Sabtu, 25 Juli 2020

Orang Bugis – Makasar Di Kota-kota Pelabuhan Ambon dan Ternate Sepanjang abad ke-19 (bag 2 - selesai)


Oleh R.Z. Leirissa

Pemandangan Teluk Ambon. c. 1868


Bugis-Makasar di Ambon

                Kota Ambon berkembang di sekitar kastil/benteng yang dibangun oleh Portugis selama kuartal terakhir abad ke-16. Kastil itu ditaklukan oleh VOC, dan berganti nama menjadi Victoria, kemudian menjadi Nieuw Victoria (Jacobs, 1975a). Orang Bugis-Makasar dan Cina, yang tinggal di dalam dan sekitar benteng, tampaknya telah menjadi bagian dari kota, sejak pencatatan paling awal (Knaap, 1987: 166b).  Pada tahun 1667, wilayah kota dibagi menjadi 8 “lingkungan” atau “distrik” (wijken). Lingkungan elit adalah Urimeseng dan Batugajah, tempat para pejabat senor bertempat tinggal. Wilayah pantai di sebelah selatan benteng, yang berbatasan dengan Batugajh menjadi “distrik” tempat tinggal orang Cina. Banyak orang Bugis-Makasar juga tinggal di “distrik” yang berdekatan dengan orang Cina. Pembagian wilayah kota tidak banyak berubah pada tahun-tahun selanjutnya. Tetapi, ketika P. Bleekerc mengunjungi kota itu pada tahun 1854d, wilayahnya telah berkembang pesat. Kondisi geografis setempat membatasi wilayah kota ke dataran aluvial segitiga dengan sudut terlebar di sisi pantai. Perbatasan timurnya adalah sungai Batumerah, sedangkan sungai Batugantung merupakan perbatasan baratnya. Tempat tinggal orang Cina masih terletak di pantai selatan benteng, sementara “distrik” kaum Eropa, juga masih di barat daya benteng. Perubahan utamanya adalah di daerah yang ditempati oleh semakin banyaknya inlandsche burgers di perbatasan “distrik” kaum Cina dan Eropa (Bleeker 1856, 1: 89,99).
                Angka-angka yang diambil dari laporan tahunan pejabat Hindia Belanda membantu menggambarkan kondisi demografis di Ambon (tabel 2).

Tabel 2
Populasi Ambon


1856
1858
1860
European
695
742
778
Burgers
7415
7659
7793
Chinese
20
217
301
Arab
19
48
69
Orang Islam lainnya (Bugis-Makasar, Jawa, Melayu, dan lain-lain

-
473
645

Berbeda dengan situasi di Ternate, komunitas Bugis-Makasar ditambah dengan orang Jawa, Melayu dan orang-orang Islam lainnya dari tempat lain, jumlahnya melebihi orang Cina. Tambahan penting pada tabel demografis dalam laporan ini adalah data yang diberikan untuk orang-orang Arab. Pada tahun 1826, hanya ada 2 keluarga Arab, yang kepala keluarganya bernama Syech Ali dan Syech Djoban (De Bruijn Kops, 1859: 29), di tahun-tahun selanjutnya jumlah mereka meningkat pesat.
                Meskipun jumlah orang Cina, kebanyakan dari mereka keturunan campuran, lebih kecil daripada orang-orang Islam, data arsip menunjukan volume bisnis yang lebih besar dilakukan oleh burger Cina dan Belanda3. Memang, sejak zaman VOC, sebagian besar orang Makasar di kota Ambon adalah pekerja manual atau para budak, sedangkan burger Cina dan Belanda selalu berfungsi sebagai pedagang antar pulau dan antar wilayah (Knaap, 1987: 101,128,133,266), seperti yang terjadi di Ternate. Tetapi pada tingkatan yang lebih besar dari Ternate, aktivitas orang Cina di Ambon meningkat selama abad ke-19, karena kemunculan Singapura sebagai pelabuhan bebas di Asia Tenggara pada tahun-tahun awal abad itu. Peningkatan ini, juga difasilitasi oleh pembukaan kota-kota pelabuhan Ambon, Ternate, Kayeli dan Banda pada tahun 1854. Selain itu, orang-orang Arab juga mulai memainkan peran dominan dalam aspek-aspek tertentu dari ekonomi lokal pada periode ini. Sebaliknya, setelah reorganisasi administrasi pada tahun 1866, jumlah burger Belanda mulai menurun, karena banyak dari mereka meninggalkan Ambon. 

                Berbeda dengan situasi di Ternate, masyarakat Bugis-Makasar di Ambon juga harus menghadapi ketiadaan lingkungan budaya dan politik yang mayoritas beragama Islam. Semua faktor ini menunjuk pada situasi ekonomi yang relatif lebih lemah dari komunitas ini di Ambon, seperti yang ditunjukan oleh penyebaran pekerjaan mereka. Faktanya, situasinya tidak jauh berbeda pada awal abad ke-19. Selama reorganisasi di tahun 1817, para pemimpin mereka tidak diberi hak untuk menggunakan gelar bergengsi kapitein, yang dianugerahkan kepada para pemimpin komunitas burger Cina dan Eropa, atau kepada pemimpin komunitas mereka sendiri di Ternate. Malahan, seorang figur penting orang Makasar di Ambon, yang bernama Syafiuddin yang dikenal oleh Belanda sebagai Guru Primo, diangkat menjadi Hoofd der Maccassaren (A 173,226). Guru Primo mempertahankan posisi ini hingga tahun 1838, saat seorang Makasar bernama Haji Umar diangkat untuk menggantikannya, dan melanjutkan jabatan ini sampai sekitar tahun 1845. Setelah kematian Haji Umar, jabatan itu tampaknya telah dihentikan. Pada pertengahan abad itu, komunitas itu ditata ulang menjadi “lingkungan” yang terpisah, sesuai dengan pola untuk penduduk kota lainnya, dibawah kepala “lingkungan” orang Makasar atau wijkmeester der Maccassaren (A 1190, 1271).
 Memiliki pengetahuan yang lebih komprehensif tentang hukum dan peraturan Islam, daripada rekan seasalnya, Guru Primo (dan kemudian penggantinya) juga ditunjuk sebagai mediator dan penerjemah di Raad van Justitie di Ambon. Di lembaga pengadilan ini, burger-burger Muslim diadili dalam kasus-kasus perdata, seperti halnya Belanda, Cina dan Arab. Pos ini dilabeli Arabische schrijver (Arabic Secretary), dan kemudian sebagai Malaische schrijver, yang dalam hierarki birokrasi Ambon, merupakan salah satu pekerjaan klerikal yang paling banyak dibayar/digaji (ƒ 25) (A 28,29,30,184). Pengalaman dalam posisi ini, pasti telah meningkatkan kapasitas bisnis dan relasi dengan pedagang Cina dan Arab di kota. Tidak mengherankan, arsip pengadilan hukum di Ambon juga memasukan sejumlah kasus perdata atas nama Guru Primo (A 61,68,71). Setelah jabatan Hoofd der Maccassaren tidak diaktifkan, posisi mediator dan penerjemah di pengadilan hukum diberikan kepada Haji Hatala, otoritas lokal hukum Islam yang juga anggota keluarga penguasa di Batumerah, sebuah desa Muslim di dekat kota Ambon4. Pekerjaan bergaji lainnya yang diberikan kepada orang Bugis-Makasar di Ambon adalah Ceramsche Bode, yang akan dijelaskan lebih jauh selanjutnya.
Rupanya, hanya 2 atau 3 laki-laki di komunitas Bugis-Makasar yang memanifestasikan kapasitas untuk berdagang. Partisipasi minimal masyarakat Bugis-Makasar dalam kegiatan sosial kota pelabuhan, juga ditunjukan oleh posisi marjinal mereka di schutterij, pasukan penjaga kota yang didirikan pada awal abad ke-19.
Tugas membantu pemerintah menjaga perdamaian di kota pelabuhan dan sekitarnya, selalu menjadi salah satu tugas para burger Eropa. Tugas ini, juga diberikan kepada para mardijkers, yang terdiri dari budak-budak yang telah dimerdekakan, yang sebelumnya dipelihara oleh Portugis, dan keturunan para bekas budak ini, serta para pensiunan serdadu Portugis dan keturunan mereka, yang telah tinggal di kota Ambon sejak abad ke-165. Kedua kategori penduduk kota ini dipisahkan pada awalnya, dengan masing-masing dipimpin oleh kapitein-nya sendiri, tetapi mereka bergabung bersama dalam 1 unit sejak abad ke-18 (Encyclopaedia, 1917-1939, II: 422). Setelah Pemberontakan Pattimura tahun 1817, dimana para burger dan mardijkers berpartisipasi dalam operasi militer, Gubernur P. Merkus (1822 – 1827) memprakarsai serangkaian langkah-langkah untuk mengatur penduduk kota menjadi unit-unit yang lebih efektif. 6 seksi/kompi dibentuk, dimana 2 seksi pertama terdiri dari burger Belanda, burger pribumi serta para mardijker. Kedua kompi ini merupakan elit penjaga kota, dan diberi senjata api dan seragam putih. Setiap anggota seksi/kompi harus menyumbang  ƒ 6,12 ke dana penduduk kota (burgerkas) yang digunakan untuk pembiayaan. Satuan penjaga kota tersebut dipimpin oleh resident-magistraat dengan pangkat kehormatan luitenant-colonel, sementara sejumlah pejabat pemerintah sipil yang memiliki jabatan tinggi berfungsi sebagai stafnya. Tetapi, sejak awal para pejabat pemerintah dibebaskan dari tugas penjagaan, demikian juga para burger kaya, yang membayar kontribusi lebih tinggi daripada melakukan pekerjaan itu (De Bruijn Kops 1895 : 19-31). Belakangan, organisasi serupa dibentuk di kota Ternate dan Banda, sementara di Maluku Tengah, unit-unit lain dipimpin oleh seorang sersan atau kopral, didirikan di sekitar benteng yang lebih kecil di Hila dan Larike (keduanya di Ambon), Kayeli (Buru), Loki (Seram), Haruku, Saparua dan Nusalaut (Bleeker 1856, II: 7).
Hanya kaum burger yang bisa menjadi anggota penjaga kota; penduduk desa/negeri tidak dilibatkan. Karena komunitas Bugis-Makasar yang bebas (yaitu bukan budak) di Ambon, telah dianggap sebagai burger Muslim sejak masa VOC, mereka juga termasuk dalam organisasi ini. Namun, seperti yang dinyatakan sebelumnya, orang Bugis-Makasar di Ambon, tidak seperti yang di Ternate, tidak pernah dianggap penting dalam organisasi ini. 

Chinese Temple (1898)
Orang Bugis-Makasar di Ambon dimasukan dalam unit kecil di kompi/seksi kelima, yang dikenal sebagai kompi Moorsche burgerij. Anggota-anggota kompi ini, sebagian besar adalah orang Cina keturunan Muslim, dan dari kelompok inilah, para perwiranya juga dipilih. Sejak tahun 1828, orang Arab juga termasuk dalam kompi ini (A 226). Dalam korps perwira, para pemimpin kompi ini diberi gelar kapitein der Moorsche burgerij dan luitenant der Moorsche burgerij. Selama tahun 1820an, pangkat kapitein sering diberikan kepada anggota keluarga Kyat, salah satu Muslim terkemuka dari keluarga Cina keturunan campuran di Ambon. Yang pertama diberi kehormatan ini adalah Muskin Kyat, sementara Tjie Kariem bertindak sebagai luitenant der Moorsche burgerij. Belakangan, Abdurachman Kyat berhasil menjabat sebagai kapitein (A 108, 223, 226, 233). Djin Sukur dari keluarga Sukur yang terkenal, juga diberikan gelar ini di kemudian hari. Namun, sejak pertengahan abad ini, orang Cina Muslim keturunan campuran, sebagai suatu komunitas agama mereka sendiri, membentuk unit terpisah dengan pemimpinnya sendiri, disebut kepala djemaat der Islamische peranakan Chinezen. Salah satu dari kepala itu adalah Tan Husein. Bahkan, dimulai pada tahun 1828 ketika peraturan baru dikeluarkan, terkhususnya serangkaian persyaratan pendaftaran dari semua anggota schutterij (A 226), perbedaan yang jelas muncul antara schutterij sebagai organisasi paramiliter dengan keanggotaan tetap dan burgerij sebagai kategori umum penghuni kota tempat anggota schutterij direkrut.
Banyaknya data arsip jelas menunjukan diferensiasi internal masyarakat kota Ambon. Namun, data mengenai aktivitas orang Bugis-Makasar di kota ini sangat langka6. Pekerjaan yang berbeda dalam komunitas burger termasuk pedagang, kapten kapal, pedagang kecil, penjaja keliling, tukang batu, pelaut dan lain-lain. Sejumlah burger melakukan semua jenis pekerjaan manual di pelabuhan atau untuk institusi pemerintah. Salah satu kriteria paling penting dari diferensiasi internal adalah kepemilikan berbagai jenis kapal dagang. Keluarga-keluarga Cina keturunan campuran di Ambon, termasuk keluarga The, keluarga Ong, dan lainnya, termasuk dalam kategori pedagang kaya yang memiliki kapal dagang yang berkualitas tinggi, dan dengan demikian mempertahankan hubungan dagang yang luas secara geografis. Kemudian, terkhususnya selama paruh kedua abad ke-19, orang-orang Arab, termasuk keluarga Atamimi, keluarga Bahasoan, keluarga Basalama, dan keluarga Lapary juga menjadi terkenal sebagai pedagang di Ambon (A 40,43,48,50,62,66,70,72,113,114,117,126,127,129). Sepanjang paruh pertama abad ke-19, sejumlah keluarga burger Belanda yang terkenal, termasuk keluarga van Aalte dan keluarga Ostrauwski, juga memiliki kapal sendiri, berdagang tidak hanya di Maluku, tetapi juga di Makasar dan Jawa. Namun, karena reorganisasi administrasi tahun 1866 di Maluku, yang menghapuskan pemerintah pusat Maluku di Ambon yang telah didirikan sejak tahun 1817, banyak keluarga Belanda terkemuka meninggalkan kota. Tempat mereka dalam bisnis, diambil alih oleh generasi baru keluarga Cina dan Arab. Hampir semua kapten laut yang dipekerjakan oleh keluarga semacam itu, memiliki kategori etnis yang sama dengan pemilik kapal, meskipun anggota kru lainnya diambil dari semua asl etnis, termasuk Bugis-Makasar.
Seperti yang terjadi di Ternate, pada paruh kedua abad ke-19, komunitas Bugis-Makasar di Ambon, mulai menurun. Jumlah mereka menurun cepat pada dekade terakhir abad ini. Penurunan ini adalah salah satu alasan utama mereka dikeluarkan dari schutterij, setelah reorganisasi pada tahun 1886 (Staatsblad 1886, no 136).
Penurunan orang Bugis-Makasar sebagai burger di Ambon pasti terkait erat dengan proses urbanisasi di kota Ambon, khususnya di paruh kedua abad ke-19. Proses ini mengambil bentuk khusus di kota-kota di Maluku Tengah, yang sepenuhnya tidak ada di Ternate. 
Hotel Banda di Ambon (1890)
                Dari masa interregnum Inggris (1811 – 1817), sejumlah penduduk desa di kepulauan Maluku Tengah, diberi status burgers. Penduduk yang memperoleh status ini, tidak lagi diizinkan untuk mengklaim tanah kebun keluarga di desa-desa, tetapi dibebaskan dari pekerjaan korvee dimana penduduk desa menjadi sasaran, hingga penghapusan monopoli cengkih di Ambon pada tahun 1864. Praktik pemberian status burger ke penduduk desa dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda di Ambon setelah masa peralihan (interregnum). Segera setelah, seorang penduduk desa dapat membuktikan bahwa ia mempraktikkan pekerjaan tertentu di kota, ia diberikan izin (vrijbrief) yang memberinya status burger (Encyclopaedia, 1917-1939, I: 423). Penduduk desa-desa Kristen dan Muslim datang untuk memilih posisi ini, meskipun kebanyakan dari mereka tetap tinggal di desa mereka. Maka, muncullah kategori baru penduduk kota yang dikenal sebagai Inlandsche burgers. Selama periode kontrol VOC, kategori ini tidak ada sama sekali; kategori Moorsche burgers hanya mencakup Bugis-Makasar, Melayu, Jawa, dan Cina Muslim keturunan campuran. Tetapi pada abad ke-19, inlandsche burgers Ambon mendominasi (Bleeker 1856, II: 74-80). Sementara sebagian besar tenaga kerja kasar selama periode VOC, telah dilakukan oleh para burger dan budak moorsche, termasuk yang berasal dari keturunan Bugis-Makasar (Knaap 1987: 133 – 136), yang pada abad ke-19, sebagian besar tenaga kerja kasar dan hampir semua pekerjaan, termasuk pelaut, tukang kayu, tukang batu, dan lain-lain, dilakukan oleh inlandsche burgers, meskipun ada juga laporan dari anggota kategori ini yang memilih untuk tetap menganggur (dan tetap angkuh!). (Bleeker 1856, II: 114-115). Inlandsche burgers juga dilengkapi dengan sarana untuk meningkatkan kondisi mereka sendiri, dengan pembentukan sistem pendidikan mereka sendiri – Ambonsche Burgerschool – dengan keputusan Gubernur Jenderal pada tanggal 6 Januari 1869 (Leirissa 1984; A 392)7. Sistem pendidikan dasar ini juga diberikan hak untuk menguji para calon untuk pekerjaan pemerintah tingkat bawah – lembaga kleinambtenaarexamen yang terkenal – yang juga diperkenalkan 5 tahun sebelumnya dalam sistem sekolah dasar di Jawa (Staatsblad 1864, no 194). Namun demikian, pengangguran di antara inlandsche burgers menjadi karakteristik paling menonjol dari komunitas ini, pada dekade-dekade terakhir abad ke-19. Untuk mengatasi gangguan sosial di antara penduduk kota, praktik pemberian status burger kepada penduduk desa dihentikan pada tahun 1892 (Staatsblad 1892, no 82).
Data demografis dari laporan tahunan pejabat Belanda setempat di Ambon, menggambarkan peningkatan populasi di Ambon (A 582). Kategori burger pada tabel 2 (sekitar 80% dari total populasi) di Leitimor (bagian timur Ambon) merujuk terutama pada inlandsche burgers, sebagian besar tinggal di desa mereka sendiri di sekitar kota Ambon.

Pulau-pulau penghubung (schakeleilanden)

                Orang Makasar dan Bugis tidak pernah dibatasi sebagai burger di distrik “orang asing” di Ambon dan Ternate. Sejak abad ke-18, banyak dari mereka dapat ditemui di desa-desa gugusan pulau Gorong dan pulau Ceram Laut, serta kepulauan Kei dan Aru, yang pada laporan-laporan  awal abad ke-19 dikenal sebagai schakeleilanden atau “pulau-pulau penghubung”. Pulau-pulau ini memang menghubungkan pemerintah-pemerintah di Ambon dan Banda dengan wilayah pesisir Papua, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga – dan mungkin yang lebih penting – secara budaya. Kepulauan Gorong dan Ceram Laut, yang pada kenyataannya adalah atol kecil, telah tercakup dalam Gouvernment van Banda sejak pertengahan abad ke-17 (Knaap 1987: 53-58). Komposisi komunitas lokal adalah campuran “unik” dari penduduk pribumi, yang merupakan mayoritas, orang-orang dari Papua, Ambon, Banda, Bali dan Bugis-Makasar (Riedel 1886: 148-169f; Bosscher 1855g; Van der Crab 1864h; Kolff 1828: 310 – 336i). Desa-desa di kepulauan ini, sangat berbeda dari yang ada di kepulauan Ambon, karena semua dikelilingi oleh dinding karang dan batu. Sebagian besar keluarga terkemuka di desa-desa ini, yang pemimpinnya telah diberi gelar seperti Majoor dan Kapitein oleh VOC, memiliki kapal dagang (jungku ceram), yang dengan itu, mereka berlayar (dan berdagang) ke Sulawesi Selatan, serta ke pulau-pulau Sumba, Sumbawa, Lombok dan Bali. Sebagian besar dari mereka menyertai dan memimpin kapal mereka sendiri, yang diawaki oleh kapten dan pelaut setempat (A 177,730,751).
                Suku Bugis-Makasar, seperti kelompok etnis non-pribumi lainnya yang tinggal di pulau-pulau itu, sepenuhnya terintegrasi dengan penduduk pribumi melalui perkawinan. Dengan demikian, mereka tidak membentuk komunitas yang terpisah, seperti di Ambon atau Ternate. Para pemukim ini, adalah agen perdagangan untuk rekan mereka yang ditempatkan sebagai pedagang-pedagang, yang membentuk destinasi bagian barat untuk kapal-kapal ini. Dengan angin muson barat tahunan, para pedagang mengirim padewakang mereka ke schakeleilanden pinggiran ini, dan kembali ke pelabuhan asal mereka dengan angin muson timur8.
                Sebelum ditaklukan oleh VOC, kepulauan ini telah menjadi bagian dari kerajaan Tidore. Hingga tahun 1768, VOC mengendalikan kepulauan ini secara tidak langsung melalui Sultan, yang dianggap sebagai
vasal VOC. Seperti di Maluku bagian utara, penduduk kepulauan ini, sangat dilarang tidak hanya untuk berdagang cengkih dan pala, tetapi juga menanam tanaman ini. Berangsur-angsur, kelompok-kelompok terkemuka di kepulauan itu, yang sering terhubung dengan pernikahan dengan penduduk desa-desa Muslim penghasil rempah-rempah di Ambon dan Haruku, dikenal sebagai penyelundup cengkih dan pala yang paling penting. Tentu saja, orang Bugis dan Makasar juga berpartisipasi aktif dalam perdagangan terlarang ini. Perdagangan klandestin ini, sering menyebabkan konflik antara para pejabat pemerintah di Ternate dan Sultan Tidore. Sepanjang salah satu konflik tersebut pada tahun 1768, Sultan Tidore memutuskan untuk mengakhiri / melepaskan wilayah vasalnya itu, sebuah langkah yang melibatkan pengembalian kepulauan ini ke VOC (Acte van Cessie, 20 Juni 1768, T 140). 

Ambon 1898
                Dalam percobaan membangun sistem pemerintahan langsung di kepulauan ini, VOC menunjuk sebagai wakilnya di wilayah tersebut di wilayah “pribumi” kepulauan ini, dengan nama Hamba, yang tampaknya, bagaimanapun juga, merupakan keturunan sebagian orang Makasar. Mengikuti tradisi penganugerahan pangkat militer sebagai gelar bagi para pemimpin desa di kepulauan itu, Hamba dianugerahi gelar Comandant van Ceram. Tetapi Hamba, yang juga seorang pengusaha dengan koneksi luas di kepulauan rempah-rempah, kemudian dituduh berpartisipasi dalam perdagangan rempah-rempah klandestin, dan dengan demikian ditahan bersama sejumlah pemimpin desa lainnya (A 730). Tidak ada pengganti Hamba yang disebutkan dalam dokumen VOC.
Selama reorganisasi administrasi Maluku pada tahun 1817, kepulauan ini diberi status khusus. Meskipun wilayah itu selalu menjadi tanggung jawab para pejabat yang ditempatkan di Banda, diantara mereka ada orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang kondisi sosialnya (Leirissa 1982), Gubernur di Ambon, bagaimanapun, memutuskan untuk menciptakan “perantara” sendiri. Dengan demikian, posisi Ceramsche Bode (secara harfiah berarti “ seorang pembawa pesan ke Seram) diciptakan. Pekerjaan yang digaji ini, diberikan kepada orang Makasar yang tinggal di Ambon dengan nama Abdul Kadir, yang memegang pekerjaan itu dari tahun 1817 hingga 1830. Seperti halnya “utusan” lain untuk orang-orang Kristen dan pagan di Seram, khususnya Seram bagian barat, yang biasanya dikenal sebagai portero, Ceramsche Bode tidak ditempatkan di Seram tetapi tetap di Ambon. Kadang-kadang, ia akan mengunjungi pulau-pulau itu dengan kapal pemerintah untuk menyelidiki masalah-masalah lokal tertentu, seperti yang diperintahkan oleh Gubernur. Abdul Kadir juga tampaknya diizinkan untuk melakukan bisnis pribadi di kepulauan itu. Namun, kemudian kepentingan pribadinya bertentangan dengan tugas resminya. Sekembalinya dari perjalanan resmi pada tahun 1830, ia dituduh melakukan pelanggaran, ditahan, dan kemudian dibebaskan dari jabatannya (A 244). Pos Ceramsche Bode juga tampaknya dihentikan kemudian, karena tidak disebutkan tentang hal itu, dapat ditemui dalam dokumen-dokumen periode itu. Selanjutnya, seorang pejabat senior secara teratur dikirim ke pulau-pulau tersebut, untuk menyelidiki hal-hal seperti konflik antar desa. Beberapa pejabat ini menyiapkan laporan terperinci tentang perjalanan inspeksi mereka (Bosscher 1855; Van der Crab 1864). Selanjutnya kemudian, setelah reorganisasi tahun 18669, sejumlah pejabat diistilah sebagai gecommitterde voor Ceram diangkat untuk wilayah-wilayah di pulau Seram. Para pejabat ini, sebagian besar direkrut dari keluarga baik-baik kaum inlandsche burgers.
Pada pertengahan abad ke-19, selama persiapan reorganisasi administrasi tahun 1866, pemerintah pusat di Ambon, juga mulai tertarik pada kelompok kepulauan Kei-Aru. Orang Bugis-Makasar telah mengunjungi pulau-pulau ini selama berabad-abad. Orang Bugis-Makasar ini menjadi perantara yang mengekspor produk-produk laut, baik yang tersedia secara lokal maupun yang diperoleh dari Papua oleh penduduk pulau-pulau itu, kepada rekan-rekan mereka di Sulawesi Selatan, Bali, Lombok, Sumbawa dan di tempat lain. Ketika Singapura menjadi penting sebagai emporium, para pedagang ini juga yang pertama menghubungkan pulau-pulau ini dengan pelabuhan internasional baru. Perkembangan baru ini, bahkan meningkatkan aktivitas mereka di kepulauan itu. Akibatnya, pemukiman yang berisi terutama orang-orang Bugis muncul di sejumlah desa10. Karena pemerintah pada waktu itu, tidak memiliki sarana untuk mengendalikan pemukiman ini, pemerintah mengeluarkan keputusan pada awal tahun 1880-an, untuk menunjuk para pemimpin di pemukiman ini, yang akan diberi gelar kapitein der Boegineezen. Perkembangan yang serupa juga dilaporkan pada saat yang sama untuk kelompok pulau-pulau “penghubung” lainnya, seperti kepulauan Tanimbar-Babar.11 Para pemimpin komunitas yang ditunjuk  oleh otoritas di wilayah itu, haruslah memiliki pengaruh diantara penduduk, yang dalam banyak kasus adalah pemimpin tradisional mereka. Dengan demikian, praktik yang kemudian dianggap usang di Ambon dan Ternate, muncul kembali secara fungsional di bagian-bagian lain dari Maluku.

Ambon. c. 1817

Kesimpulan

Sistem sosial Maluku Utara dan Tengah yang berbeda, membutuhkan pola kepemimpinan yang berbeda antara orang Bugis-Makasar di Ternate dan Ambon. Di komunitas Muslim Ternate, kapitein der Maccassaren dari kampung makasar, jelas merupakan pemimpin komunitasnya, tetapi di Ambon, para pemimpin komunitas Bugis-Makasar terlibat dalam sistem peran yang lebih kompleks. Selain sebagai pemimpin komunitasnya, pemimpin komunitas Bugis-Makasar di Ambon, juga merupakan mediator untuk pemerintah Belanda, khususnya dalam jabatan birokrasi sebagai Maleische schrijver di pengadilan (Raad van Justitie), dimana Moorsche burgers diadili dalam kasus-kasus perdata. Selain itu, orang-orang Makasar terkemuka lainnya di Ambon, juga berfungsi sebagai mediator antara pemerintah dan desa-desa Muslim di pulau-pulau lain di sebelah timur Seram, pada saat administrasi pulau-pulau ini masih belum sempurna. Peran tambahan ini, hanya dihentikan setelah pemerintah dapat menggantikannya dengan cara lain yang timbul dari organisasi internal masyarakat di Ambon sendiri.
Sebaliknya, sistem pemerintahan tidak langsung di Maluku bagian utara, tidak mendorong perlunya mediator terpisah antara pemerintah dan masyarakat Muslim di Ternate. Dalam situasi ini, masyarakat Bugis-Makasar di Ternate lebih mudah diintegrasikan ke dalam masyarakat pribumi yang lebih luas.
Perkembangan yang terjadi pada paruh kedua abad ke-19 di Ambon, dimana para pemimpin Bugis-Makasar kehilangan peran mediasi formal mereka, adalah bagian dari proses umum diferensiasi sosial yang menyebabkan munculnya kategori baru penduduk kota: inlandsche burgers. Selain melakukan banyak pekerjaan yang dikerjakan orang Bugis sejak masa VOC, inlandsche burgers ini juga menjadi bagian dari aparat pemerintahan di kepulauan tersebut.


==== selesai ====


Catatan Kaki
  1. Perbedaan ini terutama diilustrasikan dengan baik oleh dokumen-dokumen tentang berbagai kasus perdata yang diajukan di Pengadilan Hukum (Raad van Justitie). Dokumen tentang penjualan tanah di arsip Ambon juga penting dalam hal ini.
  2. Batumerah adalah sebuah desa yang didirikan oleh VOC pada 1656 tidak jauh dari Kampung Mardika di Teluk Ambon. Wilayah itu pertama kali dimaksudkan sebagai tempat penahanan para sandera yang diambil dari pulau Manipa, yang, bersama dengan pulau-pulau lain, telah berjuang melawan sistem monopoli VOC selama paruh pertama abad ke-17. Kemudian, sejumlah orang dari desa-desa di Hoamoal di Seram barat juga bermigrasi ke Batumerah, ketika mereka diusir dari desa mereka selama konflik yang sama. Dibangun di lereng bukit berbatu, desa tidak memiliki lahan untuk bercocok tanam. Jadi penduduk menjadi pedagang lokal, memelihara hubungan bisnis dan keluarga dengan desa-desa perdagangan lainnya di kelompok pulau Gorong dan Ceram Laut (Knaap 1987: 32, 49, 214). Hingga pertengahan abad ke-19 desa itu berada di bawah kendali Kampung Mardika, tetapi setelah itu desa tersebut memilih pemimpin desa sendiri.
  3. Para mardijkers sebagian besar adalah budak Portugis yang telah dimerdekakan. Istilah ini berasal dari bahasa Sanskerta (mardhaheka), yang berarti 'orang bebas' atau 'orang bebas'. Mardijkers dapat ditemukan di Ambon dan di seluruh bagian Maluku yang dipengaruhi oleh Portugis pada abad keenam belas, termasuk Ternate dan Bacan. Beberapa dari mereka berasal dari pantai selatan India, yang lain dari Angola (Encyclopaedie 1917-39,11: 675). VOC membebaskan para budak ini dan memungkinkan mereka untuk menetap di bangsal mereka sendiri, seperti kampung Mardika di Ternate dan Ambon (Bakhuizen van den Brink 1915: 598-9).
  4. Sebagian besar data mengenai komunitas Bugis-Makassar tersebar dalam laporan atau surat yang sebagian besar membahas masalah lain atau berfokus pada kelompok lain seperti burger Belanda atau Cina. Data tertentu tentang komunitas ini terbatas pada pemberitahuan seperti pengangkatan atau pengunduran diri kapitein der Maccassaren di Ternate dan hoofd der Maccassaren di Ambon. Saya belum menemukan laporan, catatan, atau bahkan seluruh surat yang khusus berhubungan dengan komunitas ini di arsip bertempat di Jakarta.
  5. Pada tahun 1911, sebuah lembaga serupa didirikan di Saparua di pulau dengan nama yang sama. Lembaga itu dikenal sebagai Saparoeasche School
  6. Gubernur P. Merkus menunjuk seorang pedagang dari pulau Bangka bernama Juragan Jusuf, yang jelas mengenal schakeleilanden dengan baik, untuk menyusun laporan tentang kegiatan orang Bugis dan Makassar di pantai utara Seram dan pulau-pulau ini. Laporan tersebut mencatat keberadaan sejumlah pedagang di Bali dan Lombok yang memberikan kredit kepada pedagang lokal dan Bugis di daerah tersebut.
  7. Pemerintah Hindia Belanda di Maluku yang didirikan pada tahun 1817 menyatukan bekas gubernurnemen VOC - Ternate (atau Maluku), Ambon, dan Banda - menjadi satu kesatuan dengan pusatnya di Ambon. Pada tahun 1866, setelah penghapusan monopoli rempah-rempah, pemerintahan kembali ditata kembali menjadi tiga unit atau residen yang terpisah. Unit-unit yang dihasilkan tidak jauh berbeda dari yang awalnya didirikan oleh VOC: Maluku Utara, Maluku Tengah, dan kepulauan Banda masing-masing menjadi residentie terpisah (Raedt van Oldenbarnevelt 1916)
  8. Laporan komunitas tersebut dapat ditemukan di Algemeen Verslag tahun 1880.181, dan 1882. Lihat juga dekrit (besluiten) dari gubernur Maluku pada 3 Oktober 1835 (no. 2), 13 April 1839 (no. 4) , 11 Februari 1839 (no. 2), dan 10 September 1839, serta surat gubernur Maluku untuk Batavia tanggal 30 September 1825, (no. 27).
  9. Lihat laporan tahunan umum tahun 1880, 1881, dan 1882 (A 582).

Catatan Tambahan :
  1. Hubert Jacobs, Wanneer werd de staat Ambon gesticht? Bij een vierde eeuwfeest (dimuat pada jurnal Bijdragen tot de Taal,- Land,- en Volkenkunde, volume 131 (1975), no 4. hal 427 – 460
  2. Gerrit J Knaap, Kruidnagelen en Christenen. De VOC en de bevolking van Amboina 1756 – 1696, Dordrecht, 1987
  3. P. Bleeker yang dimaksud penulis adalah Pieter Bleeker, seorang officier van gezondheid kelas 3 di KNIL (1841 – 1863). Ia menemani Gubernur Jend Hindia Belanda, Mr A.J. Duymaer van Twist yang melakukan kunjungan kerja di kepulauan Maluku tahun 1855 (Oktober 1855)
  4. Leirissa mungkin sedikit keliru atau tahun 1854 ini adalah kesalahan teknis semata. Pieter Bleeker yang mengunjungi Maluku (Ambon) bersama dengan kunjungan Gub Jend Hindia Belanda, terjadi pada Oktober 1855
  5. Mungkin yang dimaksud adalah keluarga van Aart, bukan van Aalt
  6. J.G.F. Riedel, De sluik – en kroesharige rassen tusschen Selebes en Papua, s, Gravenhage, 1886
  7. C.F. Bosscher, Bijdrage tot de kennis van het oostelijk gedeelte van Ceram en omliggende eilanden (dimuat pada Tijdschrift voor Indische Taal,- Land,- en Volkenkunde, volume 4 (1855) hal 34 – 42)
  8. P. van der Crab, , De Moluksche eilanden. Reis van Z.E. den Gouverneur-Generaal Charles Ferdinand Pahud door den Molukschen Archipel (Batavia 1862). 
  9. Kolff, D.H., Reize door den weinig bekenden zuidelijken Molukschen Archipel en langs de geheel onbekende zuidwest kust van Nieuw-Guinea, gedaan in de jaren 1825 en 1826 (Amsterdam 1828).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar