Kamis, 16 Juli 2020

Keluhan yang disampaikan oleh Penduduk Hunut Di Pulau Ambon, 14 Juli 1695


Oleh : Gerrit J Knaap



  1. Kata Pengantar

Surat terbuka yang berisi kritik, keluhan, protes, curahan hati dan sebagainya dari rakyat kecil kepada pemerintah, bukan sesuatu yang baru. Sikap “berani” itu, bisa dilacak sampai jauh ke belakang, misalnya ke akhir abad ke-17.  Artikel ini adalah suatu penjelasan dalam bentuk pengantar yang dibuat oleh sejarahwan Gerrit J Knaap untuk memahami suatu arsip VOC. Arsip VOC yang dimaksud adalah Surat Keluhan dari Penduduk Hunut di Pulau Ambon, yang dikirim kepada Hoge Regering (Pemerintah Agung) di Batavia pada tahun 1695.
Diketahui bahwa surat keluhan itu ditulis pada 24 Juni 1695 dan tiba di Batavia serta diterima pada tanggal 14 Juli 1695. Prosedur yang biasanya dilakukan oleh para pegawai VOC setelah menerima surat-surat jenis itu, atau surat “diplomatik” dari Sultan, Radja, pemimpin suatu komunitas, adalah menerjemahkannya ke Bahasa Melayu (tingkat tinggi) dan Bahasa Belanda. Dokumen asli dan dokumen hasil terjemahan itu kemudian disimpan dalam arsip-arsip milik VOC. Dokumen surat keluhan ini berada dalam koleksi Hoge Regering 2514 folio 461 – 463 yang di masa kini disimpan di ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) di Jakarta.

Seperti disebutkan bahwa Knaap memberikan penjelasan dalam bentuk pengantar untuk memahami dokumen ini. Knaap menyebut bahwa sekilas pandang, dokumen ini tidak terlampau mengesankan karena cukup pendek. Namun jika membaca dengan cermat, dokumen itu sarat dengan informasi tentang sejumlah rincian menarik perihal kehidupan masyarakat umum di Amboyna pada abad ke-17, misalnya hak atas tanah, pemanfaatan lahan pertanian, pelaksanaan hukum, perkembangan agama dan relasi antara pihak penjajah dan masyarakat yang dijajah.
Pengantar yang dibuat oleh Knaap ini dimuat dalam Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 8.
Ini merupakan proyek pendigitalisasian arsip-arsip VOC dalam rangka merawat dan melindungi arsip-arsip yang dikoleksi oleh ANRI. Proyek digitalisasi ini kemudian dipublikasikan dalam website mereka : www.sejarah-nusantara.anri.go.id

Pengantar oleh Knaap ini sudah dalam versi bahasa Indonesia dan bisa diunduh pada alamat itu. Mempertimbangkan pentingnya kita untuk melihat, mengamati dan membaca arsip-arsip, sebagai langkah awal untuk memahami sejarah, kami menyajikan artikel itu untuk dinikmati di blog ini.
Kami hanya menambahkan catatan tambahan pada artikel dalam bentuk pengantar ini. Itu dilakukan untuk memperjelas sesuatu, yang mungkin banyak dari kita belum mengetahuinya.
Akhir kata, selamat membaca... semoga pengetahuan sejarah kita semakin bertambah.

Arsip Surat Keluhan terjemahan Bahasa Melayu


  1. Terjemahan

Terjemahan permohonan dalam bahasa Melayu yang ditulis sejumlah penduduk di Ambon
kepada Pemerintah Agunga Hindia Belanda, diterima di Batavia pada tanggal 14 Juli 1695”1, merupakan sebuah dokumen cukup pendek dan sekilas pandang tidak terlampau mengesankan. Namun, membaca naskah itu dengan cermat dan menempatkannya pada situasi ketika itu, maka diperoleh sejumlah rincian menarik perihal kehidupan masyarakat umum di Amboina di abad ke-17, ketika pulau tersebut di kuasai oleh Kompeni (VOC).
   Ringkasan dokumen sebagai berikut :

Dengan mengatas-namakan semua penduduk di permukiman “Houmit”, dua atau 3 orang yang menyebut dirinya sebagai “pelayan rendah dan kawula jelata”, “dengan berlinang air mata” dan “dengan segala kerendahan hati” menyempatkan diri untuk menyampaikan perihal keadaan mereka yang menyedihkan “di telapak kaki” para anggota Pemerintah Agung di Batavia. Seluruh lahan mereka, bahkan seluruh kawasan mereka, telah diambil oleh orang-orang dari 6 desa lain, sehingga membuat mereka susah mencari nafkah. Para penyerang telah menduduki lahan-lahan mereka, membabat pohon-pohon cengkeh dan kelapa yang tua serta menggantinya dengan tanaman baru; mereka juga memanen sagu dan buah-buahan lain. Pada zaman kepemerintahan para gubernur VOC di Ambon sebelumnya, penduduk “Houmit” telah menyeret para penyerang ke meja hijau, tetapi mereka dikalahkan akibat “permainan busuk” dan “para saksi palsu” dari lawan mereka. Para terdakwa dari 6 desa menyatakan bahwa mereka adalah pemilik sah lahan-lahan tersebut yang mereka peroleh sebagai warisan. Namun, mereka yang dari “Houmit” menyatakan tidak tahu-menahu bahwa orang-orang tersebut “berasal” dari “Houmit”, sebab semenjak VOC mengusir orang Portugis dari Amboina yaitu di tahun 1605, tak seorang anak perempuan mereka yang telah beralih menganut agama Kristen atau menikah resmi dengan orang dari kelompok terdakwa.

         Dari pernyataan itu, kita menjadi maklum bahwa orang-orang “Houmit” beragama Islam sementara yang berasal dari 6 desa itu beragama Kristen. Nampaknya, selama masa Portugis penduduk “Houmit” tidak memanfaatkan kawasan mereka karena mereka bersama penduduk Hitu dan lainnya berperang melawan orang Portugis. Sesudah orang Portugis dikalahkan, maka mereka yang bergabung dengan penduduk Hitu kembali ke kawasan mereka masing-masing dan kembali bercocok tanam di lahannya. Dalam masa kekuasaan Gubernur Arnold de Vlaming van Oudshoorn yang memerintah Amboina sejak 1647 hingga 1665b, para pengacau dari 6 desa itu mulai menduduki dan menanami lahan-lahan “Houmit”. Selama masa kepemerintahan Gubernur Dirk de Haas dari 1687 hingga 1691, penduduk “Houmit” membawa perkara mereka ke pengadilan. Akan tetapi, sesudah De Haas pergi, perkara itu dikeluarkan dari pengadilan dan berakhir dengan keputusan yang sudah disebutkan di atas, yang merugikan penduduk “Houmit”.
Dengan demikian maka untuk bertahan hidup mereka tetap tergantung pada kerelaan hati penduduk Hitu berbagi sumber kehidupan. Naskah itu berakhir dengan permohonan kepada Pemerintah Agung agar memberi keadilan kepada penduduk “Houmit”. Dengan demikian maka dokumen ini, kendati cukup pendek, menyentuh perihal hak atas tanah, pemanfaatan lahan pertanian, pelaksanaan hukum, perkembangan agama dan hubungan antara penjajah dan yang dijajah. Sebuah naskah yang sarat dengan informasi. Namun, marilah kita tambahkan informasi dan menempatkannya dalam segi pandang perspektif sejarah serta keterkaitannya dengan keadaan setempat. 

Nampaknya, lahan bersangkutan adalah Hunut yang termasuk kawasan Hitu, di pesisir timur laut pulau Amboina. Dalam abad ke-16 hingga paruh pertama abad ke-17, Hitu merupakan negara yang secara politis merdeka, yang penduduknya telah turun temurun berperang melawan para penjajah yaitu mula pertama orang Portugis dan kemudian orang Belanda yang diwakili oleh VOC. Penjajah berkantor pusat di sebuah kastel di Amboina yang terletak di Kota Ambon sekarang. Kastel itu merupakan bangunan terpenting di bagian selatan pulau Amboina, tepatnya di jazirah Leitimor dan kawasan pesisir Teluk Amboina. Pengantar paling baik untuk mengenal Hunut di abad ke-17, sejak dahulu adalah Generale Lantbeschrijving of Amboyna karangan pegawai VOC terkenal, ahli tanaman dan ilmuwan, Georgius Everhardus Rumphius (1627 – 1702)2. Menurut Rumphius, dari segi sejarah, nama Hunut merujuk pada nama sebuah kumpulan 5 negeri, dan juga nama desa utamanya. 3 dari 5 desa itu sudah punah, antara lain akibat peperangan antar-desa di abad ke-16. Di paruh kedua abad ke-17, apa yang masih tersisa dari kelompok desa itu dibagi dua. Penduduk di bagian terbesar, termasuk Hunut itu sendiri, bermukim di Hitulama di pantai timur laut; bagian yang lebih kecil adalah Hukunalo yang juga disebut Rumahtiga, terletak di pesisir utara Teluk Amboina. Penduduk Hunut memeluk agama Islam; penduduk yang lain yang berintegrasi dengan penduduk Hukunalo, dan memeluk agama Kristen. Almarhum ahli antropologi Indonesia, Joost Manusama, menggabungkan informasi Rumphius dengan sejumlah bukti etnologi lain3. Terkait dengan kumpulan desa itu, Hunut merupakan bagian dari federasi desa-desa yang lebih besar, yang dikenal dengan nama Uli dan bernama Uli Helawan, atau “Uli Emas” dan merupakan inti negara Hitu dengan pusat asal di Hitulama. Tidaklah mengherankan bahwa penduduk yang disebut dalam dokumen ini berbagi hidup dengan orang-orang dari Hunut yang miskin yang sebenarnya berasal dari Hitulama. Ketika itu, Hunut merupakan bagian integral dari Hitulama, dan ketika kemudian Hitulama terbagi menjadi Hitulama dan Hitumesen, maka Hunut menjadi bagian dari Hitumesen. 

Kelanjutan sejarah dokumen ini adalah sebagai berikut4. Selama peperangan antara Hitu di satu sisi dan Portugis serta VOC di sisi lain di paruh kedua abad ke-16 dan paruh pertama abad ke-17, kawasan pesisir utara Teluk Amboina merupakan kawasan peperangan dan menjadi daerah tak bertuan. Para pemukim Hunut mundur ke Hitulama, sementara yang lain seperti penduduk Hatiwe dan Tawiri pindah ke sekitar kastel penjajah di Leitimor. Ketika peperangan usai, penduduk tetap tinggal di tempat-tempat baru mereka, oleh karena VOC ingin mengawasinya. Sejauh para penduduk desa hendak mengerjakan lahan-lahan mereka terdahulu, mereka diperbolehkan pergi ke lahan-lahan itu untuk melakukan kegiatan pertanian, tetapi tidak diperbolehkan menghuninya secara tetap. Kesudahannya adalah bahwa daerah tak bertuan itu menjadi kosong, dan menjadi sasaran empauk bagi penduduk lain yang tidak memiliki lahan, utamanya penduduk desa Leitimor dan penduduk Kota Ambon yang sudah mulai sesak. Orang-orang Hunut menyaksikan betapa lahan-lahan mereka diduduki oleh orang-orang dari Halong, Soya, Mardika dan tempat-tempat lain. Mereka bahkan mendirikan hunian yang sebenarnya dilarang VOC sejak 1658. Orang-orang Hunut mendapat kesempatan di tahun 1678c ketika gubernur Dirk de Haas berkuasa; yang bersangkutan adalah seorang yang dikenal oleh sahabat dan musuhnya sebagai “tuan yang liberal”. Tahun 1687 merupakan tahun ketika De Haas kembali menerapkan kebiasaan lama yaitu bahwa semua dokumen di pengadilan harus dibuat dalam bahasa Belanda dan Melayu sehingga memudahkan orang Hunut untuk mengajukan perkara. Semua itu disebabkan karena para pendahulu De Haas melakukan kampanye pengrusakan pada “rumah-sumah kebun” dibarengi dengan serangkaian tindak kekerasan lain sehingga menimbulkan penentangan dari penduduk Pulau Amboyna. De Haas diutus untuk mengembalikan perdamaian di antara penduduk, yang dilakukannya dengan melakukan penyelidikan yang cermat, dan memberikan sedikit konsesi serta menerapkan peraturan dengan tidak terlalu ketat.
                Malangnya, seperti yang diutarakan dalam keluhan mereka, orang-orang Hunut tidak berhasil dalam proses hukum mereka. Bagaimana nasib mereka dapat dibaca dalam Memorie van Overgave, yaitu memorandum serah-tugas dari Balthasar Coyettd di tahun 17065. Seperti yang tertulis dalam dokumen ini maka tidak lama sesudah De Haas meninggalkan kawasan tersebut di tahun 1691e, perkara pengadilan antara penduduk Hunut yang diwakili oleh Timolohalat dan desa-desa lain dengan Halong di barisan depan, telah diputus dengan menguntungkan bagi Halong. Bahkan penduduk Halong menerima dokumen kepemilikan lahan yang tercatat di sekretariat VOC. Bertahun-tahun kemudian, persoalan itu masih dibicarakan secara teratur dalam surat-menyurat VOC. Di bulan Desember 1705, keturunan kedua pihak bersangkutan bertemu lagi di pengadilan. Coyett menyarankan agar permintaan penduduk Hunut di tolak karena Timolohalat dan keturunannya dianggap sebagai orang-orang yang “bergejolak dan gemar bertengkar”. Kita dapat menduga bahwa Hunut kembali kalah.

=== selesai ===


Catatan Kaki :
1.         ANRI VOC, Archief Hoge Regering, 2514, fol. 461-463.
2.        Terbitan paling bagus dari Rumphius’s Lantbeschrijving adalah W. Buijze (ed), De Generale Lant-beschrijvinge van het Ambonse Gouvernement ofwel De Ambonsche Lant-beschrijvinge door G.E. Rumphius. Den Haag, 2001. Saya merujuk pada 17, 45-46.
3.        I am referring here to the posthumously published part of Manusama’s dissertation, edited by Chris F. van Fraassen: Z.J. Manusama, Historie en sociale structuur van Hitu tot het midden der zeventiende eeuw. Utrecht: 2004, 38-39, 65, 81.
4.        Didasarkan pada cetakan kedua yang diperbaiki dari Gerrit Knaap, Kruidnagelen en Christenen; De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon 1656-1696. Leiden: 2004, 42, 51, 58-60, 153.
5.        Baca G. J. Knaap (ed.), Memories van Overgave van gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw. ’s-Gravenhage: 1987, 304

Catatan Tambahan :
a.        Pemerintah Agung adalah terjemahan Indonesia dari kata berbahasa Belanda yaitu Hoge Regering. Hoge Regering adalah sebuah institusi / lembaga tertinggi yang mengendalikan semua operasi VOC di East –Indie atau Hindia Timur dan bermarkas di Batavia (Jakarta). Institusi ini terdiri dari 2 lembaga yaitu Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal) dan Dewan Hindia (Raad van Indie). Raad van Indie beranggotakan 9 orang (sejak tahun 1617) yang sebelumnya itu beranggotakan 5 orang (1610 – 1617).
b.       Masa pemerintahan Gubernur Amboina Arnold de Vlaming van Oudshoorn yang ditulis 1647 – 1665, mungkin adalah kekeliruan teknis pada penulisan tahun 1665, yang benar adalah 1647 – 1656. Kalimat yang ditulis Knaap di atas sebaiknya tidak dipahami secara literal bahwa van Oudshoorn menjadi Gubernur Amboina selama 9 tahun (1647 – 1656). Faktanya sebagai berikut : Arnold de Vlaming van Oudshoorn menjadi Gubernur Amboina pada periode 1647 – 1650. Pada Agustus 165o, van Oudshoorn menuju ke Batavia, Simon Cos yang di masa gubernur van Oudshoorn ditunjuk menjadi pejabat sementara. Pada Desember 1650, van Oudshoorn kembali lagi dengan tugas menjadi komisioner untuk 3 gubernemen yaitu Ambon, Ternate, dan Banda, yang tugasnya pasti mengunjungi wilayah-wilayah 3 gubernemen itu. Pengertian komisioner dalam masalah ini, mungkin bisa “disamakan” dengan Menko..Menteri Koordinator yang mengkoordinir 3 gubernemen itu, meskipun di lapangan, 3 gubernemen itu memiliki pejabat/gubernur sendiri. Van Oudshoorn menjadi komisioner itu hingga tahun 1656, maka dalam konteks itu, maka tidak salah dikatakan van Oudshoorn juga adalah “gubernur” Amboyna.
c.        Tahun 1678 ini, kemungkinan kekeliruan dalam penulisan tahun, dimana yang benar adalah 1687.
d.       Balthasar Coyett menjadi Gubernur Amboyna sejak Juni 1701 – Mei 1706. Ia digantikan oleh Adriaan van der Stel (Juni 1706 – Oktober 1720).
e.        Dirk de Haas mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 14 Mei 1691 sesuai tanggal Memori van Overgave atau Memorandum serah terima jabatan. Proses serah terima jabatan dilakukan tanggal 19 Mei 1691 dengan Gubernur baru yaitu Nicolaas Schaghen. Dirk de Haas kembali ke Batavia dan tiba pada 21 Juli 1691.





LAMPIRAN : Terjemahan Bahasa Indonesia Surat Keluhan itu

Terjemahan dalam bahasa Melayu dari surat keluhan yang disampaikan beberapa penduduk Ambon dan disampaikan kepada Pemerintah Agung Hindia Belanda di Batavia, diterima pada tanggal 14 Juli 1695.

Demikianlah, maka kami, Moulo Halut dan Malita Hoemit bersama semua penduduk Homit, yaitu para pembantu/bawahan dan para warga miskin yang patut dilindungi, bersama ini memberitahukan serta menyampaikan dengan segala hormat dan disertai cucuran air mata, ke hadapan Yang Mulia tentang keadaan kami yang menyedihkan, betapa lahan, dusun dan kebun kami dirampas oleh beberapa rakyat dari dusun Haloen Sawo Marduka, Nousa Nywa, Hylaliva dan Alan, sehingga kami sekarang menjadi sangat tidak berdaya karena kami sekarang tidak dapat menikmati sedikit pun hasil dari ladang-ladang tersebut untuk menunjang hidup kami oleh karena orang-orang tersebut sudah menguasai lahan-lahan kami, dan langkah pertama mereka yang merupakan kekejaman dan ketidakadilan terhadap kami, ialah bahwa mereka menebang pohon-pohon cengkeh dan kelapa kami yang tua dan menanam pohon-pohon baru di tempat yang sama, dan bahkan mereka juga mengambil tanaman sagu dan beberapa buah lain seperti durian, cempedak, leci dan aren serta juga pohon-pohon lain milik kami yang tumbuh di ladang-ladang kami, semuanya mereka ambil dengan akal bulus. Ketika masa jabatan para gubernur Ambon yang lalu, kami sudah sering menyeret mereka, orang per seorang ke hadapan pengadilan, akan tetapi oleh karena mereka berbohong dan memakai jasa para saksi palsu maka kami telah kalah karena mereka mengatakan bahwa yang mereka lakukan hanyalah memanfaatkan milik mereka sendiri yaitu kebun-kebun milik penduduk Houmit, sementara kami penduduk Houmit sama sekali tidak mengetahui bahwa mereka berasal dari kelompok kami, karena semenjak Yang Mulia Kompeni mengusir orang Portugis dari tanah Ambon hingga hari ini, kami penduduk Houmit tidak pernah menyuruh anak-anak perempuan kami menganut agama Kristen atau menikahkan mereka dengan orang-orang beragama demikian.
Lalu bagaimana mereka sekarang bisa berkata bahwa mereka memiliki lahan-lahan mereka sendiri sementara mereka jelas-jelas memanfaatkannya berdasarkan kebohongan serta ketidakadilan, bahkan kami dikatakan telah mengatakan yang tidak benar sehingga dengan demikian kami tidak berhak apa-apa atas ladang dan kebun tersebut. Apabila sekarang mereka mengatakan bahwa mereka berasal dari suku kami, semenjak bangsa Portugis ada di Ambon, mereka pun tidak mengatakan yang sebenarnya, karena ketika itu mereka bersama-sama dengan orang Portugis memerangi penduduk Kytoewa dan Noysa Nywa di siang dan malam hari. Siapa yang mengatakan bahwa mereka berasal-usul dari kami?; dan hal ini juga merupakan kebohongan, dan ketika orang-orang Hittou pergi untuk minta bantuan Yang Mulia Kompeni dan kemudian mereka datang dan mengalahkan orang-orang Portugis di Ambon, maka kami telah mengambil kembali ladang serta lahan kami, dan orang-orang Noysa Nywa dan mereka dari [Myome?] juga kembali melakukan hal yang sama hingga sekarang. Dan apabila Tuan Gubernur dan Laksamana De Vlaming [van Oudsthoorn] yang memerintah Ambon atas nama Kompeni, maka mereka pun pergi, dan mereka berkebun dan menanam pohon pisang serta singkongserta kentang dan juga tanaman-tanaman pangan lain, akan tetapi sesudah itu mereka menebang tanamana-tanaman kami yang sudah tua dan menanam di tempat itu pohon-pohon muda dan dengan demikian merampas dengan kekerasan lahan serta kebun-kebun kami.
                Ketika yang Mulia de Haes mengambil alih pimpinan Kompeni di Ambon [463] maka kami penduduk Houmiter secara bersama-sama telah mengadakan rapat dan telah menghadirkan rakyat tersebut di muka ke meja hijau dan perkara kami berlangsung hingga Yang Mulia Tuan de Haas pergi. Sesudah itu maka perkara tersebut sudah dihentikan dan kami sudah dinyatakan kalah dan semua lahan, ladang dan kini kami tidak memiliki apa-apa lagu untuk menghidupi akan tetapi Latoukoukus dan Talawawa masih mengambil sesuatu atau beberapa lahan dari kawasan yang disebut di depan tadi, karena mereka telah berbaur dengan orang-orang tersebut. Namun, kami tidak mendapatkan apa-apa dari lahan-lahan kami, dan dewasa ini kami tidak mempunyai bahan pangan apa-apa lagi kecuali dengan memohon dan minta-minta sagu dan hasil pohon-pohon buah lain dari raja Hytowea, orang kaya Booy Giegier dan orang-orang lain, dan mereka menanggung sebagian biaya operasional kebun, dan kami menanggung sebagian lagi karena kami harus memelihara dan memberi makan anak-anak kami.
                Dengan demikian maka sekarang kami menghadap dengan bercucuran air mata dan memohon kepada Yang Mulia dan Yang Terhormat sekiranya berkenan melindungi budak dan hamba mereka dengan keadilan serta kepatutan, sehingga kami hamba-hamab Tuan akan mengikuti Yang Mulia dengan segala kerendahan hati.

Ditulis di Mabon pada tanggal 24 Juni 1695
            Ditandatangani di Moulo Halut, Malita Humit dan Lato

Tidak ada komentar:

Posting Komentar