Rabu, 05 Maret 2025

Seorang Muslim “sembunyi-sembunyi” Maluku sebelum Inkuisisi Transpasifik (1623–1645)


(bag 1)

[Ryan Dominic Crewe]

 

A.      Kata Pengantar

Artikel yang diterjemahkan ini merupakan artikel “lanjutan” dari artikel yang ditulis sebelumnya oleh Ryan Dominic Crewe dengan judul Transpacific Mestizo : Religion and Caste in the Worlds of Moluccan Prisoner of the Mexican Inquisition, dan pernah dimuat di blog. Artikel “lanjutan” yang dimaksud ini berjudul A Moluccan Crypto-Muslim before the Transpasific Inquisition (1623 – 1645), dimuat oleh Christina Hyo-Jung Lee dan Ricardo Padrón (eds.), The Spanish Pacific, 1521–1815: A Reader of Primary Sources, Amsterdam: Amsterdam University Press, 2020, pada bab 11, halaman 171 – 188.

Pada artikel sepanjang 18 halaman dan 7 catatan kaki ini, sang Profesor menyajikan data persidangan dari Alexo de Castro, seorang serdadu Filipina yang berdarah Maluku dari ibunya, putri Sultan Bacan di Maluku bagian utara pada awal abad ke-17. Menarik membaca tulisan ini, dikarenakan ada informasi penting berupa kesaksian dari sang terdakwa tentang relasi keluarga Maluku-nya. Ia menyebut ibunya bernama doña Felipa Duca [nama setelah menjadi Kristen], mengetahui 5 pamannya, yaitu raja/sultan Bacan [yang ia tidak tahu namanya dan sudah meninggal], Quichil Muça yang menikah dengan Boquiquire [tapi tidak memiliki anak], Chicatara [sudah meninggal], Datudara [tidak menikah], dan Nichilihongue [seorang putri]. Ia juga menyebut bahwa pamannya yang menjadi Sultan Bacan, memiliki 2 anak, salah satunya adalah Raja/Sultan Bacan sekarang [di masa ia disidang]. Informasi-informasi seperti ini menggambarkan bahwa relasi antar “etnis” merupakan hal yang lumrah dan dipahami secara “sederhana” tanpa ada isu-isu sensitif lain. Selain itu dengan membaca tulisan ini, paling tidak kita memahami prosedur yang dilakukan oleh orang-orang yang ditugaskan untuk mengadili seorang tersangka/terdakwa. Hal ini bisa kita gunakan dan menjadi pengetahuan dan wawasan untuk “membayangkan” apa yang terjadi pada 2 abad kemudian, ketika misalnya apa yang terjadi pada peradilan Thomas Matulessy, yang berujung pada hukuman gantung yang dieksekusi pada 16 Desember 1817.

Kami menerjemahkan artikel ini, membaginya menjadi 2 bagian, menambahkan sedikit catatan tambahan dan ilustrasi yang pada naskah aslinya tidak disertakan oleh penulis. Kiranya artikel ini bisa bermanfaat.

 

B.      Terjemahan

Abstrak

Pada tahun 1623 dan sekali lagi pada tahun 1643, seorang prajurit Maluku bernama Alexo de Castro menjadi salah satu dari sedikit orang yang dikirim dari Manila ke Meksiko untuk diadili oleh Inkuisisi, yang beroperasi di Spanyol Baru. Dalam dokumen persidangan, kita mengetahui tentang kehidupannya sebagai seorang mestizo keturunan Portugis dan Asia Tenggara yang melakukan perjalanan dari Maluku ke Goa dan kemudian ke Manila selama kariernya sebagai seorang prajurit. Kita juga mengetahui tentang dugaan kepatuhan mestizo ini terhadap praktik Islam dan mendengar suara para wanita yang menuduhnya melakukan kekerasan seksual. Ryan Dominic Crewe menempatkan dokumen tersebut dalam konteks sejarah kelembagaan dan dalam konteks mestizaje global yang menjadi ciri imperialisme maritim Iberia.

Pada tahun 1623, seorang prajurit Maluku bernama Alexo de Castro ditangkap oleh otoritas Kantor Suci Inkuisisi di Manila. Dituduh oleh istrinya, Ynes de Lima, karena diam-diam menjalankan [praktik] agama Islam di Manila, Castro menghadapi penyelidikan inkuisitorial yang awalnya tidak meyakinkan. Alexo de Castro dibebaskan. Dua dekade kemudian, Ynes de Lima dan budaknya Marnes de Lima menuduh Alexo de Castro karena diam-diam menjalankan agama Islam di Manila, melakukan pelecehan seksual terhadap wanita di rumah tangganya, dan membuat pernyataan sesat tentang percabulan. Menganggap orang yang mengaku sebagai Muslim “sembunyi-sembunyi” ini sebagai ancaman bagi masyarakat Kristen, para inkuisitor mengirimnya ke Mexico City, pusat distrik inkuisitorial tempat Filipina menjadi bagiannya, untuk diadili. Castro akhirnya diadili, dinyatakan bersalah, dan dijatuhi hukuman kurungan seumur hidup di sebuah biara di Mexico City selama sisa hidupnya1.

Pengadilan Inkuisisi Alexo de Castro sangat berharga bagi sejarah dunia Hispano-Asia Pasifik awal modern di beberapa tingkatan. Secara kelembagaan, kasus ini sepenuhnya unik: Komisariat Inkuisisi di Manila adalah cabang dari Kantor Suci yang melapor kepada Pengadilan Inkuisisi yang berpusat di Mexico City, yang sepanjang periode modern awal mempertahankan otoritas eksklusifnya untuk melakukan pengadilan dan menjatuhkan hukuman. Logistik yang menegangkan dari hubungan galleon transpasifik antara Filipina dan Meksiko hampir menjamin bahwa sangat sedikit tahanan inkuisisi yang akan dikirim ke Meksiko untuk diadili. Oleh karena itu, kasus Alexo de Castro merupakan kasus langka: ini adalah salah satu dari segelintir pengadilan inkuisisi lengkap dari Filipina kolonial2

 

Inkuisitor di Manila menganggap kasus Alexo de Castro luar biasa karena dianggap serius dan berbahaya dari pelanggarannya. Manila pada abad ke-17, selain menjadi pelabuhan multikultural yang berkembang pesat, juga menjadi pangkalan strategis yang rentan untuk serangkaian perang tanpa akhir yang dibantu oleh Spanyol Manila di perbatasan laut selatan dengan komunitas Islam di Mindanao, Sulu, dan Maluku. Meskipun ia telah bertugas dalam berbagai kampanye militer untuk membela monarki Habsburg di Kepulauan Rempah, India, dan Luzon utara, Alexo de Castro dicurigai justru karena ia adalah penduduk asli Maluku, tempat kesultanan Muslim menimbulkan penghinaan besar terhadap pasukan Spanyol dan aliansi lokal terkenal tidak dapat diandalkan. Di Manila, Castro menjadi bagian dari komunitas imigran dan pengungsi Maluku yang sedang berkembang yang kesetiaannya kepada agama Kristen sangat mencurigakan. Tuduhan bahwa Alexo de Castro diam-diam menjalankan Islam karenanya berperan dalam kecemasan geopolitik dan masalah keamanan lokal yang khusus terjadi di Manila pada abad ke-17.

Namun, meskipun kasus Alexo de Castro luar biasa, dokumentasinya yang kaya terhubung dengan pola sosial dan budaya yang lebih luas di dunia Pasifik modern awal. Seperti yang dikatakan Edoardo Grendi, “sebuah dokumen yang luar biasa bisa berubah menjadi sangat normal”3.  Pengadilan Castro terhubung ke berbagai konteks: konflik global yang menyelimuti kepulauan Maluku asal Castro, pengalaman penyebaran dan mobilitas di Samudra Hindia dan dunia Pasifik, skala global mestizaje yang terjadi di keluarga-keluarga biasa di Manila, dan bahaya negosiasi politik etnoreligius dalam struktur kekuasaan Iberia—terutama bagi para neofit [mualaf], mestizo, dan masyarakat pribumi. Akhirnya, inti dari catatan pengadilan ini juga terdapat sejarah keluarga, di mana para korban kekerasan dalam rumah tangga yang mengerikan ternyata menggunakan Inkuisisi sebagai instrumen untuk mengakhiri penderitaan mereka.

Pilihan berikut dari pengadilan Alexo de Castro memberikan gambaran singkat tentang prosedur inkuisisi, silsilah mestizo Castro, tuduhan kripto-Islam, tuduhan kekerasan dalam rumah tangga, dan hukuman akhir.

 

Dua Pengadilan Castro4

Pengadilan 1—Manila, 1623–1625

Pengadilan Pidana terhadap Alex de Castro, mestizo, penduduk asli Tidore di Ternate.

 ~~Kasus tidak dilanjutkan.~~

Tuduhan

Di Manila, pada tanggal 20 Juni 1623 […] di hadapan Pendeta Romo Fray Domingo González, vikaris dan provinsial Ordo Pengkhotbah, komisaris Kantor Suci Inkuisisi di kepulauan ini, Romo Juan Rodríguez Gutiérrez, pastor di paroki Santiago, di luar tembok kota ini, berusia kurang lebih lima puluh tahun, muncul tanpa dipanggil. Dan untuk meringankan beban hati nuraninya, ia menyatakan dan menuduh hal berikut:

§  Bahwa ia telah melayani sebagai pastor selama dua tahun di paroki tersebut, di mana salah satu umatnya adalah Alexo de Castro, mestizo yang lahir dari seorang Spanyol dan seorang wanita dari Ternate [terrenata], yang beragama Islam. Dan selama ini, Alexo de Castro tersebut tidak pernah menghadiri misa atau pengakuan dosa, atau sakramen lainnya. Karena alasan ini, saksi ini telah menempatkannya dalam daftar [tablilla] ekskomunikasi selama empat tahun terakhir. Dan meskipun saksi ini pada banyak kesempatan telah menasihati [Alexo de Castro] untuk mengaku dosa, dia tidak pernah melihatnya [di gereja] dan dia juga tidak mempertimbangkan pengucilannya. Lebih jauh, ibu mertua dari Alexo de Castro tersebut telah memberi tahu saksi ini bahwa [Alexo] tidak menghadiri misa dan tidak pergi ke pengakuan dosa. Sebaliknya dia telah melakukan doa-doa yang tampaknya bersifat Moor. Dan [dia menambahkan] bahwa dia memelihara persahabatan dekat dengan raja Ternatea, yang dipenjara di kota ini dan merupakan seorang Moor penganut agama Islam. Dan ini adalah kebenaran, berdasarkan sumpah yang telah diucapkan saksi ini. Dan setelah pernyataannya dibacakan kepadanya, dia menyatakan bahwa itu benar dan bahwa dia tidak membuat tuduhan ini karena kebencian. Dia telah disumpah untuk merahasiakannya dan dia menandatangani namanya.

 

Juan Rodríguez Gutiérrez

 


Sidang Pertama

Di kota Manila, pada tanggal 8 Juli tahun 1624, saat Pendeta Fray Francisco de Herrera dari Ordo St. Dominikus, komisaris Kantor Suci Inkuisisi, hadir di biaranya dalam sidang sore, ia memerintahkan agar Alexo de Castro, prajurit, dibawa dari penjara umum kota ini untuk menghadapnya. Dan di hadapannya, Alexo de Castro tersebut bersumpah menurut hukum, berjanji untuk mengatakan seluruh kebenaran dalam sidang ini serta dalam semua sidang lainnya yang akan diadakan hingga kasusnya diputuskan, dan ia berjanji untuk menjaga kerahasiaan mengenai semua yang ia lihat dan pahami di sini, dan semua yang terjadi mengenai kasusnya.

§  Komisaris meminta dia untuk menyebutkan namanya, tempat lahirnya, usianya, pekerjaannya, dan sudah berapa lama dia dipenjara.

Ø  Tahanan itu menyatakan bahwa namanya adalah Alexo de Castro, penduduk asli Tidore di Ternate, berusia kurang lebih 36 tahun, pekerjaannya adalah seorang prajurit, dan dia telah dipenjara selama dua hari.

§  Komisaris menanyakan nama orang tuanya.

Ø  Alexo de Castro menyatakan bahwa ayahnya adalah Juan de Castro, yang meninggal lebih dari 20 tahun yang lalu. Dan [meskipun] dia berasal dari negara Portugis, dia tidak tahu di negeri mana dia dilahirkan. Ibunya adalah doña Felipa Duca, seorang india5 dari Tidore dan saudara perempuan raja Bachan. Dia meninggal 10 tahun yang lalu. Dan dia menikah dengan Ynes de Lima, seorang India asli dari India, dan dia tidak mengenal orang tua kandungnya, meskipun dia tahu bahwa dia lahir di Manila, dan seorang India bernama Pablo de Lima mengambilnya sebagai putrinya.

§  Komisaris bertanya kepadanya tentang kakek-nenek dari pihak ayah.

Ø  Alexo de Castro menyatakan bahwa dia tidak mengenal mereka, dan dia hanya mendengar bahwa kakek dari pihak ayah bernama Lorenço de Castro, dan dia tidak tahu di mana dia dilahirkan. Dan mengenai nenek dari pihak ayah, dia tidak ingat pernah mendengar namanya, atau di mana dia dilahirkan.

§  Komisaris bertanya kepadanya tentang kakek-nenek dari pihak ibu.

Ø  Alexo de Castro menyatakan bahwa dia tidak pernah mendengar nama mereka; dia hanya mendengar bahwa mereka adalah orang Moor di sekte Muhammad.

§  Komisaris bertanya kepadanya tentang paman-paman dari pihak ayahnya.

Ø  Alexo de Castro menyatakan bahwa ia tidak mengenal satu pun dari mereka, meskipun ia pernah mendengar tentang seorang bibi yang tinggal di India, bernama Angela de Castro, yang menjadi janda tanpa anak. Dan ia tidak tahu apa pun tentang suaminya. Sekarang ia juga sudah meninggal.

§  Komisaris bertanya kepadanya tentang paman-paman dari pihak ibunya.

Ø  Alexo de Castro menyatakan bahwa ia mengenal 5 paman, semuanya adalah saudara laki-laki ibunya yang lahir dari kedua orang tua ibunyab. Semuanya adalah orang Moro dan salah satunya adalah raja pulau Bachanc, tetapi ia tidak tahu namanya dan sekarang ia sudah meninggal. Paman lainnya bernama Quichil Muça; ia adalah seorang penguasa bawahan yang menikah dengan seorang Mora bernama Boquiquire, dan ia tidak memiliki anak. Dan paman yang disebutkan di atas yang merupakan raja memiliki dua orang anak, salah satunya saat ini memerintah sebagai raja Bachan, tetapi ia tidak tahu namanyad. Anak raja yang lain adalah seorang putri bernama Nichilihongue. Dan paman lainnya bernama Chicatara, juga sudah meninggal, yang menikah dengan seorang mora yang namanya tidak diketahuinya, dan dia tidak tahu apakah mereka memiliki anak. Paman kelima bernama Datudara, yang tidak menikah dan merupakan penguasa Bachan.

§  Komisaris bertanya apakah dia memiliki saudara laki-laki.

Ø  Alexo de Castro menyatakan bahwa dia memiliki delapan saudara laki-laki, semuanya sudah meninggal. Yang tertua bernama Sebastián de Castro, belum menikah, penduduk asli Tidore. Hanya saudara laki-laki ini yang masih hidup, tetapi dia menganggapnya sudah meninggal karena dia ditawan oleh Belanda; yang kedua bernama Baltaçar de Castro, yang belum menikah. Dan dari sisanya, yang ketiga bernama Melchior de Castro; yang keempat adalah Silvestre de Castro; yang kelima adalah Thome de Castro; saudara laki-laki keenam bernama Gregorio de Castro; yang ketujuh bernama Domingo de Castro, yang kedelapan dan terakhir [sic].

§  Komisaris bertanya kepadanya apakah ia sudah menikah dan apakah ia memiliki seorang istri.

Ø  Alexo de Castro menyatakan bahwa ia menikah dengan seorang India bernama Ynés de Lima, penduduk asli India dan dibesarkan di kota ini [criolla desta ciudad], dan ia menikahinya sekitar dua belas tahun yang lalu, dan ia memiliki seorang putri darinya, yang sekarang sudah menjadi seorang gadis muda.

§  Komisaris bertanya kepadanya dari kasta dan generación apa orang tua dan kakek-neneknya […] dan apakah ada di antara mereka yang telah dipenjara, menjalani penitensi inkuisisi [penitençiado], berdamai, atau dihukum oleh Kantor Suci Inkuisisi.

Ø  Alexo de Castro menyatakan bahwa di pihak ayahnya, kakek-nenek dari pihak ayah adalah orang Portugis, dan ia tidak tahu, juga tidak pernah mendengar tentang mereka yang dipenjara atau dihukum oleh Kantor Suci. Dari pihak ibunya, kakek nenek dari pihak ibu semuanya adalah penganut agama Islam dari Ternate [terrenates mahometanos], dan tidak seorang pun dari mereka yang beragama Kristen, kecuali ibunya.

§  Komisaris bertanya kepadanya apakah ia seorang Kristen yang dibaptis dan dikukuhkan, dan apakah ia menghadiri misa dan menerima komuni ketika diamanatkan oleh Gereja Bunda Suci.

Ø  Alexo de Castro menyatakan bahwa ia seorang Kristen dan dibaptis di Tidore ketika ia masih kecil, dan ia tidak tahu apakah ia telah dikukuhkan, meskipun ibu dan teman-temannya telah memberitahunya bahwa ia telah dikukuhkan.

§  Komisaris bertanya kepadanya apakah ia menghadiri misa pada hari-hari raya.

Ø  Alexo de Castro menyatakan bahwa ia menghadiri misa di biara-biara dan gereja-gereja di mana pun ia berada, kadang-kadang di Gereja St. Dominikus, yang lain di katedral atau di Recollections, dan ia telah mengaku dosa dan menerima komuni setiap tahun dengan Romo. Lorenço Masonio dari Serikat Yesus, dan ia telah menerima komuni di katedral kota ini. Alexo de Castro kemudian membuat tanda salib dan mengucapkan Doa Bapa Kami, Salam Maria, dan Kredo. Ia mengucapkan doa-doa itu dengan jelas dan baik, dan ia tidak mengetahui doktrin Kristen lainnya.

§  Komisaris bertanya kepadanya apakah ia dapat membaca dan menulis, dan apakah ia telah mempelajari suatu keterampilan.

Ø  Alexo de Castro menyatakan bahwa ia dapat membaca dan menulis dan tidak memiliki keterampilan lain selain menjadi tentara, dan bahwa seorang pendeta Portugis bernama Matheo Luis mengajarinya membaca dan menulis.

§  Komisaris bertanya kepadanya apakah ia telah bepergian ke luar kerajaan Luzon.

Ø  Alexo de Castro menyatakan bahwa ia telah melakukan dua kali perjalanan pulang pergi ke Ternate sebagai seorang tentara untuk bergabung dengan pasukan di sana.

§  Komisaris memintanya untuk menceritakan kisah hidupnya [discurso de la vida].

Ø  Alexo de Castro menyatakan bahwa ia lahir di Tidoree, tempat ia dibesarkan hingga berusia dua belas atau tiga belas tahun, dan dari sana ia meninggalkan sekolah dan pergi ke Malaka, dan dari sana ia pergi ke India, tempat ia bertugas sebagai pesuruh untuk Portugis. Dia berada di Cochin selama dua atau tiga bulan, dan kemudian melakukan perjalanan dari sana ke Goa bersama seorang pria Portugis [caballero] bernama Simón Serrano, di mana dia tinggal selama beberapa tahun, sekitar enam atau tujuh tahun. Dari sana dia kembali ke Ternate sebagai seorang prajurit yang melayani Simón Serrano, di mana dia juga tinggal selama beberapa tahun hingga pasukan [Spanyol] di Tidore dikalahkan [oleh Belanda]. Setelah itu dia tiba di kota Manila ini di mana dia mengambil jabatan sebagai seorang prajurit, dan dalam kapasitas ini, dia kembali ke Ternate [dalam penaklukan kembali yang dipimpin oleh Juan de Silva pada tahun 1606], di mana dia tinggal selama lebih dari setahun. Dia kemudian kembali ke kota ini, di mana dia menikah, dan setelah menikah dia kembali untuk bertugas di Ternate tanpa gaji karena utang yang dia miliki kepada mertuanya. Dia tinggal di Ternate selama lebih dari dua tahun, dan kemudian dia kembali ke kota ini, di mana dia sejak itu berhubungan dengan orang-orang Moor, meskipun dia tidak menghadiri upacara apa pun dari mereka.

§  Komisaris bertanya kepadanya apakah ia tahu atau curiga mengapa ia dipenjara dan dibawa ke hadapan Kantor Suci ini.

Ø  Alexo de Castro menyatakan bahwa ia tidak tahu alasannya.

§  Komisaris memberi tahu Alexo de Castro bahwa Kantor Suci ini tidak terbiasa menangkap siapa pun tanpa informasi yang cukup bahwa hal-hal tertentu telah dikatakan, dilakukan, atau dilaksanakan, atau informasi bahwa seseorang telah menyaksikan orang lain mengatakan atau melakukan sesuatu yang bertentangan atau tampak bertentangan dengan iman Katolik kita yang suci dan hukum Injili, yang dikhotbahkan, diikuti, dan diajarkan oleh Gereja Katolik Roma yang suci, atau yang menghalangi fungsi yang tepat dan bebas dari Kantor Suci ini. Oleh karena itu, ia harus memahami bahwa ia telah dibawa ke sini berdasarkan informasi tersebut. Oleh karena itu, sebagai penghormatan kepada Tuhan Bapa Kita dan Bunda-Nya yang Mulia dan Terberkati, Bunda Maria Perawan Maria, ia dinasihati dan diinstruksikan untuk mengingat kembali ingatannya, menyatakan, dan mengakui sepenuhnya kebenaran tentang apa pun yang mungkin menjadi kesalahannya, atau apa pun yang mungkin diketahuinya tentang orang lain yang mungkin bersalah, tanpa menyembunyikan apa pun. Ia juga tidak boleh memberikan kesaksian palsu terhadap dirinya sendiri atau orang lain. Dengan [memberikan kesaksian yang jujur], ia akan meringankan beban hati nuraninya sebagai seorang Kristen Katolik dan ia akan menyelamatkan jiwanya, dan kasusnya akan ditutup dengan segala kecepatan dan belas kasihan yang pantas. Jika tidak, keadilan akan ditegakkan.

Ø  Alexo de Castro menyatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa, kecuali fakta bahwa ia dimasukkan ke dalam daftar di paroki Santiago Outside-the-Walls [extramuros]. Selain itu, ia telah melaksanakan tugasnya di sana dan di paroki kota ini.

Setelah pernyataannya dibacakan kembali kepadanya dalam sidang ini, ia menyatakan bahwa pernyataannya ditulis dengan baik dan ia menyatakan bahwa itu benar, dan tidak ada yang perlu diubah, dan, jika perlu, ia dapat mengatakan hal yang sama lagi. Dan setelah diperingatkan untuk berpikir dengan hati-hati dan mengatakan kebenaran sepenuhnya, ia dikirim kembali ke penjara.

Ditandatangani oleh Fray Francisco de Herrera; Alexo de Castro; di hadapan saya, Santiago de Gastelu, notaris.

 

Pada tanggal 11 Juli 1624, Pendeta Fray Francisco Herrera dalam sidang paginya memerintahkan Alexo de Castro untuk dibawa kembali dari penjara. Dan setelah tiba di sidang tersebut, Alexo de Castro diminta untuk mengingat kembali ingatannya, dan berdasarkan sumpah yang diucapkannya, ia [diperintahkan] untuk mengatakan seluruh kebenaran.

Ø  Alexo de Castro menyatakan bahwa yang ia ingat dan tahu adalah bahwa lebih dari setahun yang lalu ia sedang mendiskusikan sebuah cerita tentang St. Joan dengan seorang Indian asli Cochin bernama Antonio Lopez, yang telah mengatakan kepadanya bahwa cerita-cerita tentang St. Joan tidak valid karena pengakuan dosanya telah mengungkapkan pada saat kematiannya bahwa semuanya adalah fiksi dan bahwa orang suci tersebut bukanlah orang suci, dan bahwa ia bahkan telah berdosa dengan pengakuan dosanya. Inilah yang didengar Alexo de Castro dari orang Indian tersebut, dan persis seperti yang ia dengar, ia menceritakannya kembali kepada istrinya. Oleh karena itu ia percaya bahwa istrinyalah yang pasti telah menuduhnya. Dan ia tidak tahu apa-apa lagi. Alexo de Castro diingatkan bahwa dalam sidang sebelumnya ia telah ditegur atas nama Tuhan dan Bunda Maria yang Terberkati agar ia mengingat kembali ingatannya dan meringankan beban hati nuraninya, dengan menyatakan seluruh kebenaran tentang apa yang mungkin telah ia lakukan atau katakan, atau tentang apa pun yang mungkin telah ia saksikan atau dengar dari orang lain yang melakukan atau mengatakan hal-hal yang mungkin atau mungkin tampak menyinggung Tuhan Allah kita atau terhadap iman Katoliknya yang suci dan hukum Injili yang dijaga dan diajarkan oleh Gereja Bunda Suci, atau terhadap pelaksanaan yang tepat dan bebas dari Tugas Suci ini, tanpa menyembunyikan apa pun tentang dirinya atau orang lain, atau memberatkan dirinya sendiri atau orang lain melalui kesaksian palsu. Dan sekarang, untuk teguran ketiga ia ditegur dan dituntut untuk melakukan hal yang sama, karena dengan melakukannya dengan benar, ia akan melakukan apa yang harus ia lakukan sebagai seorang Kristen Katolik dan kasusnya akan diselesaikan dengan sesingkat mungkin. Jika tidak, keadilan akan ditegakkan.

Ø  Alexo de Castro menyatakan bahwa ia tidak mengingat apa pun selain apa yang telah ia nyatakan,

dan setelah ditegur untuk berpikir hati-hati lagi dan menyatakan seluruh kebenaran, ia dikirim kembali ke penjara. Ditandatangani oleh Friar Francisco de Herrera; Alexo de Castro; sebelum saya, Pdt. Andrés Gómez, notaris.

=== bersambung ===

Catatan Kaki

1.       Untuk kontekstualisasi lengkap kedua persidangan dalam konteks dunia Pasifik, lihat Crewe, “Transpacific Mestizo.

2.      Selama 230 tahun keberadaan Komisariat Inkuisisi di Manila, hanya dua puluh delapan tersangka yang dipindahkan ke Kota Meksiko untuk diadili. Meskipun demikian, Komisariat menerima dan memproses pengaduan dan pengakuan, dan masih menerapkan hukuman penitensi yang tidak mencapai hukuman penuh. Lihat Delor Angeles, “Philippine Inquisition”; Toribio Medina, El Tribunal del Santo Oficio; and Bertrand, Le long remords de la conquête.

3.      Grendi, “Micro-Analisi e storia sociale,” halaman 512.

4.      Kedua persidangan tersebut diadakan di Archivo General de la Nación di Mexico City. Sidang pertama dapat ditemukan di Inquisición vol. 350, exp. 1; sidang kedua sudah di  Inquisición vol. 418, exp. 5.

5.      Dalam penggunaan ini, indio/a menunjukkan orang pribumi. Istilah ini menyiratkan status non-Yahudi yang bertentangan dengan afiliasi dengan Islam (moro/a). Perbedaan antara indios dan moros sangat penting dalam persidangan ini, karena Alexo de Castro berusaha sebisa mungkin untuk mengidentifikasi asal-usulnya dengan indios—non-Yahudi—sementara lawan-lawannya secara langsung mengaitkannya dengan moros—Muslim. Lihat Crewe, “Transpacific Mestizo,” halaman 476.

Catatan Tambahan

a.      Raja atau Sultan Muslim Ternate yang dimaksud adalah Saiduduin atau Sahid/Saidi Berkat yang memerintah pada periode 1584 – 1610. Ia menggantikan Sultan Baabullah (1570 – 1584). Pada tahun 1606 ia bersama Hamzah, cucu dari Sultan Hairun, ditangkap dan diasingkan ke Filipina

v  Gerrit Knaap, The Governor-General and the Sultan: An Attempt to Restructure a divided Amboina in 1638, dipublikasikan di Jurnal Itinerario, volume 29, issue 1, terbitan Maret 2005, halaman 79 – 100

b.      Orang tua ibu Alexo de Castro atau kakek dan nenek dari Alexo de Castro, kemungkinan adalah Sultan Siro atau Dom João, Sultan Bacan yang memerintah pada periode 1557 – 1571. Sultan ini dibaptis pada 1 Juli  1557 dan mengambil nama Dom João

v  Hubert Jacobs, Documenta Malucensia I, General Introduction, hal 5*, hal 232-233 catatan kaki no 2, Roma, 1974

v  Manuel Lobato, The Moluccan Archipelago and Eastern Indonesian in the second half of the 16th century in the light of Portuguese and Spanish accounts, dipublikasi dalam F.A. Dutra dan J.C. dos Santos (ed), The Portuguese and the Pacific, hal 38-63

c.      Raja/Sultan Bacan yang dimaksud oleh Alexo de Castro yang juga pamannya, mungkin bernama Dom Henrique, Sultan Bacan yang memerintah pada 1577 – 1581 atau bisa juga Sultan Alaudin II yang memerintah pada 1581 – 1609 [yang merupakan anak Dom João]

d.      Raja/Sultan Bacan yang dimaksud oleh Alexo de Castro, mungkin bernama Sultan Nurusalat, yang memerintah pada 1609 – 1649. Melihat periode pemerintahan Sultan Nurusalat dan tahun disidangnya Alexo de Castro pada tahun 1623 – 1624, maka kemungkinan Sultan Nurusalat yang dimaksud adalah benar.

e.      Alexo de Castro, lahir sekitar tahun 1587/1588, dikarenakan pada tahun 1624, ia mengaku berusia kurang lebih 36 tahun.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar