Rabu, 12 Maret 2025

Dari Konflik Eropa-Asia hingga warisan budaya : Identifikasi benteng-benteng Portugis dan Spanyol di Pulau Ternate dan Tidore

(Bag 1)

[Manuel Lobato]

 

A.      Kata Pengantar

Pada awal abad ke-16, Portugis tiba di Maluku, dan mulai sejak saat itu, mereka mulai membangun feitoria (pos dagang) maupun kastil atau benteng, baik berukuran sederhana maupun “mewah”. Dimulai pada tahun 1522, mereka mulai membangun benteng di Ternate, hingga misalnya di Ambon pada tahun 1576. Tujuan-tujuan utama pembangunan benteng maupun pos dagang adalah tentunya pertimbangan ekonomi maupun militer dalam rangka mempertahankan dominasi mereka di wilayah yang mereka tempati dan “kuasai”. Hal yang sama juga dilakukan oleh Spanyol, yang tiba beberapa tahun kemudian setelah Portugis, meskipun barulah di awal abad ke-17, mereka mulai membangun benteng di Ternate dan Tidore. 


Benteng-benteng tersebut hingga kini masih “ada”, baik dalam bentuk reruntuhan, maupun masih terawat dengan baik. Benteng-benteng milik Portugis dan Spanyol itulah yang menjadi bahasan utama Manuel Lobato dalam artikel yang ditulisnya ini. Artikel ini berjudul From European-Asian Conflict to Cultural Heritage : Identification of Portuguese and Spanish Forts on Ternate and Tidore Islands, dipublikasi oleh Laura Jarnagin (ed) dalam buku berjudul Portuguese and Luso-Asian Legacies in Southeast Asia, 1511 – 2011, volume 2, dengan “sub judul” Culture and Identity in the Luso-Asian World : Tenacities and Plasticitiesa, diterbitkan tahun 2012, di Singapura, oleh Institute of Southeast Asian Studies. Pada volume II ini, terdiri dari 3 bagian atau “bab”, dimana artikel/tulisan Manuel Lobato ditempatkan di bagian/bab II, dengan “sub judul” Cultural Components : Language, Architecture and Music, artikel ke-4, halaman 179 – 207b. Perlu juga diketahui bahwa banyak tulisan yang dipublikasi dalam buku ini adalah materi yang disajikan dalam konferensi yang diadakan di Singapura, pada tanggal 28 – 30 September 2010.

Artikel yang ditulis Manuel Lobato ini sepanjang 28 halaman, dengan 107 catatan kaki, dan 4 gambar ilustrasi (3 foto dan 1 lukisan berupa peta). Kami mencoba menerjemahkan dan membagi tulisan ini menjadi 2 bagian, menambahkan sedikit gambar ilustrasi dan catatan tambahan yang kami anggap bisa ditambahkan. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat

 

B.      Terjemahan

Ketika kita berpikir tentang benteng-benteng Portugis di Kepulauan Melayu, yang langsung terlintas dalam pikiran adalah gambaran seperti Famosa di Malakac atau Benteng Victoria di Pulau Ambond. Mengingat keunggulannya, bukanlah tugas yang mudah untuk menyajikan materi baru mengenai kedua benteng Portugis ini. Sebaliknya, beberapa benteng lain di wilayah tersebut yang dibangun oleh Portugis dan Spanyol selama sekitar satu abad tidak cukup dikenal, bahkan oleh para sejarawan yang menangani Asia Tenggara di zaman modern. Sebenarnya, warisan sejarah dan budaya Iberia di Kepulauan Melayu mencakup sejumlah benteng dan sisa-sisa benteng di seluruh kepulauan Maluku Utara, terutama yang berada di pulau Ternate dan Tidore. Di lokasi-lokasi ini, benteng-benteng Portugis berasal dari antara tahun 1522 dan 1603; benteng-benteng asal Spanyol berasal dari tahun 1606 dan seterusnya, ketika kepulauan Maluku, sebagai bagian dari kekaisaran Portugis di Asia, atau Estado da Índia, dimasukkan ke dalam Filipina. Bangsa Spanyol meninggalkan Maluku pada tahun 1663, tetapi tidak ada indikasi bahwa mereka membangun benteng baru setelah tahun 1637. Benteng dan reruntuhan benteng tersebar di seluruh pulau Ternate, Tidore, Halmahera, Bacan, Seram, dan Ambon, tempat lebih dari dua puluh situs arkeologi Iberia dapat diidentifikasi dari total sembilan puluh enam benteng yang dibangun di wilayah tersebut oleh penguasa lokal, orang Eropa, dan Jepang1.

Warisan ini hampir terlupakan hingga saat ini oleh historiografi Portugis dan Spanyol. Pada akhir tahun 1980-an, Florentino Rodao, seorang sejarawan Spanyol, dalam sebuah artikel yang diilustrasikan oleh foto-foto benteng di Ternate dan peta yang menunjukkan lokasinya, melakukan upaya pertama untuk mengidentifikasi benteng-benteng tersebut dan reruntuhannya secara positif melalui pengamatan langsung dan melalui bahan-bahan sastra2. Selama abad ke-19, beberapa sejarawan Belanda dan pejabat kolonial terpelajar mengerjakan warisan arsitektur ini berdasarkan catatan dan laporan yang dihasilkan oleh perwakilan dan administrator Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), atau Perusahaan Hindia Timur Belanda3.

Pada tahun 1955, mungkin berdasarkan informasi yang dikumpulkan di lapangan, Profesor Charles Boxer merilis foto Benteng Toluku di Pulau Ternate, yang menurutnya didirikan oleh Portugis4. Faktanya, benteng ini dibangun pada tahun 1607 oleh orang Spanyol yang datang dari Filipina5


Di antara semua benteng yang dibangun oleh Portugis di Kepulauan Malaya selama abad ke-16, hanya tiga di antaranya — Malaka (1513), Pasai (1521) dan Ternate (1522) — yang langsung diperintahkan oleh istana kerajaan Portugis. Pembangunan benteng Portugis pertama di Ternate dilakukan atas perintah langsung dari raja Portugal, Dom Manuel I (memerintah 1495–1521), meskipun benteng itu dibangun setelah kematiannya. Karena alasan ini dan juga karena ciri-ciri arsitekturnya, ketiga benteng ini semuanya dapat dianggap bergaya "Manueline", yang berasal dari era akhir abad pertengahan6.

Namun, benteng-benteng lainnya dibangun atas inisiatif masing-masing wakil kerajaan Portugis, serta para pedagang, misionaris, casados ​​(secara harfiah berarti "pria yang sudah menikah") dan para pemimpin mestizo. Jadi, bahkan benteng-benteng Nossa Senhora da Anunciada di pulau Ambon, dan Reis Magos di pulau Tidore (satu-satunya, selain yang di Ternate, yang secara resmi dimiliki Portugis di seluruh Maluku) keduanya dibangun atas inisiatif kapten Ambon, Sancho de Vasconcelos, masing-masing pada tahun 1576 dan 1578.

Akhirnya, sejumlah benteng kecil dan pos perdagangan berbenteng lainnya, yang bersifat sementara dan terbatas fungsinya, sebagian besar dibangun dengan bahan yang mudah rusak seperti kayu atau lumpur, dan jarang sekali dari batu. Benteng-benteng ini dibangun atas inisiatif kapten benteng utama, komandan kapal, dan misionaris, beserta dukungan dari penduduk setempat. Sebenarnya, sistem pertahanan sering kali dibatasi pada pagar yang dibangun untuk melindungi desa adat/pribumi yang sudah ada sebelumnya, seperti yang didirikan oleh pendeta Jesuit Diogo de Magalhães di Nusanivee, di Pulau Ambon, pada tahun 15627.

 

Benteng SÃO JOÃO BAPTISTA di TERNATE

Pada bulan Juni 1522, empat bulan setelah kapal Victoria dan Trinidad dari armada Ferdinand Magellan meninggalkan pulau Tidore, António de Brito, kapten Portugis pertama di Maluku (1522–1526), mendirikan benteng São João Baptista di pulau Ternate. Ini merupakan tanggapan Dom Manuel I terhadap permohonan Abu Lais (memerintah sekitar tahun 1501–1521), sultan Ternate, yang meminta dukungan Portugis untuk meningkatkan kekuasaannya atas para penguasa Maluku. Akan tetapi, alasan utama Dom Manuel memerintahkan pembangunan benteng di Maluku — dan satu lagi di Selat Sunda, yang tidak akan pernah dibangun — adalah untuk mencegah orang-orang Spanyol menetap di wilayah yang luas ini, yang mereka ketahui melalui desas-desus dari para pelaut Portugis. Sejak tahun 1516, mahkota Spanyol telah mengklaim kepemilikan wilayah tersebut berdasarkan Perjanjian Tordesillas tahun 1494, yang dengannya Paus membagi dunia menjadi dua wilayah pengaruh yang terpisah, satu oleh Portugal dan yang lainnya oleh Spanyol8.

Lokasi pasti dan ciri-ciri arsitektur benteng Portugis pertama di Maluku diketahui dengan baik oleh kita dari banyak kesaksian dan referensi sastra, ikonografi, dan sisa-sisa arkeologi bangunan utama, yang sekarang sangat hancur. Lokasi benteng ini awalnya dipilih oleh Tristão de Meneses, komandan ekspedisi Portugis ketiga yang dikirim dari Malaka ke Maluku, pada bulan Mei 1518, atas inisiatif gubernur Estado da Índia, Lopo Soares de Albergaria (1515–1518), dan dukungan kapten jenderal Laut Malaka, Aleixo de Meneses (1518)9, yang menyediakan satu kapal dan lima puluh orang, bahan makanan dan barang dagangan, dengan biaya dari kas kerajaan dan beberapa pedagang Asia dari Malaka, pemilik dua kapal jung yang bergabung dengan armada10.

Tristão de Meneses ditugaskan untuk membangun benteng di Maluku, mungkin di pulau Makian, yang wilayahnya dibagi oleh raja-raja Ternate dan Tidore. Raja-raja ini dan Ala-ud-Dinf, raja Bacan, semuanya menginginkan benteng itu dibangun di tanah mereka sendiri. Karena takut menjadi penyebab konflik besar di antara raja-raja ini, yang menurutnya akan merugikan kepentingan komersial Portugis, Tristão de Meneses menghentikan pembangunan benteng tersebut, dan mengumumkan niatnya untuk sekadar mengumpulkan informasi tentang tempat di mana benteng masa depan akan dibangun11. Ia kemudian memilih tempat yang berjarak satu liga dari Talangame, sebuah pelabuhan laut dalam di Pulau Ternate, bebas dari terumbu karang, tempat kapal-kapal jung Melayu dari Malaka biasa berlabuh. Pelabuhan ini juga telah digunakan sejak tahun 1516 oleh kapal-kapal Portugis yang datang dari Malaka untuk memuat cengkeh yang disediakan oleh Francisco Serrão, orang Portugis pertama yang menetap di Maluku, tempat ia mengalami karam kapal pada tahun 1512, bersama dengan sepuluh rekannya lainnya12

 


Di pantai tenggara pulau itu, benteng itu dibangun di dekat istana sultan13, yang oleh João de Barros disebut sebagai “kota Ternate”14. Galvão, kapten Portugis ketujuh dari Ternate (1536–1539), menunjukkan ketidaknyamanan pilihan itu, berdasarkan jarak yang sangat jauh yang memisahkan benteng dari pelabuhan Talangame, dan terutama mengingat paparan lalu lintas kapal terhadap aksi armada milik raja pulau tetangga Tidore15. Ternate memiliki pelabuhan air dalam lain yang cukup untuk menerima kapal-kapal besar dan galleon, yang berdiri di dekat desa Toluku yang disebutkan sebelumnya, satu liga di timur laut Talangame, yaitu, dua liga dari benteng Portugis16.

Awalnya, komando armada, yang berlayar dari Lisbon pada bulan April 1521 untuk membangun benteng di Maluku, ditugaskan kepada Jorge de Brito, yang ditunjuk untuk menggantikan Jorge de Albuquerque, kapten Malaka (1514–1515 dan 1521–1525)17. Akan tetapi, Jorge de Brito, setelah singgah di Goa, tewas dalam pertempuran kecil di Sumatra. Berdasarkan instruksi kerajaan, saudaranya, António de Brito, menggantikannya sebagai komandan armada. Karena keterlambatan di Sumatra, Malaka18 dan Banda, armada António de Brito berlabuh di Ternate pada bulan Mei 1522, terlambat untuk mencegat kapal-kapal Spanyol Victoria dan Trinidad, yang telah meninggalkan Tidore empat bulan sebelumnya19.

Berdasarkan peraturan, António de Brito mengambil alih tugas membangun benteng dan pos perdagangan (feitoria)20, dua entitas yang berbeda, mungkin dirancang untuk beroperasi secara terpisah di bangunan yang berbeda, seperti yang akan terjadi21. Brito membawa beberapa tukang batu dan seorang tukang batu utama dari Portugal, serta ornamen untuk gereja yang akan dibangun di dalam benteng22. Meskipun demikian, kekurangan tenaga kerja tidak memungkinkan pekerjaan tersebut berjalan sesuai dengan kecepatan yang diinginkan. “Ibu suri” Niachil Boki Raga, janda mendiang Sultan Abu Lais (alias Bayan Sirrullah; memerintah sekitar tahun 1501–1521), dan saudaranya, Cachil Daroes (Darwis), bupati kesultanan selama masa kecil Sultan Abu Hayat (memerintah tahun 1521–1529), menangguhkan kebijakan sebelumnya dari sultan yang telah meninggal dan janjinya untuk mendukung Portugis23, yang mengalami kesulitan besar dalam mendirikan bagian tembok yang menghadap ke laut dan lantai pertama (sobrado) menara (torre de menagem), yang sekarang sudah runtuh (lihat Gambar 8.1)24

 

 

Pada dekade-dekade awal, benteng tersebut hanya terdiri dari menara dua lantai di dalam perimeter trapesium berdinding dengan panjang 27 hingga 24 depa, tinggi dua belas di tepi laut, dan tinggi delapan di puncak, menghadap gunung berapi. Dinding-dindingnya menjadi pertahanan yang lemah karena terbuat dari lumpur dan lembab, alasan tidak adanya relung, dan juga terlalu rendah di tepi laut25 dan sisi yang menghadap ke pedalaman pulau, meskipun, dengan tinggi sekitar dua puluh lima kaki, melebihi tinggi dinding benteng Malaka26.

Benteng itu kurang efektif, tidak hanya untuk keperluan militer, tetapi juga untuk fungsi administratif dan perdagangan pabrik cengkeh. Barak dan gudang yang terletak di dalam area berdinding ditutupi dengan ijuk. Desain dan fitur yang buruk dikecam oleh banyak kesaksian yang berasal dari pertengahan abad ke-16. Faktanya, benteng — atau “benteng batu dan kapur, persegi, dan tidak kalah kuat dari kandang sarang lebah”27, dalam kata-kata ironis penulis sejarah Gabriel Rebelo — dibangun untuk menahan serangan dari angkatan laut Spanyol dan sekutu regionalnya. Perhatian khusus diberikan untuk menempatkan benteng di tempat yang tidak dapat dijangkau oleh artileri yang ditembakkan dari atas kapal, yang sangat kontras dengan pengabaian yang ditunjukkan terhadap kemungkinan pengepungan oleh pasukan Ternate setempat. Karena tetangga-tetangga ini diketahui menentang pembangunan benteng di pulau mereka, sekitar 120 tentara Portugis bekerja keras selama beberapa bulan untuk mendirikannya.

Benteng Portugis di Ternate menerima perbaikan berturut-turut. Kapten Gonçalo Pereira (1530–1531) mulai membangun dua benteng pertahanan di tempat yang sebelumnya merupakan “tembok kasar”28. Menurut João de Barros, Kapten António Galvão (1536–1539) “membangun bangunan dan area kerja yang diperlukan menggunakan batu dan kapur, karena sebelumnya benteng dibangun dengan bahan-bahan yang lemah dengan cara lokal dan kompleks dikelilingi oleh tembok”29. Untuk meningkatkan pertahanan tepi lautnya, bastion baru dibangun di sudut-sudut yang menghadap ke laut. Fernão de Sousa, seorang insinyur militer dan pengawas pekerjaan benteng Portugis di Asia, yang mengunjungi Maluku selama masa kapten Jorge de Castro (1539-1544), bertanggung jawab atas yang pertama dari dua benteng ini30. Castro menyebutkan bahwa Sousa membangunnya untuk menggantikan yang lebih tua yang sebagian terbuat dari kayu, dengan kerja sama, kali ini, dari raja-raja Ternate dan Tidore31.

Namun, terlepas dari semua perbaikan ini, Baltasar Veloso, seorang casado penduduk Ternate, menulis kepada raja Portugal pada tahun 1547, menegaskan bahwa benteng itu hanyalah "kandang untuk kambing"32. Memang, lima tahun kemudian ditemukan sebagian rusak, karena kehilangan hampir semua bangunan di dalamnya33. Satu benteng juga runtuh, dibangun kembali oleh Kapten Duarte d'Eça (1555–1558), dengan bantuan dari Sultan Hairun (memerintah 1536–1545 dan 1546–7150). Kedua benteng itu akhirnya hancur total selama pengepungan jangka panjang yang dilakukan oleh Sultan Baab Ullah (memerintah 1570–1583), yang memperbaikinya setelah pengusiran Portugis dari Ternate pada tahun 1575.

Penulis sejarah Gabriel Rebelo, seorang casado lain yang tinggal di Ternate, tempat ia menduduki beberapa jabatan kerajaan, telah meninggalkan deskripsi terbaik tentang benteng ini34. Terletak di sebelah "kota Moor", desa yang berfungsi sebagai ibu kota bagi sultan, benteng itu didirikan di terumbu karang tinggi yang menghadap ke poço (secara harfiah, "sumur"), yang juga dikenal sebagai calheta, atau pelabuhan kecil35, tempat kapal-kapal kecil, seperti karavel, dapat menemukan tempat berlabuh yang aman saat air pasang36, kurang dari seperempat mil (200 depa) jauhnya dari benteng. António Galvão, dibantu oleh vikaris, Fernão Vinagre, dan beberapa pekerja pribumi, yang berkumpul pada saat pembangunan masjid, berkomitmen untuk melepaskan diri dari terumbu karang di dalam tempat berlabuh ini yang membuatnya berbahaya saat air surut37. Di sepanjang tempat berlabuh kecil ini, ia mendirikan kapel atau pertapaan Nossa Senhora da Barra, yang telah lama menghilang38. Di tempat yang menonjol yang menghadap ke pantai, benteng itu terbuka terhadap angin, yang membuatnya sehat dan mencegahnya dari kerusakan oleh meriam yang ditembakkan dari kapal. Pada tahun 1552, tidak ada "bangunan beratap di dalamnya"39, yang memaksa raja Jeilolo untuk membayar tiga ribu ola upeti (páreas) setiap tahun untuk menutupi barak dan gudang dengan ijuk, persyaratan yang disebutkan dalam peraturan benteng (regimento) yang jarang ia patuhi40.

Permukiman Portugis di dekat tembok benteng dikelilingi oleh pagar kayu. Setelah terbakar beberapa kali, António Galvão membangunnya kembali dengan lumpur, katanya, dengan lubang pertempuran dan benteng41, mirip dengan benteng di Malaka, di mana pagar pertahanan lokal secara bertahap digantikan oleh dinding dari batu bata dan lumpur. Galvão memaksa Portugis membangun rumah-rumah mereka dari batu dan kapur dengan cerobong bergaya Portugis42. Ia juga melindungi rumah pabrik dengan dinding dari lumpur dan membangun beberapa bangsal atau gudang untuk cengkeh di dalamnya43. Jadi, dengan membangun kembali permukiman Portugis di Ternate dan sebagai tambahan pada bangunan-bangunan baru yang terbuat dari batu dan semen, António Galvão memperkenalkan tipe perkotaan baru dengan memetakan jalan-jalan menurut pola yang biasanya digunakan di Portugal. Model ini segera ditiru secara lokal oleh sultan, yang juga membangun kembali ibu kotanya, yang, bersama dengan permukiman Portugis, membentuk satu inti perkotaan di mana penggunaan bahan-bahan yang mudah rusak dari tradisi arsitektur lokal sebagian ditinggalkan44. Bersandar pada dinding benteng adalah rumah-rumah yang dibangun oleh para misionaris Jesuit untuk dijadikan tempat tinggal dan markas besar misi Maluku45.

 

The Residences of the Sultan of Ternate:  Gamalama and Toluku

Benteng São João Baptista jatuh ke tangan Sultan Baab Ullah (memerintah 1570–1583) dari Ternate pada tahun 1575 setelah pengepungan selama lima tahun, sebuah fakta yang diabadikan dalam sebuah monumen di tempat itu, yang didirikan di sana pada kesempatan peringatan empat ratus tahun peristiwa ini. Selama penyerangan, kedua benteng itu runtuh, seperti yang disebutkan sebelumnya. Orang Ternate, dengan bantuan militer dari para prajurit Jawa, mengubah garis besar benteng itu secara mendalam, mengubahnya menjadi kompleks militer dengan fitur-fitur lokal yang luar biasa, dikelilingi oleh lubang galian di tanah dan tembok batu di sekeliling perimeter yang menggabungkan pemukiman Portugis dan Muslim sebelumnya, keduanya diubah menjadi benteng tunggal yang hampir tidak dapat ditembus. 

 

 

Di dalam kompleks ini masih terdapat benteng itu sendiri, yang dianggap oleh gubernur Filipina, Pedro de Acuña (1602–1606), yang akan merebutnya pada tahun 1606, terlalu kecil untuk menampung tentara dan memasang persenjataan yang diperlukan untuk mempertahankannya dari Belanda dan Ternate. Akan tetapi, deskripsi benteng ini — yang ditulis oleh Juan de Esquivel, gubernur pertama Spanyol di Malukug, yang bertugas di bawah Pedro de Acuña dan mengambil bagian dalam pencapaiannya — mengungkap bahwa, di bawah Sultan Said al-din Berkat Syah (memerintah 1583–1606), benteng tersebut menjadi rumah keluarga kerajaan dan mengalami rekonstruksi ekstensif dengan ciri-ciri tradisi bangunan Austronesia. Sistem benteng yang diwarisi dari Portugis dipertahankan, tetapi benteng tersebut menerima nama baru, seperti Cachil Tulo, yang mungkin berasal dari nama orang yang bertanggung jawab atas pertahanannya46. Karakteristik yang dicatat oleh Esquivel mirip dengan yang kita amati saat ini di Benteng Toluku, yang dibangun setelah 1612, di bawah Sultan Muzaffar (memerintah 1606–1627), putra dan penerus Sultan Said Berkat, untuk menggantikan benteng Portugis lama yang telah jatuh ke tangan orang-orang Spanyol. Ciri-ciri ini disebutkan dalam kutipan dari surat Juan de Esquivel kepada Pedro de Acuña:

Benteng yang dimiliki Yang Mulia di tempat ini adalah rumah bertembok tanpa perlawanan terhadap artileri … sehingga tidak lebih berguna bagi musuh daripada menjadi rumah tempat tinggalnya … [pertahanannya] adalah tembok di pintu masuk tempat itu dengan dua … bastion bundar dan yang sama di sisi yang berlawanan dan karena tempat itu membentang di sepanjang pantai, jaraknya harus lebih dari dua mil dari satu tembok ke tembok lainnya47.

 

Faktanya, benteng Toluku aslinya bukan milik penduduk asli, tetapi milik Spanyol. Memang, Kapten Fernando de Ayala, komandan lima kompi prajurit, ditugaskan oleh gubernur Filipina, Juan de Silva, untuk membangunnya; seperti yang dikatakannya sendiri: “Saya membuat benteng bernama San Juan de Toloco yang [jaraknya] merupakan tembakan meriam dari benteng Melayu”48. Pembangunannya mungkin dimulai pada tahun 1606 atau 1607, setelah ditinggalkan oleh orang Spanyol antara tahun 1609 dan 161349.

 

Ciudad del Rosario

Gubernur Filipina, Pedro de Acuña, atas permintaan para biarawan Dominikan yang menemaninya dalam perjalanan ke Ternate, masing-masing mengganti nama benteng dan lingkungan kota kecil tersebut menjadi benteng Nuestra Señora del Rosario dan Ciudad del Rosario. Dengan demikian, asal usul nama kota ini bukanlah dari Portugis, bertentangan dengan pendapat sarjana Belanda François Valentijn (1666–1727) dalam karyanya Oud en Nieuw Oost-Indien (Hindia Timur Lama dan Baru), yang diterbitkan pada tahun 1724. Orang-orang Spanyol juga kadang-kadang menyebutnya sebagai garnisun tetap (presidio), benteng, atau kota Ternate, sementara penduduk asli lebih menyukai dan terus menyukai nama-nama Gamalama (secara harfiah, "Tempat Besar" atau "kota besar", sebuah istilah yang diberikan ke berbagai situs yang tersebar di sekitar pulau yang pernah menjadi tempat tinggal para sultan), dan istilah Kastela, korupsi dari castelo (benteng), sebuah istilah yang dicatat oleh penulis sejarah Gabriel Rebelo yang disebutkan di atas dalam tulisan-tulisannya pada pertengahan abad ke-16 dan dengan demikian tentu saja menegaskan penggunaan umumnya50.

 

 

Dalam merekonstruksi kompleks pertahanan Ternate yang dijelaskan di bagian sebelumnya, orang-orang Spanyol mengubahnya menjadi kompleks baru yang dibuat berdasarkan citra Manila, ibu kota Filipina. Bekas benteng Portugis tersebut terus menjadi inti dari Ciudad de Nuestra Señora del Rosario yang baru, yang dirancang oleh orang-orang Spanyol sebagai "kubus", yang ditempati oleh gedung-gedung administrasi (casas reales), kediaman gubernur, gudang-gudang kerajaan, dan gereja paroki.

Inti ini dikelilingi oleh dua tembok, yang paling luas dengan enam bastion, yang masing-masing menembakkan dua puluh meriam. Di dalam — yaitu, di ruang antara dua perimeter berdinding — terletak kota Spanyol itu sendiri, yang memiliki dua biara (San Francisco dan San Augustín), perguruan tinggi Jesuit, dan rumah sakit. Di luar perimeter yang dibentengi dan bersandar pada tembok luar terletak kota mardika atau orang-orang merdeka (kebanyakan mestizo Kristen Portugis-Asia), kawasan Cina, rumah-rumah infanteri Spanyol, dan kompi milisi Pampanga Filipina51. Pengaturan baru ini selesai pada tahun 161952 ketika sekitar dua ribu jiwa tinggal di kota itu, dan berlangsung hingga tahun 1663, ketika Manila memutuskan untuk meninggalkan Maluku.

Selain beberapa bagian tembok yang hancur dan fondasi rumah sakit, hanya menara Portugis lama yang tersisa, dalam keadaan hancur, hingga lantai pertama. Menara itu dulunya memiliki tiga lantai, yang mudah dikenali dari denahnya, ketebalan dinding, dan fondasi yang kuat (sebagian tidak tertutup), yang semuanya merupakan ciri khas menara bergaya Manueline yang dibangun di berbagai bagian kekaisaran Portugis di Afrika dan Asia, terkadang menggunakan batu yang sudah diukir sebelumnya dan bahan-bahan lain yang dibawa dari Portugal.

Kondisi benteng Portugis lama yang rusak sebagian disebabkan oleh pembongkaran situs kompleks benteng pada tahun 1663 oleh gubernur Spanyol terakhir di Maluku, Francisco de Atienza (1659–1660 dan 1663), yang mengikuti perintah gubernur Filipina, Manrique de Lara (1653–1663)53. Akan tetapi, meskipun ada referensi Spanyol tentang pembongkaran sisa-sisa semua benteng Spanyol di Maluku oleh Belanda, dengan menggunakan kembali bahan-bahan tersebut di bangunan mereka sendiri, laporan semacam itu sebagian dibantah oleh catatan Belanda dan oleh sisa-sisa fisik yang masih berdiri. Mengenai hal ini, Pastor Hubert Jacobs yang berwibawa menyatakan, dengan keakuratannya yang terkenal:

Dalam laporan-laporan Spanyol, penghancuran benteng-benteng Maluku tampak selalu lebih menyeluruh daripada dalam catatan-catatan Belanda. Daghregister 1663 melaporkan bahwa Gamulamo yang hancur "dapat segera dijadikan tempat pertahanan" (531–532). Bahkan disebutkan bahwa VOC menempatkan garnisun kecil di sana. Reruntuhan benteng ini dapat dilihat hingga saat ini: potongan-potongan benteng, beberapa lubang, bangunan tengah berbentuk persegi yang dulunya merupakan menara pertahanan Portugis, pemecah gelombang yang masih utuh, dan di luar benteng terdapat tembok rumah sakit, fondasi gereja, dan kolam berdinding yang masih utuh54.

 

==== bersambung ====

 

Catatan Kaki

1.       Lihat “Appendix E” in Pusat Dokumentasi Arsitektur, Inventory and Identification of Forts in Indonesia (Jakarta: Pusat Dokumentasi Arsitektur, 2006).

2.      Florentino Rodao, “Restos de la presencia ibérica en las islas Molucas”, in España y el Pacífico, edited by F. Rodao and Leoncio Cabrero (Madrid: AECI-AEEP,  1989), halaman 243–54.

3.      F.S.A. de Clercq, Ternate: The Residency and Its Sultanate, edited and translated by P.M. Taylor and M.N. Richards, digital ed. (Washington, D.C.: Smithsonian Institution Libraries, 1999),<http://www.sil.si.edu/digitalcollections/ anthropology/ternate/ternate.pdf> (accessed 26 March 2007). Originally published as Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate (Leiden: Brill, 1890).

4.      Charles Boxer and Frazão de Vasconcelos, André Furtado de Mendonça (Lisbon: Agência Geral do Ultramar, 1955; repr., Lisbon: Fundação Oriente; and Macao: Museu e Centro de Estudos Marítimos, 1989), foto antara halaman 70 – 71.

5.      Méritos y servicios Fernando de Ayala, 23 July 1622, Patronato 53, ramo 25, Archivo General de Indias (hereafter cited as AGI), Seville, apud Marco Ramerini, Le fortezze spagnole nell’isola di Tidore, <http://www.colonialvoyage. com/molucche/4_fortispagnoli.html> (accessed 24 April 2008). This work is no longer freely available on-line, having been converted into an e-book, for sale at<http://ilmiolibro.kataweb.it/schedalibro.asp?id=18032>.

6.      Benteng-benteng Portugis di Pasai hanyalah “benteng kecil” yang diperkuat oleh 60 meriam. Benteng ini direbut oleh Sultan Aceh pada tahun 1523. Lihat  Lembranças de cousas da Índia em 1525”, in Subsídios para a Historia da India Portugueza, edited by Rodrigo José de Lima Felner (Lisbon: A.R.S., 1868), halaman 16; Jorge M. Dos Santos Alves, “Une ville inquiète et un sultan barricadé: Aceh vers 1588 d’aprés le Roteiro das Cousas do Achém de l’Evêque de Malaka”, Archipel 39 (1990): halaman 94. Mengenai arsitektur militer bergaya “Manueline di Asia, lihat studi terbaru oleh André Teixeira, Fortalezas: Estado Português da Índia; A Arquitectura Militar na Construção do Império de D. Manuel I (Lisbon: Tribuna da História, 2008).

7.      Father Baltazar de Araújo to his brothers, Maluku, 24 February 1563, in Documentação para a História das Missões do Padroado Português do Oriente: Insulíndia, vol. 3, 1563–1567, edited by A. Basílio de Sá (Lisbon: Agência Geral do Ultramar, 1955), halaman 34.

8.      Mengenai detail-detail politik dalam pendirian benteng-benteng ini dan proses kesulitan dalam pembangunannya, begitu juga dengan tampilan-tampilan arsitekturnya, lihat Manuel Lobato, “Fortalezas do Estado da Índia: Do centro à periferia”, in A Arquitectura Militar na Expansão Portuguesa, edited by Rafael Moreira (Porto: Comissão Nacional para as Comemorações dos Descobrimentos Portugueses, 1994), halaman 43–55. Lihat juga  Política e Comércio dos Portugueses na Insulíndia: Malaca e as Molucas de 1575 a 1605 (Macao: Instituto Português do Oriente, 1999), halaman 102–04.

9.      King of Ternate to Garcia de Sá, captain of Malacca, 1520, in Sá, Documentação, vol. 1, 1506–1549 (Lisbon: Agêcia Geral do Ultramar, 1954), p. 118.

10.    Gaspar Correia, Lendas da Índia, vol. 2, edited by R.J. de Lima Felner (Lisbon: Typographia da Academia Real das Sciencias de Lisboa, 1856), halaman 711; and João de Barros, Décadas da Ásia de João de Barros: Década Terceira [1563], CDROM (Lisbon: Comissão Nacional para as Comemorações dos Descobrimentos Portugueses, 1998), bk. 5, chap. 6, halaman 272–73.

11.     Barros, Ásia, Década Terceira, bk. 5, chap. 6, halaman 272–73.

12.     Manuel Lobato, “A Man in the Shadow of Magellan: Francisco Serrão, the ‘Discoverer’ of the Maluku Islands (1511–1521)”, paper presented at the international seminar “Indonesia and Portugal: Past, Present and Future: In Commemoration of Ten Years of the Reestablishment of Diplomatic Relations”, Museu do Oriente, Lisbon, 16–17 November 2009.

13.     Diogo do Couto, Década Quarta da Ásia, vol. 1, edited by M.A. Lima Cruz (Lisbon: Comissão Nacional para as Comemorações dos Descobrimentos Portugueses, Fundação Oriente, and Imprensa Nacional - Casa da Moeda, 1999), bk. 7, chap. 7, halaman 393.

14.    Barros, Ásia, Década Terceira, bk. 5, chap. 6, halaman 274.

15.     António Galvão, A Treatise on the Moluccas (c. 1544): Probably the Preliminary Version of António Galvão’s Lost Historia das Molucas, edited by Hubert Jacobs (Rome: Jesuit Historical Institute; and St. Louis: St. Louis University, 1971), halaman 234.

16.    Gabriel Rebelo, “Informação sobre as Molucas”, text 1, in Sá, Documentação, 3:239, and similar in text 2, 3:380.

17.     Luís Filipe Thomaz, “O malogrado estabelecimento oficial dos portugueses em Sunda e a islamização de Java”, in Aquém e Além da Taprobana: Estudos LusoOrientais à Memória de Jean Aubin e Denys Lombard, edited by L.F. Thomaz (Lisbon: Centro de História de Além-Mar, 2002), 429n196 and 520n478.

18.    Detail-detail aktivitas pelayaran ini di Selat Malaka dapat dilihat dalam surat dari António de Brito to Jorge de Albuquerque, in Sá, Documentação, 1:129; “Noticia preliminar”, in Felner, Subsidios, p. xxxi; Correia, Lendas da Índia, 2:713; Caderno de Recibos do Almoxarife dos Mantimentos de Malaca, Corpo Cronológico, pt. 2, ms. 98, doc. 62, Arquivo Nacional da Torre do Tombo (hereafter cited as ANTT), Lisbon, apud Luís Filipe Thomaz, “As cartas malaias de Abu Hayat, sultão de Ternate, a el-rei de Portugal e os primórdios da presença portuguesa em Maluco”, Anais de História de Além-Mar 4 (2003): 430n159; Barros, Ásia, Década Terceira, bk. 5, chap. 7, p. 276, and reproduced by Manuel de Faria e Sousa, Asia Portuguesa, vol. 2, translated by M.V.G. Santos Ferreira (Porto: Livraria Civilização, 1947), pt. 3, chap. 5, p. 56. Tentang pasokan armada yang tidak mencukupi oleh Jorge de Albuquerque, captain of Malacca (1521–25), see “Sumário de uma carta de Simão de Abreu para el-rei”, Malacca, 11 January 1524, Núcleo Antigo, no. 75, fol. 28, ANTT.

19.    Rui Gago to the king, Maluku [Ternate], 15 February 1523, in Sá, Documentação, 1:161; and Correia, Lendas da Índia, 2:713.

20.    Testimony by Jorge Botelho, in As Gavetas da Torre do Tombo, vol. 3, edited by António da Silva Rego (Lisbon: Centro de Estudos Históricos Ultramarinos, 1963), halaman 27.

21.     Galvão, A Treatise on the Moluccas, halaman 294.

22.    António da Silva Rego, “As Molucas em princípios do século XVI”, in A Viagem de Fernão de Magalhães e a Questão das Molucas, edited by A. Teixeira da Mota (Lisbon: Junta de Investigações Científicas, 1975), halaman 82.

23.    Fernão Lopes de Castanheda, História do Descobrimento e Conquista da India pelos Portugueses, vol. 2, edited by M. Lopes de Almeida (Porto: Lello & Irmão, 1979), bk. 6, chap. 41, halaman 218.

24.    Gago to the king, in Sá, Documentação, 1:172.

25.    Vicente da Fonseca to the king, Maluku [Ternate], 8 December 1531, in Sá, Documentação, 1:237.

26.    António de Brito to the king, Ternate, 28 February 1525, in Sá, Documentação, 1:194. Informasi yang diungkapkan Brito tidak sejelas yang terlihat karena, menurut Galvão, tembok itu hanya setinggi delapan kaki di bagian tanah yang lebih tinggi, dan dua belas kaki di bagian yang lebih rendah. See Galvão, A Treatise on the Moluccas, p. 210.

27.    Informação das Molucas”, text 3, in Sá, Documentação, vol. 6, 1595–1599 (Lisbon: Centro de Estudos de História e Cartografia Antiga, Instituto de Investigação Científica Tropical, 1988), halaman 196.

28.    Couto, Década Quarta da Ásia, bk. 7, chap. 7, 1:382.

29.    João de Barros, Décadas da Ásia de João de Barros: Década Quarta [1615] CDROM (Lisbon: Comissão Nacional para as Comemorações dos Descobrimentos Portugueses, 1998 [1778–88]), bk. 9, chap. 22, p. 632. Perkataan Barros yang tidak jelas menunjukkan bahwa Galvão akan menambahkan tembok ke benteng tersebut, yang sebelumnya belum rampung, atau bahwa ia akan memasukkan bagian-bagian desa Portugis yang sebelumnya berada di luar tembok kota ke dalamnya.

30.    Fernão de Sousa to the king, Bassein, 24 November 1547, in Diccionario Historico e Documental dos Architectos, Engenheiros e Constructores Portuguezes, vol. 2, edited by Sousa Viterbo (Lisbon: Imprensa Nacional, 1904), halaman 302; Sá, Documentação, 3:304; and Sá, Documentação, vol. 4, 1568–1579 (Lisbon: Instituto de Investigação Científica Tropical, 1956), halaman 468.

31.     Jorge de Castro to the king, Maluku [Ternate], 10 February 1544, in Sá, Documentação, 1:388–89. See also Rebelo, “Informação”, text 2, 3:198; and Jerónimo Pires Cotão, factor of Maluku, to the king, Ternate, 20 February 1544, in Sá, Documentação, 3:405.

32.    Baltazar Veloso to the king, Maluku, 20 March 1547, in As Gavetas da Torre do Tombo, vol. 1, edited by António da Silva Rego (Lisbon: Centro de Estudos Históricos Ultramarinos, 1960), halaman 520.

33.    Rebelo, “Informação”, text 2, Sá, Documentação, 3:491.

34.    Ibid., text 1, 3:304–05, and 4:468.

35.    Father Francisco Vieira to his Jesuit brothers in Portugal, Ternate, 9 March 1559, in Documenta Malucensia, vol. 1, 1542–1577, edited by Hubert Jacobs (Rome: Institutum Historicum Societatis Iesu, 1974), halaman 278.

36.    Bartolomé Leonardo de Argensola, Conquista de las Islas Malucas (1609; Madrid: Miraguano-Polifemo, 1992), p. 60, and similar in Pedro Fernández del Pulgar, Descripción de las Philippinas y de las Malucas e Historia del Archipiélago Maluco, desde su Descubrimiento al Tiempo Presente, ms. 3002, bk. 2, chap. 1, Biblioteca Nacional de Madrid, apud Maria Bellén Bañas Llanos, Islas de las Espécies: Fuentes Etnohistóricas sobre las Islas Molucas, s. XIV–XX (Cáceres: Universidad de Extremadura, 2000), halaman 133.

37.    Galvão, A Treatise on the Moluccas, halaman 190.

38.    Castanheda, História do Descobrimento, bk. 7, chap. 163, 2:833.

39.    Rebelo, “Informação”, text 2, Sá, Documentação, 3:491.

40.   Regimento pera a fortaleza de maluquo, in Diogo Velho, Regimento da Ordem … no Receber e Despender, Lisbon, 14 March 1578, Arquivo Histórico Ultramarino (Lisbon), Conselho Ultramarino, cod. 217, fol. 131.

41.    Galvão, A Treatise on the Moluccas, halaman 292.

42.    Barros, Ásia, bk. 9, chap. 22, halaman 632.

43.    Galvão, A Treatise on the Moluccas, halaman 294.

44.   Referensi yang tersebar dan terpisah-pisah mengenai perencanaan kota dan perkembangan selanjutnya tidak memungkinkan untuk mencapai kesimpulan yang pasti. Tampaknya, perkembangan ini terjadi pada tahap awal, karena bahan-bahan yang tidak mudah rusak untuk keperluan non-militer baru mulai digunakan di Malaka oleh para casado lokal, meskipun benteng Portugis ini jauh lebih penting dan lebih besar daripada Ternate. See Luís Filipe Ferreira Reis Thomaz, “Os Portugueses em Malaca: 1511–1580”, vol. 1 (Licenciatura thesis, Universidade de Lisboa, 1964), halaman 169.

45.    João de Lucena, História da Vida do Padre Francisco Xavier, vol. 2, edited by Luís de Albuquerque and M.G. Pericão (Lisbon: Alfa, 1989), bk. 4, chap. 14, halaman 65.

46.   See the letters from Juan de Esquivel to King Philip III, Ternate, 9 April and 2 May 1606, Patronato 47, ramo 3, 2, 1/14, and ramo 21, 1, 1–32, AGI, partially published by Francisco Colín and Pedro Chirino, Labor Evangélica, vol. 2, edited by Pablo Pastells, new ed. (Barcelona: Henrich, 1904 [1900–02]), pp. 48 and 56 (original ed.: Madrid, 1663).

47.    Colín and Chirino, Labor Evangélica, 2:56n.

48.   Lihat catatan kaki nomor 5 di atas.

49.   Benteng Spanyol di Toluku, yang bernama San Juan de Toluco, sebenarnya dibangun pada tahun 1611, di bawah pimpinan Kapten Jenderal Juan de Silva, yang berjarak sekitar setengah mil dari benteng Melayu, yang oleh Belanda disebut Benteng Oranye. Mengingat sulitnya usaha tersebut, orang-orang Spanyol mengorganisasi pasukan ekspedisi, yang dipimpin oleh Sersan Mayor Fernando de Ayala, untuk membangun Benteng Toluku (Méritos de Fernando de Ayala, 27 July 1643, Indiferente, 112, no. 47, AGI). Ini terdiri dari lima perusahaan di bawah komando Fernando Centeno Maldonado, Andrés Hinete dan Pedro Zapata  (Informaciones de Fernando Centeno Maldonado, 1615, Filipinas 60, no. 18; Méritos y servicios de Fernando de Ayala, 23 July 1622, Patronato 53, ramo 25, AGI). Ditinggalkan oleh orang Spanyol segera setelah pembangunannya, Benteng Toluku diduduki oleh Belanda, yang menamainya Benteng Hollandia. Lihat catatan kaki nomor 5 di atas.

50.    Gabriel Rebelo, “Informação das Molucas”, text 3, in Sá, Documentação, 6:196.

51.     Pasukan Cadangan ini berasal dari Pampanga, Profinsi di Philipina, utara Manila di Pulau Luzon. Cf. Documenta Malucensia, vol. 3, 1606–1682, edited by Hubert Jacobs (Rome: Institutum Historicum Societatis Iesu, 1984), halaman 602 dan 602 catatan kaki nomor 3. Mereka membantu orang-orang Spanyol secara militer sambil menjaga pemimpin tradisional dan identitas etnis mereka, seperti yang ditunjukkan dalam perlakuan yang diberikan melalui gelar don kepada kapten mereka; see Gary William Bohigian, “Life on the Rim of Spain’s Pacific-American Empire: Presidio Society in the Molucca Islands, 1606–1663”, master’s thesis, University of California, Los Angeles, 1994, halaman 93 dan 330.

52.    Anonymous, “Relação breve da ilha de Ternate Tidore e mais ilhas Malucas, aonde temos fortaleza e presidios, e das forças, naos e fortalezas que o enemigo olandes tem por aquellas partes”, in Documentação Ultramarina Portuguesa, vol. 1, edited by António da Silva Rego (Lisbon: Centro de Estudos Históricos Ultramarinos, 1960), pp. 163–70, and repeated in vol. 2 (1962), pp. 49–56. About the city of Rosario on Ternate, see 1:165 and 2:50.

53.    Ada alasan kuat untuk berpikir bahwa Gubernur Atienza gagal menghancurkan benteng Spanyol di Maluku karena hal ini belum terlaksana hingga tahun 1666. See Leonard Y. Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period (Honolulu: University of Hawai’i Press, 1993), pp. 155–56.

54.    Documenta Malucensia, 3:659 and 3:659n3.

 

Catatan tambahan

a.      Buku berjudul Portuguese and Luso-Asian Legacies in Southeast Asia, 1511 – 2011 ini terdiri dari 2 volume, dan diedititori oleh Laura Jarnagin, dimana masing-masing volume mengambil “temanya” sendiri. Misalnya, volume I mengambil tema The Making of the Luso-Asian World : Intricacies of Engagement, diterbitkan tahun 2011, sedangkan volume II mengambil tema Culture and Identity in the Luso-Asian World : Tenacities and Plasticities, diterbitkan tahun 2012. Volume I, terdiri dari 3 bagian atau 3 bab berisikan 12 artikel/tulisan

b.      Seperti pada Volume I, Volume II ini juga terdiri dari 3 bagian atau “bab”, dimana tiap bab mengambil “sub judul” sendiri, dan tiap bab/bagian terdiri dari beberapa artikel/tulisan. Bab I, sub judulnya Crafting Identity in the Luso-Asian World, terdiri dari 4 artikel, Bab II, sub judulnya Cultural Components: Language, Architecture and Music, terdiri dari 5 artikel, dan Bab III, sub judulnya Adversity and Accommodation, terdiri dari 3 artikel. Artikel Manuel Lobato ada di bab II, artikel ke-4 atau artikel ke-8 dari 12 artikel yang dipublikasikan dalam buku tersebut.

c.      Fortaleza de Malaca atau A Fomosa didirikan tahun 1513

d.      Nossa Senhora da Anunciada didirikan tahun 1576

e.      Pada surat Baltazar de Araújo [lihat catatan kaki nomor 7 di atas] negeri Nusanive/Nusaniwe ditulis Roçanive

f.       Ala-ud-Din, raja/sultan Bacan memerintah 1520 – 1557

g.      Juan de Esquivel, lebih tepatnya kapten benteng Spanyol di Ternate pada Mei 1606 – Maret 1609.

§  Marco Ramerini,  GLI SPAGNOLI NELLE ISOLE MOLUCCHE 1606-1663/1671-1677: La storia della presenza spagnola nelle isole delle spezie

§  Marco Ramerini, The Spaniards in the Moluccas 1521 – 1663 / 1671 – 1677 : The History of the Spanish presence in the Spice Islands

Tidak ada komentar:

Posting Komentar