Kamis, 09 Juli 2020

Bagian-bagian dan Keutuhan : Konsepsi Dualisme Sosial di Maluku Tengah (bag 1)


Oleh Valerio Valeri




  1. Kata Pengantar

Masyarakat Maluku, lebih terkhusus Maluku Tengah dan Ambon sangat familiar dengan terminologi sakral Patasiwa – Patalima. Bahkan di masa kini, istilah itu telah menjadi “identitas” yang coba dibangkitkan kembali. Sebenarnya istilah Patasiwa-Patalima, adalah istilah yang lebih dikenal oleh masyarakat pulau Seram, sedangkan bagi masyarakat Ambon-Lease, lebih mengenalnya sebagai Ulisiwa-Ulilima. Secara sederhana, kebanyakan dari kita hanya mendefinisikan bahwa Patasiwa/Ulisiwa adalah kelompok “sembilan” sedangkan Patalima/Ulilima adalah kelompok “lima”. Namun, faktanya, pendefinisian terminologi itu tidaklah “sesederhana” demikian. Banyak sejarahwan Belanda dan para antropolog telah mengkaji dan menjelaskan tentang kedua “fenomena” ini.
Salah satunya adalah antropolog asal Italia, almarhum  Valerio Valeri dalam artikel panjang ini. Valerio Valeri adalah murid dari begawan antropolog Claude Levi-Strauss yang bersama istri pertamanya Renee, melakukan pekerjaan lapangan di Maluku, tepatnya di Hualu, Seram Tengah pada periode 1972 -1973, 1985 (5 bulan), 1986 (2 bulan), 1988 (6 bulan). Kajian paling memukaunya tentang masyarakat Hualu ditelurkan dalam bukunya The Forest of Taboos : Morality, Hunting and Identity among the Hualu of the Moluccas,yang terbit tahun 2000.

Artikel ini aslinya berjudul Parts and Wholes : Social and Conceptual Dualism in the Cental Moluccas, yang sebenarnya merupakan materi yang disajikan dalam suatu konferensi dengan tema besar Dual Organizations yang diselenggarakan oleh  David Maybury – Lewis dan Uri Almagor di Jerusalem tahun 1983. Hasil-hasil konferensi itu kemudian diterbitkan pada tahun 1989 oleh David Maybury – Lewis dan Uri Almagor dengan judul The Attraction of Opposites : Thought and Society in a Dualistic Mode, dimana kajian panjang milik Valeri Valerio ini, dibuat lebih ringkas dan tampil dengan judul “lain” yaitu Reciprocal Centers : The Siwa-Lima System in the Central Moluccas.
Artikel terjemahan ini adalah berasal dari artikel panjang itu, yang dimuat oleh istri kedua Valeri Valerio, antropolog Janet Hoskins dalam buku berjudul Fragmenst from Forests and Libraries : A Colecction of Essays by Valerio Valeri yang diterbitkan tahun 2001. Buku ini diterbitkan untuk mengenang Valeri Valerio yang meninggal 25 April 1998.
Artikel yang kami terjemahkan ini sepanjang 43 halaman dan dimuat pada chapter (bab) 5, halaman 93 hingga 135 pada buku yang dieditori oleh istri tercintanya itu.
Haruslah diakui, bahwa kajian Valeri Valerio ini lumayan “berat” karena menggunakan pisau antropologi untuk membedah konsep dualisme ini. Meski begitu, dalam pandangan kami (secara pribadi), ini merupakan kajian yang paling baik dan paling gamblang tentang Patasiwa-Patalima, jika dibandingkan dengan beberapa uraian lainnya.
Berdasarkan pemahaman itulah, maka kami memberanikan diri menerjemahkan artikel memukau ini. Artikel ini terbagi menjadi 4 bagian, dengan 21 catatan kaki dan referensi yang digunakan oleh penulis. Beberapa gambar ilustrasi, juga kami tambahkan selain gambar yang memang telah ada dalam buku ini. Akhir kata, selamat membaca, selamat menikmati kajian ini.................

 ValerioValeri di Hualu (1985)

  1. Terjemahan : oleh Kutu Busu

Cette Conceptualization gemellaire occupe une
place privilegiee dans toute forme de pense sauvage

Blanche 1966 : 15

(Konsepsi dualisme ini menempati tempat teristimewa
  dalam segala bentuk pemikiran yang paling liar )

Blanche 1966 : 15

                “ Dualisme” dan “ organisasi ganda”, seperti yang diketahui, adalah terminologi yang sulit untuk didefinisikan dan bahkan lebih sulit untuk dipisahkan. Kebanyakan orang akan setuju bahwa “dualisme” mengacu pada sistem klasifikasi dimana prinsip oposisi adalah dominan (kutipan Llyod 1966:31-41). Namun, karena klasifikasi dualistik biasanya mencakup ruang sosial dan kategori sosial sebanyak  seperti fenomena alam, menjadi sangat sulit untuk secara pengertian memisahkan gagasan “organisasi ganda” dari “dualisme”, kecuali jika kita siap untuk membuat perbedaan sewenang-wenang antara “organisasi sosial” dan “sistem klasifikasi”.  Saya (penulis) tidak siap untuk melakukan itu, dan karena itu saya akan sejauh mungkin, secara umum berbicara tentang “dualisme sosial”. Di sisi lain, saya percaya bahwa perlu untuk mengakui bahwa sistem moeity membentuk jenis dualisme sosial yang berbeda, karena membagi 2 masyarakat kedalam kelompok berpasangan yang mencakup dan mengatur sebagian besar relasi sosial lainnya.
Bagaimanapun, saya berpikir bahwa perbedaan antara dualisme sosial secara umum dan organisasi moiety, adalah relevan dalam konteks Maluku Tengah, dimana, dengan beberapa perkecualiaan, itu sesuai dengan perbedaan tingkat hieraraki. Sementara dualisme sosial secara umum, ditemukan di tingkat yang lebih rendah, organisasi-organisasi moeity ditemukan hampir secara eksklusif di politik regional. Saya akan menaruh perhatian besar pada struktur-struktur politik yang paling luas ini, sebuah sistem terkenal yang mengklasifikasikan setiap masyarakat di Maluku Tengah (dan bagian selatan) sebagai “Lima” (Patalima atau Ulilima) atau “Sembilan” (Patasiwa atau Ulisiwa).


  1. Dualisme di tingkat lokal : Hualu dan Piliyana


Saya mulai dengan diskusi singkat tentang dualisme dan korelasi sosialnya di Hualu, sebuah masyarakat kecil di Seram Tengah, yang saya kenal secara langsung. Hualu mengungkapkan secara mengejutkan sejumlah prinsip struktural, yang juga ditemui - dalam berbagai bentuk ideologis dan sosial -  di sebagian besar bagian Maluku Tengah.
Hualu memiliki taksonomi rumit tentang benda-benda alam dan budaya; namun pada sebuah tingkatan, mereka “meruntuhkan” semua perbedaan ini menjadi satu oposisi dasar : yaitu Gender (cf Valeri 1990). Dengan demikian daerah-daerah ruang, spesies alami (terlepas dari fakta, bahwa itu dapat mencakup laki-laki dan perempuan), alat-alat, kegiatan-kegiatan dan produk-produk mereka, kelompok-kelompok dan lain-lain, semuanya diklasifikasikan sebagai “laki-laki/jantan” atau “perempuan/betina”. Kesatuan dalam perbedaan dan kontinuitas karena reproduksi ditimbulkan oleh gagasan gender, yang karenanya, digunakan sebagai prinsip utama klasifikasi. Terlebih lagi penggenderisasian alam semesta yang secara implisit dihumanisasi/ “dimanusiakan”, maka dengan demikian alam semesta berpusat pada spesies manusia. Klasifikasi konotasi antroposentris berdasarkan gender, diungkapkan oleh fakta bahwa segala sesuatu yang “perempuan” di alam, dihubungkan dengan prinsip keibuan yang dinaturalisasikan yaitu BUMI, sedangkan segala sesuatu yang “laki-laki” dihubungkan dengan prinsip kebapakan yang dinaturalisasi yaitu LANGIT/SURGA. Ibu bumi disebut Puhum, dan bentuk feminimnya ditunjukan/ditampilkan pada alam.  Bapa bumi, disebut Upu Laliata, atau lebih sering dikenal Upu Lahatala. Bumi juga disebut Ina “Mama/Ibu”, Langit juga disebut Ama “Papa/Bapak”. Bersama-sama, mereka berdua membentuk keseluruhan : Inama “ Ibu-Ayah”. Suatu relasi yang dibentuk antara konjungsi teratur antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, dan konjungsi teratur Lahatala dan Puhum, yang pada gilirannya melambangkan konjungsi dari semua hal di dunia/alam. Pelanggaran yang merusak tatanan alam/dunia dan menciptakan pergolakan/kekacauan kosmik; perilaku sebaliknya berusaha untuk memperbaikinya. Ritual-ritual memperbaiki kembali ketertiban itu ketika hal itu dilanggar.
Dualisme diametris Lahatala dan Puhum, dengan demikian mengandaikan kombinasinya dengan dualisme konsentris. Spesies manusia, poros tersembunyi dari kosmos, menjembatani dua “bagian”, yaitu langit dan bumi. Hal itu dapat dilakukan karena, sebagaimana ditunjukan oleh reduksi pada “Ayah” dan “Ibu”, Langit dan Bumi serta semua makhluk yang ada didalamnya, identik dengan manusia dalam satu dimensi : gender sebagai hakikat manusia pada dasarnya.
Sejauh spesies manusia, berada di pusat, adalah bertentangan dengan alam – yaitu gabungan langit dan bumi – struktur kosmos adalah triadik; sepanjang spesies manusia memiliki dimensi gender yang sama dengan langit dan bumi, struktur bersifat diadik. Kombinasi dari kontras sebelumnya dengan kesamaan yang terakhir menghasilkan struktur tetradik, dimana pusat manusia dibagi menjadi kategori laki-laki dan perempuan bertentangan dengan pinggiran dunia yang juga dibagi dalam kategori laki-laki dan perempuan, yaitu Lahatala dan Puhum.
Untuk memahami bagaimana struktur tetradik ini direalisasikan, mari kita fokuskan perhatian kita pada pusat kosmos, yaitu desa/negeri, dan pada hubungannya dengan alam sekitarnya1.
Desa Sekenimaotoni (“bagian luar dari Sekenima”; Sekenima adalah nama “pusat/inti” dari wilayah Hualu dan juga nama Hualu sebagai entitas politik), tempat saya tinggal pada tahun 1972 – 1973, memiliki gambaran sebagai berikut :


Gambar ini sebagian mencerminkan struktur ideal, yang terdiri dari 2 garis rumah dengan beranda-beranda yang menghadap ruang tengah yang sama. Semua negeri “lama” yang saya rekonstruksi dari informasi para informan dan memeriksa situs-situs milik mereka, diatur menurut pola ini.
                Pada awalnya, gambaran ini tampaknya menampilkan struktur polar yang asli, bahkan ada beberapa struktur yang sama. Namun, kesan ini salah, seperti yang ditunjukan oleh sejumlah fitur-fitur desa/negeri. Untuk singkatnya, saya membatasi diri untuk mempertimbangkan 1 fitur struktural utama. Setiap rumah dibagi secara longitudinal menjadi 2 area yang sama oleh dinding. Satu area, beranda (haha), dianggap sebagai “laki-laki”, sedangkan area lain, dapur (tuka) dianggap sebagai “perempuan”. Karakterisasi ini bukan semata-mata bersifat “simbolis”, karena paling khas kegiatan masing-masing jenis kelamin berlangsung dalam ruang yang terkait dengannya (namun, ada pengecualiaan yang ditandai secara ritual). Jadi, bisa dikatakan bahwa rumah itu, setidak-tidaknya secara terang-terangan, memiliki struktur “polar” atau “kutub” yang asli. Tetapi peralihan dari tingkat organisasi sosial ke tingkat desa/negeri, melibatkan transformasi spasial yang merupakan peralihan dari suatu polar/kutub ke struktur konsentris, atau setidaknya struktur “terpusat”. Ini adalah konsekuensi dari aturan bahwa beranda-beranda dari rumah-rumah di 2 baris yang berlawanan harus saling berhadapan. Aturan itu cukup mengakibatkan pembagian desa menjadi bagian dalam sebagai bagian laki-laki, yang mencakup semua berandah, dan bagian luar sebagai bagian perempuan, yang terdiri dari semua dapur. Selain itu, ruang kosong yang memisahkan 2 baris rumah juga dianggap sebagai laki-laki, sementara ruang di belakang dapur di pinggiran desa, dimana pondok menstruasi terletak, juga dianggap sebagai perempuan. Singkatnya, bagian dalam desa/negeri adalah laki-laki, dan bagian luar beserta pinggirannya adalah perempuan.
                Satu fakta linguistik yang aneh, tampaknya mengkonfirmasi keduanya, bahwa dapur membentuk struktur lingkaran ideal yang mengelilingi pusat laki-laki, dan lingkaran perempuan itu terkait dengan alam liar di sekitarnya. Ketika prefiks arah harus digunakan dalam hubungannya dengan tuka “dapur”, maka prefiks ROE . Hal yang sama juga berlaku untuk kata kaitahu “wilayah hutan liar”. Namun kata ROE umumnya mengacu pada arah TIMUR. Dengan demikian, penggunaannya sehubungan dengan dapur yang terletak di 2 arah yang berlawanan atau dengan hutan yang mengelilingi desa/negeri dari segala arah, merupakan hal absurd kecuali jika roe berarti “eksterior” dalam 2 konteks ini. Memang, penafsiran ini nampaknya dikonfirmasi oleh fakta bahwa RIA “barat” berlawanan dengan ROE “ timur”, suatu prefiks untuk kata hali “ hati” atau “inti” untuk menghasilkan kata RIAHALI  yang bermakna “interior” atau “didalam”. Fenomena ini, dengan demikian akan menjadi contoh lain dari fakta bahwa oposisi polar/kutub fundamental tertentu dapat ditransformasikan menjadi yang konsentris dan begitu juga sebaliknya. Akan tetapi, saya tidak bisa menjelaskan mengapa dalam kasus khusus ini, “luar” berarti “di dalam” sebagaimana “TIMUR” berarti “BARAT”2.
                Dalam beberapa hal, struktur “konsentris” yang ditemukan di desa Hualu, mengingatkan kita pada hal yang serupa yang ditemui di bagian lain di dunia, khususnya di antara Ge dan Bororo di Brazil Tengah (cf. Maybury – Lewis, 1979). Seperti dalam masyarakat ini, di Hualu, oposisi pusat dan pinggiran bertepatan dengan laki-laki dan perempuan. Selain itu, sebagai contoh, di antara Bororo (Crocker 1979 : 256-257, 294-295), pusat laki-laki dikaitkan dengan bentuk dan stabilitas, sedangkan pinggiran perempuan berkonotasi dengan ketidakstabilan, implikasi timbal balik kematian dan kehidupan dan potensi asli dari apa yang harus diaktualisasikan (Valeri, 1990). Sekali lagi seperti antara Ge dan Bororo, oposisi spasial ini memiliki padanannya dalam kualitas setiap orang (cf. Maybury – Lewis, 1979 : 305). Di Hualu, orang mewarisi darah dan daging  - yaitu komponen-komponen yang terbentuk dan akhirnya mati – dari ibunya, dan aspek kestabilan dari kepribadiannya (bentuk fisik dan psikis, nama, identitas sosial) dari ayahnya. 

                Oposisi pusat laki-laki/ pinggiran perempuan, bagaimanapun, tidak stabil atau mutlak di Hualu. Hal ini, lebih tepatnya, tahap akhir yang normal dari suatu proses yang, pada awalnya, melihat manusia dengan luar. Seperti yang telah saya tunjukan di tempat lain (Valeri 1990), aktivitas laki-laki biasanya menyangkut tahap awal/pertama dari pengambilan alam. Aktivitas perempuan mengikuti dan mengubah apa yang telah diambil oleh laki-laki pada tahap berikutnya. Pada awalnya, laki-laki terhubung dengan bagian luar, dimana ia berburu, terlibat dalam perang, menebang pohon untuk membuka ladang, dan lain-lain. Sebaliknya, perempuan tetap di dalam desa atau lebih dekat dengan hal itu dibandingkan laki-laki. Ekspresi paradigmatis dari kontras ini adalah pengambilan/perburuan hewan liar : laki-laki berburu hewan di hutan, mengubahnya menjadi daging yang kemudian dia bawa ke desa, dimana istrinya kemudian memasaknya. Namun demikian, tahap akhir dari pengambilan ini, seperti yang lainnya, adalah lagi-lagi bersifat kelaki-lakian/ maskulin : memakan daging oleh laki-laki itu adalah momen penting dari perjamuan, yang memasukan substansi ke dalam pusat laki-laki dari desa. Singkatnya, jika kita mengabaikan struktur internal desa dan hanya mempertimbangkan kontras antara pusat manusia dan bukan ruang luar manusia, kita akan melihat suatu pembalikan dari posisi relatif laki-laki dan perempuan terhadap pusat, membedakan awal dari proses pengambilan dari akhir itu. Namun, fakta bahwa tahap akhir juga merupakan situasi “normal” ditandai dengan pembagian desa ke dalam ruang permanen laki-laki (beranda dan alun-alun desa) dengan ruang luar perempuan secara permanen (dapur dan pondok menstruasi). Dari sudut pandang ini, dimensi duniawi melibatkan osilasi manusia antara 2 ruang ekstrim yang dipisahkan oleh ruang perempuan. Menariknya, ruang ini terhubungan dengan aktivitas memasak, yang merupakan salah satu penanda utama mediasi dalam pemikiran Hualu.


Kesimpulannya, osilasi dapat direpresentasikan sebagai pembalikan lengkap,


atau sebagai osilasi laki-laki antara 2 ruang laki-laki yang saling berlawanan :
                Terlepas dari tampilannya, diagram terakhir ini, tidak menggambarkan struktur pentadik, tetapi masih bersifat tetradik. Akibatnya, 2 ruang laki-laki dihitung sebagai 1, karena kombinasi mereka mendefinisikan nilai relatif laki-laki terhadap perempuan : nilai yang dengan tepatnya terdiri dari 2 bagian. Memang, untuk menjembatani oposisi milik laki-laki terhadap perempuan, pria harus memiliki dalam dirinya secara paradigmatik karakteristik “perempuan, disamping paradigmatik atribut “ laki-laki”. Jadi, ketika dia beraktivitas di dunia luar, dia memiliki karakteristik “perempuan”, karena dia membubuhkan, seperti perempuan, produktivitasnya yang tidak teratur, melibatkan kehidupan dan kematian. Sebaliknya, ketika ia beraktivitas di dalam alam semesta, ia mewujudukan ikatan keteraturan yang maskulin secara paradigmatik, membentuk stabilitas, keabadian (cf. Valeri 1990). Ini tidak hanya menunjukan bahwa laki-laki dapat menjembatani oposisinya terhadap perempuan, karena ia adalah objek yang tanpa tanda (spesies manusia itu sendiri) yang mencakup keduanya – tetapi juga bahwa menjembatani laki-laki dan perempuan ini terkait erat dengan menjembatani dunia manusia dan bukan manusia. Seperti yang telah kita lihat, proses menjembatani yang terakhir itu sendiri diperlukan, untuk memastikan relasi yang tepat antara langit dan bumi, Lahatala dan Puhum, dan oleh karenanya merupakan tatanan kosmos.
                Hualu nampaknya berbagi fitur lain dengan Ge: konsepsi oposisi antara rumah komunal yang diidentifikasi dengan komunitas secara keseluruhan, di satu sisi, dan rumah-rumah yang terkait dengan kelompok-kelompok tertentu, di sisi lain. Namun, bentuk yang diambil oleh oposisi di Hualu ini sangat berbeda dengan bentuk yang di ambil di Brazil Tengah. Rumah komunal komunitas Ge, adalah murni laki-laki. Di antara orang Kayapo, misalnya, suatu sistem kelompok yang melekat pada rumah komunal laki-laki, mengatur siklus perkembangan rumah tangga dengan mengatur relasi antara laki-laki yang terlibat dalam siklus itu (cf Turner 1979: 207 – 208). Di Hualu, sebaliknya, memberikan kepentingan krusial bagi perempuan dalam reproduksi rumah tangga. Dengan demikian, rumah komunal mereka, yang mengatur proses reproduksi tersebut, tidak bisa murni laki-laki, tetapi harus dibagi menjadi bagian laki-laki dan bagian perempuan, persis seperti rumah-rumah lainnya. Untuk alasan yang sama, rumah itu tidak terletak di pusat desa seperti di komunitas Ge dan Bororo, tetapi menghubungkan pusat desa laki-laki dengan bagian pinggiran perempuannya. Selain itu, tidak ada moiety di Hualu. Namun, pembagian global masyarakat dalam kelompok laki-laki dan kelompk perempuan, dan proses mediasi mereka selanjutnya dalam proses ritual, berkaitan dengan proses reproduksi dari “rumah” tunggal, dengan cara yang sama di moiety Ge, dan ritual mereka, berhubungan dengan siklus perkembangan rumah tangga. Dalam kedua kasus tersebut, pembagian masyarakat dalam 2 kategori yang menyeluruh untuk memediasi proses sosial partikularistik dari komponen-komponen masyarakat.
Untuk menggambarkan mediasi kolektif ini, izinkan saya memberikan beberapa fakta. Dewasa ini, seperti di masa lalu, alasan utama untuk melakukan ritual di rumah komunal adalah inisiasi bersama anak laki-laki dan perempuan, Sampai masa remaja, anak laki-laki dan perempuan tidak dibedakan secara tajam. Situasi ini berubah untuk anak perempuan ketika mereka mulai menstruasi, sedangkan bagi anak laki-laki, pada waktu yang dipilih secara acak ketika kelompok dari mereka secara kolektif diinisiasi. Ketika seorang gadis menstruasi untuk pertama kalinya, ia harus “diasingkan” di salah satu pondol menstruasi (liliposu) di pinggiran/luar desa. Secara tradisional, bagian awal inisiasi anak laki-laki berlangsung di luar desa. Di sana mereka disunat, setelah itu mereka harus pergi berburu dengan pemrakarsa inisiasi mereka. Saat mereka kembali, mereka menarikan tarian perang untuk pertama kalinya (ussali) di pusat desa, yaitu di ruang yang menghadap ke rumah komunal. Disebutkan bahwa upaya untuk memperoleh kepala-kepala ini, memungkinkan para gadis untuk meninggalkan liliposu. Ini menyiratkan bahwa beberapa dari mereka harus tinggal di sana selama berbulan-bulan.
Dewasa ini, tidak ada lagi sunat dan perburuan kepala; namun seperti di masa lalu, kembalinya anak-anak lelaki ke desa, menandai dimulainya periode pesta malam di rumah komunal – di mana para gadis dan anak lelaki yang sudah bisa menikah melakukan tarian melingkar bersama hingga subuh. Tarian ini (kahua) – yang dimasa lalu dilakukan sambil mengelilingi kepala hasil buruan – adalah kesempatan untuk menggoda, juga untuk pembentukan dan pengakuan publik atas hubungan yang pada akhirnya disetujui lewat pernikahan.
Selama periode panjang, di mana tarian berlangsung pada periode 24 jam ditandai dengan kekontrasan berikut. Sepanjang hari, para lelaki melakukan tarian ussali; begitu malam tiba, mereka melakukan kahua dengan para gadis di rumah komunal. Deskripsi singkat ini, cukup untuk menunjukan bahwa ritual ini berhubungan dengan penataan ruang struktur desa dan kosmos. Prosesnya di mulai dari pinggiran desa untuk kedua jenis kelamin. Kemudian laki-laki akan memasuki dunia luar di sekitarnya, yang mereka “jinakkan” dengan membunuh musuh. Dalam kemenangan, mereka membawa kepala ke pusat desa, sehingga menghubungan 2 ruang spasial yang terkait dengan kelaki-lakian dalam 2 oposisi. Proses ini adalah ikon dari yang lain : “penjinakan” dari kekuatan prokreasi liar yang diwakili oleh darah perempuan (cf. Valeri 1990). Dengan demikian, perpindahan kepala yang berdarah dari luar desa ke pusat desa, memungkinkan untuk mempengaruhi gerakan analog dari perempuan yang berdarah dari pondok mestruasi kembali ke desa. Kepala yang berdarah, kemudian, adalah kondisi transendental dari hubungan laki-laki dan perempuan, seperti yang ditunjukan oleh fakta bahwa penari berputar di sekitar kepala itu. Relasi laki-laki dan perempuan, pada gilirannya, memungkinkan reproduksi rumah-rumah. Jadi, ritual, yang dimulai di rumah-rumah dan berakhir di dalamnya, menggunakan oposisi global dari jenis kelamin untuk memediasi, pada saat yang sama, masyarakat dan alam, rumah-rumah dan relasi individu di setiap rumah.
Tampaknya, sebagai kesimpulan, Hualu memisahkan 2 aspek umum yang berbeda dalam perkawinan dan masing-masing berkorelasi dengan tingkat hierarki yang berbeda. Aspek eksogami, unilateral, minimal triadik yang melekat dalam aturan perkawinan MBD yang diberlakukan di Hualu, ditempatkan pada tingkat yang lebih rendah, yang ditentukan oleh relasi antar rumah; suatu aspek yang bertepatan dengan gender dan saling timbal balik, serta diadik yang ditempatkan pada tingkat tertinggi, dimana masyarakat bertindak secara keseluruhan3. Karena aspek pertama dari perkawinan mengandaikan yang kedua, maka tingkat pertama dari masyarakat (rumah) mengandaikan yang kedua (rumah, dan oleh karena itu struktur kosmologis desa). Dengan demikian, Hualu telah sepenuhnya mem-bypass kombinasi “klasik” unilateralisme dan dualisme, yang terdiri dari meliputi aliansi asimetris antara kelompok-kelompok di tingkat bawah menjadi aliansi simetris antara tingkat kelompok lebih tinggi yang didefinisikan sebagai kelompok yang saling bertukar.
Kami menemukan solusi “klasik” ini pada masyarakat tetangga Hualu yaitu – Piliyana4 – yang memiliki budaya yang mirip dengan Hualu dan berbicara dalam dialek bahasa yang sama. Piliyana dibagi dalam 2 moiety eksogami patrilineal yaitu Latumutuani dan Ilela Potoa. Moiety tersebut tidak mencakup sub kelopok yang diakui secara resmi dan dinamai; namun beberapa rumah tangga memiliki ikatan perkawinan preferensial yang simetris, sembari tetap menghormati moiety eksogami. Kebanyakan orang hanya peduli dengan menikahi seseorang dari lawan jenis pada moiety yang berlawanan, yang merupakan mufini “ relasi sepupuan”. Namun ada asimetri tertentu, karena seseorang tidak boleh menikahi sepupu silang patrilineal yang dekat, meskipun berada pada moiety yang berlawanan (cf. Valeri 1975:91).
Ilela Potoa dan Latumutuani  merupakan pihak yang berlawanan sebagai “perempuan” menjadi “laki-laki”.  Jabatan Kapitane “pemimpin perang” berada di Latumutuani, sedangkan jabatan Ratuina “Ibu Penguasa” dikaitakan dengan Ilela Potoa5. Ratuina dikatakan “seperti perempuan” dan menyibukan diri dengan masalah-masalah alam, sedangkan Kapitane, yang tentu saja, adalah sosok laki-laki, penguasa kekuatan dan perantara antara masyarakat dan dunia luar. Dalam kesepakatan dengan oposisi ini, dewasa ini kepala pemerintah (yang secara lokal di sebut radja) adalah seorang Latumutuani.
Berbagai spesies alam berpasangan, terutama tanaman yang dapat dimakan atau bermanfaat, fitur-fitur alam semesta dan benda-benda langit terkait dengan 2 moiety. Yang paling penting adalah relasi dengan 2 gunung : Roifelu (yang dianggap merupakan rumah asli Latumutuani) dan Murkele (rumah asli Ilela Poto dan salah satu gunung tertinggi di Seram). Gunung Roifelu, seperti moiety yang terkait dengannya, dihubungkan malam, dengan bintang senja (Eaka) dan dengan bulan (Umalaputi); gunung Murkele terhubung dengan bintang fajar/pagi (Kamuloite) dan dengan matahari (Lealomai). 

Asosiasi ini menampilkan inversi yang menarik : matahari dianggap maskulin tetapi dikaitkan dengan moiety feminim, sedangkan bulan dipahami sebagai feminim, dikaitkan dengan moiety maskulin. Pembalikan ini memiliki efek menggabungkan fitur laki-laki dan perempuan di setiap moiety, sehingga menghasilkan tingkat struktural dimana oposisi mereka dalam hal gender dinetralkan. Tanpa netralisasi tingkat yang lebih tinggi – yang menciptakan dimensi yang sama – tidak mungkin, tentu saja, untuk menentang 2 moiety di tingkat yang lebih rendah karena setiap 2 istilah yang ditentang harus memiliki setidaknya satu dimensi dimana mereka tidak ditentang. Persyaratan logis dari oposisi ini (cf. Aristoteles Categoriae 14a 15-19; Tarde 1897:20; Ogden 1967:37) dipenuhi tidak hanya di Piliyana tetapi juga, seperti yang akan kita bahas, banyak di Seram. Sangatlah memuaskan dengan menambahkan pada satu oposisi kebalikannya – seperti di sini – atau dengan menempatkan istilah ketiga, netral di antara 2 oposisi.
Netralisasi oposisi dalam hal gender antara Ilela Potoa dan Latumutuani memiliki fungsi lain yang lebih spesifik di Piliyana. Keempat benda langit yang disebutkan diatas dikatakan sebagai “menjadi manusia”, dan merupakan 2 pasangan saudara sekandung, yang merupakan korelatif selestial dari 2 pasangan terestial analog yang ditemukan pada asal mula suatu organisasi. Pasangan Eaka (Δ) / Umalaputi (O) terhubungan dengan 1 moiety; pasangan Kamuloite (O) / Lealomai (Δ). Eaka dan Lealomai bertukar saudara perempuan mereka dan dengan demikian menuliskan di kosmos hubungan aliansi yang membuat Ilela Potoa dan Latumutuani  menjadi masyarakat yang utuh. Maka, alasan netralisasi seksual kelompok pada tingkat ini menjadi jelas. Sebagai mitra pernikahan, mereka tidak bisa ditentang sebagai laki-laki terhadap perempuan, tetapi harus laki-laki dan perempuan : jika tidak ada pertukaran, maka akan menjadi mustahil6. Karena itu, masing-masing didefinisikan oleh pasangan saudara/saudari. Selain itu, masing-masing moiety bertukar bagian perempuan dengan yang lain, sehingga menghasilkan masing-masing bagian yang berisi bagian yang dilepas (yaitu perempuan).
Perhatikan bahwa hanya setelah saudara perempuan ini bertukar kedua moiety yang diwakili oleh benda-benda langit menjadi seimbang. Memang, sebelum pertukaran, masing-masing sama dari sudut pandang gender, tetapi masih tidak sama karena nilai yang tidak sama dari masing-masing pasangan saudara kandung : Bintang senja dan Bulan dikaitkan dengan Malam, sedangkan Bintang Pagi dan Matahari terkoneksi dengan Hari. Setelah pertukaran, setiap moiety menggabungkan siang dan malam, barat dan timur. Ini menunjukan kesetaraan tertinggi dari 2 moiety di tingkat pertukaran perkawinan. Aliansi timbal balik ini,merupakan nilai tertinggi di Piliyana, yang merupakan masyarakat itu sendiri karena ia menetralkan semua oposisi lainnya.
Pada tingkat ini, totalitas tidak diidentifikasikan dengan kelompok mana pun, tetapi dengan relasi mereka, yang asasnya diberikan transenden dan tidak dapat disangkal dengan pemindahan ganda : pada waktu dan dalam ruang. Namun, fakta bahwa timbal-bali dan kesetaraan mutlak ini harus tetap transenden adalah gejala dari kenyataan bahwa pada tingkat yang lebih rendah dan lebih konkret. Tingkat kesetaraan absolut tingkat atas tidak ada lagi. Di sana, oposisi dari moiety dalam hal sifat-sifat gender yang tidak sama diperkenalkan untuk mengungkapkan fakta bahwa totalitas sosial ada, karena saling melengkapi dari lawan yang tidak setara.

==== bersambung ====
Catatan Kaki :
  1. Di bagian lain, saya telah menyampaikan tentang Hualu, bahwa nenek moyang mereka “ hidup dalam kelompok-kelompok kecil dan tidak memiliki organisasi pedesaan” (Valeri 1980:180). Maksudnya, mereka tidak hidup berdampingan. Namun, seperti yang telah saya sebutkan (Valeri 1976:132), kelompok-kelompok lokal yang kecil ini masing-masing cenderung di sekitar pusat yang didasari oleh mereka sebagai rumah komunal dan beberapa rumah pribadi. Pusat-pusat ini disusun seperti desa/negeri masa kini. Mungkin, keliru untuk mengatakan bahwa Hualu tidak memiliki “organisasi desa/negeri di masa lalu”. Pernyataan yang lebih benar adalah “negeri –negeri” kuno terdiri dari “dusun-dusun” yang tersebar.
  2. Namun, perlu diketahui bahwa menerjemahkahn roe dengan “timur” dan ria dengan “barat” adalah bentuk penyerdehanaan. Lebih tepatnya, roe berarti “ arah kanan saat menghadap ke laut”, ria berarti “arah kiri saat menghadap laut”. Karena Hualu menghadap ke laut utara Seram, maka roe merujuk Timur, dan ria merujuk Barat. Tetapi pada desa-desa yang menghadap ke laut selatan dan terletak di barisan pegunungan yang memisahkan bagian utara dari Seram selatan, roe merujuk pada Barat, dan ria merujuk pada Timur. Ini menunjukan kemungkinan penjelasaan untuk kesamaan roe = luar ; ria = di dalam.  Orang-orang Hualu sebagian besar memegang peralatan dan senjata dengan tangan kanan (sesuai dengan roe). Pergerakan benda-benda ini dari kiri ke kanan bertepatan dengan gerakan ke arah luar. Jadi bagian anak panah diletakan di belakang bagian kiri, tetapi anak panah itu sendiri di lepaskan oleh tangan kanan; analoginya, ketika mereka menggunakan pisau, mereka selalu memotong menjauhi mereka (dan karena itu dari kiri ke kanan). Parang dipegang dengan tangan kanan, tetapi saat ditempatkan dengan gerakan dari kanan ke kiri, dalam sarung yang tergantung di sisi kiri tubuh. Itu nampaknya, ada hubungan motivasi yang tinggi antara “kanan” dan “luar” serta “kiri” dan “ di dalam”
  3. Suatu bipartisi anolo dari seluruh masyarakat ke dalam kategori “laki-laki” dan “perempuan” (masing-masing , termasuk orang-orang dari kedua jenis kelamin) terjadi dalam upacara perkawinan dan prestasi yang menyertainya (Valeri 1980)
  4. Piliyana adalah nama desa tempat orang-orang Lossa kuno sekarang tinggal (lihat Roder 1948: 32), terletak di lereng selatan barisan gunung yang memisahkan bagian utara dari bagian selatan Seram Tengah.
  5. Oleh karena itu, kedua kelompok masing-masing sering disebut sebagai Ratuina dan Kapitane 
  6. Dalam kasus Piliyana, setidaknya klaim Levi-Strauss bahwa dalam menjadikan 1 moiety laki-laki dan perempuan lainnya, “pemikiran Indonesia” tidak bisa anggap sebagai fakta bahwa setiap eksogami mengandung laki-laki dan perempuan, tidak valid (cf. Levi-Strauss 1958: 174)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar