Senin, 20 Juli 2020

“NIACHILE POKARAGA” Kisah Lara Sang Ratu Maluku (bag 2 - selesai)


Oleh
 Paramita R Abdurachman

 
Paramita Rahayu Abdurachman (1920 - 1988)

                Penulis-penulis Portugis, Belanda dan berikutnya, tidak akrab dengan aturan ini, dan sering mengucapkan tentang “ beberapa ratu, istri dan selir” dan “anak-anak haram”. Haruslah dipahami bahwa untuk 4 kerajaan Maluku (mungkin meniru aturan yang berlaku di Jawa dan kesultanan Muslim lainnya), hanya ada 1 ratu, “permaisuri” yaitu Boki Raja yang berdarah bangsawan/kerajaan. 3 istri resmi adalah putri dari keluarga bangsawan atau aristokrat, atau bisa saja dari luar lingkaran ini, tetapi statusnya dinaikan. Para selir berada di luar kategori ini. Anak-anak mereka, yang biasa disebut “ haram” dapat dilegitimasi oleh penguasa, tetapi tidak bisa menjadi calon untuk suksesi. Namun anak-anak dari istri resmi bukanlah “anak haram”.
                Dengan permaisuri dari luar keluarga asli, garis suksesi juga tampaknya telah berubah. Sultan akan lebih cenderung memprioritaskan putra-putranya dari pasangan kerajaannya sebagai calon untuk para tetua/dewan tetua. Dapat dimengerti bahwa Dewan Tetua enggan menerima pemimpin baru mereka, seseorang dengan darah “asing”. Jadi, karena Kolano sangat sadar bahwa ia bergantung pada 4 eksekutif untuk mempermanenkan posisinya, perubahan tampaknya telah terjadi secara perlahan dan rumit.
                Sangat mungkin, bahwa Daroes adalah seorang dari keluarga Tomagola. Pada saat Portugis tiba, dia dikirim untuk menjemput mereka, bersama dengan Kaichil Samarau (Barros menyebutnya ‘Koliba’, Rebello menyebutnya ‘Vaidua’). Menurut Valentijn, Samarau adalah seorang Tomagola, dan telah dikirim oleh Abulais untuk menaklukan Pulau Baru pada tahun 1511. Dia kemudian digantikan oleh putranya, Rubuhongi dalam kampanye melawan Portugis di perairan Seram-Ambon-Lease. Namun sebelum itu semua, Daroes yang mengakuisisi kepulauan Banda untuk kerajaan Ternate.
                Boki Raja, tentu saja memahami aturan tradisional, pasti mengerti posisinya, dimana dia harus melawan serangan rumit orang Ternate, tekanan dari Portugis dan ambisi ayahnya.
                Kematian mendadak Serrao, tidak lama setelah kematian Sultan, juga akibat diracun, adalah peristiwa misterius, tetapi pastinya merupakan bagian dari jaringan intrik yang dijalin di antara kerajaan-kerajaan Maluku. Merupakan petunjuk jelas bahwa bangsa Ternate tidak ingin ada campur tangan dalam urusan internal mereka, baik oleh orang Tidore atau kerajaan Maluku lainnya atau oleh Portugis. Tetapi Tidore juga tidak ingin Portugis menjadi penasehat bagi Ratu, karena Serrao telah menolak undangan Kolano Tidore untuk mendirikan sebuah pos perdagangan di pulaunya.
                Kedatangan armada Magalhaes di Tidore, tidak lama kemudian, menambah situasi semakin rumit. Terutama saat penguasa Tidore bergegas menyambut mereka dan memfasilitasi pendirian pos perdagangan dan kemudian benteng.
                Kapten Portugis di Ternate, Antonio de Britoa, merasa khawatir dengan berubahnya peristiwa ini. Dia mulai meletakan fondasi untuk benteng pada Juni 1522, dan meminta Boki Raja membantunya dalam percepatan penyelesaiannya. Boki Raja enggan melakukannya, karena ia tidak ingin membuat jengkel ayahnya. Karena itu, ia tidak mendorong orang Ternate untuk membantu membangun benteng. Situasi ini pasti membuat frustasi orang Portugis, sehingga Brito mengambil langkah – menurut rumor, setelah dinasehati oleh Daroes – dan “menangkap” Abu Hayat dan adik-adiknya, Dayalo dan Tabarija, bersama rombongan mereka dan orang-orang istana lainnya, dan memenjarakan mereka di penjara bawah tanah di benteng yang belum selesai. Boki Raja, yang pada saat serangan Portugis terjadi, ada di bagian lain istana, bisa melarikan diri dan berhasil tiba di Tidore. Seperti Brito katakan “ a sua may (Abu Hayat) me fogyo, em que folgera muito de a tomar, puque me parece que fyzera ayda grande servico a Vossa Alteza” (Sa I: 24, hal 192). Menurut Brito, sesudah insiden ini, orang-orang Ternate mulai membantu. Dengan kepergian Boki Raja dan penerus tahta yang sah di penjara, sekarang Daroes adalah penguasa tertinggi di Ternate. Brito memberi tahu kepada penguasa berusia muda (Abu Hayat), bahwa ia (Brito) ingin menjadikannya “hebat”, itulah alasan penculikannya. Mereka juga melindungi Daroes. Namun, menurut Barros (Asia III,VII,IX), Boki Raja disarankan ayahnya, untuk memperhatikan munculnya kekuatan Daroes, karena itu akan merusak posisinya dan juga posisi Tidore. Dia kemudian kembali ke Ternate dan berdamai dengan Portugis dan Daroes. Mungkin dalam periode ini, dia meminta Daroes untuk menikahinya, dengan demikian memastikan dan menggabungkan kekuasaan formal dan tradisional. Namun, Daroes menolak tawarannya, karena menurutnya, dia (Boki Raja) pernah hidup bersama sebagai suami istri dengan Kaichil Latu (Rebello, texto II, cao 5 dalam Sa, 3).
                Sementara itu, saudara lelakinya yang lain, Kaichil Mamole, yang telah diasingkan di Jailolo, sedang berusaha untuk kembali ke Ternate. Daroes tidak menganjurkan hal ini, dengan demikian Mamole berusaha untuk mencari sekutu lain. Kolano Tidore didapati bersedia mendukungan usahanya (Kaichil Mamole), jika dia mencoba berusaha mencari cara untuk menjatuhkan Daroes. Mamole mengunjungi Ternate beberapa kali, selalu pada malam hari, untuk merekrut orang-orang yang akan mendukung niatnya. Pada salah satu kunjungan malam itu, ia disergap oleh para perampok dan dibunuh. Ini menimbulkan kecurigaan di antara orang-orang Ternate, yang curiga Daroes telah mendukung aksi tersebut. Dilihat dari dokumen-dokumen Portugis, Daroes tidak bersalah dan dilindungi oleh Portugis, namun demikian ia menjadi titik fokus intrik yang ditujukan kepadanya.
                Kolano Tidore mengintensifkan usahanya untuk menyingkirkan Brito,dimana ia didukung oleh Kolano Jailolo. Itu akhirnya berujung bentrok, saat junk-junk dari Banda tiba di Tidore, untuk mendapatkan cengkih. Banda sejak awal abad ke-16 dianggap berada dalam lingkup kekuasaan Ternate, jadi seharusnya datang ke Ternate. Kapten Portugis tersinggung dengan tindakan orang Banda, dan dia ingin menyatakan perang terhadap Tidore. Portugis telah mendirikan pos dagang di Banda dengan persetujuan Ternate, dan dengan demikian, posisi mereka akan terancam, jika kepentingan Ternate diabaikan. Boki Raja diberitahu, bahwa dia harus mengambil langkah. Dia menyadari dirinya kembali dalam posisi genting; di satu sisi, dia tidak bisa menolak untuk membantu Portugis, karena anak-anaknya masih disandera, tetapi dia juga tidak bisa bertindak melawan  ayahnya sendiri.  Jadi dia berusaha untuk menunda-nuda konfrontasi militer. Tapi apa pun yang dia coba, itu tidak akan banyak membantu. Titik balik telah terjadi, dan relasi Ternate – Tidore – Portugis, dengan kerajaan-kerajaan lain serta figur-figur yang berada di sisi masing-masing sekutu mereka sendiri, semakin memburuk. Sejak saat itu Antonio de Brito memulai perang pada tahun 1523 hingga Baab Ullah menjadi Sultan – selama 45 tahun – Maluku terus menerus dalam kekacauan  dan Portugis selalu kalah, bahkan jika untuk jangka pendek, mereka mungkin nampaknya bisa menguasai situasi. 

Sumber gambar : Buku Bartholemeus Argensola
                Para Kapten datang dan pergi. Brito punya banyak masalah sehingga dia diminta untuk diganti. Penggantinya, Garcia Henriquesb, tiba pada tahun 1524 dan berhasil membuat perjanjian damai dengan Tidore. Tapi, ketika Kolano Al Mansur meninggal pada tahun 1526 (juga karena racun), penerusnya, Kolano Mir, melakukan peperangan lagi.
                Tampaknya dengan kamatian ayahnya, peran Boki Raja mulai berkurang. Ia sekarang hanyalah Ratu yang telah menjanda dan seorang putri yatim piatu. Kesedihannya semakin bertambah, putranya, Kolano Abu Hayat meninggal di penjara, dan kontroversi segera muncul antara Daroes dan Boki Raja, nampaknya soal suksesi. Kemungkin besar juga tentang intervensi Portugis dalam masalah-masalah Ternate dan kecenderungan Daroes untuk mendukung mereka. Karenanya, Garcia Henriques, yang dibantu oleh orang-orang Ternate, melancarkan perang melawan Tidore. Aliansi ini, mungkin disebabkan  oleh kedatangan dari armada Spanyol lainnya di Tidore, dimana mereka disambut hangat oleh penguasa Tidore. Tidore yang kuat akan menjadi ancaman bagi Ternate dan Portugis.
                Aliansi ini akan bertahan, jika Goa tidak mengirim beberapa figur yang tampaknya hanya ingin memperkaya diri sendiri bukan untuk kepentingan kerajaan Portugis, dan terlebih lagi tidak berniat untuk merawat hubungan baik, dengan orang-orang Ternate dan kerajaan-kerajaan lain di Maluku. Yang pertama dari beberapa yang datang adalah Dom Jorge de Menezesc yang tiba pada tahun 1527, dan yang akan diingat dalam sejarah Maluku  sebagai manusia bengis. Sangat menarik bahwa Joao de Baros mengomentari hal ini :
Dos excessos deste capitao succedeu a tragedia que vera depois, e que sempre soe acontecer quando os principes ou ministros seus tratam sem clamencia e humanidade aos vencidos, fazendo-se senhores dos corpos e nao das vontades. Porque nenhum presidio nem prisao ha que mais faca ter os suditos em onbedience e alegre servidao, que o suave tratamento; e pelp contrario, por nenhum caminho se perdeu e se arriscam mais os Estados, e vem a dominacao, que por asperenza e insolencia dos senhores para os vassalos, mormento quando sao de outra nacao, ou novamente ganhados12

                Begitulah tindakannya sehingga orang-orang Ternate memboikot Portugis dengan memotong jalur suplai makanan dari benteng dan komunitas mestizo di sekitarnya, sehingga kelaparan mulai timbul. Menezes membalas dengan menyerang beberapa desa dan menangkap 2 kepala suku penting, yang dia tuduh telah membunuh babi piarannya. Tangan kedua laki-laki itu dipotong, dan mereka diusir untuk melarikan diri, tetapi beberapa anjing liar dilepaskan mengejar dan menyerang mereka. Orang-orang yang tak bisa membela diri itu tenggelam di laut dengan menyedihkan.
                Penulis-penulis Portugis sering menggambarkan kejadian ini, tetapi sekali lagi Joao de Barros memberikan pendapatnya dan petunjuk, tentang perubahan sikap orang-orang Ternate yang berhadap-hadapan dengan Portugis : “Dalli por diante teve Cachil Daroes mortal odio a D. Jorge, e aos Portuguezes, e desejava de os matar a todor, e livrar a terra de seu jogo”. Saat Cachil Daroes memprotes kekejaman ini, ia dipenjara oleh Menezes, dan setelah itu kepalanya dipenggal (Barros, Dec. IV, II, XX).
                Bahkan hal ini tak diterima oleh Boki Raja, dan dia bersama para menterinya meninggalkan tempat mereka, yang terletak di dekat benteng, dan pindah ke tempat yang disebut “ Turuco”, yang terletak 1 mil dari Ternate. Dia kecewa dengan Portugis13. Namun, situasinya masih begitu menyedihkan, karena kedua putranya yang lain, Dajalo dan Tabarija masih terpenjara di benteng Portugis.
                Seorang Kapten baru tiba di tempat itu pada tahun 1530, tetapi hal itu tidak memperbaiki situasi. Meskipun Goncalo Pereirad mengirim Dom Jorge de Menezes sebagai tawanan ke Goa, dia sendiri adalah orang yang bahkan lebih keras dan juga serakah. Dia mengenakan pajak atas penjualan cengkih, dan itu menciptakan tekanan terakhir untuk bertindak melawan Portugis.
                Dengan tidak adanya otoritas Ternate yang kuat, Portugis dapat melanjutkan tindakan represif mereka. Tetapi pada titik inilah, Boki Raja tampil di “panggung” sebagai pemimpin, dan tidak ada keraguan, bahwa ia pasti telah diterima oleh rakyatnya seperti itu. Menurut Diogo de Couto (Dec. IV,VIII,II), ia mengumpulkan para menterinya dan rakyatnya dan berbicara kepada mereka, mempengaruhi mereka untuk mengangkat senjata dan melawan Portugis.  Sebuah serangan ke benteng terjadi dan Goncalo Pereira terbunuh. Benteng Portugis dengan demikian tanpa Kapten, tetapi para casado dengan bebas menunjuk pemimpin baru mereka sendiri, yaitu Vicente de Fonsecae, yang pasti menjadi pemimpin factorij (gudang). Couto berpendapat bahwa ini tidaklah sah, karena Wakil Raja di Goa tidak mengetahui tentang peristiwa itu, dan seolah-olah ia (Couto) menyalahkan Boki Raja atas apa yang terjadi. Fonseca sendiri dalam sepucuk suratnya kepada Raja Portugis, menyampaikan semua laporan peristiwa itu; dia (Fonseca) tidak menyebutkan peran Boki Raja (Sa I, 32, hal 228-245; Couto IV, VIII, I)
                Dari sudut pandang kaum Ternate, dan Boki Raja, itu bukanlah urusan mereka. Boki Raja memberi hak Kapten baru untuk berdagang, tetapi juga meminta putra-putranya dan rombongan mereka untuk dikembalikan kepadanya. Saat Fonseca menolak, Boki Raja menjadi marah dan memanggil semua penguasa Maluku untuk datang membantunya. Dia pasti wanita yang berpengaruh, status kebangsawanan dan posisinya merupakan faktor yang harus diperhitungkan. Semua Kolano datang untuk mendukungnya, dan blokade terhadap benteng benar-benar terjadi, memotong kembali jalur suplai persediaan makanan, dan kali ini dari semua jalur, “menjauhkan” semua pulau-pulau di sekitar Ternate. Hal itu pasti memberi tahu kepada Portugis dengan jelas, apa perasaan sebagian orang Maluku, dan Fonseca tidak ragu membebaskan putra-putra Boki Raja. Dengan demikian, Dayalo kemudian menjadi Kolano, tetapi sayangnya, bagi ibunya dan kerajaan Ternate, dia berubah menjadi pribadi yang berkarakter lemah. Tahun-tahun dalam kurungan tanpa pelatihan kepemimpinan, mungkin membuatnya seperti itu; dia lebih tertarik pada urusan hati daripada urusan negara. Segera muncul kritikan dan kegaduhan terdengar di antara penduduk, dan bahkan Boki Raja tidak bisa melindunginya. Akhirnya ia (Dayalo) meninggalkan Ternate dan melarikan diri ke Tidore.
                Masih ada putra bungsu dari Boki Raja, bernama Tabarija, saat itu (tahun 1531) ia berusia sekitar 13 tahun. Pasti dalam periode ini, Boki Raja sebenarnya adalah penguasa, otoritas dan eksekutif tertinggi. Dia menikah lagi dengan Pati Serang, yang merupakan seorang Jou-Gugu (Perdana Menteri), kemungkinan besar berasal dari salah satu keluarga Fala Raha. Sayangnya tidak ada satu pun orang Portugis atau Valentijn yang memberi tahu kita, dari keluarga mana ia berasal.
                Situasi pasti relatif tenang sampai tahun 1534. Kapten baru, Tristao de Ataidef  tiba pada tahun 1533, dan seorang lagi yang menjadi contoh buruk pilihan Portugis, untuk menemukan orang yang tepat untuk menjadi Kapten dari benteng-benteng yang penting. Dia tampaknya telah menjadi laki-laki bengis dan untaian kesabaran terakhir orang-orang Maluku menjadi hancur selama kepemimpinannya. Salah satu tindakan awalnya adalah menyerang Bacan dan Jailolo, mungkin untuk mengamankan jalur suplai makanan.
Dia mungkin merasa bahwa Boki Raja terlalu kuat dan berpengaruh, dan dengan alasan pengkhianatan tingkat tinggi, Boki Raja dipenjara bersama Kolano Tabarija, Pati Serang, para menteri lainnya dan rombongan mereka. Mereka dibelenggu dan dikirim ke Goa pada tahun 1535. Untuk menggantikan Kolano Tabarija Kapten Portugis itu menunjuk putra Bayan Sirullah yang lain, saat itu berusia sekitar 12 atau 13 tahun, yang ibunya adalah orang Jawa. Tidak jelas apakah ibunya ini istri sah atau selir, tetapi dia pasti telah diterima oleh kerajaan ketika Bayan Sirullah meninggal. Sebagai Jou-Gugu, Ataide menunjuk Kachil Samarau. Jelas, bahwa tidak ada konsultasi dengan Dewan Tradisional Kerajaan Ternate. Tetapi perbuatan-perbuatan “bermartabat” ini, hanya meningkatkan kemarahan yang sudah sangat sensitif orang-orang Maluku, terkhususnya mengirim para penguasa yang sah sebagai penjahat dalam belenggu ke Goa. Seluruh Maluku bangkit dalam pemberontakan, seperti yang dikatakan Galvao dalam Tratado-nya (Jacobs, A Treatise, hal 225), “dari kepulauan Papua hingga Jawa”. Portugis telah berhasil dalam 25 tahun untuk mengubah diri mereka sendiri, dari teman sejati, menjadi musuh bebuyutan. Dan seperti yang juga dikatakan dalam Tratado, orang-orang Maluku menjadi kerugian total bagi Portugis. Rasa dendam itu diambil oleh kapten bertipe lain, Antonio Galvao, untuk membalas perasaan sakit hati dan melakukan serangan merajalela selama bertahun-tahun.
Kisah tentang Tabarija, tentang ibunya, dan para menteri yang ditawan di Goa, sering diceritakan dalam tulisan-tulisan orang Portugis, khususnya tentang fakta bahwa Tabarija menjadi Kristen pada tahun 1537, setelah dia berteman baik dengan seorang pejabat Portugis, Jurdao de Freitas. Pertemanan dengan orang Portugis ini, pasti mengejutkan bagi nasib orang-orang buangan Ternate. Dia (Jurdao de Freitas) mengajukan banding atas nama mereka kepada Gubernur Nuno da Cunhag, untuk memperbaiki akomodasi dan uang saku untuk makanan dan pakaian, dan tidak ada keraguan bahwa dia membantu mereka dalam banyak hal. Namun, dia mungkin juga adalah orang ambisius, dan berharap memperoleh posisi Kapten benteng Portugis. Dia ingin menikahkan keponakannya dengan Tabarija, dan menjadi ayah baptisnya bersama dengan gubernur, ketika Tabarija dibaptis dan menggunakan nama Dom Manuel. Dia pasti senang akhirnya menerima doacao (tanah/wilayah), sehingga dia menjadi pemilik “wilayah di antara pulau-pulau Buru dan Papua” yang dihargai sebagai “penduduk Ternate” oleh para Kolano Ternate.
Sangat sedikit yang dikatakan tentang Boki Raja di tahun-tahun pengasingannya. Dia pasti bosan dengan seluruh situasi itu, dan sangat menarik bahwa dia tidak menentang pengkristenisasian putranya, yang dia tahu masih menjadi “Sultan” di mata orang-orang Ternate. Entah dia menyerah pada harapan untuk kembali ke Ternate dan mengklaim tahta untuk putranya, atau dia mungkin menyetujui konversi putranya, agar situasi mereka di Goa semakin membaik. Ini jelas dari tulisan Portugis, bahwa setelah pembaptisan itu, uang saku dinaikan. Boki Raja, pada saat itu pastilah berusia sekitar 36 tahun, dan menurut tradisi adalah seorang Nyonya.
Situasi mereka memang berubah ketika Gubernur baru, Martim Affonso de Sousah, mengambil alih jabatan itu pada tahun 1542. Dia menghormati mereka dan segera mengatur bahwa seluruh rombongan orang Ternate, akan kembali ke tanah air mereka. Kembalinya mereka didahului oleh penunjukan Jurdao de Freitasi sebagai Kapten Benteng Portugis di Ternate. Freitas, pada saat tiba kemudian menangkap Hairun dan membawanya sebagai tawanan ke Goa dengan armada yang ia tumpangi bersama. Dari Goa, Tabarija, Boki Raja dan rombongan tiba di Malaka, sementara armada dari Ternate datang dari arah yang berlawanan. Di sana, di Malaka, takdir “mempermainkan” Tabarija dan Boki Raja, dan sepertinya Hairun membantu hal itu. Malam sebelum keberangkatan ke Ternate, Tabarija (Dom Manuel) diracun, menurut rumor didalangi oleh Fernao Moreno, yang adalah teman Hairun (Sa 3/Rebello, Texto I, c.6: “ esto se disse, mas nao se teve por certo”). Namun, Freitas hadir ketika Tabarija meninggal; dia yang mengambil pengakuan dan mendesaknya membuat wasiat, dimana ia (Tabarija) “menyerahkan” kerajaan Ternate kepada Raja Portugis sebagai penggantinya (Sa, 2, hal 19-20). 

                Dokumen yang aneh ini, disusun oleh penguasa beragama Kristen dari kerajaan Islam, bisa menjadi dukungan penting bagi Portugis untuk mengklaim dunia Maluku, jika mereka memainkan kartu mereka dengan benar – yang dilakukan, untuk sementara waktu, oleh Jurdao de Freitas, orang yang diberikan salinan, ketika Boki Raja dan Pati Serang kembali. Freitas mengumpulkan para menteri kerajaan Ternate, para pejabat benteng Portugis, penduduk Ternate dan orang Portugis – komunitas Mestizo. Dia membaca wasiat itu, dan menyatakan dirinya sebagai eksekutif (gubernur) kerajaan Ternate atas nama Raja Portugis, sementara Boki Raja tetap menjadi penguasa Ternate. Pasti ada banyak kesukacitaan, dan para imam Katolik, yang telah aktif di daerah itu, sekarang bisa menuai panen dari apa yang mereka tabur, karena banyak orang Ternate kemudia menjadi Kristen.
                Namun, Hairun yang telah dikirim ke Goa, tiba di sana dan diterima dengan baik oleh Gubernurj, yang selanjutnya menyatakannya sebagai penerus yang sah tahta kerajaan Ternate. Gubernur bahkan melangkah lebih jauh seperti menyebutnya “Rei de Maluco” di hadapan “Veadores, Fidalgos, Capitaes, Officia de Fazenda e Justica em sala publica – com condicao, e declaracao por esse que recebia aquelle Reyno da mao d’ El Rey de Portugal.........”. Hairun sekarang bisa kembali ke Ternate kapan saja dia ingin kembali. Sebelum pergi dia “jurou nas maso do Governador de ser sevidor, e vassalo d’ El Rey de Portugal, elle, e todos os que delle herdassem aquelle Reyno, o que tudo se fez com o mor apparato, e solemnidade que pode ser”  (Couto, VI, I, IV).
                Tidak lama kemudian, Hairun memulai perjalanan pulang ke Ternate, dan tiba di sana pada tahun 1546. Setibanya di sana, dia berdamai dengan Boki Raja, Pati Serang dan para pejabat Ternate lainnya. Tapi dia membawa bersamanya surat resmi dari Wakil Raja di Goa, tentang status posisinya, dan segera kemudian dia diangkat kembali sebagai penguasa, sementara Freitas ditangkap dan dikirim pulang ke Goa. Kerajaan Ternate kembali lagi menjadi kerajaan Islam, dan meskipun Hairun menerima kekuasaannya dari tangan gubernur Portugis, dan bukan karena aturan tradisi, dan menjadi pengikut Raja Portugis, Portugis gagal menggunakan momen ini, dan memantapkan kekuatan mereka secara permanen di Maluku.  
Sedangkan bagi Boki Raja, suaminya dan rombongan pengiringnya, tidak butuh lama untuk Hairun menyita semua properti yang Boki Raja miliki sebagai pasangan utama dari almarhum ayahnya. Dia (Hairun) mungkin takut akan posisi dan kekuasaan wanita itu. Ia (Hairun) bukanlah putra dari permaisuri, mungkin salah satu istri yang sah, dan menjadi penguasa bukan karena pilihan dari Dewan Tetua, tapi karena situasi kritis, maka Portugis menunjuknya. Jadi dia memutuskan untuk menggunakan semua cara untuk memastikan dan memantapkan posisinya. Boki Raja nampaknya menjadi ketakutan utama Hairun, dan dengan demikian menjadi target utamanya. Boki Raja tidak diberi nafkah penghidupan, dan dia mungkin meninggal dalam keadaan menyedihkan, jika bukan karena Balthasar Veloso, seorang morador, yang menikah dengan seorang putri mendiang Sultan Bayan Sirullah. Wanita itu telah menjadi Kristen setelah menikah dan dikenal dengan nama “Dona Catharina”. Mereka membawa Boki Raja dan merawatnya.
Itu terjadi pada tahun 1546, saat Fransico Xavier tiba di Ternate untuk menyebarkan Injil. Boki Raja bertemu dengannya, dan akhirnya menemukan penghiburan bagi persoalan hidupnya. Boki Raja memeluk agama Kristen pada tahun 1547, dan dibaptis oleh Xaverius sendiri, dan menggunakan nama “Dona Isabel” (Sa, I, 77, hal 580). Tidak banyak lagi yang diketahui tentang Boki Raja: terakhir kali, dia disebutkan dalam permohonan Balthasar Veloso, yang menulis kepada Wakil Raja, menyampaikan padanya tentang nasib Boki Raja dan meminta nafkah hidup untuk Boki Raja. Permohonan lainnya dibuat oleh Fransiscus Xaverius kepada para pater di Goa, yang ditulis dari Malaka pada tahun 1549 (Sa I, 85, hal 611-612). Xaverius meminta bantuan atas nama “Ratu” agar bantuan itu dikirim melalui Balthasar Veloso.
Boki Raja tidak pernah disebutkan lagi, dan hanya dapat diduga bahwa mungkin tetap hidup oleh kemurahan hati keluarga Mestizo, dilupakan oleh rakyatnya sendiri, dan sekali lagi, seperti perempuan lain yang dalam dokumen-dokumen Portugis, hanya berupa “ wajah tanpa nama”.

d)      Penutup

Berkaca pada sosok Niachile Puka Raga , “ Ratu” atau lebih tepatny, Boki Raja, orang hanya dapat menyimpulkan bahwa dia “terperangkap” di arus lalu lintas yang menyapu laut Maluku yang tak berdasar, di saat-saat ketika para Kolano dari 4 kerajaan berjuang untuk politik kekuasan. Pengaruh dari luar daerah – Islam yang dibawa oleh pedagang dari Gujarat, dan daerah lainnya, serta Kristen oleh Portugis – masing-masing berkontribusi pada perubahan yang lambat, tetapi mau tidak mau terjadi di wilayah kepulauan Maluku yang luas. Tradisi dan pengaruh luar saling bersaing demi kelangsungannya; campur tangan politik oleh Portugis berkontribusi pada pergolakan paruh pertama abad ke-16.
Akibatnya bagi Boki Raja, benar-benar tragis. Dimaksudkan untuk menjadi jembatan antara 2 kekuatan ambisius, Tidore dan Ternate, dan diwujudkan untuknya secara pribadi oleh ayah dan suaminya, mimpi ini tidak terwujud. Dunia kekuasaan, politik dan kekuasaan, serta intervensi dari luar, menyebabkan kesenjangan antara Ternate dan Tidore, dan dengan kerajaan-kerajaan lainnya bahkan lebih menonjol. Bahkan, sebagai Ratu penguasa yang Muslim, dia telah mengizinkan putranya, Sultan yang sah, untuk berpindah agama menjadi Kristen. Dia sendiri, dan pejabat lainnya yang mengikutinya, dengan demikian menjadi terasing keluarga mereka dan kerajaan. Jadi dia hanya bisa menghilang dalam sejarah, tidak diingat oleh siapa pun, bahkan dalam adat dan pengetahuan orang lokal, dan hanya secara spordis disebutkan dalam dokumen-dokumen Portugis. Namun, pada momen-momen saat rakyatnya tanpa pemimpin, dia muncul dan memberikan tanda bagi Jihad, pemberontakan umum, yang menguncang daerah “dari Papua hingga Jawa”, dan memantapkan Ternate sebagai kekuatan, serta menandai awal dari kejatuhan Portugis.
Adapun Portugis, mereka sama-sama terjebak dalam kontrasnya angin arus lalu lintas, berputar-putar hanya di wilayah tersebut. Sepertinya mereka tidak menyadari perubahan yang terjadi, bahwa Dunia Maluku “terbentuk” dari pulau-pulau yang hanya dikenal sebagai tempat lahirnya cengkih dan pala, menjadi 4 kerajaan merdeka, yang kehadiran dan keberadaannya terasa di seluruh Nusantara. Mereka tidak menyadari bahwa kedatangan mereka dan kehadirannya, sebagai katalis untuk memutuskan kerajaan mana yang akan menjadi yang tertinggi dan terkuat.
Berniat untuk berdagang dan memonopoli, serta memerangi Islam, mereka gagal memahami bahasa halus diplomasi yang berlaku di dunia berbahasa Melayu, dan dengan demikian percaya bahwa tawaran vasal bagi raja asing harus dipahami secara harfiah. Sama berlaku juga untuk upaya dakwah mereka pada saat Islam sedang berkembang di daerah tersebut. Bukanlah hal penting bagi orang kebanyakan untuk berpindah agama, tetapi kepala negara haruslah seorang Muslim.
                Tetapi dalam analisis terakhir, Portugis memang menyumbang sesuatu yang baru, yang memiliki efek jangka panjang, khusus dalam ruang lingkup terbatas. Wasiat, yang disusun oleh Sultan Bayan Sirullah, kemungkinan besar atas saran dari Fransisco Serrao, dan diulangi oleh Tabarija (Dom Manuel) atas saran dari Jurdao de Freitas. Namun, Portugis gagal memahami momen yang bisa membuat Ternate menjadi bagian integral dari kekaisaran Portugis. Di sisi lain, Hairun, setelah memantapkan dirinya sebagai penguasa, memahami takdir yang tak berubah (dalam orang-orang Ternate atau Portugis), menyusun sebuah wasiat, dimana ia membanggakan putra sulungnya, Baab Ullah, untuk menjadi pewaris tahta yang sah.
Wasiat-wasiat dan aturan tentang hak anak sulung, bersama dengan aturan tradisional tentang suksesi, yang harus disetujui oleh Para Tetua dan Fala Raha, menjadi bagian dari tradisi baru

===== selesai =====


Catatan Kaki :
12.   Dalam edisi tahun 1955, yang dibuat oleh Agenda Geral das Colonias of Portugas, bagian ini ditempatkan di antara tanda kurung besar/siku-siku atau [          ]
13.   Menurut tradisi (dan sebagian diulang oleh Valentijn), pemukiman paling kuno dari Kolano Ternate adalah Tabona (dekat puncak gunung), yang kemudian berpindah ke Foramadiahe (di lembah) dan kemudian ke Sampalu (pesisir) dan teluk, Akerica. Tempat ini berada di tempat yang disebut Gamalama (Gamlamo), yang mana Portugis mendirikan benteng mereka (Kastela). Tempat-tempat itu, semuanya berlokasi di bagian selatan dan barat daya pulau. Tucuco (Tuluko?) lebih ke arah pesisir tenggara, dan masih menjadi bagian penting wilayah Sultan hingga sekarang. Namun, menurut tradisi, Sultan Hairun dan Baab Ullah, tinggal di Foramadiahe, dimana kuburan mereka ditemui, serta juga reruntuhan bangunan batu. Sayangnya, saat penulisan artikel ini, saya (penulis) tak dapat memperoleh salinan disertasi doktoral dari Chr. F. Van Fraasen dari Universitas Leidenk, yang mengurai tentang klasifikasi masyarakat Ternate.

Catatan Tambahan :

  1. Antonio de Brito menjadi Kapten benteng Portugis di Ternate pada 1522- 1525
§  F.S.A. de Clerq, Ternate: The Residency and It’s Sultanate, (edisi terjemahan B Inggris), hal 107
§  Muridan Satrio Widjojo, CrossCultural Alliances-Making and Local Resistance in Maluku during the Revolt of Prince Nuku, c. 1780 – 1810, disertasi, Universitas Leiden, 2007, apendix 4, hal 265
  1. Garcia Henriques menjadi Kapten benteng Portugis di Ternate pada 1525- 1527
  2. Dom Jorge Menezes menjadi Kapten benteng Portugis di Ternate pada 1527- 1530
  3. Goncalo Pereira menjadi Kapten benteng Portugis di Ternate pada 1530- 1532
  4. Vicente de Fonseca menjadi Kapten benteng Portugis di Ternate pada 1532- 1534
  5. Tristao de Ataide menjadi Kapten benteng Portugis di Ternate pada 1534 – 1536
  6. Nuno da Cunha menjadi Gubernur Portugis(sebagai wakil Raja Portugis) di Goa  pada 1529 – 1538
  7. Martim Affonso de Sousa Gubernur Portugis(sebagai wakil Raja Portugis) di Goa  pada 1542 - 1545
  8. Jurdao de Freitas menjadi Kapten benteng Portugis di Ternate pada 1544 – 1547
  9. Mungkin Gubernur yang dimaksud adalah Joan de Castro yang menjabat 1545 – 1548
  10. Disertasi doktoral dari Chr. F. Fraasen yang dimaksud oleh Paramita R Abdurachman berjudul Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipel; van Soa-organisatie en vierdeling: Een studie van traditionele samenleving en cultuur in Indonesie (2 volume), Universitas Leiden, 1987


Bibliografi

  • Blagden, C O . 'Two Malay Letters from Ternate in the Moluccas written in 1521 and
    1522', Bulletin S.O.A.S., 1930: 87-101.
  • Bocarro, Antonio, Historia de Maluco no tempo de Goncalo Pereira Marramaque e Sancho de Vasconcellos. BNL, Fundo Geral No. 474: Relacao dosfeitos eroicos em armas que Sancho de Vasconcelosfez nas paries de Amboino . . ., in A. B. de Sa Documenta(ao . . ., vol. 4.
  • Campen, C. F. H., 'Enige mededelingen over de Alfoeren van Hale-ma-hera', BK1, XXXII (4thSer., VIII/2), 1884: 162-97.
  • Clerq, F. S. A. de, Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate, Leiden, 1890.
  • Couto, Diogo do, Decadas da Asia, 14 vols (collected edition), Lisboa, 1778-88.
  • Encyclopedic van Nederlandsch Indie, 2nd edition, 1917.
  • Jacobs, Hubert, Th. Th. M.A Treatise on the Moluccas, Rome, 1971. Documenta Malucensia (3 vols), Rome, 1971-1983.
  • Naidah. 'Geschiedenis van Ternate, in Ternataanschen Maleischen tekst, beschreven door den Ternatan Nadiah' (met vertaling en aanteekeningen door P. van der Crab), BKI, XXVI (4de Volgreeks, D1.2), 1878, pp. 381-493.
  • Pigafetta, Antonio and Maximilian Transylvanus, First Voyage around the World and De Moluccis lnsulis (Filipiniana Book Guild), Manila, 1969.
  • Polman, Katrien, The North Moluccas. An Annotated Bibliography (with an introduction by Ch. van Fraassen), The Hague, 1981.
  • Rebello, Gabriel, Informacao Sobre as Moluccas, Texto II, B.N.L.: F. G. Caira 199. Documento 41, in A. B. de Sa, Documentacao . . ., vol. 3.
  • Sa, Artur Basilio de Documentacao para a historia das Missoes do Padroado Portugues do Oriente, Insulindia (5 vols) Lisboa, 1954-58.
  • Schurhammer, G., Franz Xaver, Sein Leben und seine Zeit. 2nd vol. (1541-52), Freiburg, 1963-
  • Valentijn, Francois, Ouden Nieuw Oost-Indien (Vol. I), Dordrecht, 1724.

  • Visser, Leontine, E. 'Mijn Tuin is Mijn Kind. Een antropologische studie van de droge rijstteelt 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar