoaya and Pattingalloang of Makassar, Jurnal Masyarakat Indonesia, Tahun VIII, Nomor 1, 1981, halaman 1 – 27 [dipublikasi ulang oleh Anthony Reid, Charting the shape of early modern Southeast Asia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies (2000): halaman 126-154].
l. Hermen Jan Jansen, mulai bertugas di Ambon sebagai Controleur ter beschiking pada 1919 – 1922 dan 1923 – 1925. Menjadi Assistant-Resident onderafdeeling Ambon pada 1925 – 1928, penjabat assistant-resident onderafdeeling West Seran pada 1928 – 1929, dan Resident der Molukken pada 1937 – 1942.
m. Asauken adalah Orangkaya van Hila dengan gelar Orangkaya Boelang (1637-1662). Asauken sendiri adalah putra dari Latu Lisalaik, Orangkaya van Hila dengan gelar Orangkaya Boelang (?? – 1637), dan Latu Lisalaik adalah saudara dari Kapitan Tua Hitu, yaitu Tepil.
n. Hans Straver menulis seperti ini, mungkin berdasarkan “logika” dan “ilustrasi” sederhana yang masuk akal. Rentang antara tahun 1480 [menurut Rumphius sebagai tahun kedatangan Djamilu] hingga ke tahun 1569 [Djamilu meninggal berdasarkan sumber Portugis] adalah 89 tahun. Ini berarti 89 tahun ini bukanlah usia Djamilu saat meninggal, tetapi usia dari kedatangannya tahun 1480 hingga meninggal tahun 1569. Diasumsikan saja bahwa usia Djamilu tiba di Hitu pada tahun 1480 adalah 20an tahun [tidak mungkin Djamilu lahir tahun 1480, karena disebutkan ia tiba tahun 1480], maka usianya “harus” ditambah 20an tahun dengan rentang 89 tahun setelah kedatangan hingga meninggal di tahun 1569 itu, yang berarti usia Djamilu sekitar 109an tahun. Mungkinkah ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar