Kamis, 23 Juli 2020

Orang Bugis – Makasar Di Kota-kota Pelabuhan Ambon dan Ternate Sepanjang abad ke-19 (bag 1)


Oleh R.Z. Leirissa



  1. Kata Pengantar

Orang Bugis-Makasar seperti juga orang-orang Cina/Tionghoa di Propinsi Maluku dewasa ini, dianggap sebagai bagian integral dari masyarakat Ambon, meskipun kadang-kadang dengan sikap “sinis” dianggap sebagai orang dagang, atau kaum pendatang. Jejak mereka, terkhususnya komunitas Bugis-Makasar di kepulauan ini, bukanlah baru “seumur jagung”. Keberadaan mereka di wilayah Maluku, “terdeteksi” pada permulaan abad ke-17, bahkan beberapa puluh tahun sebelum periode ini.
Almarhum Richard Zakheus Leirissa, mengkaji eksistensi mereka di kota-kota pelabuhan Ambon dan Ternate sepanjang abad ke-19 melalui artikel ini. Artikel ini aslinya berjudul The Bugis-Makassarese in the port towns; Ambon and Ternate through the nineteenth century, yang dimuat pada jurnal Bijdragen tot de Taal,- Land-, en Volkenkunde, volume 156, no 3 tahun 2000. Pada volume 156 ini, jurnal ini mengambil tema besar Authority and enterprise among the people of South Sulawesi, dan artikel Leirissa ini ditempatkan pada halaman 619 – 633, selain artikel-artikel lain dari beberapa sejarahwan seperti Anthoni Reid, Christian Pelras, J. Noorduyn, Anton Lucas, Chris de Jong dan lain-lain.
Leirissa memfokuskan kajian tentang komunitas Bugis-Makasar pada 2 kota pelabuhan, Ambon dan Ternate, sepanjang abad ke-19. Ia misalnya, menyebut bahwa komunitas ini telah eksis minimal sejak tahun 1680 di Ternate. Sedangkan di Ambon, ia menyebut mengutip Gerrit J Knaap, bahwa sejak 1667, komunitas Bugis-Makasar tinggal di “lingkungan” atau wijk yang bersebelahan dengan pemukiman orang-orang Cina, yang lokasinya di sebelah selatan benteng Victoria.  Bahkan pada awal abad ke-19, komunitas itu memiliki pemimpin sendiri yang biasa disebut kapitein der Maccassaren.
Dengan informasi-informasi penting ini, maka kami menyajikan artikel itu untuk dibaca dan dinikmati di blog ini. Artikel sepanjang 15 halaman dan 11 catatan kaki ini, kami bagi menjadi 2 bagian, agar lebih “santai” untuk diikuti. Namun, sayangnya, artikel Leirissa ini, tidak disertai bibliografi, sehingga mungkin sedikit “merugikan” bagi orang-orang yang ingin membaca/mempelajari referensi-referensi tersebut lebih lanjut. Leirissa hanya memberikan nama penulis buku/artikel, yang ia kutip tanpa judul buku atau artikel yang ia gunakan itu, misalnya (Stapel 1922). Ketiadaan “bibliografi” ini, yang coba kami tambahkan dalam catatan tambahan pada artikel terjemahan ini. Namun, perlu dipahami, apa yang kami lakukan, bukanlah bibliografi dari artikel Leirissa. Kami hanya menambahkan catatan, sepanjang yang kami ketahui saja, jika tidak kami ketahui, kami tidak menambahkannya. Selain itu, kami juga menambahkan beberapa ilustrasi pada artikel terjemahan ini.
Akhir kata, selamat membaca.... selamat menikmati... semoga pengetahuan bersejarah kita semakin bertambah.....


  1. Terjemahan : Kutu Busu
Residenthuis van Ternate. ca. 1880

Pendahuluan

                Para pedagang dari Sulawesi Selatan telah menjadi pengunjung ke kepulauan Maluku sejak sekurang-kurangnya abad ke-17 (Tiele 1886 – 95a). Pada tahun 1605, VOC mendirikan kubu pertahanan pertamanya di Ambon, dan sepanjang paruh pertama abad itu, mencoba untuk memperluas monopoli atas perdagangan rempah-rempah di kepulauan itu dengan mencegah semua pedagang bukan Belanda untuk berpartisipasi dalam perdagangan yang menguntungkan ini. Tetapi perdagangan rempah-rempah ini berkembang menjadi ketertarikan para pelaut berani dari Sulawesi bagian selatan, yang, dengan dukungan finansial dari pedagang-pedagang asing di Makasar – utamanya Inggris, Denmark, dan Portugis -  yang sering berhasil menghindar dari pengawasan kapal-kapal VOC dan dengan demikian mampu memasuki wilayah-wilayah “terlarang” dengan kapal-kapal mereka untuk berdagang melalui cara barter di dalam beberapa desa di sekitar Ambon. Penaklukan Makasar oleh VOC pada pertengahan abad ke-17 (Stapel 1922b) mengakhiri masa kejayaan perdagangan Bugis-Makasar di Maluku. Meskipun begitu, sekolompok kecil etnis ini tinggal di kota Ambon dan Ternate, seperti juga di bagian-bagian lain kepulauan itu.
                Saya (penulis) tidak bermaksud dalam kajian ini untuk menyajikan sumber lengkap tentang perdagangan Bugis-Makasar di Maluku; tujuan utama di sini adalah pada struktur komunitas Bugis-Makasar di kota-kota pelabuhan Ambon dan Ternate, sepanjang abad ke-19, terkhususnya peranan dari pemimpin kelompok-kelompok teresebut. Perbedaan antara Ternate dan Ambon akan juga ditekankan1

Chinese van Ternate. ca. 1890

Latar Belakang Kategori-kategori

                Pertama, beberapa catatan tentang kategori geografis yang digunakan dalam artikel ini harus dijelaskan. Sebagai label geografis, Ambon digunakan dalam 5 kategori wilayah demarkasi yang berbeda :
  1. Nama Pulau
  2. Bagian dari administrasi di bagian selatan Maluku
  3. Karesidenan di Maluku Tenga
  4. Kota Pelabuhan di pulau Ambon
  5. Penduduk pribumi di karesidenan (itu)

Ternate digunakan dalam 4 kategori wilayah yang berbeda yaitu:
  1. Kerajaan / Kesultanan
  2. Pulau
  3. Karesidenan
  4. Kota Pelabuhan

Dalam artikel ini, kata Ambon dan Ternate digunakan untuk pelabelan kota-kota pelabuhan dengan nama itu, terkecuali dijelaskan sebaliknya.
                Lagi pula, kategori-kategori berbeda dari kaum urban ditemui dari sumber-sumber material. Para pegawai VOC dan pejabat-pejabat sebelumnya sejak masa VOC merupakan kaum Eropa. Sekelompok orang Eropa itu menikah dengan wanita lokal, dan anak mereka dikenal sebagai mestiezen (mestizo), suatu kategori demografis yang sungguh penting di kota Ambon (Bleeker 1856, II: 74c). Kategori-kategori lain mencakup sejumlah tipe-tipe berbeda “orang luar” – kaum migran (dan keturunan mereka) dari luar wilayah lokal, termasuk para pedagang, orang dengan spesialisasi pekerjaan, pekerja umum, dan lain-lain. Di antara orang-orang luar itu, orang-orang China termasuk yang penting seperti kelompok etnis pribumi lainnya dari Nusantara, termasuk Bugis-Makasar, Melayu dan Jawa. Sejak abad ke-19, sejumlah orang Arab juga menetap di 2 kota ini.
                Penghuni kota itu juga dirujuk sebagai kaum burger, sebuah kategori berbeda kedalam Europeesche burgers (termasuk mestizo), Chinese burgers, dan Moorsche burgers. Kategori terakhir ini termasuk kaum Muslim  yaitu Bugis-Makasar, Melayu dan Jawa, begitu juga kaum Arab. Proses urbanisasi yang berlangsung di Ambon pada abad ke-19, sejumlah inlandsche burgers atau “burger pribumi” muncul2. Akhirnya mereka menjadi kaum urban di kota Ambon, seperti di beberapa kota Maluku Tengah lainnya, termasuk Hila dan Larike (di pulau Ambon), Kayeli (di pulau Buru), Haruku dan Saparua (Bruyn Kops 1895d).
                Pedagang-pedagang “asing” selalu ditempatkan di wilayah terpisah di kota-kota pelabuhan, jauh sebelum kedatangan VOC. Perbedaan wilayah sangat kuat khususnya antara pedagang Cina dan Muslim. Sejak awal abad ke17, Belanda menerapkan pengaturan seperti ini, dan tetap tertinggal hingga minimal abad ke-19.
                Sebagai bagian dari sistem sosial kolonial, komunitas-komunitas asing diatur dan dipantau oleh otoritas kota-kota pelabuhan. Kaum Cina, sebagai contohnya, telah disediakan sejak awal pemukiman mereka dengan pimpinan mereka sendiri, dengan gelar-gelar mereka seperti kapitein dan luitenant (Hoetink 1922e). Pemimpin kaum burger Belanda juga memiliki gelar. Selanjutnya, setelah unit-unit dari penjaga kota (schutterij) didirikan di kota-kota itu pada paruh pertama abad ke-19, pelaksanaan ini diperluas hingga termasuk pemimpin-pemimpin komunitas Bugis – Makasar di Ternate. Demikian, maka gelar kapitein der Maccassaren ada di Ternate. Kasus di kota Ambon sedikit berbeda, karena tidak ada kapitein der Maccassaren yang dilaporkan di kota Ambon, meskipun beberapa komunitas Bugis-Makasar termasuk dalam schutterij.
                Penataan sosial politik seperti ini termasuk sejumlah kelompok etnis berlanjut hingga dekade pertama abad ke-20. Maka, pelaksanaan seperti itu terjadi juga dalam bagian lain dari Hindia Belanda, kaum pribumi Maluku dibagi menjadi Christen inlanders dan Mohameedaansche inlanders (Adatrechtbundels 1913: 193). Terminologi burgers kemudian “digunakan” dalam dokumen-dokumen resmi.

Pelabuhan Ternate (1880)

Kampung Makasar di Ternate

Keberadaan komunitas Bugis-Makasar di Ternate diketahui telah eksis minimal sejak tahun 1680. Sebagian besar dari generasi awal pemukim adalah para pedagang yang menetap, sebelum Belanda mampu menerapkan kontrol atas perdagangan di pulau –pulau Kesultanan Ternate pada tahun 1607. Gubernur VOC Ternate, Robertus Padtbruggef, menginstruksikan para anggota komunitas perdagangan untuk tinggal di bagian utara Benteng Oranye (dibangun tahun 1607), berbatasan dengan Soa Siu, wilayah dari Sultan Ternate. Karena mayoritas para pedagang Islam “asing” adalah orang Makasar, maka tempat itu dikenal sebagai kampung Makassar. Tetapi, di samping orang Makasar, sejumlah orang Melayu dan Jawa juga diizinkan tinggal di wilayah itu (De Clercq 1890: 17g). Sebelum pasukan penjaga kota di Ternate dibentuk, unit-unit pasukan Bugis-Makasar, Melayu dan Jawa, dipimpin oleh Tete, yang telah membantu pasukan Belanda selama pemberontakan di Tidore dan Halmahera. Unit ini kemudian digabungkan kedalam pasukan penjaga kota, dan pemimpinnya menggunakan gelar kapitein der Maccassaren. Keterlibatan orang-orang “asing” ini dalam pasukan penjaga kota berlanjut hingga dekade terakhir abad ke-19 (Staatsblad 1896, no 203), meskipun orang-orang Jawa dikeluarkan dari pasukan penjaga kota di tahun 1838 (Staatsblad 1838, no. 22). Institusi kapitein der Maccassaren tetap berfungsi hingga abad ke-20.
Para pemimpin Bugis-Makassar di Maluku, seperti juga para pemimpin komunitas Cina, hingga tahun 1866, bertanggungjawab kepada resident-magistraat, pejabat tinggi pemerintah yang bertanggung jawab untuk urusan-urusan “dalam negeri”. Sebagai “orang asing”, orang Bugis-Makasar di Ternate dibagi dalam “lingkungan-lingkungan” (wijken), masing-masing dengan kepala lingkungannya sendiri (wijkmeester), yang bertanggungjawab kepada kapitein. Resident-Magistraat di Ternate sebenarnya hanya seorang pengawas, karena sebagian besar urusan internal masyarakat diserahkan kepada kapitein der Maccassaren. Sepanjang sebagian besar abad ke-19, seorang kapitein tidak hanya bertanggungjawab untuk menjaga lingkungan, tetapi juga menjabat sebagai kepala/pimpinan otoritas keagamaan di komunitasnya. Karena itu, tugasnya termasuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan dan warisan berdasarkan hukum dan peraturan Islam (Staatsblad 1859, no 20). Maklum, Islam adalah kekuatan pengikat yang kuat di komunitas “asing” ini.
Lokasi “lingkungan” atau “distrik” untuk komunitas Bugis-Makasar di utara benteng Oranye, membuat mereka berdekatan dengan “lingkungan” (dalam bahasa lokal disebut soa) dari subjek Sultan atau Soa Siwa (Van Fraasen 1987h). Meskipun Bugis-Makasar, seperti orang Cina, dianggap sebagai subjek Belanda, peluang besar untuk berinteraksi dengan subjek dari Sultan, pastilah ada. 

Ternate sekitar tahun 1865
2 kategori penghuni lainnya, yaitu Chinezen dan Europeesche burgers, yang diberi “lingkungan” sendiri di sebelah kastil, juga mempertahankan nilai-nilai budaya mereka sendiri. Burgers ini, termasuk mestizos, dipimpin oleh kapitein der burgerij dan mengikuti hukum dan peraturan Belanda (Bakhuizen van den Brink, 1915i). Tidak berbeda dengan orang Cina di Ambon, orang Cina di Ternate mengadopsi banyak kebiasaan mestizo Belanda dan memilih menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa ibu mereka. Namun, tidak seperti orang-orang di Ambon, mereka lebih suka menjadi orang Kristen (De Clercq, 1890: 13). Pada abad ke-18, “lingkungan” orang-orang Kristen dikenal sebagai kampung Borgor Mardika, tetapi kemudian seluruh wilayah itu, lebih dikenal sebagai kampung serani. “Lingkungan” ini juga dikenal sebagai kampung Melayu, sesuai dengan nama sebelumnya dari pusat kerajaan – Malayo (Staatsblad 1913, no 7). Anggota-anggota dari masing-masing kelompok etnis menyatakan suatu preferensi untuk bekerja dengan jenisnya sendiri. Pedagang kaya terutama, menggunakan rekan-rekan yang stratanya lebih rendah, untuk melakukan kerja manual untuk operasi perdagangan mereka, seperti yang dilakukan kapten laut/kapal (anakoda) di kapal dagang mereka. Interaksi antara berbagai kelompok etnis, terjadi terutama dalam konteks infrastruktur yang ditetapkan oleh otoritas kota-kota pelabuhan, terutama di pasar (pasar kompeni). Dalam konteks demikian, penggunaan bahasa Melayu sangat mendominasi.
Data-data kearsipan tidak menunjukan kesan, bahwa orang Bugis-Makasar sangat penting sebagai pedagang di Maluku bagian utara di abad ke-19. Sebagian besar dari mereka adalah buruh kasar, nelayang, tukang kebun sayur, dan pedagang kaki lima. Sebagian besar perdagangan antar pulau dan antar wilayah ada di tangan sejumlah pedagang Cina dan Belanda (T6,7,42,54,80,112,121,141). Pedagang Makasar, Bugis, dan Mandar dari Sulawesi bagian selatan secara teratur mengunjungi Ternate dan Tidore dengan kapal layar mereka (padewakang (Makasar), padduakeng (Bugis)), untuk berdagang dengan masyarakat setempat, baik dengan atau tanpa izin berlayar dari pihak berwenang di Sulawesi, tetapi pedagang tersebut tidak pernah menjadi bagian dari kampung Makasar. 

Perayaan Hari Ratu Belanda di Ternate, 1898
Namun, kadang-kadang arsip menyediakan dokumen bagi kita, yang menggambarkan sejumlah orang yang berusaha, yang memiliki keberanian untuk melampaui infrastuktur yang diberlakukan sejak awal abad ke-17. Kasus-kasus langka ini ditemui terutama pada data-data orang yang ditangkap dan dijatuhi hukuman mati atau dikirim sebagai budak pekerja ke perkebunan pala di Kepulauan Banda. Contoh-contoh semacam ini, memberi kita gambaran tentang relasi yang lebih luas, yang dipelihara orang-orang Bugis-Makasar dengan bagian-bagian lain dunia maritim di Indonesia Timur.
Contoh yang menarik adalah kasus Haji Umar (sekitar 1717 – 1808). Meskipun, awalnya tinggal di kampung Makasar di Ternate, ia kemudian pindah ke “lingkungan”orang “ asing” lainnya di Tidore yang dikenal sebagai kampung Jawa. Ayahnya, yang menikah dengan seorang wanita pribumi dari Tidore, adalah orang Makasar, dan mungkin juga dari kampung Makasar sendiri. Haji Umar mempertahankan hubungan baik, tidak hanya dengan para pedagang dari Sulawesi Selatan – ia sendiri menikah dengan seorang wanita dari Mandar – yang mengunjungi Maluku secara sembunyi-sembunyi, tetapi juga dengan koloni-koloni bajak laut Magindanao, seperti di Tolitoli (Tontoli dalam sumber arsip). Koloni ini pada waktu itu dipimpin oleh Syarif Mohammad Taha, yang putranya, Syarif Jafar, menemani Haji Umar dalam sejumlah ekspedisi perdagangan di Maluku bagian utara. Kekayaan Haji Umar meningkat dengan munculnya Pangeran Nuku sebagai Sultan Tidore selama kuartal terakhir abad ke-18, dan tahun-tahun pertama abad ke-19 (Katoppo, 1984). Dia menjadi salah satu orang terpercaya di lingkaran Pangeran Nuku, yang dianggap sebagai pemberontak oleh Belanda. Haji Umar ditangkap oleh Belanda pada tahun 1805 setelah kematian Pangeran Nuku, dan ia sendiri dihukum mati pada tahun 1808 (T 81, 121, 185). 

Sebagai sebuah unit budaya, pemukiman kampung Makasar tampaknya mengalami penurunan yang sangat cepat selama dekade terakhir abad ke-19. F.S.A de Clercq, yang merupakan Resident Ternate pada tahun 1880-anj sama sekali tidak terkesan oleh penduduk kampung, karena “ saat ini, tidak ada satu pun dari mereka yang dapat membuktikan asal Makasar, dan bahasa mereka sendiri, sebagian besar tidak diketahui di antara mereka” (De Clercq, 1890: 17). Integrasi dengan subjek-subjek Kesultanan, dengan demikian harus menjadi karakteristik komunitas ini.
Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa dalam laporan resmi tahunan pada paruh kedua abad ke-19, jumlah orang Bugis-Makasar jauh lebih kecil daripada orang Cina, yang pada gilirannya, jumlahnya lebih besar daripada Belanda dan Europeesch burgers lainnya. Angka-angka berikut diambil dari laporan tahunan para pejabat Hindia Belanda di Ternate (T 160,162). Angka sekitar 2.000 yang diberikan oleh de Clercq (1890: 18), mungkin termasuk mereka yang sudah terintegrasi kedalam masyarakat Ternate, sedangkan laporan tahunan hanya menyebutkan orang-orang yang terlibat dalam schutterij Ternate.

Tabel 1
Populasi Ternate


1878
1880
1884
1887
European burgers
285
254
300
308
Chinese burgers
401
480
467
383
Islamic burgers (Bugis-Makasar, Jawa, Melayu, Arab dan lain-lain
77
107
101
77

===== bersambung =====


Catatan Kaki :
  1. Bahan yang digunakan untuk artikel ini diambil dari arsip kependudukan Ternate dan Ambon di Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Koleksi Ambon, yang terbesar dari arsip residensi, terdiri dari 1.651 bundel, sedangkan koleksi Ternate hanya memiliki 429 bundel. Kutipan dari bahan-bahan ini dalam artikel ini diberikan dengan menyatakan modal awal koleksi (A = Ambon atau T = Ternate), diikuti oleh jumlah bundel.
  2. Proses dimana kategori burger inlandsche terbentuk dibahas di bawah ini

Catatan Tambahan :
  1. Pieter Anthonie Tiele, Bouwstoffen voor de Geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen Archipel, volume 1 & 2, Martnius Nijhoff, 1886, 1890.
§  J.E. Heeres, Bouwstoffen voor de Geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen Archipel, volume 3, Martnius Nijhoff, 1895
  1. F.W. Stapel, Het Bongais Verdrag, University of Leiden, Leiden, 1922
  2. Pieter Bleeker, Reis door de Minahasa en den Molukschen Archipel gedaan in de maanden September en Oktober 1855 in het gevolg van den Gouverneur Generaal Mr A.J. Duymaer van Twist, 2 volume, Lange & Co, Batavia, 1856
  3. G.F. de Bruijn Kops, Eenige giepen uit de geschiedenis der Ambonsche Schutterij (Burgerij), L.M.H. Thorig, Amboina, 1895
  4. B. Hoetink, Chinese Officieren te Batavia onder de Compagnie (dimuat dalam jurnal Bijdragen Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde,volume 78 (1922), hal 1-136)
  5. Robertus Padtbrugge menjadi Gouverneur van Molukken (Ternate) pada periode 1677 – 1682. Ia kemudian dimutasikan menjadi Gouverneur van Amboyna 1683 – 1687.
  6. F.S.A. de Clercq, Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate, E.J. Brill, Leiden, 1890
  7. Chr. F. Van Fraasen, Ternate : de Molukken en de Indonesische Archipel. Van Soa-organisatie en vierdeling: Een studie van traditionele samenleving en cultuur in Indonesie, 2 volume, Ph.D. Thesis, University of Leiden, 1987
  8. Ch.R. Bakhuizen van den Brink, De Inlandsche Burgers in de Molukken (dimuat dalam jurnal Bijdragen Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde, volume 70 (1915), hal 569 – 649) 
  9. F.S.A. de Clercq menjadi Resident van Ternate pada periode Januari 1885 – September 1888. Ia menggantikan Resident sebelumnya D.F. van Braam Morris (1883 – 1885), dan digantikan oleh J. Bensbach (1888 – 1895)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar