Sabtu, 18 Juli 2020

“NIACHILE POKARAGA” Kisah lara Sang Ratu Maluku (bag 1)


Oleh
 Paramita Rahayu Abdurachman

 


A.      Kata Pengantar
   
                    Jika pada paruh kedua abad ke-17 (1641-1699), kerajaan Aceh mempunyai 4 orang Sultanah yang dikenal dalam sejaraha, dari timur Nusantara, tepatnya kesultanan Ternate telah memulainya 1 abad sebelumnya. Meskipun bukan dalam pengertian Sultanah sebenarnya, Rainha Boki Raja, permaisuri kesultanan Ternate, yang juga istri utama Sultan Abulais (1500 – 1521) bisa dianggap sebagai Sultanah. Setelah Abulais meninggal, atas wasiat mendiang suaminya, Rainha Boki Raja diangkat sebagai “Mangkubumi” karena sang Pangeran Abu Hayat masih berusia anak-anak. Sang Ratu memerintah bersama-sama Daroes (Taruwese) atas nama putranya itu.
                    Rainha Boki Raja, adalah Sultanah yang “dilupakan” sejarah dibandingkan Sultanah kerajaan Aceh. Intrik dalam istana dan strategi Portugis dalam perebutan tahta, membuat ia tersingkir, hilang dan terlupakan. Paramita Rahayu Abdurachman atau biasa dikenal dengan nama Yo Paramita, adalah sejarahwan yang pertama kali mengangkat kisah wanita agung itu melalui artikel terbitan 1988 ini.  sejarahwan wanita yang merupakan keponakan Achmad Subardjob, Menteri Luar Negeri Indonesia di awal kemerdekaan dan pernah diduga kuat berpacaran dengan Tan Malaka, menulis kisah sang Ratu dalam artikel berjudul “Niachile Pokaraga”; A Sad Story of Moluccan Queen, yang dimuat dalam Jurnal Modern Asian Studies, volume 22, isu 3, Juli 1988, halaman 571 – 592. 

Paramita Rahayu Abdurachman (1920 - 1988)
                    Yo Paramita menulis kisah yang memukau tentang sang Sultanah ini, berdasarkan pada dokumen-dokumen Portugis yang dikuasainya. Ia menyebut, sang Rainha (Ratu) mulai tampil di panggung saat muncul di pemakaman suaminya, Sultan Abulais, pada tahun 1522. Intrik dalam istana dan strategi Portugis berusaha menyingkirkannya dari panggung utama. Ia menghadapi dilema, di satu sisi, ia ingin memenuhi wasiat mendiang suaminya, namun di sisi lain, ia harus berhadapan dengan keluarga istana yang tetap mempertahankan tradisi Maluku, bahwa mendiang Sultan harus diganti oleh salah satu adiknya sebagai aturan suksesi kepemimpinan.
                    Cerita yang menarik dan tragis inilah, yang membuat kami menerjemahkan artikel ini untuk dibaca dan diketahui. Memang pada tahun 2010, terbit buku tentang sang Ratu ini, namun dalam bentuk prosa liris, yang dikarang oleh Toeti Heraty. Alasan lain adalah, agar kita tidak melupakan wanita Maluku di abad 16 ini, bahwa dulu kita memiliki seorang wanita tangguh yang memimpin sebuah kerajaan Maluku.
                    Artikel terjemahan ini kami bagi menjadi 2 bagian, dan menambahkan beberapa catatan tambahan serta beberapa ilustrasi agar lebih “indah”. Artikel berbahasa Inggrisnya memang tidak ada gambar ilustrasi dan  13 buah catatan kaki.
                    Akhir kata, selamat membaca, dan semoga semakin bertambah pengetahuan dan perspektif kita akan sejarah kita sendiri, sejarah orang Maluku...............


B.      Terjemahan : Kutu Busu

a)      Pendahuluan

    Sebuah bab baru dibuka tentang Sejarah Portugis di seberang laut pada abad ke-16 dan ke-16 melalui penerbitan buku milik Profesor Boxer berjudul Mary and Misogny tahun 1981. Buku itu tentang hubungan antara seorang pria Portugis yang baru saja tiba dari tanah air mereka dengan para wanita lokal, relasi mereka, petualangan dan pembentukan komunitas Mestizo. Seperti yang dikatakan Dr Genevieve Bouchon dalam artikel ulasan/tinjauannya terhadap buku ini dengan mengatakan, buku itu “berfungsi sebagai sumber inspirasi dan sumber-sumber penting” :

Orang mungkin bertanya-tanya, misalnya, apa peran perempuan “India” (Timur), ditandai melalui jejak kuat agama Hindu, telah memainkan peran dalam transmisi keyakinan dan adat istiadat

Diharapkan buku Mr Boxer akan memicu penelitian baru. Untuk mereka semua yang sekarang ingin melihat nasib perempuan di koloni kaum Iberian, “Mary and Misogny” akan menawarkan inspirasi dan data penting1

                      Memang benar bahwa kehadiran komunitas “Casados” dan “Moradores” di sekitar benteng Portugis menyiratkan hubungan intim antara laki-laki asing dan perempuan lokal. Namun, perempuan-perempuan ini telah menjadi orang tanpa wajah, hanya dikenal dalam dokumen sebagai “ as mulheres (seorang perempuan)”. Pada faktanya, mereka pastilah bagian “inti” dari campuran komunitas, yang bertugas sebagai jembatan antara keluarga kaum pribumi dan orang-orang asing  yang datang. Kontribusi mereka terhadap kebiasaan, adat istiadat dan etika bangsa Portugis terutama dalam kehidupan sehari-hari telah sangat jelas. Dan pengabdian komunitas ini hingga jauh memasuki abad ke-20, berhutang banyak pada mereka.
                      Tetapi jika ibu rumah tangga biasa, ibu, nyonya atau anak perempuan  telah menjadi entitas yang tidak dikenal, tetapi juga tidak banyak disebutkan dalam dokumen-dokumen kaum Iberian adalah wanita dari posisi yang lebih tinggi yang berperan dalam politik kerajaan-kerajaan lokal. Namun, mereka pasti ada. Hanya sekali atau dua kali, ada referensi untuk seorang putri atau wanita kaum bangsawan, dalam kaitannya dengan beberapa peristiwa. Tetapi sekali lagi, mereka jarang disebutkan dengan nama pribadi mereka, dan hanya ada sedikit perincian tentang pribadi mereka yang tersedia.
                      Salah satu orang Portugis pertama yang tiba di kepulauan Indonesia dan mengambil seorang istri lokal adalah Fransisco Serrao. Ketika kapal miliknya berlabuh di Gresik, di pantai utara Jawa, dalam perjalanannya ke Maluku, ia telah mengambil seorang istri Jawa, yang kemudian menemaninya dalam perjalanan selanjutnya. Setelah kedatangannya di Ternate, ia menjadi penasehat Sultan, tidak hanya dalam urusan kemiliteran seperti yang diungkapkan dokumen-dokumen Portugis, tetapi kemungkinan besar juga pada urusan negara dan masalah keluarga. Situasi seperti itu dalam konteks ini, adalah bahwa nasihatnya mungkin telah mengilhami penguasa Ternate untuk membuat keputusan yang mempengaruhi Sejarah Ternate dan menjadi titik fokus terhadap permaisuri kerajaan, “ rainha” atau “ Nyachilik Boki Raja”.

                       
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 
b)      Rainha (Ratu)

                    Artikel ini, karenanya, akan dikhususkan pada seorang wanita yang menjadi fokus dokumen-dokumen Portugis pada periode 1522 – 1548. Wanita itu muncul di “panggung” pada saat kematian suaminya, Sultan Ternate, Sultan Bayan Sirullah, pada tahun 1522. Hingga sekitar tahun 1538, ia merupakan figur integral dari sejarah negaranya, dan faktor utama dalam penegasan kehadiran Portugis di daerah tersebut. Setelah periode itu, ia menjadi tokoh yang tragis, yang tidak bisa melawan kerasnya keluarga kerajaan dan intrik politik yang berputar-putar di sekelilingnya. Joao de Baros dan Diogo de Couto – yang terakhir (Diogo de Couto) tampaknya sangat mengaguminya - , Castanheda dan penulis-penulis selanjutnya, merujuk dirinya secara teratur dan mencatat setiap tindakannya. Namun, baik dalam dokumen maupun narasi, ia hanya disebut sebagai “ Rainha”, sang Ratu, sang Permaisuri, ibu dari sang Pangeran, yang dianggap sebagai pelindung dan wali, yang dihormati dan ditakuti oleh rakyat dan bangsa Portugis. Seorang wanita muda yang memiliki ketrampilan dan perencanaan strategi, namun pada akhirnya menjadi korban dari tindakan keras, tindakan kejam lingkungan istana dan pemerintahan Portugis. Ia mengakhiri hidupnya sebagai figur yang tak dikenal, paling mungkin sebagai anggota dalam lindungan keluarga Mestizo dan terlupakan, dilupakan oleh rakyatnya sendiri dan orang-orang asing.
                    Pertama kali ia disebutkan dalam dokumen Portugis adalah dalam surat Antonio de Brito, kapten benteng Portugis di Ternate, kepada Raja Manoel I, yang ditulis pada tahun 1523 (Sa I, 24, hal 192), dimana de Brito mengatakan bahwa setelah ia bertemu dengan sang raja (saat itu, Abuhayat, sekitar 8 tahun), ia bertemu sang Ratu (regent/wali) yang merupakan “seseorang yang paling berkuasa di kerajaan”.
                    Surat Ruy Gago, pemimpin faktorij di Ternate (Sa I, 19, hal 170) dari periode yang sama  ditujukan kepada Raja Portugis, menjelaskan siapa “ a Rainha” itu. Ayahnya adalah “Almancor” (Al Mansur), seorang Kolano, penguasa dari Tidore. Ibunya memiliki alasan untuk melarikan diri ke Bacan , dimana penguasanya kemudian menikahinya. Putrinya itu telah dinikahkan dengan penguasa Ternate. Menurut Pigafetta, Fransisco Serrao telah menyerang Tidore dengan armada Ternate. Sultan Tidore kalah perang, dan kemudian Serrao “memaksa raja Tidore untuk memberikan salah satu putrinya sebagai istri dari raja Ternate...”. Tak diragukan lagi, dia bertindak atas keinginannya sendiri, yang dalam dokumen Portugis dikenal sebagai “Boleife”, mungkin harus dibaca sebagai “Abulais”2. Setelah naik ke tampuk kekuasaan, ia menggunakan gelar “Sultan” dan mengubah namanya menjadi “Bayan Sirullah”. Meskipun dia telah memiliki istri-istri lain banyak selir, yang dari mereka, ia memiliki anak laki-laki dan perempuan3, pendamping utamanya, seorang permaisuri harus berdarah “biru”/kerajaan. Jadi, putri penguasa Tidore, “a Rainha” adalah seorang yang berhak atas gelar “ Niachile Poka Raga” (Nyaichili Boki Raja). Gelar ini muncul dalam wasiat putranya, Tabarija, sebelum kematian Tabarija di Malaka pada tahun 1545, dimana gelar itu dieja “Nachile Puka Raga” (Sa II, 5, hal 21). Setelah ia menganut iman Kristen dan dibaptis oleh Fransiscus Xaverius pada tahun 1546, ia dikenal sebagai “Dona Isabel”. Nama asli pribadinya tidak pernah diketahuic. Francois Valentijn dalam bukunya Oud en Nieuw Oost-Indien, 1 abad kemudian, menyebut namanya “ Nyaichile Bokye Raja”, yang pasti diambilnya dari sumber-sumber Portugis, tetapi membuat bingung dengan menggunakan gelar sebagai namanya. Seorang wanita yang masyur muncul pada kronik Ternate selanjutnya, seperti yang ditulis oleh Naidah atau dalam legenda, tidak disebutkan atau dalam cerita-cerita yang masih ada; umumnya yang disampaikan adalah tidak diketahui tentang keberadaanya.
                    Suatu penjelasan tentang gelar dan maknanya menurut aturan-aturan kerajaan, sebaiknya dipaparkan terlebih dahulu, jika mungkin dapat diverifikasi melalui penjelasan-penjelasan yang ditemukan dalam tulisan-tulisan lokal, Portugis atau lainnya.  Terlepas dari perbedaannya dalam ortografi, rekonstruksi arti atau makna dari suatu gelar, jelas jika kita memperhatikan ejaan dan pengucapan dari kata-kata itu.  “Nachile, Niachille” terdiri dari 2 kata yaitu : Na, Nya (k) dan chili (k), cili. Kata pertama digunakan sebagai sebutan untuk seorang wanita dan ditambahkan dengan kata lain, yang kemudian digunakan sebagi gelar bagi wanita bangsawan, seperti Cut Nyak di Aceh, Nyai atau Nyi Raden di Jawa Barat, Nyi Rara di Jawa Tengah. Kata Cilik bermakna kecil, muda, bungsu. Dengan demikian gelar Nyacili atau seperti yang dieja dalam kebanyakan dokumen Portugis “Niacile” berarti “ wanita muda bangsawan; putri (kerajaan)4. Pasangan gelar ini untuk laki-laki adalah “Kacile, Kachili, Kaichili” yang ditemukan dalam dokumen-dokumen Portugis, sebagai gelar untuk putra-putra Sultan. Gelar-gelar ini mungkin telah diperkenalkan di kerajaan-kerajaan Maluku selama periode hubungan dengan bagian-bagian lain di Indonesia yang telah menjadi instensif, tidak hanya datangnya para pedagang, tetapi juga para pejabat tinggi dari kerajaan-kerajaan lain dan juga para guru agama. Bagi Ternate, ini terjadi pada masa pemerintahan Kolano Tidore Vongi, yang setelah memeluk agama Islam dikenal sebagi Zainal Abidin, yang nantinya digantikan oleh Abulais atau Bayan Sirullah. Jadi perubahan-perubahan terjadi pada bagian akhir abad ke-14 dan sepanjang abad ke-15.
                    Gelar Boki, nampaknya berasal dari salah satu dari banyak kelompok bahasa Halmahera Utara, dan digunakan sebagai sebutan untuk anak perempuan Kolano dan kepala suku. Di Tidore, gelar untuk para putra adalah “Dano”, tetapi istilah ini tidak digunakan, atau telah punah di Ternate. “Raga” seharusnya dibaca sebagai raja (penguasa) dan istilah rangkap Boki Raja, mungkin menunjukan bahwa sang putri adalah keturunan bangsawan dari kedua sisi (garis ibu dan ayah).
                    Meskipun tidak ada informasi tentang asal ibunya, ibunya mungkin adalah seorang putri kerajaan dari Ternate atau Jailolo. Jadi bahwa putrinya memiliki gelar rangkap, maka itu merupakan suatu aturan. Maka tidak diragukan lagi bahwa dia adalah permaisuri, istri utama Sultan, dengan demikian menjadi “a rainha” , sang Ratu5.
                    Gelar “Nachile” memang muncul secara sporadis pada dokumen-dokumen abad ke-16 dan ke-17, tetapi lebih sering sehubungan dengan kesultanan Tidore, dimana gelar itu digunakan sampai abad ke-20. Gelar Boki untuk permaisuri Sultan digunakan sampai dihapuskannya kesultanan-kesultanan Maluku pada akhir abad ke-20, meskipun di Ternate, istilah lokal lainnya Youma-ngofa juga digunakan, jadi Permaisuri Sultan dapat disebut sebagai Jou-ma-ngofa Boki6. Karena itu, sangat jelas bahwa “rainha” adalah keturunan dari Sultan Tidore dengan seorang putri bangsawan dari salah satu kerajaan lain.

Sumber Peta (Artikel Titi Pudjiastuti)

c)      Sejarah Awal Ternate dan Posisi Boki Raja

Pada saat Portugis tiba di perairan Maluku (1512), Ternate telah menjadi kerajaan Islam selama lebih dari 30 tahun. Kolano Abulais menggantikan Kolano Zainal Abidin, dan telah menggunakan nama Islam “ Abulais” dan kemudian “Bayan Sirullah” (dalam dokumen-dokumen Portugis, ia disebut “Boloeife” dan “Bayano Cerola”).
Pada tahun 1495, Zainal Abidin pergi ke Giri di pantai utara Jawa untuk memperluas pengetahuannya tentang Islam, dan kemungkinan besar juga telah mempelajari organisasi dan administrasi kerajaan-kerajaan Jawa. Ketika kembali ke Ternate pada tahun 1501, ia bertemu dengan salah satu pemimpin Hitu (pantai utara pulau Ambon) di Bima, yang sedang dalam perjalanan ke Jawad. Zainal Abidin dan Pati Puti (juga disebut Pati Tuban) membuat perjanjian persahabatan, yang pada tahun-tahun selanjutnya sebagai dasar bagi kerajaan Ternate untuk membuat klaim pada gugusan pulau Buru-Seran-Ambon-Lease-Banda.
                    Zainal Abidin meninggal tak lama setelah itu dan digantikan oleh Kaichil Liliato yang menggunakan nama Islam, Abulais. Dia pasti seorang pria ambisius, mulai memainkan peran dalam politik kekuasaan orang-orang Maluku, yang bertujuan untuk menjadi kekuatan tertinggi di daerah itu, meninggalkan 3 kerajaan lainnya, Tidore, Bacan dan Jailolo. Untuk merealisasikan mimpinya ini, ia harus menghadapi satu masalah : pulau miliknya (Ternate) tidak cukup menghasilkan produk-produk alam.
                    Ternate, juga dikenal dengan nama aslinya, Gapi, adalah pulau terkecil di kepulauan Maluku. Wilayahnya hanya terdiri dari gunung dan jalur pantai yang sangat sempit. Jadi keadaan itu tak bisa membuatnya mandiri dan hanya bergantung pada bahan makanan dari tetangganya, Tidore dan terutama Halmahera. Maka adalah kebutuhan untuk mendapatkan bahan makan itu, pertama menjadi kekuatan pendorong untuk mencari wilayah yang bisa “menghidupi” mereka, melalui pakta persahabatan, termasuk pernikahan, atau lambat laun dengan pendudukan paksa. Dalam batas-batas lingkungan terdekat mereka ini adalah pulau-pulau Tidore, Motir, Makian, kepulauan Bacan, Halmahera, dan pulau Moro. Bacan adalah yang paling penting, karena saat itu masih mengendalikan jalur perdagangan dengan kepulauan Papua, kepulauan Banda, dan jalur pulau yang dibentuk oleh Buru-Seran-Ambon dan Lease.
                    Kedatangan pedagang asing untuk perdagangan rempah sejak pertengahan abad ke-15, berfokus pada kerajaan-kerajaan Ternate dan Tidore, dengan Bacan sebagai kerajaan ketiga. Jailolo, kekuatan yang lebih tangguh daripada 3 lainnya, telah kehilangan peran dalam perdagangan internasional ini, tetapi tanahnya selalu menyediakan bahan makanan yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari. Dan keadaan seperti itu tetap merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan dalam politik kekuasaan dari penguasa setempat.
                    Mendengar kedatangan Portugis di Hitu, Abulais mengirim armadanya dan utusannyae untuk mengundang Fransisco Serrao untuk datang ke Ternate dan menetap di sana. Tindakannya itu banyak disebabkan oleh sikapnya yang cenderung simpatik pada Portugis, seperti dari fakta bahwa pasukan orang asing dengan senjata modern, akan mendukungnya dalam ambisinya untuk menjadi penguasa tertinggi di wilayah tersebut. Dalam hal ini, kita harus membaca surat-suratnya yang dikirim ke Raja Portugis pada tahun 1514 dan ke Kapten Malaka. Sambil menawarkan menjadi pelayan Raja Portugis, ia secara jelas mengajukan pendapatnya bahwa satu penguasa untuk seluruh wilayah akan cukup, alih-alih ada 4 penguasa, menyiratkan bahwa ia mengharapkan otoritas Portugis untuk mendukungnya dalam klaim ini7.
                    Tetapi bahkan jika ambisi politik menciptakan permusuhan politik, mitra pernikahan bagi para para penguasa, para Kolano, adalah para putri dari antara 4 kerajaan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa pasangan kerajaan Abulais adalah putri Kolano Al-Mansur dari Tidore. Ia pasti menikah sekitar tahun 1512 – 1513 (Baros, Asia III, V, XII), karena ketika Sultan wafat pada tahun 1521, putra tertua Boki Raja “Bohaat” (Abu Hayat?) berusia 7 atau 8 tahun. Ada 2 putra lagi yang lebih muda, “ Daialo” dan “Tabarija”; yang terakhir (Tabarija) mungkin masih bayi/ balita (di tahun 1532, dia berusia 14 tahun). Usianya sendiri tidak pernah diketahui, tetapi mungkin sudah mencapai usia pernikahan yaitu 15 tahunan. Sultan sudah sekitar 50 tahun. Sultan sudah memiliki putra-putra lain, yang jauh lebih tua dari putra-putra sang Ratu, bahkan dari Ratu sendiri. Dalam surat kedua tahun 1514 itu, Sultan memperkenalkan putranya “Cachillato” (Kachil Latu) kepada Kapten Malaka sebagai utusannya. Kachil Latu berada di Malaka selama 6 bulan dan mungkin sudah bepergian ke tempat lain, karena ketika dia kembali ke Ternate, ayahnya telah meninggal. Dia (Kachil Latu) berkeinginan untuk menjadi pengganti, tetapi Kachil “Daroes” (Darwis?) yang berkuasa atas nama Abu Hayat, yang masih terlalu mudah untuk memerintah. Dalam surat Ruy Gago, yang sebelumnya disebutkan, Daroes adalah putra mendiang Sultan. Adik laki-laki lain, Kachil Mamole, yang berasal dari ibu yang sama dengan Daroes, telah melakukan kesalahan dan telah diasingkan ke Jailolo.
                    Dari sekian banyak putra, hanya 3 di atas yang paling banyak disebutkan dalam dokumen-dokumen Portugis, sejak mereka memainkan peran dalam periode sejarah Ternate. Seorang anak perempuan, dikenal sebagai “Dona Catharina” setelah dia menikahi seorang pedagang, Balthasar Veloso di tahun 1538.
                    Pada puncak upayanya untuk membuat Ternate jadi penguasa tertinggi, Abulais meninggal, diracuni, yang dirancang oleh seorang putri Sultan Bachan, tetapi atas dorongan bersama para penguasa Tidore, Bachan dan Jailolof. Sebuah surat yang ditandatangai oleh Abu Hayat kepada Raja Portugis menyebutkan fakta ini8. Karena usianya baru 8 atau 9 tahun, surat itu pasti dibuat oleh orang lain, dan itu mungkin oleh Boki Raja (jika ia mengetahui aksara Arab) atau oleh Daroes. Kedua figur ini, tentu saja mendapat informasi tentang intrik-intrik di antara lingkungan istana yang berbeda. Namun, bukan surat ini yang akan mempengaruhi sejara Ternate, tetapi tindakan yang dilakukan oleh Sultan di ranjang kematiannya. Menurut Joao de Baros (Asia III, V, VII), Sultan membuat “testamento” yang mengakibatkan pasangan kerajaannya, “ Ratu” diangkat “ tutor de seus filhos menores a governador do reino” dengan alasan bahwa “por que, com a favor de seu pai, el-rei Almancor, poderia ser tenida e acatada, e nao ousariam os seus mover algua novidade conttra seu filho...”. Dengan demikian menjadikan Boki Raja, menjadi wanita paling penting dan sangat berkuasa.
                    Menurut Valentijn (1724, I b), Abulais, di ranjang kematiannya, pernah juga membuat Boki Raja berjanji bahwa dia akan membantu Kapten Portugis dalam membangun benteng, seperti yang Sultan janjikan. Abulais tentu saja berpandangan bahwa keberadaan benteng orang asing, bahkan dapat lebih mendukung posisi politiknya berhadapan dengan para penguasa lainnya. Serrao, penasehat terpercaya itu, pasti berperan penting mendukung pandangan ini, dan kemungkinan besar dialah yang telah “menanamkan” gagasan untuk membuat wasiat tentang suksesi tahta kerajaan.
                    Sangat disayangkan bahwa dokumen penting ini, hanya disebutkan oleh Barros, dan belum pernah diterbitkan. Blagden (1930) memang menyebut soal itu, namun menyebutnya “suatu kemauan”, meskipun ia menyimpulkan bahwa itu bersifat mengikat. Dokumen apapun itu, itu akan menjadi bukti awal dari pengenalan baru ke dalam aturan suksesi yang belum/tidak tertulis, tetapi terus diimplementasikan hingga abad ke-20. Meskipun penulis sejarah Portugis lainnya tidak menyebutkan tentang Perjanjian itu, mereka selalu menunjukan fakta bahwa “Ratu” telah menjadi gubernur dan wali. Jadi, mungkin inilah, preseden ini kemudian diikuti oleh 2 wasiat lainnya, dan karenanya merupakan campuran tradisi orang Maluku dan aturan orang Eropa, menemukan jalannya sebagai suatu tradisi baru. 

Surat Sultan Abu Hayat kepada Raja Portugis, 1524 (sumber : C.O. Blagden)

                    Apa posisi “Ratu” menurut wasiat dan menurut aturan suksesi tradisional? Jika dia bukan orang Maluku, yang direstui oleh “adat”, tradisi, ketentuan, tidak akan jadi masalah. Tetapi dibawah aturan suksesi tradisional, itu tidak akan mungkin untuk menyebutkan nama penggantinya, entah itu wali dan gubernur kerajaan. Hal ini akan menjadi hak prerogatif dari para Tetua, yang akan membahas tentang penerus tahta. Sementara mereka akan menaati aturan tradisional bahwa, seorang saudara laki-laki dari almarhum akan menjadi kandidat pertama, mereka juga mempertimbangkan keinginan almarhum, jika mendiang Sultan mengajukan seorang putra sebagai kandidat. Namun dalam seluruh kasus, darah bangsawan atau kerajaan dari ibu sang kandidat itu, adalah faktor penting.  Pada saat yang sama, para Tetua akan mempertimbangkan penerus tahta, juga akan memutuskan 4 pejabat penting yang akan mengatur dan mengelola urusan sehari-hari kerajaan. Jabatan itu juga adalah milik keluarga asli yang bersama dengan keluarga penguasa telah memerintah seperti demikian sejak dahulu kala. Dan seperti dalam semua tradisi, itu merupakan kelompok atau keluarga besar, bukan keluarga inti. Demikianlah, meski dokumen-dokumen Portugis dan Spanyol sering mengatakan bahwa penerus adalah putra dari almarhum, mungkin saja ia adalah adik laki-laki Sultan9.
                Ketika kepala suku setempat memeluk Islam, aturannya tidak dirubah; lagipula itu adalah sistem yang sama dikenal oleh Islam. Yang mengherankan adalah pembuatan sebuah wasiat, atau wasiat secara tertulis, karena ini adalah tindakan yang tidak dikenal, yang tentu saja sehubungan dengan pergantian tahta. Wasiat itu hanya mungkin sehubungan dengan warisan harta. Dengan demikian dapat diduga bahwa Abulais bertindak atas saran dari orang luar, yang mengabaikan tradisi yang ada. Selanjutnya, untuk menunjuk seorang wanita, bahkan jika dia ibu dari sang penerus, berdarah bangsawan dan ratu kerajaan, untuk menjadi Ratu – Wali dan gubernur, tidak sesuai dengan tradisi Maluku. Namun, dia, secara alami, dianggap sebagai “Ibu”, wali spiritual dan juga wali warisan harta anak-anaknya, sesuai tradisi Maluku. Dia akan dianggap oleh tradisi sebagai penguasa utama, kekuatan moral, tetapi tidak menjalankan pemerintahan.
                Jadi, sejak awal, Boki Raja pasti mengalami kesulitan; di satu sisi, dia ingin memenuhi keinginan mendiang suaminya. Di sisi lain, para tetua akan merasa hak mereka dilanggar. Dia pasti juga berada di bawah tekanan dari ayahnya, yang melihatnya sebagai alat untuk mempromosikan ambisinya (ambisi ayahnya). Pigafetta mengatakan Sultan Tidore menjanjikan menjadi pengikut Raja Spanyol dan akan melihat Ternate sebagai vassalnya dengan mendudukan cucu laki-lakinya yang bernama Kolano Gapi di atas tahta. Kemungkinan besar ini adalah gelar lokal untuk penguasa Ternate (Pigafetta, 1969:66)
                Dalam beberapa tulisan Portugis, disebutkan bahwa adik laki-laki Abulais, bernama Kaichil Vaidua, yang telah memegang posisi di administrasi kerajaan, akan menjadi pengganti Sultan; sayangnya dia berkonflik dengan Portugis dan terbunuh. Hal itu yang kemudian nama Daroes muncul sebagai “governador”, kemungkinan besar dipilih oleh tetua, dan calon yang paling mungkin untuk menjadi Sultan selanjutnya. Tetapi keinginan mendiang Sultan juga harus dipatuhi. Namun, Bohaat (Abuhayat?), masih terlalu muda untuk memerintah. Demikian maka ibunya menjadi Ratu-Wali, sedangkan Daroes sebagai gubernur. Daroes umumnya dianggap sebagai pria yang memiliki kekuasaan dan kebijaksanaan (“pessoa de muita autoridade e saber”, Ruy Gago kepada Raja Portugis, 1523).
                Beberapa penjelasan harus disampaikan tentang Para Tetua / Dewan Tetua Ternate – “Concelho dos Velhos” menurut dokumen Portugis – suatu lembaga/institusi yang berfungsi sampai abad ke-20.
                Barros (Asia II, V,V) mengatakan bahwa penduduk Ternate di perintah oleh “senhor” atau “rei”, masyarakat diperintah oleh kepemimpinan Dewan Tetua/ Para Tetua yang dibagi ke dalam “ paranteles” (kelompok kerabat/keluarga?). Ini adalah sebuah fenomena yang umumnya dikenal di seluruh Maluku. Ini antara lain disebutkan oleh Tome Pires untuk kepulauan Banda. Sistem itu merujuk pada institusi dari dewan tetua yang mewakili kelompok-kelompok seketurunan. Ini mungkin merujuk ke klasifikasi kosmik  4-5 atau 4-4-1. Menurut tradisi lokal, dulunya ada 4 keluarga asli yang tinggal di dataran tinggi sekitar puncak gunung. Kemudian kelompok imigran datang dengan 1 atau lebih perahu menyeberangi lautan. Mungkin ada 5. Setiap kelompok keturunan disebut soa, dan karena sudah ada 9 soa, dewan itu disebut Soa-Siu (siu artinya sembilan). Soa kelompok imigran menjadi pemukim tetap, yang masing-masing soa menetap di bagian pulau : di puncak gunung, dan lereng-lereng dibawah puncak gunung. Soa ketiga menghuni wilayah hutan dibagian bawah dataran tinggi, dan soa keempat tinggal di sepanjang pesisir pantai. Masing-masing kelompok dipimpin seorang Momole (“pria pemberani”). Secara bertahap, alih-alih saling bertikai (4 soa asli bertikai dengan 5 kelompok imigran), sistem tertentu dikembangkan, dimana masing-masing kelompok menyediakan segmen tertentu dari suatu kebutuhan pemeliharaan dan kesinambungan ke-9 soa itu. Kepemimpinan 4 kelompok (4 soa asli) biasanya bergilir sesuai waktu yang ditentukan. Tidak jelas kapan atau apa yang mengubah aturan ini, menjadi “pemimpin” tetap yang dipanggil Kolano [berarti “pohon damar” (Agathis alba)], pohon yang tumbuh lurus dan tinggi, mencapai surga, dan menghasilkan resin yang banyak dicari, serta simbol persatuan, keberanian, kekuatan, kebijaksanaan dan kemakmuran. Mungkin “Orang” inilah yang Barros sebut “senhor, rei”. Saat Islam telah berakar di Ternate, Kolano pertama nampaknya mengambil nama Arab “ Mashur Malamo”. Terlepas dari perubahan-perubahan ini, peran para tetua/dewan tetua tetap sebagai pembawa tradisi. Keempat Momole mungkin menjadi Fala Raha, 4 pilar kerajaan, dan akhirnya terdiri dari 4 kelompok (saat ini disebut “keluarga”), Tomagola, Tomaitu, Marsaoli dan Limatahu. Makna asli dari beberapa kata telah hilang, tetapi dapat diwakili oleh jabatan yang menjadi bagian dari pemerintahan negara : Jou-gugu (prime minister), Pinate (finances, logistic, “ouvidor geral”), Hukum (justice and interior police), Sadaha (defence)10. Tidaklah terlalu jelas, keluarga-keluarga  mana yang memegang jabatan-jabatan tersebut, tetapi dari aturan tradisional dan dari dokumen tertulis, dapat disimpulkan bahwa kelompok Tomagola kelompok yang peling penting, dan banyak Jou-gugu berasal dari keluarga ini.
Jika, kemungkinan besar, pada awalnya adalah para tetua (termasuk 4 Momole) yang memiliki hak untuk memilih penguasa baru dan memberikan kepadanya hak prerogatif kekuasaan, yang kemudian sesudah itu, pengaruh keluar diubah penekanannya dari dewan ke Fala Raha.
1 abad kemudian, Valentijn berpendapat bahwa Fala Raha adalah lembaga yang diberdayakan untuk memilih penguasa baru dan bahwa Soa-Siu harus dianggap sebagai “suara rakyat”. Fala Raha menjadi keloompok-kelompok pilihan, aristokrat dan bangsawan. Soa-Siu meliputi keluarga tradisional, dihormati tetapi tidak termasuk menjadi aristokrasi baru. Hingga abad ke-20, situasi ini tidak berubah, dengan Fala Raha memerintah bersama dengan Sultan dan dengan hak untuk memilih atau menggulingkan penguasa baru.
Perubahan waktu tidak hanya jelas dalam pembentukan pengelompokan sosial, tetapi tercermin dalam banyak hal, antara lain pemilihan pasangan nikah untuk penguasa. Juga aturan hak anak sulung dalam soal suksesi. Sebelumnya, kandidat untuk Kolano mungkin berasal dari keluarga Fala Raha, dari soa yang telah menjadi sumber bagi kepala suku dan jabatan-jabatan pemerintahan. Mungkin ada aturan tidak tertulis bahwa kandidat kuat untuk pasangan Kolano berasal dari keluarga Tomagola, dilihat dari banyak contoh yang terjadi. Tetapi pada umumnya, saat kekuatan Kolano meluas melampaui wilayah asalnya dan dia menjadi lebih kuat, dia mungkin mencari kandidat baru untuk meningkatkan posisinya. Dia mungkin lebih dulu memilih untuk tetap di dalam batas-batas hubungan tradisional Maluku. Oleh karena itu, putri dari Kolano lain sebagai pasangan kerajaan, Ratu, tetapi, sebagaimana diizinkan menurut hukum Islam, 3 istri lain berasal dari antara keluarga-keluarga tradisional11. Ini akan mempertahankan tradisi dan keseimbangan kekuatan di daerah tersebut. Hal itu juga akan mempengaruhi suksesi tahta. Jika seorang Kolano wafat, tradisi memutuskan bahwa seorang adik laki-laki (dari ibu yang sama) sebagai pengganti, dan jika kemudian meninggal lagi, digantikan lagi oleh adik laki-lakinya, atau jika tidak ada, calon dari garis terdekat lainnya, yang ibunya berasal dari salah satu keluarga yang diakui.

===== bersambung =====


Catatan Kaki :
  1. Genevieve Bouchor dalam artikel tinjauannya, Mary and Misogny dalam Mare Luso-Indicum, III (1976), hal 204
  2. Merupakan kebiasaan/aturan umum di seluruh kepulauan itu, nama yang diberikan saat seorang anak lahir akan digantikan pada saat ia mencapai suatu posisi, atau memeluk agama lain. Nama pra-Muslim dari Abulais adalah “ Liliato”
  3. Menurut Pigafetta, Bayan Sirullah memiliki 9 putra, sedangkan menurut Naidah, ia memiliki 17 putra
  4. Sa 4, hal 344; Feitos Eroicos, cap 57
  5. Schurhammer (Frans Xavier, hal 246, catatan kaki 271) mengatakan Niachile adalah Ratu, namun bukan istri utama. Tidak jelas apa yang ia (Schurhammer) maksudkan
  6. Saya (penulis) berhutang budi kepada keluarga  Jou Zabirsyah, Sultan terakhir Ternate dan Jou Bacan (Sultan Bacan terakhir), khususnya pada Boki Mariam, Boki Nursyaidah, Jou-ngofa Shahrinzah (putri tertua Jou Ternate) dan kepada Dano Amiruddin dari Tidore (paman dari Jou Tidore terakhir), yang menjelaskan panjang lebar tentang perbedaan gelar, posisi, tingkatan dan hubungan keluarga dari 4 kesultanan Maluku. 2 wanita terakhir yang menggunakan gelar Boki adalah Bokui Mariam dan Boki Nursyaidah, keduanya adalah putri dari Sultan Bacan terakhir. Ibunda Boki Mariam adalah putri dari kepulauan Sangihe dan permaisuri. Boki Mariam dianggap sebagai calon yang cocok untuk menjadi permaisuri Jou Ternate. Saudara lelaki dari 1 ibu, akan menjadi penerus tahta Bacan. Ibunda Boki Nursyaidah adalah seorang wanita Bacan, keturunana Arab, dari keluarga Sahid. Ia adalah istri sah Sultan. Boki Nuryaidah menikah dengan adik bungsu Jou Ternate, yang merupakan perwakilan Sultan (Kimelaha0 di Halmahera. Istri Jou Bacan, meskipun istri utama, berasal dari luar istana, dan menyandang gelar “Tuanku Putri”. Gelar Boki tidak lagi digunakan, mungkin karena menurut aturan istana, tak ada lagi yang dapat menggunakannya. Generasi sekarang yang merupakan putri Sultan menggunakan gelar Jou-ngofa,sedangkan para putra menggunakan gelar Jou, meskipun di Tidore masih menggunakan gelar Dano dan di Bacan menggunakan gelar Dede.
  7. Kedua surat itu tersimpan di Arquivo Nacional de Torre do Tombo, dengan identifikasi Gaveta 15-15-16 dan Gaveta 15-4-1
  8. Surat yang ditulis tahun 1524 itu dalam bahasa Melayu, ditandatangai oleh Sultan Abu Hayat (ANTT Gaveta 15-36-38) tentang kematian ayahnya karena diracun yang di”atur” oleh seorang “anak perempuan Bacan yang dikasihi Raja Ternate” atas persetujuan/suruhan dari Tidore, Jailolo dan Bacan. Ada beberapa interpretasi terhadap kalimat ini, namun yang pasti bermakna “ seorang putri Sultan Bacan yang dicintai oleh penguasa Ternate” (diterbitkan dalam Blagden, 1930)
  9. Seperti di era Indonesia moderen, bentuk bentuk anak (literalnya “child”) dan saudara (kerabat/keluarga dekat) dapat membingungkan orang luar dan membuat kesalahan penafsiran, kecuali kalau satunya adalah pasti memiliki hubungan darah dan keluarga (di rujuk dalam istilah keluarga) di antara pribadi-pribadi yang terlibat
  10. Sadaha, adalah suatu istilah Halmahera, yang mungkin atau tidak digunakan pada abad ke-16. Ini mengindikasikan pada fungsi pertahanan/keamanan pada suatu wilayah. Istilah ini berubah dalam alam pemikiran Maluku menjadi “kapita, kapitan”, yang berasal dari bahasa Portugis. Sejak 4 kerajaan Maluku berorientasi pada laut/maritim, gelar ini menjadi kapitan laut (defence of the sea, admiral of the sea)
  11.  Mereka bukan permaisuri, pasangan kerajaan dan memiliki tingkatan berbeda. Paling banyak, mereka menjadi Jou-ma-fokeha jika berasal dalam lingkaran kerajaan (Fala Raha, Soa Siu) dan Tuanku Putri jika berasal dari luar


Catatan Tambahan
  1. Sher Banu A Latiff Khan, Rule Behind the Silk Curtain : The Sultanah’s of Aceh 1641 – 1699, Thesis PhD, University of London, 2009
§  4 Sultanah yang dimaksud adalah Sultanah Tajul Alam Safiatudin Syah (1641 – 1675), Sultanah Nur Alam Naqiatuddin Syah (1675 – 1678), Sultanah Inayat Zaqiatuddin Syah (1678 – 1688) dan Sultanah Kamalat Zainatuddin Syah (1688 – 1699)
  1. Ruth Mc Vey, In Memoriam : Paramita Rahayu Abdurachman 1920 – 1988
  2. M Adnan Amal dalam bukunya, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950, Universitas Khairun, Ternate, 2002, menyebut namanya Nyai Cili Nukila (hal 42). Toeti Heraty dalam bukunya Rainha Boki Raja: Ratu Ternate abad ke-16, menyebut nama asli Rainha Boki Raja adalah Nyai Cili Nukila. Buku ini terbit tahun 2010 oleh Penerbit Komunitas Bambu dalam bentuk Prosa Liris.
  3. Informasi ini berbeda dengan yang disampaikan oleh M. Adnan Amal dalam bukunya Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950, Universitas Khairun, Ternate, 2002, hal 39. Adnan Amal menyebut mereka bertemu di Gresik atau di Giri, bukan di Bima
  4. Leonard Andaya menyebut utusan Sultan Ternate bernama Kaicili Vaidua, adik dari Sultan. Adnan Amal menyebut utusan itu ada 2 orang yaitu Jogugu Kuliba dan Kalem Faidua. C.O. Blagden dalam artikelnya, menulis bahwa menurut Barros, utusan itu bernama Cachil Coliba, sedangkan menurut Rebello, utusan itu bernama Cachil Vaidua.
§  Leonard Y Andaya, The World of Maluku : Eastern Indonesia in the Early Modern Period, University of Hawaai Press, Honolulu, 1993, hal 117
§  Leonard Y Andaya, Dunia Maluku: Indonesia Timur pada zaman modern awal, (edisi Bahasa Indonesia), Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2015, hal 115 - 116
§  M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950, Universitas Khairun, Ternate, 2002, hal 41
§  C.O. Blagden, Two Malay Letters from Ternate in the Moluccas, written 1521 dan 1522 (dimuat dalam Bulletin of the School of Oriental Studies, volume 6, no 1 (1930), hal 87 – 1011), khusus hal 88.
  1. Leonard Andaya menyebut Abu Lais diracun, mungkin oleh para pedagang Muslim yang merasa sangat dirugikan oleh pemberian monopoli pembelian rempah-rempah kepada Portugis, dalam bukunya The World of Maluku : Eastern Indonesia in the Early Modern Period, University of Hawaai Press, Honolulu, 1993, hal 117
§  Leonard Y Andaya, Dunia Maluku: Indonesia Timur pada zaman modern awal, (edisi Bahasa Indonesia), Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2015, hal 147 
M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950, Universitas Khairun, Ternate, 2002, hal 42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar