Sabtu, 01 Maret 2025

Sistem-sistem Klasifikasi Masyarakat Adat [Pribumi] di Ambon Maluku

(bag 1)

[H.J. Jansen]

 

A.      Kata Pengantar

Herman/Hermen Jan Jansen, adalah seorang pejabat Belanda yang bertugas di Ambon pada dekade awal abad ke-20a. Ia mungkin bisa “dianggap” salah satu pejabat yang lumayan “banyak” menulis tentang Ambonb. Salah satu tulisan itulah yang kami terjemahkan ini. Tulisan dari H.J. Jansen berjudul Inheemsche Groepen-systemen in de Ambonsche Molukken. Tulisan ini awalnya adalah catatan atau materi dari sang penulis yang disampaikan di Koninklijk Bataviasch Genootschap tahun 1929, pada bagian “adatrecht”. Catatan ini kemudian dipublikasi dalam Adatrechtbundels, volume 36, pada halaman 445 – 459, yang diterbitkan oleh penerbit Martinus Nijhoff, s’Gravenhage, tahun 1933. 

 

Versi Bahasa Belanda ini kemudian diterjemahkan ke Bahasa Inggris dengan judul Indigenous Classification Systems in the Ambonese Moluccas oleh Mrs. J.A. Jockin-la Bastide, dan dimuat oleh Antropolog P.E. de Josselin de Jong dalam buku yang dieditorinya dengan judul Structural Anthropology in the Netherlands, diterbitkan oleh penerbit Martinus Nijhoff, tahun 1977. Tulisan versi Inggris ini ditempatkan pada bab IV, halaman 101 – 115c, dari 14 tulisan yang dimuat dalam buku tersebut. Catatan atau materi H.J. Jansen ini sebenarnya tidak memiliki catatan kaki maupun bibliografid, dan 18 gambar ilustrasi.  

 

H.J. Jansen [di tengah] bersama pegawai di Ambon, ca. 1937

Dalam penerjemahan tulisan sepanjang 15 halaman ini, kami beruntung memiliki 2 versi tulisan tersebut baik dalam Bahasa Belanda maupun Bahasa Inggris, yang “memudahkan” kami untuk memahami dengan lebih baik “maksud” sang penulis. Kami membagi tulisan ini menjadi 2 bagian, menambahkan sedikit catatan tambahan dan ilustrasi yang dianggap perlu, disamping 8 catatan kaki yang ada pada versi Bahasa Inggris. 15 tahun pengabdian H.J. Jansen di Maluku, minimal membuat tulisannya "bermutu" dan layak untuk dibaca dan dianalisis lebih jauh. Kiranya tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

B.      Terjemahan

Sejarah-nyae Rijali (saya mengutip dari kutipan singkat yang dibuat oleh Valentyn [1856, II: 381f], karena saya tidak lagi memiliki karya asli yang memuat deskripsi tertulis tertua tentang sistem klasifikasi Ambon yang saya ketahui. Menurut Rijali1, ada 4 suku [kelompok] bangsa yang membentuk masyarakat Ambon :

1.       Orang Goram (masih dikenal di Kepulauan Goram sebagai Ali Liang – dan dengan demikian disebut oleh Rijali – dan digambarkan datang dari Bali dan bepergian ke Hitu

2.      Orang Jawa (Patti Anu dari Tuban)

3.      Penduduk Maluku utara (Jamilu, sebuah kata yang terkadang merujuk ke Halmahera, terkadang ke Ternate-Bacan)

4.     Orang Alfur2 asli yang sering digambarkan datang dari Seran dengan perdana [kepala/pemimpin suku] yang secara karakteristik disebut Zaman Jadi [Zaman Asal] oleh Rijali

Versi ini – yang akan saya bahas di bawah (halaman 114) – bukanlah yang paling tersebar luas atau tertua yang saya temukan. Mungkin lebih tua dan pasti lebih lanjut Alfur adalah sistem rumit yang didasarkan pada:

1.     Angka dan kombinasi angka .

2.    Oposisi

3.     Tubuh manusia

Sistem ini berlaku tidak hanya di Hitu, tetapi juga di seluruh penduduk Ambon dan Kepulauan Lease [atau Uliasa atau Oeliasser], serta di Seran, Buru, dan mungkin pulau-pulau lain di Maluku. Sistem ini sering kali kabur dan terdistorsi, terutama di daerah yang sering dikunjungi orang asing, seperti pulau-pulau Ambon. Sayangnya, saya hanya memiliki sedikit kontak dengan orang-orang yang lebih terisolasi di mana saya bisa memperoleh informasi tentang sistem ini yang tidak terlalu dipengaruhi oleh faktor-faktor luar. Saya tidak cukup mengenal literatur tentang subjek ini atau cukup ahli untuk membandingkan sistem ini dengan sistem di daerah yang lebih timur. Oleh karena itu, tujuan saya hanyalah untuk membangkitkan minat pembaca dengan memberikan beberapa saran yang masuk akal.

Saat mempelajari sistem ini, kita harus mengetahui berbagai nama yang digunakan secara lokal untuk bagian-bagian suatu komunitas. Yang terpenting adalah:

1.       Uli (diterjemahkan oleh Valentyn sebagai “tim” (gespanchap); lihat juga Holleman 1923). Kata-kata yang sesuai adalah uri, ulu, uru (secara harfiah berarti “kepala”); toto, tutu atau tetu (secara harfiah berarti “tulang belakang”), dan dalam hubungan ini nusi, lusi, ruri atai, semuanya berarti “tulang belakang” dan juga “leluhur”; hata, pata, liama, sama (secara harfiah berarti “keseluruhan yang harus dibagi”); upu (“leluhur”), pei, lei (“sisi”), mani (“leluhur tertua”), ina (secara harfiah berarti “ibu”), tia (“perut), usu (“jantung”), asa (“asal”), use (“pusar”), boan, lata(r) (kata yang muncul dalam catatan pengadilan dan berarti “benjolan”)

2.      Aman (kadang-kadang diterjemahkan sebagai “desa”, lihat Holleman); kata-kata yang sesuai adalah henna, hutu (secara harfiah berarti "sarang"), dan hotta atau hotto

3.       Soa (kadang-kadang diterjemahkan sebagai "kawasan" atau "bangsal" kota atau desa, lihat Holleman dan lainnya); kata-kata yang sesuai adalah uhu, huka, nuku, ala ("tulang paha"), hala ("bahu"), tanu ("batang"), taan ("lengan"), hatu ("bagian", "batu", "jari" seperti dalam rima hatu)

4.     Rumah ("rumah", lihat Holleman); kata-kata yang sesuai adalah luma, mata (secara harfiah berarti "mata"), tatua (secara harfiah berarti "perapian"). Karena istilah-istilah ini tidak digunakan secara konsisten, sulit untuk secara tepat menunjukkan apa yang diwakili oleh masing-masing istilah.

 

I.     Klasifikasi berdasarkan angka dan kombinasi angka

Struktur sistem matematis yang sedang kita bahas ini tidak mudah diungkapkan dengan kata-kata. Titik awalnya adalah unit. Unit ini membagi dirinya sendiri tanpa kehilangan kesatuannya, yang dapat meningkatkan jumlah bagian-bagiannya tetapi tetap menjadi satu unit. Meskipun bertambah atau terbagi, unit tersebut tetap hanya satu unit. Jadi ketika unit-unit, masing-masing dengan kuantitas yang berbeda, dijumlahkan, unit tersebut bergabung, menjadi satu unit baru dari kuantitas total yang baru. Dalam sistem ini, kuantitas selalu merupakan unit yang lebih atau kurang lengkap, kuantitas terbesar adalah unit.

Sistem ini didasarkan pada manusia; segala sesuatu termasuk semua kuantitas, dipandang sebagai manusia atau makhluk kuasi-manusia. Tidaklah tepat untuk mengatakan bahwa semua benda bernyawa; sebaliknya, semua benda memiliki tubuh. Hutan adalah makhluk; seluruh hutan akan menjadi makhluk hutan yang lengkap; sekelompok pohon adalah makhluk hutan yang tidak lengkap – misalnya, hutan tanpa anggota tubuh bagian bawahnya. Kelompok pohon yang lebih kecil akan menjadi lengan, tangan, atau paha makhluk hutan; satu pohon hanya jari.

Dalam sistem, lima adalah makhluk yang lengkap; manusia ada lima:

Akan tetapi, makhluk ini mandul dengan sendirinya dan tidak mungkin menjadi asal mula makhluk lain; untuk tujuan ini dibutuhkan dua makhluk, yaitu lima laki-laki dan lima perempuan. Bersama-sama mereka menjadi sembilan, karena unit lima perempuan dan lima laki-laki (uru ulu) bergabung menjadi satu (uli siwa) untuk membentuk unit yang lengkap dan paling sempurna. Doktrin misterius ini, yang menggunakan lebih banyak kombinasi angka hingga 99 dan 999, dikenal sebagai ilmu sembilan puluh sembilan. Dikatakan bahwa di Lilibooy dan Nusalaut beberapa orang tua masih berpengetahuan dalam kombinasi ini. Beberapa simbol telah dibawa ke dalam Islam. Misalnya, ada interpretasi numerologis tentang tongkat yang ditempatkan di antara jari-jari kaki saat khotbah; dan tentang ibadah keagamaan, di mana para anggota jemaat melipat jari-jari mereka, untuk membentuk ◊ di sekitar hidung.

Matematika semacam ini menghasilkan sistem bilangan yang dapat ditemukan di seluruh kepulauan Ambon:

tiga                      : 3 = satuan + 2

lima                     : 3+2 = 2+2 + dua satuan gabungan = 5;  yaitu 5 = satuan + 4

tujuh                   : 5+3 = 4+2 + dua satuan gabungan = 7

sembilan             : 5+5 = 4+4+ dua satuan gabungan = 9

Kita bedakan dalam bahasa asli:

uli teru .............   3

uli lima............    5

uli hitu.............    7

uli siwa............    9

atau seperti di Seran Timur :

tutu tolo........      3

tutu lima.......      5

tutu hitu........      7

tutu siwa.......      9

atau seperti di Seran Barat :

              pata lima.......      5

pata siwa.......      9

Yang paling sederhana adalah uli teru; bagian-bagian penyusunnya selalu dianggap sebagai dua wanita. Saya tidak dapat menemukan penjelasan yang memuaskan untuk fenomena ini. Dalam sistem yang tidak lengkap ini, semua pulau pertama-tama dibagi menjadi dua bagian. Gagasan tentang "tiga" dan "pulau" saling terkait.

Bahkan tipe desa yang paling sederhana pun terbagi menjadi dua wanita. Dalam bentuknya yang paling murni, hal ini masih ditemukan di desa Tial. Dalam bahasa asli, tial berarti perut (tia), dan Tial-Serani [Tial Kristen] disebut Lei ina maruwa-ruwa, yang dapat diterjemahkan sebagai "ibu-bagian dua perawan"; Tial-Slam [Tial Muslim] disebut Tia useruwa, yang dapat diterjemahkan sebagai "perut dengan dua pusar".

Hingga hari ini desa-desa ini terbagi dalam dua bagian, dua soa: lei lau = orang tepi laut dan lei hosar = orang pedalaman. Tial-Slam memiliki soa ketiga sebagai simbol unit: soa turi. Tial-Serani, yang telah memisahkan diri dari Tial-Slam dan karenanya tidak dapat dibayangkan sebagai unit yang terpisah, tidak memiliki soa ini.

Pembagian ini ditemukan di setiap desa, sebagian besar sebagai laut-darat, atas-bawa, dan lain-lain. Tial adalah uli yang paling sederhana, uli teru yang masih dalam tahap embrio. Bagian lain dari Hitu adalah perut atau rahim.

Rolobessy dikenal sebagai Upu pelu pelu, yaitu Raja Hitu, King of Hitu3. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika desa Hitulama [Hitu Kuno] menjadi sangat penting ketika sistem tripartit ini dikembangkan. Menurut konsepsi adat/pribumi, Hitu dibangun sebagai berikut. Yang pertama adalah tatua teru, tiga tungku [atau perapian/dapur]:

Bila Hitu mengembang dan menyatu dengan tiga bagian Tomu: Tomu, Halu, dan Tala supi, maka akan terbentuk uli lima atau kelompok lima sebagai berikut:


Menghasilkan …..

Unit [rumah] Halu dan Hitu telah bergabung (Pelu menjadi Raja Hitu, dan sejak penggabungan hingga saat ini rumah Halu menjadi upu pelu).

Melalui berbagai pengaruh, unit kelima ini menjadi Raja Hitu dan empat pemimpin (perdana) negara.

 

Hal ini merujuk pada sejarah tertulis. Rijali banyak menceritakan tentang Raja dan empat perdana. Ia menceritakan bagaimana Raja Hitu dan empat perdana menambahkan tiga kampong [desa] ke wilayah mereka dan menjadi uli Hitu atau kelompok tujuh. Hal ini cukup konsisten dengan sistem:

 

Rijali juga menceritakan bagaimana empat perdana dan Raja Hitu, dengan membentuk uli-siwa [kelompok sembilan] dengan raja Nusamu4 dan perdana-nya, harus bergabung dengan uli siwa Lei-timor melawan Portugis. Konsep asli persatuan ini adalah sebagai berikut:

Setelah membentuk uli-siwa ini di bawah paksaan, orang Hitu bersikeras mempertahankan unit lima rangkap. Rijali mencatat bahwa ada satu Raja dan delapan perdana, tetapi lima penguasa.

Tidak semua sistem klasifikasi berdasarkan konsepsi asli dibangun secara konsisten seperti (menurut catatan tradisional) yang terjadi di Hitu. Kadang-kadang unit empat rangkap yang independen muncul, kadang-kadang unit dua rangkap yang independen. Saya mencoba mencari tahu apakah unit empat rangkap itu mungkin merupakan unit empat-lima yang ingatannya terhadap unit asli telah hilang, dan unit dua rangkap, dengan cara yang sama, merupakan unit dua-tiga yang unitnya telah hilang. Akan tetapi, secara umum, saya tidak dapat menemukan jejak kehilangan seperti itu. Oleh karena itu, mungkin saja dalam beberapa kasus angka genap dua dan untuk memainkan perannya sendiri dan tidak tunduk pada angka ganjil. Angka 6 dan 8, saya temukan selalu tunduk: 6 sebagian besar sebagai 2x3 +1; 8 yang sebagian besar digambarkan sebagai induk babi dengan delapan anak babi – setelah lahir keduanya menjadi yang kesembilan dan juga satuan – atau sebagai seikat delapan kelapa – tangkainya merupakan yang kesembilan dan juga satuan.

Struktur desa Assilulu, sebagaimana dipahami oleh penduduk setempat, dapat menjadi contoh kasus di mana angka dua dan empat memainkan perannya sendiri. Desa ini terdiri dari tiga desa kecil: Ili, Henna-helim dan Henna-haha. Ketiganya merupakan uli teru [kelompok tiga]. Dalam bahasa daerah mereka menyebut diri mereka Pessi nusa tello, yang berarti “penyatuan tiga pulau”. 

Dari ketiganya, Ili terbagi menjadi dua bagian: Ansan (daratan) dan Kalan (laut), atau soa Haselan dan Wahil. Dalam bahasa daerah, Ili disebut Nuru alua yang berarti “dua soa” [dua lingkungan]. Henna-haha disebut Teune ata, yang berarti “empat rumah”: Eli, Moni, Mamang, dan Ralalatu. Dalam bahasa daerah, Henna-heli disebut Teune telu [tiga rumah] dan karenanya merupakan uli teru asli yang terdiri dari Sameth sebagai unit dan mahulan serta Mahulete sebagai bagian-bagiannya:

 

Dari semuanya ini, Eli telah menjadi latu atau Raja, yang lainnya adalah delapan tukang [pengrajin, pekerja] atau mewakili delapan soa [atau "bangsal"]. Ini sekali lagi melengkapi seluruh uli-siwa [kelompok sembilan]. Berbagai bagian tersebut diperkirakan telah bersatu sebagai berikut:

 


Di sini kita melihat Assilulu sebagai uli-siwa lainnya. Uli-siwa semacam itu memiliki beberapa “pembesar” dengan nama yang berbeda. Di Ambon dan Kepulauan Lease, mereka sebagian besar disebut lebe, mauwin, atau tukang.

Dari lima lebe, ada satu untuk masing-masing dari tiga bagian: untuk Henna-haha: [disebut] lebe Eli, untuk Ili: [disebut]  lebe Kalan; untuk Henna-heli: [disebut] lebe Mahu. Dan dari dua lebe yang tersisa, satu untuk sisi tempat matahari terbit dan satu untuk sisi tempat matahari terbenam: lebe sanduan dan lebe lai. Tukang ira untuk sisi laut dan tukang molin untuk sisi darat; mauwin anakotta untuk sisi tempat matahari terbit di pegunungan dan mauwin pelu untuk sisi tempat matahari terbenam.

Konstruksi uli-siwa menurut konsepsi asli dalam kasus ini adalah sebagai berikut (lihat halaman 110)

 

=== bersambung ===

 

Catatan Kaki

1.    [Rijali adalah seorang Ambon terkemuka yang hidup pada paruh pertama abad ke-17 dan menulis sejarah tanah kelahirannya, Hikayat Tanah Hitu, yang mencakup periode dari tahun 1450 hingga 1646. Perpustakaan Universitas Leiden memiliki satu-satunya naskah lengkap sejarah ini (Cod.Or. 5448), dan transkripsi yang dibuat oleh Jansen dari beberapa fragmen naskah yang disalinnya di Hitu (semenanjung barat laut pulau Ambon) pada tahun 1926. Edisi naskah Leiden, dengan terjemahan dan komentar, sedang dipersiapkan pada saat penulisan]

2.      Alfur: istilah yang digunakan secara tidak tepat untuk menunjuk penduduk kepulauan Indonesia bagian timur yang belum memeluk agama Islam atau Kristen; orang-orang pedalaman]

3.      Arti dari kalimat ini adalah bahwa Pelu adalah nama sebuah marga di desa Hitulama. Upu, "leluhur", juga merupakan gelar kepala marga. Raja Hitu selalu adalah anggota marga Pelu di desa Hitulama. Arti Rolobessy tidak diketahui. Mungkin nama itu diketahui Jansen sebagai gelar atau nama kepala suku Pelu, dan, akibatnya, nama raja Hitu

4.      Baca : Nusanive [catatan oleh editor Adatrechtbundels]

 

Catatan Tambahan

a.    Herman/Hermen Jan Jansen, lahir di Zwolle pada 14 Agustus 1892 di Zwole dan meninggal pada 18 Februari 1942 di Ambon. Ia mulai bertugas di Ambon sebagai Controleur ter beschiking pada 1919 – 1922 dan 1923 – 1925. Menjadi Assistant-Resident onderafdeeling Ambon pada 1925 – 1928, penjabat assistant-resident onderafdeeling West Seran pada 1928 – 1929, dan Resident der Molukken pada 1937 – 1942.  

b.    Tulisan-tulisan dari H.J. Jansen yang kami ketahui misalnya

§  Gegevens over Boroe (1928)

§  Gegevens over Geser, Boela en de Gorong – of Goram Eilanden (1928)

§  Inheemsche Groepen-systemen in de Ambonsche Molukken (1929)

§  Aantekeningen op Huwelijksordonnatie 1861, enz (1929)

§  Oeli’s in de Molukken (1930)

§  Ethnographische Bijzonderheden van Enkele Ambonsche Negorijen (1930)

§  Iets over de Christen-Ambonsche wereld (1934)

c.    Sebenarnya dimulai pada halaman 100-115, namun halaman 100 berisi biografi singkat dari H.J. Jansen, mungkin dibuat oleh editor [P.E. de Josselin de Jong] atau penerjemah tulisan

d.    Pada versi bahasa Belanda yang dimuat dalam Adatrechtbundels volume 36, editor buku atau komisi menambahkan 5 catatan kaki, dan tidak memuat bibliografi, sedangkan pada versi bahasa Inggris, editor atau mungkin penerjemah menambahkan 8 catatan kaki dan bibliografi.

e.    Pada versi bahasa Belanda, H.J. Jansen menulis de allussa’s van Rijali. Kami tidak mengetahui secara persis arti atau makna dari kata allussa, tetapi mungkin maknanya sama dengan “hikajat”. Mungkin ini yang dipahami oleh penerjemah sehingga ia menerjemahkan kata allusa sebagai “history”

f.     Pada versi bahasa Belanda atau tulisan asli, H.J. Jansen tidak menulis tentang bagian dari sumber Valentijn yang ia kutip. Sumber dari Valentijn ini ditambahkan oleh penerjemah atau editor dalam versi Inggris

2 komentar:

  1. Sebagai karya ilmiah tentu dihargai, namun dalam konteks fakta lapangan dengan mengacu pada tulisan imam Rijali sangat jauh dari kondisi riil yg digambarkan Imam Rijali.

    BalasHapus
  2. terima kasih atas komentarnya, dan terima kasih juga sudah meluangkan waktu untuk mengunjungi blog kami dan membaca tulisan ini, semoga bisa bermanfaat

    BalasHapus