Senin, 13 Juli 2020

Populasi Pulau Saparua abad ke-18 (1707 – 1811) : Suatu Tinjuan Umum (bag 1)


Oleh : Adrijn Anakotta



  1. Pendahuluan

Artikel ini menyajikan gambaran khusus penduduk Pulau Saparua selama periode 1 abad yaitu sejak permulaan abad ke-18 hingga permulaan abad ke-19 (tahun 1707 – 1811). Gambaran khusus tentang populasi Pulau Saparua ini berdasar pada sumber Francois Valentijn (1707)1 dan laporan Resident Saparoea asal Inggris, Letnan James Rooy pertanggal 15 Januari 18122.  Laporan tentang penduduk pulau Saparua yang dilaporkan oleh Letnan James Rooy, terdiri dari data 2 tahun, yaitu data penduduk per 10 Juni 1810 dan penduduk per 31 Desember 1811.
Jumlah desa/negeri yang terdapat di Pulau Saparua berjumlah 13 desa/negeri. Jumlah ini tidak “berubah” sejak tahun 1707 yang disebutkan oleh Valentijn3 hingga 1 abad kemudian ketika disebutkan oleh Resident Saparua asal Inggris tersebut. Meski jumlahnya sama, namun berdasarkan data tahun 1810 dan 1811, negeri/desa Siri Sori telah “terbagi” menjadi 2 “negeri” yaitu Siri Sori Kristen dan Siri Sori Islam (Serrisory Mahom). Walaupun telah “terbagi” menjadi 2 “negeri”, berdasarkan data (tabel C.2) terlihat bahwa “negeri” Sirisori Islam masih dipimpin oleh seorang pemimpin dari negeri Siri Sori Kristen, atau dengan kata lain, kedua negeri ini dipimpin oleh seorang penguasa. Hal ini, bukan berarti negeri SiriSori Islam tidak memiliki “pemimpin”, mereka memiliki “pemimpin” yang mungkin berasal dari kaum agamawan atau adat, namun secara resmi, pemerintah VOC dan Inggris hanya “mengakui” dan “menerima” 1 orang pemimpin untuk kedua negeri ini.
Data khusus tentang penduduk ke-13 negeri di Pulau Saparua ini pada periode (1810 – 1811) bisa menjadi gambaran umum situasi penduduk, 6 atau 7 tahun menjelang perang Pattimura (Mei – November 1817) atau dalam sumber-sumber Belanda disebut Opstand 1817.  Terlihat dalam rentang 1 tahun (tabel C.1), jumlah penduduk Pulau Saparua mengalami peningkatan hampir 1.000 orang. Melihat jumlah penduduk ini, maka tidaklah mengherankan jika, pemerintah Hindia Belanda cukup kaget dan khawatir tentang “masa depan” pemberontakan itu.


  1. Data berdasarkan sumber Valentijn dan Inggris

Seperti disebutkan di atas, bahwa data tentang populasi Pulau Saparua yang disajikan ini, bersumber dari Francois Valentijn (untuk tahun 1707) dan laporan Resident Saparua, Letnan James Rooy (tahun 1810 – 1811). Sumber dari Valentijn ini, bisa dipandang sebagai sumber “non resmi” karena bukan berasal dari laporan pemerintah. Meski bersifat “non resmi”, data dari Valentijn juga bisa dianggap “resmi”, karena data yang digunakan olehnya, berasal dari informasi-informasi yang disampaikan oleh figur-figur penting dalam VOC4, salah satunya adalah Robertus Padtbrugge, Gubernur van Amboina (1683 – 1691). Selain itu, Valentijn juga adalah seorang pendeta yang bertugas di Gubernemen Ambon pada periode April – Oktober 1686, Mei 1688 – Mei 1694 dan Maret 1707 – Mei 1712, sehingga tentunya ia memiliki koneksi pada lingkaran elit gubernemen Ambon untuk mendapatkan data, serta ia juga bisa menggunakan data-data yang bersumber dari laporan-laporan para pendeta yang berkunjung dan para schoolmaster yang bertugas di negeri-negeri tersebut.
James Rooy yang menjadi Resident Saparua adalah seorang militer, dengan karir yang dimulai dengan pangkat Letnan 2 per 3 Juli 18075. Ia kemudian menjadi Resident Larike pada periode Februari – akhir April 1810. Sejak Mei 1810, ia ditugaskan menjadi Resident Saparua menggantikan “resident” sebelumnya asal Belanda, Jan Willem Burghgraef (1807 – April 1810). Ia berkuasa di Saparua hingga akhir 1812.
Jika kita melihat awal James Rooy berkuasa dan data penduduk per 10 Juni 1810, maka kemungkinan data per tanggal tersebut, adalah data dari pemerintahan Belanda atau “residen” sebelumnya, Jan Willem Burghgraef.  Waktu yang terlalu singkat (Mei – 10 Juni), sehingga agaknya tidak mungkin, James Rooy/pemerintahan Inggris melakukan sensus penduduk di Pulau Saparua.  Berbeda dengan data kedua, per tanggal 31 Desember 1811, ini tentunya merupakan hasil sensus yang dilakukan oleh Resident Inggris itu.
Di bawah ini, kami sajikan 5 tabel sebagai perinciannya:

  1. Pulau Saparua
C.1. Untuk Tahun 1707, 1810 (10 Juni) dan 1811 (31 Desember)


Negeri6
Jumlah
Untuk Tahun 1707
Jumlah
Per 10 Juni 1810
Jumlah
Per 31 Desember 1811
Penduduk
Dati
Penduduk
Dati
Penduduk
Dati
Serrisory
2340
129
724
91
816
108
Ouw
1428
89
351
48
420
48
Ulath
1324
102
185
64
252
62
Booy
506
74
232
38
235
32
Haria
1008
96
442
75
663
99
Poorto
510
58
386
56
369
56
Thiouw
480
59
157
19
157
20
Saparooa
182
21
74
12
61
17
Nolloth
970
138
470
72
613
72
Itawaka
449
93
88
22
175
36
Paperoe
550
76
232
35
239
36
Tuhaha
446
89
157
31
350
57
Ihamahoe
1260
175
230
52
422
52
Total
11.453
1.199
3.728
615
4.722
695


C.2. Demografi Pulau Saparua dalam tahun 1811 (per 31 Desember)

Negeri
Radjas
Patties
Schoolmasters
Kepala Soas
Marinjo
Ass. Marinjo
Serrisory. Kristen
1
-
1
14
2
2
Serrisory. Mahomedan
-
-
4
6
2
-
Ouw
-
1
1
10
4
4
Ulath
1
-
1
9
2
2
Booy
-
1
1
5
2
2
Haria
-
1
1
5
2
2
Poorto
1
-
-
7
2
2
Thiouw
-
1
-
3
4
1
Saparooa
1
-
1
2
2
1
Nolloth
1
-
1
7
2
1
Itawaka
-
1
-
4
2
1
Paperoe
1
-
1
4
2
1
Tuhaha
1
-
-
5
1
1
Ihamahoe
-
1
1
6
2
1
Total
7
6
13
87
31
21



C.3. Demografi Pulau Saparua dalam tahun 1811 (per 31 Desember)

Negeri
Laki-laki >40 thn
Laki-laki
15 – 40 thn
Laki-laki
9 – 15 thn
Laki –laki
< 9 thun
Total
Serrisory. Kristen
30
30
34
57
171
Serrisory. Mahomedan
32
49
56
49
198
Ouw
28
45
22
31
146
Ulath
15
36
31
30
127
Booy
13
29
24
23
100
Haria
49
83
65
82
290
Poorto
23
56
35
36
162
Thiouw
5
17
17
22
70
Saparooa
3
6
7
6
29
Nolloth
39
55
75
61
242
Itawaka
16
30
14
16
80
Paperoe
27
25
25
29
115
Tuhaha
27
52
45
35
167
Ihamahoe
26
69
21
65
192
Total
333
513
450
477
1.897


C.4. Demografi Pulau Saparua dalam tahun 1811 (per 31 Desember)

Negeri
Perempuan >40 thn
Perempuan
15 – 40 thn
Perempuan
9 – 15 thn
Perempuan
< 9 thun
Total
Serrisory. Kristen
64
88
42
42
236
Serrisory. Mahomedan
56
55
45
25
181
Ouw
72
74
69
57
272
Ulath
30
46
19
26
121
Booy
36
25
26
36
123
Haria
76
91
89
91
338
Poorto
32
62
40
60
194
Thiouw
32
20
14
17
83
Saparooa
8
11
5
8
32
Nolloth
45
160
54
57
316
Itawaka
19
34
13
14
80
Paperoe
37
31
22
26
116
Tuhaha
44
56
38
37
175
Ihamahoe
38
102
17
54
211
Total
589
753
476
496
2.267

C.5. Demografi Pulau Saparua dalam tahun 1811 (per 31 Desember)

Negeri
Kelahiran sepanjang tahun 1811
Kematian sepanjang tahun 1811
Serrisory. Kristen
15
16
Serrisory. Mahomedan
15
9
Ouw
2
7
Ulath
4
3
Booy
12
3
Haria
35
24
Poorto
13
16
Thiouw
4
9
Saparooa
-
2
Nolloth
55
49
Itawaka
11
16
Paperoe
8
5
Tuhaha
8
7
Ihamahoe
19
7
Total
201
166


  1. Pembacaan dan interpretasi data
D.1. Gambaran Umum penduduk Pulau Saparua (1707 – 1810)

Berdasarkan tabel C.1, terlihat dengan jelas bahwa penduduk Pulau Saparua mengalami penurunan penduduk sangat besar yaitu hampir mencapai 68% atau tepatnya 67,45% dalam rentang 1 abad lamanya. Tercatat pada tahun 1707, jumlah penduduknya sebesar  11.453, mengalami penurunan hingga 3.728 per tanggal 10 Juni 1810.
Semua desa/negeri di Pulau Saparua mengalami penurunan penduduk. Negeri-negeri seperti Siri-Sori, Ouw, Ullath dan Ihamahu adalah yang paling besar mengalami penurunan, yaitu di atas 1000 penduduk. Diikuti kemudian oleh Haria, Nolloth dan lain-lain. Negeri Saparua sendiri mengalami penurunan penduduk sebesar 60 % atau tepatnya 59,5%, yaitu dari 182 penduduk di tahun 1707 menjadi hanya 72 pada Juni 1810.
                Fenomena “keanehan” menimbulkan pertanyaan, faktor apa yang menyebabkan anjloknya penduduk pulau Saparua dalam 1 abad ini??. Jika kita melihat kajian sejarahwan Gerrit J Knaap tentang demografi Ambon pada abad 177, khusus untuk Pulau Saparua, dalam rentang 20 tahun (1673 – 1692) penduduknya mengalami kenaikan yang cukup besar, dari 8.100an ke 11.400an. Menurut Knaap, kenaikan ini mungkin disebabkan oleh apa yang ia sebut sebagai “pertumbuhan pemulihan”. Ini ada hubungannya dengan masa damai di wilayah Gubernemen Ambon, sejak berakhirnya perang besar atau perang penaklukan oleh VOC tahun 1656/1658. Dengan situasi yang damai, tanpa gejolak perang/pemberontakan, maka penduduk pasti akan bertumbuh. 

Kepulauan Lease (1633)

                Namun, jika faktor situasi damai itu diterapkan pada periode 1707 – 1810, maka seharusnya penduduk Pulau Saparua mengalami pertambahan atau kenaikan. Namun berdasarkan tabel, faktanya terbalik. Sejak tahun 1658 hingga akhir abad ke-18, tidak ada lagi gejolak-gejolak pemberontakan dalam skala besar di Gubernemen Ambon, sehingga penurunan penduduk akibat kematian karena perang, kurang signifikan dalam memahami fenomena ini.  Maka, tidak salah jika ada yang menyebut, bahwa pada periode abad ke-18, wilayah Ambon dan sekitarnya benar-benar “takluk” ditangan VOC (Belanda). Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa faktor keamanan bukan menjadi faktor utama dalam penurunan penduduk pulau Saparua yang sangat tajam ini.
                Faktor alam, yaitu bencana alam berupa gempa bumi yang disertai tsunami juga bisa dipertimbangkan. Menurut sumber yang dicatat oleh Arthur Wichman dalam bukunya8, sejak tahun 1708 – 1810, ada sekitar 15 kali gempa bumi di kepulauan Ambon dan sekitarnya (Ambon, Banda, Kei). Kami memilih lokasi gempa ini, karena berdekatan dengan Pulau Saparua, yang pastinya akan terkena dampak dari gempa tersebut. Gempa-gempa yang terjadi dalam periode 1708 – 1810, terjadi pada tahun 1708, 1710 (2x), 1711, 1714, 1716, 1743, 1750, 1754, 1763, 1775, 1777 (2x), 1781, 1802.  Meski terjadi gempa bumi sebanyak 15 kali, namun tidak semua gempa bumi yang efeknya terasa di pulau Saparua. Tercatat hanya gempa bumi tahun 1708 (efeknya lemah), 1711 (efeknya lemah), 1754 (efeknya sangat kuat), 1802 (efeknya sangat kuat). Terlihat dari data, hanya 4 kali gempa bumi yang terasa efeknya di pulau Saparua, dari efek yang lemah hingga sangat kuat.
Sumber dari Wichman tidak eksplisit menyebut jumlah korban jiwa akibat 4 gempa bumi ini. Meski tidak secara eksplisit, kita bisa menduga bahwa kemungkinan cukup banyak penduduk yang meninggal akibat 4 gempa ini. Misalnya gempa tahun 1711 berkekuatan VII MMI, efeknya lemah yang dirasakan di pulau Saparua, namun disebutkan bahwa gempa ini disertai tsunami, serta di pulau Saparua terjadi 13 atau 14 gelombang air laut yang menerpa pantai-pantai di pulau ini. Gempa tahun 1754 berkekuatan X MMI dan efeknya sangat kuat terasa di pulau Saparua, bahkan gempa sepanjang tahun 1754 ini terjadi 22 kali (18 Agustus – 11 September), dimana sebanyak 13 kali dan berdampak di pulau Saparua. Gempa tahun 1802 berkekuatan X MMI.
                Selain sumber Wichman, laporan Gubernemen Ambon juga menyebut terjadi gempa tahun 1736, dimana cukup banyak yang meninggal di pulau Saparua9. Jadi gempa bumi tahun 1736, 1754 dan 1802 inilah, yang mungkin menyebabkan kematian cukup banyak penduduk Pulau Saparua. Dugaan kematian cukup banyak ini, akibat langsung gempa bumi pada saat terjadi dan akibat lanjutan dari gempa itu. Ini berkaitan dengan terganggunya kebutuhan sandang dan pangan akibat gempa-gempa ini.
                Selain faktor alam, ada juga faktor lain yang cukup menarik dan “logis” untuk dipertimbangkan sebagai faktor penurunan tajam penduduk pulau Saparua. Jika kita mencermati tabel C.1, khususnya pada kolom jumlah penduduk dan jumlah dati di tiap desa/negeri, antara tahun 1707 dan 1810, terlihat bahwa semakin banyak penduduk suatu negeri, maka semakin banyak jumlah dati di negeri tersebut. Begitu juga sebaliknya, jika penduduknya berkurang, maka jumlah datinya juga semakin sedikit/berkurang. Semua negeri di pulau Saparua pada tahun 1810, jumlah datinya berkurang seiring dengan menurun jumlah penduduk di negeri tersebut. Gambaran sepintas ini, mengukuhkan pendapat tentang definisi sederhana tentang dati, yaitu sebagai satuan kerja10. Jumlah dati berkorelasi erat dengan pelayaran hongi, dimana semakin banyak penduduk suatu negeri, maka semakin banyak “tenaga kerja” yang digunakan oleh VOC dalam kebijakan pelayaran hongi mereka. Akibat langsung dari hubungan ini adalah jumlah dati akan bertambah, karena dati dianggap sebagai “upah” bagi keluarga-keluarga yang terlibat dalam tugas pelayaran hongi. Pelayaran Hongi yang memakan waktu berbulan-bulan, maka tanah-tanah akan diberikan untuk dikelola dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, saat pemimpin keluarga bertugas dalam pelayaran hongi tersebut.
                Keterlibatan banyak penduduk pulau Saparua dalam ekspedisi pelayaran hongi, bisa menimbulkan penurunan jumlah penduduk, dimana mungkin banyak yang meninggal selama pelayaran atau meninggal karena berperang dengan penduduk negeri-negeri lain yang menjadi sasaran ekpedisi penghancuran pohon cengkih dalam kebijakan hongi tersebut.  Berdasarkan sumber Valentijn11 disebutkan per tahun 1709, ke-13 desa/negeri di Pulau Saparua semuanya terlibat dalam armada pelayaran hongi, dengan jumlah 1015 orang yang diwakili melalui 8 kora-kora. Jumlah penduduk sebanyak 1015 orang itu adalah 9% dari total penduduk pulau Saparua tahun 1707.  Dengan memisalkan saja secara rata-rata, dari 1015  penduduk pulau Saparua yang turut serta dalam pelayaran hongi meninggal sekitar 5% dalam ekspedisi itu, maka kira-kira ada 50an orang yang meninggal setiap kali ekspedisi. Misalnya lagi dalam 100 tahun ada sekitar 50an kali ekspedisi, maka sekitar 2500an orang yang meninggal. Jumlah ini cukup besar dan mempengaruhi angka penurunan penduduk, apalagi ditambah dengan faktor alam di atas.
                Informasi yang disampaikan Knaap terkait relasi antara jumlah dati sebagai “basis” perhitungan penduduk, menarik untuk dicermati. Ia menyebut bahwa sangat mungkin para pemimpin desa/negeri memperoleh angka-angka itu (jumlah penduduk) dari laporan tahunan pemimpin dati (kepala dati). Selain itu, ia mengatakan bahwa ada motif dan minat tertentu dari pemimpin desa/negeri dari pelaporan jumlah penduduk berdasarkan registrasi berbasis pada dati. Pemimpin desa/negeri kurang berminat dalam proses ini, karena semakin banyak penduduk, maka semakin banyak tenaga kerja yang  harus disediakan bagi VOC. Mereka juga sangat berminat dalam proses ini, karena semakin banyak dati yang terdaftar/dilaporkan, maka akan menentukan desa/negeri itu dalam soal kepemilikan armada perang  atau kora-kora sendiri dalam ekspedisi pelayaran hongi. Jika ini terjadi, maka efeknya akan berujung pada status dan prestise bagi elit lokal, karena secara otomatis memperoleh jaminan mendapatkan “kursi” di salah satu peradilan hukum adat Ambon untuk para pemimpin negeri/desa itu sendiri. Menurut sumber Valentijn, di tahun 1709, kora-kora milik negeri Ullath jadi kora-kora spesial yang ditumpangi oleh Fiscal Gubernemen Ambon. Sedangkan kora-kora dari negeri Titawaai, negeri di pulau Nusalaut, tetangga pulau Saparua, menjadi kora-kora khusus yang mengangkut Gubernur Amboina dalam ekspedisi pelayaran hongi sejak tahun 1702. Dari ke-13 negeri di Pulau Saparua, negeri Siri-sori paling banyak menyumbang tenaga kerja dalam ekspedisi pelayaran hongi tahun 1709 itu, dengan jumlah 125 orang, diikuti Ihamahoe (116), Tuhaha (110), Haria (91), Ullath (90), Ouw (86), Nolloth (80), Itawaka (80), Paperu (70). Negeri Tiouw (53), dan yang paling sedikit adalah negeri Saparoewa dengan 21 orang. Jumlah-jumlah peserta ekspedisi dari negeri-negeri tersebut berkorelasi langsung dengan jumlah penduduk dan jumlah dati.
                Fenomena yang “aneh” menyangkut penduduk negeri Saparoewa di tahun 1707 itu. Pada tabel di atas yang bersumber dari Valentijn, disebutkan jumlah penduduknya 182 zielen (jiwa/orang). Jumlah yang sangat “minimalis” ini sangat “aneh” untuk sebuah negeri. Apakah sebuah negeri “hanya” memiliki jumlah penduduk sebanyak itu ?. Memang aneh memahami angka itu, namun data itulah yang tersedia dan kita harus menerimanya. Knaap menyebutkan bahwa data penduduk di Gubernemen Ambon tahun 1707/1708, yang ia gunakan pada artikelnya bersumber dari Valentijn, dimana data Valentijn itu, adalah rangkuman dari data sensus tahun 1707/1708 yang arsipnya telah hilang. Dengan demikian, maka suka atau tidak suka, kita harus “menerima” data itu dan mempercayainya. 

Kepulauan Lease (1660)

                Jumlah sebanyak itu, memang aneh untuk suatu negeri. Perlu diketahui bahwa sejak tahun 1691, markas VOC di Saparua telah berpindah dari Honimoa (Siri Sori) ke negeri Saparua (Fort Duurstede), maka “seharusnya” orang-orang dari negeri tetangga atau dari luar tertarik ke pusat baru itu dan mulai menetap. Rentang antara 1691 hingga 1707/1708 adalah 16-17 tahun, dimana itu merupakan waktu yang cukup agar negeri Saparua bisa memiliki penduduk yang lumayan banyak. Namun teori ini terbalik dengan fakta di atas. Mungkin penjelasan sederhana untuk memahami keanehan ini, adalah banyak orang yang berada di negeri Saparua, namun status mereka adalah penghuni sementara, sehingga tidak dianggap sebagai penduduk “definitif” negeri Saparua.
                Jika tahun 1707/1708, jumlah penduduk negeri Saparua hanya sebanyak itu, maka kita bisa membayangkan berapa jumlah penduduknya puluhan tahun sebelumnya, pada paruh kedua abad ke-17 (1650 – 1690an). Kemungkinan besar, jumlahnya lebih kecil lagi dari jumlah 182 itu. Kemungkinan dugaan ini semakin kuat, karena faktanya Gubernur Ambon Robertus Padbrugge tidak setuju jika fort Duurstede didirikan di negeri Saparua, karena wilayah itu tidak strategis dengan alasan terlalu sunyi (Zuid – Saparua is een rustig gebied). Sayangnya, Knaap dalam kajian tentang demografi itu, tidak memberikan daftar rincian penduduk tiap negeri di Gubernemen Ambon, hanya secara umum per wilayah/regional saja. Knaap juga menyebut bahwa arsip-arsip sensus antara tahun 1671 – 1695 tersimpan di kearsipan umum di Den Haag serta bisa juga dilihat dalam bukunya yang terbit tahun 1987. Arsip-arsip yang dimaksud dan bukunya Knaap, belum bisa kami lihat isi dan tidak memiliki bukunya itu, sehingga kami tidak mengetahui persis, berapa jumlah penduduk negeri Saparua di tahun 1671, 1683, 1692. Arsip/data dari Artus Gijsels tahun 163412 yang berisikan daftar lengkap tiap negeri di Gubernemen Ambon yang mengikuti kebijakan pelayaran hongi, untuk pulau Saparua (Honimoa), negeri Saparua dan Porto tidak ditulis namanya. Tahun ini (1634), hanya disebutkan 11 negeri yaitu Haria, Boi, Paperu, Tibun (Tiouw), Tuahu (Tuhaha), Sirisori, Ow, Ulat, Tituwoko (dusun di Ouw), Nollot dan Iha dengan jumlah 2340 orang, dengan 20 kora-kora. Begitu juga dengan sumber tahun 1647 dari MOG Gubernur Ambon Gerard Demmer tertanggal 3 September 164713, yang didalamnya tercantum negeri-negeri yang terlibat dalam pelayaran hongi. Untuk konteks pulau Saparua (Demmer menulis : eylandt Uliasser), ada 12 negeri yaitu Oulat, Touaha, Titawacka (Itawaka), Appalilj, Honimoa (Siri Sori), Ouw, Tituwalou, Paperou, Tiouw, Boy, Haria dan Iha, sedangkan negeri Saparua dan Porto tidak tertulis. Untuk tahun 1647 ini, pulau Saparua diwakili oleh 5 kora-kora. Demmer juga menjelaskan bahwa “negeri” Titawacka dibawah negeri Oulat, Appalilij dibawah negeri Touaha, Tituwalou dibawah negeri Ouw. Membandingkan data tahun 1634 dan 1647 khususnya tentang nama-nama negeri di pulau Saparua, maka minimal kita bisa mengerti bahwa di tahun 1634, negeri Itawaka belum “dikenal” atau mungkin lokasinya yang sekarang belum ditempati. Menurut tradisi lisan, penduduk negeri Itawaka adalah penduduk negeri Ullath yang dipindahkan ke lokasi sekarang, sebagai bagian dari strategi VOC mengepung kerajaan Iha. Appalilj, menurut tradisi lisan negeri Tuhaha, disebutkan sebagai salah satu soa dari 9 soa yang awalnya menghuni Huhele (Negeri Lama Tuhaha)14.
                Memahami jumlah penduduk negeri Saparua yang sangat sedikit di tahun 1707/1708 dan puluhan tahun sebelumnya, membuka cakrawala berpikir terhadap beberapa persoalan menyangkut sejarah awal negeri Saparua. Dengan potensi penduduk yang tidak signifikan seperti itu, maka “logis” jika nama negeri Saparua sangat jarang disebutkan dalam sumber-sumber Portugis maupun oleh VOC (Belanda), khususnya pada paruh pertama abad ke-17 (1600 – 1650). Logis juga jika negeri Saparua, tidak disebutkan sama sekali dalam gejolak politik sosial pada paruh pertama abad ke-17, karena penduduknya sangat sedikit dan tidak memiliki signifikansi politik dan daya tawar untuk terlibat atau dilibatkan oleh VOC.
Kondisi ini pun bisa membuka pemahaman kita tentang asal usul pemimpin/penguasa negeri Saparua. Apakah mungkin dengan jumlah penduduk seperti demikian, negeri Saparua telah memiliki pemimpin negeri yang “resmi”?? atau lebih “logis” jika pada masa ini, negeri Saparua dihuni hanya oleh “sekumpulan” keturunan para leluhur dalam tradisi lisan negeri, yang membentuk soa dan masing-masing “dipimpin” oleh pemimpin soa, tua adat atau “kepala suku”. Valentijn menyebut bahwa negeri Saparua dulunya pernah dipimpin oleh seorang Cavalhero15/Cavalerij atau Kapitan/Kapitane. Mungkin istilah Cavalhero yang digunakan Valentijn ini dimaksudkan/ditujukan untuk gelar-gelar “pemimpin” negeri Saparua seperti pemimpin/kepala soa, tua adat atau “kepala suku”.  Ini merupakan hipotesis kami untuk menjelaskan fenomena yang “aneh” tentang negeri Saparua. Meski demikian, titik-titik hipotesis itu harus diuji terus menerus untuk menyangkalnya atau menerimanya. 

Laporan Kunjungan DS. O. Porjeere di Saparua (1769)

                Menarik juga mengamati penduduk pulau Saparua berdasarkan pada arsip-arsip gereja. Arsip-arsip gereja yang berkaitan dengan penduduk suatu negeri di pulau Saparua, didasarkan pada laporan kunjungan pendeta dan para ouderling-nya (penatua) ke pulau tersebut. Tentunya, laporan ini hanya menyangkut anak sekolah, anak yang dibaptis, penduduk yang dibaptis, anggota sidi gereja, yang semuanya itu beragama Kristen Protestan. Meski cakupannya hanya beragama Kristen, namun data-data tersebut bisa “digunakan” sebagai dasar, karena jumlah penduduk yang beragama di luar Kristen, tidak banyak mempengaruhi jumlah penduduk.
                Data yang kami amati hanyalah data di 2 negeri bertetangga yaitu negeri Tiouw dan Negeri Saparua. Data tahun 169516, penduduk kedua negeri ini yang beragama Kristen tercatat 566 zielen/jiwa (per Januari), 581 (Juli), 594 (Desember). Selama 10 tahun (1695 – 1705), penduduk kedua negeri ini mengalami “kenaikan”, yaitu 596 (1696), 589 (1697), 666 (1699), 723 (1701), 723 (1701). Dari data penduduk beragama Kristen ini, jumlah yang tertulis adalah jumlah yang tercatat, yang berarti ada kemungkinan penduduk negeri itu yang tidak tercatat atau masih memeluk agama suku. Jika kita membandingkan data-data 10 tahun ini dengan data tahun 1707 (tabel C.1), bisa diasumsikan bahwa penduduk negeri Tiouw lebih banyak dari penduduk negeri Saparua. Dengan menggunakan “formula” ini, maka kita bisa mengira-ngira, bahwa dalam 10 tahun itu, penduduk negeri Saparua (Kristen) antara 150an -200 penduduk saja. Asumsi ini terbukti jika kita melihat data tahun 1763 – 1788, dimana penduduk negeri Tiouw tetap lebih besar dari negeri Saparua. Sejak tahun 1763, data penduduk beragama Kristen di 2 negeri ini telah dipisahkan/dirincikan, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, dimana jumlahnya disatukan/digabungkan.
                Data perinciannya bisa dilihat pada tabel berikut17 :

Tahun
Saparua
Tiouw
Jumlah
1695 (Jan)
-
-
566
1695 (Juli)
-
-
581
1695 (Des)
-
-
594
1696
-
-
596
1697
-
-
589
1699
-
-
666
1701
-
-
723
1705
-
-
658
1707
-
-
662
1757
-
-
745
1759
-
-
740
1760
-
-
770
1761
-
-
742
1763
268
427
695
1765
-
-
742
1766
-
-
672
1769
277
404
681
1770
289
450
739
1781
231
413
644
1783
234
389
623
1784
250
392
642
1785
297
255
552
1786
121
179
300
1787
261
385
646
1788
207
357
564


Jika kita melihat tabel di atas, sejak tahun 1695 – 1788, penduduk beragama Kristen di kedua negeri ini secara umum mengalami fluktuasi, naik turun. Ada beberapa tahun yang mengalami penurunan (1697, 1705, 1759, 1761, 1763, 1766, 1781, 1785, 186, 1788).  Ada juga beberapa tahun yang mengalami kenaikan. Setelah tahun 1770, terlihat pada tabel ada gejala mulai mengalami penurunan. Yang cukup aneh juga, dalam rentang 20an tahun (1788 – 1810) penduduk kedua negeri ini mengalami penurunan yang lumayan banyak, 564 di tahun 1788 menjadi 331 di tahun 1810 (lihat tabel C.1).


===== bersambung ====


Catatan Kaki:
1.       Valentyn, Francois. Oud en Nieuw Oost Indie (twede deel) Beschyving van Amboina Vervattende..., Joannes van Braam, Dordrecht, 1724 bag 1, eerste boek, vierde hoofdstuk , hal 85-91
  1. Afschrift. IOR, Bengal Civil Colonial Consultations 5 June 1813 no. 6, P/167/40 (dimuat oleh Chr van Fraasen dalam Bronen Betreffende de Midden Molukken 1796 – 1902)
  2. Catatan kaki no 1 dan khususnya halaman 90 – 91
  3. R.Z. Leirissa, Francois Valentijn, Antara Etika dan Estetika (dimuat dalam Jurnal Wacana, volume 10, no 2, Oktober 2008, halaman 207 – 213, khusus hal 212)
  4. Edward Dodwell dan James S Miles : Alphabetical List of the Officers of the Indian Army, London, 1838, (bag II : Alphabetical List of the Madras Army, Hal 150 – 151)
  5. Penulisan nama negeri pada tabel mengikuti penulisan nama negeri pada laporan Resident Saparua, Letnan James Rooy.
  6. Gerrit J Knaap, The Demography of Ambon in Seventeenth Century : Evidence from Colonial Proto-Censuses (dimuat dalam Journal of Southeast Asian Studies, volume 26, no 2, September 1995, halaman 227 – 241)
  7. C.E.Arthur Wichman, Die Erdbeben Des Indischen Archipels Bis Zum Jahre 1857, Johannes Muller, Amsterdam, 1918, halaman 50 – 76
§  Ron Harris and Jonathan Major, Waves of destruction in the East Indies : the Wichman Cataloque of earthquakes and tsunami in the Indonesia region from 1538 to 1877
  1. Memorie Dienende tot Instructie .....Door David Johan Bake (dimuat oleh Gerrit J Knaap dalam Memories van Overgave van Gouverneurs van Ambon in de .....Martinus Nijhoff, s’Gravenhage, 1987, hal 327 – 334)
  2. H. Bokemeyer, Die Molukken; Geschichte und quellenmassige Darstellung der Eroberung und Ver
    waltung der Ostindischen Gewurzinseln durch die Niederlander (Leipzig: Brockhaus, 1888), p. 300; VOC 1267: 33r-34v; VOC 1275: 219r.
§  Gerrit J Knaap, The Demography of Ambon in Seventeenth Century : Evidence from Colonial Proto-Censuses (dimuat dalam Journal of Southeast Asian Studies, volume 26, no 2, September 1995, halaman 227 – 241), khusus halaman 229
11.       Valentyn, Francois. Oud en Nieuw Oost Indie (twede deel) Beschyving van Amboina Vervattende..., Joannes van Braam, Dordrecht, 1724 bag 1, vierde boek, derde hoofdstuk , hal 187 - 188
  1. H. Bokemeyer, Die Molukken; Geschichte und quellenmassige Darstellung der Eroberung und Ver
    waltung der Ostindischen Gewurzinseln durch die Niederlander (Leipzig: Brockhaus, 1888), p. 298
  2. J.E. Heeres, Ambon in 1647  (dimuat dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch, vol 47, 1897, halaman 510 – 595, khususnya 556-557, 562
14.     Lucas Wattimena, Pengelompokkan Masyarat Negeri Tuhaha Pulau Saparua, Maluku Tengah : Tinjauan Etnoarkeologis (dimuat dalam Kapata Arkeologi, volume 9, No 2, November 2013, halaman 81 – 88)
15.      Valentyn, Francois. Oud en Nieuw Oost Indie (twede deel) Beschyving van Amboina Vervattende..., Joannes van Braam, Dordrecht, 1724 bag 1, eerste boek, vierde hoofdstuk , hal 88
  1. Rapport Betreffende een Visitatie van Kerken en Scholen op Saparua, Nusalaut en Ceram door Ds Nicolaas Hodenpijl en de Ouderlingen Anthoni Mayassa en Joannes Pattikayhatoe, Ambon 7 Januari 1695. ANRI, Archief Kerkenraad Batavia 136, bundel rapporten en extracten 1692-1705, ongefolieerd. Afschrift. (in Niemeijer, Hendrik.E, End, Th van den, Schutte, G.J. Bronnen Betreffende Kerk en School in de gouvernementen Ambon, Ternate en Banda ten tijde van de VOC (1605-1791), Eerste deel, tweede band, HUYGENS ING (KNAW), Den Haag, 2015, hal 86-95, khusus hal 92, 95)
§  Rapport Betreffende een Visitatie van Kerken en Scholen op Saparua, Nusalaut en Ceram door Ds Nicolaas Hodenpijl en de Ouderlingen Anthoni Mayassa en Joannes Pattikayhatoe, Saparua,  Juli 1695. ANRI, Archief Kerkenraad Batavia 136, bundel rapporten en extracten 1692-1705, ongefolieerd. Afschrift. (in Niemeijer, Hendrik.E, End, Th van den, Schutte, G.J. Bronnen Betreffende Kerk en School in de gouvernementen Ambon, Ternate en Banda ten tijde van de VOC (1605-1791), Eerste deel, tweede band, HUYGENS ING (KNAW), Den Haag, 2015, hal 110-119, khusus hal 116)
§  Brief van de Kerkenraad van Ambon aan de Kerkenraad van Batavia, Ambon, 24 September 1969. ANRI, Archief Kerkenraad Batavia 137, fol. 299-302. (in Niemeijer, Hendrik.E, End, Th van den, Schutte, G.J. Bronnen Betreffende Kerk en School in de gouvernementen Ambon, Ternate en Banda ten tijde van de VOC (1605-1791), Eerste deel, tweede band, HUYGENS ING (KNAW), Den Haag, 2015, hal 124-130, khusus hal 128)
17. Rangkuman tabel-rabel yang dibuat berdasarkan laporan kunjungan para pendeta dan ouderling ke pulau Saparua (in Niemeijer, Hendrik.E, End, Th van den, Schutte, G.J. Bronnen Betreffende Kerk en School in de gouvernementen Ambon, Ternate en Banda ten tijde van de VOC (1605-1791), Eerste deel, tweede band, HUYGENS ING (KNAW), Den Haag, 2015, hal 86-558)

2 komentar: