Senin, 24 Maret 2025

Polemik Soa Siu-Marieco (Tidore) seputar penerimaan ekspedisi Magellan-Elcano di Maluku : Analisis sumber dan studi tentang evolusinya.

[Antonio Carlos Campo López]

 

A.      Kata Pengantar

Bermula dari penafsiran Prof Leonard Andaya yang menggunakan sumber-sumber Portugis dan Spanyol dalam bukunya The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period, yang terbit di tahun 1993. Pada buku tersebut, Leonard Andaya mempertahankan premisnya, bahwa Mariecko adalah ibukota kerajaan Tidore, pada saat bangsa Iberia [Portugis dan Spanyol] tiba pertama kali di Maluku, Portugis pada tahun 1512 dan Spanyol pada tahun 1521. Ia menggunakan sumber dari sejarahwan Portugis João de Barros, meskipun de Barros tidak secara eksplisit menyebut bahwa Mariecko adalah ibukota kerajaan Tidore pada tahun-tahun awal Portugis tiba dan mendirikan “kekuasaan” mereka di utara Maluku tersebut. Informasi dari Andaya ini, kemudian dilanjutkan oleh penulis Ternate, Adnan Amal, dalam kedua bukunya tentang sejarah Ternate. Pada sisi lain, sejarahwan Portugis, Spanyol, hingga Francois Valentijn, menyebut bahwa Meriecko adalah ibukota kuno dari kerajaan Tidore, namun pada awal kedatangan bangsa Iberia, ibukota itu telah pindah ke Soa Siu. Inilah yang menjadi “polemik” berkepanjangan. 

 

Antonio Carlo Campo López, sejarahwan Spanyol dari Universidad Nacional de Educación a Distancia, menulis tentang asal usul polemik ini dan menjelaskan “duduk perkara” secara lebih terang benderang. Tulisan Campo López ini berjudul La polémica Soa Siu-Marieco (Tidore) en la recepción de la expedición de Magallanes-Elcano en las Molucas. Análisis de las fuentes y estudio de su evolución, yang dipublikasi dalam Actas de X Congreso Asiático de Hispanistas en Seul, tahun 2021, pada halaman 211 – 221. Antonio Carlo Campo López sendiri telah mempertahankan tesis doktoralnya di tahun 2021 dengan naskah setebal 786 halaman, dengan tema besarnya : kajian pemukiman Spanyol di Maluku.

Artikel sepanjang 11 halaman dengan 13 catatan kaki, serta bibliografi dari Antonio Carlo Campo López ini sayangnya tidak menyisipkan ilustrasi pada naskah aslinya. Kami mencoba menerjemahkan artikel ini, dan menambahkan sedikit gambar ilustrasi dan sedikit catatan tambahan yang dianggap perlu. Kiranya tulisan ini bisa bermanfaat dalam perluasan kesejarahan kita.

 

B.      Terjemahan

Pendahuluan

Kedutaan Besar Spanyol di Indonesia, bekerja sama dengan Aula Cervantes di Jakarta, telah menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk memperingati 500 tahun pelayaran pertama Magellan dan Elcano mengelilingi dunia (2019-2022). Selain beberapa kunjungan resmi ke Maluku, kegiatan ini termasuk penerbitan buku En el archipiélago de la Especiería. España y Molucas en los siglos XVI- XVII (Serrano dan Mojarro, 2020), atau pementasan karya Den Kistot pada bulan Desember 2019 di Tidore dan Ternate, adaptasi Don Quixote ke teater boneka Jawa oleh penulis Goenawan Mohamad dan etnomusikolog Endo Suanda; Pementasan ini sangat penting karena merupakan kegiatan budaya Spanyol pertama yang dilakukan di tanah Maluku sejak ditinggalkannya enklave Spanyol di Kepulauan Rempah pada tahun 1663. Kunjungan kapal latihan Juan Sebastián Elcano ke Tidore dan Ternate dari tanggal 27 hingga 29 Maret 2021 menandai titik puncak peringatan tersebut. Dengan demikian, meningkatnya hubungan antara Spanyol dan Maluku akhir-akhir ini memudahkan pemulihan hubungan yang tiba-tiba terputus, di mana aliansi tradisional dengan Tidore sekali lagi menonjol. Namun, seiring dengan hubungan tersebut, persaingan internal juga diaktifkan kembali yang menurut Andaya (1993) menjadi dasar keseimbangan Maluku. Salah satu isu yang muncul selama kegiatan peringatan ini adalah perbedaan antara historiografi Indonesia dan Spanyol mengenai kedatangan Elcano di Maluku: polemik [mengenai] Soa Siu-Marieco.

Di Kepulauan Maluku, terdapat kepercayaan yang mengakar kuat bahwa kota Marieco, di pantai barat Tidore, adalah tempat pertemuan pertama antara Spanyol dan Sultan Almansur (Almansur)a, dan dengan demikian menjadi awal dari aliansi yang langgeng. Akan tetapi, Marieco tidak muncul dalam referensi Spanyol mana pun mengenai ekspedisi tersebut, dan faktanya tidak memperoleh relevansi dengan sejarah Spanyol-Maluku hingga abad berikutnya, abad ke-17, ketika benteng dengan nama yang sama didirikan. Mengingat ketidakhadiran Marieco dalam historiografi Spanyol pada saat kedatangan Elcano Di Tidore, kegiatan peringatan belum mendapat perhatian khusus di kota ini, yang ditafsirkan oleh otoritas kota sebagai penghinaan. Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan asal-usul dan konsekuensi historiografis dari polemik seputar relevansi Marieco sebagai lokasi awal hubungan antara Tidore dan Spanyol.

Asal Usul Marieco dalam historiografi Indonesia

Sumber historiografi utama Indonesia – dan dalam bahasa Indonesia – tentang masalah ini adalah karya penulis Ternate, Adnan Amal: dalam dua publikasi utamanya, Amal (2009: 293; 2016: 162) secara tegas menyebutkan Marieco sebagai tempat pertemuan Magallanes dan Almansur. Amal melanjutkan informasi yang dibuat beberapa tahun sebelumnya oleh Leonard Andaya (1993) yang menghubungkan Marieco dengan ibu kota pulau tersebut saat orang Iberia pertama tiba di Tidore. Akibatnya, meskipun Amal berperan sebagai penyebar tradisi historiografi Indonesia ini, asal usulnya dapat ditelusuri kembali ke Andaya, sehingga pemeriksaan sumbernya sangat penting untuk mengklarifikasi asal usul polemik ini.

 

Penerbitan buku The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period tahun 1993 menandai terobosan besar dalam studi sejarah kepulauan Maluku. Karya ini, yang menelusuri pertemuan antara orang Maluku dan orang Eropa berdasarkan sumber-sumber Iberia yang dipadukan dengan tradisi lokal, menjadi titik rujukan utama bagi historiografi Indonesia di kemudian hari. Kategorisasi Marieco sebagai ibu kota kuno Tidore muncul beberapa kali dalam karya Andaya ini. Referensi pertama digunakan untuk menjelaskan bagaimana para sultan Tidore, yang mencari akses komersial yang lebih baik untuk ekspor cengkeh, memutuskan untuk memindahkan ibu kota dari Marieco, di pantai barat, ke ibu kota baru di Soa Siu, di pantai timur, tempat ibu kota pulau saat ini berada (Andaya, 1993: 51)1. Informasi ini diambil dari João de Barros, seorang sejarawan Portugis abad ke-16 (1495-1570), penulis utama Decadas da Asia, sebuah proyek ambisius yang menceritakan awal dan perkembangan ekspansi Portugis di Asia. Berkat jabatannya sebagai pejabat senior di Casa da Índia di Lisbon, Barros memiliki akses ke dokumentasi yang dikirim oleh otoritas kolonial Portugis dari Goa, dan juga dapat menghubungi tentara dan pedagang Portugis yang kembali ke Lisbon setelah beberapa tahun bertugas di Asia. Oleh karena itu, João de Barros adalah seorang penulis sejarah resmi peristiwa yang terjadi di Maluku sejak kedatangan Portugis pertama pada tahun 1512. Dalam “Decadas Ketiga”-nya Portugis menceritakan perang yang dimulai oleh gubernur Portugis pertama di Ternate, Antonio de Brito (1522-1526), ​​​​melawan Sultan Almansur dari Tidore selama tahun-tahun pertama pemerintahannya. Kisah ini menggambarkan serangan Ternate-Luso [Portugis] terhadap ibu kota Tidore (disebut cidadem) ketika ekspedisi Portugis menyerang kota utama di pulau itu. Kendati Portugis pada awalnya berhasil, pertahanan Tidore yang kokoh dan banyaknya korban di pihak penyerang membuat Gubernur Brito menghentikan permusuhan untuk sementara waktu, walaupun sekutunya dari Ternate ingin meneruskannya dan melancarkan serangan kedua terhadap Tidore. Oleh karena itu, Antonio de Brito memberinya izin untuk pergi bersama prajuritnya untuk merebut tempat yang disebut Marieco, sebuah kota yang terletak tinggi di pesisir dekat Ternate. Di sinilah penulis sejarah Portugis menggambarkan Marieco sebagai ibu kota kuno pulau itu sebelum, karena alasan komersial, diputuskan untuk memindahkannya ke pantai seberang. Informasi inilah yang digunakan Andaya untuk memposisikan Marieco sebagai ibu kota bersejarah pulau tersebut. Akan tetapi, sementara Barros merujuk ibu kota ini ke masa lalu yang jauh, tidak ditentukan waktunya, Andaya menempatkannya pada waktu di mana peristiwa-peristiwa tersebut diceritakan (akhir tahun 1524). Akan tetapi, pada tahun-tahun ini, Barros menempatkan ibu kota di tempat yang ia sebut kota Tidore (sekarang Soa Siu). Menghadap Marieco, pos pertahanan dilengkapi dengan pagar kayu, ibu kota atau cidade terletak di pantai seberang, di sebelah pantai, dengan masjid, dan terkait dengan pelabuhan yang bagus (Barros, 1777: II, 327)2.

Sumber Portugis lainnya

Sejarawan Portugis besar lainnya dari abad ke-16, Fernão Lopes de Castanheda, yang 9 tahun sebelum Barros (1563) telah menerbitkan História do descobrimento e conquista da Índia pelos portugueses, mengonfirmasi apa yang dikatakan Barros (Lopes de Castanheda, 1554: 151): Marieco adalah ibu kota kuno Tidore, tetapi tidak memiliki status seperti itu saat kedatangan ekspedisi pertama Portugis ke Maluku, saat ibu kota tersebut terletak di pantai Soa Siu saat ini.

Sejarawan Portugis ketiga yang membahas periode ini, Gaspar Correia, dalam Lendas da India, yang diterbitkan pada tahun 1556 (Correia, 1861: 806)3 mengonfirmasi apa yang dikatakan oleh dua penulis sejarah Portugis sebelumnya. Keduanya hampir tidak berbeda satu sama lain karena mereka menggunakan sumber yang sama untuk sejarahnya: surat atau laporan yang dikirim orang Portugis dari Maluku ke Goa dan Lisbon. Berbagai hubungan mereka, yang pada akhirnya menjadi sumber terbaik dokumentasi Maluku selama paruh pertama abad ke-16, sepakat dalam mengakui Marieco sebagai ibu kota, meskipun mereka tidak pernah menempatkannya pada saat kedatangan dan berdirinya Portugis di Maluku (1512-1522). Berkat para penulis sejarah Portugis ini, kita dapat menyimpulkan bahwa ketika orang Spanyol pertama kali tiba di pulau itu, pada tanggal 8 November 1521, Marieco adalah kota penting di bagian barat pulau, tetapi ibu kota dan pusat kediaman sultan terletak di atas ibu kota Tidore saat ini. Jika kita kembali ke karya Barros di mana peristiwa ini diceritakan, dalam uraiannya tentang kedatangan Elcano, Marieco tidak disebutkan, meskipun ia merujuk pada kota Tidore milik Raja Almansur. Setelah Spanyol meninggalkan Maluku, beberapa bulan kemudian, pada tahun 1522, gubernur Portugis Antonio de Brito pergi mengunjungi Sultan Almansur, yang menawarinya untuk membangun benteng di pulaunya (Brito telah meninggalkan Lisbon pada tahun 1520 dengan tugas membangun benteng Portugis pertama di Maluku) (Veiga Frade, 1999: 40). Setelah memeriksa pelabuhan kedua pulau tersebut, ia memutuskan untuk menempatkannya di Kastela, dekat kota Ternate, karena terumbu karang di lepas pantainya melindungi dari kemungkinan serangan maritim. Ketika Barros menggunakan istilah cidade dalam toponimi Maluku, ia merujuk kepada ibu kota atau populasi terpenting di setiap pulau: Kastela di Ternate dan Soa Siu di Tidore (Barros, 1777: I, 617-621)4. Kalau kita analisa sumber-sumber Portugis lainnya yang menceritakan kejadian-kejadian Portugis di Maluku (Antonio Galvão, Gabriel Rebelo atau Diogo do Couto)5 kita melihat bahwa mereka mempertahankan garis referensi yang sama mengenai ibu kota Tidore, yang tidak pernah menerima nama khusus (Marieco atau Soa Siu), akan tetapi, selalu menerima dua nama tetap (cidade atau port), karena dikaitkan dengan tempat tinggal sultan dan memiliki pelabuhan terbaik di pulau itu. Meskipun demikian, Andaya tetap berpegang pada premis bahwa Marieco adalah ibu kota berbagai peristiwa yang terjadi di Tidore selama periode ini. Misalnya, serangan Portugis terhadap Marieco pada tahun 1524: sementara bagi para sejarawan Portugis, itu adalah serangan terhadap sebuah kota di selatan pulau, bagi Andaya, itu adalah serangan terhadap ibu kota. Meskipun benar bahwa Portugis menghancurkan pos terdepan Marieco, sementara penyerangan ini terjadi, sultan berada di pantai seberang, menunggu kejadian di kediaman resminya. Referensi berikutnya terhadap Marieco dalam karya Andaya ditemukan dua tahun kemudian, pada tahun 1526, ketika ia kembali menyebut Marieco sebagai ibu kota setelah kota itu sekali lagi dihancurkan oleh serangan baru Portugis (Andaya 1993: 118)6. Andaya menunjukkan sumber Iberia yang menjadi sumbernya mengambil informasi: surat seorang prajurit Spanyol, Pedro de Montemayor, yang tiba di Maluku bersama ekspedisi García López de Loaysa (1525-1527). Jika kita meninjau kesaksian ini (Sá, 1954: 263) dokumen tersebut mengonfirmasi penghancuran benteng atau tempat tinggal Sultan Almansur dari Tidore setelah kematiannya, tetapi tidak menyebutkan secara spesifik bahwa tempat ini adalah Marieco.

Sumber-sumber Spanyol

Bersamaan dengan sumber-sumber Portugis, sumber-sumber Spanyol juga perlu dianalisis untuk menjelaskan ibu kota Tidore serta tempat pendaratan ekspedisi pertama yang tiba di Maluku: dua kapal ekspedisi Magellan-Elcano yang tiba di Maluku pada tanggal 8 November 1521. Meskipun laporan terkenal oleh Antonio de Pigafetta tidak memberikan rincian tentang lokasi kedatangan mereka, rute yang ditempuh oleh pilot Francisco Albo menggambarkan tempat tersebut dan rute akses ke pulau tersebut. Pilot memberi tahu kita bahwa navigasi pendekatan ke Tidore dilakukan antara pulau kecil Mare dan Tidore. Dengan cara ini, pertemuan dengan sultan dan lokasi ibu kotanya merujuk kita ke pantai tenggara, ke Soa Siu, ibu kota pulau saat ini. Marieco, pada kenyataannya, tidak pernah disebutkan oleh orang Spanyol (Fernández de Navarrete, 1837: IV, 223-224): “Dari Meao kami pergi ke tenggara sampai kami pergi dan melihat pulau-pulau Malucos, dan kemudian kami pergi ke timur dan memasuki antara Mare dan Tidori, di mana kami muncul, dan di sana kami diterima dengan sangat baik.” 

 

Orang-orang Spanyol dari ekspedisi berikut yang dipimpin oleh Garcia López de Loaysa mengonfirmasi bahwa saat mereka tiba di Tidore pada tanggal 1 Januari 1527, ibu kota berada di sebelah timur (Fernández de Navarrete, 1837: V, 285-286)7. Setahun setelah kedatangan mereka, orang-orang Spanyol membangun pijakan di bagian timur pulau dan bahkan, untuk pertama kalinya, mereka memberi kita data tentang situasi di Marieco. Informasi menunjukkan kepada kita bahwa para penyintas ekspedisi Loaysa yang melakukan perlawanan di Tidore melakukannya di daerah kantong tradisional mereka (Soa Siu) dan bukan di Marieco, sebuah situs yang disebut oleh Hernando de la Torre, pemimpin militer para ekspedisi, sebagai sebuah kota (dia tidak menggunakan istilah “kota utama” seperti yang dia lakukan dalam rujukannya ke ibu kota) di lepas pantai Ternate (Fernández de Navarrete, 1837: V, 188-189)8.

Kita mengikuti perkembangan Tidore selama paruh pertama abad ke-16 berkat Recollect Augustinian Rodrigo de Aganduru Moriz, yang, setelah pengalaman misionarisnya di Filipina, menulis sejarah Maluku pada tahun 1626, di mana ia menceritakan secara rinci tentang perang Iberia di Maluku. Kroniknya tentang pertikaian antara Spanyol dan Portugis di Tidore selama paruh pertama abad ke-16 menegaskan bahwa ibu kota dan kedudukan sultan terletak di pantai timur (tempat di mana Spanyol bahkan membangun benteng kecil pada tahun 1527). Kita juga menemukan penyebutan Marieco, namun tidak pernah sebagai ibu kota melainkan sebagai kota di pantai barat pulau (Aganduru Moriz, 1882: I, 159-189)9.

Ekspedisi Spanyol terakhir, yang dipimpin oleh López de Villalobos, yang mengakhiri fase pertama upaya Spanyol untuk membangun kekuasaan di Maluku, menegaskan bahwa populasi utama Tidore tetap berada di pantai timur. Pada tahun 1544, orang Spanyol, atas saran Sultan, menetap di Soa Siu dan membantu membangun dua benteng batu kering di ibu kota. Keduanya akhirnya dihancurkan oleh Portugis (Aganduru Moriz, 1882: II, 41; 136). Sumber-sumber Portugis, ketika melaporkan salah satu benteng ini, menempatkannya di pantai timur dan di belakang ibu kota di sebuah bukit, mungkin di lokasi Benteng Torre saat ini (Sá, 1988: 231)10. Pada tahun 1551 kapten Portugis Bernardino de Sousa mengunjungi raja Tidore di bentengnya, dekat pelabuhan (la cidade) untuk meminta dia menghancurkannya, tetapi raja menolaknya (Couto, 1781: 368-370).

Abad ke-17

Awal abad ke-17 menandai babak baru dalam sejarah Maluku. Pemukiman permanen bangsa Spanyol (1606) dan Belanda (1607) di pulau-pulau tersebut meningkatkan pengaruh Eropa di wilayah tersebut melalui pendirian sejumlah benteng dan kunjungan tahunan armada ke Maluku dari Manila dan Jawa. Meskipun kedua belah pihak mendirikan ibu kota masing-masing di Ternate, Tidore tidak ketinggalan dari peristiwa tersebut dan menempatkan garnisun militer di pulau tersebut (Ramerini, 2020). Sumber-sumber Spanyol mendokumentasikan pendirian benteng terbesar di pulau di pantai timur, di ibu kota Soa Siu, benteng Tahula atau Santiago de los Caballeros (1610-1615) untuk mengendalikan dan melindungi kediaman Sultan Tidore yang bersekutu.

Meskipun Marieco diperebutkan di antara orang Eropa (Spanyol membangun benteng di sana pada tahun 1609, yang diduduki oleh Belanda antara tahun 1613 dan 1620), kota itu tidak pernah dianggap sebagai ibu kota pulau tersebut. Faktanya, Belanda akhirnya meninggalkan benteng mereka untuk berkonsentrasi pada pulau lain di Maluku. Baik dokumentasi Spanyol maupun ukiran dan peta Belanda yang melaporkan lokasi Tidore menegaskan bahwa pusat pemerintahan kerajaan adalah Soa Siu, tempat kediaman sultan dan benteng Spanyol terbesar di pulau itu (Tahula) berada, di pantai timur pulau. Situasi yang akhirnya disadari Andaya ketika ia menempatkan perpindahan ibu kota antara Marieco dan Soa Siu pada suatu saat di abad ke-17 (Andaya, 1993: 277). 


Meskipun, seperti telah kita lihat, perubahan ini terjadi jauh lebih awal, sebelum kedatangan bangsa Iberia pada awal abad ke-16, kita harus mengakui jasa Andaya dalam memberikan Marieco peran yang relevan dalam sejarah pulau tersebut, dan mengakui keberadaan ketegangan internal antara penduduk timur dan barat Tidore, sebelum kedatangan bangsa Iberia (Andaya, 193: 271)11. Di luar perdebatan mengenai ibu kota dan lokasi pendaratan armada Magellan-Elcano, polemik Marieco-Soa Siu mencerminkan persaingan internal Tidore yang didasarkan pada hak pemimpin masing-masing untuk mengambil alih kepemimpinan pulau tersebut. Meskipun Marieco mungkin penting di masa lalu Tidore, ketika orang Iberia tiba di pulau itu, sultan dan otoritas tertinggi di pulau itu terletak di pantai timur, di kota Soa Siu. Orang Portugis, Antonio Bocarro, pada tahun 1575, menyebutkan sangaje (pemimpin lokal suatu komunitas di Maluku) Marieco sebagai pengikut, selama tahun-tahun itu, Sultan Ternate (Sá, 1988: 330). Namun, pada waktu yang berbeda dalam sejarah pulau itu, di masa ketidakstabilan, Marieco memainkan peran penting. Penting untuk dicatat bahwa suksesi takhta kesultanan tidak bersifat turun-temurun berdasarkan hak anak sulung (saudara laki-laki atau kerabat raja lainnya dapat melamar posisi tersebut) dan lebih jauh lagi dewan bangsawan harus menyetujui pengangkatan sultan baru. Selama masa kekuasaan Spanyol di Tidore, setelah kematian masing-masing raja, ketegangan antara Soa Siu dan Marieco kembali mencuat.

Sumber Belanda dan Maluku

Untuk melengkapi analisis kami, kami harus menyebutkan sumber yang disediakan oleh aktor lain yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Sumber historiografi Belanda yang paling penting adalah karya Francois Valentijn, seorang pejabat VOC dengan pengalaman luas di Insulindia, yang menerbitkan pada tahun 1724 studi sejarah Maluku terbesar hingga saat ini. Meskipun karya ini telah menjadi rujukan historiografi terpenting bagi sejarah wilayah tersebut, mengenai asal-usul Marieco, ia mengulangi informasi yang diberikan oleh para penulis sejarah Portugis pertama: dibangun di atas gunung, tempat kedudukan raja-raja Tidore kuno dan dipindahkan untuk mencari tempat yang lebih baik untuk mengekspor cengkeh. Dia memberikan sedikit informasi, tanpa menyebutkan tanggal dan tempat ibu kotanya pada zaman dahulu dan meskipun dia mengakui bahwa pada awal abad ke-16 itu adalah salah satu kota terbaik di pulau itu, itu bukanlah ibu kota. Marieco tidak banyak mendapat perhatian lagi, meskipun disebutkan pada tahun 1667 ketika Sultan Tidore menandatangani aliansi dengan VOC di markas besar Malayo, ibu kota Belanda di Maluku, tempat semua pejabat tinggi setempat di Maluku hadir, di antaranya disebutkan Capitein Laoet, Sengadji (sangahe) dari Maroeco (Marieco) (Valentijn, 1724: 111; 160). Fakta ini penting dalam mengakui kepala suku Marieco sebagai penyeimbang kekuasaan Sultan Tidore, di samping mengakui dia sebagai orang yang memiliki kekuasaan tertentu di wilayah nusantara. Pada akhirnya, terlepas dari situasi saat ini, apa yang paling penting, seperti telah kami katakan sebelumnya, adalah adanya masalah struktural: ketegangan internal dan perpecahan historis antara berbagai bagian pulau yang pada pertengahan abad ke-20, pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Belanda, masih dapat dikenali: penduduk pantai timur memonopoli posisi manajemen tinggi di pulau tersebut sehingga merugikan penduduk Tidore lainnya (Fraassen, 1987: I, 231 dan 267; II, 428-429)12

 

Seperti telah kita lihat, tindak lanjut sejarah Marieco dalam sumber-sumber dokumenter Zaman Modern ditentukan dan dikondisikan oleh sumber-sumber Eropa. Sulit untuk menemukan penyeimbang dalam sumber-sumber lokal karena sedikitnya catatan dokumenter untuk periode ini. Satu-satunya sumber tertulis lokal (Imam Ridjali) berfokus pada bagian selatan kepulauan Ambon, dan tidak memperhatikan peristiwa di bagian utara (Fraassen, 2004). Sejarah Ternate selanjutnya yang ditulis oleh penulis lokal Naidah (Crab, 1878), hanya menyebutkan Marieco sebagai asal mula sebuah desa di Pulau Ternate: Limatahu adalah sebuah desa di Ternate yang penduduknya merupakan keturunan desa Marieco di Tidore.

Kesimpulan

Penetapan Marieco sebagai pusat pemerintahan kesultanan pada abad ke-16, yang digagas Andaya pada tahun 1993, kemudian diteruskan kepada para sejarawan Indonesia lainnya, para pengarang karya-karya penelitian besar pada dasawarsa pertama abad ke-21 berdasarkan penafsiran sumber-sumber Portugis abad ke-16, yang menetapkan ibu kota ini berada pada momen yang sama pentingnya dengan kedatangan pertama bangsa Eropa ke kepulauan ini, dan yang selanjutnya tersebar di antara banyak penyebar sejarah Indonesia (Amal, 2009: 52, 108, 109 dan 29313); Amal, 2016: 29, 164, 165; Widjojo, 2007:12) melalui penafsiran yang tidak tepat. Selain sebagai ibu kota bersejarah yang dikaitkan dengan Marieco selama abad ke-16, pelabuhannya dianggap sebagai tempat penerimaan armada yang dipimpin oleh Elcano yang tiba di Tidore pada bulan November 1521. Tentu saja, pentingnya Marieco secara historis tidak dapat diabaikan, karena disebutkan beberapa kali selama abad ke-16, sebagai satu-satunya kota di luar ibu kota, itulah sebabnya kota ini pasti memiliki reputasi tertentu sebagai kota terbesar kedua di pulau itu (meskipun sumber-sumber Iberia menegaskan supremasi pantai timur sejak awal abad ke-16). Kemudian, pada paruh pertama abad ke-17, pertikaian Spanyol-Belanda atas lokasi tersebut menjadikan Marieco lokasi yang strategis dengan didirikannya dua benteng yang berbeda (di pantai dan di atas bukit) dengan tujuan untuk mengendalikan jalur laut selatan pulau Ternate dan Tidore. Pada intinya, perdebatan tentang peran yang dimainkan Marieco selama abad ke-16 dan ke-17 dipicu oleh ketegangan internal di pulau itu antara kota-kota besar di kedua pantai. Sangat relevan, karena terus berlanjut hingga hari ini.

==== selesai ====

Catatan Kaki

1.       “Pada awal abad keenam belas, misalnya, orang Portugis mencatat tradisi Tidore yang mengingatkan kita pada masa ketika pemukiman asli berada di gunung di Mareku. Kemudian, pemukiman tersebut pindah ke pesisir karena banyaknya pedagang asing yang datang untuk mencari cengkeh. Mareku tetap menjadi pusat suci bagi orang Tidore pada abad-abad berikutnya karena prestisenya sebagai sumber penguasa pertama Tidore.”

2.      “Mariaco, terletak di tengah pulau di atas bukit, yang terlihat dari semua sisi, terutama dari sisi yang berhadapan dengan Pulau Ternate, tempat kami memiliki benteng. Dan alasan yang menggerakkannya untuk menetap di tempat ini adalah karena tempat itu adalah yang paling mulia dan terbaik di pulau itu, tempat para raja pulau itu dulunya berada; tetapi kemudian karena perdagangan kapal-kapal yang datang ke sana untuk mengambil cengkeh, raja ingin pergi ke hulu laut, menjadikan kota itu tempat ia berada lagi”.

3.      “…suatu tempat yang berada di daerah pegunungan, yang konon katanya merupakan tempat tinggal para Raja Tidore, yang kemudian pindah ke dasar laut, akibat ulah para pedagang”.

4.      Dalam bagian ini ia menceritakan kedatangan Antonio Brito ke Tidore dan pertemuannya dengan orang-orang Kastilia dari ekspedisi Magellan yang tetap tinggal di pulau itu, bersama dengan Sultan Tidore, setelah keberangkatan Elcano ke Spanyol.

5.      La historia de las Molucas (Tratado de las Yslas de los Malucos y de los costumbres de los indios y de todo lo demas), de Antonio Galvão, gobernador de las Molucas entre 1536 y 1539 es editada por Artur Basilio de Sá en el sexto volumen de Documentação para a Historia das Missoes do Padroado Portugues do Oriente, Insulindia, Instituto de Investigação Científica Tropical, Centro de Estudos de História e Cartografía Antiga, Lisboa, 1988. En el mismo volumen se incluye una historia del gobierno portugués de las Molucas hasta 1552 y escrita entre 1566 y 1569 (Informação das Cousas do Maluco), de Gabriel Rebelo, quien fuera alcaide y factor de Ternate durante esos años. Por último, Diogo do Couto, desde Goa, continuó la labor de Barros
con la Decada IV: Barros, João de y Couto, Diogo do, Da Asia de João de Barros dos feitos que os portugueses fizeram no descobrimento dos mares e terras do Oriente, Nova edição, 24 vols., Na Régia Officina Typografica, Lisboa, 1777-1788.

6.      “Meskipun pasukan Tidore berhasil memukul mundur tiga serangan, kontingen gabungan Portugis-Ternate akhirnya berhasil merebut pemukiman sultan di Mareku dan menghancurkannya pada akhir tahun 1524...Penguasa Tidore adalah seorang pengasingan dari ibu kota lamanya di Mareku yang tetap menjadi hutan belantara setelah dihancurkan oleh Ternate dan Portugis”.

7.      7. “Selasa, hari pertama bulan Januari tahun seribu lima ratus dua puluh tujuh, pagi-pagi sekali kami beranjak dari tempat kami berlabuh di sisi timur laut pulau tersebut, untuk pergi ke kota utama pulau Tidori, yang berada di sisi tenggara, dan kami pun mendarat di kota tersebut pada pukul 10:00 pagi, dan Raja beserta Gubernur dan para kesatrianya datang, dan sangat senang dengan kami, dan menceritakan kepada kami tentang peruntungan mereka, dan tentang kehancuran yang telah disebabkan oleh Portugis…. Pulau Tidori lebih tinggi daripada Terrenate, dan lebih curam di puncaknya, memiliki lereng di timur laut, berpenduduk di sekelilingnya, dan kota utama yang disebut Tidori berada di sisi timur”

8.      Resolusi Hernando de la Torre, kapten Kastilia di Tidori dan pengungkapan kepalsuan sebelumnya (Maret 1528). “Pada hari yang sama pada pukul 2 siang [1528], banyak orang Indian dari suatu tempat di pulau Tidori, yang disebut Mariecu dan berada di depan Terrenate, pergi menemui kapten Kastilia, menangkap orang Romay dan Sánchez, dengan baju dan tangan terikat, dan mengatakan kepadanya bahwa mereka melarikan diri ke Terrenate.”

9.      Marieco disebutkan ketika seorang bangsawan Tidore, bernama Derota, memiliki hubungan dengan janda Almansur dan ibu raja (masih anak-anak). Karena ketidaksetujuan dari para tidores lainnya, sang ratu memutuskan untuk pindah bersama Derota dan putranya, sang raja, ke Marieco.

10.    "Para pengkhianat membuat benteng dari batu kering, di belakang kota, di sebuah cekungan."

11.     “Dalam sumber-sumber tersebut, kadang-kadang disebutkan bahwa ibu kota lama Mareku lebih tua daripada pemukiman kerajaan bernama Soa Sio. Dalam penelitian Baker tentang Tidore masa kini, ia mencatat adanya perbedaan dalam bahasa Tidore antara dialek Mareku dan dialek Soa Sio. Menurut informannya, hal ini disebabkan oleh dua periode migrasi yang berbeda ke pulau tersebut. Tampaknya konflik politik antara kedua pemukiman ini menutupi perpecahan yang lebih lama dan lebih dalam dalam masyarakat Tidore”.

12.     Pada tahun 1937 ia menyadari adanya pembagian yang jelas antara populasi pulau yang berbeda menjadi dua kelompok besar: kelompok atas berpusat di ibu kota Soa Siu, dan kelompok bawah yang mencakup populasi Marieco.

13.     Referensi-referensinya mengenai Marieco sebagai ibu kota Tidore pada abad ke-16 bersifat berkelanjutan. Terkadang saya mengaitkan referensi ini dengan sumber-sumber Portugis seperti Antonio Galvão (meskipun gubernur Portugis tidak pernah memberikan status ini kepada Marieco)

 

Bibliografi

§  Aganduru Moriz, Rodrigo (1882): Historia General de las Islas Occidentales al Asia adyacentes, llamadas Filipinas en Sancho Rayón, José León y Zabalzuru Francisco, (eds.), Documentos inéditos para la historia de España, tomos 78 y 79, Madrid, Imprenta de Miguel Ginesta.

§  Amal, M. Adnam (2009): Portuguis & Spanyol di Maluku, Depok, Komunitas Bambu.

§  Amal, M. Adnam (2016): Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, Yakarta, Kepustakaan Populer Gramedia.

§  Andaya, Leonard Y. (1993): The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period, Honolulu, University of Hawaii Press.

§  Barros, João de (1563): Da Asia de João de Barros dos feitos que os portugueses fizeram no descobrimento dos mares e terras do Oriente, Decada Terceira, Parte Primeira, Nova edição, vol. 5, Lisboa, Na Régia Officina Typografica, 1777.

§  Barros, João de (1563): Da Asia de João de Barros dos feitos que os portugueses fizeram no descobrimento dos mares e terras do Oriente, Decada Terceira, Parte Segunda, Nova edição, vol. 6, Lisboa, Na Régia Officina Typografica, 1777.

§  Correia, Gaspar (1556): Lendas da India, Livro segundo, II, Lisboa, Typographia da Academia Real das Sciencias, 1861.

§  Couto, Diogo do (1616): Da Asia dos feitos que os portugueses fizeram no descobrimento dos mares e terras do Oriente, Decada Sexta, Parte Segunda, Nova edição, vol. 15, Lisboa, Na Régia Officina Typografica, 1781.

§  Crab, Petrus van der (1878): “Geschiedenis van Ternate, in Ternataanschen en Maleischen tekst beschreven door den Ternataan Naidah met vertaling en aanteekeningen”, Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde, 4: 381-493.

§  Frassen, Christiaan F. Van (1987): Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipel. Van soa-organisatie en vierdeling; Een studie van traditionele samenleving en cultuur in Indonesië, 2 vols., tesis doctoral, Leiden Universiteit.

§  Fraassen, Christiaan F. Van, Putten, J. van der y Staver, H., (eds.), (2004): Historie van Hitu: een Ambonse geschiedenis uit de zeventiende eeuw, Utrecht, Landelijk Steunpunt Educatie Molukkers.

§  Fernández de Navarrete, Martín (1837): Colección de los viajes y descubrimientos que hicieron por mar los españoles desde fines del siglo XV, con varios documentos inéditos concernientes á la historia de la Marina Castellana y de los Establecimientos Españoles de Indias, vols. IV-V, Madrid, Imprenta Nacional.

§  Lopes de Castanheda, Fernão (1554): História do descobrimento e conquista da Índia pelos portugueses, Sexto libro, Coimbra.

§  Ramerini, Marco (2020): “Fortificaciones españolas en Ternate y en Tidore”. En el archipiélago de la Especiería. España y Molucas en los siglos XVI-XVII. Serrano Avilés, J., y Mojarro, J. (eds.). Madrid, Desperta-Ferro y Agencia Española de Cooperación Internacional para el Desarrollo, 68-95.

§  Sá, Artur Basilio (1954): Documentação para a Historia das Missoes do Padroado Portugues do Oriente, Insulindia, vol. I, Lisboa, Instituto de Investigação Científica Tropical, Centro de Estudos de História e Cartografía Antiga.

§  Sá, Artur Basilio (1988): Documentação para a Historia das Missoes do Padroado Portugues do
Oriente, Insulindia, vol. VI, Lisboa, Instituto de Investigação Científica Tropical, Centro de Estudos de História e Cartografía Antiga.

§  Serrano Avilés, Javier y Mojarro, Jorge (eds.), (2020): En el archipiélago de la Especiería. España y Molucas en los siglos XVI-XVII. Madrid, Desperta-Ferro y Agencia Española de Cooperación Internacional para el Desarrollo.

§  Valentijn, Francois (1724): Oud en Nieuw Oost-Indiën vervattende een naaukeurige en uitvoerige verhandelinge van Nederlands mogentheyd in die gewesten benevens eene wydluftige beschryvinge der Moluccos, Amboina, Banda, Timor en Solor, Java, en alle de eylanden onder dezelve landbestieringen behoorende; het Nederlands Comptoir op Suratte, en de Levens der Groote Mogols..., Eerste Book, Uitvoerige Beschryving der vif Moluccos..., Dordrecht-Amsterdam.

§  Veiga Frade, Florbela (1999): A Presença Portuguesa nas Ilhas de Maluco: 1511- 1605, mestrado em História, Universidade de Lisboa.

§  Widjojo, Muridan S. (2007): Cross-Cultural Alliance-Making and Local Resistance in Maluku during the Revolt of Prince Nuku, c. 1780-1810, tesis doctoral, Leiden Universiteit.

 

Catatan Tambahan

Sultan Almansur, adalah Sultan Tidore yang memerintah pada 1512 – 1526

Tidak ada komentar:

Posting Komentar